riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir. jelaskan perlunya puasa sebelum
operasi)
Pemeriksaan Fisik
Berpatokan pada B6:
1. Breath
keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan tonsil. Apakah jalan
nafas mudah tersumbat? Apakah intubasi akan sulit? Apakah pasien ompong atau
menggunakan gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit
laringoskopi? Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher? Apakah ada
pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas?
Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung, abdominal atau torakal,
apakah terdapat nafas dengan bantuan otot pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula keberadaan
ronki, wheezing, dan suara nafas tambahan (stridor).
2. Blood
Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan.
Lakukan pemeriksaan jantung
3. Brain
GCS. adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist. Tanda-tanda TIK
4. Bladder
produksi urin. pemeriksaan faal ginjal
5. Bowel
Pembesaran hepar. Bising usus dan peristaltik usus. cairan bebas dalam perut atau massa
abdominal?
6. Bone
kaku kuduk atau patah tulang? Periksa bentuk leher dan tubuh. klainan tulang belakang?
Pemeriksaan Laboratorium Dan Radiologi
a. Pemeriksaan standar yaitu darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit, bleeding time,
clothing time atau APTT & PPT)
b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa
c. Liver function test
d. Renal function test
e. Pemeriksaan foto toraks
f. Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post prandial, pemeriksaan
EKG untuk pasien > 40 tahun
g. Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar albumin, globulin,
elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal hemostasis.
Resiko serius Terapi oksigen dan pemantauan EKG harus diteruskan sampai pasca
operasi.
Zat anestesi membuat jantung sensitive terhadap kerja katekolamin yang dilepaskan.
Selanjutnya dapat terjadi kemunduran hemodinamik dan dapat terjadi aritmia, takikardi
ventricular sampai fibrilasi ventricular.
Pada pasien dengan gagal jantung perfusi organ menjadi buruk. Ambilan gas dan uap
ihalasi terhalangi.
Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan sepanjang operasi. Bahaya
hipertensi balik dengan resiko gangguan kardiovaskular setelah penghentian obat jauh
lebih berat diandingkan dengan resiko karena meneruskan terapi.
Penyakit Pernafasan
Penyakit
saluran
karbondioksida,
nafas
ambilan
dan
paru-paru
gas-gas
inhalasi
mempengaruhi
dan
oksigenasi,
meningkatkan
insidens
eliminasi
infeksi
pascaoperasi.
Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul pada pasien asma atau
pecandu nikotin.
Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi saluran nafas atas karena
efek obat sedative dan atropine, dan penurunan respons imunologi yang terjadi karena
anestesi umum dapat meningkatkan resiko infeksi dada pascaoperasi
Diabetes Mellitus
Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah. Penderita diabetes yang tidak
stabil seharusnya tidak dianestesi untuk pembedahan elektif, kecuali jika kondisi bedah itu
sendiri merupakan penyebab ketidakstabilan tersebut.
Penyakit Hati
Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya gagal hati. Obat-obatan
analgesic dan sedative juga menjadi memiliki masa kerja yang panjang karena metabolisme oleh
otak juga berubah karena penyakit hati.
Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata. Pertama adalah perdarahan akibat
kekurangan protrombin. Resiko yang kedua adalah gagal ginjal akibat bilirubin yang
berakumulasi pada tubulus renalis.
Persiapan Sebelum Pembedahan
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa pada orang dewasa
kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien
tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2. Pengosongan kandung kemih.
2. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
3. Pemeriksaan fisik ulang
4. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
5. Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi atau secara intravena jika
diberikan beberapa menit sebelum operasi.
PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien dapat dilakukan mulai di ruang perawatan (bangsal), dari rumah pasien ataupun
dari ruang penerimaan pasien di kamar operasi. Bergantung dengan berat ringannya tindakan
pembedahan yang akan dijalankan serta kondisi pasien.
Pasien dengan operasi elektif sebaiknya telah diperiksa dan dipersiapkan oleh petugas anestesi
pada H-2 hari pelaksanaan pembedahan. Sedangkan pasien operasi darurat, persiapannya lebih
singkat lagi. Mungkin beberapa jam sebelum dilaksanakan pembedahan.
