Anda di halaman 1dari 17

Prinsip Starling yang Diperbarui dengan Model Glikokaliks pada

Pertukaran Cairan Transvaskuler: Perbaikan Paradigma pada Terapi


Cairan Intravena

Ringkasan: Prinsip Starling mengenai gradien tekanan onkotik dan


hidrostatik pada cairan ekstraseluler menyebutkan bahwa terapi cairan intravena
yang juga melibatkan kapiler semipermeabel tidak memengaruhi volume cairan
ekstraseluler. Prinsip terapi cairan selama ini berdasarkan pada paradigma
fisiologi tubuh manusia. Prinsip Starling yang telah direvisi pada penelitian
terakhir memperhitungkan adanya lapisan glikokaliks endotel (endothelial
glycocalyx layer/EGL), membran basal, dan matriks ekstraseluler. Karakteristik ‘
keadaan klinis pasien. Tekanan onkotik pada glikokaliks memang berbeda-
beda, namun tidak mempengaruhi kecepatan filtrasi. Hal ini penting dalam
pembaruan prinsip Starling, terutama pada batasan bahwa pasien edem harus
diterapi dengan koloid. Cairan yang difiltrasi akan kembali ke sirkulasi sebagai
cairan limfa. Glikokaliks mengeliminasi molekul yang lebih besar dan menempati
volume substansial di ruang intravaskuler, hal ini menimbulkan interpretasi baru
pada volume darah dan spekulasi selama ini yang menyatakan bahwa
mengembalikan fungsi normal glikokaliks adalah tujuan utama dari terapi cairan.
Maka dari itu terapi kristaloid dianggap cukup masuk akal. Pengganti plasma
berupa kristaloid sebagai volume expander hanya menimbulkan manifestasi
berupa tekanan kapiler yang lebih tinggi.

Kata kunci: Terapi cairan, perawatan intensif.

Poin penting:
- Prinsip Starling klasik tidak memperhitungkan resusitasi cairan pada
latar belakang klinis.
- Lapisan glikokaliks endotel memiliki peran penting dalam pertukaran
cairan.
- Pembaruan prinsip Starling yang melibatkan model glikokaliks dapat
menjelaskan respon klinis dengan lebih baik.
25 tahun lalu, Twigley dan Hillman mengumumkan akan berakhirnya era
kristaloid. Dengan menggunakan diagram plasma yang disederhanakan,
kompartemen cairan intraseluler, dan volume anatomis, mereka berdua
berargumen bahwa koloid lebih baik dalam menggantikan volume plasma yang

1
hilang.1 Total volume plasma adalah 20% dari cairan ekstraseluler. Sebelumnya
diyakini bahwa 20 ml koloid ekuivalen dengan 100 ml larutan garam isotonis.
Prinsip Starling menyatakan bahwa cairan koloid yang hipertonis akan menarik
cairan interstitial ke intravaskuler.2-4 Penelitian pada pasien kritis selama 4 hari
mendapat resusitasi cairan, 100 ml garam isotonis bekerja seefektif 62-67 ml
cairan albumin5 atau 63-69 ml substitusi plasma hipertonis.6 Pasien dengan trauma
tumpul pada hari pertama resusitasi dengan 100 ml larutan garam isotonis, setelah
dievaluasi sama efektifnya dengan 97 ml substitusi plasma isosmotis. Sedangkan
pada pasien yang tertembak atau tertusuk, 100 ml larutan garam isotonis sama
dengan 67 ml substitusi plasma.7 Percobaan pada pasien anak di Afrika
menunjukkan tidak ada manfaat bolus albumin jika dibandingkan dengan larutan
garam isotonis saja.8 Percobaan pengganti plasma menunjukkan bahwa volume
distribusi larutan garam isotonis lebih kecil daripada volume cairan ekstraseluler,9
dan pada akhirnya disimpulkan bahwa prinsip terapi cairan lebih rumit daripada
kelihatannya.10 Review jurnal ini bertujuan untuk mengumpulkan data percobaan
klinis (clinical trial) dan pengalaman bedside pada terapi cairan dengan manfaat
terbaru berdasarkan fisiologi mikrovaskuler untuk meningkatkan paradigma kerja
agar terapi lebih tepat dan fungsional.

Prinsip Starling
Dari percobaan menyuntikkan serum atau cairan salin di kaki katak, Starling
berpendapat bahwa kapiler dan vena post kapiler memiliki membran
semipermeabel yang menyerap cairan dari ruang interstitial. 11 Krooh
mengembangkan prinsip Starling tersebut pada manusia.12 dengan mengadopsi
teori pori-pori, didapatkanlah hasil bahwa peningkatan tekanan vena dan
penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan edem.15
Luft yang menyingkap struktur dinding kapiler dan endokapiler pada 1966
memperkenalkan teori serat molekuler yang melapisi sel endotel dan mengisi
ruang-ruang di antaranya pada 1980. Pertukaran molekul transvaskuler
bergantung pada keseimbangan hidrostatik dan gradien tekanan onkotik. Cairan
yang disaring ke ruang interstitial; di bawah gradien hidrostatik dominan (tekanan
kapiler Pc dikurangi tekanan cairan interstitial Pis) di ruang arteriol kapiler,
dipercaya diserap kembali di bawah tekanan osmotik koloid dominan (Colloid
Osmotik Pressure/COP) (tekanan osmotik koloid pc dikurangi tekanan osmotik

