Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

ENSEFALITIS DENGAN SEPSIS

PEMBIMBING :

dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A

PENYUSUN :
Sandini yustialaras
030.09.222

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Sandini Yustialaras


Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

1
Periode : Periode 10 Oktober 17 Desember 2016
Judul : Ensefalitis dengan sepsis
Pembimbing : dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Bekasi, Januari 2017

dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul ENSEFALITIS dengan SEPSIS dengan baik dan tepat waktu.

2
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Bekasi Periode
10 Oktober 17 Desember 2016.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus ini, serta kepada dokterdokter pembimbing lain yang telah
membimbing penulis selama di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan anggota Kepaniteraan
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang
sebesarbesarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita
semua.

Bekasi, Januari 2017


Penulis

Sandini Yustialaras

BAB I
PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan


parenkim otak yang disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam
mikroorganisme dan ditandai dengan gejala-gejala umum dan

3
manifestasi neurologis. Penyakit ini dapat ditegakkan secara pasti
dengan pemeriksaan mikroskopik dari biopsi otak, tetapi dalam
prakteknya di klinik, diagnosis ini sering dibuat berdasarkan
manifestasi neurologi, dan temuan epidemiologi, tanpa pemeriksaan
histopatologi. Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja yang
memberikan kesan adanya ensefalitis, tetapi tidak ditemukan
adanya peradangan otak dari pemeriksaan patologi anatomi, maka
keadaan ini disebut sebagai ensefalopati.
Angka kematian untuk ensefalitis masih relatif tinggi berkisar
35-50% dari seluruh penderita.Sedangkan yang sembuh tanpa
kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya
masih mungkin menderita retardasi mental dan masalah tingkah
laku.
Sampai sekarang, sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak. Mortalitas akibat sepsis pada anak masih tinggi di Amerika
Serikat. Pada tahun 1966 mortalitas akibat sepsis sebesar 97%. Pada tahun 1990
mortalitas akibat sepsis sebesar 9%. Penurunan ini ialah karena penggunaan
antimikroba dan intervensi dini pada pasien sepsis. Walau demikian sepsis masih
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak dimana lebih dari 4.300
kematian dalam satu tahun disebabkan oleh sepsis. Di negara-negara berkembang,
sepsis menyebabkan > 6.000.000 kematian pada bayi baru lahir dan balita setiap
tahunnya.1 Sepsis merupakan salah satu masalah pada anak yang penting untuk diatasi
dilihat dari tingkat mortalitasnya yang masih tinggi, terutama di negera-negera
berkembang seperti Indonesia. Belum ada data mengenai prevalensi sepsis secara
khusus di Indonesia. Sepsis yang tidak ditangani dengan baik dapat jatuh kedalam
keadaan syok septik yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Penanganan secara
dini terhadap syok septik dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.

BAB II
LAPORAN KASUS

4
I. Identitas Pasien dan Orangtua
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. M. Ridzki kur Tn. S Ny. A
Umur 10 bulan
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Jl. Hasan No 14 cakung
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa - Jawa Jawa
Pendidikan - SLTA SLTA
Pekerjaan - Wiraswasta IRT
Keterangan Hubungan dengan Ayah kandung Ibu kandung
orang tua : Anak
kandung ke III

II. Anamnesis
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan orang tua pasien pada hari Jumat, 05
Januari 2017 pukul 13.00 WIB di Ruang MELATI.
Keluhan Utama :
Os datang ke IGD Terdekat Rumahnya dengan keluhan Demam tinggi sejak 1
SMRS.
Keluhan Tambahan :
Kejang 1x saat di bawa k IGD.

Riwayat Penyakit Sekarang :


An. R usia 10 bulan datang k IGD terdekat dengan rumahnya pada tanggal 25
desember 2016 dengan keluhan demam tinggi sejak 1 hari SMRS, setelah di IGD
dokter IGD mengatakan bahwa pasien kejang namun orangtua pasien tidak
mengetahui bahwa anaknya sedang kejang, sifat kejang tidak diketahui dan durasi
15 menit , dan terdapat penurunan kesadaran , setelah itu pasien di rawat di PICU
RS al Mutazam selama 10 hari perawatan, selama perawatan demam naik turun,
saat akan di pulangkan pasien demam kembali lalu pasien dirujuk k Ruang PICU
RSUD kota bekasi, dengan alasan rujukan tidak ada spesialis saraf anak dan
penurunan kesadaran.

Riwayat Penyakit Dahulu :

5
Orangtua pasien menyangkal tidak ada sakit yang serupa sebelunya, dan tidak
pernah sakit apapun sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Di keluarga Os tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :

Kehamilan Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan

Antenatal Care Rutin periksa ke dokter

Persalinan Tempat : Rumah Sakit

Penolong : Dokter

Cara persalinan : Sectio Caesaria

Masa gestasi : Cukup bulan

Keadaan bayi : Berat lahir 3800 g

Panjang badan 40 cm

Lingkar kepala tidak ingat

Langsung menangis

Nilai apgar tidak tahu

Tidak ada kelainan


bawaan.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I : 7 bulan


Psikomotor :-
Mengangkat kepala : 4 bulan
Tengkurap : 9 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri :-
Berjalan :-
Bicara : nen

6
Kesan :-

Riwayat Makanan :
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 ASI - - -
2-4 ASI - - -
4-6 ASI - SEREAL -
6-8 ASI - - -
8-10 ASI - - -
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik
Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 0 bulan - - - - -

DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan - - -

CAMPAK 9 bulan - - - - -

HEPATITIS B 0 bulan 2 bulan 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar sejauh ini sudah lengkap.

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal di rumah sendiri. Terdapat dua kamar. Ventilasi cukup baik, cahaya matahari
cukup, air minum dan air mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik

III. Pemeriksaan fisik


Keadaan umum : Tampak sakit berat
Tanda Vital
- Kesadaran : Apatis
- Frekuensi nadi : 134x/menit
- Tekanan darah : Tidak dihitung
- Frekuensi pernapasan : 39x/menit
- Suhu tubuh : 36,8C

7
Data antropometri
- Berat badan : 8 kg
- Panjang badan : 65 cm
- Status gizi : gizi cukup

Status Generalis
KEPALA Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, tidak mudah
dicabut.
Mata : Conjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, pupil isokor,
RCL +/+, RCTL +/+, lakrimasi +/

8
+, ptosis -/-
Telinga : Normotia, serumen -/-
Hidung : Septum deviasi (-),
sekret -/-, nafas cuping hidung -/-
Mulut: Sianosis (-) ,Bibir tampak
kering (-), faring hiperemis
LEHER KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba
membesar
THORAKS
PARU Inspeksi : pergerakan napas cepat,
pergerakan otot bantu pernapasan
(-), retraksi (-).
Palpasi : pergerakan nafas
simetris.
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
+/+, ronkhi +/- wheezing -/- .

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi


ictus cordis.
JANTUNG
Palpasi : Teraba iktus cordis pada
ICS V, 1 cm medial linea
midklavikula kiri
Perkusi : Batas kanan : Sela iga
V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : Sela iga V, 1cm
sebelah medial linea midklavikula
kiri. Batas atas : Sela iga II linea
parasternal kiri.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II
murni reguler, gallop (-), murmur
(-)

9
ABDOMEN Datar , supel , BU (+), turgor kulit baik,
hepar dan lien tidak teraba membesar.
EKSTREMITAS Akral Hangat (+), Oedema (-)

IV. Pemeriksaan Neurologis


1. Tanda Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-
Lasegue :-
Kernig :-
Brudzinski II : -/-
2. Nervus Kranialis
N. I : Tidak valid dinilai
N. II : tidak di lakukan
N. III, N. IV, dan N. VI :
- Kedudukan bola mata : Ortoposisi +/+
- Gerak bola mata : sulit dinilai
- Ptosis : -/-
- Exophtalmus : -/-
- Nystagmus : -/-
- Pupil : Bulat, isokor 3mm/3mm, RCL +/+,
RCTL +/+
N. V
- Cabang motorik : Tidak valid dinilai
- Cabang sensorik
Ophtalmikus : Tidak valid dinilai
Maksilaris : Tidak valid dinilai
Mandibularis : Tidak valid dinilai
N. VII
- Motorik orbitofrontalis : Tidak valid dinilai
- Motorik orbikularis okuli : Tidak valid dinilai
- Lipatan nasolabial : Tidak valid dinilai
- Pengecapan lidah : Tidak dilakukan
N. VIII

10
- Nistagmus : Tidak dilakukan
- Koklearis : Tuli konduktif : Tidak dilakukan
Tuli perseptif : Tidak dilakukan
Tinnitus : Tidak dilakukan
N. IX dan N. X : Arkus faring simetris, uvula ditengah
N. XI
- Mengangkat bahu: Tidak dilakukan
- Menoleh : baik/baik
N. XII
- Pergerakkan lidah : Simetris, tidak ada deviasi
- Atrofi :-
- Fasikulasi :-
- Tremor :-
a. Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal-distal : Bergerak aktif/bergerak aktif
Ekstremitas bawah proksimal-distal : spastis/spastis
b. Gerakan Involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
c. Trofik : Eutrofi +/+
d. Tonus : Normotonus +/+
e. Sistem Sensorik
Propioseptif : Tidak dapat dinilai
Eksterioseptif : Tidak dapat dinilai
f. Fungsi Serebelar
Ataxia : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan
Jari-jari : Tidak dilakukan
Jari-hidung : Tidak dilakukan
Tumit-lutut : Tidak dilakukan
Rebound phenomenon : Tidak dilakukan
g. Fungsi Luhur

