Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

Agustus 2022
Pukul 10.30 WIB

NYERI PERUT PADA PASIEN


HENOCH SCHONLEIN PURPURA

Oleh
dr. Iis Rica Mustika

Pembimbing
dr. RA. Myrna Alia, Sp.A(K), M.Kes
dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A(K)
dr. Eka Intan Fitriana, Sp.A(K), M.Kes

Moderator
dr. Eka Intan Fitriana, Sp.A(K), M.Kes

Penilai
dr. Aditiawati, Sp.A (K)
dr. Julius Anzar, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITASSRIWIJAYA
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Henoch Schonlein Purpura (HSP) yang juga dikenal sebagai vasculitis IgA atau
anafilaktoid purpura merupakan vasculitis yang diperantarai oleh IgA yang menimbulkan
predileksi pada kulit, ginjal, saluran pencernaan dan otot. HSP sendiri merupakan vasculitis
yang paling umum ditemui pada masa kanak-kanak. Gejala yang ditemui antara lain adalah
timbulnya ptekie, nyeri perut, artritis dan gejala lain.
Kasus HSP pertama kali dideskripsikan pada tahun 1802 oleh William Heberden yang
melaporkan anak laki-laki berusia 5 tahun dengan atralgia, hematuria, nyeri perut, melena dan
ditemukkannya bercak-bercak merah di kedua kakinya. Pada 1937 Johann lakas Schonlein
menggambarkan hubungan antara purpura dan antralgia. Pada 1874, Eduard Heinrich Henoch
mengemukakan hubungan antara purpura, nyeri perut dan melena sebagai suatu sindrome
yang sekarang dikenal sebagai Henoch Schonlein.
Manifestasi klinis yang khas pada HSP antara lain adanya purpura tanpa
trombositopenia, atralgia/artritis, nyeri perut atau perdarahan saluran gastrointestinal dan
nefropati. Gejala klinis HSP bervariasi tergantung organ-organ yang terlibat. Tingkat
keparahan biasanya lebih rendah pada anak yang berusia dibawah 2 tahun dan semakin berat
dengan semakin bertambahnya usia.
Selain keterlibatan pada kulit, keterlibatan gejala gastrointestinal banyak dijumpai
pada pasien dengan HSP. Persentase keterlibatan gastrointestinal bervariasi antara 50-75
persen pada anak dengan HSP. Gejala yang dapat timbul antara lain mual, muntah, nyeri
perut, hematemesis dan melena. Nyeri perut merupakan gejala yang paling sering ditemui
yang dapat berupa nyeri kolik. Nyeri perut yang dirasakan biasanya bersifat difus tetapi dapat
juga terlokalisir di periumbilical ataupun epigastrium.
Melalui penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
nyeri perut pada pasien HSP, terutama hal-hal yang menjadi pertimbangan saat mendiagnosa
dan menatalaksana pasien dengan HSP. Diharapkan dokter spesialis anak dapat mendiagnosa
serta memberi terapi yang optimal untuk pasien dengan nyeri perut pada pasien HSP.

BAB II
1
LAPORAN KASUS

I. DATA DASAR
IDENTIFIKASI
Seorang anak AF, perempuan, suku Jawa, usia 5 tahun, berat badan 14 kg, panjang badan
102 cm, bertempat tinggal di luar kota. Pasien dibawa ke IGD RSMH pada tanggal 13
Desember 2021

II. ANAMNESIS
(Dilakukan alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal 17 Desember 2021)

KELUHAN UTAMA
Terdapat bercak-bercak merah pada kedua kaki

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Sejak 10 hari SMRS pasien mengeluh adanya nyeri pada kedua lutut dan lutut kanan
terlihat bengkak setelah pulang bermain. Riwayat trauma saat bermain disangkal,
bengkak pada kaki terasa hangat dan tidak ada nyeri tekan. Nyeri pada sendi tangan,
badan tidak dirasakan, mual, muntah, nyeri perut tidak ada. BAK berwarna merah tidak
ada dan BAB dalam batas normal, pasien belum dibawa berobat. Riwayat batuk pilek
sebelumnya disangkal, Riwayat vaksin sebelumnya disangkal.
7 hari SMRS bengkak dan nyeri pada lutut makin lama makin berkurang namun
pasien mengeluhkan adanya nyeri perut. Nyeri perut hilang timbul dan dirasakan nyeri
seluruh perut tetapi yang paling nyeri adalah ulu hati. Keluhan mual ada dan muntah ada.
Muntah frekuensi 2 kali sehari, muntah apa yang dimakan. Perut kembung ataupun BAB
cair tidak ada. Pasien dibawa berobat ke bidan dan diberi obat sirup untuk penghilang
nyeri (parasetamol dan antasida). Nyeri perut sempat sedikit berkurang tetapi tidak
hilang sepenuhnya.
3 hari SMRS mulai muncul bercak-bercak merah pada kedua kaki dan tangan. Bercak
merah tersebut tidak hilang jika ditekan. Selain bercak merah pasien juga mengeluhkan
nyeri perut yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut kali ini dirasakan di seluruh
area perut yang membuat anak sampai meringkuk karena nyeri. Mual masih ada, dan
muntah ada frekuensi 3 kali. Pasien lalu dibawa ke RSUD di daerah pasien, dan
dikatakan pasien ada kecurigaan penyakit imun. Pasien lalu dirujuk ke poli alergi
2
imunologi RSMH Pelambang untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien

RIWAYAT KEHAMILAN
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kehamilan pasien merupakan
kehamilan yang diinginkan. Selama hamil, ibu sehat dan tidak menderita demam. Ibu
tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya. Kontrol kehamilan ke dokter setiap
bulan. Riwayat merokok dan minum alkohol selama hamil disangkal. Riwayat
mengonsumsi obat-obatan selama hamil disangkal, riwayat minum jamu-jamuan
disangkal. Ibu tidak mengeluhkan adanya mata rabun, ibu hanya mengonsumsi vitamin
yang diberikan oleh dokter. Asupan nutrisi selama kehamilan cukup.

RIWAYAT PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN


Pertumbuhan
Saat lahir berat badan pasien 2800 gram cukup bulan, panjang badan 43 cm dan lingkar
kepala tidak diketahui. Saat ini berat pasien 14 kg dengan tinggi 102 cm.

Perkembangan
Perkembangan pasien dari lahir hingga sekarang dalam batas normal. Saat ini pasien
belum bersekolah.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah pasien seorang pegawai swasta dengan pendidikan terakhir SMA dengan
penghasilan sekitar 3 juta rupiah perbulan, sedangkan ibu pasien adalah seorang ibu
rumah tangga. Ayah, ibu, kakak pasien dan adik pasien tinggal di rumah milik sendiri.
Biaya hidup keluarga ditanggung oleh ayah pasien. Orangtua menggunakan fasilitas
BPJS untuk pengobatan anaknya.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

3
PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis GCS : E4M6V5
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu aksila : 36,7°C
SpO2 : 98%
Status pubertas : M1P1

Status Gizi
Berat Badan : 14 kg
Tinggi Badan : 102 cm
BB / U : P25 – P50
TB / U : P50 – P75
BB / TB : 26/29 = 93%
BMI : 14,3
Kesan : Gizi baik perawakan normal

Keadaan Spesifik
Kepala
Ukuran : normosefali, ubun-ubun menutup, lingkar kepala 52 cm
Wajah : tidak terdapat dismorfi
Mata : konjungtiva pucat tidak ada, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor
3/3 mm, refleks cahaya ada positif normal, sekret tidak ada
Hidung : napas cuping hidungtidak ada
Telinga : bentuk normal
Mulut : tidak ada sianosis sirkumoral

Dada
Simetris, tidak ada ketinggalan gerak, retraksi tidak ada.

4
Jantung
Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur dan gallop tidak ada, thrill tidak
ada, ictus cordis tidak terlihat

Paru
Vesikuler normal, ronkhi dan wheezing tidak ada

Abdomen
Datar, lemas, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tak teraba, bising usus normal.

Punggung
Deformitas tidak ada

Ekstremitas
Akral teraba hangat, tidak terdapat akral pucat. Tampak bercak timbul berwarna
kemerahan pada kaki kiri dan kanan, terletak pada betis, paha hingga punggung kaki.

RINGKASAN DATA DASAR


Sejak 10 hari SMRS pasien mengeluh adanya nyeri pada kedua lutut dan lutut kanan
terlihat bengkak. Riwayat trauma saat bermain disangkal, bengkak pada kaki terasa
hangat dan tidak ada nyeri tekan. Nyeri pada sendi tangan, badan tidak dirasakan, mual,
muntah, nyeri perut tidak ada. BAK berwarna merah tidak ada dan BAB dalam batas
normal, pasien belum dibawa berobat. Riwayat batuk pilek sebelumnya disangkal,
Riwayat vaksin sebelumnya disangkal.
7 hari SMRS bengkak dan nyeri pada lutut makin lama makin berkurang namun
pasien mengeluhkan adanya nyeri perut. Nyeri perut hilang timbul dan dirasakan nyeri
seluruh perut. Keluhan mual ada dan muntah ada. Muntah frekuensi 2 kali sehari, muntah
apa yang dimakan. Perut kembung ataupun BAB cair tidak ada.
3 hari SMRS mulai muncul bercak-bercak merah pada kedua kaki dan tangan. Bercak
merah tersebut tidak hilang jika ditekan. Selain bercak merah pasien juga mengeluhkan
nyeri perut yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut kali ini dirasakan di seluruh
area perut yang membuat anak sampai meringkuk karena nyeri. Mual masih ada, dan
muntah ada frekuensi 3 kali. Pasien lalu dibawa ke RSUD di daerah pasien, dan
dikatakan pasien ada kecurigaan penyakit imun. Pasien lalu dirujuk ke poli alergi
5
imunologi RSMH Pelambang untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan pasien dengan kesadaran GCS 15 (E4M6V5),
tekanan darah 100/70 mmHg, laju nadi 90 kali/menit (reguler, isi dan tegangan cukup),
laju napas 22 kali/menit, suhu 36,7˚ C. Kepala normocephali, reflek cahaya +/+, pupil
bulat isokor, konjungtiva anemis tidak ada, leher dalam batas normal, Toraks simetris,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi. Bunyi jantung I – II normal murmur dan
gallop tidak ada, pada pemeriksaan fisik paru dalam batas normal. Abdomen tampak
datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) normal. Ekstremitas akral
hangat (+), CRT< 3 detik Tampak bercak timbul berwarna kemerahan pada kaki kiri dan
kanan, terletak pada betis, paha hingga punggung kaki. Hasil pemeriksaan neurologis
dalam batas normal.