2
koloid cairan interstitial pis) di ujung vena. Pada 2004, Adamson 19 menunjukkan
efek pis pada pertukaran cairan transvaskuler lebih rendah daripada yang telah
diprediksi oleh Starling. Maka dari itu prinsip Starling perlu direvisi.20
Sekarang telah ditegakkan bahwa kapiler nonfenestrasi secara normal
menyaing cairan ke ruang interstitial. Hampir semua cairan yang disaring kembali
ke sirkulasi sebagai cairan limfa. Levick dan Michel21 sekarang menyatakan
bahwa sistem pori-pori kecil di membran semipermeabel transvaskuler adalah
lapisan glikokaliks endotel (endothelial glycocalyx layer/EGL) yang melapisi
celah interseluler endotel, memisahkan plasma dari area telindungi di dalam ruang
subglikokaliks yang bebas protein. Tekanan osmotik koloid subglikokaliks (πsg)
menggantikan πis sebagai determinan aliran transkapiler.19 22
Protein plasma
termasuk albumin, keluar ke ruang interstitial melalui pori-pori besar yang
meyebabkan peningkatan Jv pada inflamasi tahap awal,21 dan mungkin cocok
untuk intervensi farmakologis.23-25 Fakta bahwa protein konsentrasi rendah di
ruang interseluler subglikokaliks berpengaruh pada rendahnya Jv dan aliran limfa
pada hampir semua jaringan adalah hal kritis yang mendasari model glikokaliks.21
Lapisan glikokaliks endotel (endothelial glycocalyx layer/EGL)
Lapisan glikokaliks endotel adalah glikoprotein yang terikat di membran
dan proteoglikan, di sisi luminal dari sel endotel, berhubungan dengan beberapa
glikosaminoglikan (mukopolisakarida) yang berkontribusi dalam volume lapisan
(Gambar 1).26

3
Lapisan glikokaliks endotel adalah lapisan aktif antara darah dengan dinding
kapiler.27 Visualisasi lapisan glikokaliks endotel sesungguhnya sangat dibutuhkan
dan berguna dalam membantu mengetahui fisiologi tubuh.28 29
Penelitian dengan dilusi indosianin pada pasien yang mendapatkan terapi
cairan koloid dosis besar, didapatkan jumlah lapisan glikokaliks endotel sebanyak
700 ml,30 area permukaan endotel sebesar 350 m2, dan rata-rata ketebalan lapisan
glikokaliks endotel adalah 2μm. Cairan di antara lapisan glikokaliks endotel
adalah bagian yang tidak bersirkulasi dari cairan intravaskuler dengan gradien
konsentrasi protein di antara plasma yang bergerak bebas dan celah intersel
endotel. Lapisan glikokaliks endotel lebih tipis ketika melapisi mikrosirkulasi
(hingga 0.2 μm) dan lebih tebal di pembuluh darah besar (hingga 8 μm). 29 Lapisan
glikokaliks endotel bersifat semipermeable terhadap makromolekul anion seperti
albumin dan protein plasma lain yang ukuran dan strukturnya mampu menembus
lapisan.32 Lapisan glikokaliks endotel yang sehat impermeabel terhadap dekstran
sebesar 70 kDa atau lebih, dan batas plasma glikokaliks dapat divisualisasikan
sebagai bagian dari ruangan intravaskuler yang menolak molekul sebesar
dekstran, contohnya adalah sel eritrosit.32-34 Ketebalan lapisan glikokaliks endotel
dapat diukur dari jaringan sublingual pasien, dengan menggunakan pencitraan

