Walaupun telah terdapat banyak penelitian klinis dan pre-klinis selama beberapa
dekade masih banyak yang tidak diketahui mengenai efektifitas dari berbagai cairan
resusitasi dalam kegunaan ekspansi volume pada berbagai jenis penyakit, khususnya
untuk yang sakit kritis. Beberapa kemunculan konsep baru dalam permeabilitas
vaskuler menjanjikan perubahan pada cara pandang kita dalam pendekatan resusitasi
cairan dan pada ujungnya meningkatnya efektifitas. Hal utama dalam beberapa
konsep baru ini adalah endothelial glycocalyx, yang terdaat pada sepanjang dinding
lumen dari endotel vaskuler. Pengetahuan akan endothelial glycocalyx telah
menyebabkan adanya revisi pada prinsip Starling klasik menjadi prinsip baru yang
bisa lebih menjelaskan pergerakan cairan melalui dinding endotel.
Model baru dari permeabilitas endotel ini bisa menjelaskan perbedaan rasio yang
diprediksi (1:3-1:5) dibandingkan dengan yang terlihat (kurang lebih 1:1.3-1:1.4) dari
cairan koloidn dan kristaloid yang dibutuhkan unuk mencapai titik akhir hemodinamia
yang serupa dalam uji klinis. Hal ini juga menjelaskan kenapa infusi dari cairan
koloid yang bersifat iso-onkotik tidak akan menghilangkan edema interstisial uang
sudah ada, dan dalam eberapa situais bahkan menyebabkan ekspansi volume yang
lebih rendah dan edema jaringa yang lebih bwsar dibandingkan dengan kristaloid
pada pasien yang kritis. Efek ekspansi volume dari cairan infusi jua berbeda
tergantung dari laju infusi, derajat vasokonstriksi, integritas dari endothelial
glycocalyx, dan status volume. Karena hal ini, efektifitas dari resusitasi cairan sangat
tergantung dari konteks diberikannya cairan tersebut.
Jejas pada endothelial glycocalyx, dinamakan shedding, terjadi pada beberapa
penyakit kritis, termasuk sepsi dan trauma parah, dan derjat dari shedding
diasosiasikan dengan luaran pasien yang buruk. Maka sangat mungkin, walaupun
belum terbukti, bahwa melindungi dan mengembalikan keutuhan endothelial
glycocalyx pada kondisi tersebut akan memperbaiki luaran pasien. Beberapa terapi
farmakologis masih dalam penelitian, namun mereka masih pada fase preklinis dan
perkembangan dan masih belum ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung
kegunaan klinik. Namun, terdapat bukti yang semakin berkembang bahwa cairan
resusitasi yang umum digunakan melindungi dan mengembalikan keutuhan
endothelial glycocalyx dan mengatur permeabilitas endotel, namun saling berbeda
dalam derajat kemampuan mereka untuk melakukan hal tersebut. Degan demikian
menjadi penting ketika memilih cairan resusitasi untuk pasien tertentu, klinisi
mempertimbangkan faktor tambahan untuk aspek onkotik, seperti kemampuan
melindungi dan memperbaiki endothelial glycocalyx.
ENDOTHELIAL GLYCOCALYX
Endothelial glycocalyx terdiri dari bangunan jaring-jaring proteoglikan, paling banyak
sindekan yang terikat transmembran dan glipikan yang terkat membran. Terikat pada
da jenis proteoglikan di atas adalah lima jenis rantai samping glikosoamimoglikan,
paling banyak heparan sulfate, diikuti dengan chondoritin sulfate dan hylarunan.
Glikoprotein juga terikat pada endotel. Glikoprotein ini bervariasi dalam fungsi dan
termasuk d dalamnya molekul untuk adhesi sel, reseptor dalam sinyal interseluler, dan
reseptor yang terlibat dalam fibrinolisis dan koagulasi. Termask di dalam bangunan
jaring-jaring adalah berbagai molekul endotel dan molekul yang larut dalam plasma
dan turunannya (gambar 20.1).
