Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

TETANUS

PEMBIMBING :

dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A

PENYUSUN :
Sandini yustialaras
030.09.222

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Sandini Yustialaras


Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Periode : Periode 19 desemberr 25 februari 2017
Judul : Tetanus
Pembimbing : dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Bekasi, januari 2017

dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul Tetanus dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Bekasi Periode
19 desemberr 25 februari 2017 Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan bagi kita semua tentang Tetanus.

2
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr. Dina Siti Daliyanti, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus ini, serta kepada dokterdokter pembimbing lain yang telah
membimbing penulis selama di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan anggota Kepaniteraan
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang
sebesarbesarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita
semua.

Bekasi, januari 2017


Penulis

Sandini Yustialaras

BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang ditandai oleh
kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin
(tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Penyakit ini umum terjadi di daerah
pertanian, di daerah pedesaan dan pada daerah dengan iklim hangat. Tetanus masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang sehingga mudah terjadi kontaminasi. Selain itu, perawatan luka kurang

3
diperhatikan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus.1,2
Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi, terjadi
penurunan insidens sejalan dengan pelaksanaan program imunisasi terhadap tetanus.
Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi
sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang
cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. 2,3
Tetanus terjadi oleh karena Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka
pada kulit dan menimbulkan gejala seperti peningkatan tonus otot disertai spasme
otot dan kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara mencegah terjadinya luka, melakukan perawatan luka yang adekuat,
pemberian serum anti tetanus (ATS), pemberian toksoid tetanus pada anak yang
belum pernah mendapat imunisasi aktif. Sedangkan yang sudah terinfeksi Clostridium
tetani dapat diberikan Anti Toksin Tetanus dan antibiotik selama 10 hari. Tetanus
dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik.3

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. A. H Tn. S Ny. N
Umur 8 tahun 36 tahun 27 tahun
Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-laki Perempuan
Alamat Kp jati rt 06/08 jati mulya tambun selatan
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Sunda
Pendidikan Sekolah SD SMP SMP
Pekerjaan - Wiraswasta IRT
Penghasilan - - -

4
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
Kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada orangtua pasien pada tanggal 26 januari 2017
pukul 08.00 di bangsal Melati RSUD Bekasi
a. Keluhan Utama :
Sulit membuka mulut sejak 8 jam SMRS
b. Keluhan Tambahan :
Kaku leher dan Luka di ibu jari kirinya 1 mingu SMRS
c. Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke IGD RSUD kota Bekasi pada tanggal 22 janurai
2017 oleh ayahnya dengan keluhan tidak bisa/sulit membuka mulut sejak 8
jam SMRS. Keluhan ini dirasakan pada siang hari lalu diikuti kaku pada leher.
Kejang disangkal, Demam juga dialami pasien sejak 3 hari SMRS, namun
demam sudah tidak ada saat masuk RS. Dan terdapat luka di ibu jari kaki kiri,
dan kukunya sudah terlepas , luka tersebut karna jatuh saat bermain 1 minggu
SMRS, luka dibiarkan saja dan tidak di obati.
Mual dan muntah tidak dialami pasien, buang air kecil dan buang air
besar dalam batas normal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga

6 bulan yang Kakek pasien dari ayah juga mengalami hal serupa.
f. Riwayat Imunisasi
Hanya sekali imunisasi BCG saja , dan belum pernah imunisasi lagi sampai
saat ini.
g. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah pribadi, dinding terbuat dari tembok, atap
terbuat dari genteng, dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien,
keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi, dan pencahayaan baik. Sumber air
bersih berasal dari PAM.

