Anda di halaman 1dari 6

PERAN KOLESTIRAMIN DALAM TATALAKSANA DIARE PERSISTEN

PADA ANAK
Pendahuluan
Diare persisten dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan 3
kali lebih tinggi, menyebabkan resiko kematian tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan
diare akut serta merupakan 23%-62% kematian dari seluruh kematian karena diare.1
WHO CDC program tahun 1991 melaporkan kejadian diare persisten di Indonesia
pada bayi sekitar 4%. Estimasi dari WHO dan UNICEF tahun 1991 mengatakan bahwa diare
persisten merupakan 10% dari kejadian diare dengan kematian 35% pada anak dibawah 5
tahun.2
Diare dibagi menjadi diare akut dan diare kronis atau diare persisten, dimana
dikatakan diare akut jika diare berlangsung kurang dari 14 hari, sementara diare kronis atau
persisten jika diare berlangsung lebih dari 14 hari. Dikatakan diare kronis jika dasar etiologi
non-infeksi dan diare persisten jika dasar etiologi infeksi saluran cerna. 3 Diare persisten dapat
terjadi karena gabungan dari berbagai faktor yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Awal terjadinya diare persisten adalah adanya kerusakan mukosa usus yang berkelanjutan.
Penyebab diare persisten sangan kompleks dan merupakan gabungan banyak faktor yang
saling berkaitan dan saling mempengaruhi.1
Kolestiramin suatu resin pengganti anion yang bersifat asam kuat dan mengikat asam
empedu, merupakan obat pilihan untuk pengobatan diare yang disebabkan oleh malabsorbsi
garam empedu. Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama
malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk menjelaskan secara ringkas mengenai
diare persisten, patofisiologi dan patogenesis diare persisten serta peran kolestiramin
dalam tatalaksana diare persisten pada anak.
Patofisiologi dan patogenesis diare persisten
Progresivitas diare akut menjadi persisten akibat interaksi kompleks beberapa mekanisme
patofisiologi yang mempengaruhi status nutrisi. Di antaranya bakteri tumbuh lampau akibat
kolonisasi usus halus oleh mikroflora dapat memberikan dampak yang besar. Fenomena
patofisiologi tersebut, yang erat hubungannya dengan bakter anaerob seperti Veillonella dan
spesies Bacteroides, merupakan predisposisi terjadinya kerusakan usus.5
Perubahan patologik yang terjadi akibat kemampuan bakteri anaerob menginduksi
dekonyugasi dan 7-dehidroksilasi dari asam empedu primer kolat dan asam kenodeoksikolat, mengkonversinya menjadi asam empedu sekunder (deoksikolat dan asam
litokolat), yang menyebabkan kerusakan mukosa jejunum, Jika terjadi di lumen usus halus,
asam empedu sekunder yang tidak terkonyugasi akan menginduksi sekresi natrium dan air;
serta malabsorbsi glukosa; dan dapat menyebabkan kerusakan barier permeabilitas usus halus

yang selanjutnya akan memfasilitasi masuknya makromolekul yang berpotensi menyebabkan


