Anda di halaman 1dari 31

Kepada Yth.

Dr. H. Syarif Darwin A, Sp.A(K)

Laporan Kasus
Kamis, 23 November 2017 pkl 13.00 wib

KEJANG ABSANS

Oleh:

dr. Laurentsia T

Pembimbing :

dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A (K)

dr. H. Syarif Darwin A, Sp.A (K)

dr. RM. Indra, Sp.A (K)

Moderator :

dr. Rismarini, Sp.A(K)

Penilai :

Prof. dr. Rusdi Ismail, Sp.A(K)

DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK RSMH

PALEMBANG

2017

1
PENDAHULUAN

Kejang absans adalah adalah salah satu bentuk dari epilepsi umum (generalized
seizure) yang ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat dan kemudian
kembali seperti biasa.1 Kejang absans dibagi menjadi dua tipe yaitu kejang absans tipikal dan
absans atipikal. Kejang absans tipikal adalah suatu bangkitan umum yang terjadi dengan
durasi yang singkat, serta onset dan terminasi yang mendadak. Salah satu jenis epilepsi
umum ini sering tidak terdeteksi karena keluhan yang tidak seperti kejang pada umumnya.
Angka kejadian kejang absans tipikal di Amerika Serikat adalah 2-8 kasus per
100.000 populasi dan tidak dipengaruhi ras. Angka kejadian kejang absans di Indonesia
belum diketahui.1
Dasar diagnosis kejang absans didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Adanya keluhan bengong merupakan keluhan yang biasa diperoleh
dari anamnesis. Pemeriksaan fisis biasanya tidak menunjukkan kelainan yang berarti,
sedangkan dari pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
terlihat suatu gambaran gelombang paku ombak 3 Hz yang dapat dimunculkan dengan
hiperventilasi.2
Penatalaksanaan untuk kejang absans terdiri dari terapi medikamentosa yaitu
pemberian antikonvulsan untuk mengontrol kejang dan penggunaan obat tersebut harus selalu
terkontrol mengenai dosis dan sampai berapa lama penggunaannya. Oleh karena setelah
pengobatan, kejang absans secara klinis dapat menjadi tidak jelas maka beberapa penulis
menganjurkan titrasi dosis menggunakan panduan EEG. Prognosis kejang absans pada
umumnya baik, adanya respon yang cepat terhadap terapi umumnya menunjukkan
kemungkinan remisi jangka panjang yang lebih besar.
Tujuan laporan kasus kali ini adalah untuk mengingatkan kembali kasus kejang
absans meliputi penyebab, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis dan tatalaksana sehingga
penyakit ini diatasi secara dini dengan penatalaksanaan yang tepat melalui suatu ilustrasi
kasus.

2
LAPORAN KASUS

DATA DASAR
Seorang anak laki-laki, usia 11 tahun 8 bulan, berat badan 50 kg, tinggi badan 155 cm, tempat
tinggal di kota Palembang. Datang ke Poliklinik Neurologi Anak RSMH pada tanggal 5 Juni
2017.

ANAMNESIS ( alloanamnesis dari ibu kandung)


Keluhan utama: sering bengong tiba-tiba
Riwayat perjalanan penyakit:
Kurang lebih 2 tahun yang lalu, mata anak sering terlihat berkedip-kedip tiba-tiba
yang disertai bengong. Saat bangkitan, anak tidak terjatuh dan tidak menjatuhkan benda-
benda yang dipegangnya. Keluhan tidak disertai dengan mata yang merah. Lama bangkitan
kurang dari setengah menit, frekukensi lebih dari 10 kali per-hari. Bangkitan diamati oleh
orangtua sebanyak 2 hingga 3 hari per-minggu. Setelah bangkitan anak tidak tampak
kebingungan dan langsung melanjutkan aktivitas sebelum bangkitan. Saat tidur bangkitan
tidak pernah terlihat. Kejang berupa kaku dan/atau kelojotan tidak ada. Demam tidak ada.
Anak dibawa berobat ke bidan dan dikatakan tidak ada apa-apa, hanya diberikan
multivitamin. Kemudian anak dibawa berobat ke orang pintar, diberikan minuman air putih
yang sudah dibacakan doa, keluhan bengong masih ada tetapi frekuensinya berkurang, dalam
sehari terjadi sebanyak 1-2 kali dan tidak setiap hari.
Kurang lebih 1 tahun yang lalu, anak terlihat semakin sering bengong tiba-tiba,
terutama saat beraktivitas seperti bermain bola atau saat belajar, mata menatap kosong ke
depan, keempat ekstremitas tidak bergerak, lamanya kurang dari setengah 1 menit, frekuensi
lebih dari 10 kali per-hari, bengong terjadi setiap hari. Apabila anak dipanggil-panggil saat
bangkitan tampak tidak respon tapi anak tersadar sendiri. Sakit kepala tidak ada, konsentrasi
menurun. Menurut guru kelas, prestasi belajar di sekolah menurun. Menurut orang tua, anak
tidak ada perubahan perilaku. Anak masih rutin diajak berobat ke orang pintar, diberikan
ramuan air putih dan jamu-jamuan tapi keluhan masih ada.
2 hari sebelum dibawa berobat ke poli Neuropediatri, anak yang sedang bermain bola
tiba-tiba bengong dan terjatuh saat terdorong oleh teman bermainnya. Ketika ditanya
mengapa sampai terjadi hal tersebut, anak mengatakan tidak ingat dan tidak menyadarinya.
Tidak ada keluhan apapun sebelumnya. Anak akhirnya dibawa berobat ke poliklinik
Neuropediatri RSMH dan disarankan untuk EEG.

3
Riwayat penyakit terdahulu:
 Riwayat kejang disangkal
 Riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit dalam keluarga:


Riwayat kejang dalam keluarga disangkal

Riwayat keluarga:
Anak merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah bekerja sebagai karyawan
swasta dengan penghasilan ± Rp. 7.000.000,- per bulan dan ibu sebagai ibu rumah tangga.
Keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup. Tinggal di rumah beton ukuran 8x 15 meter,
dengan jumlah penghuni 5 orang (ayah, ibu, penderita, dan 2 saudara kandung). Anak berobat
dengan jaminan BPJS.

Riwayat kehamilan ibu dan kelahiran:


Kehamilan adalah kehamilan yang diinginkan. Selama hamil ibu memeriksakan
kehamilan secara teratur di bidan dan dokter spesialis kandungan, sebanyak 8 kali. Lahir dari
ibu G1P0A0 hamil cukup bulan, lahir spontan ditolong dokter spesialis kandungan. Lahir
langsung menangis, APGAR score tidak diketahui, BBL: 3300 gram, PBL: 5 cm, riwayat
injeksi vitamin K tidak diketahui, riwayat ibu demam tidak ada, riwayat KPSW tidak ada,
ketuban jernih dan tidak berbau.