Pasien dianamnesa tentang penyakit yang dia derita, penyakit penyerta, penyakit herediter,
pengobatan yang sedang dia jalani, riwayat alergi, kebiasaan hidup (olahraga, merokok, minum
alkohol dll). Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium
dan radiologi).
Perlu pula dianamnesa riwayat pembedahan, pembiusan serta komplikasi yang dialami pasien.
Berapa lama dia menjalani perawatan. Misal, pasien yang pernah menjalani operasi
pengangkatan nevus tapi pasca operasinya dirawat di ruang rawat intensif (ICU), maka petugas
anestesi harus waspada. Pasien ini memiliki masalah yang serius.
PERSIAPAN PEMBEDAHAN
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.
2. Pengosongan kandung kemih.
3. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi atau secara intravena jika
diberikan beberapa menit sebelum operasi.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI).
Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
Persiapan operasi harus optimal dan sempurna walaupun waktu yang tersedia amat sempit.
Keberhasilan anestesi sangat ditentukan oleh kunjungan pra anestesi.
KUNJUNGAN PRA ANESTESI
Kunjungan (visite) pra anestesi bertujuan :
1. Mengetahui riwayat penyakit bedah dan penyakit penyerta, riwayat penyakit sekarang
dan penyakit dahulu.
2. Mengenal dan menjalin hubungan dengan pasien.
3. Menyiapkan fisik dan mental pasien secara umum (optimalisasi keadaan umum).
4. Merencanakan obat dan teknik anestesi yang sesuai.
5. Merancang perawatan pasca anestesi.
6. Memprediksi komplikasi yang mungkin terjadi.
7. Memperhitungkan bahaya dan komplikasi.
8. Menentukan status ASA pasien.
Secara umum, tujuan kunjungan pra anestesi adalah menekan mobiditas dan mortalitas.
ANAMNESIS
Dalam anamnesis, dilakukan :
1. Identifikasi pasien
2. Riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat, riwayat alergi.
3. Riwayat anestesi dan pembedahan yang lalu.
Beberapa hal yang perlu diperoleh dari anamnesis adalah sebagai berikut9:
1. Riwayat penyakit yang akan dioperasi saat ini
Ahli anestesiologi harus mempelajari gejala yang dikeluhkan akibat penyakit yang akan
dilakukan operasi saat ini, berbagai pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, diagnosis,
terapi berikut responsnya.
2. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta ini dapat menjadi penyulit dalam tindakan anestesi dan bedah. Hal ini
perlu dievaluasi dalam suatu pendekatan sistem organ yang sistematis dengan penekanan
pada perubahan-perubahan terkini dari gejala, tanda dan terapinya.
3. Riwayat pengobatan
Adanya terapi pada penyakit penyerta ataupun penyakit operasi saat ini perlu diketahui
macam obat, dosis dan jadwalnya. Keputusan dalam melanjutkan terapi ini selama masa pra
bedah bergantung pada derajat keparahan penyakitnya, konsekuensi yang mungkin terjadi
dari penghentian terapi, waktu paruh obat, dan interaksinya dengan obat anestesi.
4. Reaksi obat dan alergi
Sangat penting untuk mendapatkan informasi obat yang mengakibatkan alergi, serta
gambaran reaksi alergi yang dialami pasien.
5. Riwayat anestesi
Data tindakan anestesi yang lalu perlu ditinjau untuk memperoleh informasi berupa:
- Respons terhadap premedikasi sedasi/analgetik dan obat anestesi
- Tindakan ventilasi, laringoskopi, akses vascular, monitoring invasif serta tindakan
-
yang banyak dan kondisi komorbid pasien akan berdampak pada oksigenasi, seperti
penyakit pulmonal, serebrovaskular dan kardiovaskular.
d. Sistem saraf
Pada pasien dengan penyakit neurologis (seperti stroke, kelainan kejang, multipel
sklerosis), riwayat detail perlu difokuskan pada kejadian terkini, eksaserbasi, defisit
neurologis, dan kontrol terapi.
e. Hati
Pasien dengan penyakit hati yang berat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Adanya ensefalopati, koagulaopati, asites, volume overload perlu diketahui
dan perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang.
f. Ginjal
Pasien dengan disfungsi ginjal memiliki banyak komorbid, umumnya berhubungan
dengan vaskulopati, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan gangguan elektrolit.