4
polarisasi spectrum, tidak berbeda jauh dengan pengukuran dengan metode
dilusi.36
Dengan menyingkirkan glikosaminoglikan dan memperkirakan reduksi
volume (kompaksi) lapisan glikokaliks endotel, molekul mayor termasuk heparin
sulfat, kondroitin sulfat, dan asam hialuronat. 33 37
Kompaksi lapisan glikokaliks
endotel dan peningkatan heparin,38 39
asam hialuronat,40 atau kondroitin41 pada
plasma adalah penanda cedera pada glikokaliks seperti sobek, bocor, dan
fragmentasi (gambar 1). Infus kristaloid cepat menyebabkan peningkatan level
asam hialuronat plasma.42 43
Peningkatan konsentrasi glikosaminoglikan plasma
menurunkan aktivitas antibakteri plasma dan hal ini ditemukan pada pasien syok
sepsis.44 Volume lapisan glikokaliks endotel berkurang lebih dari 1 liter pada
pasien diabetes40 atau hiperglikemi akut.35 Molekul lain dari endotel dan plasma
yang berperan dalam proses inflamasi dan koagulasi juga ditemukan di lapisan
glikokaliks endotel. Proteoglikan adalah komponen mayor lapisan glikokaliks
endotel yang meningkat pada plasma saat lapisan glikokaliks endotel mengalami
cedera.38 45-47
Lapisan glikokaliks endotel mengalami gangguan jika ada inflamasi
sistemik, seperti diabetes,40 hiperglikemi,35 pasien menjalani operasi,38 trauma,47
dan sepsis.45 Mediator inflamasi yang terlibat adalah protein C reaktif, 48 simulasi
reseptor adenosine A3,49 TNF,34 bradikinin,51 dan triptase sel mast.52 Terapi untuk
melindungi dan mengembalikan fungsi lapisan glikokaliks endotel sangat penting.
Caranya pasien dapat diberikan N-asetil sistein,35 antitrombin III atau
hidrokortison,53-56 dan anestesi sevoflurane.57-58 Kompaksi volume lapisan
glikokaliks endotel dapat dikembalikan dengan infus glikosaminoglikan,
kondroitin sulfat, dan asam hialuronat.33

Sel endotel vaskuler


Kapiler retikuloendotel jaringan sinusoid (hepar, lien, sumsum tulang)
bersifat fagoendositik (gambar 2). Mereka mengekspresikan reseptor ambilan
untuk asam hialuronat, dan mencegah pengembangan lapisan glikokaliks endotel
secara aktif dengan jalan menyingkirkan glikosaminoglikan. Pada sinusoid hepar,
fenestrasi terbuka adalah satu-satunya jalan masuk untuk makromolekul seperti
kilomikron dan lipoprotein dari plasma ke ruang interstitial. Pori-pori sinusoid
hepar diperkirakan sebesar 180 nm.59 Sintesis albumin proporsional dengan πis,

5
jadi peningkatan protein plasma lain (contohnya protein fase akut) atau tambahan
cairan koloid akan memindahkan albumin ke ruang estravaskuler dan menekan
sintesis albumin.43 60 61
Jaringan sinusoid yang dibatasi kapsul fibrosa memiliki
sangat sedikit kemampuan untuk mengakomodasi ekspansi cairan interstitial.
Penyaringan cairan interstitial bergantung pada gradien tekanan hidrostatik, dan
tidak ada mekanisme untuk melawan filtrasi, maka satu-satunya jalan kembali ke
sirkulasi adalah via cairan limfa. Hepar bertanggungjawab terhadap 50% produksi
cairan limfa tubuh, selain itu juga berperan sebagai tempat utama keluarnya
protein plasma transkapiler dan makromolekul saat fungsi kapiler normal. Pada
pasien syok sepsis hiperdinamik yang diresusitasi cairan, aliran darah hepar
meningkat sekitar 50% dari cardiac output.62

Kapiler glomerulus ginjal mempunyai membran basal yang penuh dan


lapisan glikokaliks endotel, namun semuanya berfenestrasi. Secara anatomis
fenestrasinya sebesar 65 nm namun ukuran efektifnya hanya 15 nm. Ukuran pori
efektif dari penyaringan glomerulus di atas membran basal kapiler terbatas hanya
sekitar 6 nm. Maka dari itu albumin dan molekul yang lebih besar normalnya
tidak tersaring menjadi cairan tubular. Albuminuria dapat menjadi indeks
pengukuran permeabilitas kapiler,63 namun mekanismenya mungkin lebih
kompleks. Fungsi penyaringan protein menjadi tidak normal ketika terjadi
hiperglikemi,65 dan gangguan ginjal yang lain.
Kapiler yang berfenestrasi dengan fungsi spesifik juga terdapat pada
jaringan endokrin dan eksokrin serta pleksus koroid. Kapiler yang berfenestrasi
pada korteks ginjal dan medulla (kapiler peritubular dan vasa recta), mukosa