11
Astereognosia : Tidak dilakukan
Apraxia : Tidak dilakukan
Afasia : Tidak dapat dinilai
h. Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik

i. Refleks
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bicep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tricep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patella Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achilles Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hoffmann-Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Babinsky - -
Rooting +
Grasp +

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 26/12/2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

HEMATOLOGI
RUTIN 12,9 ribu/L 5,0-10,0
Leukosit 3,27 juta/uL 4-5
Eritrosit 9,1 g/dL 11,0-14,5
Hemoglobin 27,4 % 37-47
Hematokrit 205 ribu/ L 150-400
Trombosit
FUNGSI GINJAL 25,3 mg/dl 20-40
Ureum 0,75 mg/dl 1,5-1,3
Kreatinin

Tanggal 26/10/2016, pukul 06.38 WIB

12
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan

ELEKTROLI
T 138 mmol/L 135-145
Natrium 2,7 mmol/L 3,6-5,5
Kalium 104 mmol/L 94-109
Klorida

FAAL HATI 2,88 g/dl 3.8-5-4


Albumin

Tanggal 31/12/2016
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
RUTIN 10,8 ribu/L 5,0-10,0
Leukosit 2,89 juta/uL 4-5
Eritrosit 8,4 g/dL 11,0-14,5
Hemoglobin 25,2 % 37-47
Hematokrit 329 ribu/ L 150-400
Trombosit
ELEKTROLIT
Natrium 136.7 mmol/L 135-145
Kalium 4.23 mmol/L 3,6-5,5
Klorida 103.2 mmol/L 94-109

Tanggal 03/01/2017
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
RUTIN 16,5 ribu/L 5,0-10,0
Leukosit 3,52 juta/uL 4-5
Eritrosit 10,5 g/dL 11,0-14,5
Hemoglobin 31,3 % 37-47
Hematokrit 500 ribu/ L 150-400
Trombosit

Tanggal 05/01/2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

13
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit 15,0 ribu/L 5,0-10,0
Hemoglobin 9,5 g/dL 11,0-14,5
Hematokrit 30,3 % 37-47
Trombosit 752 ribu/ L 150-400

Tanggal 05/01/2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit 12,7 ribu/L 5,0-10,0
Hemoglobin 7,5 g/dL 11,0-14,5
Hematokrit 24,3 % 37-47
Trombosit 33 ribu/ L 150-400

CT- Scan

14
15
interpretasi :

VI. Resume

16
An, R usia 10 bulan datang ke ruang PICU atas Rujukan dari RS
Almutazam, dengan demam naik turun , kejang 1x dengan durasi 15
menit , disertai penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
pasien tampak sakit berat, dengan kesadaran apatis, konjungtiva anemis
dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit, dan
penurunan hemoglobin dan hematokrit. Dari hasil CT-scan sugestif
ensefalitis di lobus temporal kiri
VII. Diagnosis kerja
Susp Ensefalitis
Sepsis

VIII. Penatalaksanaan
Non medikamentosa :
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai
keadaan pasien
2. Rawat inap di ruang PICU dengan monitor
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Oksigenasi 2-4 liter/menit

Medikamentosa :
1. ivfd tridex 27 A 700cc/24jam
2. inj meropenem 2x350 mg iv
3. inj sanmol 4x 80 mg iv
4. dexametason 3x0,5 mg iv
5. sibital 2x20 mg iv
6. omz 1x10mg iv
7. diet = NGT = 8x10 cc
8. BE 150 cc/hari

IX. Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


04/01/2017 - demam (-) N: 158x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) S: 37.10C Ensefalitis 8x10cc
hari I - kesadaran RR: 50x/menit Sepsis Cairan
menurun (+) intravena:
SPO2 : 100
Mata : CA +/+, SI-/- ivfd tridex 27 A
Thoraks : 700cc/24jam
- Paru : SN vesicular inj meropenem

17
+/+, rh +/-, wh -/- 2x350 mg iv
- jantung : S1S2 reg, inj sanmol 4x
m (-), g (-) 80 mg iv
Abdomen : BU (+) dexametason
supel 3x0,5 mg iv
Ektremitas sibital 2x20 mg
AH iv
+ + omz 1x10mg iv
+ + diet = NGT =
O 8x10 cc
- -
BE 150 cc/hari
- -
spastik Saran : cek DPL,
- - elektrolit, GDS,
+ + Ur/cret
Intake : 505 cc
Output :436,25 cc
Balance : +68,75 cc
Diuresis: 2,47

05/01/2017 - demam (-) N: 149x/menit Susp. Diit: NGT=


Perawatan - Kejang (-) S: 37,60C Ensefalitis 8x10cc
hari II - kesadaran RR: 32x/menit Sepsis Cairan
menurun (+) intravena:
SPO2 : 92 %
Mata : CA +/+, SI-/- ivfd tridex 27 A
Thoraks : 25cc/jam
- Paru : SN vesicular inj meropenem
+/+, rh +/-, wh -/- 2x350 mg iv
- jantung : S1S2 reg, inj sanmol 4x
m (-), g (-) 80 mg iv
Abdomen : BU (+) dexametason
supel 3x0,5 mg iv
Ektremitas sibital 2x20 mg
AH iv
+ + omz 1x10mg iv
+ + BE 150 cc/hari
Urdafalk 2x100
mg
O Aminophilin
- - 3x15 mg
- -
spastik
- -
+ +
Intake : 935 cc
Output :1210 cc
Balance : -275 cc
Diuresis: 5

18
06/01/2017 - demam (-) N: 134x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 36,8 C Ensefalitis 8x10cc
hari III RR: 39x/menit Sepsis Cairan
SPO2 : 98 % intravena:
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
Thoraks : 25cc/jam
- Paru : SN vesicular inj meropenem
+/+, rh +/-, wh -/- 2x350 mg iv
- jantung : S1S2 reg, inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) dexametason
supel 3x0,5 mg iv
Ektremitas sibital 2x20 mg
AH iv
+ + omz 1x10mg iv
+ + BE 150 cc/hari
O Urdafalk 2x100
- - mg
- -
spastik Saran :
- -
+ + - Aminophilin 3x15
mg stop
- pindah ke bangsal
- rencana CT-Scan
kepala.
07/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) S: 37,50C Ensefalitis 8x10cc
hari IV RR: 28x/menit Sepsis Cairan
SPO2 : 98 % intravena:
Mata : CA +/+9, Ivfd tridex 27A
SI-/- 25cc/jam
Thoraks : inj meropenem
- Paru : SN vesicular 2x350 mg iv
+/+, rh +/-, wh -/- inj sanmol 4x
- jantung : S1S2 reg, 80 mg iv
m (-), g (-). dexametason
Abdomen : BU (+) 3x0,5 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + BE 150 cc/hari
+ + Aminophilin
O 3x15 mg
- -

19
- -
spastik
- -
+ +

09/01/2017 - demam (+) N: 140x/menit Susp. Diit: NGT=


Perawatan - Kejang (-) 0
S: 38 C Ensefalitis 8x10cc
hari V RR: 36x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh +/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel dexametason
Ektremitas : 3x0,5 mg iv
AH sibital 2x20 mg
+ + iv
+ + omz 1x10mg iv
O BE 150 cc/hari
- - Aminophilin
- - 3x15 mg
spastik
- - Saran : cek ulang
+ + darah rutin, pro
CT-Scan
turunkan dosis
aminophilin
Amiksin 2x60 mg
Dexametason
stop
10/01/2017 - demam (+) N: 144x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 38 C Ensefalitis 8x20cc
hari VI RR: 32x/menit Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh +/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv

20
AH omz 1x10mg iv
+ + BE 150 cc/hari
+ + Aminophilin
O 2x0,3 mg
- -
Amiksin 2x60
- -
mg
spastik
- - Saran : Diazepam
+ - 3x1,5 mg
11/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,1 C Ensefalitis 8x20cc
hari VII RR: 26x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh +/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 2x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik
- - Saran: minum
+ + naikan jadi 30 cc

12/01/2017 - demam (+) N: 134x/menit Susp. Diit: NGT=


Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,5 C Ensefalitis 8x30cc
hari VIII RR: 28x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh +/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + Aminophilin
+ +

21
O 3x15 mg
- - Amiksin 2x60
- - mg
spastik Aminophilin
- - 2x0,3 mg
+ +
Saran turunkan
dosis aminophilin
13/01/2017 - demam (+) N: 134x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,1 C Ensefalitis 8x30cc
hari IX RR: 32x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh -/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik
- -
+ +
14/01/2017 - demam (+) N: 128x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,1 C Ensefalitis 8x30cc
hari X RR: 26x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh -/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
Amiksin 2x60

22
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg

spastik Saran : kandistatin


- - 3x1cc
+ +
15/01/2017 - demam (+) N: 130x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,5 C Ensefalitis 8x30cc
hari XI RR: 32x/menit Sepsis Cairan
Mata : CA +/+, SI-/- intravena:
Thoraks : Ivfd tridex 27A
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh -/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x80
Abdomen : BU (+) mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
O Amiksin 2x60
- - mg
- - Diazepam 3x1,5
spastik mg
- - kandistatin
+ + 3x1cc
16/01/2017 - demam (+) N: 140x/menit Susp. Diit: NGT=
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 38,1 C Ensefalitis 8x30cc
hari XII - semalam RR: 34x/menit Sepsis Cairan
kesadaran intravena:
Mata : CA +/+, SI-/-
menurun (+) Ivfd tridex 27A
- muntah 1x Thoraks :
- Paru : SN vesicular 25cc/jam
+/+, rh -/-, wh -/- inj meropenem
- jantung : S1S2 reg, 2x350 mg iv
m (-), g (-). inj sanmol 4x
Abdomen : BU (+) 80 mg iv
supel sibital 2x20 mg
Ektremitas : iv
AH omz 1x10mg iv
+ + Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
Amiksin 2x60
mg
O Diazepam
- -