alergi. Selain itu adanya garam empedu sekunder dan tidak terkonyugasi di usus halus akan
mencegah terbentuknya campuran micelles yang memegang peran penting pada solubilisasi
lemak pada diet. Hal ini akan berakibat berkurangnya fungsi digesti dan malabsorbsi lemak,
menyebabkan steatorea. Selanjutnya akan terjadi malabsorbsi makromolekul dan
mikronutrien, serta peningkatan permeabilitas usus terhadap bakteri antigen/protein asing.
Pasien akan mengalami komplikasi klinis, seperti alergi terhadap protein dalam diet atau
intoleransi terhadap beberapa makanan, terutama laktosa bahkan terhadap monosakarida.
Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan usus lebih lanjut dan lingkaran setan antara diare,
malabsorbsi, dan malnutrisi energi-protein (MEP). Hal tersebut merupakan gambaran
kegagalan perbaikan mukosa jejunum dan defisensi mikronutrien spesifik.5
Salah satu akibat malabsorbsi nutrien akan terjadi peningkatan volume tinja yang
dapat menyebabkan balans zinc negatif. Zinc sangat dibutuhkan untuk menjaga integritas dan
fungsi status imunitas tubuh. Hal tersebut terjadi melalui mekanisme limfo-proliferatif dan
efek anti-oksidan. Efek anti-oksidan tersebut akan meningkatkan mekanisme protektif tubuh
dan dikombinasikan dengan peningkatan pembelahan sel, maka zinc akan berperan pada
perbaikan kerusakan jaringan dan penyembuhan luka. Defisiensi zinc akan menyebabkan
penurunan percepatan tumbuh, perbaikan jaringan dan imunokompeten pada anak.5
Mekanisme diare kronik bergantung kepada penyakit dasarnya. Patofisiologi diare
kronis/persisten dibagi menjadi 5 mekanisme, yaitu6 :
1. Diare sekretorik
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan
sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare karena
peningkatan isi lumen usus
2. Diare osmotik
Diare osmotik disebabkan meningkatnya osmolaritas intraluminal misalnya absorbsi larutan
dalam lumen kolon yang buruk. Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan teknan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air
dan elektrolit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
3. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
Dalam keadaan normal, usus halus anak adalah relatif steril. Bakteri tumbuh lampau dapat
terjadi pada setiap kondisi yang menimbulkan stasis isi usus. Jumlah bakteri usus dapat
meningkat pada bayi dengan diare non spesifik yang persisten dan dengan intoleransi
monosakarida sekunder.
Dekonyugasi garam-garam empedu oleh bakteri mengakibatkan pembentukan dihydroxy
bile acids ataupun menurunnya garam-garam empedu terkonyugasi yang menimbulkan
gangguan absorbsi lemak. Lemak dalam diet dikonversi menjadi hydroxy fatty acids oleh
flora kolon (dan mungkin oleh flora usus halus yang abnormal). Kedua dihidroxy bile
acids dan hydroxy fatty acids merupakan well estabilished colonic secretagogues dan
menyebabkan diare. Adanya asam-asam empedu bebas dalam lumen jejunummempunyai

efek negatif terhadap absorpsi monosakarida. Reseksi distal ileum menyebabkan keluarnya
asam-asam empedu dekonjugasi menuju kolon, dimana dekonjugasi bakteri menginduksi
pembentukan diarrheogenic dihydroxy bile acids atau yang disebut juga oleh beberapa
penulis dengan cholerrhoeic diarrhoea.
4. Kerusakan mukosa
Berkurangnya

permukaan

mukosa

atau

kerusakan

permukaan

mukosa

dapat

mengakibatkan terganggunya permeabilitas air dan elektrolit. Pada celiac sprue terdapat
hilangnya daerah permukaan dan menurunnya effective pore size mukosa jejunum yang
nyata. Kerusakan epitel usus halus yang difus terjadi pada kebanyakan tipe enteritis karena
infeksi, penyakit Crohn dan pada penyakit penyakit kolon seperti kolitis ulseretiva, kolitis
granulomatosa dan kolitis infeksiosa.
5. Motilitas dan transit abnormal
Kelainan motilitas usus menyebabkan gangguan digesti dan/atau absorpsi. Berkurangnya
motilitas memudahkan terjadinya stasis dan bakteri tumbuh lampau, sedangkan kenaikan
motilitas akan mengakibatkan transit nutrisi yang cepat di usus dan menimbulkan kontak
lama dengan mukosa yang inadekuat. Berkurangnya motilitas usus terdapat pada diabetes
dan skleroderma. Motilitas usus yang bertambah berhubungan dengan isi usus yang
meninggi

(seperti

pada

terdapatnya circulating

diare

humoral

osmotik),

inflamasi

agents (seperti

usus

prostaglandin

dan
dan

keadaan-keadaan
serotonin)

yang

meningkat secara aktif. Pada short bowel syndrome (sering pasca-bedah), terdapat daerah
permukaan absorpsi yang inadekuat dikombinasi dengan transit cepat yang akan
mengakibatkan diare. Hipersekresi lambung pada transient hypergastrinemia juga dapat
menghasilkan diare segera sesudah operasi. Bayi dengan usus halus kurang dari 40 cm
jarang dapat hidup, terutama bila valvula ileosekal direseksi.
6. Sindrom diare intractable
Kebanyakan

bayi

dengan severe, protracted

diarrhoea akan

menunjukkan

perubahan mukosa usus halus berupa atrofi vilus, Kehilangan nutrien yang melanjut dan
masuknya kalori yang inadekuat mengakibatkan deplesi protein yang bermakna dan
malnutrisi. Pada terjadinya deplesi protein, regenerasi morfologik dan fungsional usus halus
akan terganggu, ini menimbulkan malabsorpsi yang menyeluruh dan diare yang terus
menerus, dan terjadilah lingkaran setan.
7. Mekanisme lain
Defisiensi seng (Zn) berhubungan dengan diare kronik seperti pada akrodermatitis
enteropatika.

