Oleh:
Pembimbing :
dr. Fitriyani Nasution, M. Gizi, Sp.GK
PEMBIMBING
Penilaian Makalah :
Struktur :
Penilaian Topik Pembahasan :
Kedalaman Isi :
NILAI TOTAL :
i
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang lebih mulia selain mengucapkan puji dan syukur kepada
Tuhan Yang Mahakuasa, atas segala limpahan rahmat dan karunia yang telah
diberikan kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah "Nutrisi Gizi
Buruk pada Anak" dengan tepat waktu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca sehingga makalah ini dapat
disempurnakan lagi pada masa yang akan datang.
Selesainya makalah ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang turut membantu, khususnya kepada dr. Fitriyani Nasution, M. Gizi, Sp.GK
selaku dosen pembimbing.
Demikianlah makalah ini kami persembahkan, mudah-mudahan
memberikan manfaat untuk kita semua. Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penentuan status gizi secara klinis dan antropometri. ..................... 9
Tabel 2.2 Pengaturan diet anak gizi buruk fase stabilisasi ............................. 11
Tabel 2.3 Pengaturan diet anak gizi buruk fase transisi .................................. 13
Tabel 2.4 Pengaturan diet anak gizi buruk fase rehabilitasi ........................... 14
Tabel 2.5 Kandungan mineral mix ................................................................. 15
Tabel 2.6 Kandungan makanan formula WHO .............................................. 15
Tabel 2.7 Kandungan gizi formula Modisco .................................................. 17
v
DAFTAR SINGKATAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
kematian anak di seluruh dunia. Asia Selatan merupakan wilayah dengan prevalensi
gizi kurang terbesar di dunia, yaitu sebesar 46% kemudian wilayah sub-Sahara Afrika
28%, Amerika Latin 7% dan yang paling rendah terdapat di Eropa Tengah, Timur,
dan Commonwealth of Independent States (CIS) sebesar 5% (Sigit, 2012). UNICEF
(United Nations Children's Fund) melaporkan sebanyak 167 juta anak usia pra-
sekolah di dunia yang menderita gizi kurang (underweight) sebagian besar berada di
Asia Selatan. Pada 2010–2012, FAO (Food Agricultural Organization)
memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar orang penduduk dunia atau 1
dari 8 orang penduduk dunia menderita kurang gizi. Sebagian besar (852 juta) di
antaranya tinggal di negara-negara berkembang. Anak-anak merupakan penderita gizi
buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70% kasus gizi
buruk pada anak didominasi kawasan Asia, sedangkan 26% di Afrika, dan 4% di
Amerika Latin serta Karibia (Guptaet al., 2016).
Menurut Laporan Nutrisi Global tahun 2014, Indonesia merupakan salah satu
dari 17 negara dengan masalah serius terkait jumlah anak pendek dan kurus akibat
gizi buruk, sekaligus kelebihan berat badan pada balita. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, 2010, dan 2013 menunjukkkan bahwa Indonesia masih
memiliki masalah kekurangan gizi. Kecenderungan prevalensi kurus (wasting) anak
balita dari 13,6% menjadi 13,3% kemudian menurun sebesar 12,1%, sedangkan
kecenderungan prevalensi anak balita pendek (stunting) sebesar 38,6 %, 35,6%,
37,2%. Prevalensi gizi kurang (underweight) berturu-turut 18,4%, 17,9%, dan 19,6%.
Prevalensi kurus anak sekolah remaja berdasarkan Riskesdas 2010 sebesar 28,5%
(Riskesdas, 2013).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2008) prevalensi kasus
gizi buruk di Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 adalah sebesar 4,4% dan gizi
kurang 18,8%. Berdasarkan data tersebut, kasus di Sumatera Utara masih dibawah
angka nasional yang menetapkan maksimal kasus gizi buruk 5% dan untuk gizi
kurang 20%. Fenomena gizi buruk bagaikan gunung es dimana banyak kasus gizi
buruk yang tidak terdeteksi oleh para petugas kesehatan dan kader. Penyebab gizi
2
buruk pada anak dipengaruhi oleh banyak faktor dan bersifat multidimensional,
seperti faktor sosio-ekonomi dan latar belakang sosial budaya sebagai faktor eksternal
dan status kesehatan balita sebagai faktor internal (Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara, 2014).