6
gastrointestinal, dan limfonodus adalah pengecualian untuk prinsip umumnya
yang tidak menyerap cairan.21 Membran basal kapiler-kapiler tersebut
berkesinambungan, diafragmanya berfenestrasi, dan dirangsang oleh faktor
pertumbuhan endotel (endothel growth factor). Ukuran pori-pori yang berada
lebih atasnya bervariasi antara 6-12 nm.69
Kapiler yang tidak berfenestrasi dan tidak bersinusoid memiliki membran
basal dan lapisan glikokaliks endotel yang berkesinambungan. Celah di antara
sambungan sel interendotel menggantikan jalan penyaringan cairan, dan
peningkatan permeabilitas yang terjadi pada proses inflamasi mungkin terjadi
karena hal ini.19 25 59 66
Interpretasi alternatif dari teori pori-pori, yang disebut
dengan model sambungan glikokaliks menyebutkan bahwa ukuran pori baik besar
maupun kecil, adalah fungsi celah antara serat matriks lapisan glikokaliks endotel,
sedangkan area untuk pertukaran cairan adalah fungsi dari panjangnya sambungan
celah antar sel endotel.22 Kapiler otak dan medulla spinalis memiliki sel endotel
yang rapat, pori-porinya hanya 1 nm.59 Sawar darah otak hanya permeable
terhadap molekul larut air yang sangat kecil. Kapiler yang tidak berfenestrasi dan
tidak bersinusoid dari otot, jaringan ikat, dan paru-paru memiliki celah makula
okludens dengan pori-pori efektif sebesar 5 nm, membuatnya permeabel terhadap
molekul sebesar mioglobin. Jaringan yang dapat mengakumulasi jumlah substansi
cairan interstitial setelah terjadi trauma dan sepsis adalah jaringan ikat longgar,
otot, paru-paru, dan mukosa saluran gastrointestinal. Contohnya, cairan paru-paru
ekstra vaskuler dapat mencapai 500-2500ml ketika terjadi edema paru, sedangkan
jaringan ikat longgar dan otot dapat menampung hingga berliter-liter edema
perifer.
Akuaporin dapat ditemukan pada membran sel endotel dan otot. Pori-pori
efektifnya sangat kecil namun berkontribusi dalam filtrasi transvaskuler. Masih
ada kontroversi tentang signifikansi sistem pori-pori besar antarsel untuk
perpindahan protein dari plasma ke cairan interstitial ketika terjadi inflamasi
sistemik. Jika memang benar ukuran pori efektifnya lebih dari 50 nm, peningkatan
jumlah pori besar penting dalam peningkatan Jv inflamasi.21 Sel endotel mungkin
mengalami perubahan fenotip sebagai respon atas tekanan fisik dan kimia yang
menyebabkan disfungsi endotel.22

7
Pemahaman terhadap empat tipe jaringan tubuh dan kapilernya ini
membantu menjelaskan beberapa temuan klinis yang tidak terduga. Pada fase
akut, volume perifer cairan mencapai 6-8 liter, lebih sedikit daripada perkiraan
anatomis volume cairan interstitial. Hal ini karena volume kinetis hanya
memperhitungkan volume yang dapat berkembang dan tidak mengikutsertakan
struktur keras seperti tulang, sumsum tulang, dan kapsul fibrosa dari hepar, lien,
dan ginjal.9 Hal ini menjelaskan juga mengapa larutan garam isotonis adalah
plasma expander yang lebih efisien jika dilihat dari distribusinya yang sampai ke
cairan ekstraseluler. Pada sindrom kebocoran kapiler sistemik, sangat banyak
cairan yang keluar ke jaringan lunak di tungkai sehingga beresiko terjadi sindrom
kompartemen.67
Matriks ekstraseluler dan membran basalis
Glikokaliks adalah penahan matriks fibrosa yang pertama dan utama di
dalam cairan dan terlarut antara plasma dan cairan limfa. Membran basalis adalah
penahan kedua dan matriks ekstraseluler adalah penahan ketiga. 68 Membran
basalis adalah bagian khusus dari matriks ekstraseluler dengan ketebalan 60-100
nm, terdiri dari kolagen tipe IV dan laminin yang melekat erat dengan membran
sel.59 69
Matriks ekstraseluler adalah jaringan kolagen fibril di dalam ruang
interstisial di atas glikoprotein seperti fibronektin dan proteoglikan (molekul
protein dengan rantai glikosaminoglikan di tepinya) dan terdiri dari beberapa
glikosaminoglikan bebas. Toll-like receptor ditemukan di dalam matriks
ekstraseluler dan dipercaya memiliki peran penting pada perkembangan awal
respon inflamasi sistemik70 dan cedera paru.71 Integrins dan reseptornya
memodulasi perpindahan sel melalui matriks ekstraseluler dan memodulasi Pis
dengan merubah susunan kolagen sehingga glikosaminoglikan menjadi terhidrasi.
Reduksi akut Pis yang terjadi ketika inflamasi, meningkatkan perbedaan tekanan
transendothelial sehingga mencetuskan peningkatan Jv 20x lipat lebih besar
daripada penyebab dari kebocoran kapiler yang lain.72 73
Protein Plasma
Protein memiliki peran onkotik pada glikokaliks dan menghambat
perbedaan tekanan osmotik koloid, namun tidak membalikkan Jv. Lapisan
glikokaliks endotel bersifat semipermeabel terhadap molekul albumin, dan
kehadiran albumin di dalam lapisan glikokaliks endotel adalah terkadang berperan