Riwayat makanan:
- ASI : 0 sampai 1 tahun, on demand
- PASI : 2 bulan sampai 3 tahun
- Bubur Susu : usia 6 bulan - 7 bulan
- Bubur nasi : usia 8 bulan sampai 13 bulan
- Nasi biasa : 13 bulan sampai sekarang
Penderita makan tiga kali sehari, nasi putih 1 porsi dengan lauk 1 potong ayam atau
ikan atau tempe atau telur dengan perkiraan sebesar 1500 kkal dan 25 gr protein per
hari nya.
- Kesan: kuantitas dan kualitas cukup

4
Riwayat perkembangan:

Motorik kasar
Miring kanan kiri : 2 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Bejalan : 1 tahun

Motorik halus : Anak bisa membaca dan menulis dengan baik. Saat ini duduk di
bangku kelas 1 SMP
Bahasa : Anak bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain di sekitarnya.
Personal sosial : Anak bisa bergaul dengan baik dan dengan siapa saja.
Kesan : Perkembangan dalam batas normal

Riwayat imunisasi
BCG (+), skar(+), polio 4 kali, DPT 3 kali, Hepatitis B 3 kali, Campak 1 kali.
Kesan: imunsasi dasar sesuai PPI lengkap

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum:
Kesadaran: komposmentis, TD: 90/50 mmHg, frekuensi nadi 98 kali/menit (reguler, isi dan
tegangan cukup), suhu 36,7˚ C, frekuensi pernapasan 26 kali/menit (reguler), berat badan 50
kg,tinggi badan 149 cm, status gizi BB/U: P90-95 TB/U: P90-95, BB/PB, 50/43 x 100% =
116%, status gizi: gizi lebih. Lingkar kepala: 50 cm, kesan: normosefali, Status Pubertas:
G2T2.

Keadaan spesifik:
Kepala : normosefali, mata: pupil bulat isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
normal, konjungtiva anemis (-), nafas cuping hidung (-), sianosis sirkum
oral (-).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, JVP (5-2) cmH2O
Thoraks : simetris, retraksi (-)

5
Jantung : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT< 2 detik, edema pretibial -/-

Status neurologis
Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak
perilaku aneh atau stereotypi.

Motorik Lengan Tungkai


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -

Sensorik : Dalam batas normal


Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada Dismetria,
Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada

6
RINGKASAN DATA DASAR

Seorang anak laki-laki, usia 11 tahun 8 bulan, berat badan 50 kg, tinggi badan 155
cm, tempat tinggal di kota Palembang, pelajar kelas 1 SMP. Datang ke Poliklinik Neurologi
Anak RSMH pada tanggal 5 Juli 2017 dengan keluhan utama sering bengong.
Sejak 2 tahun yang lalu, mata penderita sering terlihat berkedip-kedip tiba-tiba yang
disertai bengong. Saat bangkitan, penderita tidak terjatuh dan tidak menjatuhkan benda-benda
yang dipegangnya. Lama bangkitan kurang dari setengah menit, frekukensi lebih dari 10 kali
per-hari. Bangkitan diamati oleh orangtua sebanyak 2 hingga 3 hari per-minggu. Setelah
bangkitan anak tidak tampak kebingungan dan langsung melanjutkan aktivitas sebelum
bangkitan. Saat tidur bangkitan tidak pernah terlihat. Kejang berupa kaku dan/atau kelojotan
tidak ada. Sejak 1 tahun terakhir penderita terlihat semakin sering bengong tiba-tiba, terutama
saat beraktivitas Apabila pasien dipanggil-panggil saat bangkitan tampak tidak respon tapi
pasien tersadar sendiri. Prestasi belajar di sekolah menurun namun tidak ada perubahan
perilaku.
Pemeriksaan fisis umum pada penderita dalam batas normal. Pada pemeriksaan
spesifik anak menunjukkan dengan kepala normosefali, tidak ada kelainan neurologis, tidak
ada kelainan perilaku. Pemeriksaan organ tidak menunjukkan adanya kelainan. Status
neurologis: fungsi motorik, fungsi sensorik, koordinasi, fungsi otonom, dan gejala rangsang
meningeal dalam batas normal.

ANALISA AWAL
Dari data dasar didapatkan seorang anak laki-laki, usia 11 tahun 8 bulan, berat badan
50 kg, tinggi badan 155 cm, datang dengan keluhan bangkitan berupa sering bengong tiba-
tiba sejak 2 tahun yang lalu. Bangkitan terjadi lebih dari 10 kali per-hari, dan 1 tahun terakhir
terjadi semakin sering. Tidak ditemukan bangkitan bentuk lain, anak tidak terjatuh ataupun
menjatuhkan benda-benda yang dipegangnya saat bangkitan dan sulit dibangunkan.
Pemeriksaan fisis umum dan neurologis tidak menunjukkan adanya kelainan.
Berdasarkan deskripsi bangkitan tersebut, anak kemungkinan mengalami epilepsi tipe
absans, yaitu bangkitan adalah merupakan bangkitan kejang yang telah terjadi berulang-
ulang. Epilepsi disimpulkan kemungkinan absans karena kejang yang khas berupa kehilangan
kesadaran yang sering, mendadak, tidak diprovokasi, berlangsung sebentar, tidak disertai
kehilangan tonus, dan ada gerakan otomatis (kelopak mata). Adanya pemeriksaan fisis dan
neurologis normal mendukung kecenderungan absans idiopatik. Anak juga mengalami

7
penurunan prestasi belajar di sekolah yang sering dilaporkan pada pasien absans. Tindakan
selanjutnya adalah segera melakukan pemeriksaan EEG, epilepsi absans akan menunjukkan
gambaran epileptiform yang khas berupa gelombang paku ombak umum berfrekuensi 3Hz
yang dapat dicetuskan dengan hiperventilasi.

DAFTAR MASALAH
Bangkitan berupa sering bengong tiba-tiba.

DIAGNOSIS KERJA
Absans Tipikal

DIAGNOSA BANDING
Kejang parsial komplek
Daydreaming

TATALAKSANA AWAL
Rencana diagnostik :
- EEG dengan hiperventilasi
Rencana pengobatan :
- Terapi kausatif:
Pemberian obat anti kejang
- Rencana edukasi:
Menjelaskan kepada orangtua mengenai kemungkinan penyakit epilepsi dan rencana
pemeriksaan yang akan dilakukan, serta jenis pengobatan dan lama pengobatan yang akan
diberikan sesuai gejala klinis.