5
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 26 januari 2017 di bangsal Melati
RSUD Kota Bekasi.
Status generalis (Anak laki-laki, 8 tahun, BB: 26 kg, TB: 130 cm)

a. Keadaan umum : Tampak sakit berat


b. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 100 x/m
Frekuensi pernapasan : 22 x/m
Suhu tubuh : 36,30C
c. Data antropometri
Berat badan : 26 kg
Tinggi badan : 130 cm
Status gizi : gizi lebih

6
d. Kepala
Bentuk : Normocephali, simetris.
Rambut : Rambut hitam, distribusi merata.
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-,
pupil bulat isokor.
Telinga : Normotia, keluar sekret -/-, otalgia -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, NCH -/-,
terdapat hematom (-)
Mulut : Bibir kering, trismus +
Leher : Bentuk simteris, trakea di tengah, kaku kuduk +
e. Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -, napas
Kusmaul -
Palpasi : Gerak napas simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

7
Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I dan II reguler, murmur -, gallop
f. Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 4x/menit
Palpasi :Teraba supel, defense muscular (-), nyeri tekan -,
Turgor kembali cepat.
Perkusi : Shifting dullness -, nyeri ketuk - perkusi timpani
g. Kulit : Pucat -, ikterik -, petekie -
h. Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), oedem (-), ikterik (-),
CRT < 2 detik.
i. Status neurologis
Kesadaran kuantitatif : GCS (E4 V6 M5)
Orientasi : Baik.

Refleks Fisiologis

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sup dan Inf

Bisep +2 +2

Trisep +2 +2

Patela +2 +2

Achiles +2 +2

j. Refleks Patologis

8
Pemeriksaan Kanan Kiri

Hoffman Trommer - -

Babinski - -

Chaddock - -
k. Gordon - - Tanda

Schaeffer - -

Openheim - -

Klonus patella - -

Klonus achilles - -

Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -

Brudzinski I : -/-

Brudzinski II : -/-

Kernig : -/-

Laseq : -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium hematologi

Pemeriksaan 14-10-2016 Nilai normal

Hemoglobin 11.3 12 16

Hematokrit 33.4 40 54

Trombosit 540 150 400

Leukosit 8.3 5 10

Gula darah 95 60-100


sewaktu

Natrium 138 135 145

Kalium 4.1 3,5 5,0

Clorida 102 94 111


V. RESUME

9
Pasien dibawa ke IGD RSUD kota Bekasi pada tanggal 22 janurai 2017 oleh
ayahnya dengan keluhan tidak bisa/sulit membuka mulut sejak 8 jam SMRS. Keluhan
ini dirasakan pada siang hari lalu diikuti kaku pada leher. Kejang disangkal, Demam
juga dialami pasien sejak 3 hari SMRS, namun demam sudah turun saat masuk RS.
Dan terdapat luka di ibu jari kaki kiri, dan kukunya sudah terlepas , luka tersebut
karna tersandung saat bermain sejak 1 minggu SMRS, luka dibiarkan saja dan tidak di
obati.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien compos mentis, tanda vital
ditemukan dalam batas normal. Status gizi pasien menurut WHO adalah gizi baik.
Pada pasien ditemukan trismus dan leher terasa kaku. Terdapat luka di ibu jari kaki
kiri. Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan laboratorium hari pertama pasien masuk rumah sakit
ditemukan hematokrit menurun 33,4% dari nilai normal 40-54%.

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Tetanus

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Meningoensephalitis

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- EEG (Electroencephalography)

IX. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
-IVFD KAEN 3A 20 tts / makro /
-IVFD Diazepam 15 mg ( 3cc ) + aquadest 21 cc 1 cc/ jam
-Inj. Metronidazole 3 x 125 mg
-ATS ( tetagram ) 10 x 250 iu IM 2 hari

-PP 1 x 1.250.000
-inj Ceftriaxon 2x1 gr
b. Non medikamentosa
- Rawat inap dengan observasi khusus pada ruangan gelap dan sunyi
- Perawatan luka

10
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
X. FOLLOW UP
Tanggal S O A P

24/01/201 - Mulut sulit dibuka KU: Compos mentis, Tetanus - IVFD KAEN 3A
7 (+) tampak sakit berat 20 tts / makro
- Demam (+)
- kaku di leher (+) Nadi = 100x /menit - IVFD Diazepam
15 mg ( 3cc ) +
RR = 24x /menit aquadest 25 cc
Suhu = 39,7C 1 cc/ jam