8
sebagai lapisan endothelial. Konsentrasi plasma albumin adalah penentu tekanan
osmotik koloid plasma pada kondisi sehat, namun pada kondisi analbuminemia
kongenital atau hipoalbuminemia yang didapat, protein lain menjadi lebih
penting.61 Molekul albumin terdistribusi dalam cairan ekstraseluler dan
diperkirakan sekitar 40% dari jumlah total albumin tubuh berada di intravaskular.
Pada keadaan inflamasi, proporsi albumin di ruang intravaskular akan berkurang,
sedangkan di ruang ekstravaskular meningkat. Kecepatan pengeluaran albumin
dari transkapiler ke jaringan (trans-capillary escape rate of albumin/TCERA)
adalah indeks dari permeabilitas vaskuler. Harga normal TCERA adalah 5% dari
kadar plasma albumin perjam, namun kadar TCREA ini dapat meningkat dua kali
lipat selama operasi dan mungkin bisa meningkat 20% atau lebih pada kondisi
syok sepsis. Indeks kebocoran gallium-transferin pada paru dapat digunakan
sebagai indeks permeabilitas paru, dan telah ditemukan bahwa kadar plasma
albumin dan kadar plasma transferin berbanding terbalik pada syok sepsis dan
syok non-sepsis seperti pada pasien cedera paru yang dirawat intensif.
Para klinisi menjadikan prinsip Starling sebagai dasar mentransfusi plasma
atau albumin pada resusitasi volume intravaskular. Prinsip Starling yang telah
diperbaharui dengan model glicocaliks menunjukkan bahwa perbedaan
konsentrasi protein transendotel akan mempengaruhi plasma atau albumin setelah
resusitasi, namun tidak adanya aturan resusitasi akan menghalangi manfaat yang
signifikan pada volume intravaskular. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa
observasi klinik berhubungan dengan terapi albumin. Hal tersebut antara lain :
-
Hipoalbumin adalah tanda keparahan penyakit dan prediktor komplikasi
pada pasien yang dioperasi, namun koreksi hipoalbumin tidak
bermanfaat.79-80
-
Pasien dengan acute respiratory distress syndrome/ARDS (skor cedera
paru 2,5 atau lebih) memiliki kadar plasma albumin dan transferin yang
rendah, namun larutan hiperonkotik albumin dengan atau tanpa diuretik
tidak memperbaiki edem paru.
-
Keseimbangan cairan yang negatif dibandingkan dengan perbedaan
tekanan osmotik koloid meningkatkan rasio tekanan oksigen
alveolar:arterial pada pasien ARDS.
-
Pada pasien sepsis dan non-sepsis, koloid menimbulkan peningkatan
drastis pada cardiac output lebih besar daripada larutan garam isotonis,

9
namun tidak berpengaruh pada edem paru maupun pada skor cedera
paru.
Penelitian tentang dilusi eritrosit pada transfusi albumin hiperonkotik
menunjukan penyerapan cairan osmotik dari ekstravaskular ke ruang
kompartemen intravaskular. Pernyataan tersebut tidak dibenarkan karena tidak
adanya keterangan tentang indikator volume intravaskuler seperti Dextran 40.
Peningkatan akut pada tekanan osmotik koloid plasma sirkulasi diharapkan dapat
menarik air dari bagian non sirkulari dari volume intravaskular melalui lapisan
glikokalis endotel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilusi eritrosit yang tidak
memperhitungkan serta volume lapisan glikokalis intravaskular harus
diinterpretasikan ulang dengan teliti.

Pengganti Plasma
Pengganti plasma digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan
tekanan osmotik koloid plasma, meskipun pengganti plasma tersebut juga
menggeser albumin dari sirkulasi. Terlebih lagi, dengan meningkatkan tekanan
osmotik koloid, pengganti plasma tersebut menekan sistesis albumin di hepar.
Pengganti plasma sedikit mempengaruhi lapisan glikokaliks endotel, namun
perannya dalam mendukung fungsi filtrasi glikokaliks tidak lebih besar daripada
albumin. Maka dari itu perlu pemahaman lebih lanjut mengenai peran glikokaliks
terhadap distribusi volume eritrosit yang terjadi pada terapi albumin hiperonkotik,
seperti halnya diperlukan penelitian lanjut tentang cairan pengganti plasma
hiperonkotik.
Pada percobaan pasien normovolemik yang diubah menjadi hipervolemik,
cairan gelatin yang dimodikasi atau hydroxyethyl starch solutions terdistribusi ke
cairan interstitial lebih lambat daripada larutan garam isotonis, seperti yang telah
dijelaskan oleh prinsip Starling yang telah dirperbarui, namun tidak terdapat
perbedaan pada tekanan arteri, urine output, atau kadar hormon ginjal pada
plasma.89 Pengganti plasma diharapkan dapat lebih efektif daripada larutan garam
isotonis untuk keadaan sirkulasi hiperdinamik. Pengganti plasma ini lebih dipilih
untuk mencapai tujuan terapi berupa keadaan hemodinamik. Namun percobaan
volume kinetik telah menunjukkan bahwa klirens larutan garam isotonis dari
ruang kompartemen intravaskuler lebih lambat pada pasien yang dianestesi
dibandingkan pada pasien yang tidak dianestesi, dan telah dibuktikan bahwa