Perlu ditanyakan tentang riwayat terapi hipertensi, dialisis berikut kontrol terapinya.
g. Muskuloskeletal
Deformitas dapat menimbulkan masalah jalan napas dan manajemen anestesi regional.
Inflamasi kronis perlu diperhatikan pada pasien artritis rematoid, systemic lupus
erythematosus (SLE), scleroderma, di mana sering menimbulkan disfungsi multiorgan.
h. Endokrin
Diabetes dan penyakit tiroid merupakan endokrinopati yang tersering. Diabetes dengan
neuropati otonom dapat menimbulkan silent ischemia intraoperatif9. Selain terapi berikut
kontrolnya, perlu ditanyakan pada pasien diabetes tentang disfungsi multiorgan yang
terjadi: insufisiensi renal, stroke, neuropati perifer, dan penyakit kardiovaskular.
8. Kebiasaan sehari-hari
Perlu diketahui kebiasaan merokok ataupun konsumsi alkohol dan obat terlarang. Anjuran
berhenti merokok dalam 2 4 minggu sebelum operasi elektif dapat menurunkan
hipereaktivitas jalan nafas dan komplikasi pulmonal perioperatif.
Ketika pasien menyatakan alergi terhadap suatu obat/zat, maka petugas anestesi perlu
mengkonfirmasi apakah kejadian tersebut betul-betul alergi ataukah hanya rasa tidak enak
setelah penggunaan obat tersebut.
Alergi perlu diwaspadai karena alergi dapat menimbulkan bahaya besar seperti syok anafilaktik
dan edema angioneurotik.
Narkotika dan psikotropika (terutama sedatif) saat ini sudah sering disalahgunakan oleh
masyarakat awam. Hal ini perlu diwaspadai oleh petugas anestesi. Oleh karena itu, dalam
anamnesis, petugas harus mampu memperoleh keterangan yang jujur dari pasien.
Pada pasien dengan operasi darurat, mungkin di Instalasi Gawat Darurat dia telah mendapatkan
narkotika dan sedatif, namun petugas di IGD terlupa menuliskan di buku rekam medis pasien.
Agar tidak terjadi pemberian yang tumpang tindih, sebaiknya petugas anestesi juga menanyakan
hal tersebut kepada petugas IGD.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik pada prinsipnya dilakukan terhadap organ dan bagian tubuh seperti :
1. Keadaan umum : berat badan, tinggi badan, tanda-tanda vital.
2. Status gizi : obesitas, kaheksia
3. Status psikis
4. Sistemik :
a. Kepala leher :
i. Mulut : bentuk lidah, derajat Mallampati
ii. Gigi geligi : gigi palsu, gigi goyah
iii. Mandibula : bentuk mandibula.
iv. Hidung : tes patensi lubang hidung, obstruksi.
v. Leher : bentuk leher (kesan : pendek / kaku), penyakit di leher (sikatrik, struma, tumor) yang
akan menyulitkan intubasi.
vi. Asesori : lensa kontak.
b. Toraks (Jantung dan paru) : tanda-tanda penyakit pernapasan dan sirkulasi.
c. Abdomen : sirosis, kembung
d. Ekstremitas : melihat bentuk vena, tanda-tanda edema.
e. Tulang belakang /vertebra : jika akan dilakukan anestesi subarakhonoid ataupun
epidural. Apakah ada skoliosis, athrosis, infeksi kulit di punggung ?
f. Sistem persarafan.
Abdomen yang kembung bisa disebabkan oleh udara atau cairan (sirosis). Kembung pada bayi
akan berakibat fatal karena bayi akan kesulitan untuk bernapas. Sehingga perlu penatalaksanaan
pra bedah terhadap bayi yang kembung.
Jantung harus diperiksa secara teliti, apakah terdapat penyakit jantung ? Jika ada, apakah masih
dalam fase kompensasi atau dekompensasi ? Jantung yang dalam fase kompensasi, masih relatif
aman untuk dianestesi.
