Profil Kesehatan Anak Indonesia, Angka Kesakitan dan Kematian Pada Bayi dan
Anak Balita, Penyebab Kematian Bayi dan Anak Balita Di Indonesia
Dosen Pembimbing :
Desy Dwi Cahyani, SST., M.Keb.
Disusun Oleh :
JURUSAN KEBIDANAN
FEBRUARI 2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan masalah ini dengan tepat waktu. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Tidak lupa kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan
makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kami mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membimbing kami utamanya kepada ibu Desy Dwi Cahyani,
SST., M.Keb. selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak untuk
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari bentuk
penyusunan maupun segi materi. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.3 Tujuan......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 3
2.2 Angka Kesakitan dan Kematian pada Bayi dan Anak Balita..... 4
3.1 Kesimpulan................................................................................. 10
3.2 Saran........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 12
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang
terjadi pada negara berkembang terutama di Indonesia. Angka kematian bayi menjadi
indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan cerminan dari
status kesehatan anak. Hal ini menjadi perhatian dari dunia Internasional dalam target
global Sustainable Development Goals (SDG’s) yaitu mengakhiri kematian bayi baru
lahir dan balita yang dapat dicegah hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka
Kematian Balita (AKABA) 25 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu
(AKI) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatal (AKN)
sebesar 19 kematian per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 40
kematian per 1000 kelahiran hidup. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa kematian
balita (0-59 bulan) masih tinggi. Untuk itu, diperlukan kerja keras dalam upaya
menurunkan angka kematian tersebut.
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada latar belakang, penulis tertarik
untuk membahas lebih lanjut mengenai keadaan kesehatan bayi dan balita di indonesia
dalam makalah yang berjudul
1.3 Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Gejala kesakitan dapat dideteksi melalui keluhan yang dialami oleh anak. Anak sangat
rentan mengalami keluhan kesehatan seperti panas, batuk, pilek, dan diare terutama pada
anak yang berumur di bawah 5 (lima) tahun (balita). Selain keluhan kesehatan, potret
kesehatan anak juga dapat tercermin dari angka kesakitan pada anak. Angka kesakitan pada
anak didefinisikan sebagai anak yang mengalami keluhan kesehatan dan mengakibatkan
terganggunya kegiatan sehari-hari. Pada tahun 2020, 18 dari 100 anak mengalami keluhan
kesehatan dan mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Sakit yang diderita akan
dapat mengganggu produktivitas anak tersebut dalam melakukan aktivitasnya.
Selanjutnya, jika dilihat menurut kelompok umur, semakin muda kelompok umur
anak, semakin tinggi persentase anak yang mempunyai keluhan kesehatan dan
mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari dalam sebulan terakhir. Seperti dijelaskan
dalam Epidemiology of COVID-19 among Children in China bahwa anak baik yang berjenis
kelamin laki-laki ataupun perempuan sangat rentan tertular COVID-19. Selain itu dijelaskan
juga bahwa anak yang berumur lebih muda, khususnya bayi lebih rentan tertular. Anak-anak
yang masih berada pada kelompok umur muda perlu lebih diperhatikan kesehatannya karena
lebih rentan terkena penyakit.
2
dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri karena pada mengobati sendiri
tidak diperlukan saran/resep dari tenaga kesehatan. Sehingga semakin tinggi tingkat
kesejahteraan anak, maka peluang untuk menerima layanan rawat jalan ketika mengalami
keluhan kesehatan semakin besar. Persentase anak yang memiliki kesehatan yang baik terus
meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan keluarganya (Larson dan Halfon, 2009).
Upaya selain rawat jalan yang bisa dilakukan ketika anak mengalami gangguan
kesehatan yang berat adalah rawat inap. Persentase anak yang pernah rawat inap dalam
setahun terakhir cenderung menunjukkan tren yang meningkat dalam 3 (tiga) tahun terakhir
dengan peningkatan yang rendah. Berdasarkan tipe daerahnya, persentase anak yang pernah
rawat inap di perkotaan lebih tinggi dibandingkan anak yang tinggal di perdesaan.
Selanjutnya, berdasarkan tempat rawat inapnya, 3 (tiga) fasilitas tertinggi yang digunakan
anak untuk rawat inap adalah RS Swasta, RS Pemerintah, dan puskesmas. Fasilitas untuk
rawat inap di rumah sakit biasanya lebih lengkap daripada fasilitas lainnya.