Endothelial glycocalyx adalah regulator kunci dari fungsi endotel. Fungsi yang
paling umum diketahui adalah perannya dalam regulasi permeabilitas vaskuler,
namun endothelial glycocalyx juga memiliki peran integral untuk interaksi dinding
sel-pembuluh, reologi darah, mekanotransduksi, inflamasi, koaulasi dan fibrinolisis.
Struktur yang rapuh dan dimensi kecil dari Endothelial glycocalyx membuatnya silit
untuk dideteksi dan dikuantifikasi. Pada uji coba, Endothelial glycocalyx dapat
divisualisasi secara langsung dengan beberapa teknik termasuk mikroskop elektron,
mikroskop intravital, perbandingan dari volume distribusi dari pelacak permeabel dan
non-permeabel dari Endothelial glycocalyx, mikroskop konvokal, dan pewarnaan
immunohistochemical. Teknik-teknik di atas semuanya merupakan prosedur invasif
dan tidak bisa digunakan untuk pengukuran berulang untuk kegunaan klinis.
Untuk keperluan klinis, deteksi dari produk penguraian endothelial glycocalyx
dalam plasma atau serum telah banyak digunakan dalam konteks penelitian, namun
belum secara rutin tersedian untuk kegunaan klinis, dan makna klinis dari
peningkatannya belum mendapatkan validasi. Yang paling sering diukur adalah
syndecan-1 (SDC-1), struktur penopang utama dari endothelial glycocalyx. Heparan
sulfate, chondroitin sulfate, dan hyaluronan telah digunakan untuk mendeteksi jejas
pada endothelial glycocalyx. Cara alternatif adalah dengan visualisasi dari kamera
side-stream dark field (SDF) atau pendahulunya imaging spektrum polarisasi
orthogonal (OPS) untuk mendeteksi ketebalan endothelial glycocalyx pada lipatan
kuku atau mukosa oral pada konteks penelitian klinis. Kamera ini akang menghitung
estimasi ketebalan endothelial glycocalyx dan kecepatan deformasi pada sel darah
merah dan leukosit yang lewat.
Hilangnya endothelial glycocalyx, atau glyocalyx shedding, umumnya terjadi
pada beberapa pasien termasuk pasien trauma dan sepsis, dan telah dikaitkan dengan
luaran pasien yang buruk. Namun, belum jelas apakah endothelial glycocalyx
shedding hanya merupakan penanda dari buruknya kondisi pasien atau memiliki
kontribusi langsung terhadap luaran yang buruk. Terdapat beberapa kaskade biologis
yang memungkinkan adana efek buruk dari endothelial shedding namun belum ada
uji klinis yang berusaha untuk mengembalikan kutuhan endothelial glycocalyx, dan
pada studi binatang belum ada data luaran setelah restorasi.
Sesuai dengan luasnya spektrum kondisi yang diasosiasikan dengan endothelial
glycocalyx shedding maka terdapat juga spektrum yang luas dari mediator yang
diketahui menyebabkan endothelial shedding. Termasuk di antaranya adalah tumor
necorsis factor (TNF)-alpha, reactive oxygen species (ROS), hepanarase, hipoperfusi,
hiperglikemia, toksin dan growth factorbakteri. Ujung muara dari seluruh mediator
adalah aktivasi protease yang memotong komponen endothelial glycocalyx dari
permukaan sel.