ASUHAN NUTRISI PEDIATRIK


Anak tidak ditemukan gangguan dalam asupan makanan. Anak makan tiga kali sehari,
nasi putih 1 porsi dengan lauk 1 potong ayam atau ikan atau tempe atau telur dengan sayur
dengan perkiraan sebesar 2000 kkal dan 25 gr protein per hari nya. Pola makan tersebut
sudah mencukupi kebutuhan nutrisi anak.

8
RENCANA PEMANTAUAN
- Anak akan di follow-up rawat jalan mengenai adanya keluhan kejang yang bertambah
sering atau berkurang untuk menyesuaikan dosis pengobatan.
- Kontrol ulang ke poliklinik neuropediatri setiap minggu sejak mulai pengobatan, dosis
obat anti kejang dinaikkan berkala, dan direncanakan untuk EEG ulang untuk melihat
respon pengobatan.

9
CATATAN PERAWATAN PENDERITA

5 Juli 2017 (Kunjungan pertama)


S Keluhan bengong lamanya kurang dari setengah menit, frekuensi lebih dari 10
kali/hari, dilakukan EEG.
O Hasil EEG :

Dilakukan EEG dalam keadaan sadar.


Gelombang irama dasar kurang lebih 9-10Hz, tidak tampak asimetri bermakna.
Tampak gelombang paku ombak umum simetris timbul relatif mendadak, frekuensi 2,5
– 3Hz, voltase sedang-tinggi, yang timbul empat kali selama perekaman, masing-
masing selama 9 detik, 9 detik, 15 detik, dan 5 detik. Dua bangkitan dicetuskan oleh
hiperventilasi.
Stimulasi fotik tidak menyebabkan perubahan berarti.
Kesan: gelombang irama dasar normal, tampak gelombang epileptiform sesuai absans
tipikal.

A Melalui pemeriksaan EEG, epilepsi tipe absans telah terkonfirmasi, sekaligus epilepsi
tipe lain terutama parsial kompleks dapat disingkirkan.

P Asam valproate 2x250 mg (10mg/kgBB/hari)


Kontrol ulang 1 minggu untuk memonitor respon pengobatan

12 Juli 2017 (Kunjungan Kedua)


S Keluhan bengong lamanya kurang dari setengah menit, frekuensi lebih dari 5x/hari
O KU : Sens : kompos mentis, Tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi : 48 x/menit ( isi dan
tegangan cukup), RR : 22 x/menit, T : 36,5oC
KS :

10
Kepala normosefali, napas cuping hidung (-), conjungtiva pucat (-),
sklera ikterik (-), pupil bulat isokor, Ø 3 mm / 3 mm, refleks
cahaya (+) normal. Mukosa bibir kering (-) sianosis (-),
faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N.
Ekstremitas Akral hangat, sianosis (-),CRT <2 detik.

Status neurologis
Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak perilaku aneh atau
stereotypi.
Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -
Sensorik : Dalam batas normal
Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada
Dismetria, Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
Gejala Rangsang Meningeal : Tidak ada

A Masih terdapat kejang meski frekuensi berkurang, oleh karena itu dosis obat dinaikkan.

P Asam valproate 2x375 mg (15mg/kgBB/hari)


Kontrol ulang 1 minggu untuk memonitor respon pengobatan

31 Juli 2017 (Kunjungan Ketiga)


S Pasien seharusnya datang tgl 19 Juli 2017, tetapi datang kembali hari ini karena anak
sedang persiapan masuk SMP.
Keluhan bengong lamanya kurang dari setengah menit, frekuensi 2-3x/hari

O KU : Sens : kompos mentis, Tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi : 88 x/menit ( isi dan
tegangan cukup), RR : 24 x/menit, T : 36,6oC
KS :

11
Kepala normosefali, napas cuping hidung (-), conjungtiva pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor, Ø 3 mm / 3
mm, refleks cahaya (+) normal. Mukosa bibir kering (-)
sianosis (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N.
Ekstremitas Akral hangat, sianosis (-),CRT <2 detik.

Status neurologis
Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak perilaku
aneh atau stereotypi.
Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -
Sensorik : Dalam batas normal
Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada
Dismetria, Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem
Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
GRM : Tidak ada

A Kejang Absans
P Asam valproate 2x500 mg (20mg/kgBB/hari)
Kontrol ulang 1 minggu untuk memonitor respon pengobatan

7 Agustus 2017 (Kunjungan Keempat)


S Keluhan bengong lamanya kurang dari setengah menit, frekeunsi 1-2x/hari
O KU : Sens : kompos mentis, Tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi : 88 x/menit ( isi dan
tegangan cukup), RR : 22 x/menit, T : 36,8oC
KS :
Kepala normosefali, napas cuping hidung (-), conjungtiva pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor, Ø 3 mm / 3
mm, refleks cahaya (+) normal. Mukosa bibir kering (-)
sianosis (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).

12
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N.
Ekstremitas Akral hangat, sianosis (-),CRT <2 detik.

Status neurologis

Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak perilaku
aneh atau stereotypi.
Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -
Sensorik : Dalam batas normal
Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada
Dismetria, Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem
Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
GRM : Tidak ada

A Kejang Absans
P Asam valproate 2x625 mg (25mg/kgBB/hari)
Kontrol ulang 1 minggu untuk memonitor respon pengobatan

14 Agustus 2017 (Kunjungan Keempat)


S Keluhan bengong tidak ada
O KU : Sens : kompos mentis, Tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi : 90 x/menit ( isi dan
tegangan cukup), RR : 22 x/menit, T : 36,4oC
KS :
Kepala normosefali, napas cuping hidung (-), conjungtiva pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor, Ø 3 mm / 3
mm, refleks cahaya (+) normal. Mukosa bibir kering (-)
sianosis (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N.
Ekstremitas Akral hangat, sianosis (-),CRT <2 detik.
Status neurologis
Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak perilaku aneh
atau stereotypi.
Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas

13
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -
Sensorik : Dalam batas normal
Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada
Dismetria, Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
GRM : Tidak ada

Hasil EEG :

Masih terdapat gelombang paku ombak 2.5-3Hz yang timbul umum, simetris, namun
hanya timbul saat hiperventilasi dengan lama 6 detik.

A Biarpun secara klinis kejang tidak terlihat oleh orangtua, saat hiperventilasi kejang
masih dapat dicetuskan, dosis obat dinaikkan.

