Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

1 Oktober 2020
Pukul 10.30 WIB

ENSEFALITIS AUTOIMUN

Oleh
dr. Fatimatuzzahra

Pembimbing
dr. RM. Indra, Sp.A(K)
dr. Msy Rita Dewi, Sp.A (K), MARS

Moderator
dr. Fifi Sofiah, Sp.A(K)

Penilai
dr. Afifa Ramadanti, Sp.A(K)
dr. Aditiawati, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITASSRIWIJAYA
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan gerakan adalah gangguan sistem saraf pusat yang menyebabkan


gerakan abnormal yang tidak diinginkan dan biasanya tidak berhubungan dengan
kelemahan atau spastisitas. Disfungsi ganglia basal dan korteks frontal memainkan
peran penting dalam sebagian besar gangguan gerakan pada anak-anak. Secara
konvensional, gangguan gerak dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama
adalah gangguan gerakan hiperkinetik, terkait dengan gerakan yang berlebihan
(misalnya, gerakan yang berlebihan, tidak wajar, dan tidak disengaja). Kategori
pertama ini antara lain tics, stereotip, korea, mioklonus, distonia, dan tremor.
Kelompok kedua adalah gangguan gerakan hipokinetik, dengan kurangnya
gerakan (misalnya, penurunan amplitudo, penurunan kecepatan, atau kehilangan
gerakan), termasuk bradikinesia, akinesia, dan kekakuan. Tidak seperti gangguan
gerakan hipokinetik, gangguan gerakan hiperkinetik, terutama gangguan tic, relatif
umum pada populasi anak.1
Gangguan gerakan yang paling umum pada populasi anak adalah gangguan
tic, termasuk sindrom Tourette (TS). Pada tahun 1825, Jean-Marc Gaspard Itard
melaporkan kasus seorang wanita bangsawan Perancis yang menunjukkan gerakan
tubuh yang tidak disengaja yang melibatkan bahu, leher, dan wajah, dan vokalisasi
seperti membuat suara menggonggong dan mengucapkan bahasa cabul.2
Selanjutnya, George Gilles de la Tourette merujuk kasus ini dan melaporkan
sembilan pasien dengan gangguan tic. Untuk beberapa waktu, tic dianggap sebagai
gejala gangguan fungsional seperti histeria, neurosis, atau narsisme.1,2
Pada tahun 1968, kasus pertama dilaporkan dari pasien tics membaik
dengan neuroleptik. Sejak itu, gangguan tic telah dibahas terutama dalam konteks
neurobiologis. Gangguan ini sering disertai dengan komorbiditas psikiatri seperti

1
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), obsessive-compulsive disorder
(OCD), kecemasan, dan depresi. Oleh karena itu, pengobatan gangguan tic yang
optimal memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan ahli saraf,
psikiater, psikolog, dan terapis perilaku.1,2
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk membahas Tic
Disorder pada anak dengan ilustrasi suatu kasus, meliputi gambaran klinis,
penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan yang dilakukan.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. DATA DASAR
IDENTIFIKASI
Seorang anak GRC, laki-laki, suku Bangka Belitung, usia 9 tahun, berat
badan 41 kg, panjang badan 135 cm, bertempat tinggal di dalam kota. Pasien
dibawa ke IGD RSMH pada 16 Agustus 2020

II. ANAMNESIS
(Dilakukan alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal 16 Agustus
2020)

KELUHAN UTAMA
Mengamuk tanpa sebab

KELUHAN TAMBAHAN
Tidak dapat diajak berkomunikasi

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Sejak 10 hari SMRS anak tampak sering membuat gerakan seperti
menyentikkan jari tangan kanan secara berulang ulang. Anak juga tidak dapat
menyendokkan makanan ke mulutnya. Orang tua juga memperhatikan bahwa
anak sering tampak bengong. Saat berjalan anak sering tiba tiba jatuh.
Bangkitan berupa kaku dan kelojotan tidak ada. Selanjutnya anak hanya
menangis dan tidak dapat diajak berkomunikasi. Anak belum dibawa berobat.
Sejak 5 hari SMRS anak tiba tiba mengamuk tanpa sebab. Anak masih
tidak dapat diajak berkomunikasi. Demam tidak ada. Riwayat trauma
disangkal. Terdapat keluhan muntah-muntah, tidak menyemprot, frekuensi
tiga kali, isi apa yang dimakan atau diminum. Pasien dibawa ke RSUD
Bangka Belitung, dan dirawat inap.Hasil pemeriksaan laboratorium darah
lengkap yaitu leukosit 10.910/µL, DC 0/0/78/19/3, eritrosit 5,40 x 106 / µL,
Hb 12,5 g/dL, Ht 35%, MCV 65,4 fl, MCH 23,1 pg, MCHC 35,4 g/dl,
trombosit 635 x 103 /µL, Na 146 mmol/L, K 3,9 mmol/L, Cl 105 mmol/L, Ca
8,8 mmol/L. Telah dilakukan juga pemeriksaan serologis HSV serum,
didapatkan HSV 1 IgM 1,38 (reaktif). Pemeriksaan CT Scan kepala
menunjukkan hasil normal. Pasien didiagnosis dengan gangguan perilaku
akibat lesi intrakranial kemungkinan suatu ensefalitis HSV, diberikan terapi
ampicillin 3 x 1,5 g iv, cefotaxime 3 x 1,5 g iv, dexamethasone 3 x 8 mg iv,
piracetam 3 x 625 mg iv, citicolin 2 x 250 mg iv, ondancetron iv, furosemide
2 x 20 mg iv, captopril 3 x 12,5 mg po, risperidon 2 x 0,75 mg po, Vit B1 1 x
100 mg po, clobazam 2 x 5 mg po, mannitol 3 x 100 ml iv selama 2 hari.
Setelah dirawat 3 hari, anak masih sering mengamuk, tidak bisa diajak
komunikasi, kejang tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada. Atas
permintaan orang tua pasien, pasien kemudian dirujuk ke RSMH.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

RIWAYAT KEHAMILAN
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Kehamilan pasien
merupakan kehamilan yang diinginkan. Selama hamil, ibu sehat dan tidak
menderita demam. Ibu tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya.
Kontrol kehamilan ke dokter setiap bulan. Riwayat merokok dan minum
alkohol selama hamil disangkal. Riwayat mengonsumsi obat kanker atau obat
kusta selama hamil disangkal, riwayat minum jamu-jamuan disangkal. Ibu
tidak mengeluhkan adanya mata rabun, ibu hanya mengonsumsi vitamin yang
diberikan oleh dokter. Asupan nutrisi selama kehamilan cukup.

1
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Ayah pasien seorang wiraswasta dengan pendidikan terakhir sarjana
dengan penghasilan sekitar 5-7 juta rupiah perbulan, sedangkan ibu pasien
adalah seorang pegawai negeri sipil. Ayah, ibu, pasien dan adik pasien
tinggal di rumah milik sendiri. Biaya hidup keluarga ditanggung oleh ayah
pasien. Orangtua menggunakan fasilitas BPJS untuk pengobatan anaknya.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan Umum
Sensorium : E4M4V4
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu aksila : 36,7°C
SpO2 : 98%
Status Gizi
Berat Badan : 41 kg
Tinggi Badan : 135 cm
BB / U : > p 95
TB / U : p50 - p75
BB / TB : 41/30 x 100% = 136 %

2
BMI : 22,5> p 95
Kesan : obesitas

Keadaan Spesifik
Kepala
Ukuran : normosefali, ubun-ubun menutup, lingkar kepala 52 cm
Wajah : tidak terdapat dismorfi
Mata : konjungtiva pucat tidak ada, sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor 3/3 mm, refleks cahaya ada positif normal, sekret tidak ada
Hidung : napas cuping hidungtidak ada
Telinga : bentuk normal
Mulut : tidak ada sianosis sirkumoral
Dada
Simetris, tidak ada ketinggalan gerak, retraksi tidak ada.
Jantung
Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur dan gallop tidak ada,
thrill tidak ada, ictus cordis tidak terlihat
Paru
Vesikuler normal, ronkhi dan wheezing tidak ada
Abdomen
Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, bising usus normal.
Punggung
Deformitas tidak ada
Ekstremitas
Akral teraba hangat, tidak terdapat akral pucat
Status Pubertas
G1P1

Status neurologikus

3
 Pemeriksaan Umum : orientasi tampak terganggu, anak tidak ada
komunikasi verbal, tidak ada kontak mata, gelisah, terkadang terdapat
gerakan yang tidak terkontrol, sulit dikendalikan.
 Parese nervi kranialis :tidak ada
 Motorik :
Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan Sulit dinilai
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : Suit dinilai


 Keseimbangan : Sulit dinilai
 GRM : tidak ada
RINGKASAN DATA DASAR
Seorang anaklaki-laki berusia 9 tahun, bertempat tinggal di
dalamkotadirujuk dengan keluhan utamasering mengamuk dan keluhan tambahan
tidak dapat diajak berkomunikasi.
Sejak 10 hari SMRS anak tampak sering membuat gerakan seperti
menyentikkan jari tangan kanan secara berulang ulang. Anak juga tidak dapat
menyendokkan makanan ke mulutnya. Orang tua juga mengeluh anak sering
tampak bengong. Saat berjalan anak tiba tiba jatuh, anak hanya menangis dan
tidak dapat diajak berkomunikasi. Kejang tidak ada. Demam tidak ada. Riwayat

4
trauma tidak ada. Muntah ada, tidak menyemprot, frekuensi tiga kali, isi apa yang
dimakan atau minum. Sejak 5 hari SMRS anak tiba tiba mengamuk dan dibawa ke
RSUD dan dirawat inap. Anak dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dan
laboratorium darah lengkap didapatkan hasil normal. Selain itu, pasien juga
dilakukan pemeriksaan serologis HSV serum, didapatkan HSV 1 IgM 1,38
(reaktif). Setelah dirawat 3 hari, anak masih sering mengamuk dan tidak bisa
diajak komunikasi, pasien kemudian dirujuk ke RSMH.
Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan pasien dengan kesadaran GCS
12 ( E4M4V4), tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 98 kali/menit (reguler, isi
dan tegangan cukup), laju napas 28 kali/menitsuhu 36,7˚ C. Kepala normocephali,
reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor, konjungtiva anemis tidak ada, leher dalam
batas normal, Toraks simetris, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi.
Bunyi jantung I – II normal murmur dan gallop tidak ada, pada pemeriksaan fisik
paru dalam batas normal. Abdomen tampak datar, lemas, hepar dan lien tidak
teraba, bising usus (+) normal. Ekstremitas akral hangat (+), CRT< 3 detik.Hasil
pemeriksaan neurologis terdapat gangguan kesadaran namun tidak ditemukan
defisit neurologis fokal.