Dimana Jv/A adalah gaya filtrasi keluar untuk area tertentu, L p adalah konduktifitas
hidrolik membra, Pc adalah tekanan hidrostatik lumen, Pi adalah tekanan hidrostatik
interstisial, dan σ adalah koefisien refleksi makromolekul dari membran, πc adalah
tekanan osmotik lumen dan πi adalah tekanan osmotik interstisial. Ketika Starling
pertama mendeskripsikan teorinya pada tahun 1986, mdel ini konsisten dengan data
eksperimental yang tersedia. Namun, dalam beberapa tahun terakhr, teknologi modern
telah memperbolehkan observasi dari beberapa kontradiksi terhadap persamaan
klasik. Secara spesifik, tidak ada reabsorpsi cairan vena, laju transkapiler lebih rendah
dari prediksi, dan konsentrasi protein intersisial hanya memiliki sedikit efek pada
aliran fluida. Masalah di atas telah menyebabkan adanya empat modifikasi utama
pada model starling,dengan endothelial glycocalyx memegang peranan utama pada
modifikasi tersebut.
Ruang sub-glycocalyx
Teori awal dari Starling mengasumsikan bahwa πi secara bermakna jauh lebih rendah
dibandin πc. Hal tersebut tidak benar. Ruang interstisial penuh dengan protein akibat
ekstravasasi dari protein plasma, kemungkinan melalui pori besar yang berada pada
segmen venula dari kapiler, yang berakibat pada πi mendekati πc. Namun penggunaan
persamaan yang ada dengan nilai πi dan πc yang diukur memberikan prediksi yang
lebih tinggi dari junctional proteindan menghasilkan peningkatan pada Lp. Proses ini
bermakna secara fisiologi ketika diperlukannya pemenuhan kebutuhan substrat
metabolik yang meningkat untuk otot skeletal saat aktifitas, namun dalam onteks
pasien yang sakit kritis, dimana pada kebanyakan kasus endothelial glycocalyx telah
mengalami degradasi dengan tingkat shear stress yang rendah masih belum jelas.
Sel endotel memiliki peran penting dalam regulasi L p. Persimpangan yang sempit
dan saling megikat berkontribusi terhadap resistensi hidrolik yang tinggi dari ruang
interseluler. Penguraian dari persimpangan yang ada terhadi sebagai respon terhada
berbagai mediator, seperti vascular endothelial growth factors (VEGF) dan sitokin,
meningkatkan Lp. Selain itu, apoptosis, mitosis, dan jaras transeluler seperti
aquaporin, bisa berkontribusi terhada peningkatan L p tergantung dari sistem vaskuler
dan kondisi patofisiologi yang ada. Jaras trans- dan para-seluler yang memediasi
permeabilitas endotel terhadap fluida, zat terlarut, dan sel pada berbagai penyakit
adalah mekanisme yang kompleks dan belum dimengeri sleuruhnya, dan dibahas pada
bagian lain.
Namun, akibat aturan ‘no absorption’, pada nilai Jv/A yang rendah dan konfdisi
setimbang laju aliran hanya mendekati nol, dan tidak pernah mencapai nol atau
negatif. Hal ini berujung pada kurva asimtotik pada nilai rendah dari Jv/A dan kurva
linear pada nilai tinggi. Woodcock dan Woodcock telah menjelaskan titik perubahan
terjadi sebagai J-point, dan mengemukakan teori bahwa pada kondisi nilai P c dibawah
J-point maka kedua kristaloid dan koloid akan memiliki efek ekspansi volume yang
hampir serupa akibat dari laju filtrasi keduanya hampir nol. Titik potong x, yaitu P c
ketika Jv/A adalah nol (atau lebih teatnya letak titik tersebut apabila kurva linear pada
nilai Jv/A nol), akan mendekati J-pont dan dikemukakan sebagai berikut:
Gambar 20.3 Hubungan antara tekanan hidrostatik lumen kapiler (Pc) dan gaya filtrasi
keluar untuk area tertentu (Jv/A) yang memperlihatkan J-point, yang dibawahnya
kedua kristaloid dan koloid hampir memiliki efek ekspansi volume yang sama. P i
tekanan hidrostatik interstisial, πc tekanan osmotik limen, πi tekanan osmotik
interstisial , πg tekanan osmotik sub-glycocalyx
Pada endothelial glycocalyx yang untuh, πg hampir tidak ada, dan partikel koloid pada
cairan infusi tetap berada pada ruang intravaskuler akibat efek filtrasi dari endothelial
glycocalyx. Hal ini menyebabkan tidak adanya perubahan atau pergesetan ke kanan
dari J-point, laju filtrasi yang rendah, dan bertahannya ekspansi volume plasma dari
cairan infusi. Apakah sebuah koloid memberikan hasil yang lebih baik pada ekspansi
volume ketimbang kristaloid tergantung dari Pc. Apabila Pc berada di baah J-point
maka laju filtrasi hampir nol, baik kristaloid maupun koloid akan memiliki efek
ekspansi volume yang serupa. Apabila Pc berada di atas J-point, maka koloid akan
bertahan lebih lama pada ruang vaskuler dibandingkan kristaloid.