ANALISA AWAL
Berdasarkan data dasar di atas didapatkan anak dengan keluhan terdapat nyeri perut
dengan timbulnya bercak

MASALAH AWAL
Nyeri perut dan timbul bercak-bercak merah yang timbul pada kaki dan tangan

DIAGNOSIS BANDING

DIAGNOSIS KERJA
Henoch Schonlein purpura

RENCANA AWAL
Pemberian metilprednisolon 2x12 mg (2mg/kgbb)
Pemberian sucralfate 3x5 ml
D51/4 gtt 10cc/jam
Cek urinalisa

6
PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad functionam : Dubia
3. Quo ad Sanationam : Dubia

CATATAN PERAWATAN PASIEN


PEMANTAUAN PASIEN
7
Rabu,09 Desember 2021 (Hari rawat ke 1)
S Nyeri pada perut
Purpura pada kaki
O Keadaan umum:
Compos mentis, Td : 100/60 mmHg, N : 92x/m, T : 36.8C
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-), gallop
(-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Lemas, bising usus terdengar pada paru kiri, hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik

Laboratorium Hb 15.4 g/dL Eri 4.74 x 106 /mm3 Leu 8.64 x 103 /mm3 Ht 47 Trom
551 x 103/µL MCV 99.4 fL MCH 33 pg MCHC 33 g/dL LED 5
mm/jam DC 0/0/66/32/2

A Henoch Schonlein purpura


P 
 Rencana .

Kamis, 12 Desember 2022 (Hari rawat ke 4)


S Ptekie pada kaki tampak memudar
Nyeri perut tidak berkurang
O Keadaan umum:
Compos mentis, Td : 100/60 mmHg, N : 92x/m, T : 36.8C
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung
(-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Lemas, bising usus terdengar pada paru kiri, hepar dan lien
tidak teraba
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik

8
A Henoch Schonlein purpura
P  IVFD D10% 1/5 NS 250 cc + Ca gluconas 20 cc + Phosphat 4 cc + KCL 8
cc
 Konsul divisi GEH
 Saran :

Sabtu, 25 Juni 2022 (Hari rawat ke 4)


S Pro Repair Hernia Diagfragmatica
O Keadaan umum:
Aktivitas sedang, refleks hisap sedang, tangis sedang, laju jantung 146 x/menit
(teratur), laju napas 50 x/menit (teratur), suhu aksila 36,6°C, SpO2 95% on CPAP 7
FiO2 35%. Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispnoe (-)

Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada (+) minimal
Cor Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-), gallop
(-)
Pulmo Vesikuler (+) kanan > kiri, suara peristaltik usus (+) di paru kiri,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Skapoid, lemas, bising usus terdengar pada paru kiri, hepar dan
lien tidak teraba
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik

Laporan operasi
Didapatkan defek di diagfragma sinistra uk.6 cm yang berisi organ
intraabdomen. Organ intraabdomen dikeluarkan dari cavum
thoraks. Dilakukan penjahitan pada defek diagfragma. Dilakukan
dekompresi pada usus dari proksimal hingga distal. Dilakukan
repair defek hernia diafragmatika.
Operasi berlangsung selama 1 jam 20 menit , perdarahan selama
operasi 30 cc.
A NCB-SMK + Post repair hernia diafragmatika kongenital sinistra + pneumonia
P  IVFD D10% 1/5 NS 250 cc + Ca gluconas 20 cc + Phosphat 4 cc + KCL 8 cc kec
8.1 cc/jam
 Aminosteril 6% kecepatan 6.5 ml/jam (3 gram/kgbb/hari)
 Pasien dipuasakan
 PSIMV FiO2 40% RR 40x/m PIP 20 PEEP 6
 Ampicilin 3 x 90 mg intravena (4)
9
 Gentamicin 2 x 9 mg intravena (4)  STOP
 Ganti Cefotaxime 2x155 mg (1)
 Pro cek lab post op

Rabu, 29 Juni 2022 Kamis, 28 Mei 2020 (Hari rawat ke 8)


S Pasien terintubasi POD 4.
NGT hijau
O Keadaan umum:
Aktivitas sedang, refleks hisap sulit dinilai, tangis sulit dinilai, laju jantung 152
x/menit (teratur), laju napas 48 x/menit (teratur), suhu aksila 36,6°C, SpO2 95% on
ventilator modus PSIMV. Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispnoe (-)
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada ada intercostal, subcostal dan
Cor epigastrium
Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-),
Pulmo gallop (-)
Vesikuler (+) kanan = kiri, suara peristaltik usus (+) di paru kiri,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Soepel, hepar dan lien ttb, tampak verbaund menutupi luka operasi
di regio abdomen.
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik
Laboratoriu Hb 14.3 g/dL Eri 4.57 x 106 /mm3 Leu 11.86 x 103 /mm3 Ht 47 %
m Trom 135 x 103/µL MCV 89.5 fL MCH 31 pg MCHC 35 g/dL
LED 17 mm/jam DC 0/0/69/20/10
IT ratio 0.26 hsCRP 200.9 mg/L
Alb 3.3 g/dL Ca 9.0 mg/dL (9.6) Mg 1.60 GDS 95 g/dL Na 141
mEq/L K 4.1 mEq/L Cl 108