10
larutan garam isotonis bisa digunakan untuk mencapai keadaan hiperdinamik.
Fenomena tersebut dinamakan konteks sensitivitas.
Sebaliknya, percobaan volume kinetik pada pasien yang dibuat mengalami
keadaan euvolemik dengan hydroxyethyl starch menunjukkan bawah derajat
eliminasi yang konstan dari sentral ke cairan di ruang kompartemen perifer tidak
berkurang seperti yang terjadi pada pemberian larutan garam isotonis, namun
meningkat selama pembiusan dibandingkan selama pasien sadar. Peran
sensitivitas ini dalam menurunkan perbedaan tekanan transendothel tidaklah jelas,
namun memang terbukti adanya penurunan filtrasi akibat pemberian kristaloid
pada pasien hipovolemik, dan cairan kristaloid yang diberikan selama proses
vasodilatasi yang dicetuskan oleh obat bius spinal lebih efektif daripada kristaloid
preload. Mean arterial pressure adalah faktor penentu yang penting pada
distribusi larutan garam isotonis dari ruang intravaskular pada pasien selama
anestesi umum atau anestesi regional, jadi semakin rendah tekanannya semakin
lambat pula klirens kristaloid dari sirkulasi.
Salah satu aspek dari terapi albumin yang mungkin dapat bermanfaat pada
pasien sepsis adalah potensinya sebagai anti inflamasi atau sebagai salah satu
regulator sistem imun. Hasil analisis dari data yang telah terpublikasi tidak
menunjukkan bahwa pengganti plasma memiliki manfaat yang sama dengan
albumin, dan juga tidak lebih baik dari larutan garam isotonis.

Penerapan tekanan osmotik koloid


Prinsip Starling menunjukkan peran penting tekanan osmotik koloid dalam
praktek klinik. Namun tidak ada perbedaan tekanan osmotik koloid plasma pada
pasien sepsis dan non-sepsis. Tekanan osmotik koloid juga tidak mempengaruhi
filtrasi transkapiler paru pada pasien edem paru, selain itu juga bukan merupakan
penentu keberhasilan pasien yang diterapi intensif. Penelitian menunjukkan bahwa
infus albumin secara transien meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma lebih
baik dibandingkan hydroxyethyl starch atau larutan garam isotonis, namun
semuanya tidak menyebabkan perbaikan edem perifer atau edem paru. Studi pada
pasien post operasi dengan cedera paru akut menunjukkan bahwa pengganti
plasma memperburuk total thoracic compliance dibandingkan dengan normal
saline, dan tipe cairan yang digunakan untuk terapi cairan tidak berpengaruh
terhadap permeabilitas paru maupun edem. Efek lain dari pengganti plasma atau

11
albumin pada tekanan osmotik koloid terhadap kebocoran plasma disebut paradox
tekanan osmotik koloid (COP paradox).

Penerapan tekanan kapiler


Penelitian Hahn’s menunjukkan bahwa klirens infus garam isotonis jumlah
banyak secara cepat pada pasien sehat dengan nilai P c normal adalah 100
ml/menit. Walaupun hal tersebut tidak berperan pada lapisan glikokaliks endotel,
namun dapat disimpulkan bahwa proses filtrasi plasma ke cairan interstitial (J v)
ditingkatkan oleh Pc supranormal dan perbedaan tekanan transendothelial. Ketika
albumin atau hydroxyethyl starch digunakan untuk meningkatkan volume plasma,
peningkatan Jv membatasi pengaruh koloid dalam meningkatkan volume plasma.
Meskipun begitu, koloid meningkatkan cairan plasma secara terus menerus
dibandingkan kristaloid, mungkin karena tekanan osmotik koloid plasma yang
dipertahankan berlawanan dengan peningkatan Jv.
Ketika albumin atau hydroxyethyl starch digunakan untuk hemodilusi
normovolemik, menjaga Pc dalam keadaan normal, Jv tidak meningkat. Dan
sebagian besar dari volume cairan infus akan tetap berada di ruang intravaskular.
Hahn melaporkan bahwa terjadi peningkatan respon filtrasi dari infus kristaloid ke
koloid, sejalan dengan paradigm yang mengatakan bahwa perbedaan tekanan
transendhotelial supranormal akan meningkatakan Pc sebagai akibat dari
peningkatan Jv. Infus kristaloid cepat pada pasien normovolemik menyebabkan
peningkatan volume cairan intrathorak, pelebaran jalan nafas, dan mencetuskan
hiperventilasi. Peningkatan Pc yang ekstrem dapat merusak lapisan glikokaliks
dan menimbulkan tekanan pada kapiler paru yang dapat berujung pada hemoptisis
dan edem. Penelitian meta analisis menunjukkan bahwa mempertahankan
keseimbangan cairan adalah cara terbaik untuk memperbaiki keadaan pasien.