Walaupun tidak ada cara untuk mengukur Pc pada pemeriksaan fisik (terdapat
korelasi rendah antara pengukuran parameter sirkulasi makro seperti tekanan darah
dan sirkulasi mikro), terdapat indikasi bahwa pada sukarelawan yang sehat, J-point
daat memperkirakan nilai Pc pada keadaan normovolemia. Ketia 900 mL dari darah
diambil dari pasien relawan normotensi, volume dari kristaloid yang dibutuhkan
untuk memenuhi normovolemia diperkirakan antara satu dan dua kali dari volume
perdarahan, tergantungd ari laju penggantian. Pada studi dimana kristaloid digunakan
untuk mencapai hipervolemia, sebanyak 17 + 10% ditemukan masih bertahan pada
intravaskuler.
Sebaliknya, bila terdapat jejas pada endothelial glycocalux, J-point bergeser ke
kiri akibat nilai πi yang lebih tinggi dan menggantikan πg dan efektifitas ekpansi
plasma dari semua jenis cairan infusi berkurang (dalam artian bahwa laju filtrasi
keluar akan berada di atas nol pad volume plasma yang rendah). Anehnya, walaupun
tampaknya pada konteks ini (yaitu PC lebih mungkin berada di atas J-point) cairan
koloid akan bertahan lebih lama dibandingkan kristaloid pada ruang intravaskuler, hal
ini belum tentu terjadi karena partikel koloid bebas untuk bergerak ke ruang
interstisial, lebih meningkatkan πi dan memperburuk keadaan pergeseran kiri.
Endothelial glycocalux shedding juga mengurangi σ yang membuat J-point semakin
teantung pada Pi dan tidak tergantung pada perbedaan tekanan osmotik.
Konsep ini telah didemonstrasikan secara eksperimental oleh Jacob et al.
Yangmengukur tekanan perfusi (memperikrakan Pc) dan laju transudat
(memperkirakan Jv/A) secara ex vivo pada jantung babi. Nilai Pc dari J-point yang
diperkirakan setelah infusi kristaloid kira kira adalah sebanyak 10 cm H2O \, dan nilai
in sama baik sebelum dan sesudah degradasi endothelial glycocalyx secara enzimatis
(walaupun perfusat bebas protein kemungkinan menyebabkan endothelial glycocalyx
shedding sebelum degradasi enzimatis). Nilai positif J-point kemungkinan disebabkan
oleh peningkatan Pi dari gerakan fluida menuju ruang interstisial. Setelah infusi
koloid, titik ini bernilai 0 cmH2O pada endotehlial glycocalyx yang utuh, namun
berkurang menjadi -12 cmH2O setelah degradasi enzimatis. Ruang interstisial dapat
dikataan ‘menyedot’ cairan dari dalam ruang intravaskuler. Nilai J-point yang negatif
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan dari πi dari gerakan partikel koloid
menuju ruang interstisial. Dalm studi yang serupa terdapat tingkat edema jaringan
yang serupa setelah infusi koloid dibandingkan dengan kristaloid melalui pembuluh
yang tidak lagi memiliki endothelia glycocalyx. Dalam studi lain, peningkayan dari πi
menyebabkan peningkatan dari laju filtrasi infusi cairan selanjutnya.