A NCB-SMK + Post repair a.i hernia diafragmatika kongenital sinistra POD 4 +


Pneumonia + Sepsis
P  Kebutuhan cairan 642 cc
 Intubasi dengan ventilator PSIMV PEEP 5, PIP 15, FiO2 30%, RR 30 x/m
 IVFD D10% 1/5 NS + Ca gluconas 30 cc + Phosphat 6 cc + KCL 12 cc kec 11
cc/jam
 Aminosteril 6% kecepatan 8.7 cc/jam (4 gram/kgbb/hari)
 Ampicilin 3 x 90 mg intravena (8)  STOP
 Cefotaxime 3 x 155 mg intravena (3)  STOP
 Ganti Meropenem 3x65 mg intravena (i.v)
 Konsul Ulang Bedah Thoraks

10
 Pro rontgen thoraks post operasi

Kamis, 30 Juni 2022 (Hari rawat ke 9)


S NGT Hijau (+) tampak berkurang.
Ganti NIV
O Keadaan umum:
Aktivitas sedang, refleks hisap sedang, laju jantung 148 x/menit (teratur), laju napas
42 x/menit, suhu aksila 36.4°C, SpO2 97%.
Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispnoe (-).
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada minimal
Cor Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-), gallop
Pulmo (-)
Vesikuler (+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Soepel, tampak verbaund terbalut di regio abdomen, rembesan
perdarahan (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik

Rontgen

Kesan : Pneumonia perbaikan

A NCB-SMK + Post repair hernia diagfragmatica POD 5 + Pneumonia (perbaikan) +


Sepsis
P  NIV FiO2 40% PEEP 6 PIP 12
 IVFD D10% 1/5 NS + Ca gluconas 30 cc + Phosphat 6 cc + KCL 12 cc kec 11
cc/jam
 Aminosteril 6% kecepatan 8.7 cc/jam (4 gram/kgbb/hari)
 Meropenem 3x65 mg intravena (2)
 Mulai diet 8x5 cc

Jumat, 1 Juli 2022 (Hari rawat ke 10)

11
S Ganti BCPAP . Sesak napas tidak ada. Muntah (-)
O Keadaan umum:
Aktivitas aktif, refleks hisap sedang, tangis kuat, laju jantung 144 x/menit (teratur),
laju napas 50 x/menit (teratur), suhu aksila 36.3°C, Sp.O2 96-97%.
Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispnoe (-).
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor Bunyi jantung I-II normal terdengar di sternum, murmur (-), gallop
Pulmo (-)
Vesikuler (+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Soepel, tampak verbaund terbalut di regio abdomen, rembesan
perdarahan (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 3 detik
A NCB-SMK + Post repair hernia diagfragmatica POD 6 + Pneumonia (perbaikan) +
Sepsis
P  BCPAP FiO2 30% PEEP 6, weaning perlahan
 IVFD D10% 1/5 NS + Ca gluconas 30 cc + Phosphat 6 cc + KCL 12 cc kec 11
cc/jam
 Aminosteril 6% kecepatan 8.7 cc/jam (4 gram/kgbb/hari)  STOP
 Meropenem 3x65 mg intravena (3)
 Diet ASI 2x10 cc; 2x15 cc; 4x20 cc

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

12
I. DEFINISI
Adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik
yang ditandai dengan lesi spesifik berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau
atralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis, dan kadang – kadang nefritis
atau hematuria(1,2,3). Nama lain penyakit ini adalah purpura anafilaktoid, purpura alergik
dan vaskulitis alergik.(1)

II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terutama terdapat pada anak umur 2 – 15 tahun (usia anak sekolah)
dengan puncaknya pada umur 4 – 7 tahun. Terdapat lebih banyak pada anak laki – laki
dibanding anak perempuan (1,5 : 1).(1,3)

