Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEUKOPLAKIA

Disusun Oleh:
Emma Ayu Lirani
G99152102
Periode: 30 Oktober – 11 November2017

Pembimbing:
Vita Nirmala Ardanari, drg., Sp.Pros., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
LEUKOPLAKIA

A. Definisi
Leukoplakia adalah lesi prekanker paling sering pada rongga mulut.
Leukoplakia didefinisikan oleh WHO (1997) sebagai " plak putih dari mukosa
oral yang tidak bisa dikaraketristikan sebagai lesi definitif yang lainnya"(Ionina,
2013).
Leukoplakia juga dapat diartikan sebagai gambaran lesi putih pada mukosa
oral yang tidak dapat dihilangkan dengan digosok. Sebagian besar lesi ini timbul
pada lidah, namun bisa juga timbul dibagian lainnya seperti ginggiva, palatum,
mukosa buccal, area alveolar dan bibir bawah (Feller L & Lemmer J, 2012;
Brouns et al., 2013).
B. Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari leukoplakia oral bervariasi pada populasi.
Penelitian meta nalisis pada tahun 2003 menunjukkan bahwa perkiraann
prevalensi global leukoplakia oral sekitar 1.49% - 2.6% dengan prevalensi yang
lebih tinggi secara signifikan ditemui pada pria (Petti et al, 2003). Penelitian selama
10 tahun di India menunjukkan bahwa angka insidensi leukoplakia sebesar 1.1 hingga
2.4 per 1000 laki-laki per tahun, dan 0.2 hingga 1.3 per 1000 wanita per tahun (Arnaud F
dan Farwell D, 2017). Leukoplakia lebih sering ditemukan pada pria, dan
peningkatan prevalensi seiring dengan bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa
prevalensi meningkat terutama pada pria di atas 40 tahun (Napier et al, 2008).
C. Etiopatogenesis
Etiologi leukoplakia sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi
beberapa studi menjelaskan bebarapa faktor predisposisi untuk terjadinya
leukoplakia meliputi (Caldeira et al., 2011; Brzak, 2012):
1. Faktor lokal
Faktor lokal biasanya berhubungan dengan iritasi kronis, antara lain:
a. Trauma

1
Trauma dapat merupakan gigitan pada tepi atau akar gigi yang tajam,
iritasi dari gigi yang malposisi, pemakaian protesa yang kurang baik, serta
adanya kebiasaan yang jelek seperti menggigit-gigit jaringan mulut, bukal,
maupun lidah sehingga menyebabkan iritasi kronis pada mulut.
b. Kemikal atau termal
Iritan mekanis lokal dan berbagai iritan kimia akan menimbulkan
hiperkeratosis dengan atau tanpa disertai perubahan displastik. Penggunaan
bahan- bahan kaustik kemungkinan akan menyebabkan terjadinya
leukoplakia dan terjadinya keganasan. Bahan- bahan kaustik tersebut antara
lain alkohol dan temabakau.
Terjadinya iritasi pada rongga mulut tidak hanya karena asap rokok
dan panas yang terjadi pada waktu merokok, akan tetapi dapat juga
disebabkan karena zat- zat didlama tembakau yang ikut terkunyah.
Sedangkan alkohol merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya leukoplakia. Menurut sebuah studi, penggunaan alkohol dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan iritasi mukosa.
c. Faktor lokal yang lain.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah infeksi bakteri,
penyakit periodontal serta higienen mulut yang kurang baik, seperti
kandida yang terdapat dalam preparat histologis, leukoplakia dan sering
dihubungkan dengan leukoplakia noduler.
2. Faktor sistemik
a. Penyakit sistemik
Penyakit sistemik yang dapat menyebabkan pembentukan
leukoplakia adalah sifilis tersier, anemia hidrofenik, dan xerostomia yang
diakibatkan oleh penyakit kelenjar saliva.
b. Bahan- bahan yang diberikan secara sistemik, misalnya alkohol, obat- obat
anti metabolit, serum antilimfosit spesifik yang mampu mempermudah
timbulnya leukoplakia.

2
c. Defisiensi nutrisi
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat meningkatkan metaplasia
dan keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel
mukosa respiratorius.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua
tahap. Yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada tahap
praleukoplakia mulai terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening, translusen,
permukaannya halus dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia
ditandai dengan pelebaran lesi ke arah lateral dan membentuk keratin yang tebal
sehingga warna menjadi lebih putih, berfisura dan permukaan kasar sehingga
mudah membedakannya dengan mukosa sekitarnya. (Patterson, 2007).
D. Patofisiologi
Pasien dengan leukoplakia idiopatik memiliki risiko tinggi berkembang
menjadi kanker. Penelitian oleh Downer, pada sejumlah pasien leukoplakia, 4%-
17% lesi berubah menjadi tumor maligna dalam waktu 20 tahun.
Perubahan patologis primer yang terdapat pada leukoplakia adalah
diferensiasi abnormal dari epitel mukosa dengan ditandai peningkatan aktivitas
keratinisasi pada permukaan selnya yang memproduksi penampakan klinis yang
mukosa yang berwarna putih. Proses ini juga dibersamai dengan perubahan
ketebalan dari jaringan epitelial (Reibel J, 2003).
Dasar molekuler pada perubahan tersebut belum diketahui secara pasti.
Namun, beberapa data penelitian menyebutkan adanya perubahan ekspresi
onkogen/TSG, ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, akumulasi stres
oksidatif dan displasia epitel berperan dalam perubahan yang terjadi pada
leukoplakia (Kawanishi S & Murata M, 2006).