Penentuan fungsi kapasitas kardiopulmonal sangat berguna dalam evaluasi pra bedah dan
prediksi dampak serta komplikasi perioperatif. Alat ukur yang dapat digunakan antara lain The
Duke Activity Status Index, serta pengukuran aktivitas fisik dengan Metabolic equivalent (MET)
yang menunjukkan volume oksigen yang dikonsumsi selama aktivitas tertentu. Beberapa studi
membuktikan bahwa ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas fisik menengah (4-5 METS)
menunjukkan adanya komplikasi perioperatif.
Tabel 2 Metabolic Equivalents (METS) dari kapasitas fungsional1,12
MET Level aktivitas fungsional
1
Berjalan 1 2 blok
Berkebun
10
11
12
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
berkembangnya penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, dan diabetes, dan dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB (kg) / TB2 (m2)
BB: berat badan
TB: tinggi badan
Tabel 3 Interpretasi Nilai IMT
Nilai IMT
< 18,5
18,5 24,9
25,0 29,9
30
Relatif panjang
Kurang dari 3 cm
Penglihatan uvula
Bentuk palatum
Jarak thyromental
Panjang leher
Pendek
Kekakuan leher
Kaku
Tabel di atas memperlihatkan hasil pemeriksaan dari jalan nafas yang memperkirakan adanya
kesulitan intubasi. Keputusan dalam memeriksa beberapa ataupun keseluruhan komponen jalan
nafas yang tertera pada tabel di atas bergantung pada konteks klinis dan keputusan pemeriksa itu
sendiri. Tabel tersebut tidak bermaksud untuk membuat daftar yang panjang dan membuat rumit
pemeriksaan jalan nafas. Urutan dari tabel ini mengikuti urutan pemeriksaan yang biasa
dilakukan dalam tindakan laringoskopi.
Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah bila memungkinkan perlu diperiksa pada kedua lengan dan perbedaan
antara keduanya dicatat (perbedaan bermakna secara tidak langsung memperlihatkan adanya
penyakit pada Aorta torakal atau cabang-cabang besarnya). Hipotensi ortostatik perlu dicurigai
adanya hipovolemia.
Pemeriksaan nadi pada saat istirahat perlu diperhatikan ritme, kecukupan isi nadi
(menunjukkan perfusi) dan frekuensi. Pemberian obat -blocker dapat menyebabkan nadi
menjadi lebih lambat. Nadi yang lebih cepat dapat terjadi pada keadaan demam, regurgitasi
aorta, ataupun sepsis. Pada dehidrasi, selain nadi lebih cepat, juga disertai nadi yang lemah.
Pernapasan perlu dinilai frekuensi, pola dan kedalaman napas.
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk penilaian jalan napas, seperti telah dibahas
sebelumnya. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya gigi yang goyang atau tanggal, gigi
palsu, kawat gigi, dan lain-lain. Deviasi trakhea, massa servikal, dan distensi vena jugularis,
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan Toraks
Auskultasi jantung dapat ditemukan adanya murmur, irama gallop, ataupun pericardial
rub. Adanya murmur, perlu diperhatikan penyebab lain selain jantung, seperti anemia, penyakit
tiroid, serta kehamilan. Pada pemeriksaan paru perlu diperhatikan adanya kerja napas,
penggunaan otot respirasi asesorius, wheezing, ronkhi, rales, dan menurunnya bunyi napas.
Pemeriksaan Abdomen dan Punggung
Adanya massa, distensi dan asites perlu dipikirkan pengaruhnya terhadap pernapasan,
serta risiko regurgitasi. Pada punggung perlu diperhatikan adanya deformitas dan tanda infeksi.
Pemeriksaan Ekstremitas
Diperhatikan adanya clubbing, sianosis, infeksi kutan, terutama bila tempat tersebut
direncanakan untuk kanulasi vascular ataupun blokade saraf regional.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang terdiri dari periksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan
laboratorium terbagi menjadi pemeriksaan rutin dan khusus.