P Asam valproate 2x750mg (30mg/kgBB/hari)


Kontrol ulang 1 minggu

21 Agustus 2017 (Kunjungan Kelima)


S Keluhan bengong tidak ada
O KU : Sens : kompos mentis, Tekanan darah : 90/60 mmHg, Nadi : 88 x/menit ( isi dan
tegangan cukup), RR : 24 x/menit, T : 36,6oC
KS :

14
Kepala normosefali, napas cuping hidung (-), conjungtiva pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor, Ø 3 mm / 3
mm, refleks cahaya (+) normal. Mukosa bibir kering (-)
sianosis (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada.
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N.
Ekstremitas Akral hangat, sianosis (-),CRT <2 detik.
Status neurologis
Umum : Orientasi baik, respon terhadap stimulus baik, tidak tampak perilaku aneh atau
stereotypi.
Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5555 5555 5555 5555
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks Patologis - -
Sensorik : Dalam batas normal
Koordinasi : Tidak ada Ataksia, Uji Romberg baik, Tidak ada
Dismetria, Tidak ada Disdiadokinesis, Tandem Walking baik.
Otonom : Dalam batas normal
GRM : Tidak ada

Hasil EEG :
Tidak ditemukan lagi gelombang epileptiform, baik spontan ataupun dengan
hiperventilasi.

A Kejang Absans, dengan dosis obat sudah memadai.

P Asam valproate 2x750 mg (30mg/kgBB/hari)


Memonitor berulangnya kejang, compliance, dan efek samping obat.

15
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epilepsi adalah suatu manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel
neuron otak yang bersifat paroksismal yang terjadi karena gangguan fisiologi, biokmiawi,
anatomis atau gabungan faktor-faktor tersebut.2,4 Manifestasi tersebut adalah kejang yang
terjadi berulang tanpa pencetus atau dicetuskan oleh gangguan ringan. Ada banyak tipe
kejang, salah satunya adalah kejang absans. Kejang absans dulu dikenal sebagai petit mal,
merupakan salah satu bentuk dari sindroma epilepsi umum.5,6 Kejang absans adalah
gangguan kesadaran dengan durasi yang singkat, dengan onset dan terminasi mendadak,
tanpa kehilangan tonus otot yang jelas. Kebanyakan penderita terlihat seperti menatap kosong
atau bengong secara tiba-tiba dan kemudian tersadar penuh dan bisa melanjutkan aktivitas
seperti sebelumnya. Kejang tipe ini lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan pada
dewasa.5 Dibandingkan tipe lain, kejang absans ini tergolong ringan tetapi efeknya bisa
membahayakan, misalnya bila keluhan muncul pada saat penderita sedang berenang atau
bermain sepeda.

B. . Epidemiologi
Angka kejadian kejang absans di Amerika Serikat adalah 2-8 kasus per 100.000
populasi dan angka kejadian ini tidak berkaitan dengan predileksi ras tertentu. Akan tetapi
dua pertiga dari jumlah anak-anak yang mengalami tipe kejang ini terjadi pada anak
perempuan. Kejang absans terjadi biasanya pada usia 4 sampai dengan 14 tahun, dengan
puncak kejadian di usia 6 sampai 7 tahun, dan terjadi lebih banyak pada anak perempuan
dibandingkan anak laki-laki.1,7 Morbiditas dari kejang absans ini berhubungan dengan
frekuensi dan durasi dari kejang, serta respon dari pengobatan.

C. Klasifikasi
Kejang absans merupakan salah satu bentuk sindroma epilepsi umum idiopatik.
Berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE) 1989, sindroma epilepsi dibagi
menjadi:8,9
1. Berdasarkan lokasi
a. Idiopatik (primer)

16
i. Epilepsi benigna gelombang paku daerah sentrotemporal
ii. Epilepsi benigna gelombang paroksismal daerah oksipital
iii. Primary reading epilepsi
b. Simptomatik (sekunder)
i. Epilepsi parsial kontinu kronik pada anak-anak
ii. Sindroma bangkitan dispresipitasi rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat,
stimulasi fungsi kortikal tinggi)
iii. Epilepsi lobus temporal
iv. Epilepsi lobus frontal
v. Epilepsi lobus parietal
vi. Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum dan sindroma epilepsi berdasarkan umur
a. Idiopatik ( primer)
i. Kejang neonates familial benigna
ii. Kejang neonatus benigna
iii. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
iv. Kejang absans pada anak
v. Kejang absans pada remaja
vi. Epilepsi mioklonik remaja
vii. Epilepsi bangkitan tonik klonik saat terjaga
viii. Epilepsi umum idiopatik lain
ix. Epilepsi tonik-klonik dispresipitasi aktivasi tertentu
b. Kriptogenik/ simptomatik berurutan sesuai peningkatan usia
i. Sindroma West (spasme infantile dan spasme salam)
ii. Sindroma Lennox-Gastaut
iii. Epilepsi mioklonik astatic
iv. Epilepsi lena mioklonik
c. Simptomatik
i. Etiologi non spesifik
- -Ensefalopati mioklonik dini
- -Ensefalopati infantile dini dengan burst suppression
- -Epilepsi simptomatik umum lain
ii. Etiologi spesifik

17
iii. Bangkitan epilepsi komplikasi penyakit.
3. Epilepsi dan sindroma yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal
ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsi gelombang paku kontinyu selamat tidur yang dalam
iv. Epilepsi afasia yang didapat (sindroma Landau-Kleffner)
v. Epilepsi tidak terklasifikasi
b. Epilepsi tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindroma khusus
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/ status epileptikus hanya sekali
c. Bangkitan hanya pada kejadian metabolik akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan,
eklampsia, hiperglikemia non ketotik
d. Bangkitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik).

Kejang absans dibagi menjadi dua bentuk yaitu absans tipikal dan atipikal. Absans
tipikal termasuk di dalam kriteria epilepsi idiopatik dengan bangkitan umum, biasanya
memiliki durasi yang singkat yaitu 10-20 detik, onset dan terminasi mendadak.10 Ketika
terjadi kejang, anak tidak menyadari apa yang terjadi di sekeliling mereka. Seperti contoh,
ketika anak diajak berbicara mereka tidak menyadarinya, atau pada saat serangan anak yang
sedang berbicara tiba-tiba terdiam. Kejang absans sederhana umumnya berbentuk hanya
seperti menatap. Kebanyakan absans memperlihatkan kejang absans kompleks yang diartikan
terdapat perubahan pada aktivitas otot. Gerak kepala yang paling sering adalah kedipan mata,
gerakan lainnya meliputi gerakan pada mulut, pergerakan tangan seperti menggosok jari, dan
kontraksi atau relaksasi otot. Kejang absans komplek biasanya sering terjadi lebih dari 10
detik. Kejang absans tipikal biasanya terjadi pada anak-anak usia 4 sampai dengan 14 tahun,
dan biasanya akan berhenti bila memasuki usia 18 tahun. Kejang absans tipikal ini dapat
menyebabkan anak-anak mengalami masalah daya tangkap pelajaran di sekolah, masalah
dalam interaksi sosial, dan menjadi anak yang lebih nakal, tetapi dengan pertumbuhan yang
normal.6 Pada gambaran EEG menunjukkan gelombang paku ombak 3 Hz regular, bilateral,
simetris dan tanpa adanya kehilangan tonus otot yang jelas.11
Absans atipikal yaitu serangan absans yang disertai kehilangan tonus yang sangat
jelas, misalnya apa yang dipegang terlepas, atau onset dan berhentinya serangan tidak