ANALISA AWAL
Berdasarkan data dasar di atas didapatkan anak dengan keluhan
mengamuk tanpa sebab dan tidak dapat diajak berkomunikasi. Pasien dengan
gangguan perilaku / agitasi sering mengamuk dan penurunan kesadaran. Ada
muntah frekuensi tiga kali, isi apa yang dimakan, tidak menyemprot. Riwayat
anak tampak bengong ada. Riwayat kejang kelojotan disangkal. Riwayat trauma
sebelumnya disangkal. Riwayat kejang disangkal. Riwayat penyakit keluarga
dengan keluhan yang sama disangkal. Pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan GCS E4M4V4, TD 130/80 mmHg, tidak ditemukan defisit neurologis
fokal, status gizi didapatkan obesitas, dan pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal. Pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium pemeriksaan darah lengkap
dan CT scan kepala dari rumah sakit sebelumnya dan didapatkan hasil dalam
batas normal. Pasien juga membawa hasil pemeriksaan dari rumah sakit

5
sebelumnya, didapatkan HSV 1 IgM 1,38 (reaktif). Pasien didiagnosa di rumah
sakit sebelumnya dengan gangguan perilaku akibat lesi intrakranial dengan
diagnosis diferensial ensefalitis virus. Berdasarkan temuan tersebut kemungkinan
diagnosis pasien yaitu ensefalitis autoimun, lupus neuropsikiatrik (NPSLE),
ensefalopati hipertensi dan ensefalitis virus. Karena adanya gejala neuropsikiatri,
pasien juga didagnosis banding dengan ensefalitis NPSLE, namuan tidak terdapat
temuan lain yang menyokong suatu SLE dan belum dilakukan pemeriksaan ANA
dan anti-ds DNA. Pasien memiliki kemungkinan untuk suatu ensefalitis virus,
namun karena tidak ada demam dan tidak ada defisit neurologis fokal
kemungkinan diagnosis tersebut lebih kecil. Ensefalopati hipertensi juga harus
dipertimbangkan, namun gejala utama pada pasien ini adalah gangguan agitasi
atau gangguan perilaku yang timbul terlebih dahulu tanpa ada riwayat sakit kepala
atau gangguan visus. Dari hasil anamnesis, pasien memenuhi kriteria untuk suatu
probable ensefalitis autoimun, yaitu adanya gangguan perilaku / agitasi dengan
onset waktu yang cepat (< 3 bulan), dan adanya gejala berupa gangguan kognitif,
gangguan bicara, bangkitan kejang, gangguan koordinasi gerak mototrik dan
penurunan kesadaran. Selanjutnya pasien membutuhkan pemeriksaan EEG,
analisis CSS dan pencitraan untuk mendukung diagnosis. Pasien juga perlu
dilakukan pemeriksaan kadar antibodi untuk ensefalitis autoimun dari sampel
darah dan CSS, namun belum dapat dilakukan karena tidak tersedia di RSMH.

MASALAH AWAL
Sering mengamuk, tidak dapat diajak berkomunikasi, hipertensi

DIAGNOSIS BANDING
 Ensefalitis autoimun
 Ensefalitis virus
 Ensefalitis bakteri
 Ensefalopati hipertensi
 NPSLE

6
DIAGNOSIS KERJA
Ensefalitis autoimun + infeksi HSV + hipertensi + obesitas
RENCANA AWAL
M 1.Penurunan kesadaran/ agitasi
 Rencana Pemeriksaan CSS
 MRI kepala dengan kontras
 EEG
 ANA, anti Ds DNA

M 2.Hipertensi
 Evaluasi penyebab hipertensi
 Captopril 2 x 12,5 mg

PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Dubia
2. Quo ad functionam : Dubia
3. Quo ad Sanationam : Dubia

7
PEMANTAUAN PASIEN
Senin, 17 Agustus 2020(Hari rawat ke 1)
S Anak sering mengamuk, tidak dapat diajak berkomunikasi, kejang tidak ada
O Keadaan umum:
Sensorium : E4M4V4, TD : 130/80 mmHg, Nadi : 90 x/menit, pernapasan : 28 x/menit,
suhu aksila : 36,7ºC, SpO2: 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas
cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, bising ususnormal
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum :orientasi tampak terganggu, anak tidak ada komunikasi verbal,
tidak ada kontak mata, gelisah, terkadang terdapat gerakan yang tidak terkontrol,
sulit dikendalikan.
 Parese nervi kranialis : tidak ada

 Motorik :

8
Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan Sulit dinilai
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : Suit dinilai

 Keseimbangan : Sulit dinilai


 GRM : tidak ada
Hasil Pemeriksaan CSS:
Analisa CSS : 1,5 ml, tidak berwarna, jernih, tidak berbau, BJ 1,005 bekuan (-) pH 9 lekosit
11,0 Hitung jenis : PMN : 0% MN 100%, tidak ditemukan sel blast. Nonne (-) Pandy (-)
protein 22,4 mg/dL LDH 30 U/L Glukosa 80,0 mg/dL Cl 125 mEq/L.
Interpretasi : Pleositosis
Temuan EEG :

Rekaman EEG dilakukan dalam keadaan sadar dengan sedasi kloral hidrat.
Pasien relatif tenang, terdapat gerakan semi directed terutama pada ekstremitas atas kanan
yang tidak berkorelasi dengan gelombang epileptiform. Tampak gelombang irama dasar
delta 3-4 spd bervoltase sedang. Tampak gambaran delta brush kontinyu. Rekaman menit

9
ke 23.00 pasien tidur, tampak ritme posterior dominan masih 3-4 spd bercampur 5-6 spd.
Tampak sleep spindle jarang.
Interpretasi :
EEG Abnormal:
 Tampak hipofungsi umum dengan excessive delta brush

 Tidak tampak gelombang epileptiform


A  CSS menunjukkan hasil pleositosis yang mendukung suatu ensefalitis
 Hasil EEG menunjukkan hipofungsi yang merupakan gambaran non spesifik untuk
ensefalitis dan excessive delta brush yang merupakan gambaran khas dari ensefalitis anti
NMDAR
 Probable ensefalitis autoimun tipe anti NMDAR + infeksi HSV+ hipertensi stage II +
obesitas
P  IVFD D51/2 NS gtt X/mnt
 Acyclovir 3 x 850 mg iv (1)
 Risperidon 2 x 0,5 mg po
 Captopril 2 x 12,5 mg po
 Rencana methylprednisolone dosis tinggi 1 gr/hari drip iv dalam D5% 100 cc selama 5
hari
 Rencana MRI kepala dengan kontras
 Rencana USG Abdomen dan CT scan thoraks

Selasa, 18 Agustus 2020(Hari rawat ke 2)


S Anak sering mengamuk, tidak dapat diajak berkomunkasi, kejang tidak ada
O Keadaan umum:
Sensorium : E4M4V4, TD : 130/80 mmHg, Nadi: 108 x/menit, Pernapasan: 24 x/menit,
Suhu aksila : 36,3ºC, SpO2: 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

10
Abdomen Datar, lemas, bising usus normal
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum :orientasi tampak terganggu, anak tidak ada komunikasi
verbal, tidak ada kontak mata, gelisah, terkadang terdapat gerakan yang tidak
terkontrol, sulit dikendalikan.
 Parese nervi kranialis : tidak ada

 Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri


Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan Sulit dinilai
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : Suit dinilai

 Keseimbangan : Sulit dinilai

 GRM : tidak ada


A Probable ensefalitis autoimun + infeksi HSV+ hipertensi stage II + obesitas
P  IVFD D51/2 NS
 Methylprednisolone 1 gr drip dalam D5% 100 cc (Hari ke-2)
 Acyclovir 3 x 850 mg iv (2)
 Risperidon 2 x 0.5 mg po
 Captopril 2 x 12.5 mg po
 Rencana MRI Kepala kontras Rabu, 19 Agustus 2020
 Konsul pendampingan dedasi
 Konsul divisi Nefrologi untuk evaluasi dan tatalaksana hipertensi
Konsul divisi nefrologi :
Kesan : Hipertensi saat ini dapat disebabkan oleh proses intrakranial (edema serebri)
Saran : Lanjutkan pemberian Captopril 2 x 12,5 mg po

11
Diet rendah garam
Konsul pendampingan sedasi :
Kesan : susp ensefalitis autoimun + Hipertensi pro MRI kepala dengan kontras
Saran : puasa 6 jam sebelum tindakan, terapi hipertensi dilanjutkan sesuai TS anak

Jumat, 21 Agustus 2020 (Hari rawat ke 5)


S Anak tidak dapat diajak berkomunkasi, kejang tidak ada, masih sering mengamuk
O Keadaan umum:
Sensorium : E4M4V4, TD : 110/70 mmHg, Nadi : 98 x/menit, Pernapasan : 26 x/menit, Suhu
aksila : 36, 7ºC, SpO2 : 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, bising usus normal
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum : orientasi tampak terganggu, anak tidak ada komunikasi
verbal, tidak ada kontak mata, gelisah, terkadang terdapat gerakan yang tidak
terkontrol, sulit dikendalikan.
 Parese nervi kranialis: tidak ada

 Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri


Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan Sulit dinilai
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : Suit dinilai

12
 Keseimbangan : Sulit dinilai

 GRM : tidak ada


Experise Hasil MRI Kepala :
Intracerebral tidak tampak lesi yang mencurigakan infark/perdarahan maupun SOL.
Tidak tampak malformasi vaskuler.
Kedua hypocampus baik.
Batang otak, cerebellum dan CPA baik.
Tidak tampak sinusitis/mastoiditis.