23
- - 3x1,5 mg
kandistatin
spastik 3x1cc
- -
+ + Sarang tranfusi
PRC 80 cc
17/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) 0
S: 37,1 C Ensefalitis Cairan
hari XIII - muntah (-) RR: 28x/menit Sepsis intravena:
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
Thoraks : 25cc/jam
- Paru : SN vesicular inj meropenem
+/+, rh -/-, wh -/- 2x350 mg iv
- jantung : S1S2 reg, inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik
kandistatin
- -
3x1cc
+ +
18/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) S: 37,5 C0 Ensefalitis Cairan
hari XIV - muntah RR: 24x/menit Sepsis intravena:
(3x) Ivfd tridex 27A
Mata : CA +/+, SI-/-
CT-scan : 25cc/jam
Thoraks : Sugestif
- Paru : SN vesicular ensefalitis inj meropenem
+/+, rh -/-, wh -/- 2x350 mg iv
temporal
- jantung : S1S2 reg, kiri inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
kandistatin
spastik

24
- - 3x1cc
+ +
19/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) S: 37,50C Ensefalitis Cairan
hari XV - muntah (-) RR: 24x/menit Sepsis intravena:
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
CT-scan : 25cc/jam
Thoraks : Sugestif
- Paru : SN vesicular inj meropenem
ensefalitis
+/+, rh -/-, wh -/- 2x350 mg iv
temporal
- jantung : S1S2 reg, kiri inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik berkurang
kandistatin
- -
3x1cc
+ +
20/01/2017 - demam (+) N: 134x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) S: 37,60C Ensefalitis Cairan
hari XVI - muntah (-) RR: 24x/menit Sepsis intravena:
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
CT-scan : 25cc/jam
Thoraks : Sugestif
- Paru : SN vesicular inj meropenem
ensefalitis
+/+, rh -/-, wh -/- 2x350 mg iv
temporal
- jantung : S1S2 reg, kiri inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik berkurang
- - kandistatin
+ + 3x1cc
21/01/2017 - demam (-) N: 130x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) S: 37,50C Ensefalitis Cairan
hari XVII - muntah (-) RR: 26x/menit Sepsis intravena:

25
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
Thoraks : CT-scan : 25cc/jam
- Paru : SN vesicular Sugestif inj meropenem
+/+, rh -/-, wh -/- ensefalitis 2x350 mg iv
- jantung : S1S2 reg, temporal inj sanmol 4x
m (-), g (-). kiri 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- -
Diazepam
- -
3x1,5 mg
spastik berkurang
- - kandistatin
+ + 3x1cc
23/01/2017 - demam (-) N: 140x/menit Susp. Puasa
Perawatan - Kejang (-) S: 38,40C Ensefalitis Cairan
hari XVIII - muntah (-) RR: 28x/menit Sepsis intravena:
Mata : CA +/+, SI-/- Ivfd tridex 27A
CT-scan : 25cc/jam
Thoraks : Sugestif
- Paru : SN vesicular inj meropenem
ensefalitis
+/+, rh -/-, wh -/- 2x350 mg iv
temporal
- jantung : S1S2 reg, kiri inj sanmol 4x
m (-), g (-). 80 mg iv
Abdomen : BU (+) sibital 2x20 mg
supel iv
Ektremitas : omz 1x10mg iv
AH Aminophilin
+ + 1x0,3 mg
+ + Amiksin 2x60
O mg
- - Diazepam
- - 3x1,5 mg
spastik berkurang
kandistatin
- -
3x1cc
+ +

26
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ENSEFALITIS

I.DEFINISI
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan oleh
virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan masalah pada
fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinyaerubahan kondisi neurologis anak
termasuk konfusi mental dan kejang. (1,2)
Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer (acute viral ensefalitis) disebabkan
oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan ensefalitis sekunder (post
infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus saat itu.

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan system kekebalan tubuh
manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat keparahan penyakit. Di AS,
terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk: West Nile, Eastern Equine Encephalitis,
Western Equine Encephalitis, La Crosse, dan St. Louis Encephalitis. Tahun 1999, terjadi
wabah virus West Nile (disebarkan oleh nyamuk Culex) di kota New York. Virus terus
menyebar hingga di seluruh AS. Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus viral
ensefalitis pertahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk.
Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia (virus yang
ditularkan oleh nyamuk pengisap darah atau kutu) dan bertanggung jawab untuk 50.000
kasus dan 15.000 kematian per tahun di sebagian besar dari Cina, Asia Tenggara, dan anak
benua India. Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.

III. ETIOLOGI
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria,
protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah
virus. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis terbanyak adalah
Herpes simpleks, arbovirus, Eastern and Western Equine, La Crosse, St. Louis encephalitis.

27
Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (Coxsackie dan Echovirus), parotitis, Lassa virus,
rabies, cytomegalovirus (CMV). [5,6]

Klasifikasi berdasarkan penyebab


1. Ensefalitis supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus,
E.coli dan M.tuberculosa.
Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis Media, mastoiditis,sinusitis,atau
dari piema yang berasal dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasis, empiema,
osteomeylitis cranium, fraktur terbuka,trauma yang menembus ke dalam otak dan
tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema,
kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah yang
meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula
pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis adalah demam, kejang, kesadaran menurun.
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda
meningkatnya tekanan intracranial yaitu nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah,
penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema
papil.Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses.

2. Ensefalitis virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :

Virus RNA Virus DNA

Paramikso virus : virus parotitis, Herpes virus : herpes zoster-


irus morbili varisella, herpes simpleks,
Rabdovirus : virus rabies sitomegalivirus,virus Epstein-barr
Togavirus : virus rubella flavivirus Poxvirus : variola, vaksinia
(virus ensefalitis Jepang B, Retrovirus : AIDS
virusdengue)
Picornavirus : enterovirus (virus
polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis
limfositoria

Manifestasi dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea,
Kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis
bulbaris

28
3. Ensefalitis karena parasite
a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama
terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi
plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan
penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar
secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul :
demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada
lokasi kerusakan-kerusakan.

b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala-gejala
kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit
ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.

c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di
air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala
-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan
kesadaran menurun.

d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan
masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh
menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk
rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan
bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul
tergantung pada lokasi kerusakan.

4. Ensefalitis karena fungus


Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans, Cryptococcus
neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang
ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta.
Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

5. Riketsiosis serebri

29
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan
Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-
sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak.
Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri
kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat menurun.
Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.

IV. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Patogenesis dari ensefalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis, yaitu virus
mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui saraf
(neuronal spread).
Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui
arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya
arterimeningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat tiba di
likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari pia mater. Selain
penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui neuron, misalnya pada
encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk
ke neuron sensoris yang menginnervasi port dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti
axon-axon menuju ke nucleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat
digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat. Sesudah virus
berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus dihancurkan. Dalam
hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk membuat protein yang
menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan
sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah
membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi
Karen proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan. Dengan
demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan
penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian
disususl oleh manifestasi lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala,
demam, dan lemah letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan
susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motoric, gangguan penglihatan, gangguan
berbicara, gannguan pendengaran dan kelemahan anggota gerak, serta gangguan neurologis
yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi
penurunan berat badan.
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran

30
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar dengan
beberapa cara:
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir
permukaan atau organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ
tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian
menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan
selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi
belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak,
kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh
kelainan neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan
penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:

1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh


virus yang sedang berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang
akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular dan
paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada
dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.

Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan


aksonnya terutama dianggap menggambarkan ensefalitis pascainfeksi
atau alergi. Korteks serebri terutama lobus temporalis, sering terkena oleh
virus herpes simpleks; arbovirus cenderung mengenai seluruh otak; rabies
mempunyai kecenderungan pada struktur basal.

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari


virulensi virus kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh
yang dapat menghambat multiplikasi virus.

31
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau
kutu menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui
gigitan binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan
citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang lemah, merupakan
faktor resiko utama.

Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik


melalu, peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes
simpleks, virus varisella zoster). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti
subakut skelosing panensefalitis (SSPE) sanpai sekarang ini masih belum
jelas.

Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural


yang mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti
perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih
(alba).

Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor


membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus
otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada
lobus temporal medial dan inferior.

Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih


belum jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya
transmisi neural secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf
trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.
Infeksi primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya
subklinis atau berupa somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas.
Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari reaktivasi virus. Pada
infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa
tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang
biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.

Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi


lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat
kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark.

32
Gejala-gejala neurologis timbul karena kerusakan jaringan otak yang
terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma.

Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid


dan tersebar dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks.
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada
postmortem.Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum
dan ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik.

Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan
negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear).

V. MANIFESTASI KLINIS
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran
menurun. Manifestasi klinis tergantung kepada :

1 Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :


- Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks
serebri, terutama lobus temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2 Patogenesis agen yang menyerang.
3 Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.

Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali


ditemukan hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar,
sebelum kesadaran menurun, sering mengeluh nyeri kepala. Muntah
sering ditemukan. Pada bayi, terdapat jeritan dan perasaan tak enak pada
perut.Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching
saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam.

Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri


atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan
sebagainya.

Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf


kranial dan perubahan pola pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat
terjadi bila peradangan mencapai meningen.

Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat


membantu diagnosis. Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan
saraf pusat dapat meradang. gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental,

33
tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada lengan atau pada seluruh
badan, kelumpuhan dan nistagmus.Rabies memberi gejala pertama yaitu
depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium
paralisis.

Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut


atau subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam
yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit
kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat.
Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang
dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan
letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang
mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa
yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis.
Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial,
kaku kuduk dan papil edema.

VI. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi
dapat juga perlahan-lahan. Mulainya sakit biasanya akut, walaupun
tanda-tanda dan gejala sistem saraf sentral (SSS) sering didahului oleh
demam akut non spesifik dalam beberapa hari. Pada anak, manifestasi
klinik dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia, sedangkan pada bayi
dapat berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri kepala paling sering pada
frontal atau menyeluruh, remaja sering menderita nyeri retrobulbar.
Biasanya terdapat gejala nausea dan muntah, nyeri di leher, punggung
dan kaki, dan fotofobia. Masa prodromal ini berlangsung antara 1-4 hari
kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung
dari keterlibatan meningen dan parenkim serta distribusi dan luasnya lesi
pada neuron. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah, perubahan
perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda

34
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan
paralisis saraf otak. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila
peradangan sampai meningen. Selain itu, dapat juga timbul gejala dari
infeksi traktus respiratorius atas (mumps, enterovirus) atau infeksi
gastrointestinal (enterovirus) dan tanda seperti exantem (enterovirus,
measles, rubella, herpes viruses), parotitis, atau orchitis (mumps atau
lymphocytic chotiomeningitis).

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain
sebelum melakukan LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda
neurologis fokal. Pencitraan mungkin berguna untuk memeriksa
adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik
setelah satu minggu. Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas
rendah pada lobus temporal, namun gambaran tidak tampak tiga
hingga empat hari setelah onset.CT-scan tidak membantu dalam
membedakan berbagai ensefalitis virus.
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan
gadolinium merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan
ensefalitis. Temuan khas yaitu peningkatan sinyal T2-weighted pada
substansia grisea dan alba. Pada daerah yang terinfeksi dan
meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi
herpes virus memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi
hemoragik pada unilateral dan bilateral.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus
(aktivitas lambat bilateral).Pada Japanese B encephalitis dihubungkan
dengan tiga tanda EEG: 1)gelombang delta aktif yang terus-
menerus ;2)gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku) ;
3)pola koma alpha.Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG ditandai
adanya gelombang delta yang difus dan gelombang paku tidak
menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal
pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat
dilakukan biopsi tetapi apabila pada CT-scan dan EEG tidak

35
didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda
klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsi
dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya
menjadi predileksi virus Herpes simplek.

b. Laboratorium
Biakan dari darah , viremia berlangsung hanya sebentar saja
sehingga sukar mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour
srebrospinalis atau jaringan otak; dari feces untuk jenis
enterovirus,sering didapatkan hasil positif. Analisis CSS (cairan
serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang didominasi oleh sel
mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm3 pada 95% pasien. Pada 48 jam
pertama infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel
polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi limfosit pada hari
berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam batas normal dan
jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase chain reaction) dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan
serebrospinal biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody.
Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas 100%
dan ada yang melaporkan hasil postif pada 98% kasus yang telah
terbukti dengan biposi otak.Tes PCR untuk mendeteksi West Nile
virus telah dikembangkan di California. PCR digunakan untuk
mendeteksi virus-virus DNA. Herpes virus dan Japenese B
encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.

c. Lumbal pungsi
Lumbal puncture (lumbal fungsi) adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal
dengan memasukan jarum kedalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal, mengukur dan mengurangi tekanan cairan
serebrospinal, menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal, dan untuk memberikan antibiotic
intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi.
Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual Warna dan kejelasan dan
glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah

36
putih dengan diferensial, Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada
hasil tes awal dan diagnosis dicurigai.

VII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari ensefalitis adalah:
1 Sepsis dan bakteremia
2 Kejang demam
3 Measles
4 Mumps
5 Reye Syndrome

VIII. PENATALAKSANAAN
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di
rumah sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari
penanganan tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang
caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma yaitu
mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara
enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,
koreksi terhadap gangguan asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat
diberikan apabila pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan
tekanan intrakranial dapat diberi Dexamethasone 1mg/kgBB/hari

37
dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari. Pemberian Dexamethasone
tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial yang
meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan
dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang
baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada
pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir
pada tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot
pernapasan. Pada pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan
Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada
beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk
herpes ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi
28%. Saat ini Acyclovir IV telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin,
dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.

IX. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar,
masalah berbicara, kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol otot.
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi
spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya
keterlibatan parenkim maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan
defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan
atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang
disebabkan oleh virus Herpes simpleks.

X. PENCEGAHAN
Early treatment (pengobatan awal) pada demam tinggi atau
infeksi
Hindari menghabiskan waktu di luar rumah pada waktu senja
ketika serangga aktif menggigit.
Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan
Indikasi seksio sesar jika ibu memiliki lesi aktif herpes untuk
melindungi bayi baru lahir

38
Imunisasi/vaksin anak terhadap virus yang dapat menyebabkan
ensefalitis (mumps, measles/campak).

BAB IV

SEPSIS

I. DEFINISI

Sepsis merupakan suatu keadaan dimana infeksi dalam tubuh mencetuskan


kaskade inflamasi yang dikenal dengan istilah systemic inflammatory response
syndrome (SIRS). SIRS merupakan kaskade inflamasi yang terjadi karena sistem
imun tubuh host tidak dapat mengatasi infeksi. Infeksi merupakan suatu keadaan
dimana ditemukan adanya mikroorganisme dan respons imun tetapi belum disertai
dengan adanya gejala klinis. Bila ditemukan gejala klinis maka digunakkan istilah
penyakit infeksi. Infeksi dapat berupa infeksi bakteri, riketsia, fungi, virus, maupun
protozoa. Infeksi dapat bersifat sistemik (bakteriemia, fungiemia, atau viremia)
maupun lokal (meningitis, pneumonia, atau pielonefritis). Selain infeksi, SIRS
memiliki berbagai etiologi lainnya (etiologi non-infeksi) yang bisa dilihat pada tabel2.

Gejala pada sepsis muncul apabila sepsis sudah berkembang menjadi sepsis
berat. Definisi dari sepsis berat sendiri ialah suatu keadaan sepsis yang disertai oleh
disfungsi organ. Bila dibiarkan tanpa tatalaksana maka pasien dengan sepsis berat
dapat jatuh kedalam keadaan syok septik. Carcillo et al. mendefiniskan syok septik
pada populasi pediatrik sebagai takikardia (takikardia mungkin tidak terdapat pada
pasien dengan hipotermia) dengan tanda gangguan perfusi berupa denyut nadi perifer
yang lemah dibandingkan denyut jantung, gangguan kesadaran, capillary refill time
(CRT) lebih dari 2 detik, ekstremitas lembab dan dingin, atau penurunan urine output

39
pada anak dengan infeksi. Beda dengan populasi dewasa, hipotensi tidak selalu
didapatkan pada pasien syok septik karena pada anak hipotensi merupakan tanda dari
late shock atau decompensated shock. Maka dari itu, bila tidak terdapat hipotensi tetap
dapat ditegakkan definisi syok septik namun bila terdapat hipotensi merupakan
konfirmasi adanya keadaan syok pada anak. Tanpa tatalaksana pasien dengan syok
septik akan mengalami multiple organ dysfunction syndrome (MODS) dan akhirnya
kematian. dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi gangguan fungsi organ
yang memerlukan suatu intervensi.

Definisi dari sepsis, infeksi, SIRS, sepsis berat, serta syok septik telah disusun
oleh para pakar dalam bidang sepsis baik dewasa maupun anak dari 5 negara berbeda
(Canada, France, Netherlands, United Kingdom, dan United States) pada tahun 2002
dan dipublikasikan dalam bentuk consensus conference pada tahun 2005. Consensus
conference dibuat untuk memberikan batasan yang dapat digunakkan sebagai kriteria
diagnosis sepsis pada populasi anak. Batasan ini perlu dibuat karena gambaran sepsis
pada populasi dewasa dan anak berbeda dipengaruhi oleh perubahan fisiologis
tumbuh kembang pada anak.
Definisi atau batasan untuk sepsis dan SIRS pada populasi anak (tabel 4)
merupakan modifikasi dari batasan sepsis dan SIRS pada populasi dewasa. Perbedaan
utama ialah untuk menegakkan diagnosis SIRS pada anak harus didapatkan
abnormalitas suhu tubuh dan abnormalitas hitung leukosit (dimana pada populasi
dewasa SIRS sudah dapat ditegakkan bila ditemukan takikardia dan takipnue saja).
Selain itu kriteria numerik sebagai batasan untuk parameter denyut jantung, laju
pernapasan, hitung leukosit, dan tekanan darah dibedakan berdasarkan umur anak;
disesuaikan dengan nilai normal anak yang berhubungan dengan fisiologi anak yang
berbeda-beda tergantung dari umur anak (tabel 6).