Albumin
Kondisi rendah protein telah lama dikenali sebagai kondisi yang menyebabkan
penguraian cepat atau shedding dari endothelial glycocalyx. Fenomena ini tidak
tergantung dari efek pada tekanan osmotik, karena untuk tekanan osmotik
intravaskuler yang sama, plasma dan albumin lebih efektif dibanding dengan koloid
semisintetik seperti pati hidroksietil dalam mempertahankan dan mengembalikan
endothelial glycocalyx, mengurangi permeabilitas vaskuler, dan mengurangi adhesi
dari platelet da leukosit pada studi pre-klinis. Mekanisme dari ‘efek penyegel’ yang
lebih baik pada albumin dan plasma masih belum jelas dan telah dinamakan ‘paradoks
tekanan osmotik koloid’.
Pada awalnya, diperkirakan bahwa menambahkan solusi bebas protein secara
perfusi kepada endotel menyebabkan kolapsnya endothelial glycocalyx akibat
hanyutnya protein yan terintegrasi. Namun pewarnaan immunohistochemical dan
mikroskop elektron telah menunukkan bahwa kondisi rendah protein menciptakan
tidak adanya, dbandngkan dengan kolapsnya endothelial glycocalyx. Hal ini
tampaknya disebabkan oleh pemotongan matriks metalloproteinase (MMP) pada
komponen endothelial glycocalyx dari endotel. Efek protektif dari protein
kemungkinan disebabkan oleh mediasi substansi terikat protein yang menginhibisi
pemotongan MMP dari endothelial glycocalyx, seperti mediator lipid sphingosine 1-
phospate (S1P). Pada ercobaan in vitro, aktivasi dari reseptor S1P1 menjadi inhibisi
pada MMPS, mencegah endothelial glycocalux shedding, dan pada saat yang sama
endothelial glycocalyx dikembalikan melalui mobilisasi dari kumpuln komponen
glycolux intraseluler dengan translokasi yang dimediasi golgi. Sel darah merah,
diikuti dengan platelet, adalah sumber utama S1P pada tubuh. Protein plasma,
terutama lipoprotein dengan densitas tinggi (High density Lipoprotein; HDL) dan
albumin memfasilitasi pelepasan S1P dari sel darah merah. Apakah S1P adalah satu-
satunya mediator yang bertanggungjawab untuk paradoks tekanan osmotik koloid
tidak diketahui, tidak juga diketahui apakah S1P adalah satu-satunya mediator yang
bertanggungjawab untuk paradoks tersebut, demikian halnya dengan penggunaan
agonis pada reseptor S1P1 juga belum diketahui manfaat klinisnya pada endothelial
glycocalyx in vivo.
Masih belum jelas apakah infusi albumin in vivo memiliki efek restorasi
endothelial glycocalyx yang sama seperti yang terlihat pada keadaan in vitro. Uji pada
hewan coba memberikan hasil yang bertentangan. Pada sebuah model perdarahan
pada tikus, dimana plasma beku segar (fresh frozen plasma;FFP) melemahkan
penignkatan permeabilitas vaskuler, albumin manusia hampir tidak memberikan efek
apapun, dimana pada model tikus, albumin mengembalikan ketebalan glycocalyx
sampai 81 + 31% dari keadaan awal, dibandingkan dengan restorasi penuh yang
dicapai oleh FFP, namun masih lebih baik dari 42+21% yang didapatkan dari salin.
Permeabilitas pada studi ini dikembalikan seperti keadaan semula setelah infusi FFP
dan albumin. Terlebih lag, pada uji klinis hanya terdapat manfaat kecil dari
penggunaan albumin sebagai caira resusitasi, walaupun terdapat sedikit bukti bahwa
mungkin terdapat manfaat lebih pada laju filtrasi dibandingkan dengan apa yang dapat
diukur secara idak berbeda dengan πg. Selain itu, modifikasi πi pada uji coba hanya
memberikan dampak kecil pada laju filtrasi.