E. Klasifikasi
Leukoplakia dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe klinis yaitu homogen
dan non homogen. Pada tipe homogen berupa lesi putih yang datar dan tipis. Lesi

3
ini dapat terlihat sebagai retakan yang dangkal dengan permukaan yang halus
atau berkerut. Teksturnya konsisten dan biasanya asimptomatik.

Gambar 1. Homogenous Leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)


Sementara leukoplakia non-homogen umumnya simptomatis dan memiliki
beberapa variasi sebagai berikut:
1. Proliferative verrucous leukoplakia (PVL): Hansen et al., menjelaskan PVL
memiliki tingkat transformasi ganas yang tinggi, dimana menurut WHO, PVL
adalah lesi progresif multifokal yang sering ditemukan pada wanita. Daerah
yang sering terkena adalah gingival bawah, lidah dan mukosa bukal
(Warnakulasuriya, 2007).

Gambar 2. Proliferative verrucous leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)


2. Oral erythroleukoplakia (OEL): lesi non-homogen dengan warna campuran
putih dan merah. Ini didefinisikan sebagai tambalan merah yang berapi-api
yang tidak bisa dicirikan seara klinis atau patologis sebagai penyakit definitif

4
lainnya. OEL menunjukkan potensi transformasi ganas yang lebih tinggi
daripada leukoplakia homogen (Warnakulasuriya, 2007)

Gambar 3. Oral erythroleukoplakia (Guilgen et al., 2014)


3. Sublingual keratosis: plak putih lembut di daerah sublingual dengan
permukaan keriput, tidak beraturan namun terdefinisi dengan baik garis besar
dan kadang berbentuk kupu-kupu (Scully et al., 1999)

Gambar 4. Sublingual keratosis (Scully dan Felix, 2005)

4. Candidal leukoplakia (CL): leukoplakia dengan gambaran lesi yang luas, putih
pekat, keras dan kasar pada permukannya (Scully et al., 1994)

5
Gambar 5. Candidal leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)
5. Oral hairy leukoplakia (OHL) atau dikenal sebagai lesi Greenspan : ditandai
dengan bercak putih bergelombang dimana terdapat rambut-rambut yang
tumbuh pada permukaan lesi dan sering terdapat pada lidah. Sering
disebabkan oleh reaktivasi dari Epstein Barr-Virus (Van der Waal et al.,
1997)

Gambar 6. Oral hairy leukoplakia (Cade, 2017)

6
Berdasarkan ukuran lesi, klinis dan tingkatan patologis, WHO merumuskan
klasifikasi leukoplakia sebagai berikut (Warnakulasuriya, 2007):

Tabel 1. Klasifikasi Leukoplakia berdasarkan Ukuran Lesi, Klinis, Tingkat Patologis

Ukuran lesi Klinis Patologis


Lx- ukuran tidak spesifik C1- Homogen Px- Tidaks pesifik
L1- kurang dari 2 cm, P0- Tidak ada dysplasia
C2- Non homogen
single/multiple epitel
L2- 2-4 cm, single/multiple P1- Displasia epitel jelas
L3- lebih dari 4 cm,
single/multiple
Staging Klinis Patologis
Stage 1 L1P0 L1C1
Stage 2 L2P0 L2C1
Stage 3 L3P0 L3C1
Stage 4 L3P1 L3C2

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan
perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan
yang terakhir dengan pemeriksaan biopsi (Thomson PJ & Hamadah O, 2007;
Torres-Rendon A et al., 2009).
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum,
kebiasaan sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah sirih
dan menyuntil tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia didominasi oleh usia
lanjut akibat penurunan daya tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi
oleh usia muda akibat konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita
adalah seimbang karena sudah banyak wanita yang merokok.

7
b. Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan
putih keruh. Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang berkembang tidak
teratur. Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal, berwarna
putih, menunjukkan adanya pengerasan, membentuk fisura-fisura dan terakhir
adalah pembentukan ulser.Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen
(kecuali yang didasar mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah,
namun nodular, speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika
mempunyai displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang kemudian
berubah menjadi ganas adalah bentuk verukosa dan bentuk nodular.
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan
diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan
sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama
pada bagian superfisial.Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan
menjadi 5 bagian, yaitu hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis,
diskeratosis atau displasia, carcinoma in situ.
Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan
yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada
tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah
ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan
permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan
terjadinya iritasi.
Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat
timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan
normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut.
Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan
lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai parakeratosis.
Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin, parakeratin, dan

8
hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan
hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat
menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang
ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah.
Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari
lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi
parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari
retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan
stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang
berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat
tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah
tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau
tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun
parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan
jaringan yang ada di atasnya.
Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu
displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara
displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan
adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria
yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya
peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu;
adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum; perubahan
perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas dan
disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau
nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan “giant nuclei”; pembelahan
inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan
karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.