A Hasil MRI yang normal mendukung suatu ensefalitis autoimun yang hasilnya lebih sering
normal dibandingkan ensefalitis atau ensefalopati tipe lain
Ensefalitis autoimun + infeksi HSV+ Hipertensi stage II + obesitas
P  IVFD D51/2 NS
 Omeprazole 2 x 20 mg iv
 Methylpredisolone 1 gr drip iv dalam D5% 100 cc (Hari ke-5, rencana 5 hari)
 Acyclovir 3 x 850 mg iv (Hari ke-5, rencana 14 hari)
 Risperidon 2 x 0.5 mg
 Captopril 2 x 12.5 mg po
 Rencana IVIG 16 gr tiap 24 jam selama 5 hari, menunggu persetujuan komite medik
 Konsul divisi NPM :
 Nutriflex 1500 ml/hari

Jumat, 28 Agustus 2020 (Hari rawat ke 14)


S Anak mulai dapat diajak berkomunkasi, kejang tidak ada, mengamuk tdak ada
O Keadaan umum:
Sensorium : E4M5V4, TD : 120/80 mmHg, Nadi: 94 x/menit, Pernapasan : 24 x/menit, Suhu
aksila : 36,5ºC, SpO2: 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, bising usus normal

13
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum : orientasi baik, anak tidak ada komunikasi verbal, kontak
mata ada, tidak terdapat gerakan abnormal stereotipik.
 Parese Nervi cranial : tidak ada

 Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri


Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : Suit dinilai

 Keseimbangan : Sulit dinilai

 GRM : tidak ada


A Probable ensefalitis autoimun + infeksi HSV+ hipertensi stg II + obesitas
P  Methylprednisolone 3 x 20 mg po
 Inj Acyclovir 3 x 850 mg iv (Hari ke-14, rencana 14 hari)
 Risperidon 2 x 0,5 mg po
 Captopril 2 x 12,5 mg po
 Inj Omeprazole 1 x 20 mg iv
 IVIG 16 gr tiap 24 jam (hari ke-1, rencana pemberian selama 5 hari)
 Diet :
 NB 3 x 1 porsi
 Susu low fat 1 x200 ml
 Clinimix 1500 ml/hari

Selasa, 1 September 2020 (Hari rawat ke 18)

14
S Anak mulai dapat diajak berkomunikasi, Kejang tidak ada, Mengamuk tidak ada
O Keadaan umum:
Sensorium: E4M6V4, TD : 120/80 mmHg, Nadi : 94 x/menit, Pernapasan: 24 x/menit, Suhu
aksila : 36,5 C, SpO2 : 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, bising usus normal
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum : orientasi baik, tidak ada perilaku aneh steriotipik

 Parese nervi kranialis : tidak ada

 Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri


Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

 Sensorik : dalam batas normal

 Keseimbangan : dalam batas normal

 GRM : tidak ada


A Probable ensefalitis autoimun + infeksi HSV+ hipertensi stg II + obesitas
P  Methylprednisolone 3 x 20 mg po
 Risperidon 2 x 0.5 mg po
 Captopril 2 x 12.5 mg po

15
 Inj Omeprazole 1 x 20 mg iv
 Selesai IVIG 16 gr tiap 24 jam (hari ke-5)
 Diet :
 NB 3 x 1 porsi
 Susu low fat 2 x200 cc
 Rencana USG Abdomen (10/09/20)

Jumat, 11 September 2020 (Hari rawat ke 26)


S Anak dapat diajak berkomunikasi, mengamuk tidak ada
O Keadaan umum:
Sensorium : E4M6V5, TD : 110/70 mmHg, Nadi : 92 x/menit, Pernapasan: 22 x/menit, Suhu
aksila : 36,2 C, SpO2: 98%
Keadaan spesifik:
Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, bising usus normal
Esktremitas Akral hangat CRT < 2 detik
Status neurologikus :
 Keadaan Umum : orientasi baik, tidak ada perilaku aneh steriotipik

 Parese nervi kranialis : tidak ada

 Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri


Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal Normal Normal
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

16
 Sensorik : dalam batas normal

 Keseimbangan : dalam batas normal

 GRM : tidak ada


USG Abdomen : Tidak Tampak kelainan pada USG abdomen saat ini

A Ensefalitis autoimun + Infeksi HSV (perbaikan) + hipertensi on therapy + feeding problem +


pbesitas
P  Pasien pulang kontrol
 Obat pulang
 Methylprednisolone 3 x 20 mg po, diberikan selama 10 minggu dengan pengurangan
dosis bertahap (tappering off)
 Risperidon 2 x 0,5 mg po
 Captopril 2 x 12,5 mg po
 Edukasi keluarga kontrol ke poliklinik neurologi anak untuk evaluasi
 Rencana CT scan thoraks

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tics didefinisikan sebagai "gerakan motorik yang tiba-tiba, cepat, berulang,
nonritmik (tik motorik) atau vokalisasi (tik vokal atau fonik)". Baik tics motorik
dan vokal diklasifikasikan menjadi sederhana atau kompleks, namun membedakan
tic sederhana dari tic kompleks tidak selalu mudah. Tics motorik sederhana adalah
gerakan yang singkat, tiba-tiba, berulang, dan tidak bertujuan, dan hanya
melibatkan satu kelompok otot atau bagian tubuh (misalnya, wajah, leher, bahu,
atau tangan).3 Tics motorik paling sering melibatkan mata dan mulut, diikuti oleh
leher dan tungkai, kaki dan struktur aksial midline paling jarang terlibat. Contoh
tics motorik termasuk berkedip, memutar mata, membuka lebar mata atau mulut,
memiringkan leher, mengangkat bahu, dan berjabat tangan. Berdasarkan
fenomenologinya, tics motorik sederhana dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tics
klonik, distonik, dan tonik.4 Tic klonik adalah gerakan menyentak yang tiba-tiba,
cepat, singkat (misalnya, berkedip, meringis wajah, menyentak kepala). Tics
distonik lebih lambat, menghasilkan postur abnormal yang bertahan sebentar
(misalnya, deviasi mata ke atas yang berkepanjangan, penutupan mata, bruxism,
pembukaan mulut, atau tortikolis). Tics tonik adalah kontraksi isometrik
(misalnya, ketegangan otot perut dan tungkai).4,5 Beberapa tics dapat
menyebabkan gangguan sementara dari aktivitas motorik atau bicara yang sedang
berlangsung tanpa kehilangan kesadaran. Tics semacam itu sering disebut sebagai
blocking tics. Sebaliknya, tics motorik kompleks disebabkan oleh beberapa
kelompok otot dan kadang-kadang tampak sebagai pola gerakan yang bertujuan,
terkoordinasi, atau teratur. Contohnya termasuk menyentuh, mengetuk,
melambaikan tangan, menendang, melompat, echopraxia (meniru gerakan orang
lain), dan copropraxia (melakukan gerakan cabul atau terlarang atau sentuhan
yang tidak pantas).5
Tics vokal sederhana adalah suara yang tidak bermakna yang dihasilkan
karena gerakan udara melalui hidung, mulut, atau tenggorokan. Tics vokal sering
disebut sebagai tics phonic, karena suara dapat dihasilkan tidak hanya oleh
kontraksi pita suara tetapi juga oleh kontraksi otot hidung, mulut, laring, faring,
dan pernapasan. Contohnya termasuk batuk, membersihkan tenggorokan,
mendengus, menirukan suara binatang, dan mengklik lidah.1
Tics vokal kompleks melibatkan beberapa kelompok otot dan ditandai
dengan kata, frasa, atau kalimat. Contohnya termasuk berteriak dan membentak,
echolalia (mengulangi kata-kata orang lain), dan coprolalia (mengucapkan
ekspresi yang tidak pantas secara sosial). Koprolalia terlihat pada 8-17% pasien
dengan TS, dan onsetnya biasanya sekitar usia 15 tahun.1
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition
(DSM-5), mendefinisikan lima gangguan tic:6
1. Gangguan Tic Sementara
2. Gangguan Tic Motor atau Vokal Persisten (kronis)
3. Gangguan Tourette (juga dikenal sebagai sindrom Tourette)
4. Gangguan Tic Khusus Lainnya
5. Gangguan Tic Tidak Terspesifikasi.

Tiga gangguan tic pertama mengharuskan onset sebelum usia 18 tahun dan
gejalanya tidak disebabkan oleh penyakit medis lain seperti penyakit Huntington,
penyalahgunaan zat, atau efek samping pengobatan. Gangguan Tic Sementara
dianggap ketika tics (motorik atau vokal atau keduanya) telah hadir kurang dari
satu tahun sejak onset tic. Baik TS dan Gangguan Tic Motorik atau Vokal yang
menetap (kronis) menunjukkan adanya tics selama lebih dari satu tahun (periode
bebas tic intervensi diperbolehkan). Gangguan Tic Motorik atau Vokal Persisten
(kronis) didiagnosis ketika individu telah menunjukkan tics motorik atau vokal
(tetapi tidak keduanya) pada suatu waktu selama sakit. Ketika tics motorik dan
vokal telah terjadi selama perjalanan penyakit, meskipun tidak harus bersamaan,
diagnosis TS dapat ditegakkan. Pasien dengan TS cenderung memiliki tingkat
keparahan tics yang lebih tinggi, prevalensi yang lebih besar dari tics motorik
kompleks (misalnya, copropraxia dan echopraxia), dan gejala komorbiditas yang
lebih banyak daripada pasien dengan Persistent Motor Tic Disorder.7

1
Dua gangguan tic terakhir adalah kategori baru dalam DSM-5. Dalam DSM-
IV, gangguan tic yang tidak memenuhi kriteria gangguan tic spesifik
dikategorikan sebagai Tic Disorder Not Other Specified. DSM-5 menggunakan
Other Specified Tic Disorder dan Unspecified Tic Disorder ketika gejala tic
menyebabkan gangguan atau gangguan klinis, tetapi individu tersebut tidak
memenuhi kriteria untuk tiga gangguan tic pertama. Misalnya, Other Specified Tic
Disorder digunakan ketika dokter memilih untuk menjelaskan alasan spesifik
untuk tidak memenuhi kriteria (misalnya, onset setelah 18 tahun), sedangkan
Unspecified Tic Disorder digunakan ketika dokter memilih untuk tidak
menentukan alasan mengapa kriteria tersebut tidak terpenuhi (misalnya,
kurangnya informasi yang cukup untuk membuat diagnosis yang lebih spesifik).
Penting untuk diingat bahwa kriteria diagnostik gangguan tic tidak menyebutkan
tingkat keparahan tic.1
Pada DSM-IV, diagnosis Transient Tic Disorder membutuhkan tics yang
berlangsung setidaknya selama empat minggu, dan Persistent Tic Disorder dan
TS membutuhkan satu tahun tics tanpa periode bebas tic lebih dari tiga bulan
berturut-turut. Kriteria ini telah dihapus dari DSM-5. Tidak ada dasar faktual
untuk batas empat minggu dan sebagian besar gejala tic berlangsung lebih lama
dari empat minggu. Kriteria "tiga bulan berturut-turut" tidak didukung oleh studi
epidemiologi.8 Selanjutnya, Gangguan Tic "Transien" diubah menjadi Gangguan
Tic "Sementara" di DSM-5 karena kebingungan tentang arti "sementara".
Meskipun beberapa tics motorik distereotipkan, kata "stereotyped" tidak lagi
digunakan dalam definisi gangguan tic untuk menghindari kebingungan antara
tics dan Stereotypic Movement Disorder. Dalam DSM-IV, gangguan tic harus
menyebabkan gangguan atau penderitaan yang signifikan secara klinis pada
pasien, tetapi kriteria ini dihilangkan dimulai dengan DSM-IV TR. Gejala tic
tidak selalu menyebabkan gangguan tersebut. Banyak anak dengan tics tidak
selalu terganggu oleh tics mereka, melainkan oleh komorbiditas neuropsikiatri
lainnya.9
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