Gizi buruk pada anak berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh
sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Penyakit infeksi seperti diare, pneumonia,
malaria, campak atau measles serta AIDS diketahui paling banyak menyebabkan
kematian pada anak balita dengan gizi buruk. Masalah nutrisi erat kaitannya dengan
pemasukan makanan dan metabolisme tubuh serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Status nutrisi seseorang muncul dari gabungan beberapa faktor
yaitu faktor lingkungan, genetik, dan juga perilaku individu. Perilaku merupakan
faktor terbesar kedua yang mempengaruhi status nutrisi seseorang. Untuk mengatasi
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh diperlukan perubahan sosial berupa gaya hidup,
aktivitas fisik, perilaku makan, dan disertai dengan penyiapan lingkungan yang
kondusif (Bhandari & Chetri, 2013).
3
1.4. MANFAAT MAKALAH
Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. Bidang Penelitian dan Pelayanan Kesehatan
Dapat menjadi sarana informasi dan masukan dalam bidang penelitian
maupun dalam melayani masyarakat terkhusus dalam pencegahan gizi buruk
dan manajemen gizi buruk pada anak.
2. Bagi Penulis
Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan keilmuan
untuk menghadapi kondisi di lapangan antara dokter-pasien.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal
ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari
5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun demikian, jumlah
nominal anak gizi buruk masih relatif besar (Kementerian Kesehatan RI, 2007).
6
Pada marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi otot serta
menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses fisiologis. Tubuh
membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan makanan untuk kelangsungan
hidup jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sintesis glukosa
(Liansyah, 2015).
2.3.2. KWASHIORKOR
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat yang
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan protein
yang inadekuat. Seperti halnya dengan marasmus, kwashiorkor juga merupakan hasil
akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala
tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh,
pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala gastrointestinal, rambut tipis
kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit, wajah
membulat dan sembab, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-
garis kulit yang lebih mendalam dan lebar dan sering ditemukan hiperpigmentasi dan
persikan kulit, pembesaran hati serta anemia ringan. (Liansyah, 2015).
7
Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan perlemakan hati
dan edema. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi proses katabolisme jaringan
yang berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang
cukup dalam asupan makanan. Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan
kekurangan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan
yang cukup karbohidrat menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian asam
amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke otot.
Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh berkurangnya asam
amino dalam serum yang kemudian menimbulkan edema (Liansyah, 2015).
2.3.3. MARASMUS-KWASHIORKOR
Gizi buruk tipe marasmus-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus dengan berat badan (BB) menurut umur (U) <60%
SD WHO-NHCS yang disertai edema yang tidak mencolok (Liansyah, 2015).
8
Kriteria Klinis Antropometri (BB/TB-
PB)
Gizi Buruk Sangat kurus dan atau <-3 SD
edema minimal pada (bila ada edema BB/TB
kedua punggung kaki bisa >-3 SD)
Gizi Kurang Kurus ≥-3 SD –≤-2 SD
Gizi Baik Tampak sehat -2 SD – +2 SD
Gizi Lebih Gemuk >+2 SD
Tabel 2.1 Penentuan status gizi secara klinis dan antropometri.
Gejala klinis kwashiorkor antara lain apatis atau cengeng, edema, rambut
kusam mudah dicabut, kelainan kulit, perut membuncit dan sering disertai anemia.
Gejala klinis marasmus antara lain gagal tumbuh, apatis atau cengeng, tampak kurus,
otot hipotrofi, muka seperti orang tua dan lemak subkutan sangat sedikit/tidak ada.
Gejala marasmus-kwashiorkor merupakan gabungan keduanya (Asosiasi Dietisien
Indonesia et al., 2016).