III.ETIOLOGI
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa faktor
memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius bagian atas,
makanan, gigitan serangga, paparan terhadap dingin, imunisasi ( vaksin varisela, rubella,
rubeolla, hepatitis A dan B, paratifoid A dan B, tifoid, kolera) dan obat – obatan
(ampisillin, eritromisin, kina, penisilin, quinidin, quinin).(1,3,4,5) Infeksi bisa berasal dari
bakteri (spesies Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenzae, Legionella, Yersinia,
Shigella dan Salmonella) ataupun virus (adenovirus, varisela, parvovirus, virus Epstein-
Barr).(1,3) Vaskulitis juga dapat berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk
penggunan metotreksat dan agen anti TNF (Tumor Necrosis Factor).(1) Namun, IgA jelas
mempunyai peranan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum,
kompleks imun dan deposit IgA di dinding pembuluh darah dan mesangium renal. (1,3) HSP
adalah suatu kelainan yang hampir selalu terkait dengan kelainan pada IgA1 daripada
IgA2.(3)
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan HSP antara lain:(3)
 Infeksi :- Mononukleosis - Infeksi parvovirus B19
- Infeksi Streptokokus grup A - Infeksi Yersinia
- Sirosis karena Hepatitis-C - Hepatitis
- Infeksi Mikoplasma - Infeksi Shigella
- Virus Epstein-Barr - Infeksi Salmonella
- Infeksi viral Varizella-zoster - Enteritis Campylobacter
13
 Vaksin :- Tifoid - Kolera
- Campak - Demam kuning
 Alergen - Obat (ampisillin, eritromisin, penisilin, kuinidin, kuinin)
- Makanan
- Gigitan serangga
- Paparan terhadap dingin
 Penyakit idiopatik : Glomerulocystic kidney disease

IV. PATOFISIOLOGI
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks imun yang
mengandung IgA. Diketahui pula adanya aktivasi komplemen jalur alternatif. Deposit
kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi
termasuk prostaglandin vaskular seperti prostasiklin, sehingga terjadi inflamasi pada
pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan terjadi purpura di kulit,
nefritis, artritis dan perdarahan gastrointestinalis.(1,3)
Beberapa faktor imunologis juga diduga berperan dalam patogenesis PHS, seperti
perubahan produksi interleukin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam mediator
inflamasi.(1) TNF, IL-1 dan IL-6 bisa memediasi proses inflamasi pada HSP.
Meningkatnya kadar faktor pertumbuhan hepatosit selama fase akut HSP dapat
menunjukkan adanya kemungkinan kerusakan atau disfungsi sel endotel. (1,3)
Meningkatnya faktor pertumbuhan endotel vaskuler dapat setidaknya menginduksi
sebagian perubahan ini. Sitokin dianggap terlibat dalam patogenesis HSP, dan endotelin
(ET), yang merupakan hormon vasokonstriktor yang diproduksi oleh sel endotelial, juga
dianggap turut berperan. Kadar ET-1 jauh lebih besar pada fase akut penyakit ini
dibanding pada fase remisi.(1,3) Namun tingginya kadar ET-1 tidak memiliki hubungan
dengan tingkat morbiditas, keparahan penyakit, atau respon reaktan fase akut.(3).

V. MANIFESTASI KLINIS
HSP biasanya muncul dengan trias berupa ruam purpura pada ekstremitas bawah,
nyeri abdomen atau kelainan ginjal dan artritis. Namun trias tidak selalu ada, sehingga
seringkali mengarahkan kepada diagnosis yang tidak tepat.(5)
Gejala klinis mula – mula berupa ruam makula eritomatosa pada kulit ekstremitas
bawah yang simetris yang berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya

14
trombositopenia. Ruam awalnya terbatas pada kulit maleolus tapi biasanya kemudian
akan meluas ke permukaan dorsal kaki, bokong dan lengan bagian luar. Dalam 12 – 24
jam makula akan berubah menjadi lesi purpura yang berwarna merah gelap dan memiliki
diameter 0,5 – 2 cm. Lesi dapat menyatu menjadi plak yang lebih besar yang menyerupai
echimosis yang kemudian dapat mengalami ulserasi.(1,3)
Purpura terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan (pressure-bearing
surfaces). Kelainan kulit ini ditemukan pada 100% kasus dan merupakan 50% keluhan
penderita pada waktu berobat. Kelainan kulit dapat pula ditemukan pada wajah dan tubuh.
Kelainan pada kulit dapat disertai rasa gatal. Pada bentuk yang tidak klasik, kelainan kulit
yang ada dapat berupa vesikel hingga menyerupai eritema multiform. Kelainan akut pada
kulit ini dapat berlangsung beberapa minggu dan menghilang, tetapi dapat pula rekuren.
Edema skrotum juga dapat terjadi dan gejalanya mirip dengan torsio testis. Gejala
prodromal dapat terdiri dari demam dengan suhu tidak lebih dari 38°C, nyeri kepala dan
anoreksia.(1,2,3,4)
Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, gambaran klinis disa didominasi oelh edema
kulit kepala, periorbital, tangan dan kaki. Gambaran ini disebut AHEI (Acute
Hemorrhagic Edema of Infancy).(3)
Selain purpura, ditemukan pula gejala artralgia dan artritis yang cenderung bersifat
migran dan mengenai sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut dan pergelangan kaki,
namun dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku dan persendian di jari tangan.(1,2,3,4,5)
Kelainan ini timbul lebih dulu (1 – 2 hari) dari kelainan kulit. Sendi yang terkena dapat
menjadi bengkak, nyeri dan sakit bila digerakkan, biasanya tanpa efusi, kemerahan
ataupun panas. Kelainan teutama periartrikular dan bersifat sementara, dapat pula rekuren
pada masa penyakit aktif tetapi tidak menimbulkan deformitas menetap.(1,3)
Pada penyakit ini dapat ditemukan adanya gangguan abdominal berupa nyeri
abdomen atau perdarahan gastrointestinalis.(1,3) Keluhan abdomen biasanya timbul setelah
timbul kelainan pada kulit (1 – 4 minggu setelah onset). Organ yang paling sering terlibat
adalah duodenum dan usus halus.(3) Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang
berat, lokasi di periumbilikal dan disertai mual, muntah, bahkan muntah darah dan kadang
– kadang terdapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal lebih sering terjadi dibanding
ileokolonal.(1,2) Intususepsi atau perforasi disebabkan oleh vaskulitis dinding usus yang
menyebabkan edema dan perdarahan submukosa dan intramural. (1,3) Kadang dapat juga
terjadi infark usus yang disertai perforasi maupun tidak.(3)