2
Patofisiologi gangguan tic melibatkan gangguan fungsi sirkuit kortikal-
striatal-talamik-kortikal dengan fungsi neurotransmiter terkait yang menyimpang,
dalam dopamin, serotonin, dan asam gamma-aminobutirat (GABA), dan
perkembangan yang berhubungan dengan konektivitas fungsional atipikal otak.
Etiologi gangguan tic kompleks dan multifaktorial, termasuk faktor poligenik dan
faktor non-genetik seperti faktor lingkungan dan mekanisme yang dimediasi oleh
imun, berkontribusi pada fenotipe klinis yang heterogen.10,11
2.2.1 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan spesifik yang mempengaruhi perkembangan gangguan tic
sulit dipahami. Berbagai penelitian telah menyelidiki faktor epigenetik
prenatal dan perinatal. Sebuah studi wawancara langsung menemukan
korelasi tics dengan stres pada kehidupan ibu selama kehamilan dan mual
dan muntah selama trimester pertama kehamilan, sebuah studi tinjauan
retrospektif menemukan korelasi dengan perawatan prenatal dini pada
trimester pertama, lebih banyak kunjungan prenatal, penurunan skor Apgar
pada lima menit, dan bulan ketika perawatan prenatal dimulai dan tinjauan
sistematis menemukan korelasi dengan berat badan lahir rendah dan ibu
yang merokok sebelum melahirkan. Namun, sebuah studi kohort prospektif,
berbasis populasi, pra kelahiran mengidentifikasi penggunaan alkohol
selama kehamilan, penggunaan ganja selama kehamilan, dan paritas dan
penambahan berat badan yang tidak memadai selama kehamilan sebagai
faktor risiko prenatal untuk gangguan tic kronis, tetapi faktor risiko lain
seperti ibu prenatal merokok , usia kehamilan, berat badan lahir rendah, dan
komplikasi persalinan tidak berhubungan dengan gangguan tic.12
2.2.2 Faktor genetik
Pada tahun 1885, Georges Gilles de la Tourette menunjukkan kemungkinan
faktor genetik dari gangguan tic. 13 Sejak itu, banyak penelitian telah
menyelidiki faktor genetik pada gangguan tic. Analisis segregasi dari 27
keluarga dengan pasien TS menunjukkan pola transmisi dominan autosomal.
Sebuah studi kembar dengan kemungkinan kembar monozigot (MZ) dan
dizigotik (DZ) menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian untuk tics masing-

3
masing adalah 77% dan 23% untuk pasangan MZ dan DZ, dan untuk TS
masing-masing adalah 53% dan 8% untuk pasangan MZ dan DZ. Sebuah
studi selanjutnya dengan kembar MZ juga menunjukkan tingkat kesesuaian
yang tinggi 94% untuk gangguan tic dan 56% untuk TS, yang menunjukkan
etiologi genetik dengan penetrasi tinggi.1,13
Saat ini, gangguan tic dan TS dianggap sebagai kelainan bawaan poligenik
yang melibatkan sejumlah besar gen yang berbeda. Dalam studi kohort
berbasis populasi menggunakan program Genome-wide Complex Trait
Analysis, heritabilitas TS diperkirakan 0,58-0,77. Studi berbasis populasi
yang sama juga mengungkapkan bahwa risiko mengembangkan gangguan
tic untuk kerabat tingkat pertama dari probands dengan gangguan tic secara
signifikan lebih tinggi daripada kerabat tingkat kedua dan ketiga. Saudara
kandung dari individu dengan gangguan tic memiliki risiko yang lebih tinggi
secara signifikan untuk mengembangkan gangguan tic daripada saudara tiri
ibu, terlepas dari paparan lingkungan yang serupa, menunjukkan bahwa
lingkungan jauh kurang penting dalam menyebabkan gangguan tic.15
2.2.3 Faktor Imunologi
Respon imun abnormal telah diusulkan sebagai penyebab yang mendasari
tics, dan usulan tersebut telah mendorong penyelidikan dengan pendekatan
yang berbeda, termasuk penelitian pada hewan, penelitian post-mortem, dan
penelitian laboratorium. Studi-studi ini telah mengungkapkan beberapa bukti
untuk mekanisme yang dimediasi imun, termasuk gangguan aktivasi respon
imun bawaan, terutama terhadap infeksi bakteri,16 peningkatan interleukin-
12 dan faktor nekrosis tumor pada awal, defisit regulasi sel T, peningkatan
titer molekul adhesi sebagai penanda respon inflamasi sistemik, profil im
munoglobulin yang diubah, adanya pita oligoklonal dalam cairan tulang
belakang sentral, keterlibatan mikroglia, aktivitas berlebihan dari respons
imun sistemik; dan crosstalk saraf-imun disfungsional.17,18 Beberapa kasus
TS dapat mewakili gangguan autoimun sistem saraf pusat setelah infeksi.
Pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with
streptococcal infections (PANDAS) telah dihipotesiskan sebagai bagian dari

4
anak-anak dengan onset akut tics atau OCD setelah infeksi streptokokus.
Kriteria diagnostik meliputi:19
(1) adanya gangguan OCD atau tic atau keduanya;
(2) onset sebelum pubertas (biasanya antara 3 dan 12 tahun);
(3) onset dan/atau perjalanan episodik yang tiba-tiba, dramatis, dan
eksplosif;
(4) perjalanan gejala klinis yang kambuh dan hilang dengan hubungan
temporal yang terkait dengan infeksi streptokokus; dan
(5) gejala neurologis lainnya seperti hiperaktif, kecemasan, gerakan
koreiform, atau tics selama eksaserbasi.
Patofisiologi PANDAS dihipotesiskan terkait dengan autoantibodi anti-
neuronal IgG yang dihasilkan melalui proses mimikri molekuler antara host
dan streptokokus grup A (GAS), yang menembus sawar darah-otak dan
berpotensi menginduksi transduksi sinyal saraf dan selanjutnya pelepasan
dopamin berlebih.20
Pengobatan PANDAS juga masih kontroversial. Pengobatan lini pertama
untuk PANDAS akut dan kronis adalah pendekatan simtomatik
menggunakan intervensi psikologis dan farmakologis yang terbukti
bermanfaat pada gejala spesifik.21 Mengingat kemungkinan mekanisme
autoimun, terapi anti inflamasi dan imunomodulator (misalnya,
kortikosteroid, obat antiinflamasi nonsteroid, imunoglobulin intravena
(IVIG), pertukaran plasma terapeutik, rituximab) telah digunakan untuk fase
akut. Dalam studi kontrol plasebo double-blind, IVIG tidak secara signifikan
mengurangi keparahan tic atau gejala OCD.22,23 Sebaliknya, sebuah studi
terkontrol plasebo tunggal menggunakan IVIG dan plasmapheresis untuk
pasien dengan eksaserbasi parah yang dipicu oleh infeksi dari OCD atau
gangguan tic, termasuk TS, menunjukkan bahwa plasmapheresis
menunjukkan pengurangan keparahan tic, yang diukur dengan Tourette
Syndrome Unified Rating Scale, namun tidak untuk IVIG. The Tourette
Association of America menyimpulkan bahwa "pengobatan eksperimental
berdasarkan teori autoimun, seperti pertukaran plasma, terapi

5
imunoglobulin, atau pengobatan antibiotik profilaksis, tidak boleh dilakukan
di luar uji klinis formal".24

2.3 Epidemiologi
Sulit untuk memperkirakan prevalensi sebenarnya dari gangguan tic karena
sejumlah besar orang tidak mengenali tics mereka atau tidak mencari perawatan
medis. Oleh karena itu, prevalensi tics yang dilaporkan pada anak-anak sangat
bervariasi. Tics lebih cenderung mempengaruhi anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan rasio 1,5-4:1.25 Insiden tics motorik lebih tinggi pada bulan-
bulan musim dingin dibandingkan pada bulan-bulan musim semi. Dalam studi
observasi langsung di mana para peneliti pergi ke sekolah lokal untuk menilai tics
pada anak-anak, setidaknya satu tic motorik tercatat pada 47% siswa kelas 1 dan
15% siswa kelas 6, dan prevalensi cross sectional keseluruhan tics selama masa
kanak-kanak sekitar 19-24%. Studi observasional lain menggunakan kuesioner
mengungkapkan bahwa tics ditemukan pada 22% anak-anak prasekolah, 7,8%
anak sekolah dasar, dan 3,4% remaja. Kecenderungan serupa telah diamati di
negara-negara lain. Misalnya, di Polandia, prevalensi tics lifetime secara
keseluruhan adalah 9,9% (12% untuk anak laki-laki dan 7,7% untuk anak
perempuan). Di Spanyol, tics tercatat pada sekitar 17% siswa usia sekolah (19%
untuk anak laki-laki dan 13% untuk anak perempuan). Prevalensi tics pada anak
yang menerima pendidikan khusus diperkirakan 20-23%, dengan 5,3-7,0% dari
mereka memenuhi kriteria untuk TS.26
Prevalensi TS diperkirakan sekitar 0,4-3% pada siswa sekolah reguler.
Selanjutnya, prevalensi TS pada anak dengan gangguan spektrum autistik lebih
tinggi: 22% anak dengan gangguan spektrum autistik ditemukan memiliki tics
motorik kronis dan 11% didiagnosis dengan TS.27
Gangguan tic adalah gangguan gerakan yang paling umum pada populasi
anak, tetapi gangguan tic primer onset dewasa jarang dan biasanya berhubungan
dengan gangguan neuropsikiatri yang mendasari (misalnya, sindrom Down,
penyakit Huntington, neu roacanthocytosis), trauma kepala atau perifer, stroke
ganglia basal, infeksi HIV, dan efek samping neuroleptik dan antiepilepsi atau