18
mendadak. Dapat juga seseorang yang menderita penyakit ini akan menatap (seperti yang
terjadi pada kejang absans tipikal) tapi masih berespons. Serangan kejang biasanya 5-30 detik
(biasanya lebih dari 10 detik) dengan awalan dan akhiran yang perlahan-lahan. Umumnya
kejang ini dimulai pada usia 6 tahun dan berlanjut sampai usia dewasa. Gambaran EEG
dengan hiperventilasi menunujukkan gelombang paku atau paku ombak lambat, irregular dan
asimetris.10,12,13

D. Patofisiologi
Kejang pada epilepsi intinya terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan mekanisme
inhibisi dan eksitasi yang cenderung menimbulkan bangkitan listrik berlebihan dan
hipersinkron. Epilepsi dapat terjadi karena adanya gangguan menatap pada keseimbangan
tersebut, baik yang didasari oleh mekanisme yang belum dipahami yang dicurigai genetik
(idiopatik) ataupun pada keadaan dengan gangguan struktural yang jelas (simptomatik).
Mekanisme inhibisi dan eksitasi neuron otak melibatkan neurotransmiter dan kanal ion.
Neurotransmiter eksitatorik antara lain NMDA (N-methyl-D-Aspartate) dan AMPA
(a-amino-2-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) sedangkan neurotransmiter
inhibitatorik adalah GABA (gamma-aminobutyric acid). Influks ion natrium dan kalsium ke
dalam sel melalui kanal-kanal ion pada membran sel neuron menyebabkan depolarisasi dan
kemudian eksitasi.
Patofisiologi kejang absans kemungkinan adalah terdapatnya kelainan pada interaksi
talamokortikal. Sirkuit talamokortikal merupakan penghubung utama antara sistem sensoris
perifer dan korteks serebri. Sirkuit ini berperan sebagai regulator keadaan otak seperti
kesadaran dan kesiagaan serta tidur NREM tahap 3 dan 4 yang merupakan tanda khas dari
osilasi sirkuit talamokortikal. Rangkaian sirkuit talamokortikal terdiri atas neuron piramidal
non-korteks, neuron relay talamus, dan neuron dalam nukleus retikularis pada talamus. Pada
saat terjadi serangan absans, ritme sirkuit talamokortikal berubah menjadi gelombang paku
ombak atau spike wave discharge (SWD).
Selama terjadi serangan, fungsi normal dari jalur talamokortikal terganggu sehingga
menyebabkan munculnya spike-wave discharge. Voltage-gated calcium channel berperan
penting dalam proses timbulnya spike wave discharge. Voltage-gated calcium channel adalah
mediator kunci pada masuknya kalsium ke dalam neuron sebagai respon atas terjadinya
depolarisasi membrane. Sistem saraf manusia memiliki beberapa jenis kanal kalsium. Di
antaranya adalah low voltage-activated calcium channel (contohnya T-type channel) dan high
voltage-activated (HVA) calcium channel. Kanal LVA diaktifkan oleh depolarisasi kecil dan

19
merupakan kontributor rangsangan neuronal, sedangkan kanal HVA membutuhkan
depolarisasi membrane yang lebih besar untuk membuka.
T-type channel berperan penting pada osilasi pada neuron relay thalamus, yang dapat
meningkatkan aktifitas sinkronisasi pada neuron piramidal neikortikal. Kunci dari osilasi
tersebut dalah ambang batas bawah kanal kalsium yang tidak tetap, yang dikenal juga sebagai
arus T-kalsium. Saraf-saraf nukleus retikular thalamus merupakan inhibitor dan berisi GABA
sebagai neurotransmitter utamanya. Neurotransmitter itu meregulasi aktifasi dari kanal T-
kalsium. Kanal T kalsium memiliki 3 keadaan fungsional: terbuka, tertutup, dan tidak aktif.
Kalsium masuk ke sel ketika kanal T kalsium terbuka. Beberapa saat setelah tertutup, kanal
itu tidak dapat terbuka lagi sampai mencapai keadaan inaktivasi. Neuron relay thalamus
memiliki reseptor GABA-B pada badan sel dan menerima aktifasi tonus oleh keluarnya
GABA dari nucleus retikularis thalamus menuju neuron relay thalamus. Hasilnya, terjadi
hiperpolarisasi yang mengubah keadaan kanal T-kalsium menjadi aktif, sehingga
menyebabkan kanal T-kalsium terbuka dan tersinkronisasi setiap 100 milidetik.6
Pada kejang absans tipikal, terjad mutasi genetik pada kanal kalium tipe T, dimaa
terjadi peningkatan aktifitas kanal kalsium tipe T itu. Peningkatan aktifitas tersebut
menyebabkan meningkatnya burst-mode firing pada thalamus dan meningkatkan aktifitas
osilasi pada system thalamokortikal. Akibatnya, terjadi fase tidur non-REM yang sebenarnya
merupakan aktifitas fisiologis dari sistem thalamokortikal pada saat manusia sedang tidur.
Namun pada kejadian ini, fase non-REM terjadi pada saat pasien sedang sadar penuh. Hal ini
bisa menjelaskan klinis dari kejang absans tipikal, dimana pasien menjadi tidak sadar atau
bengong pada saat sedang sadar penuh.

E. Manifestasi Klinis

Anak dengan kejang absans tipikal memiliki ciri khusus, seperti hilangnya fungsi
mental dan respon terhadap lingkungan sekitar, serta hilangnya memori saat kejang terjadi.
Kejang berlangsung sangat mendadak, tanpa terjadinya aura, dan terjadi beberapa detik
sampai lebih dari 1 menit. Aktivitas yang sedang berlangsung tiba-tiba berhenti, ekspresi
wajah anak juga berubah dan terlihat seperti patung. Pasien seperti memandang ke tempat
yang jauh tanpa ada gerakan. Saat kejang berakhir, pasien segera melanjutkan aktivitas yang
tadi sempat terhenti. Kelelahan post iktal tidak terjadi, namun pasien terkadang merasa
bingung karena mereka seperti melewatkan waktu berberapa saat. Hal inilah yang menjadi
petunjuk telah terjadi kejang absans. Pada kejang absans tipe kompleks automatisme sering

20
terjadi, seperti mejilat-jilat bibir, mengunyah, menggaruk, atau meraba-raba pakaian.
Semakin panjang kejang, maka automatisme hampir pasti terjadi.