15
Selain itu dapat juga ditemukan kelainan ginjal, meliputi hematuria, proteinuria
(<2g/d), sindrom nefrotik (proteinuria >40mg/m2/jam) atau nefritis.(1,3) Penyakit pada
ginjal juga biasanya muncul 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainan kulit yang
persisten sampai 2 – 3 bulan, biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal
yang berat. Resiko nefritis meningkat pada usia di atas 7 tahun, lesi purpura persisten,
keluhan abdomen yang berat dana penurunan aktivitas faktor XIII. Gangguan ginjal
biasanya ringan, meskipun beberapa ada yang menjadi kronik. (1) Seringkali derajat
keparahan nefritis tidak berhubungan dengan parahnya gejala HSP yang lain. (3) Pada
pasien HSP dapat timbul adanya oedem. Oedem ini tidak bergantung pada derajat
proteinuria namun lebih pada derajat vaskulitis yang terjadi. Namun oedem tersebut
memang dihubungkan dengan kejadian proteinuria pada pasien.(3)
Kadang – kadang HSP dapat disertai dengan gejala – gejala gangguan sistem saraf
pusat, terutama sakit kepala. Pada HSP dapat ditemukan adanya vaskulitis serebral. Pada
beberapa kasus langka, HSP diduga dapat menyebabkan gangguan serius seperti kejang,
paresis atau koma. Gejala – gejala gangguan neurologis lain yang dapat muncul antara
lain perubahan tingkat kesadaran, apatis, somnolen, hiperaktivitas, iritabilitas,
ketidakstabilan emosi, kejang (parsial, parsial kompleks, umum, status epileptikus), dan
defisit neurologis fokal (afasia, ataxia, korea, hemiparesis, paraparesis, kuadraparesis.
Dapat juga terjadi poliradikuloneuropati (sindroma Guillain-Barré) dan mononeuropati
(nervus fasialis, femoralis, ulnaris).(3)
Hati dan kandung empedu juga bisa terlibat dengan gejala hepatomegali, hidrops
kandung empedu, kolesistitis. Semua ini bisa menyebabkan keluhan nyeri abdomen pada
pasien. Apendisitis akut juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien HSP. (3)
Gejala - gejala lain yang pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi antara lain vaskulitis
miokardia, vaskulitis paru yang menyebabkan perdarahan paru bilateral, ureteritis
stenosis, oedem penis, orkitis, priapisme, perdarahan intrakranial, hematoma subperiosteal
orbital bilateral, hematoma adrenal dan pankreatitis akut.(3)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pemeriksaan laboratorium tidak terlihat adanya kelainan spesifik. Jumlah
trombosit normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan oleh
trombositopenia.(1,2,3,5) Dapat terjadi leukositosis moderat dan anemia normokromik,
biasanya berhubungan dengan perdarahan gastrointestinal. Biasanya juga terdapat

16
eosinofilia. Laju endap darah dapat meningkat maupun normal. (1,2,3) Kadar komplemen
seperti C1q, C3 dan C4 dapat normal maupun menurun. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang mengandung IgA.(1,3) Analisis
urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens
menandakan mulai adanya kerusakan ginjal atau karena dehidrasi, demikian pula pada
feses dapat ditemukan darah.(1,2,3) Pemeriksaan ANA dan RF biasanya negatif, faktor VII
dan XIII dapat menurun.(3)
Biopsi lesi kulit menunjukkan adanya vaskulitis leukositoklastik.(1,5) Imunofluorosensi
menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen pada dinding pembuluh darah. (1) Pada
pemeriksaan radiologi dapat ditemukan penurunan motilitas usus yang ditandai dengan
pelebaran lumen usus ataupun intususepsi melalui pemeriksaan barium.(1,3) Terkadang
pemeriksaan barium juga dapat mengkoreksi intususepsi tersebut.(3)