6
penyalahgunaan kokain. Memang, banyak tics pada orang dewasa yang
merupakan pengulangan atau kelanjutan dari tics masa kanak-kanak.28
2.4 Perjalanan Klinis
Dalam praktik klinis, diagnosis tics biasanya langsung dan dapat dibuat
dengan mengacu pada riwayat klinis pasien. Meskipun pemeriksaan fisik lengkap
dengan pengamatan klinis langsung penting dalam mendiagnosis gangguan
neurologis, pemeriksaan neurologis normal pada anak dengan gangguan tic,
kecuali tics itu sendiri. Menariknya, pasien dengan tics mungkin secara tidak
sadar menekan tics mereka di klinik. Dalam hal ini, adalah bijaksana untuk
meminta wali mereka untuk merekam video tics mereka di rumah untuk
memahami karakteristik dan keparahan mereka. Diagnosis tidak memerlukan
pengujian laboratorium atau studi pencitraan neurologis. Oleh karena itu,
memahami perjalanan alami tics sangat penting.1,29
Tics biasanya dimulai antara usia 3-8 tahun. Gejala tic pertama biasanya tics
motorik sederhana yang melibatkan wajah, kepala, atau leher. Tics kemudian
menyebar ke arah rostro-caudal dari waktu ke waktu . Tic vokal pertama terjadi
rata-rata beberapa tahun setelah onset tics motorik dan biasanya tics vokal
sederhana seperti membersihkan tenggorokan atau mengendus. Secara
konvensional, kebanyakan tics diyakini akan hilang dengan sendirinya dalam
beberapa bulan. Namun, data epidemiologi untuk perjalanan klinis onset baru tics
masih jarang. Melakukan studi lanjutan tentang Gangguan Tic Sementara itu sulit,
karena banyak pasien tidak mencari bantuan medis untuk tics mereka kecuali
mereka menganggapnya mengganggu. Sebuah studi tindak lanjut klinis anak-anak
dengan onset tics baru-baru ini (kurang dari enam bulan sejak tic pertama)
menunjukkan bahwa tics mereka bertahan 12 bulan setelah onset baru, tetapi
sebagian besar anak-anak tidak lagi terganggu oleh tics mereka. 29 Satu penjelasan
untuk perbedaan ini terkait dengan sifat jinak dari gangguan tic. Jika tics minimal
atau ringan dan tidak menyebabkan gangguan atau penderitaan, pasien dan
anggota keluarga mungkin tidak mengenalinya atau merasa perlu untuk mencari
perhatian medis. Jika pasien tidak kembali ke klinik, ini dapat disalahartikan
sebagai remisi tics.1,30

7
Jika tics bertahan selama lebih dari satu tahun, tingkat keparahan biasanya
memuncak sekitar usia 8-12 tahun. Kebanyakan pasien dengan tics mengalami
perbaikan yang signifikan atau resolusi lengkap pada awal masa dewasa.
Meskipun tics masih ada pada pemeriksaan langsung pada 88-100% orang dewasa
dengan diagnosis TS pada masa kanak-kanak atau remaja, sekitar 33-47% pasien
dengan TS melaporkan benar-benar bebas tic, kurang dari 50% memiliki tics
ringan, dan kurang dari 25% memiliki tics sedang atau berat di masa dewasa.
Dengan kata lain, kebanyakan pasien dengan TS tidak lagi terganggu oleh tics di
masa dewasa. Fakta ini dapat menjadi informasi yang disambut baik bagi pasien
dan wali yang cemas tentang prognosis gangguan tic.30
Tics biasanya mengikuti pola waxing dan waning dalam tingkat keparahan
dan frekuensi, dengan campuran tics lama dan baru. Meskipun timbulnya TS
tampaknya tidak terkait dengan peristiwa kehidupan, eksaserbasi dan tingkat
keparahan tics yang berfluktuasi terkait dengan faktor lingkungan. Tics sementara
diperburuk oleh ketegangan psikologis (misalnya, stres, kecemasan, kegembiraan,
kemarahan), ketegangan fisik (misalnya, kelelahan, kurang tidur, dan infeksi), dan
perubahan lingkungan. Eksaserbasi ini biasanya bersifat sementara dan mereda
setelah penyebabnya teratasi. Individu dengan tics sering mengalami sensasi yang
tidak menyenangkan sebelum tics, yang disebut sebagai dorongan premonitory,
yang sementara lega dengan pelaksanaan tics. Lebih dari 90% remaja dan orang
dewasa dengan TS dan 37% anak-anak dengan TS dari usia 8 sampai 19 tahun
dilaporkan mengalami dorongan premonitory sampai batas tertentu. Tidak seperti
gangguan gerakan lainnya, tics dapat ditekan secara sukarela untuk periode yang
bervariasi, yang dikenal sebagai supresibilitas tic.31
Berbagai penelitian termasuk studi genetik, studi pengujian neuropsikologi,
dan studi neuroimaging telah mengungkapkan hanya beberapa faktor prediktif
gangguan tic. Sebuah studi wawancara klinis orang dewasa yang memiliki tics di
masa kanak-kanak menunjukkan bahwa keparahan tic di masa kanak-kanak dan
adanya coprolalia tidak selalu merupakan prediktor keparahan tic dewasa.
Sebaliknya, studi longitudinal prospektif klinis lain dari orang dewasa yang
memiliki tics di masa kanak-kanak menunjukkan bahwa keparahan tics di akhir

8
masa kanak-kanak dikaitkan dengan keparahan tic di awal masa dewasa. Gejala
komorbiditas seperti ADHD, OCD, dan depresi bertahan hingga dewasa dan
memerlukan pemantauan ketat.32
2.5 Komorbiditas
Sindrom Tourette sering komorbid dengan gejala kejiwaan lainnya, seperti
ADHD, OCD, autistic spectrum disorder, depresi, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, migrain, dan perilaku melukai diri sendiri. Sekitar 85-88% pasien
dengan TS memiliki setidaknya satu komorbiditas psikiatri yang biasanya muncul
pada usia 4-10 tahun. Komorbiditas yang paling umum adalah ADHD dan OCD.
Gangguan lain (misalnya, gangguan mood, kecemasan, perilaku mengganggu,
perilaku melukai diri sendiri) telah ditemukan terjadi pada sekitar 30% pasien
dengan TS. Beberapa di antaranya mungkin merupakan bagian dari TS (atau
berbagi pengaruh etiologis yang sama), sedangkan yang lain kurang terkait secara
langsung.33
Meskipun TS dan gangguan tic kronis dikaitkan dengan risiko kematian dini
yang lebih tinggi, terlepas dari adanya komorbiditas seperti ADHD, OCD, dan
penyalahgunaan zat, dalam studi kohort prospektif, orang dewasa dengan TS
melaporkan fungsi psikososial yang baik, pencapaian tonggak sosial seperti lulus
dari sekolah, mendapatkan pekerjaan, dan menikah, dan kualitas hidup yang
tinggi. Karena banyak orang masih memiliki kesalahpahaman tentang gangguan
tic (misalnya, tics disebabkan oleh masalah psikologis atau individu dengan tics
tidak dapat menjalani kehidupan normal), memberikan panduan antisipatif pada
saat diagnosis TS dapat meyakinkan pasien dan keluarganya.34
Bahkan ketika gejala tic tidak mengganggu fungsi sosial, perilaku, atau
emosional, komorbiditas dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien
lebih dari tics. Demikian pula, orang tua dari anak-anak dengan tics melaporkan
bahwa gejala yang tidak berhubungan dengan tic lebih bermasalah daripada tics
itu sendiri. Sebuah studi tindak lanjut klinis besar pada anak-anak dan remaja
dengan TS menunjukkan penurunan terkait usia pada tics, ADHD, dan OCD
selama masa remaja, meskipun gejala lain, seperti gangguan tidur, tetap ada.

9
Mengingat komorbiditas ini dan konsekuensi buruknya adalah penting, dan
penilaian berulang untuk mereka diperlukan.35
2.6 Tatalaksana
Pengobatan dan pengelolaan gangguan tic dimulai dengan penilaian
frekuensi dan tingkat keparahan tic dan adanya gejala komorbiditas. Untuk
menilai frekuensi dan keparahan gejala tic, Yale Global Tic Severity Scale
(YGTSS) sering digunakan di klinik. YGTSS adalah instrumen penilaian klinis
semi-terstruktur untuk penilaian keparahan tic pada anak-anak, remaja, dan orang
dewasa. Penting untuk mengidentifikasi apakah tics atau komorbiditas
menyebabkan gangguan fungsional atau emosional. Kecuali tics mengganggu
pasien, perawatan suportif, jaminan, dan pendidikan pasien, keluarga, dan sekolah
biasanya cukup. Diskusi harus mencakup diagnosis, riwayat penyakit, aktivitas
atau kondisi yang dapat memperburuk tics, komorbiditas, dan indikasi
pengobatan. Penting juga untuk menghilangkan prasangka mitos dan
kesalahpahaman yang disebarkan melalui media sosial yang distereotipkan.
Misalnya, banyak wali dan pasien percaya bahwa TS disebabkan oleh stres atau
penelantaran, bahwa tics akan selalu berkembang menjadi tics motorik tanpa henti
dan perilaku yang tidak pantas secara sosial seperti mengumpat dan bahwa
individu dengan tics mengalami gangguan intelektual dan tidak dapat menjalani
kehidupan normal. Di A.S Tourette Association of America, sebuah organisasi
sukarelawan nirlaba, dan Centers for Diseases Control and Prevention
memberikan materi yang komprehensif kepada wali dan pasien tentang TS dan
gangguan tic dalam berbagai bahasa.36
Pengobatan farmakologis untuk menekan tic dan terapi perilaku harus
dipertimbangkan ketika tics menyebabkan gangguan fisik, emosional, atau sosial
(misalnya, cedera muskuloskeletal, kesulitan hubungan teman sebaya seperti
bullying, perilaku tic mengganggu, harga diri rendah, atau kesulitan dalam
melakukan fisik atau akademik. kegiatan). Tujuan pengobatan adalah untuk
mengurangi keparahan tics untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
2.6.1 Behavioral Therapy