Perkembangan paradigma fisiologi cairan dan terapi


Ruang intravaskular terdiri dari tiga kompartemen utama (tabel 1). Apabila
kita mendefinisikan volume intravaskular yang teridiri dari sel endothel, kita
dapat memperkirakannya sebagai volume dilusi Dextran 40 dan itulah perkiraan
volume sentral untuk distribusi larutan garam isotonis. Dextran 70 dieksklusi dari
lapisan glikokaliks endotel yang tidak bersirkulasi, dan volume pengencerannya
terdiri dari plasma yang bersirkulasi. Terdapat derajat eksklusi eritrosit dari

12
plasma yang berada pada batasglikokaliks, jadi volume distribusi eritrosit lebih
sedikit dibandingkan volume Dextran 70.
Pemadatan atau kompaksi glikokaliks dapat memberikan dampak yang
signifikan pada keseimbangan total cairan intravaskular dan volume dilusi
eritrosit. Pemadatan volume glikokaliks akibat inflamasi atau infus koloid
hiperosmotik dapat dipertimbangkan pada penelitian dilusi eritrosit di volume
intravaskular.
Reduksi akut dari perbedaan tekanan transedothelial oleh vasokontriksi pre
kapiler, vasodilatasi post kapiler, atau kondisi hipovolemia akan menghasilkan
penyerapan transien dari cairan ke volume plasma, setara dengan 500 ml
autotransfusi pada fisiologi manusia, namun dampaknya hanya beberapa menit
saja.
Proses absorpsi akan beralih ke filtrasi ketika protein masuk ke ruang
subgikokaliks dari cairan interstitial sehingga menurunkan perbedaan tekanan
osmotik koloid yang selanjutnya melawan filtrasi, inilah model glikokaliks. Pada
keadaan akut atau perubahan ekstrem menuju keadaan seimbang, mekanisme
yang sama akan mempertahankan filtrasi meski hanya beberapa milliliter per
menit, dan tidak ada peraturan absorbsi (gambar 4).
Tekanan ketika Jv mendekati nol bergantung pada porositas kapiler, yang
merupakan efek bersih dari dari konduktivitas hidrolik kapiler, area untuk
perpindahan cairan, dan koefisien refleksi dari makromoleul yang menentukan
tekanan osmotik koloid. Bentuk kurva J menggambarkan Jv dan Pc akan bergeser
ke kiri dengan adanya peningkatan porositas kapiler, dengan pergeseran kurva
menjadi garis J. Dibawah J, berbagai macam cairan baik koloid maupun kristaloid
akan dipertahankan dalam ruang intravaskular sampai perbedaan tekanan
transendhotelial mencapai level dimana proses filtrasi dimulai. Model glikokaliks
dan tidak adanya aturan dalam absorpsi menjelaskan mengapa komponen tekanan
osmotik koloid dari plasma atau pengganti plasma menambahkan hanya sedikit
atau tidak sama sekali volume resusitasi ketika perbedaan tekanan transedhotelial
berada dibawah J. Diatas dari J, porositas onkotik meningkatkan derajat inflamasi,
namun πis tidak memiliki efek langsung ke Jv. Jv akan meningkat 10-20x lipat
sebagai respon inflammasi akut, teregulasi secara aktif oleh integrins yang
dicetuskan oleh kolagen fibril di dalam matriks ekstraseluler, menyebabkan
glikosaminoglikan menarik air, dan tidak selalu menyebabkan peningkatan

13
porositas kapiler. Efek dari mekanisme terapi cairan ini, bila ada, masih belum
diketahui. Perubahan kepadatan glikokaliks membebaskan glikosaminoglikan ke
sirkulasi plasma, menyebabkan peningkatan transendothelial protein flux, namun
kepadatan glikokaliks dan peningkatan porositas adalah proses yang berbeda dan
hubungan antara keduanya mungkin tidak sederhana.
Walaupun transfusi makromolekul tidak langsung melewati glikokaliks
yang intak, namun makromolekul tersebut melewati kapiler sinusoid di sumsum
tulang, lien, dan hepar hingga menyerupai keseimbangan makromolekul
interstisial dan akhirny kembali ke sistem vena melalui cairan limfa. Peningkatan
proporsi cardiac output ke jaringan sinusoid akan meningkatkan Jv dan kecepatan
pengeluaran albumin transkapiler. Tidak ada absorpsi signifikan dari cairan
interstitial ke plasma akibat perbedaan tekanan osmotik koloid, jadi terapi koloid
tidak mencegah ataupun memperbaiki edem jaringan.
Sebagai penutup, penelitian tentang resusitasi cairan menuntut kita
memahami prinsip dasar resusitasi cairan. Prinsip Starling yang diperbarui dengan
model glikokaliks adalah salah satu kemajuan. Koloid secara luas digunakan
untuk resusitasi pasien hipovolemia, bertentangan dengan protokol dan guideline
berbasis bukti. Salah satu hal penting dari prinsip Starling yang diperbarui dengan
model glikokaliks adalah persamaan tersebut menjelaskan mengapa albumin atau
pengganti plasma tidak memiliki manfaat dibandingkan dengan larutan garam
isotonis ketika Pc atau perbedaan tekanan transedothelial rendah. πis hanya
memiliki sedikit efek pada Jv terutama pada ruang subglikokaliks. Lapisan
glikokaliks endotel adalah struktur yang rapuh dan terganggu oleh infus cairan
intravena, hiperglikemia akut, pembedahan, dan sepsis. Model glikokaliks
menjelaskan mengapa πsg, πis, dan Jv seimbang satu sama lain, dan fokus pada
proses penyakit atau terapi pengganti plasma yang mungkin dapat mengganggu
rendahnya πsg yang terlindungi. Tidak adanya absorpsi oleh kapiler dan venula,
maka hasil filtrasi cairan kembali ke sirkulasi melalui saluran limfa, maka
menjaga aliran kapiler sangatlah penting. Paradigma baru ini memberikan
penjelasan volume kinetik cairan koloid dan kristaloid pada pasien sadar, pasien
dianestesi, pasien hipotensi, dan terapi cairan yang rasional akan
memperhitungkan efek pada Pc dan perbedaan tekanan transedothelial. Disfungsi
endotel berhubungan dengan peningkatan porositas kapiler yang meningkatkan J v