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis lebih banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang spesifik daripada
dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dapat mengarahkan kepada
diagnosis HSP yaitu ruam purpurik pada kulit terutama di bokong dan ekstremitas bagian
bawah dengan satu atau lebih gejala berikut: nyeri abdomen atau perdarahan
gastrointestinalis, artralgia atau artritis, dan hematuria atau nefritis.(1,2,3,4,5)
Kriteria Definisi
Purpura non trombositopenia (palpable Lesi kulit hemoragik yang dapat diraba,
purpura) terdapat elevasi kulit, tidak
berhubungan dengan trombositopenia
Usia onset ≤ 20 tahun Onset gejala pertama ≤ 20 tahun
Gejala abdominal / gangguan saluran Nyeri abdominal difus, memberat
cerna (Bowel angina) setelah makan atau diagnosis iskemia
usus, biasanya termasuk BAB berdarah
Granulosit dinding pada biopsi Perubahan histologi menunjukkan
granulosit pada dinding arteriol atau
venula
Untuk kepentingan klasifikasi, pasien dikatakan mempunyai HSP bila memenuhi
setidaknya 2 dari kriteria yang ada. Tabel diambil dari Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
2007.
17
Diferensial diagnosis dari HSP berdasarkan gejala yang dapat timbul antara lain akut
abdomen, meningitis akibat meningokokus, SLE, endokarditis bakterial, ITP, demam
reumatik, Rocky mountain spotted fever, reaksi alergi obat – obatan, nefropati IgA, artritis
reumatoid.(2,3,4,5)

VIII. PENGOBATAN
Tidak ada pengobatan definitif pada penderita HSP. Pengobatan adalah suportif dan
simtomatis, meliputi pemeliharaan hidrasi, nutrisi, keseimbangan elektrolit dan mengatasi
nyeri dengan analgesik.(1,2,5) Untuk keluhan artritis ringan dan demam dapat digunakan
OAINS seperti ibuprofen.(1,2,5) Dosis ibuprofen yang dapat diberikan adalah 10mg/kgBB/6
jam.(2) Edema dapat diatasi dengan elevasi tungkai. Selama ada keluhan muntah dan nyeri
perut, diet diberikan dalam bentuk makanan lunak. Penggunaan asam asetil salisilat harus
dihindarkan, karena dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit yaitu petekie dan
perdarahan saluran cerna. Bila ada gejala abdomen akut, dilakukan operasi. Bila terdapat
kelainan ginjal progresif dapat diberi kortikosteroid yang dikombinasi dengan
imunosupresan. Metilprednisolon IV dapat mencegah perburukan penyakit ginjal bila
diberikan secara dini.(1) Dosis yang dapat digunakan adalah metilprednisolon 250 – 750
mg/hr IV selama 3 – 7 hari dikombinasi dengan siklofosfamid 100 – 200 mg/hr untuk fase
akut HSP yang berat. Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid (prednison 100 – 200
mg oral) selang sehari dan siklofosfamid 100 – 200 mg/hr selama 30 – 75 hari sebelum
akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung dan tappering-off steroid hingga 6 bulan.(1,3)
Terapi prednison dapat diberikan dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hr secara oral, terbagi
dalam 3 – 4 dosis selama 5 – 7 hari. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan penyakit
dengan gejala sangat berat, artritis, manifestasi vaskulitis pada SSP, paru dan testis, nyeri
abdomen berat, perdarahan saluran cerna, edema dan sindrom nefrotik persisten.
Pemberian dini pada fase akut dapat mencegah perdarahan, obstruksi, intususepsi dan
perforasi saluran cerna.(1)

IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara spontan dalam beberapa
hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu setelah onset). Rekurensi dapat terjadi pada

18
50% kasus. Pada beberapa kasus terjadi nefritis kronik, bahkan sampai menderita gagal
ginjal. Bila manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu dilakukan
pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca sakit.(1,2,3,5)
Penyulit yang dapat terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, obstruksi,
intususepsi, perforasi, gagal ginjal akut dan gangguan neurologi. Penyulit pada saluran
cerna, ginjal dan neurologi pada fase akut dapat menimbulkan kematian, walaupun hal ini
jarang terjadi.(1)
Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu setelah onset,
eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan aktivitas faktor XIII, hipertensi,
adanya gagal ginjal dan pada biopsi ginjal ditemukan badan kresens pada glomeruli,
infiltrasi makrofag dan penyakit tubulointerstisial.(1)

BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang anak perempuan berusia 9 tahun, suku Palembang, bertempat tinggal di luar
kota, berat badan 27 kg dengan tinggi badan 132 cm, dirujuk ke poli neuropediatri RSMH
pada tanggal 24 September 2021 dengan keluhan kedua mata berkedip, bahu bergerak, serta
muncul suara seperti batuk. Keluhan sudah dialami selama 5 bulan terakhir. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, pasien dicurigai mengalami tic disorder. Tic
didefinisikan sebagai "gerakan motorik yang tiba-tiba, cepat, berulang, nonritmik (tik
motorik) atau vokalisasi motor dan vocal (tic vocal). Tic yang dialami pasien termasuk ke
19
dalam tic sementara dikarenakan muncul Ketika pasien berusia kurang dari 18 tahun dan tic
muncul dengan onset kurang dari satu tahun. Pasien tic disorder, lebih banyak dialami oleh
pasien yang berusia 8-10 tahun, pada kasus ini tic terjadi pada pasien yang berusia 9 tahun.
Temuan lain yang mendukung bahwa pasien mengalami bangkitan tic adalah
bangkitan bertambah jika pasien mengalami ketegangan psikologis, dan bangkitan akan
berhenti jika pasien tidur. Individu dengan tics sering mengalami sensasi yang tidak
menyenangkan sebelum tics, yang disebut sebagai dorongan premonitory, yang sementara
lega dengan pelaksanaan tics. Pada pasien ini bisa diminta untuk menahan serangan yang
disebut dengan supresibilitas tic. Saat diminta untuk menahan serangan, pasien merasa kesal
dan baru lega kembali apabila serangan dibiarkan muncul, menunjukkan adanya dorongan
premonitory.
Selain tic disorder, kondisi lain yang dapat terjadi pada pasien adalah kejang parsial
sederhana, stereotypic, mannerism. Kejang parsial sederhana merupakan terjadi bangkitan
kejang tanpa penurunan kesadaran. Kejang parsial sederhana ini merupakan salah satu jenis
dari epilepsi. Pasien kemungkinan tidak menderita kejang parsial sederhana dikarenakan saat
terjadi bangkitan, tidak terdapat gerakan bola mata yang abnormal, gerakannya tidak sinkron,
gerakan pada pasien tidak khas seperti kejang pada umumnya (misalnya tonik atau klonik).
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang EEG, pasien mengalami bangkitan dan saat
bangkitan tidak didapatkan gambaran gelombang epileptiform (EEG pasien dalam batas
normal). Temuan ini membuktikan bahwa bangkitan yang dialami pasien bukan kejang oleh
karena rekaman EEG iktal akan selalu menunjukkan gambaran epileptiform.
Kemudian untuk stereotypic sendiri merupakan gangguan non fungsional motor yang
repetitif yang biasanya mengganggu aktifitas atau timbul perlukaan. Dibandingkan dengan
tic, stereotypic memiliki pola yang selalu sama dalam urutan dan ritme. Selain itu biasanya
Gerakan stereotypic tidak dapat ditahan sendiri oleh pasien. Biasanya gejala stereotypic akan
muncul pada usia kurang dari 2 tahun. Myoclonus merupakan gerakan yang muncul secara
rapid, dapat muncul dalam clusters ataupun timbul sendiri. Kebanyakan penderita myoclonus
mengalami hypnic jerks, yaitu dimana keadaan pasien sudah hampir tertidur, kemudian malah
terbangun sendiri dikarenakan adanya sentakan. Pada pasien, keadaan yang seringkali
terbangun karena gerakan seperti sentakan tidak pernah dialami .Mannerism merupakan suatu
karakteristik yang peculiar yang terdiri dari gerakan, aksi, pikiran ataupun ucapan.
Mannerism sering dikaitkan dengan penderita schizophrenia ataupun psikosis.

20
Pada kasus ini, diagnosa Pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated
with streptococcal infections (PANDAS) dapat dipertimbangkan, namun pada PANDAS
biasanya onset terjadi secara tiba-tiba dan eksplosif, gerakan yang muncul yaitu koreiform
serta biasanya disertai dengan gangguan kecemasan. Adanya riwayat post infeksi
streptokokus yang menimbulkan gejala harus ditemukan pada pasien dengan PANDAS. .
Sejumlah besar pasien dengan tic disorder disertai dengan komorbid berupa ADHD,
OCD, gangguan tidur, gangguan belajar ataupun depresi. Komorbid yang terbanyak adalah
ADHD dan OCD. ADHD dan gangguan belajar biasanya paling banyak dialami oleh laki-
laki, sedangkan OCD biasanya dialami oleh perempuan. Pada kasus ini, kemungkinan terjadi
gangguan perilaku pada pasien yang mengarah ke ADHD. (Level of evidence 1B)43
Pengobatan farmakologis harus dipertimbangkan ketika terapi perilaku gagal atau
tidak tersedia (misalnya, kurangnya akses ke terapi perilaku, termasuk biaya, atau faktor
pasien seperti usia, kognisi, atau kesediaan untuk berpartisipasi) atau ketika pasien
menunjukkan tics parah dan kekerasan yang perlu segera dilakukan pengobatan segera.
Sebelum memulai pengobatan pada pasien, dokter menjelaskan tujuan dari pengobatan
tersebut yaitu, untuk mengurangi keparahan dan frekuensi tics hingga tidak lagi mengganggu
pasien atau menyebabkan masalah yang signifikan.
Obat-obatan yang diberikan untuk tatalaksana tic ini adalah agen non dopaminergik
yang sampai sekarang efektif dalam penekanan tic dan tidak memiliki efek samping yang
parah. Obat-obatan khas dalam kategori ini adalah agonis adrenergik alfa-2 seperti clonidine
dan guanfacine. Dosis awal klonidin yang direkomendasikan adalah 0,025-0,05 mg/hari, dan
harus dititrasi perlahan hingga kisaran terapeutik 0,1-0,3 mg/hari. Dosis harian total
maksimum adalah 0,4 mg/hari, dibagi hingga 4 kali sehari dengan dosis tunggal tertinggi 0,2
mg. pada pasien terapi yang diberikan adalah clonidine dengan dosis 0,1 mg tiap 24 jam.
(Level of evidence 1B)44
Pada pasien yang mengalami tics, biasanya tics akan terus bertahan hingga menginjak
uisa dewasa, meskipun sekitar 50% penderita akan terbebas dari tic. Sedangkan pasien yang
mengalami tic yang menetap biasanya sudah tidak mempermasalahkan penyakitnya.

21
D

22

Anda mungkin juga menyukai