3
Dalam TPB Tujuan ke-3, Target 3.8 disebutkan bahwa Indonesia perlu mencapai
cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses terhadap
pelayanan kesehatan dasar yang baik, dan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dasar yang
aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua orang. Kemudahan akses terhadap
pelayanan kesehatan dasar bagi anak merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan
kualitas kesehatan anak. Biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk perawatan kesehatan anak
dapat dikurangi melalui jaminan kesehatan. Selain pentingnya memiliki jaminan kesehatan
untuk anak, hal berikutnya yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan jaminan kesehatan
tersebut untuk perawatan kesehatan anak.
Selain cakupan kesehatan universal, dalam TPB Tujuan ke-3 juga disebutkan target
terkait perilaku merokok yaitu pada Target 3.4. Pada target ini disebutkan bahwa pada tahun
2030, mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular,
melalui pencegahan dan pengobatan, serta peningkatan kesehatan mental dan kesejahteraan
serta pada Target 3.a yaitu memperkuat pelaksanaan the Framework Convention on Tobacco
4
Control WHO di seluruh negara sebagai langkah yang tepat. Konsumsi rokok pada anak
dapat mengganggu kesehatan anak, khususnya dalam jangka panjang ketika anak sudah
dewasa. Potret perilaku merokok pada anak dapat dipantau setiap tahun dalam Susenas
Maret. Namun pada tahun 2018, indikator yang dikumpulkan melalui Riskesdas 2018
struktur pertanyaannya berbeda dengan Susenas Maret sehingga indikator perilaku merokok
pada anak tahun 2018 tidak ditampilkan dalam publikasi ini.
E. Pentingnya Menjaga Kesehatan Pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) Anak
Seribu hari pertama kehidupan pada anak adalah tahapan yang sangat penting.
Kekurangan gizi pada 1.000 HPK akan berisiko menghambat pertumbuhan fisik anak dan
meningkatkan kerentanan anak terhadap penyakit. Selain itu juga dapat memengaruhi tingkat
kecerdasan dan produktivitas anak di masa yang akan datang. Sebagaimana tercantum dalam
RPJMN 2020-2024, salah satu fokusnya adalah kesehatan ibu dan anak yang salah satu
targetnya adalah menurunkan angka stunting menjadi 14 persen di tahun 2024. Stunting
merupakan salah satu penyakit akibat kekurangan gizi pada anak. Anak tergolong stunting
apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus 2 (dua) standar deviasi panjang
atau tinggi anak seumurnya. Dalam buku Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak
Kerdil (Stunting) Periode 2018- 2024 disebutkan bahwa pencegahan stunting memerlukan
intervensi gizi yang terpadu, mencakup intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Pendekatan
gizi yang terpadu sangat penting dilaksanakan untuk mencegah stunting dan masalah gizi.
Cakupan pelayanan gizi konvergen beberapa di antaranya adalah imunisasi dasar, ASI
eksklusif, dan keragaman makanan.
5
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 130 menyebutkan
bahwa pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Tujuan
dilakukan imunisasi pada anak adalah untuk melindungi anak dari berbagai penyakit.
Imunisasi dasar lengkap yang dicakup meliputi imunisasi Bacillus Calmete Guerin (BCG)
sebanyak 1 (satu) kali, Diphteria Pertusis Tetanus (DPT) sebanyak 3 (tiga) kali, polio
sebanyak 3 (tiga) kali, Hepatitis B sebanyak 3 (tiga) kali, dan imunisasi campak sebanyak 1
(satu) kali. Idealnya, anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap sejak berumur 12
bulan karena menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi disebutkan bahwa imunisasi dasar diberikan pada bayi sebelum
berumur 1 (satu) tahun. Selain mendapatkan imunisasi dasar lengkap, pemberian ASI
eksklusif pada anak juga merupakan salah satu hal yang tidak boleh ditinggalkan pada 1.000
HPK. Pemberian ASI memberikan manfaat baik bagi ibu maupun bayinya. ASI mengandung
banyak nutrisi yang dibutuhkan bayi pada 6 (enam) bulan pertama setelah dilahirkan.
Beberapa manfaat pemberian ASI eksklusif bagi bayi adalah mencegah terserang penyakit,
membantu perkembangan otak dan fisik bayi. Sedangkan manfaat bagi ibu diantaranya
mengatasi rasa trauma dan mencegah kanker payudara (Kementerian Kesehatan, 2018).
Selain indikator ASI eksklusif, indikator lanjutan yang tidak kalah penting untuk
dibahas adalah pemberian makanan pada anak. Pemberian makanan bergizi pada anak
berumur 0- 23 bulan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan perkembangan anak.