1. Pengobatan/pencegahan hipoglikemia;
2. Pengobatan/pencegahan hipotermia;
3. Pengobatan/pencegahan dehidrasi;
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit;
5. Pengobatan dan pencegahan infeksi;
6. Koreksi defisiensi zat gizi mikro;
7. Pemberian makanan awal (stabilisasi);
9
8. Pemberian makanan tumbuh-kejar (rehabilitasi);
9. Stimulasi sensoris dan dukungan emosional; dan
10. Persiapan tindak lanjut di rumah.
10
Penting diperhatikan aneka ragam makanan, pemberian ASI serta makanan
yang mengandung minyak, santan, lemak dan buah-buahan. Selain itu faktor
lingkungan juga penting dengan mengupayakan perkarangan rumah menjadi taman
gizi. Perilaku harus diubah menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
memperhatikan makanan gizi seimbang, minum tablet besi selama hamil, pemberian
ASI eksklusif, mengonsumsi garam beriodiumm serta memberikan bayi dan balita
kapsul vitamin A (Almatsier, 2014).
11
Vitamin lain
- Vitamin C
- Vitamin B
kompleks
- Asam folat
Mineral lain
- Zinc
- Kalium Pemberiannya dicampur dengan F-75
- Natrium
- Magnesium
Tabel 2.2 Pengaturan diet anak gizi buruk fase stabilisasi.
B. Fase Transisi
Pada fase transisi anak gizi buruk pemberian makanannya harus secara
bertahap dan perlahan-lahan jumlahnya ditingkatkan karena untuk menghindari
terjadinya gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak. Adapun persyaratan diet sebagai berikut
(Departemen Kesehatan RI, 2009):
a. Formula khusus seperti formula-100 atau modifikasi atau modisco I/II
b. Jumlah zat gizi:
Energi: 150–200 kkal/kgBB/hari
Protein: 2–3 gr/kgBB/hari
Cairan: 150 ml/kgBB/hari
Pada fase ini anak mulai stabil dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak
(catch-up). Diberikan F-100, setiap mililiter F-100 mengandung 100 kalori dan
protein 2,9 gram (Diah, 2010).
12
Zat Gizi Transisi (hari ke 8–14)
Energi 100–150 kkal/kgBB/hari
Protein 2–3 gram/kgBB/hari
Cairan 150 ml/kgBB/hari
Sulfas ferosus 200 mg + 0,25mg asam folat, sirup besi
Fe
150 ml
Vitamin A
- Bayi < 6 bulan ½ kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Bayi 6-11 bulan 1 kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (warna biru)
- Balita 12-60 bulan 1 kapsul vitamin A dosis 200.000 Si (warna merah)
Vitamin lain Diberikan sebagai multivitamin
- Vitamin C
- Vitamin B kompleks Diawali 5 mg, selanjutnya 1 mg//hari
- Asam folat
Mineral lain
- Zinc
- Kalium Pemberiannya dicampur dengan F-100
- Natrium
- Magnesium
Tabel 2.3 Pengaturan diet anak gizi buruk fase transisi.
C. Fase Rehabilitasi
Terapi nutrisi fase ini adalah untuk mengejar pertumbuhan anak. Diberikan
setelah anak sudah bisa makan. Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi
berdasarkan BB <7 kg diberi MP-ASI dan BB ≥7 kg diberi makanan balita karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar. Diberi makanan F-
135 dengan nilai gizi setiap 100 ml F-135 mengandung energi 135 kalori dan 3,3
gram protein. Adapun persyaratan diet sebagai berikut (Diah,2010):
a. Formula khusus sebagai formula-135/modifikasi/modisco III
b. Jumlah zat gizi:
13
Energi: 150–200 kkal/kgBB/hari
Protein: 4 – 6 gram/kgBB/hari
Cairan: 150–200 ml/kgBB/hari
14
muntah atau diare, tidak ada edema, serta terdapat kenaikan BB sekitar 50
gram/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.