Mekanisme

diare

pada gastroenteropati

alergik masih

perlu

diselidiki,

walaupun terdapat alasan untuk meduga bahwa mukosa rusak dan fungsi terganggu. Hal ini
sebaiknya dibahas tersendiri pada pembahasan alergi susu sapi atau cow's milk protein
sensitive enteropathy, CMPSE.

Faktor resiko diare persisten


Faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya diare persisten antara lain: umur <12
bulan, berat badan lahir rendah, malnutrisi, defisiensi vitamin A, defisiensi cell mediated

immune, pemberian obat anti diare, pemberian antibiotika, anemia defisiensi besi, riwayat
diare berulang, kuman atau parasit sebagai penyebab, pemberian susu hewan, (umur,
pendidikan dan pengalaman) ibu, adanya penyakit penyerta.1
Meningkatnya risiko diare persisten pada gizi buruk disebabkan gangguan protektif dari host
sendiri seperti hipoklorhidria, gangguan motilitas, sintesis antibodi yang berkurang dan
gangguan imunitas selular sehingga memudahkan kolonisasi bakteri patogen. Pada anak yang
mengalami malnutrisi terdapat penurunan pergantian sel mukosa usus setelah infeksi
sehingga memperlambat penyembuhannya. Pengaruh yang tidak diharapkan dari infeksi
terhadap status nutrisi berupa penurunan masukan makanan dan absorbsi saluran cerna,
peningkatan katabolisme dan kehilangan nutrien yang dibutuhkan untuk sintesis jaringan dan
pertumbuhan. Malnutrisi akan mempermudah infeksi karena pengaruh negatif pada
pertahanan kulit dan mukosa melalui gangguan imun.1
Demam pada anak dengan diare mungkin disebabkan infeksi lain seperti infeksi
saluran kemih, pneumonia, otitis media, dan sepsis. Diare persisten sering berhubungan atau
bersamaan dengan intoleransi laktosa atau protein susu sapi, akan tetapi angka kejadian
sebenarnya tidak diketahui. Kedua keadaan ini terjadi sekunder terhadap kerusakan mukosa
karena infeksi, malnutrisi atau reaksi alergi susu sapi atau protein lain.2
Diare kronik dan penurunan berat badan merupakan komplikasi umum yang terjadi
pada infeksi HIV. Hal ini bisa karena komplikasi HIV yaitu infeksi oleh salah satu atau lebih
mikroba patogen (opportunistic enteric infection) dan gangguan arsitektur saluran cerna
sekunder karena infeksi HIV secara lokal (HIV enteropathy).2
Kolestiramin
Kolestiramin adalah garam klorida dari basic anion exchange resin yang berbau dan
memiliki rasa yang tidak enak. Kolestiramin bersifat hidrofilik, tetapi tidak larut dalam air,
tidak dicerna oleh enzim digestif dan tidak diabsorpsi oleh mukosa intestinal. Obat ini relatif
aman digunakan pada anak.7,8
Kolestiramin dapat menurunkan kadar kolesterol plasma dengan cara menurunkan
LDL. Resin terutama efektif pada pasien hiperkolesterolemia familial atau poligenik dimana
hanya LDL yang tinggi. Mekanisme kerja kolestiramin yaitu resin menurunkan kadar
kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam saluran cerna, mengganggu sirkulasi
enterohepatik sehingga ekskresi steroid yang bersifat asam dalam tinja meningkat. Obat ini
mempunyai rasa tidak enak seperti pasir. Efek samping tersering ialah mual, muntak dan
konstipasi. Obat ini ditelan sebagai larutan atau dalam sari buah untuk mengurangi iritasi,
bau dan rasa yang mengganggu.7,8
Peran kolestiramin pada diare persisten
Penggunaan kolestiramin sebagai tatalaksana diare telah diketahui sejak lama terutama
selama diare berhubungan dengan malabsorbsi asam empedu. Pada kondisi ini, gagalnya
absorbsi garam empedu di ileum distal menyebabkan diare kronik, meningkatkan motilitas
kolon, meningkatkan sekresi mukus dan kerusakan sel epitel di intestinal.9
Malabsorbsi asam empedu dibagi kedalam 3 tipe berdasarkan etiologi9 :