Perbedaan antara laju filtrasi yang diprediksi dan hasil pengukuran dapat
dijelaskan dengan melakukan revisi pada persamaan Starling dan menggantikan πi
dengan tekanan osmotik pada zona kecil yang bebas protein di antara endothelial
glycocalyx dan sel endotel (gambar 20.2). Sehingga dapat dirumuskan persamaan
berikut :
Dimana πg adalah tekanan osmotik sub-glycocalyx. Ketika tekanan osmotik yang
melawan πc adalah πg dan bukan πi maka perubahan pada πi tidak akan memberikan
efek yang bermakna pada laju filtrasi, seperti yang telah ditemukan pad apengukuran.
Nilai πg hampir tidak berbeda dengan πc sehinga gradien tekanan osmotik mendekati
πc.
Ruang sub-glycocalyx dipertahankan pada keadaan bebas proteon oleh filtrasi
fluida keluar yang konstan sebagaimana dijelaskan pada aturan ‘no absorption’ dan
efek filtrasi plasma protein dari endothelial glycocalyx yang utuh. Hasil filtrasi
kemudian mengalir melalui ruang sub-glycocalux, dan kemudian melalui celah
interseluler lewat celah di antara serabut-serabut persipangan. Karena celah tersebut
sempit, maka kecepatan pada celah tersebut menjadi cepat walaupun pada laju filtrasi
yang rendah, yang mencegah pergerakan protein interstsial kembali pada ruang sub-
glycocalyx.
Platelet
Terdapat bukti yang semakin banyak bahwa transfusi dari platelet dengan cepat
setelah shok hemoragik memperbaiki luaran pasien. Salah satu yang paling baru
adalah sub-studi dari Pragmatic, Randomized Optimal Platelet and Plasma Ratios
(PROPPR) yang menganalisis 261 pasien yang hayna menerima produk darah yang
pertama dibekukan, dan dengan demikan tidak menerima platelet bersama dengan
resusitasi PRBC. Pasien yang menerima platelet secara signifikan memiliki mortalitas
yang lebih rendah pada jam 24 (5.8% vs 16.9%) dan 30 hari (9.5% vs 20.2%).
Walaupun tidak ada batasan mendasar pada sub-studi tersebut, temuan ini konsiste
dengan studi observasional sebelumnya yang menyarankan bahwa peningkatan rasio
plasma dan platelet terhadap PRBC memperbaiki luaran pada pasoen dengan trauma
perdarahan.
Hampir dapat dipastikan bahwa beberapa dari manfaat pada mortalitas dari
transfusi platelet dapat dikaitkan pada hemostasis yang membaik. Namun, mngkin
juga bahwa efek protektif endotel dari platelet juga memegang peran yang
memperbaiki luaran. Platelet melepaskan sitokin dan growth factor yang
mempertahankan keutuhan dari persimpangan interseluler dari endotel dan dengan
dmeikian mempertahankan permeabilitas vaskuler yang rendah. Platelet juga
merupakn sumber dari S1P, sehingga mungkin juga S1P memegang peran yang
penting dalam mempertahankan eprmeabilitas baskuler yang rendah dengan
mempertahankan endothelial glycocalyx; namun efek dari transfusi platelet pada
endothelial glycocalyx secara spesifik belum diteliti.
Mirip dengan plasma dan PRBCs, proses dan kondisi penyimpanan dari platelet
memengaruhi kemampuan mereka mempertahnkan permeabilitas vaskuler. Platelet
yang telah dicuci dan disimpn untuk 5 hari dibandingkan dengan satu hari, memiliki
kurang lebih kadar S1P yang lebih rendah sebanyak 50% dan meningkat
permeabilitas vaskuler baik in vitro dan in vivo. Terdapat juga perbedaan yang
bervariasi antar donor dalam kemampuan platelet yang ditransfusi untk
mempertahnkan permabilitas endotel. Selain itu, platelet uang dicuci dan disimpan
dalan 4 derajat celsius (cold stored), dibandingkan dengan penyimpanan standar pada
suhu ruangan (22 derajat celsius) lebih efektif dalam mempertahankan permeabilitas
endotel baik in vitro dan in vivo.