10
Rangkuman rekomendasi pedoman praktik American Academy of Neurology
menyebutkan bentuk terapi perilaku sebagai pengobatan lini pertama untuk
tics. Intervensi perilaku berbasis penekanan tic terdiri dari paparan dan
pencegahan respons dan terapi pembalikan kebiasaan atau intervensi
perilaku komprehensif turunannya untuk tics (CBIT). Kedua bentuk latihan
ini efektif untuk tics motorik dan vokal. Pencegahan paparan dan respons
terdiri dari paparan berulang yang berkepanjangan terhadap rangsangan
yang cenderung menginduksi tics dan berlatih untuk melawan perilaku tic.
Secara teoritis, pasien terbiasa dengan sensasi pemicu tic yang tidak
menyenangkan, sehingga menghasilkan pengurangan tic. Terapi pembalikan
kebiasaan terdiri dari pelatihan kesadaran dan pelatihan respons bersaing
untuk mendorong penekanan tic untuk jangka waktu yang lama. Pelatihan
kesadaran terdiri dari tics pemantauan diri dan mengidentifikasi tanda-tanda
awal atau tanda-tanda peringatan, seperti dorongan premonitory.37
2.6.2 Tatalaksana Non-Farmakologi Lainnya
Berbagai pengobatan komplementer dan alternatif telah digunakan untuk
pengobatan tics, termasuk doa, vitamin, pijat, suplemen makanan atau
nutrisi (misalnya, vitamin B, vitamin C, D, dan E, kalsium, magnesium,
Koenzim Q10, minyak ikan), manipulasi chiropractic, meditasi, diet, yoga,
akupunktur, hipnosis, homeopati, dan biofeedback. Akupunktur mungkin
efektif untuk pengobatan tics untuk waktu yang singkat, tetapi buktinya
terbatas karena bias. Tanpa studi terkontrol secara acak untuk menetapkan
dosis, keamanan, dan kemanjuran, kita tidak tahu mana yang memiliki
manfaat khusus di luar efek plasebo. Karena pasien sering mengejar
pengobatan komplementer dan alternatif tanpa memberitahu dokter mereka,
dokter yang merawat perlu bertanya tentang terapi yang dilakukan pasien.38
2.6.3 Tatalaksana Farmakologi
Pengobatan farmakologis harus dipertimbangkan ketika terapi perilaku gagal
atau tidak tersedia (misalnya, kurangnya akses ke terapi perilaku, termasuk
biaya, atau faktor pasien seperti usia, kognisi, atau kesediaan untuk
berpartisipasi) atau ketika pasien menunjukkan tics parah dan kekerasan

11
yang perlu segera dilakukan pengobatan segera. Sebelum memulai
pengobatan pada pasien, klinisi harus menjelaskan tujuan dan menetapkan
tujuan yang realistis yaitu, untuk mengurangi keparahan dan frekuensi tics
hingga tidak lagi mengganggu pasien atau menyebabkan masalah yang
signifikan.1
Berbagai algoritma terapi telah membantu dokter memilih obat untuk
pengobatan tics. Salah satu pendekatan adalah untuk fokus hanya pada
kemanjuran, seperti yang dilakukan oleh tinjauan bukti terbaru dari
American Academy of Neurology. Namun, dalam praktik klinis, faktor lain,
termasuk risiko efek samping, biaya, dan kenyamanan juga
dipertimbangkan. Obat tingkat pertama adalah untuk tics ringan, ketika
toleransi lebih penting daripada kemanjuran yang terbukti, dan obat tingkat
kedua untuk tics berat atau tics yang resisten terhadap obat tingkat pertama.
Sebagai aturan, obat-obatan harus dimulai dengan dosis rendah dengan
titrasi bertahap sampai menjadi efektif. Setelah gejala mereda sedemikian
rupa sehingga tics tidak lagi mengganggu, dokter harus mendiskusikan
penyapihan obat dengan pasien dan pengasuh. Percobaan menyapih obat
harus dilakukan hanya jika pasien sehat secara mental dan fisik dan tidak
mengantisipasi situasi atau peristiwa yang membuat stres.
2.6.3.1 First-Tier Medicines
Obat-obatan dalam kategori ini adalah agen non dopaminergik
yang sedikit sampai sedang efektif dalam penekanan tic dan tidak
memiliki efek samping yang parah. Obat-obatan khas dalam kategori
ini adalah agonis adrenergik alfa-2 seperti clonidine dan guanfacine.
Karena agonis alfa-2-adrenergik berguna untuk pengobatan ADHD
pada anak-anak dan remaja, gejala tics dan ADHD dapat membaik.
Clonidine sering digunakan untuk pengobatan tics. Kelompok Studi
Sindrom Tourette melakukan uji coba terkontrol acak besar yang
melibatkan anak-anak dengan TS dan ADHD untuk menyelidiki
kemanjuran clonidine dan methylphenidate untuk tics dan ADHD.
Anak-anak yang menggunakan clonidine dan methylphenidate

12
menunjukkan peningkatan yang paling besar, diikuti oleh mereka
yang hanya menggunakan clonidine. Selain preparat klonidin oral,
tersedia adeshive transdermal patch. Sebuah studi terkontrol secara
acak dari anak-anak dengan gangguan tic menunjukkan kemanjuran
dan keamanan dalam pengobatan tic. Dosis awal klonidin yang
direkomendasikan adalah 0,025-0,05 mg/hari, dan harus dititrasi
perlahan hingga kisaran terapeutik 0,1-0,3 mg/hari. Dosis harian total
maksimum adalah 0,4 mg/hari, dibagi hingga 4 kali sehari dengan
dosis tunggal tertinggi 0,2 mg. Efek samping clonidine termasuk
sedasi, kantuk, pusing, kelelahan, lekas marah, mulut kering,
bradikardia, dan hipotensi. Meskipun pemantauan elektrokardiogram
tidak diperlukan, pemantauan ketat tekanan darah dan denyut jantung
sangat penting. Karena efek samping kantuk, clonidine mungkin
berguna untuk pasien dengan tics yang mengalami kesulitan dengan
inisiasi tidur.39
Guanfacine adalah agonis adrenergik alfa-2 lain yang telah
digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi dan ADHD. Efek
terapeutiknya untuk tics telah dilaporkan dalam studi label terbuka
pada anak-anak dengan TS dan ADHD dan uji klinis terkontrol
plasebo pada anak-anak dengan TS dan ADHD. Efek sampingnya
mirip dengan clonidine, seperti kelelahan, kantuk, mulut kering, sakit
kepala, dan lekas marah. Guanfacine bekerja pada reseptor alfa-2 sel
saraf lebih selektif daripada clonidine, dan memiliki waktu paruh
yang lebih lama dan efek samping yang lebih ringan seperti sedasi
dan pusing. Jadi, guan facine sering lebih disukai daripada clonidine.
Namun, studi double-blind acak dari formulasi pelepasan guanfacine
yang diperpanjang pada anak-anak dengan gangguan tic kronis
sedang hingga berat tidak menunjukkan efek yang bermakna secara
klinis untuk penekanan tic. Dosis awal guanfacine yang
direkomendasikan adalah 0,5-1,0 mg/hari, dan harus dititrasi
perlahan hingga kisaran terapeutik 1,0-4,0 mg/hari.39

13
Berdasarkan hipotesis bahwa disfungsi sinyal GABA
penghambatan di ganglia basal mendasari patologi TS, obat
GABAergik seperti obat antiepilepsi dan baclofen telah digunakan
untuk pengobatan tics. Bukti kemanjuran obat-obatan ini tidak sekuat
agonis adrenergik alfa-2, tetapi obat-obatan ini dapat digunakan
sebagai monoterapi atau sebagai terapi tambahan dalam pengobatan
tics.39
2.6.3.2 Second-Tier Medicines
Obat-obatan dalam kategori ini adalah agen penghambat
reseptor dopamin (DRBA) (misalnya, neuroleptik tipikal dan
atipikal). Aktivitas dopaminergik abnormal dianggap terlibat dalam
mekanisme TS. Secara khusus, agen penghambat reseptor D2
mengurangi keparahan tic sekitar 70%. Mereka lebih efektif dalam
penekanan tic daripada obat-obatan tingkat pertama tetapi
menyebabkan lebih banyak efek samping seperti sedasi, sindrom
metabolik (misalnya, obesitas, resistensi insulin, hipertensi, dan
dislipidemia), akatisia, distonia, atau rigiditas-bradikinesia.39
Obat-obatan yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) AS untuk pengobatan tics adalah haloperidol, pimozide, dan
aripiprazole. Haloperidol adalah antagonis reseptor D2 dan
dilaporkan efektif untuk pengobatan tic pada awal 1960-an. Dosis
awal biasanya 0,5 mg/hari, dan harus dititrasi secara bertahap sebesar
0,25-0,5 mg setiap 5-7 hari. Dosis khas berkisar dari 2 mg sampai 10
mg setiap hari.39
Pimozide adalah DRBA ampuh dan telah dilaporkan efektif
dalam penekanan tic dalam studi klinis. Dosis awal biasanya 0,05
mg/kg setiap hari, dan harus ditingkatkan secara bertahap menjadi
0,2 mg/kg, tidak melebihi 10 mg/hari.39
Aripiprazole adalah neuroleptik atipikal yang disetujui oleh
FDA untuk pengobatan tics. Ini adalah agonis parsial dopamin-
serotonin, bertindak sebagai agonis reseptor D2, D3, dan D4 parsial,

14
serta agonis 5-HT1A, 5-HT2A, dan 5-HT2C parsial. Dosis awal
aripiprazole biasanya 1,25-2,5 mg/hari, dengan titrasi bertahap dari
2,5 mg/hari hingga 20 mg/hari dibagi menjadi dua dosis menurut
tingkat keparahan dan tolerabilitas tic.39
Risperidone sering digunakan untuk pengobatan tics, meskipun
tidak disetujui FDA untuk indikasi ini. Ini bertindak sebagai
antagonis reseptor D2 dan 5-HT2. Risperidone dapat secara efektif
mengurangi perilaku agresif serta keparahan tic pada pasien dengan
TS. Dosis awal adalah 0,25 mg setiap hari, dan harus ditingkatkan
perlahan setiap 5-7 hari hingga 0,25-4,0 mg setiap hari.39
Olanzapine adalah neuroleptik atipikal dengan profil
penghambatan reseptor ganda termasuk antagonis D1-D4, 5-HT,
muskarinik, dan histaminergik, dan juga telah diselidiki untuk
pengobatan tics. Olanzapine dimulai pada 2,5-5,0 mg/hari dan
dititrasi setiap 5-7 hari hingga maksimum 30 mg/hari.39
Ziprasidone adalah neuroleptik atipikal dan bertindak terutama
sebagai antagonis reseptor 5-HT dan D2 dan memblokir
neurotransmiter lainnya. Ziprasidone dimulai pada 5-10 mg/hari dan
dititrasi perlahan setiap minggu hingga maksimum 40 mg/hari.
Ecopipam adalah agonis reseptor D1 selektif dan telah menarik
perhatian sebagai pengobatan untuk tics.39
2.6.3.3 Tatalaksana lainnya
Selain pengobatan farmakologis oral, suntikan toksin
botulinum telah digunakan dalam pengobatan spastisitas dan
gangguan gerakan. Mekanisme kerja toksin botulinum adalah dengan
menghambat pelepasan neurotransmiter (misalnya, asetilkolin) dari
terminal saraf presinaptik dengan memecah protein reseptor protein
perlekatan faktor sensitif N-ethylmaleimide yang larut, yang penting
untuk fusi vesikel presinaptik. Suntikan toksin botulinum ke otot
yang menyebabkan gerakan tic meningkatkan gejala tic tetapi juga
mengurangi dorongan firasat. Demikian pula, injeksi ke pita suara

15
juga meningkatkan tics vokal dan dorongan pertanda. Pengobatan
dengan toksin botulinum harus dipertimbangkan pada pasien dengan
tics motorik yang merugikan diri sendiri (misalnya, ekstensi serviks
berulang) untuk mencegah perkembangan mielopati yang
melumpuhkan.40
Deep Brain Stimulation (DBS) adalah prosedur bedah saraf
untuk menanamkan perangkat yang disebut neurostimulator untuk
memberikan stimulasi listrik ke daerah otak yang ditargetkan dan
mungkin merupakan pengobatan yang menjanjikan untuk pasien
dengan tics. Target yang dilaporkan untuk DBS termasuk thalamus,
globus pallidus internus, globus pallidus externus, ekstremitas
anterior kapsul internal, dan nucleus accumbens. The International
Deep Brain Stimulation Database and Registry menunjukkan bahwa
tingkat efek samping keseluruhan adalah 35,4% termasuk perdarahan
intrakranial (1,3%), infeksi (3,2%), dan eksplanasi timbal (0,6%),
dan efek samping yang diinduksi stimulasi seperti disartria ( 6,3%)
dan parestesia (8,2%).41

16
Gambar 1. Algoritma tatalaksana Tics Disorder42

BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, suku Palembang, bertempat tinggal


di dalam kota, berat badan 41 kg dengan tinggi badan 135 cm, dirujuk ke IGD
RSMH pada tanggal 16 Agustus 2020 dengan keluhan utama sering mengamuk
dan keluhan tambahan tidak dapat diajak berkomunikasi.