Data laboratorium yang harus diketahui diantaranya :
- hemoglobin (minimal 8% untuk bedah elektif)
- leukosit
- hitung jenis
- golongan darah
- clotting time dan bleeding time
- Atas indikasi dilakukan skrining : HBSAg
- Jika usia > 40 tahun, perlu diperiksa elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum,
kreatinin.
- Urinalisis : tes reduksi, tes sedimen
Sedangkan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya yang diperlukan diantaranya foto
toraks, EKG pada pasien berusia > 40 tahun atau bila ada sangkaan penyakit jantung,
Echokardiografi (wajib pada penderita jantung), dan tes faal paru (spirometri).
Jika diperlukan, pasien dikonsulkan ke bagian lain (penyakit dalam, jantung, dll) untuk
memperoleh gambaran kondisi pasien secara lebih spesifik. Konsultasi bukan untuk meminta
kesimpulan / keputusan apakah pasien ini boleh dianestesi atau tidak. Keputusan akhir tetap
beradaa di tangan anestetis.
Setelah kondisi pasien diketahui, anestetis kemudian dapat meramalkan prognosa pasien serta
merencakan teknik dan obat anestesi yang akan digunakan.
Penggunaan pemeriksaan penunjang ini berkembang pada 2 masalah utama: pemilihan
tes apa yang dilakukan dalam pra bedah, dan apa yang harus dilakukan bila tidak terduga hasil
tes tersebut abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang berlebihan tersebut akan meningkatkan
biaya, menambah waktu untuk konsultasi dan tindak lanjut, serta penundaan jadwal operasi,
kecemasan dan bahkan terapi yang tidak tepat. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium pra
bedah yang dilakukan adalah yang akan menimbulkan risiko perioperatif bila hasil tes tersebut
abnormal dan akan menurunkan risiko perioperatif bila hasil abnormal tersebut dikoreksi.
Menurut ASA, pemeriksaan penunjang pra operasi sebaiknya tidak dilakukan secara
rutin. Pemeriksaan itu haruslah diminta, dibutuhkan, dan dilakukan pada kondisi selektif untuk
optimalisasi manajemen perioperatif. Pada tabel berikut disebutkan jenis pemeriksaan atas
indikasi.
Tabel 5 Pemeriksaan Penunjang Preoperatif atas Indikasi
Jenis Pemeriksaan
Indikasi
Hematologi lengkap
INR)
malnutrisi
Mg)
risiko tinggi
Glukosa darah
Urinalisis
(AGD)
Foto toraks
Elektrokardiogram
(EKG)
ASA 5; dioperasi ataupun tidak, dalam 24 jam akan mati juga. Tanda-tandanya : nadi tidak
teraba, pasien ruptur aneurisma aorta.
Pasien usia <> 60 tahun, pasien obesitas tergolong kategori ASA 2.
Teknik dan obat yang akan digunakan, disesuaikan dengan kondisi pasien, termasuk kondisi
ekonomi.
Apakah nanti pasien diberi anestesi umum ataukah anestesi regional ? Jika memakai anestesi
umum, teknik apa yang digunakan ? Intravena, Inhalasi atau campuran ? Apakah nanti pasien
dipasang sungkup (facemask), Laryngeal Mask Airway, Intubasi endotrakeal ? Apakah nanti
napasnya dikendalikan ataukan di-spontan-kan ? dst.
Sebelum melakukan prosedur anestesia, penting sekali memberikan informasi tentang risiko
anestesi, kepada pasien atau penanggungjawab pasien. Risiko tindakan harus disampaikan ke
pihak yang bertanggung jawab atas diri pasien, yakni pihak yang memberikan persetujuan dan
menandatangani surat izin operasi / surat izin anestesi.
Obat- obat yang,dipakai untuk premedikasi antara lain:
1. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergi
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik
akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek
lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ - organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame
yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini dalam dosis terapeutik ada perasaan kering
dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak
digunakan untuk anestesi regional, atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada
penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit
jantung khursusnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25mg dan
0,50mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan
Efek
P4
Puasa pra bedah dimaksudkan untuk menekan risiko regurgitasi dan aspirasi4. Dalam
anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dinilai adanya penyakit refluks gastrointestinal, gejala
disfagia, atau kelainan motilitas gastrointestinal, potensi kesulitan manajemen jalan napas, serta
kelainan metabolik yang dapat meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi paru.