14
pada semua kondisi Pc, dan semakin rendah Pc menandakan semakin dekat nilai Jv
ke nol. Poin J dapat diperhitungkan ketika berhadapan dengan pasien dengan
inflamasi sistemik atau sepsis. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip Starling yang
diperbarui dengan model glikokaliks dapat dimodifikasi dan diolah sesuai dengan
fisiologi dan bukti-bukti percobaan klinis. Bentuk persamaan yang baru
menguatkan argumen untuk lebih memilih larutan garam isotonis dibandingkan
plasma atau pengganti plasma, namun menyetujui penggunaan rasional dari
koloid untuk pengenceran euvolemik dan hipervolemik. Penggunaan plasma atau
pengganti plasma bertujuan untuk mencapai volume plasma supranormal yang
dapat dipertahankan atau untuk mengurangi edem jaringan yang tidak rasional.

15
Prinsip Starling yang diperbarui
Prinsip Starling asli
dengan model glikokaliks
Volume intravaskuler terdiri dari Volume intravaskuler terdiri atas
elemen plasma dan seluler glikokaliks, plasma, dan eritrosit
Kapiler memisahkan plasma dengan Jaringan sinusoid (sumsum tulang,
konsentrasi plasma tinggi dari cairan lien, hepar) memiliki kapiler yang
interstitial dengan konsentrasi protein tidak berkesinambungan dan cairan
rendah interstitialnya sangat penting dalam
volume plasma.
Kapiler berfenestrasi terbuka
menghasilkan filtrasi glomerulus
ginjal.
Kapiler berfenestrasi dengan
diafragma pada jaringan tertentu dapat
menyerap cairan interstitial ke dalam
plasma.
Lapisan glikokaliks endotel
semipermeable terhadap protein anion
dan konsentrasinta pada celah
interseluler di bawah glikokaliks
sangat rendah.
Hal pentingnya adalah adanya Hal pentingnya adalah perbedaan
perbedaan tekanan transendotel dan tekanan transendotel dan perbedaan
perbedaan tekanan osmotik koloid tekanan osmotik koloid antara plasma
antara plasma dengan interstitial. dengan interstitial. Tekanan osmotik
koloid pada cairan interstitial tidak
memberikan efek langsung pada Jv.

16
Cairan difiltrasi dari akhir arteri Jv lebih rendah daripada prediksi
kapiler dan diabsorpsi dari akhir vena. prinsip Starling, dan rute utama untuk
Sebagian kecil kembali ke sirkulasi kembali ke sirkulasi adalah melalui
sebagai cairan limfa. cairan limfa.
Peningkatan tekanan osmotik koloid Peningkatan tekanan osmotik koloid
plasma meningkatkan absorpsi dan plasma mengurangi Jv namun tidak
menyebabkan perpindahan cairan dari menyebabkan absorpsi
interstitial ke plasma
Pada tekanan kapiler subnormal, Pada tekanan kapiler subnormal, Jv
absorpsi bersih meningkatkan volume nilainya nol. Autotransfusi terjadi akut,
plasma transien, dan terbatas sekitar 500 ml.
Pada tekanan kapiler supranormal, Pada tekanan kapiler supranormal
filtrasi bersih meningkatkan volume ketika perbedaan tekanan osmotik
cairan interstisial koloid maksimal, Jv proporsional
terhadap perbedaan tekanan
transendotel.
Cairan koloid didistribusikan melalui Koloid didistribusikan melalui volume
volume plasma, cairan garam isotonis plasma, cairan garam isotonis melalui
melalui volume ekstraseluler volume intravaskuler.
Pada tekanan kapiler supranormal,
koloid memengaruhi tekanan osmotik
koloid, meningkatkan tekanan kapiler
dan Jv.
Pada tekanan kapiler supranormal,
larutan garam isotonis juga
meningkatkan tekanan kapiler namun
menurunkan tekanan osmotik koloid.
Meningkatkan Jv lebih banyak daripada
koloid.
Pada tekanan kapiler subnormal,
koloid meningkatkan volume plasma,
larutan garam isotonis meningkatkan
volume intravaskuler namun Jv tetap
nol.

17

Anda mungkin juga menyukai