17
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa anak terdapat riwayat bengong
atau kaku, ada muntah yang tidak menyemprot, tidak ada riwayat demam, tidak
ada riwayat kejang sebelumnya, riwayat trauma disangkal. Meskipun kejadian
ensefalitis autoimun paling banyak ditemukan pada perempuan, namun pada
literatur disebutkan bahwa semua anak dengan gejala agitasi, atau gangguan
perilaku perlu dicurigai seuatu ensefalitis autoimun. 1,4,24
Pasien didiagnosis
banding dengan ensefalitis NPSLE karena adanya gejala neuropsikiatri.
Ensefalitis virus disingkirkan karena tidak adanya riwayat demam. Ensefalopati
hipertensi dapat disingkirkan karena gejala utama pada pasien ini adalah gejala
psikiatri dan tidak ditemukan riwayat sakit kepala sebelumnya. Pasien telah
memenuhi kriteria diagnosis untuk probable ensefalitis antiNMDAR. (1) terdapat
gejala mayor dengan onset waktu yang cepat <3 bulan berupa gangguan psikiatri
atau kognitif (2) terdapat lebih dari 4 gejala berupa gangguan psikiatri, gangguan
berbicara, kejang berupa kaku, gangguan koordinasi gerak motorik, dan
penurunan kesadaran yang tidak disebabkan oleh penyebab yang diketahui.16
Pasien kemudian dirawat dan direncanakan untuk pemeriksaan lanjutan CSS,
EEG dan pencitraan.
Dari hasil pemeriksaan fisik awal pasien didapatakan TD 130/80 mmHg
(>p99), sehingga pasien juga didiagnosis dengan hipertensi. Untuk tatalaksana
hipertensi pada pasien ini diberikan captopril 2x 12,5 mg, dilakukan pemantauan
tekanan darah dan diobservasi penyebab hipertensi pada pasien ini. Status gizi
pada pasien ini didapatkan kesan obesitas, yang dari hasil anamnesis didapatkan
bahwa anak memang mendapatkan intake makanan yang berlebih. Orang tua
diedukasi mengenai pola pemberian makan anak yang sesuai.
Dari hasil pemeriksaan CSS didapatkan adanya pleositosis ringan yang
mendukung suatu ensefalitis. 4
Pasien juga dilakukan pemerikaan EEG yang
didapatkan hasil tampak gambaran hipofungsi dengan gambaran excessive/
extreme delta brush dan tidak tampak gelombang epileptiform. Pola EEG yang
dikenal sebagai “extreme delta brush” telah diketahui dapat digunakan utuk
mendiagnosis ensefalitis autoimun NMDAR.4 Hasil MRI normal juga
mendukung diagnosis ensefalitis autoimun dan tidak mendukung adanya

18
ensefalitis HSV (penyangatan fokal di lobus temporal atau korteks insular),
ensefalopati hipertensi atau NPSLE (sindrom leukoensefalopati posterior
reversibel), ataupun ensefalitis tipe lainnya (penyangatan fokal). Berdasarkan
literatur, dari hasil pemeriksaan ini pasien dapat ditegakkan diagnosis probable
ensefalitis autoimun dimana didapatkan adanya bukti penunjang peradangan otak
yaitu : leukositosis pada analisa CSS, dan gambaran MRI untuk ensefalitis
autoimun (lebih dari 50% terdapat hasil normal).15 Pasien perlu dilakukan
pemeriksaan kadar antibodi untuk ensefalitis autoimun dari sampel darah atau
CSS untuk penegakkan pasti diagnosis ensefalitis autoimun, namun belum dapat
dilakukan karena tidak tersedia di RSMH. Pasien juga dilakukan pemeriksaan
USG abdomen dan direncanakan pemeriksaan CT scan toraks untuk
menyingkirkan adanya keganasan tumor penyebab yang mendasari, karena pada
literatur disebutkan bahwa gangguan paraneoplastik pada ensefalitis autoimun
dapat merupakan kelainan autoimun yang dipicu oleh tumor. Namun, pasien lain
tanpa tumor masih mungkin mengalami sindrom klinis dan respons imunologis
yang identik.2,14
Literatur menyebutkan bahwa terapi obat untuk ensefalitis anti−NMDAR
dapat diberikan apabila telah ada kecurigaan besar secara klinis walaupun belum
dilakukan uji konfirmasi, karena tidak semua pusat pelayanan kesehatan memiliki
alat uji konfirmasi diagnostik dan membutuhkan waktu yang lama. 4 Terapi lini
pertama yang diterima untuk setiap ensefalitis autoimun, termasuk kortikosteroid
dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg / kg / hari, hingga 1 g setiap hari, selama 3-5
hari), diikuti dengan atau dikombinasikan dengan IVIG (2 g / kg dibagi menjadi
2– 5 hari).12 (level of evidence II B) Pada pasien ini direncanakan pemberian
metilprednisolon dosis tinggi dan IVIG atau plasmaferesis, namun karena anak
gaduh gelisah, dipilih pemberian methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG.
Pasien diberikan injeksi Methylprednisolone high dose 1 gr drip dalam D5% 100 cc
selama 5 hari, dan direncanakan pemberian IVIG tapi belum dapat dilakukan
karena belum disetujui farmasi dan komite medis (pasien BPJS). Pasien baru
mendapatkan IVIG setelah perawatan hari ke-14.

19
Perawatan hari ke -6, anak mulai perbaikan, anak tidak ada mengamuk
tanpa sebab, namun masih belum dapat diajak berkomunikasi, tekanan darah :
110/70 mmHg dan tidak ada defisit neulogis, pemberian kortikosteroid oral
diteruskan dan diturunkan perlahan (tapering off) dengan 1-2 mg / kg / hari secara
oral, rencana diberikan selama 12 minggu, dengan penyesuaian dosis sesuai
dengan toleransi pasien atau kemungkinan efek samping.
Perawatan hari ke-26, anak tidak ada mengamuk dan mulai dapat diajak
komunikasi, pasien pulang kontrol, diberikan obat pulang methylprednisolone 3 x
20 mg po, diberikan selama 10 minggu dengan pengurangan dosis bertahap
(tapering off), risperidon 2 x 0,5 mg po, captopril 2 x 12,5 mg po, keluarga pasien
diedukasi mengenai penyakit pasien dan pasien perlu kontrol rutin ke poliklinik
neurologi RSMH.
Prognosis pada pasien ini dapat dikatakan cukup baik dengan
kemungkinan relaps yang kecil. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa prognosis
pada anak cukup baik, dengan 85% sembuh meski dengan waktu yang cukup
lambat (beberapa bulan) dan relaps sekitar 15%.4 Sebuah penelitian terbaru di cina
terhadap 103 anak dengan ensefalitis autoimun didapatkan hanya ada 12 pasien
atau hanya sekitar 13.5% pasien yang mengalami relaps. 33
(level of evidence 2B)
Didapatkan bahwa risiko relaps secara signifikan lebih rendah pada pasien yang
mendapat terapi imun pada pengobatan pertama penyakit ensefalitis anti reseptor
NMDAR.15,16

20
21
Diagram tumbuh kembang anak laki laki/9 tahun/Ensefalitis Autoimun

LINGKUNGAN

Mikro : Mini :
Ayah, S1, 42 tahun, Meso : MAKRO
Ibu, S1, 37 tahun,
Wiraswasta, RS yang BPJS
PNS, ASI ekslusif, terdapat dokter
imunisasi dasar keluarga harmonis,
lingkungan baik, dokter Sp.A ( 2.5
lengkap km, 10-15 menit
rumah dengan
hygiene dan sanitasi dari rumah)
baik

Tumbuh tidak optimal


KEBUTUHAN DASAR

ASAH CUKUP ASIH CUKUP ASUH CUKUP

INDIVIDU

TUMBUH KEMBANG

NEONATUS SEHAT
Intake berlebih
Hygiene sanitasi
BAYI SEHAT cukup
Sosial-ekonomi
cukup

Tatalaksana adekuat:
Pemberian obat steroid,
IVIG, antipsikotik dan ANAK DENGAN ENSEFALITIS -Pemantauan klinis,
antihipertensi yang tepat. AUTOIMUN relaps, gangguan tingkah
Pemberian diet yang sesuai
Pemantauan relaps dan laku.
gangguan tingkah laku Pemantauan Efek
dengan penunjang. samping steroid,
Edukasi antipsikotik, dan
antihipertensi.
Tumbuh tidak optimal
kembang optimal

22
GENETIK,
HEREDOKONSTITUSIONAL BAIK
DAFTAR PUSTAKA

1. Ueda, K., & Black, K. J. (2021). A Comprehensive Review of Tic


Disorders in Children. Journal of Clinical Medicine, 10(11), 2479.
doi:10.3390/jcm10112479
2. Lavoie, M.E.; O’Connor, K. Toward a Multifactorial Conception of the
Gilles de la Tourette Syndrome and Persistent Chronic Tic Disorder. Brain
Sci. 2017, 7, 61.
3. Singer, H.; Mink, J.; Gilbert, D.; Jankovic, J. Movement Disorders in
Childhood, 2nd ed.; Elsevier: London, UK, 2016; pp. 40–55.
4. Ganos, C.; Bongert, J.; Asmuss, L.; Martino, D.; Haggard, P.; Münchau,
A. The somatotopy of tic inhibition: Where and how much? Mov. Disord.
2015, 30, 1184–1189
5. Kaczy ´nska, J.; Janik, P. Tonic Tics in Gilles de la Tourette Syndrome.
Neuropediatrics 2021.
6. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-5®); American Psychiatric Publishing:
Washington, DC, USA, 2013
7. Müller-Vahl, K.R.; Sambrani, T.; Jakubovski, E. Tic disorders revisited:
Introduction of the term “tic spectrum disorders”. Eur. Child Adolesc.
Psychiatry 2019, 28, 1129–1135.
8. Roessner, V.; Hoekstra, P.J.; Rothenberger, A. Tourette’s disorder and
other tic disorders in DSM-5: A comment. Eur. Child Adolesc.Psychiatry
2011, 20, 71–74.
9. Eapen, V.; Cavanna, A.E.; Robertson, M.M. Comorbidities, Social Impact,
and Quality of Life in Tourette Syndrome. Front. Psychiatry 2016, 7, 97.
10. Nielsen, A.N.; Gratton, C.; Church, J.A.; Dosenbach, N.U.F.; Black, K.J.;
Petersen, S.E.; Schlaggar, B.L.; Greene, D.J. Atypical Functional
Connectivity in Tourette Syndrome Differs Between Children and Adults.
Biol. Psychiatry 2020, 87, 164–173.