9
Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler.
Mungkin secara kliniscarcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda
dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral
kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia
dan carsinoma in situtidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai
permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari
permukaan sampai dasar.
d. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif
Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan
sitologik eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi keadaan
keganasan sedini mungkin dan merupakan kontrol pada false negatif biopsi
serta menghindari biopsi yang tidak perlu. Faktor yang mempengaruhi
ketepatan pemeriksaan adalah lokasi dan jenis lesi, ketebalan lapisan keratin
atau keadaan hiperkeratotik akan menyebabkan sel-sel yang mengalami
diskeratosis sulit untuk ikut teridentifikasi karena tersembunyi (Amin, 2010).
Diferensial diagnosis
Lesi putih mukosa mulut sering menimbulkan masalahdiagnosis
diferensial, yang sangat penting saat menilai perubahan prekanker di mulut.
Displasia epitel sering terjaditerkait dengan kandidiasis dan diskoid lupus
erythematosus,Tapi lesi ini juga tidak seperti lesi putih lainnyaseperti spons putih
naevus atau morsicatio buccarum, dipertimbangkanmenjadi preneoplastik Semua
lesi putih ini mungkin dapat diidentifikasi dengan jelas, dibedakan, dan dibatasi
sebagai klinis, penyakitentitas penyakit secara klinis, histopatologisdan metode
ultrastruktural, sehingga memudahkan awaldiagnosis, pengobatan dan
pencegahan kemungkinan keganasan.
- Leukoedema
- Liken planus
- Bahan bakar kimiawi
- Morsicatio buccarum (gigitan pipi menggigit)

10
- Candidosis
- Psoriasis
- Lupus eritematosus
- Spons putih nevus (Deliverska dan Petkova, 2017).
G. Terapi
Terapi leukoplakia oral terbagi atas dua, yaitu terapi non-bedah dan terapi
bedah.
1. Terapi Non-Bedah
Terapi non bedah dipilih pada pasien dengan lesi yang luas, dengan
riwayat masalah kesehetan yang beresiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan, atau pada pasien yang menolak dilakukan tindakan pembedahan.
Terapi non bedah antar lain: farmakologis (bleomycin, asam retinoat,
karotenoid), cryotherapy, terapi fotodinamik (Arruda JAA et al., 2016).
Pengobatan konservatif mencakup penggunaan kemopreventif agen
seperti vitamin (vitamin A, C, E), (vitamin A analog), karotenoid (beta-
karoten,lycopene), bleomycin, protease inhibitor, antiinflamasi obat-obatan,
teh hijau, curcuma. Komopreventif dapat didefinisikan sebagai penggunaan
agen kimia alami atau sintetis yang spesifik untuk membalik, menekan,atau
mencegah karsinogenesis sebelum berkembang menjadi keganasan sehingga
mengurangi morbiditas dan mortalitas (Deliverska dan Petkova, 2017).
2. Terapi Bedah
Terapi bedah pada leukoplakia dilakukan untuk mencegah
perkembangan yang menuju ke arah kanker sel skuamosa. Namun, reseksi ini
tidak berhubungan dengan prevensi terhadap rekurensi. Transformasi maligna
dipengaruhi oleh tingkat keparahan displasia pada sel epitel. Derajat displasia
yang sedang hingga berat dapat menjadi indikasi dilakukannya tindakan
pembedahan, sedangkan derajat displasia ringan dapat diberi tindakan
alternatif yakni menggunakan laser CO2 dengan ablasi atau vaporisasi
terhadap lesi (Kuribayashi et al., 2012).

11
Leukoplakia berpotensi untuk menjadi keganasan, ketika menghadapi
dua atau tiga lesi, pilihan terapi adalah pembedahan. Pada leukoplakia
multipel atau berukuran besar, pembedahan menjadi tidak praktis karena akan
mengakibatkan deformitas yang tidak dapat diterima atau disabilitas
fungsional. Terapi dapat berupa pembedahan cryo (cryosurgery), pembedahan
laser (laser surgery) atau menggunakan bloemycin topikal. Akan tetapi, pada
30% kasus yang ditangani, leukoplakia dapat terjadi kembali dan terapi tidak
dapat menghentikan beberapa leukoplakia berubah menjadi squamous cell
carcinoma (Holmstrup et al., 2006; Bagan et al., 2003).
H. Prognosis
Prognosis leukoplakia sangat bagus dan deformitas akibat operasi juga bisa
diminimalkan bila penyakit ditemukan pada stadium awal. Apabila permukaan
jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis menunjukkan hiperkeratosis
ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah menunjukkan proses
diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka prognosisnya kurang
menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah menjadi suatu keganasan
(Mayoclinic, 2004).

12
13

Anda mungkin juga menyukai