Kristaloid dan koloid buatan
Kristaloid tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan endothelial glycocalyx,
namun mereka mungkin memiliki efek pada Lp (konduktifitas hidrolik) terutama
melalui efek dari kalsum dan sel endotel. Koloid buatan jua miliki efek protektif dan
restoratif melalui mekanisme yang tidak diketahui, namun mereka tidak lebih baik
dibanding dengan albumin dan FFP dalam aspek ini. Hal ini telah didemonstrasikan
pada in vivo dan ex vivo studi hewan pada cedera endothelial glycocalyx, yang mana
HES sedikit lebih efektif dibanding krstaloid untuk mengembaikan endothelial
glycocalyx dan mengurangi peningkatan terkait dari permeabilitas vaskuler, namun
jauh kurang efektif dibandingkan dengan albumin dan FFP.
Namun, efek protektif dari HES yang terlihat pada studi preklinis tampaknya
tidak bermakna secara klinis. Pada uji klinis dari sepsis dan operasi coronary bypass
graft off-pump, yang mana menyebabkan elevasi pada konsentrasi SDC-1 darah yang
signifikan mengindikasikan endothelial glycocalyx shedding,tidak terdapat perbedaan
pada konsentrasi SDC-1 dalam darah pada pasien yang diresusitasi dengan HES
dibandingkan dengan yang diresusitasi dengan kristaloid. Ditambah lagi, RCT dari
HES pada pasien sakit kritis ditemukan tidak memiiki manfaat ketika menggunakan
HES dibandingkan dengan kristaloid, sebaliknya ditemukan bahwa HES dikaitkan
dengan peningkatan penggunaan produk darah dan terjadinya gagal ginjal akut.
Hanya terdapat sedikit bukti pada efek dari koloid buatan lain pada endothelial
glycocalyx.
KESIMPULAN
Sampai baru-baru ini, keuntungan teoritis dari salah satu jenis cairan resusitasi
dibandingkan yang lain didasarkan pada pengertian permeabilitas vaskuler yang
sudah tidak lagi valid. Flida koloid dianggap lebih baik dibandingkan dengan
kristaloid karena adanya teori akan kemampuan retensi mereka yang lebih baik pada
ruang intravskuler, namun data klinis tidak mendukung ataupun memberikan
dmeostrasi efektifitas yang bermakna pada mortalitas pada pilihan salah satu jenis
cairan dibandingkan dengan yang lain. Observasi ini diklarifikasi pada revisi
persamaan Starling, yang menjelaskan efek ekspansi volume dan pembentukan edema
interstisial yang serupa pada kristaloid dan koloid ketika endothelial glycocalyx hilang
dan tekanan hidrostatis rendah pada pasien kritis, ditambah juga dengan pertimbangan
lain, misalnya efek dari akumulasi koloid pada ruang interstisial. Penelitian lebih
lanjut pada resusitasi cairan akan dibantu oleh pengertain yang telah diperbaharui dari
determinan permeabilitas vaskuler, dan yang mungkin paling menjanjikan adalah
identifikasi dari endothelial glycocalyx sebagai target terapi. Resusitasi cairan dapat
berbeda dalam kemampuan mereka untuk melindungi dan mengembalikan
endothelial glycocalyx. Alaupun FFP telah diidentifikasi sebagai yang paling efektif,
penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menjelaskan mekanisme, dan juga untuk
menentukan apakah perbaikan pada glycocalyx memperbaiki luaran klinis. Strategi
resuistasi cairan yang melindungi dan memperbaiki endothelial glycocalyx mungkin
bisa menjadi strategi yang paling efektif.