40
Tabel 4: Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik

Tabel 5: Kriteria Disfungsi Organ

41
Tabel 6: Batasan Nilai Normal Tanda Vital dan Hitung Leukosit Berdasarkan Umur

Bradikardia pada bayi baru lahir (kurang dari 7 hari) merupakan tanda dari
SIRS namun pada anak diatas 7 tahun tidak dianggap sebagai tanda dari SIRS karena
bradikardia ditemukan sebagai tanda near-terminal event pada anak lebih dari 7
tahun.
II. ETIOLOGI
Sepsis dapat merupakan komplikasi dari suatu infeksi yang lokal maupun
dapat merupakan akibat dari invasi dan kolonisasi patogen yang sangat virulen.
Patogen yang dapat menyebabkan sepsis pada anak bervariasi bergantung pada usia
pasien serta status imun pasien. Pada neonatus dan bayi kurang dari 2 bulan penyebab
sepsis tersering ialah streptokokus grup B, Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
enterovirus, dan herpes simpleks virus. Pada anak yang lebih dewasa penyebab sepsis
tersering ialah Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis, dan Staphylococcus
aureus baik yang sensitif terhadap methicilin maupun yang resisten terhadap
methicilin, Haemophilus influenzae tipe B, Salmonella sp., dan Streptokokus grup A
(community-acquired organisms). Bakteri gram negatif seringkali menyebabkan
sepsis pada anak dengan status imun yang buruk maupun anak yang sedang dirawat di
rumah sakit (infeksi nosokomial). Bakteri gram negatif yang dimaksud ialah
Escherichia coli, Pseudomonas, Acinetobacter, Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia.
Fungi seperti Candida dan Aspergillus juga sering menyebabkan sepsis pada anak
yang immunocompromised. Sepsis yang disebabkan oleh patogen polimikrobial dapat
terjadi pada pasien dengan risiko tinggi seperti pemasangan kateter, penyakit
gastrointestinal, netropenia, maupun penyakit keganasan. Pseudobakteremia dapat
terjadi akibat cairan intravena, albumin, kriopresipitat, atau komponen darah yang
terkontaminasi (biasanya oleh organisme yang water-borne seperti Bukholderia

42
cepacia, Pseudomonas aeruginosa, dan Serratia). Tabel berikut (tabel 7)
menerangkan bakteri apa saja yang dapat ditemukan pada populasi umur tertentu pada
anak:

Tabel 7: Bakteriemia pada Anak Normal Berdasarkan Umur

Pada bulan Agustus 2010 dilakukan terhadap pasien sepsis di PICU RSCM
Jakarta untuk mengetahui etiologi sepsis yang tersering serta sensitivitasnya terhadap
terapi antimikroba. Dari 39 subjek penelitian didapatkan 21 subjek dengan hasil kultur
darah yang positif dimana didapatkan kuman terbanyak penyebab sepsis ialah
Klebsiella pneumonia (24%) yang merupakan kuman gram negatif, Serratia
marcescens (14%), dan Burkholderia cepacia (14%). Selain itu juga ditemukan fungi
sebagai penyebab sepsis (19.0%) yaitu Candida albicans dan Candida Tropicana.

III. FAKTOR RISIKO


Faktor risiko terjadinya sepsis pada anak ialah sebagai berikut:
Prematuritas
Anak dengan usia diantara 3 bulan sampai 3 tahun
Anak dengan cedera yang serius (seperti luka bakar yang luas)
Anak dengan penyakit yang serius (seperti keganasan, galaktosemia,
sindroma nefrotik, kecanduan obat intravena, infeksi gonokokus pada
traktus urinarius)
Anak yang sedang menjalani terapi antimikroba jangka panjang

43
Anak dengan gizi buruk atau malnutrisi
Anak dengan penyakit yang kronik
Anak yang immunocompromised (pasien pasca transplantasi, anak yang
mendapat obat-obatan kemoterapi, anak yang mendapat kortikosteroid,
dan anak dengan defisiensi sistem imun: anak yang menderita
agamaglobulinemia, neutropenia dengan imunosupresi, anemia bulan
sabit, severe combined immunodeficiency syndrome, HIV-AIDS, asplenia,
defisiensi komplemen, atau neutrophil chemotactic factor defect)
Anak dimana dilakukan prosedur/ instrumentasi medik (seperti
pemasangan kateter intravena, kateter urin, intubasi endotrakeal, atau
atrioventricular shunt; dan dilakukan prosedur seperti pembedahan,
continous peritoneal dialysis, dan pemakaian katup jantung protesa)
Faktor risiko atau faktor predisposisi yang ditemukan pada anak berhubungan dengan
patogen tertentu seperti tertera pada tabel berikut (tabel 8):

Tabel 8: Faktor Predisposisi dan Patogen Penyebab Sepsis

III. PATOGENESIS
Proses terjadinya sepsis dimulai dari kolonisasi mikroorganisme yang dapat
membentuk suatu fokus infeksi. Mikroorganisme atau produk mikroorganisme (toksin
atau endotoksin) baik yang beredar dalam darah maupun yang berasal dari suatu fokus
infeksi akan menginduksi sistem imunitas sehingga terjadi perubahan fisiologi tubuh
pada sepsis. Toksin atau superantigen berhubungan dengan bakteri gram positif,

44
mikobakteria, dan virus dimana toksin yang diekspresikan oleh patogen akan
mengaktivasi limfosit dalam sirkulasi. Endotoksin adalah suatu lipopolisakarida yang
merupakan komponen dari dinding sel bakteri gram negatif, fungi, atau yeast.
Endotoksin akan berikatan dengan makrofag serta menyebabkan aktivasi dan ekspresi
dari gen-gen inflamasi. Adanya endotoksin serta toksin dalam tubuh akan
mencetuskan respons dari host berupa respons imun selular dan respons imun
humoral. Respons imun tubuh baik selular dan humoral merupakan upaya tubuh
tuntuk mempertahankan suasana fisiologis. Respons imun ini diperantarai oleh
substansi atau mediator-mediator inflamasi. Mediator endogen yang telah
teridentifikasi ialah TNF, interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, platelet
activating factor (PAF), interferon-, eicosanoids (leukotrienes B 4, C4, D4, and E4;
thromboxane A2; prostaglandins E2 and I2), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor, endothelium-derived relaxing factor, endothelin-1, complement
fragments C3a and C5a, toxic oxygen radicals, proteolytic enzymes dari
polymorphonuclear neutrophils, platelets, transforming growth factor-, vascular
permeability factor, macrophage-derived procoagulant dan inflammatory cytokine,
bradykinin, thrombin, coagulation factors, fibrin, plasminogen activator inhibitor
(PAI-1), myocardial depressant substance, -endorphin, heat shock proteins, and
adhesion molecules (endothelin-derived adhesion molecule [E-selectin]; intercellular
adhesion molecule-1 [ICAM]; vascular adhesion molecule-1 [VCAM]). Bila produksi
mediator inflamasi berlebihan maka hal tersebut akan merugikan bagi tubuh.

Pada sepsis, multiplikasi mikroorganisme patogen yang tidak terkendali


mencapai puncaknya dan menyebabkan induksi yang hebat dari sistem imunitas tubuh
sehingga terjadi kaskade inflamasi. Produksi mediator inflamasi berlebihan (terjadi
imbalans antara produksi mediator pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi)
sehingga menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi tubuh. Disfungsi mikrosirkulasi yang
dimaksud ialah kerusakan endotel pembuluh darah, pengeluaran substansi yang
bersifat vasoaktif, perubahan tonus pembuluh darah, serta obstruksi kapiler akibat
agregasi komponen seluler. Aktivasi sistem komplemen juga terjadi sebagai respons
host terhadap infeksi. Aktivasi dari sistem komplemen menyebabkan pengeluaran
mediator vasoaktif yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler,
vasodilatasi, serta agregasi trombosit. Efek merugikan dari mediator endogen adalah
sebagai berikut:

45
Tromboksan A2: menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit
Prostaglandin: PGF 2 menyebabkan vasokonstriksi sedangkan PGI2
menyebabkan vasodilatasi
Leukotriene: menyebabkan vasokonstriksi, bronkokonstriksi, serta
peningkatan permeabilitas kapiler
Myocardial depressant factors: menyebabkan depresi kerja otot jantung
Endogenous opiates seperti -endorfin: menyebabkan depresi aktivitas saraf
simpatis, mengurangi kontraktilitas miokardium, dan menyebabkan
vasodilatasi
TNF: Meningkatkan permeabilitas vascular sehingga terjadi capillary leak,
menurunkan tonus pembuluh darah, dan menyebabkan imbalans antara perfusi
dan kebutuhan metabolik jaringan
TNF dan interleukin: Menstimulasi pengeluaran mediator-mediator inflamasi,
menyebabkan vasodilatasi

Selain itu, terjadi aktivasi dari sistem koagulasi serta inhibisi proses fibrinolisis.
Akibatnya, terbentuk thrombin yang membantu deposisi fibrin pada mikrosirkulasi
yang memperburuk disfungsi mikrosirkulasi.
Akibat dari kaskade inflamasi banyak antara lain demam, produksi asam laktat,
serta syok. Demam terjadi karena adanya pirogen baik yang eksogen maupun yang
endogen. Pirogen eksogen yang dimaksud ialah patogen penyebab infeksi, toksin,
maupun endotoksin yang akan masuk ke dalam tubuh mencetuskan respons inflamasi
sehingga dihasilkan pirogen endogen seperti TNF, interleukin, serta metabolit asam
arakhidonat tromboksan, prostaglandin, serta leukotriene. Pirogen endogen akan
merangsang pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus sehingga terjadi
peningkatan thermostat suhu tubuh. Akibatnya terjadi kontraksi otot tubuh, aktivitas
metabolisme yang meningkat, serta vasokonstriksi perifer. Ketiga hal ini akan
mengkonservasi panas dalam tubuh sehingga terjadi demam.
Pengeluaran mediator-mediator inflamasi menyebabkan kebutuhan metabolik
jaringan meningkat sedangkan terjadi gangguan perfusi perifer akibat agregasi
trombosit dan komponen seluler lainnya yang menyebabkan obstruksi kapiler dan
mengganggu mikrosirkulasi. Hal ini berakibat terjadi suatu metabolisme anaerobik
sebagai respons untuk mempertahankan kadar ATP dalam tubuh. Metabolisme