1. Tipe 1, paling sering dijumpai, berhubungan dengan disfungsi ileum, berhubungan dengan
penyakit Crohn atau reseksi ileal.
2. Tipe 2, berhubungan dengan malabsorbsi asam empedu idiopatik
3. Tipe 3, berhubungan dengan kondisi lain, seperti kolesistektomi, vagotomi, penyakit seliak,
dan bakteri tumbuh lampau.
Kolestiramin sangat aktif dalam mengendalikan diare untuk tipe 2, yaitu malabsorbsi
asam

empedu

idiopatik,

dimana

karena ketidakmampuan enterocyte untuk mensintesis


dalam downregulation yang mensintesis
empedu

melebar dan peningkatan

sehingga menyebabkan

diare.

asam
refluks

Keadaan

ini,

pada
protein

empedu di hati,
asam

kondisi

FGF19,terlibat

menyebabkan kandung

empedu

kolestiramin efektif

jumlah dan intensitas evakuasi harian asam empedu.

ini

ke

dalam

dalam

usus

mengurangi

Kolestiramin efektif mengontrol diare yang berhubungan dengan diare yang


diakibatkan radiasi. Penggunaan kolestiramin juga bermanfaat pada diare kronik karena
infeksi usus karena bakteri karena kemampuannya dalam mengikat endotoksin. Dari sebuah
laporan kasus, didapatkan respon yang baik pada kasus diare intractable pada 7 anak usia
4 sampai 24 minggu disertai pemberian antibiotik ampisilin dan kanamisin dengan dosis
kolestiramin 4 sampai 8 gram per hari.10 Studi lain juga memberikan respons yang baik
kasus diare persisten pada anak dengan kombinasi kolestiramin dengan gentamisin dan
metronidazol.11,12,13
Ringkasan
Diare persisten dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan 3
kali lebih tinggi, menyebabkan resiko kematian tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan
diare akut. Awal terjadinya diare persisten adalah adanya kerusakan mukosa usus yang
berkelanjutan. Penyebab diare persisten sangan kompleks dan merupakan gabungan
banyak faktor yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Penggunaan kolestiramin
bermanfaat pada diare kronik karena infeksi usus karena bakteri karena kemampuannya
dalam mengikat endotoksin, respon yang baik pada kasus diare intractable dan respons
yang baik kasus diare persisten pada anak dengan kombinasi kolestiramin dengan
gentamisin dan metronidazol.
Daftar Pustaka
1. Putra IS, Firmansyah A, Hegar B, Boediarso AD, Kadim M, Alatas FS. Faktor resiko diare
persisten pada pasien yang dirawat di departemen ilmu kesehatan anak RSCM Jakarta. Sari
Pediatri 2008;10:42-6
2. Putra DS, Kadim M, Hegar B, Boediharso A, Firmansyah A. Diare persisten: Karakteristik
pasien, klinis, laboratorium dan penyakit penyerta. Sari Pediatri 2008;10:94-9

3. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Juffrie M, Soenarto Y, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, Penyunting. Dalam: Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi. IDAI.
2010.
4. Willie R. Clinical manifestation of gastrointestinal disease. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia:
Saunders; 2011. h.1588-600.
5. Dwipoerwantoro PG. Tatalaksana diare persisten pada anak. Dalam: Update Management
of Infectious Disease and Gastrointestinal disorders. FKUI. Jakarta 2012.
6. Suharyono. Diare kronik. Dalam: Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta 1988.
7. Gunawan

S.

Farmakologi

dan

Terapi.

Ed

5. Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia. Jakarta 2007.h:382-383


8. Thompson WG. Cholestyramine. CMA Journal 1971;104:305-9
9. Scaldaferri F, Pizzferrato M, Ponziani FR, Gasbarrani G, Gasbarrani A. Use and indication of
cholestyramine and bile acid sequestrants. Intern Emerg Med 2011;8:205-10
10. Tamer MA, Santora TR, Sandberd DH. Cholestyramine Therapy for intractable Diarrhea.
Pediatrics 1974;53:217
11. Hill ID, Mann MD, Bowie MD, Successful management of persistent diarrhoea in infants. S
Af Med J 1980;58:12-3.
12. Hill ID, Mann MD, Moore L, Bowie MD. Duodenal microflora in infants with acute and
persistent diarrhoea. Archives of Disease in Childhood, 1983;58:330-4.

Anda mungkin juga menyukai