American Society of Anesthesiologists merekomendasikan puasa pra bedah pada pasien
sehat berdasarkan jenis makanan seperti tertera dalam tabel berikut.
Tabel 6 Pedoman Puasa Sebelum Operasi Elektif
Jenis Asupan Makanan
Cairan jernih*
2 jam
ASI
4 jam
Susu formula
6 jam
Susu non-ASI
6 jam
Makanan ringan
6 jam
*contoh cairan jernih termasuk air minum, jus tanpa ampas, minuman berkarbonasi, teh jernih,
dan kopi hitam
Pedoman tersebut dapat diterapkan pada semua umur pasien sehat dan bukan wanita
hamil. Pedoman ini tidak menjamin pengosongan gaster yang sempurna. Medikasi pra bedah
yang rutin berupa obat-obatan yang memblokade sekresi asam lambung, antasida, antiemetik
pada orang yang tidak mempunyai risiko aspirasi, tidak direkomendasikan. Pemberian
antikolinergik dalam menurunkan risiko aspirasi tidak direkomendasikan.
Instruksi Medikasi
Beberapa pengobatan sebaiknya terus dilanjutkan pada hari operasi karena mempunyai
efek yang menguntungkan, sementara yang lainnya malah membahayakan atau menjadi
kontraindikasi, seperti tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 7 Pedoman Instruksi Medikasi Pra Bedah
Obat-obatan yang dilanjutkan pada hari operasi
Antidepresan, antianxietas, obat-obatan psikiatrik
Obat antihipertensi selain ACE-Inhibitor, Angiotensin antagonis
Obat antikejang
Obat asma
Pil kontrasepsi
Obat-obatan kardiak (seperti digoxin)
Diuretik, hanya triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)
Obat-obatan refluks dan heartburn
Insulin semua intermediate, kombinasi, dan
Analgetik opioid
Tetes mata
Obat golongan statin
Steroid oral ataupun inhalasi
Obat terapi tiroid
COX-2 inhibitor
Obat-obatan yang dihentikan 7 hari sebelum operasi
Aspirin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak
Clopidogrel, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak
Obat herbal dan suplemen non vitamin
Terapi pengganti hormone
Obat-obatan yang dihentikan 4 hari sebelum operasi
Warfarin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak tanpa blokade bulbar
Obat-obatan yang dihentikan 48 jam sebelum operasi
Obat antiinflamasi non- steroid (NSAID)
Obat-obatan yang dihentikan 24 jam sebelum operasi
Obat disfungsi ereksi
Obat yang dihentikan pada hari operasi
Diuretik selain triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)
Insulin regular
Suplemen besi
Obat antidiabetik oral
Obat topical
Vitamin
Premedikasi
Perlu dipahami bahwa tidak ada obat ataupun kombinasi obat yang ideal untuk persiapan
pra bedah. Dalam memilih obat yang tepat untuk premedikasi, perlu dipertimbangkan kondisi
fisik dan psikis dari pasien, status fisik, dan umur. Prosedur operasi, durasinya, operasi elektif
ataupun emergensi, juga merupakan faktor penting. Ahli anestesiologi harus mengetahui berat
badan, respons sebelumnya terhadap obat depresan, termasuk efek samping dan alergi.
Rute pemberian
Dosis
Lorazepam
Midazolam
Fentanyl
Oral, IV
IV
IV
0,54 mg
1,02,5 mg, titrasi
25100 g, titrasi
Morphine
Meperidine
Cimetidine
Ranitidine
Metoclopramide
Atropine
Glycopyrrolate
Scopolamine
IV
IV
Oral, IV
Oral
IV
IV
IV
IV
DAFTAR PUSTAKA
Kaball , 2006. Goodman & Gillmans The pharmacological Basic of the Therapeutic.
Blackwell Publising Company : New York.
Mangku Gde, Senaphati Agung, 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
PT.Macanan jaya cemerlang : Jakarta Barat
Neal J. Michael, 202. Medical Pharmacology at a Glance. Blackwell Publising Company
: Victoria, Australia.