Trismus (+) -Inj.Metronidazole


3 x 125 mg
Thorax Suara napas
- ATS ( tetagram )
vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
10 x 250 iu IM
S1S2 reguler, murmur (-),
2 hari
gallop (-)
- PP 1 x 1.250.000
Abdomen supel ,
- inj Ceftriaxon
defense muscular (-),
2x1 gr
BU(+)N, NT (-)
- sanmol drip
Ekstremitas Akral
hangat, Sianosis (-)

25/01/201 - Mulut sulit dibuka KU: Compos mentis, Tetanus - IVFD KAEN 3A
7 (+) tampak sakit berat 20 tts / makro
- Demam (+)
- kaku di leher (+) Nadi = 100x /menit - IVFD Diazepam
15 mg ( 3cc ) +
RR = 28x /menit aquadest 25 cc
Suhu = 37,8C 1 cc/ jam

Trismus (+) -Inj.Metronidazole


3 x 125 mg
Thorax Suara napas
- ATS ( tetagam )
vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
10 x 250 iu IM
S1S2 reguler, murmur (-),
2 hari
gallop (-)
- PP 1 x 1.250.000
Abdomen supel ,
- inj Ceftriaxon
defense muscular (-),
2x1 gr
BU(+)N, NT (-)
- sanmol drip

11
Ekstremitas Akral
hangat, Sianosis (-)
* target 40.000 u
baru masuk
5000 u

26/01/201 - Mulut sulit dibuka KU: Compos mentis, Tetanus - IVFD KAEN 3A
7 (+) tampak sakit berat 20 tts / makro
- Demam (-)
- kaku di leher (-) Nadi = 124x /menit - IVFD Diazepam
15 mg ( 3cc ) +
RR = 32x /menit aquadest 21 cc
1 cc/ jam
Suhu = 37,5C
-Inj.Metronidazole
Trismus (+)
3 x 125 mg
Thorax Suara napas
- ATS ( tetagram )
vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
10 x 250 iu IM
S1S2 reguler, murmur (-),
gallop (-) 2 hari

Abdomen supel , - PP 1 x 1.250.000


- inj Ceftriaxon
defense muscular (-),
2x1 gr
BU(+)N, NT (-)
- sanmol drip
Ekstremitas Akral
hangat, Sianosis (-)

XII. ANALISA KASUS


TEORI PADA PASIEN
ANAMNESIS ANAMNESIS
- Riwayat imunisasi tidak lengkap - Tidak ada riwayat imunisasi DPT
- Kejang yang tidak disertai penurunan - Sulit membuka mulut
kesadaran - Kaku bagian leher
- Disfagia/ sulit menelan - Demam
- Sulit membuka mulut - Luka terbuka diibu jari
- Keringat berlebih
- Kaku seluruh tubuh
- Demam
- Sumber infeksi

TEORI PADA PASIEN

12
PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN FISIK
- Kesadaran tidak terganggu - Kesadaran tidak terganggu
- Suhu dapat meningkat 2-4 C/ - Suhu meningkat mencapai 37,9 C
Hipertermi dan berkeringat - RR mencapai 50x/menit
- Takikardi >120x/menit - Trismus/ lockjaw hanya dapat
- Takipnoe >30x/menit membuka mulut 1 cm
- Fluktruasi ekstrim tekanan darah - Leher teraba kaku/keras/tegang
- Paralisis otot ekstraokuler/ ptosis - Spasme/ peningkatan tonus otot
- Trismus/ lockjaw ekstremitas
- Risus sardonicus/ sardonic smile
- Kekakuan leher
- Opistotonus
- Rigiditas otot abdomen
- Spasme/ peningkatan tonus otot
ekstremitas

TEORI PADA PASIEN


PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan lab leukositosis - Pemeriksaan lab didapatkan
- Kadar antitoksin serum < 0,01 IU/mL penurunan hematokrit 33,4%
- Pemeriksaan LCS Normal, namun
tekanan dapat meningkat
- EEG Normal
- EMG Normal
- EKG Sinus takikardi, inversi
gelombang T

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

TETANUS

I. Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran. Tetanus ini
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.1

II. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik
lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus
pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi,
akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.3,4