F. Pemeriksaan Neurologi

Temuan pemeriksaan fisis dan neurologi pada anak dengan kejang absans tipikal
umumnya masih dalam batas normal. Dengan menyuruh pasien bernafas dengan pola
hiperventilasi selama 3-5 menit, kejang absans dapat dicetuskan. Pemeriksaan harus juga
mencakup pemeriksaan fungsi mental seperti kemampuan untuk mengingat kata, nama objek,
dan melakukan perhitungan. Pada saat berinteraksi atau berbicara dengan penderita dapat
juga diperiksa mengenai pemikiran, suasana hati, bahasa, mata, dan gerakan wajah, kekuatan,
koordinasi dan banyak hal lainnya dengan mendengarkan dan mengamati pasien.15,16 Selama
dilakukan pengobatan pada pasien, perkembangan penderita epilepsi terhadap efek samping
penggunaan obat-obatan yang diberikan juga harus diperhatikan. Jika dosis obat yang
diberikan terlalu tinggi dapat menimbulkan efek samping tidak diinginkan seperti:
a. Bicara yang tidak terarah
b. Sulit konsentrasi
c. Sulit berjalan pada garis lurus
d. Gerakan mata yang tidak fokus ketika melihat ke satu sisi

G. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium yang diindikasikan adalah tes untuk mengevaluasi abnormalitas
metabolit atau adanya ingesti obat atau toksin (terutama pada anak yang lebih tua). Apabila
diperoleh riwayat yang jelas merupakan bangkitan paroksismal, maka dapat dilakukan
elektroensefalografi (EEG) untuk menegakkan diagnosis.7
Elektroensefalografi erupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk
mendiagnosa sindroma epilepsi yang dapat merekam aktivitas listrik pada otak. Fungsi EEG
pada penderita dengan epilepsy adalah untuk :
1. Konfirmasi diagnosis epilepsi
2. Menentukan klasifikasi epilepsi
3. Melihat fokus epileptogenik
4. Evaluasi hasil terapi
5. Menentukan prognosis

21
Elektroensefalografi aman digunakan tanpa menimbulkan rasa sakit pada penderita.
Aktivitas listrik dapat dinilai melalui EEG. Beberapa pola abnormal mungkin akan terjadi
pada beberapa kondisi yang berbeda tidak hanya pada kejang, seperti pada trauma kepala,
stroke dan tumor otak. Pemeriksaan EEG juga sangat diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya gangguan yang menyerupai epilepsi seperti sinkop, breath holding
spell, masturbasi infantile, migraine dan sebagainya.16 Beberapa gambaran abnormalitas atau
gelombang epilepsi pada EEG meliputi adanya gambaran spike waves (gelombang paku),
sharp waves (gelombang tajam), dan spike and wave discharge (gelombang paku ombak).12
Gelombang paku dan ombak pada area spesifik di otak seperti pada lobus temporal kiri
mengindikasikan kejang parsial yang berasal dari area tersebut. Di sisi lain, kejang umum
primer diperkirakan dari adanya gelombang spike dan wave yang menyebar luas ada kedua
hemisfer otak, terutama jika berasal dari kedua hemisfer pada saat yang bersamaan. Kejang
absans menunjukkan gambaran EEG berupa gelombang paku ombak 3 Hz regular, bilateral
dan simetris. Frekuensinya sering lebih cepat dan pada saat onset dengan sedikit perlambatan
pada fase akhirnya. Onset dan fase akhir dari kejang ini bersifat mendadak, dan tidak
ditemukan perlambatan pada EEG post iktal. Hiperventilasi juga sering memicu kejang
absans tipikal dan harus menjadi bagian rutin dalam pelaksanaan EEG untuk kasus ini.

Gambar 1. Gambaran EEG kejang absans tipikal 3

Pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan pada epilepsi adalah angiografi


serebral, computed tomography scan (CT Scan), magnetic resonansi imaging (MRI) dan
positron emission tomography (PET). MRI kepala dapat melihat kelainan di otak dengan
lebih baik terutama kelainan di parenkim otak. Indikasi pencitraan pada epilepsi adanya

22
kejang fokal baik secara klinis ataupun dari EEG, kejang yang timbul usia dibawah 1 tahun,
defisit neurologis menetap, kejang refrakter, dan adanya kelainan yang mungkin progresif.

H. Diagnosis Banding

Kejang absans memiliki diagnosa diferensial, diantaranya kejang fokal kompleks dan
daydreaming. Kejang fokal kompleks umumnya terjadi lebih jarang, dengan gangguan tonus
dan otonom. Biasanya didahului aura dan umumnya tidak dicetuskan dengan hiperventilasi.
Daydreaming dapat diinterupsi dengan stimulasi dan tidak melibatkan aktivitas motorik
seperti mata berkedip-kedip. Perbedaan antara epilepsi absans, kejang fokal, dan
daydreaming dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Diagnosa Banding Kejang Absans

Karakteristik Klinis Absans Kejang Fokal Daydreaming


dan Laboratorium Kompleks
Frekuensi/hari sering Jarang, 1-2 Tergantung situasi
Durasi Sering, <10 detik, Rata-Rata durasi >1 Detik - menit
jarang >30 detik menit, jarang <10
detik
Aura Tidak pernah Sering Tidak pernah
Komponen klonik Biasa terjadi, mata Tidak biasa Tidak pernah
berkedip
Kerusakan Post Iktal Tidak pernah Sering Tidak pernah
Kejang diaktivasi oleh :
Hiperventilasi Sering Jarang Tidak Pernah
Stimulasi Potik sering Jarang Tidak pernah
EEG
Interiktal Gelombang paku Gelombang paku Normal
umum fokal
Iktal Gelombang paku Gelombang lambat, Normal
umum tajam, ritme
Diambil dari : Swaiman, dkk edisi ke 6

I. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penderita dengan kejang absans terutama menggunakan sodium
valproate atau ethosuximide, yang memiliki efikasi yang sama untuk mengontrol kejang pada
75% pasien. Sedangkan terapi dengan lamotrigine kurang efektif jika dilihat dari pasien yang
bebas kejang hanya kurang dari 50%. Menambahkan lamotrigine dosis kecil pada sodium
valproate dapat menjadi kombinasi yang bagus untuk kasus resistensi. Namun sebuah
penelitian menegaskan bahwa ethosuximide dan asam valproate merupakan obat yang paling
efektif dibandingkan dengan lamotrigine pada terapi kejang absans pada anak.17