Dalam indikator untuk mengukur pemberian makanan pada anak berumur 0-23 bulan yang
disusun oleh WHO bersama UNICEF, salah satu indikatornya adalah pemberian keragaman
makanan pada anak berumur 6-23 bulan dengan gizi yang seimbang. Selama ini, indikator
untuk mengukur pemberian makanan pada anak sebagian besar masih terfokus pada
pemberian ASI. Oleh karena itu, WHO mencoba menyusun indikator untuk mengukur
pemberian makanan selain ASI, khususnya pada anak berumur 6-23 bulan. Terdapat 7 (tujuh)
kelompok makanan yang digunakan WHO dalam menyusun indikator untuk mengukur
pemberian makanan selain ASI yaitu meliputi: padi-padian dan umbi-umbian, makanan dari
kacang-kacangan, susu dan produk olahannya, daging, telur, buah dan sayur sumber vitamin
A, serta buah dan sayuran lainnya. Anak yang mengonsumsi minimal 4 (empat) kelompok
ragam makanan pada hari sebelumnya dapat dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan
makanan yang bersumber dari hewan, sayur, dan buah-buahan, selain makanan pokok seperti
padi-padian dan umbi-umbian telah tercukupi. Batas minimal 4 (empat) jenis makanan dipilih
6
berhubungan dengan kualitas ragam makanan tambahan yang diberikan baik untuk anak yang
masih diberikan ASI ataupun yang sudah tidak diberikan ASI lagi (WHO, 2007).
2.2 Angka Kesakitan dan Kematian pada Bayi dan Anak Balita
Angka kesakitan pada anak didefinisikan sebagai anak yang mengalami keluhan
kesehatan dan mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Persentase anak yang
mempunyai keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir menunjukkan peningkatan dari tahun
2018 ke 2019 dan penurunan pada tahun 2020. Secara umum, sekitar 3 (tiga) dari 10
(sepuluh) anak di Indonesia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir.
Selanjutnya, persentase anak yang tinggal di perkotaan dan mengalami keluhan kesehatan
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tinggal di perdesaan. Jika dilihat menurut
kelompok umur, semakin muda kelompok umur anak, semakin tinggi persentase anak yang
mempunyai keluhan kesehatan.
Catatan kinerja Indonesia dalam hal kematian anak bervariasi. Kemajuan terendah
terdapat pada kematian neonatal (kematian dalam 28 hari pertama setelah kelahiran). Pada
tahun 2017, Indonesia melaporkan angka kematian neonatal sebesar 15 per 1.000 kelahiran
hidup; turun dari 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 (target SDGs: 12). Separuh
kasus kematian ini dialami bayi baru lahir dan nyaris 80 persen terjadi dalam pekan pertama
kehidupan.
Diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 91.000 anak baru lahir di Indonesia
—utamanya karena sebab yang bisa dicegah, khususnya sepsis (komplikasi akibat infeksi).
Ketiadaan sumber air mengalir, sarana cuci tangan, dan jamban di sebagian besar pos
kesehatan dan klinik persalinan menunjukkan bahwa angka kematian neonatal yang sulit
diturunkan boleh jadi sangat erat berkaitan dengan kekurangan sarana kebersihan dasar.
Sekali lagi, angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang tinggi di Indonesia menunjukkan
ada permasalahan serius dengan mutu perawatan yang diterima para ibu dan bayinya.
7
Angka kematian bayi (kematian yang dialami anak berusia bawah satu tahun) turun
dari 68 per 1.000 anak pada tahun 1990 menjadi 24 per 1.000 anak pada tahun 2017, atau
lebih dari separuh. Selain itu, angka kematian balita turun dari 97 kematian per 1.000
kelahiran hidup menjadi hanya 32 per 1.000 kelahiran hidup. Perbaikan yang signifikan ini
dapat dikaitkan dengan keberhasilan berbagai inisiatif, termasuk program imunisasi, upaya
kesehatan berbasis masyarakat, dan perbaikan sarana air, sanitasi, dan kebersihan (water,
sanitation, dan hygiene, atau WASH).
Namun, serupa dengan bidang-bidang lain, pencapaian di bidang ini tidak luput dari
kesenjangan dan ketimpangan geografis yang signifikan. Angka kematian bayi yang tertinggi
ada pada 20 persen populasi termiskin dan tiga kali lebih besar dibandingkan 20 persen
populasi terkaya. Angka kematian bayi tertinggi juga ditemukan di wilayah perdesaan dan
kelompok ibu muda. Diare dan pneumonia masih merupakan penyebab utama kematian anak
balita (masing-masing menyumbang 25 persen dan 16 persen angka kematian).
Diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 91.000 anak baru lahir di Indonesia,
utamanya karena sebab yang bisa dicegah, khususnya sepsis (komplikasi akibat infeksi).
Ketiadaan sumber air mengalir, sarana cuci tangan, dan jamban di sebagian besar pos
kesehatan dan klinik persalinan menunjukkan bahwa angka kematian neonatal yang sulit
diturunkan boleh jadi sangat erat berkaitan dengan kekurangan sarana kebersihan dasar.
Sekali lagi, angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang tinggi di Indonesia menunjukkan
ada permasalahan serius dengan mutu perawatan yang diterima para ibu dan bayinya.
Kematian bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mencapai 28.158
jiwa pada 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 20.266 balita (71,97%) meninggal dalam rentang
usia 0-28 hari (neonatal). Sebanyak 5.386 balita (19,13%) meninggal dalam rentang usia 29
hari-11 bulan (post-neonatal). Sementara, 2.506 balita (8,9%) meninggal dalam rentang usia
12-59 bulan. Adapun beberapa penyebab kematian bayi dan balita :
1. Kematian balita neonatal akibat berat badan lahir rendah sebesar 35,2%.
2. Kematian balita neonatal akibat asfiksia sebesar 27,4%,
3. Kematian balita neonatal akibat kelainan kongenital sebesar 11,4%,
8
4. Kematian balita neonatal akibat infeksi sebesar 3,4%
5. Kematian balita neonatal akibat tetanus neonatorium 0,03% dan lainnya 22,5%.
6. Kematian balita post-neonatal akibat pneumonia sebesar 14,5%
7. Kematian balita post-neonatal akibat diare sebesar 9,8%
8. Kematian balita post-neonatal akibat kelainan kongenital lainnya sebesar 0,5%,
9. Kematian balita post-neonatal akibat penyakit syaraf 0,9%, dan faktor lainnya
73,9%.
10. Kematian balita dalam rentang usia 12-59 bulan karena infeksi parasite sebesar
42,83%.
11. Kematian balita dalam rentang usia 12-59 bulan karena pneumonia sebesar 5,05%
12. Kematian balita dalam rentang usia 12-59 bulan karena diare 4,5%
13. Kematian balita dalam rentang usia 12-59 bulan karena tenggelam 0,05%, dan
faktor lainnya 47,41%.
Demi mencegah kematian balita, perlu upaya kesehatan anak secara terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan. Bahkan, pemerintah mengupayakan kesehatan anak
dilakukan sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia 18 tahun.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
Kematian bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mencapai
28.158 jiwa pada 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 20.266 balita (71,97%)
meninggal dalam rentang usia 0-28 hari (neonatal). Sebanyak 5.386 balita
(19,13%) meninggal dalam rentang usia 29 hari-11 bulan (post-neonatal).
Sementara, 2.506 balita (8,9%) meninggal dalam rentang usia 12-59 bulan.
Penyebab Kematian Bayi dan Balita di Indonesia Diperkirakan karena sebab
yang bisa dicegah, khususnya sepsis (komplikasi akibat infeksi). Ketiadaan sumber
air mengalir, sarana cuci tangan, dan jamban di sebagian besar pos kesehatan dan
klinik berkaitan dengan kekurangan sarana kebersihan dasar adapun penyebabnya
yaitu akibat BBLR, asfiksia, kelainan kongenital, insfeksi, tetanus neonatorium,
pneumonia dll.
3.2 Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Kusnandar, V. B. (2021, 10 22). Kematian Balita di Indonesia Capai 28,2 Ribu pada 2020.
Kematian Balita di Indonesia Capai 28,2 Ribu pada 2020.
United Nations Children’s Fund (2020).Situasi Anak di Indonesia – Tren, Peluang, dan
Tantangan Dalam Memenuhi Hak-Hak Anak. Jakarta: UNICE (Amalia Noviani,
2020)F Indonesia.
Amalia Noviani, S. M. (2020). PROFIL KESEHATAN IBU DAN ANAK 2020. Jakarta: Badan
Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.
Kusnandar, V. B. (2021, 10 22). Kematian Balita di Indonesia Capai 28,2 Ribu pada 2020.
Kematian Balita di Indonesia Capai 28,2 Ribu pada 2020.
12