5
Tabel Data insidens tetanus menurut WHO

14
III. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua
bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil,
Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif
rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan
antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus.2
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu
ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif
resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan
fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di
dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi
menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu
121C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan
panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160C) tetapi
efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh
spora.5
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah
yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora
dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia
dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit
dan heroin yang terkontaminasi.2
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi
sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif.
Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat
jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif .2

15
Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora
dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu
menyerupai stik drum. Sumber: Todar, 2007 12
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi
infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin
berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus
merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada
tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten
berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat
badan.2

IV. Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai
3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling
sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme
lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang
biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi
merupakan salah satu faktor penentu prognosis.5
C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang
kehadirannya di jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat
dikultur dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka
yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif
melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap

16
manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat
bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat
molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua
subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa
dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan
disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan
ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor
genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri.5,6,13
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor
melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis
dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada
neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi
keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah
besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-
ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki
neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting
dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki
efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron
yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di
kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang
mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan
terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya
inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi
sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas
autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin
mencapai batang otak dan diensefalon. Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan
striknin.2,5
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke
celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang
menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek
disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan
neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-
junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan
diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang

17
ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan.13
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari
motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler
dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot
antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara
bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur
tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali
terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh
dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh.
Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik
dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin
yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan
toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan
pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3
minggu setelah terapi dimulai.3,11,13

Mekanisme kerja tetanospasmin.

18
Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)

V. Manifestasi klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana
pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah
luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi
intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa
trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya
tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera

19
jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga, dan
bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti
otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat
bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya.5,10

1.Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat
bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus
lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya
1%.2,5

2.Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden
sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi
otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul
setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan
konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul
dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII
(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat
paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%.2,3,11

Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.

20
Sumber: Cook, 2001

3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari
tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka
mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti
kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan
temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan
wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus
(sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh
penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai
opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot
abdomen yang teraba seperti papan.5
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh
merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara
intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa
detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri
dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu
berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum
atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara
dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum
dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak
dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general
menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan
dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering
ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus.
Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah
yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat,
hipertermia, dan aritmia jantung.5
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita
mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-

21
3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin
yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin
tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai
produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan
neuromuscular junction yang baru.2

(a) (b)

(c)
Gambar 6. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis
akibat kontraksi otot yang nyeri. Sumber: Cook, 2001

4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
utama dalam terjadinya tetanus neonatorum.14
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general.
Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari
setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus

22
(rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.

Gambar 6. Tetanus neonatorum (Sumber: Ang, 2004)

VI. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah
pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.
Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas.5,8
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya
sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa
isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis
dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C selama 15
menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak
berspora sebelum media kultur diinokulasi.5
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu
diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi
dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan.
Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat
dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus

23
diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap
protektif.5,9
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai
penentu prognosis.11,15

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus


Parameter Nilai

< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

5
Internal dan umbilikal
4
Lokasi infeksi Leher, kepala, dinding tubuh 3

Ekstremitas atas 2
1
Ekstremitas bawah

Tidak diketahui
10
8
Status imunisasi
Tidak ada 4

Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 2


0
> 10 tahun yang lalu

< 10 tahun yang lalu


Faktor pemberat 10
Imunisasi lengkap 8

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 2


1
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa

Keadaan yang tidak mengancam nyawa

Trauma atau penyakit ringan

ASA derajat I

24
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya
sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor
> 18 tetanus berat.

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
berat) melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya
dapat menjadi persisten.
Sumber: Cottle, 2011

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering
digunakan.9,13,16 Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett
dan dikenal sebagai skor Udwadia.17
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit, keringat
berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100
mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau
hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.
Sumber: Udwadia, 1992.

25
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,
Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur
tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.9

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor prognostik Skor 1 Skor 0

Masa inkubasi < 7 hari 7 hari atau tidak diketahui


Periode onset < 2 hari 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
Penyebab lain dan penyebab yang
Tempat masuk fraktur terbuka, luka operasi,
tidak diketahui
injeksi intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Takikardia
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Sumber: Ogunrin, 2003.