23
Ethosuximide (ESM) adalah garam kristal berwarna putih yang larut dalam air dan
alkohol. Obat ini memblokade kanal T kalsium pada thalamus. Obat ini juga meningkatkan
GABA post sinaps, namun hal itu nampaknya tidak berperan dalam proses anti epilepsi.
Penggunaan obat ini sangatlah terbatas karena hanya digunakan untuk terapi kejang absans.
Ethosuxmide tidak mempunyai efek samping yang serius. Dosis yang digunakan adalah 20-
40 mg/kg BB/ hari, dibagi dalam dua dosis.17,18 Efek samping obat ini adalah gangguan
masalah pencernaan, bertambahnya berat badan, dan nyeri kepala.
Asam valproate (VPA) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk kejang
absans. Mekanisme kerjanya masih belum jelas.VPA banyak mempengaruhi reseptor GABA-
A, dan mekanisme inilah yang diduga menjadi efek antiepilepsi utama.VPA meningkatkan
konsentrasi GABA sinaptosomal dengan aktivasi enzim sintesa GABA asam glutamate
dekarboksilase. Selain itu juga menghambat katabolisme GABA transaminase. Pada area
hipokampal, VPA menurunkan ambang batas konduktansi kalsium dan kalium. Dosis yang
digunakan adalah 10-60 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis. Efek samping yang biasa
terjadi adalah gangguan pencernaan, pertambahan berat badan, alopesia, gangguan fungsi
hati, tremor dan trombositopenia.17
Tatalaksana menggunakan obat yang tepat akan memberikan kendali kejang pada
sebagian besar pasien. Akan tetapi, setelah pemberian obat dengan dosis tertentu kejang
masih mungkin dapat terjadi dengan manifestasi klinis yang sangat ringan sehingga sering
tidak terobservasi. Penelitian Appleton RE, mendapatkan dari 69 anak epilepsi absans, 62
anak secara klinis bebas kejang setelah pengobatan namun ternyata 3 anak masih terdapat
kejang saat pemeriksaan EEG. Oleh karena itu, titrasi dosis pada epilepsi absans sebaiknya
menggunakan bantuan EEG.

J. Prognosis

Sebagian besar memberikan respon positif atau sembuh total pada medikasi yang
tepat, dan kira-kira dua pertiga pasien mengalami penurunan intensitas kejang pada masa
pubertas. Faktor positif untuk kesembuhan termasuk tidak adanya riwayat yang sama dalam
keluarga, tidak ada riwayat status epileptikus non-konvulsif general dan tidak ada kejang
bentuk lain seperti kejang tonik-klonik umum.12 Apabila terdapat gangguan kognitif maka
prognosisnya buruk. Penderita yang memiliki kemungkinan untuk terjadinya rekurensi
walaupun pengobatan sudah dihentikan yaitu pada kasus dengan riwayat frekuensi kejang
yang tinggi sebelum pengobatan, abnormalitas neurologis, retardasi mental dan adanya
abnormalitas EEG yang terus menerus.

24
ANALISA KASUS
Telah dilaporkan suatu kasus seorang anak laki-laki usia 11 tahun 8 bulan, berat
badan 50 kg, tinggi badan 157 cm, datang dengan keluhan sering bengong tiba-tiba. Menurut
pengakuan ibu penderita, mata penderita sering terlihat berkedip-kedip tiba-tiba, lamanya
kurang dari setengah menit, frekukensi lebih dari 10 kali per-hari, dan tidak terlihat saat tidur.
Tidak ada keluhan demam dan sakit kepala sebelumnya. Setelah keluhan mata yang
berkedip-kedip berhenti, penderita meneruskan kegiatannya seperti biasa. Bangkitan bengong
pada penderita kemungkinan suatu kejang absans. Sedangkan keluhan mata sering berkedip-
kedip secara tiba-tiba merupakan manifestasi motorik yang sering menyertai. Kemungkinan
lain pada penderita ini kejang fokal kompleks dan daydreaming. Daydreaming atau melamun
dapat disingkirkan karena saat dipanggil anak tidak meberikan respon dan anak sendiri
merasa tidak mengingat hal yang terjadi saat bangkitan. Epilepsi absans lebih mungkin
dipikirkan pada anak ini dibandingkan epilepsi parsial kompleks karena bangkitan yang
sering, tidak ada gangguan tonus otot, tidak ada aura, dan tidak ada post ictal confusion,
setelah kejang anak dapat melanjutkan aktivitas seperti biasa. Untuk membedakan kedua
kejang ini, dibutuhkan pemeriksaan EEG.
Pada penderita ini didapatkan hasil EEG berupa gelombang paku ombak, regular,
bilateral, dan simetris yang dapat dicetuskan dengan hiperventilasi. Gambaran ini merupakan
gambaran khas pada kejang absans tipikal.15 Sedangkan pada kejang absans atipikal akan
didapatkan gambaran EEG yang irregular dan asimetris. Pada pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan neuorologis tidak didapatkan suatu kelainan. Tes laboratorium tidak dilakukan
pada penderita ini karena pada kasus ini sudah diketahui mengenai adanya riwayat episodik
serangan. Pada penderita ini juga tidak dilakukan pemeriksaan brain imaging karena tidak
ditemukan indikasi untuk pemeriksaan tersebut yaitu kejang fokal, gangguan neurologis, dan
gejala progresif. Onset epilepsi pada pasien ini juga sesuai dengan onset tipikal absans (4-14
tahun), dimana pasien ini mengalami kejang pertama pada usia sekitar 9 tahun.
Pasien ini diberikan pengobatan dengan asam valproate, yaitu obat yang paling
sering digunakan untuk kejang absans, dengan dosis dimulai dari 10mg/kgBB/hari dan
dilakukan evaluasi ulang apabila masih terdapat kejang atau bila keluhan kejang bertambah
sering. Setelah ± 2 minggu pengobatan, dosis obat dinaikkan menjadi 20mg/kgBB/hari dan
menurut pengakuan ibu keluhan bengong yang dialami penderita berkurang, frekuensi hanya
1kali dan ± 1 bulan pengobatan tidak tampak lagi keluhan bengong pada penderita. Saat
dosis dinaikkan menjadi 25 mg/kgBB/hari, orangtua merasa pasien tidak kejang lagi. Namun
saat pemeriksaan EEG, kejang masih dapat dicetuskan dan hanya terjadi saat hiperventilasi