46
anaerobik berakibat produksi asam laktat yang meningkat. Hal ini dapat berakibat
terjadinya asidosis metabolik.
Kaskade inflamasi yang tidak ditangani juga dapat berakibat terjadinya syok
septik. Syok septik merupakan kombinasi dari ketiga tipe klasik dari syok yakni syok
hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Permeabilitas kapiler yang
meningkat menyebabkan suatu capillary leak sehingga cairan intravascular keluar
dari pembuluh darah dan terjadi hipovolemia. Mediator inflamasi juga menyebabkan
kerja otot jantung berkurang sehingga terjadi penurunan daripada cardiac output (CO)
atau curah jantung. Mediator inflamasi juga berakibat vasodilatasi kapiler sehingga
resistensi vaskular sistemik berkurang. Akibat dari hipovolemia, penurunan CO, dan
penurunan resistensi vascular menyebabkan disfungsi sistem sirkulasi yang disebut
sebagai syok septik. Pada fase awal, tubuh masih dapat mempertahankan tekanan
darah melalui aktivasi jalur simpatis sehingga terjadi peningkatan denyut jantung serta
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Namun, lama kelamaan, mekanisme
kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi hipotensi. Perfusi ke organ-organ perifer
berkurang akibat disfungsi sistem sirkulasi. Hal tersebut dapat berujung disfungsi
organ multipel/ MODS. Kegagalan organ yang multipel mengganggu homeostasis
tubuh sehingga akhirnya dapat terjadi kematian.
Gambar-gambar berikut menggambarkan patogenesis dari sepsis pada anak
(gambar 1, gambar 2):

Gambar 1: Patofisiologi Sindroma Sepsis

47
Gambar 2: Patofisiologi Proses Sepsis pada Anak
IV. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis sepsis tidak spesifik tergantung dari fase sepsis dan infeksi
yang mendasari. Pada tiap fase sepsis terjadi perubahan hemodinamik yang bila tidak
ditangani dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Pada fase awal sepsis,
disebut juga sebagai fase hiperdinamik, cardiac output belum berkurang namun justru
meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan tubuh. Pada fase ini gejala
klinis yang dijumpai ialah gangguan regulasi suhu tubuh bisa berupa hipertermia atau
hipotermia, menggigil, takikardia, dan takipnea/ hiperventilasi. Manifestasi klinis fase
awal sepsis sulit dibedakan dari penyakit infeksi biasa teruatama pada neonatus dan
anak dengan gangguan imunitas yang berat. Manifestasi klinis lain yang kurang
spesifik seperti penurunan tonus otot, penurunan aktivitas anak, perubahan warna
kulit menjadi lebih pucat, dan gangguan menyusui/ penurunan napsu makan.
Bila sepsis tidak segera ditangani maka cardiac output akan berkurang sebagai
efek dari kaskade inflamasi yang terjadi. Pada anak dapat dijumpai tanda-tanda curah
jantung yang berkurang berupa pemanjangan capillary refill time, nadi perifer ataupun

48
sentral menjadi lemah, ekstremitas teraba dingin, serta penurunan urine output pasien.
Pada beberapa anak penurunan curah jantung juga dapat menyebabkan perubahan
status mental dan kesadaran sehingga secara klinis tampak konfusi, agitasi, letargi,
ansietas, obtundasi, maupun koma. Ansietas dan agitasi biasanya merupakan tanda
awal dari syok septik. Hipotensi timbul bila syok sudah tidak terkompensasi lagi oleh
usaha tubuh (decompensated shock).
Demam perlu dicari sebagai salah satu tanda infeksi. Demam merupakan tanda
infeksi pertama yang muncul pada anak-anak yang immune-competent. Suhu tubuh
sebaiknya diukur per rektal karena paling mendekati suhu inti tubuh. Pengkuran suhu
tubuh pada aksila, oral, atau membran timpani seringkali tidak memberikan hasil yang
akurat. Demam didefinisikan sebagai suhu inti tubuh yang lebih atau sama dengan
38.0C. Pada bayi demam seringkali timbul dipengaruhi oleh over-bundling. Bila
over-bundling dicurigai maka bayi perlu dibebaskan dari pakaian dan dilakukan
pengukuran ulang suhu tubuh 15-30 menit kemudian. Pada bayi atau anak-anak yang
immunocompromized dengan infeksi yang serius, selain ditandai oleh demam, infeksi
bisa juga ditandai oleh hipotermia. Hipotermia ialah bila didapatkan suhu inti tubuh
kurang dari 36.0C.
Gejala klinis lain yang dapat terlihat pada pasien sepsis ialah lesi kulit. Lesi
kulit yang mungkin dapat terlihat pada pasien sepsis antara lain berupa petekie,
purpura, eritema yang difus, ekimosis, ektima gangrenosum, dan gangren perifer yang
simetris. Petekie dan purpura terutama ditemukan pada penderita infeksi
mengingokokus. Bila petekie atau purpura disertai oleh manifestasi perdarahan
lainnya maka perlu dicurigai suatu disseminated intravascular coagulation (DIC).
Ektima gangrenosum ditemukan pada infeksi Pseudomona aeruginosa.
Ikterus dapat dijumpai pada beberapa pasien sebagai suatu tanda infeksi atau
bila sudah terjadi MODS.
Pada pasien dengan asidosis metabolik akan terlihat sesak napas dengan
pernapasan yang cepat dan dalam atau disebut pernapasan Kussmaul.2
Gejala klinis lainnya tergantung dari infeksi fokal yang terjadi pada anak. Anak
dengan meningitis, pneumonia, arthritis, selulitis, serta pielonefritis akan memberikan
gambaran klinis yang berbeda-beda.
Dari pemeriksaan fisik dapat dinilai beberapa parameter dan ditentuk risiko
sepsis pada pasien baru (tabel 9)

49
Tabel 9: Menilai Risiko Sepsis berdasarkan Pemeriksaan Fisik
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium seringkali ditemukan kelainan hematologik
maupun gangguan elektrolit. Kelainan hematologik yang dapat ditemukan ialah
leukositosis atau leukopenia, trombositopenia, pemanjangan PT dan APTT, kadar
fibrinogen serum berkurang, kadar produk degradasi fibrinogen meningkat, anemia,
dan peningkatan netrofil/ shift to the left. Bila dilakukan pemeriksaan sediaan apus
dapat ditemukan sel darah putih dalam bentuk yang imatur (batang, mieolosit,
promielosit), vakuolisasi netrofil, granulasi toksik, dan badan Dohle. Bila yang
didapatkan ialah suatu netropenia merupakan pertanda buruk sepsis karena
menunjukkan adanya infeksi yang berat yang menimbulkan deplesi sumsum tulang.
Kelainan elektrolit yang dapat ditemukan ialah hiperglikemia sebagai respons
terhadap sepsis akut (stress response) atau justru hipoglikemia bila cadangan glikogen
tubuh telah habis terpakai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.
Hiperglikemia merupakan hasil dari peningkatan kadar glukokortikoid, katekolamin

50
dan resistensi insulin pada pasien sepsis. Rangsangan dari luka ataupun sepsis
mengaktifkan hipotalamus dan melepaskan hormon kortikotrofin yang distimulasi
oleh pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari pituitari anterior. ACTH
akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol dari zona fasciculata dan
retikularis adrenal. Pelepasan ACTH juga distimulasi oleh penurunan tekanan pada
baroreseptor di dalam carotid bodies dan lengkung aorta. Pelepasan katekolamin
disebabkan oleh penurunan tekanan darah dan juga rangsangan yang terjadi di
hipotalamus. Formasi retikularis dan dan spinal cord menghantarkan sinyal ke saraf
simpatis post ganglion dan berakhir dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari
medula adrenal. Hasil akhir dari proses metabolisme hipotalamus dan kelenjar adrenal
berkaitan dengan stress yang terjadi pada pasien dalam keadaan sepsis atau sakit kritis
akan meningkatkan mekanisme umpan balik hormonal. Respon ini akan
menyebabkan resistensi insulin sehingga tidak mampu mempertahankan keadaan
glukosa darah normal.
Kelaianan elektrolit lainnya dapat berupa hipokalsemia, hipoalbuminemia,
asidosis metabolik, dan serum bikarbonat yang rendah. Asidosis metabolik terjadi
akibat meningkatnya produksi laktat karena metabolisme anarob yang signifikan.
Pasien dengan respiratory distress syndrome akan menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan AGD berupa penurunan PaO2 yang merupakan tanda gangguan
oksigenasi dan peningkatan PaCO2 yang merupakan tanda adanya gangguan ventilasi.
Pada pasien dimana sudah terjadi MODS dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan
fungsi ginjal maupun pemeriksaan fungsi hati. Analisa cairan tubuh mungkin
didapatkan adanya leukosit pada cairan yang steril, netrofil, atau bahkan dapat
ditemukan bakteri.
Pemeriksaan kultur dilakukan untuk mengetahui etiologi dari sepsis.
Pengambilan spesimen kultur sesuai dengan kecurigaan letak fokus infeksi. Spesimen
kultur dapat berupa darah, urin, cairan serebrospinal, abses, cairan peritoneal, dan
lain-lain. Pada anak dengan sepsis hasil kultur tidak selalu positif.
Peningkatan dari beberapa marker biokimia sering ditemukan pada pasien
dengan SIRS/ sepsis. Marker biokimia yang dimaksud ialah LED/ erythrocyte
sedimentation rate, C-reactive protein (CRP), base deficit (BE), interleukin-6, dan
kadar prokalsitonin.Tabel 10 memuat marker biokimia yang dapat digunakkan secara
klinis untuk menegakkan diagnosis sepsis:

51
Tabel 10: Marker Sepsis pada Anak

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria SIRS dan dapat
dibuktikan adanya suatu infeksi atau didapatkan gambaran klinis pada anak yang
konsisten dengan adanya suatu infeksi. Bila diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis
disebut sebagai sepsis/ septicemia. Kriteria dari SIRS dapat terpenuhi bila didapatkan
2 dari 4 kriteria dimana 1 haruslah merupakan abnormalitas pada pengaturan suhu
atau hitung leukosit yang abnormal. 4 kriteria tersebut (seperti yang tertera pada tabel
4) ialah:
1. Suhu inti tubuh (rektal) > 38.5C atau < 36.0C
2. Takikardia: denyut jantung rata-rata > 2 SD diatas denyut jantung normal
untuk umur tanpa stimulus eksternal, obat-obatan, atau stimulus nyeri ATAU
elevasi persisten denyut jantung tanpa sebab yang jelas selama 0.5 hingga 4
jam ATAU pada anak kurang dari 1 tahun terjadi bradikardia persisten selama
0.5 jam dimana denyut jantung rata-rata < persentil ke-10 untuk usia tanpa
adanya reflex vagal, penggunaan obat-obatan beta-blocker, atau kelainan
jantung kongenital

52
3. Takipnue: laju pernapasan > 2 SD diatas laju pernapasan normal untuk umur
ATAU dibutuhkan bantuan ventilasi mekanis yang tidak berhubungan dengan
penyakit neuromuskular ataupun penggunaan anastesi umum
4. Hitung leukosit meningkat atau menurun: Hitung leukosit meningkat atau
menurun dari nilai normal untuk umur, bukan akibat dari penggunaan
kemoterapi ATAU netrofil batang > 10%
Adanya lesi kulit seperti petekie dan purpura merupakan gambaran klinis yang
sugestif sepsis. Untuk membuktikan adanya suatu infeksi, dilihat dari gejala klinis
(anamnesis dan pemeriksaan fisik) anak selain itu juga perlu ditunjang oleh
pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, pemeriksaan darah, analisa cairan, serta
pemeriksaan kultur.
Standar baku diagnosis sepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam
darah ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ. Ditemukannya
bakteri dalam darah atau hasil kultur yang positif menandakan adanya bakteriemia.
Bakteriemia merupakan suatu diagnosis laboratorik.6 Pada pasien dengan sepsis tidak
selalu didapatkan hasil kultur yang positif.

VII. DIAGNOSIS BANDING


Manifestasi klinis sepsis dapat ditemukan pada keadaan lain baik yang
disebabkan oleh infeksi maupun yang tidak disebabkan oleh infeksi/ non-infeksi.
Keadaan non-infeksi yang dapat memberikan manifestasi klinis seperti sepsis antara
lain intoksikasi dan sindrom Kawasaki. Syok anafilaktik kadang dapat menyerupai
syok septik. Keadaan infeksi yang dapat memberikan manifestasi klinis seperti sepsis
antara lain leptospirosis, tuberculosis, malaria, kriptokokosis, Lyme disease, dan rocky
mountain spotted fever. Keadaan-keadaan yang telah disebutkan kadang sulit
dibedakan dengan sepsis.

VIII. TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana dari suatu sepsis ialah early recognition/ deteksi dini, early
antimicrobial therapy/ pemberian antibiotika secara dini, serta early goal-directed
therapy/ terapi tertuju lainnya secara dini. Tatalaksana dini ialah yang terbaik untuk
mencegah komplikasi daripada sepsis dan menurunkan angka mortalitas akibat sepsis.
Tatalaksana yang ditujukkan terhadap mediator-mediator inflamasi yang terlibat
dalam SIRS masih dalam tahap penelitian namun belum ada hasil yang memuaskan.

53
Bila diagnosis sepsis sudah ditegakkan, pasien sebaiknya dirawat di ruangan
unit intensive care dimana dapat dilakukan monitoring secara kontinu, serta
pemasangan central venous pressure (CVP) dan arterial blood pressure bila
diperlukan. Monitoring pasien dengan syok septik meliputi monitoring terhadap
kesadaran, tanda vital, capillary refill time, saturasi oksigen, CVP, dan urine output
setiap jam. Bila didapatkan kelainan pada parameter tersebut maka perlu dilakukan
resusitasi hingga didapatkan capillary refill time kurang dari 2 detik, denyut nadi
normal dan sama kuat dengan denyut jantung, ekstremitas hangat, urine output > dari
1 ml/kgBB/jam, tekanan darah normal, dan pasien sadar.
Administrasi antimikroba secara dini dapat menurunkan angka mortalitas.
Tujuan dari pemberian antimikroba ialah untuk pengendalian dari infeksi Pemilihan
jenis antimikroba tergantung dari faktor risiko pasien serta gejala klinis pasien. Pola
resistensi bakteri juga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis antimikroba.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan antimikroba ialah sebagai
berikut:

Neonatus: Diberikan ampisilin dan sefotaksim atau gentamisin. Ditambahkan


asiklovir bila dicuragai infeksi virus herpes simpleks.
Anak (seringkali terjadi infeksi N. meningitides, S. pneumonia, atau
Haemophilus influenza): Diberikan terapi empiris antimikroba sefalosporin
generasi ke-3 (seftriakson atau sefotaksim). Ditambahkan vankomisin bila
dicurigai S. pneumonia yang resisten atau infeksi S. aureus.
Infeksi intra abdominal: Diberikan antimikroba untuk kuman-kuman anaerob
seperti metronidazol dan klindamisin.
Infeksi kulit atau soft-tissue: Diberikan penisilin semisintetik atau vankomisin
ditambah dengan klindamisin.
Sepsis nosokomial: Diberikan sefalosporin generasi ke-3 atau ke-4 (cefepime
atau ceftazidin) yang sifatnya antipsuedomonas atau antimikroba golongan
penisilin yang efektif untuk kuman gram negatif seperti piperasilin-
tazobaktam atau karbamapenem ditambah dengan aminoglikosida (gentamisin
atau tobramisin). Pada pasien dengan alat bantu yang berada dalam tubuh,
ditemukan kokus gram positif pada darah, atau dicurigai infeksi S. aureus

54
yang resisten terhadap metisilin dapat ditambahkan vankomisin selain
antimikroba yang telah disebutkan.
Pasien immunocompromized: Sama seperti sepsis nosokomial. Ditambahkan
antifungal amfoterisin B atau flukonazol untuk tatalaksana infeksi jamur
secara empirik.
Area yang endemis terhadap tick atau dicurigai infeksi rikettsia: Tambahkan
doksisiklin kepada regimen antimikroba yang sudah disebutkan diatas.
Toxic shock syndrome: Diberikan penisilin dan klindamisin. Dapat
ditambahkan vankomisin bila dicurigai infeksi Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap metisilin.

IDAI merekomendasikan pemberian antibiotika inisial setelah diagnosis sepsis


ditegakkan. Antibiotika yang dipilih harus mempunyai spektrum luas yang bisa
mengatasi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang sering menyebabkan
sepsis. Bila nanti sudah didapatkan hasil biakan atau uji kepekaan, jenis antibiotika
dapat dirubah atau dipertahankan sesuai dengan hasil dan respons klinis pasien. Pada
fase inisial, antibiotika yang dapat diberikan berupa:
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis +
aminoglikosida (garamisin 5-7 mg/kgBB/hari diberikan IV atau netilmisin 5-6
mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 2 dosis)
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim
100 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 3 dosis
Metronidazol dan klindamisin diberikan untuk kuman enterik Gram negatif
anaerob (bila dicurigai kuman penyebab anaerob karena ditemukan fokus
infeksi di rongga abdomen, rongga panggul, rongga mulut, atau daerah
rektum)4
Antibiotika yang digunakan untuk tatalaksana sepsis pada anak beserta dengan
dosisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini (tabel 11):

55
Tabel 11: Pengunaan Antibiotika pada Sepsis

Early goal-directed therapy merupakan prinsip tatalaksana untuk pasien yang


mengalami syok septik, meliputi resusitasi cairan, transfusi produk darah, pemberian
obat vasopressor/ inotropik, koreksi status metabolik, pemberian kortikosteroid, serta
pertimbangan bantuan pernapasan atau terapi pengganti ginjal.
Resusitasi cairan yang tidak adekuat berhubungan dengan peningkatan risiko
mortalitas sebanyak 40%. Sebaliknya resusitasi cairan sebanyak 60 ml/kgBB
berhubungan dengan meningkatnya survival anak tanpa meningkatkan insidensi dari
edema pulmunal. Penilaian apakah resusitasi cairan cukup atau tidak dinilai dari
denyut jantung, urine output, dan capillary refill time. Cairan ditambahkan 20
ml/kgBB sampai denyut jantung normal, urine output minimal 1 ml/kgBB/hari, dan
capillary refill time kurang dari 2 detik. Kadang diperlukan jumlah cairan yang
mencapai 100-200 ml/kgBB. Tipe cairan yang diberikan (kristal atau koloid) masih
merupakan perdebatan.
Transfusi produk darah dilakukan bila didapatkan gangguan hematologik.
Hemoglobin perlu dikoreksi dan dipertahankan pada 10 g/dl untuk memastikan bahwa
oksigen ke jaringan perifer adekuat. Bila terjadi koagulopati, apalagi bila pasien
mengalami perdarahan aktif, dapat dikoreksi dengan transfusi fresh frozen plasma
(FFP), kriopresipitat, atau trombosit.