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

3.8. Diagnosis banding


Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.
Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan
spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus.
Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-
otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus
dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak

26
adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani
hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai
dengan gejala lain yang tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid,
dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh
diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul
lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus.5
Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel
5.

Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.


Penyakit Gambaran diferensial

INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan kesadaran, cairan
serebrospinal abnormal.
Polio
Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
Rabies serebrospinal abnormal.
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya spasme
Lesi orofaring
orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh tubuh tidak
Peritonitis
KELAINAN METABOLIK ada.
Tetani Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
Keracunan striknin
Reaksi fenotiazin Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal, hipokalsemia.
PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT Relaksasi komplit diantara spasme.
Status epileptikus Distonia, menunjukkan respon dengan difenhidramin.
Perdarahan atau tumor (SOL)
KELAINAN PSIKIATRIK Penurunan kesadaran.
Histeria Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN MUSKULOSKELETAL
Trauma Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara spasme.

Hanya lokal.

Sumber: Ritarwan, 2004

VII. Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus yang umum terdiri dari kevutuhan cairan dan nutrisi, mnjaga
kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau portd
entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK, sedangkan pengobatan
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.4

27
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pada hari pertama perlu pemberian
cairan secara intravena, sekaligus memberikan obat-obatan dan bila sampai
hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian
nutrisi secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk maanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Mencaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
Trakeostomi dapat dipertimbangkan bila terdapat tanda-tanda spasme laring
yang berat yang dapat terjadi pada status konvulsi atau kejang yang sulit
diatasi.
3. Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup. Terutama bila ada tanda-
tanda hipoksia, seperti distress pernapasan, sianosis dan apneu dan status
konvulsi.
4. Simptomatis untuk mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Tujuannya untuk menurunkan kepekaan jaringan saraf terhadap rangsang,
relaksasi otot dan mengatasi kejang. Mempertahankan/memperbaiki keadaan
umum.
Diazepam merupakan obat pilihan pertama yang bersifat sedative, relaksan
otot dan anti kejang. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal.
a. Fase Induksi
Segera masuk rumah sakit diberikan diazepam per rectal/intravena dengan
dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan
interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk
usia <2thun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3mg setiap
3jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per
rectal untuk BB <10kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB >10kg,
atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3mg/kgBB/kali.
b. Fase Maintenance
Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Dapat diberikan diazepam 20-
40 mg/kgBB/hari yang diberikan secara intravena berkesinambungan dalam
cairan dekstrosa 5% : NaCl 0,9% = 4 : 1. Mulai dengan dosis 20
mg/kgBB/hari. Apabila masih kejang, maka dosis ditingkatkan 5

28
mg/kgBB/hari sampai kejang teratasi dengan dosis maksimal 40
mg/kgBB/hari. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-
0,2mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus kontinu 15-
40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10
mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak
dijumpai kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak
dijumpai gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun
anak masih kejang atau mengalami spasme laring sebaiknya dipertimbangkan
untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan
dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang
diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis
secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2 hari). Untuk status konvulsi
langsung bolus menggunakan dosis 40 mg/kgBB/hari. Setiap kali kejang
diberikan bolus diazepam per rectal/intravena untuk tetanus neonatorum 5 mg
dan pada Tetanus anak 10 mg.
Fenobarbital diberikan bila diazepam tidak tersedia (obat pilihan).
Dosis pada tetanus anak 6 x 50 mg/hari. Cara pemberian yaitu dosis pertama
diberikan secara IM dan selanjutnya secara oral. Bila kejang telah teratasi,
maka dosis dikurangi secara bertahap. 6,7

5. Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan
adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain
50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
usia > 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi

29
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.
6. Perawatan
Tujuannya untuk mengurangi rangsangan, menjamin masukan cairan dan
elektrolit dan mencegah Infeksi sekunder/keadaan yang lebih berat. Penderita
dirawat di ruangan terbuka, ventilasi baik, tenang dan memungkinkan dilakukan
pengawasan setiap saat. Sebaiknya neonatus dirawat dalam inkubator.
Membatasi tindakan-tindakan yang merupakan rangsangan (tindakan yang
sangat perlu saja yang dikerjakan). Mempertahankan jalan napas bebas hambatan
dengan pengisapan sekret/lendir orofaring dan nasofaring secara berkala.
Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik. Perawatan luka/punting pusat
secara konservatif dengan H2O2 dan povidon jodium 10%.7

VIII. Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari
toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi
sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus
dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta
ruptur tendon akibat spasme otot.2,11 Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum
dalam tabel 6.

Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus

30
Sistem organ Komplikasi

Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.


Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi
mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal
jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi
multiorgan.
Sumber: Ang, 2003
IX. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk
menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring
yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat
mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas
menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada
kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.11

X. Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.15
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus


Bayi dan anak normal. Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.

Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.

31
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan
diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4 bulan setelah
sampai usia 7 tahun yang injeksi pertama.
tidak diimunisasi pada
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
masa bayi awal.

Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.

Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi TT dan


diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan
belum pernah pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 6-12 bulan setelah
diimunisasi. injeksi kedua.

Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis
pernah diimunisasi. injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir).

Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.

Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi
tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250
IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu
juga harus diberikan.

Sumber: Edlich, 2003

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi
luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan
tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk
membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.20

32
Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus


Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau, kaca)
bakar, frostbite
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada Tidak ada
rumput, saliva, dan lain-lain)
Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma


adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut
adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan
faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua
tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak
diketahui.20
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma20
Riwayat imunisasi tetanus Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus
sebelumnya (dosis) TT HTIG TT HTIG
Tidak diketahui atau < 3 Ya Ya Ya Tidak
3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali 5 tahun sejak (kecuali 10 tahun
dosis terakhir) sejak dosis terakhir)
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum
kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada
pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%).

33
ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi
reaksi yang potensial terhadap produk ini.5
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk
menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang
sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh
dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita.4
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang
tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik
sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus
toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami
dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses manusia. Bakteri yang berada di
dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami dapat
menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana
pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik.4

BAB V
KESIMPULAN

Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit


yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum berhasil
dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses
hewan. Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid,
higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.

34
Pemberian imunitas pasif tetanus dengan antitetanus serum (ATS) sudah tidak
dianjurkan karena risiko reaksi alergi tinggi, tetapi kebanyakan dokter umum di
Indonesia pasti akan berhadapan dengan penggunaan ATS. Hal yang perlu diingat
adalah melakukan tes sensitivitas sebelum pemberian ATS. Desensitisasi dengan
metode Bedreska dapat digunakan untuk pasien yang sangat membutuhkan antitoksin
(ATS) tetapi hasil tes sensitivitas positif.

DAFTAR PUSTAKA

1 Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar Infeksi
& Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal. 322-9.
2 Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
3 CDC. Tetanus.

35
4 Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).
http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview, diakses 27 Agustus
2016.
4. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.

5. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.

6. Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594-


overview, diakses 27 Agustus 2016.

7. Anonym. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines - Tetanus.


(Online). www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Tetanus-2011.pdf, diakses
27 Agustus 2016.

8. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:292301.

9. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of


Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.

10. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 28 Agustus
2016.

11. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.

12. Todar K. 2007. The Microbiological World: Tetanus. (Online)


http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html, diakses 28
Agustus 2016.

13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British


Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.

14. Ritarwan K. 2004. Tetanus. (Online).


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf,
diakses 28 Agustus 2016.

36
15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.

16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.

17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic


Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.

18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of Emergency
Medicine. 2001;3(1):47-50.

19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.
2006;6(3):101-4.

20. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).


http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 28 Agustus 2016.

21. Anonym. 2007. Tetanus Prophylaxis in Wound Management. (Online).


http://www.cdph.ca.gov/programs/immunize/Documents/IMM-154_WEB.pdf,
diakses 28 Agustus 2016.

37

Anda mungkin juga menyukai