25
dengan waktu yang sangat singkat (6 detik). Kejang seperti ini mungkin sangat sulit
terdeteksi. Beberapa penulis juga menemukan bahwa dengan pengobatan kejang pada absans
akan menjadi sulit terdeteksi sehingga pemonitoran titrasi dosis obat sebaiknya dilakukan
dengan bantuan EEG. Setelah dosis dinaikkan menjadi 30 mg/kgBB/hari, tidak lagi
ditemukan kejang secara klinis maupun pada hiperventilasi.
Setelah 7 minggu mengkonsumsi obat asam valproate tersebut, kejang tetap tidak
terjadi. Selanjutnya harus dimonitor kembalinya kejang secara klinis, efek samping obat,
yaitu gangguan pencernaan, pertambahan berat badan, alopesia, gangguan fungsi hati, tremor
dan trombositopenia.
Penderita juga tampak lebih nakal dan kurang konsentrasi pada pelajaran di sekolah,
hal tersebut memang dialami anak-anak yang menderita kejang absans dimana akan
mengalami masalah pada interaksi sosial dan gangguan dalam belajar, tetapi tidak dalam hal
gangguan pertumbuhan seperti juga yang terjadi pada penderita ini dimana pertumbuhan
penderita ini normal dengan status gizi yang baik.2,3 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
masalah prestasi sekolah dan perilaku dapat membaik dengan terkendalinya kejang namun
pada pasien ini keluhan tersebut harus tetap dipantau lebih lanjut.
Prognosis secara umum pada penderita ini baik karena setelah mengkonsumsi obat
asam valproat kejang dapat dikendalikan dan tidak muncul kembali meski telah dilakukan
hiperventilasi. Petunjuk prognosis yang baik pada pasien ini, tidak gangguan kognitif, tidak
ada status epileptikus, tidak ada bentuk kejang lain, dan respon terhadap hanya satu jenis
obat.

26
PENUTUP

Terima kasih diucapkan kepada Kepala Departemen Kesehatan Anak


RSMH/FK UNSRI Palembang, Ketua Program Studi Bagian Kesehatan Anak RSMH/FK
UNSRI Palembang, serta kepada Supervisor Divisi Neuropediatri dr. Msy Rita Dewi,
Sp.A(K), dr. H. Syarif Darwin, Sp.A (K), dan dr. RM. Indra, Sp.A(K) atas bimbingan dan
kesempatannya sehingga laporan kasus ini dapat disajikan.

27
LAMPIRAN

Diagram Tumbuh Kembang Anak dengan Kejang Absans

LINGKUNGAN

Mikro: Mini: Meso:


Ibu, sarjana, 39 Ayah, sarjana, 42 = Puskesmas MAKRO :
tahun, Pekerjaan tahun, Pekerjaan = RS Swasta
Ibu Rumah Kayawan Swasta,
Rumah permanen,
Tangga, KB (+),
ventilasi cukup
Imunisasi lengkap

KEBUTUHAN DASAR

ASAH ASIH ASUH


CUKUP CUKUP CUKUP

TUMBUH KEMBANG

NEONATUS SEHAT - Intake cukup


- Hygiene sanitasi
cukup
- Sosial-ekonomi
cukup
BAYI SEHAT

Tatalaksana - Pemantauan
adekuat: bangkitan kejang
ANAK DENGAN
- Pemberian KEJANG ABSANS - Pemantauan
obat anti Efek samping obat
kejang yang anti kejang
tepat
- Pemantauan
kejang dengan
penunjang Tumbuh Kembang Optimal
- Edukasi

GENETIK, HEREDOKONSTITUSIONAL
BAIK

28
29
DAFTAR PUSTAKA

1. Damudoro N. Epilepsi Anak dan Kejang Demam. Simposium Penatalaksanaan


Mutkahir Epilepsi. Yogyakarta. FK UGM.1992.
2. Bai Xiaoxiao et all. Dynamic Time Course o Tipikal Childhood Absence Seizures:
EEG, Behaviour, and Functional Magnetic Resonance Imaging. The Journal of
Neuroscience. New Haven, Connecticut. 2010. h.5884-93.
3. Uysal-Soyer Ozge, Yalnizoglu Dilek. The Classification and Differential Diagnosis of
Absence Seizures With Short-Term Video-EEG Monitoring During Childhood. The
Turkish Journal of Pediatrics. Ankara, Turkey. 2012. h. 7-14.
4. Sunaryo, Utoyo. Diagnosis Epilepsi. Bagian Neurologi FK UWK.. Jurnal Ilmiah
Kedokteran volume I. Surabaya. 2007. H. 1-68.
5. Djoenaidi, Benyamin. Diagnosis of Seizure and Epilepsi Syndromes. Epilepsia.2000. h.
1-17
6. Friedman, MJ, Sharief GQ. Seizures in Children. Pediatric Clinic of North America.
Elsevier. USA. 2007. H. 257-77.
7. Pal, DK. Methodologic Isuues In Assesing Risk Factors for Epilepsi in An Epidemioloi
Study n India. Neurology. 1999.H. 2058-63.
8. Byung-In Lee. Classification of Epileptic Seizures and Epilepsi Syndromes. Neurology
Asia. Seoul, Korea. 2013. h. 1-3
9. Engel, Jerome Jr. ILAE Classification of Epilepsi Syndromes. Elsevier. Departements of
Neurology and Neurobiology and The Brain Research Institute at UCLA. USA. 2005.
h. 5-9
10. Christian, M. Korf. Issues Related to The Classification of Epilepsies in Early
Childhood. Epileptologie. Geneva. 2007. h.32-35
11. Tammar Paz, Jeanne, Chavez Mario, Saillet Sandrine. Activity of Vntral Medial
Thalamic Neurons During Absence Seizures and Modulation OfCortical Paroxymes by
The Nigrothalamic Pathway. The Journal of Neuroscience. Paris. 2007. h,.929-41.
12. Moeller F, et al. Changes in acivity of Striatothalamus-cortical Network Procede
Generalized Spike wave Discahrge. Neuroimage. H. 1839-49.
13. Berg, A.T., Shinnar, S. Newly Diagnosed Epilepsi in Children: Presentation and
Diagnosis. Epilepsia 40. 1999. H.445-50.

30
14. Perez Velazquez, et al. Tipikal versus aypical Absence Seizures: Network Mechanism of
The Spread of Paroxysms. Epilepsia. International League Against Epilepsi. 2007. H.
1585-93.
15. Shelagh J.M Smith, Robin P. Kennet. Neurophysiological Investigation of Epilepsi.
Oxford. 2000. H. 873-75.
16. Rolak, Loren A. Neurology Secrets. Mosby inc. Philadelphia. 2010. H: 210-12.
17. Laroche Suzette M, Helmers Sandra L. The New Antiepileptic Drugs. Clinical
Apllication. JAMA vol 291. 2004.
18. Scheffer IE, et al. The Organization of Epilepsies- report of The ILAE Comission on
Classification and Terminology. Australia. H. 1-17

31

Anda mungkin juga menyukai