Mineral mix dapat diberikan sebagai nutrisi gizi buruk yang terbuat dari bahan
yang terdiri dari KCl, Tripotasium sitrat, MgCl2.6H2O, Zinc asetat 2H2O, dan
CuSO4.5H2O. Bahan-bahan tersebut dijadikan larutan. Mineral mix dikembangkan
oleh WHO dan telah diadaptasi dalam pedoman tatalaksana anak gizi buruk di
Indonesia. Mineral mix digunakan sebagai bahan tambahan untuk
membuat Rehydration Solution for Malnutrition (ReSoMal) dan Formula WHO
(Diah, 2010).
15
Protein gram 9 29 33
Laktosa gram 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga mg 2,5 2,5 3,4
% Energi Protein - 5 12 10
% Energi Lemak - 36 63 67
Osmolaritas mOsm 413 419 508
Tabel 2.6 Kandungan makanan formula WHO.
16
kondisi gizi buruk kepada keluarga dengan balita gizi buruk pasca-perawatan setelah
kembali ke rumah.
17
BAB III
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Gizi buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Gizi buruk
dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi buruk dapat
ditangani dengan 10 langkah penanganan gizi buruk, yaitu: pengobatan/pencegahan
hipoglikemia, pengobatan/pencegahan hipotermia, pengobatan/pencegahan dehidrasi,
koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, pengobatan dan pencegahan infeksi,
koreksi defisiensi zat gizi mikro, pemberian makanan awal (stabilisasi), pemberian
makanan tumbuh-kejar (rehabilitasi), stimulasi sensoris dan dukungan emosional, dan
persiapan tindak lanjut di rumah.
Masalah gizi buruk juga dapat ditangani dengan pemberian asupan gizi yang
seimbang secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pada tahap tersebut. Formula
yang dipilih dapat disesuaikan dengan tahap dan tujuan dari pemberian tambahan
nutrisi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2014 Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Asosiasi Dietisien Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia & Persatuan Ahli Gizi
Indonesia 2016, Penuntun Diet Anak, Edisi ke-3, Badan Penerbit FK UI,
Jakarta, pp. 87–88.
Bhandari, T. R., & Chetri, M. 2013. 'Nutritional Status of Under Five Year Children
and Factors Associated in Kapilvastu District Nepal'. Journal of Nutritional
Health & Food Science, vol. 1, no. 1, pp 1–6.
Departemen Kesehatan RI 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk,
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI 2007. Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein
pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kota, Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk,
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI 2009. Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi
Buruk, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina
Gizi Masyarakat, Jakarta.
Diah, K. 2010. ‘Nutrisi dan Gizi Buruk’. Mandala of Health, vol. 4, no. 1, pp. 60–67.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2014. Profil Kesehatan Profil Sumatera
Utara Tahun 2014, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Medan.
Gupta, R., Chakrabarti, S., Chatterjee, S.G. 2016. 'A Study to Evaluate the Effect of
Various Maternal Factors on the Nutritional Status of Under-Five Children'.
Indian Journal of Nutrition, vol. 3, no. 2, pp. 149.
19
Kabeta, A., Belegavi, D., & Gizachew, Y. 2017. 'Factors Associated with Nutritional
Status of Under-Five Children in Yirgalem Town South Ethiopia'. IOSR
Journal of Nursing and Health Science, vol. 6, no. 2, pp. 78–84.
Kementerian Kesehatan RI 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI 2012. Standar Mineral Zat Gizi Bahan Tambahan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI 2013. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Liansyah, M.A. 2015. 'Malnutrisi pada Anak Balita'. Portal Garuda, vol. 2, no. 1.
Muluken, B. 2009. ‘Early Detection and Referral of Children with Malnutrition.’
British Medical Bulletin, vol. 2, no. 3.
Sigit, L. 2012. 'Status Gizi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Se-Gugus
Sisingamangaraja Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga'. Disertasi
Universitas Negeri Yogyakarta Program Pascasarjana Doktoral Ilmu
Keolahragaan.
20