23
11. Robertson, M.M.; Eapen, V.; Singer, H.S.; Martino, D.; Scharf, J.M.;
Paschou, P.; Roessner, V.; Woods, D.W.; Hariz, M.; Mathews, C.A.; et al.
Gilles de la Tourette syndrome. Nat. Rev. Dis. Primers 2017, 3, 16097.
12. Ayubi, E.; Mansori, K.; Doosti-Irani, A. Effect of maternal smoking
during pregnancy on Tourette syndrome and chronic tic disorders among
offspring: A systematic review and meta-analysis. Obstet. Gynecol. Sci.
2021, 64, 1–12.
13. Pauls, D.L.; Fernandez, T.V.; Mathews, C.A.; State, M.W.; Scharf, J.M.
The Inheritance of Tourette Disorder: A review. J. Obs. Compuls. Relat.
Disord. 2014, 3, 380–385.
14. Mataix-Cols, D.; Isomura, K.; Pérez-Vigil, A.; Chang, Z.; Rück, C.;
Larsson, K.J.; Leckman, J.F.; Serlachius, E.; Larsson, H.;
15. Lichtenstein, P. Familial Risks of Tourette Syndrome and Chronic Tic
Disorders. A Population-Based Cohort Study. JAMA Psychiatry 2015, 72,
787–793.
16. Weidinger, E.; Krause, D.; Wildenauer, A.; Meyer, S.; Gruber, R.;
Schwarz, M.J.; Müller, N. Impaired activation of the innate immune
response to bacterial challenge in Tourette syndrome. World J. Biol.
Psychiatry 2014, 15, 453–458
17. Szejko, N.; Fremer, C.; Sühs, K.W.; Macul Ferreira de Barros, P.; Müller-
Vahl, K.R. Intravenous Immunoglobulin Treatment Did Not Improve Tics
in a Patient With Gilles de la Tourette Syndrome and Intrathecal Antibody
Synthesis. Front. Neurol. 2020, 11, 110.
18. Szejko, N.; Fremer, C.; Sühs, K.W.; Macul Ferreira de Barros, P.; Müller-
Vahl, K.R. Intravenous Immunoglobulin Treatment Did Not Improve Tics
in a Patient With Gilles de la Tourette Syndrome and Intrathecal Antibody
Synthesis. Front. Neurol. 2020, 11, 110.
19. Swedo, S.E.; Leonard, H.L.; Rapoport, J.L. The pediatric autoimmune
neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infection
(PANDAS) subgroup: Separating fact from fiction. Pediatrics 2004, 113,
907–911.

24
20. Cunningham, M.W. Molecular Mimicry, Autoimmunity, and Infection:
The Cross-Reactive Antigens of Group A Streptococci and their Sequelae.
Microbiol. Spectr. 2019, 7.
21. Thienemann, M.; Murphy, T.; Leckman, J.; Shaw, R.; Williams, K.;
Kapphahn, C.; Frankovich, J.; Geller, D.; Bernstein, G.; Chang, K.; et al.
Clinical Management of Pediatric Acute-Onset Neuropsychiatric
Syndrome: Part I—Psychiatric and Behavioral Interventions. J. Child
Adolesc. Psychopharmacol. 2017, 27, 566–573. [CrossRef]
22. Frankovich, J.; Swedo, S.; Murphy, T.; Dale, R.C.; Agalliu, D.; Williams,
K.; Daines, M.; Hornig, M.; Chugani, H.; Sanger, T.; et al. Clinical
management of pediatric acute-onset neuropsychiatric syndrome: Part II—
Use of immunomodulatory therapies. J. Child Adolesc. Psychopharmacol.
2017, 27, 574–593.
23. Williams, K.A.; Swedo, S.E.; Farmer, C.A.; Grantz, H.; Grant, P.J.;
D’Souza, P.; Hommer, R.; Katsovich, L.; King, R.A.; Leckman, J.F.
Randomized, Controlled Trial of Intravenous Immunoglobulin for
Pediatric Autoimmune Neuropsychiatric Disorders Associated With
Streptococcal Infections. J. Am. Acad. Child Adolesc. Psychiatry 2016,
55, 860–867.e2.
24. PANDAS/PANS and Tourette Syndrome (Disorder). Available online:
https://tourette.org/research-medical/pandas-pans-andtourette-syndrome-
disorder/ (diakses pada Oktober 2021).
25. Knight, T.; Steeves, T.; Day, L.; Lowerison, M.; Jette, N.; Pringsheim, T.
Prevalence of tic disorders: A systematic review and meta-analysis.
Pediatr. Neurol. 2012, 47, 77–90.
26. Cubo, E.; Gabriel y Galán, J.M.; Villaverde, V.A.; Velasco, S.S.; Benito,
V.D.; Macarrón, J.V.; Guevara, J.C.; Louis, E.D.; Benito-León, J.
Prevalence of tics in schoolchildren in central Spain: A population-based
study. Pediatr. Neurol. 2011, 45, 100–108.
27. Alves, H.L.; Quagliato, E.M. The prevalence of tic disorders in children
and adolescents in Brazil. Arq. Neuropsiquiatr. 2014, 72, 942–948.

25
28. Robakis, D. How much do we know about adult-onset primary tics?
Prevalence, epidemiology, and clinical features. Tremor Other Hyperkinet.
Mov. 2017, 7, 441.
29. Kim, S.; Greene, D.J.; Bihun, E.C.; Koller, J.M.; Hampton, J.M.;
Acevedo, H.; Reiersen, A.M.; Schlaggar, B.L.; Black, K.J. Provisional Tic
Disorder is not so transient. Sci. Rep. 2019, 9, 3951.
30. Black, K.J.; Kim, S.; Yang, N.Y.; Greene, D.J. Course of tic disorders
over the lifespan. Curr. Dev. Disord. Rep. 2021, in press.
31. Ueda, K.; Kim, S.; Greene, D.J.; Black, K.J. Correlates and clinical
implications of tic suppressibility. Curr. Dev. Disord. Rep. 2021, in press.
32. Groth, C.; Mol Debes, N.; Rask, C.U.; Lange, T.; Skov, L. Course of
Tourette Syndrome and Comorbidities in a Large Prospective Clinical
Study. J. Am. Acad. Child Adolesc. Psychiatry 2017, 56, 304–312.
33. Hirschtritt, M.E.; Lee, P.C.; Pauls, D.L.; Dion, Y.; Grados, M.A.; Illmann,
C.; King, R.A.; Sandor, P.; McMahon, W.M.; Lyon, G.J.; et al. Lifetime
prevalence, age of risk, and genetic relationships of comorbid psychiatric
disorders in Tourette syndrome. JAMA Psychiatry 2015, 72, 325–333
34. Lowe, T.L.; Capriotti, M.R.; McBurnett, K. Long-Term Follow-up of
Patients with Tourette’s Syndrome. Mov. Disord. Clin. Pract. 2018, 6, 40–
45.
35. Bernard, B.A.; Stebbins, G.T.; Siegel, S.; Schultz, T.M.; Hays, C.;
Morrissey, M.J.; Leurgans, S.; Goetz, C.G. Determinants of quality of life
in children with Gilles de la Tourette syndrome. Mov. Disord. 2009, 24,
1070–1073.
36. Martino, D.; Pringsheim, T.M.; Cavanna, A.E.; Colosimo, C.; Hartmann,
A.; Leckman, J.F.; Luo, S.; Munchau, A.; Goetz, C.G.; Stebbins, G.T.; et
al. Systematic review of severity scales and screening instruments for tics:
Critique and recommendations. Mov. Disord. 2017, 32, 467–473.
37. Pringsheim, T.; Okun, M.S.; Müller-Vahl, K.; Martino, D.; Jankovic, J.;
Cavanna, A.E.; Woods, D.W.; Robinson, M.; Jarvie, E.; Roessner, V.; et
al. Practice guideline recommendations summary: Treatment of tics in

26
people with Tourette syndrome and chronic tic disorders. Neurology 2019,
92, 896–906.
38. Kumar, A.; Duda, L.; Mainali, G.; Asghar, S.; Byler, D. A Comprehensive
Review of Tourette Syndrome and Complementary Alternative Medicine.
Curr. Dev. Disord. Rep. 2018, 5, 95–100.
39. Roessner, V.; Plessen, K.J.; Rothenberger, A.; Ludolph, A.G.; Rizzo, R.;
Skov, L.; Strand, G.; Stern, J.S.; Termine, C.; Hoekstra, P.J.; et al.
European clinical guidelines for Tourette syndrome and other tic disorders.
Part II: Pharmacological treatment. Eur. Child Adolesc. Psychiatry 2011,
20, 173–196
40. Camargo, C.H.F.; Teive, H.A.G. Use of botulinum toxin for movement
disorders. Drugs Context 2019, 8, 212586.
41. Kovacs, N.; Herold, R.; Janszky, J.; Komoly, S.; Nagy, F. Tics status: A
movement disorder emergency: Observations. J. Neurol. 2011, 258, 143–
145.
42. Joseph J. Treatment of Tics Associated with Tourette Syndrome. Journal
of Neural Transmission. 2020. Doi: 10.1007/s00702-019-02105-w

27

Anda mungkin juga menyukai