56
Penggunaan obat vasopressor atau inotropik bertujuan menormalkan kerja
jantung untuk mempertahankan cardiac output. Ini karena pada anak dengan sepsis
seringkali disertai cardiac output yang rendah akibat disfungsi miokardium yang
progresif dan hal ini berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Obat pilihan
utama ialah dopamin diberikan 2-5 mcg/kgBB/menit, namun bila syok resisten
dopamin dapat diberikan epinefrin atau norepinefrin. Dobutamin diberikan bila
cardiac output rendah. Bila syok resisten epinefrin atau norepinefrin dapat diberikan
nitroprusside, milrinone, atau arginine vasopressin.2-3 Obat-obat vasopressor yang
digunakkan pada sepsis beserta dosisnya dapat dilihat pada tabel berikut (tabel 12):

Tabel 12: Penggunaan Vasopressor pada Sepsis


Status metabolik pasien harus dipertahankan dalam batas normal. Bila terjadi
gangguan elektrolit maka harus segera di koreksi. Pada pasien dengan hipoglikemia
diberikan 0.5-1g/kgBB glukosa. Pada pasien dengan hipokalsemia diberikan kalsium
klorida melalui vena sentral sebanyak 10-20 mg/kgBB. Bila terjadi gangguan
keseimbangan asam basa juga perlu dilakukan koreksi.
Pasien sepsis juga perlu diberikan stress dose corticosteroids yakni
hidrokortison 50 mg/kgBB bolus diikuti oleh dosis rumatan 50mg/kgBB/hari.
Pemberian kortikosteroid dipertimbangkan pada pasien dengan syok yang tidak
responsif terhadap resusitasi cairan maupun katekolamin. Pada pasien-pasien
demikian kemungkinan besar terjadi insufisiensi kelenjar adrenal baik relatif maupun
absolut. IDAI merekomendasikan pemberian kortikosteroid berupa metilprednisolon
30 mg/kgBB/dosis atau deksametason 3 mg/kgBB/dosis secara IV 15-20 menit
setelah diagnosis syok septik ditegakkan dan dapat diulang 4 jam kemudian.
Kortikosteroid dihentikkan bila tidak ada respons terhadap obat.

57
Bantuan pernapasan diberikan pada pasien dengan acute respiratory distress
syndrome. Ini karena overdistensi paru-paru dapat berakibat dihasilkannya sitokin-
sitokin yang dapat memperburuk kaskade inflamasi.2 Bila tidak didapatkan tanda
ARDS maka cukup dipastikan bahwa jalan napas terbuka dan diberikan oksigen.
Renal replacement therapy dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan
anuria, oliguria, atau overload cairan yang hebat.
Terapi lainnya yang perlu diberikan bersifat suportif berupa pemberian obat-
obatan untuk proteksi lambung dan pemberian obat antipiretik untuk menurunkan
demam. Obat-obatan untuk proteksi lambung diberikan untuk mencegah terbentuknya
stress ulcer. Obat yang dapat diberikan berupa antasida, H2-reseptor blocker, atau
sukralfat. Pemberian antipiretik ditujukan untuk menurunkan demam karena demam
meningkatkan konsumsi oksigen dan kebutuhan metabolik yang dapat memperburuk
perfusi oksigen ke jaringan perifer, selain itu demam juga dapat meningkatkan
ambang kejang pada anak, sehingga demam perlu diturunkan dengan pemberian
antipiretik
Pasien dengan sepsis tidak harus dipuasakan kecuali bila ada tanda-tanda
kegawatan seperti penurunan kesadaran dan sesak napas yang berat. Sebaiknya
makanan tetap diberikan secara enteral untuk mencegah atrofi traktus gastrointestinal.
Pasien yang telah mendapatkan antibiotika secara intravena untuk sepsis atau
bakteriemia dapat dipulangkan dan antibiotika diganti dengan rute oral bila:
Bakteri sangat sensitif terhadap antibiotika yang telah diberikan
Bakteriemia low-grade/ occult tanpa meningitis
Anak dan orang tua bertanggung jawab untuk mengkonsumsi antibiotika secara
oral
Usia anak lebih dari 6 bulan
Kultur darah negatif setelah dilakukan terapi
Pasien afebris 24-48 jam sebelum dilakukan penggantian antibiotika menjadi oral
CRP yang tinggi kembali normal setelah dilakukan terapi

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sepsis atau syok septik ialah
sebagai berikut:

58
Disseminated intravascular coagulation (DIC): DIC merupakan komplikasi dari
syok septik. DIC perlu dicurigai bila terdapat petekie dan purpura yang disertai
oleh perdarahan di tempat lain. Selain itu pada pasien rawat inap tanda awal DIC
berupa keluarnya darah dari tempat-tempat dimana terpasang kateter intravena.
Konfirmasi diagnosis DIC dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap
kadar trombosit, konsentrasi fibrinogen, PT, dan APTT.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS): ARDS terjadi karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pulmonal menyebabkan capillary leakage yang
hebat. Cairan intravaskular akan masuk ke dalam parenkim paru sehingga terjadi
edema pulmonal. Diagnosis ARDS dipastikan dengan pemeriksaan foto thoraks
dimana ditemukkan gambaran yang opak pada sebagaian besar dari kedua
hemithoraks. Nama lain dari ARDS ialah shock lung.
Gagal ginjal akut: Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 20-25% pasien sepsis
dan pada lebih dari 50% pasien dengan syok septik. Penurunan perfusi ke ginjal
ialah penyebab dari gagal ginjal akut.

X. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada pasien dengan sepsis sekitar 10% tergantung dari letak
fokus infeksi, patogen penyebab infeksi, adanya MODS atau tidak, serta respons imun
host terhadap infeksi. Pasien dengan berat badan lahir rendah dan penyakit kronis
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadi sepsis berat yang merupakan salah satu
penyebab kematian utama pada anak. Angka kematian pada keadaan syok septik
berkisar antara 40-70% dan pada keadaan MODS meningkat 90-100%. Durasi
perawatan rata-rata untuk pasien dengan diagnosis sepsis ialah 31 hari untuk anak dan
53 hari untuk neonatus dan balita.

XI. PENCEGAHAN
Pencegahan terjadinya sepsis ialah melalui imunisasi dan pemberian antibiotika
profilaksis bagi anak dengan risiko tinggi. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah sepsis pada anak ialah sebagai berikut:
Imunisasi Haemophilus inluenzae type B dan S. pneumonia untuk semua balita
Profilaksis penisilin untuk mencegah infeksi pneumokokus pada pasien dengan
disfungsi limpa (penderita sickle cell disease dan anak yang asplenik)

59
Profilaksis antibiotika pada pasien yang mengalami kontak dengan penderita
infeksi N. meningitides invasive atau infeksi H. influenza type B
Pencegahan infeksi nosokomial pada pasien rawat inap
Pencegahan infeksi pada pasien yang immunocompromized

DAFTAR PUSTAKA

Epidemiologi tbc Indonesia. http://www.tbindonesia.or.id.

Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3:


Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.

60
DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis
guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases.
South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3).
Bidstrup C, Andersen PH, Skinhj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis in a
country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of
tuberculous meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric
Sciences, Universit degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda
Ospedale Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy.
Tuberculosis 2012: 92; 377-383
Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International Consensus
Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus
conference: Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr
Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.
Enrione MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory
Response Syndrome. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. In: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. p.1094-9.
Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock. Principles and
Practice of Pediatric Infectious Diseases. 3rd ed. In: Long SS, Pickering LK,
Prober CG; editors. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Sepsis dan Syok Septik.
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2 nd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008. p.358-63.
Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice
variables for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic
shock. Crit Care Med 2002; 30: 1365-78.
Fisher RG, Boyce TG. Moffets Pediatric Infectious Diseases: A Problem-
Oriented Approach. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2005. p.354-62.

61
Dewi R. Sepsis pada Anak: Pola Kuman dan Uji Kepekaan. Maj Kedokt
Indon 2011; 61(3): 101-6.
BC Childrens Hospital. Clinical Practice Guideline: Pediatric Severe Sepsis
2011. Available at: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0CDM
QFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.childhealthbc.ca%2Fguidelines
%2Fcategory%2F67-sepsis-guidelines%3Fdownload%3D232%253Asepsis-
guideline&ei=GMHJU9WyK4yPuASXhoKoCg&usg=AFQjCNGvD2WJLw
B973Z5LpMLFNJ3be9XKA&sig2=KQzAVC1f1AiXW_IrbaBMjQ.
Accessed 13 July, 2014.
Arifin MRA. Hubungan Antara Hiperglikemia dan Mortalitas Pada Anak
dengan Sepsis di Ruang Rawat Inap Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Jurnal Kedokteran Indonesia 2011; 2(1): 34-8.
Simmons ML, Durham SH, Carter CW. Pharmacologic Management of
Pediatric Patients With Sepsis. AACN Advanced Critical Care 2012; 23(4):
437-48.
El-wiher N, Cornell TT, Kissoon N, Shanley TP. Management and Treatment
Guidelines for Sepsis in Pediatric Patients. The Open Inflammation Journal
2011; 4: 101-9.
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
International Guideline for Management of Severe Sepsis and Septic Shock:
2012. Critical Care Medicine Journal 2013; 41(2): 613-9.
Khilnani P, Singhi A, Lodha R, Santhanam I, Sachdev A, Chugh K, et al.
Pediatric Sepsis Guidelines: Summary for resource-limited countries. Indian J
Crit Care Med 2010; 14(1): 41-52.

62

Anda mungkin juga menyukai