Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

AUTISME

Oleh:

Anisah Nida ‘ul Haq 04084821921071

Nur Ghaliyah Sandra Putri 04084821921112

Pembimbing: Prof. Dr. dr. Fauziah Nur’aini Kurdi, Sp.KFR, MPH

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus

AUTISME

Oleh:

Anisah Nida ‘ul Haq 04084821921071

Nur Ghaliyah Sandra Putri 04084821921112

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr
Mohammad Hoesin Palembang Periode 27 Maret 2019 – 15 April 2019.

Palembang, Maret 2019

Pembimbing

Prof. Dr. dr. Fauziah Nur’aini Kurdi, Sp.KFR, MPH


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Autisme”.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Rehabilitasi Medik di RSMH Palembang. Pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada dr. Yenny Fitrizar atas bimbingan yang telah diberikan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekurangan
baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan
ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan perkembangan pervasif, dikenal juga sebagai autism spectrum disorder


(ASD) terdiri daro lima gangguan perkembangan,: autisme, gangguan Asperger’s, gangguan
disintegratif masa kanak, gangguan Rett, dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak
diklasifikasikan di tempat lain (Pervasive developmental disorder not otherwise specified,
PDD NOS). gangguan ini ditandai dengan awitan pada masa bayi dan usia prasekolah. Tanda
paling umum dari gangguan ini meliputi gangguan komunikasi, gangguan interaksi sosial
timbal balik serta minat dan pola perilaku, dan kegiatan yang terbatas dan berulang (streotipik).
retardasi mental umum ditemukan. Sebagian anak dengan ASD menunjukkan kemampuan luar
biasa pada satu bidang (savant atau splinter skills). ASD terdapat pada kurang lebih 1% dari
populasi meskipun jumlah kasusnya meningkat pesat dalam dekade terakhir. Prevalensinya
lebih banyak pada anak lelaki (kecuali dengan gangguan Rett), tetapi anak perempuan yang
mengalami gangguan ini cenderung lebih parah. Kejadian ASD memiliki prevalensi yang sama
antara semua kelompok, ras dan etnis.

Autisme ditandai dengan gangguan interaksi sosial timbal balik, komunikasi, serta minat
dan aktivitas yang terbatas dan terjadi seumur hidup. Manifestasi klinis autisme biasanya
muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Di luar itu, gangguan Rett atau gangguan desintegratif
masa kanak harus dipertimbangkan. Sekitar 20% orang tua melaporkan perkembangan yang
relatif normal sampai anak berusia 1 atau 2 tahun, kemudian diikuti dengan penurunan yang
stabil dan tiba-tiba. Pada bayi, senyum sosial dapat tidak ada atau terlambat muncul. Anak yang
berusia muda dapat menghabiskan waktu berjam-jam dalam bermain sendirian dan tidak
tertarik dengan aktivitas sosial serta tidak ada upaya membangun komunikasi. Pasien dengan
autisme sering tidak mampu melakukan komunikasi nonverbal (kontak mata) dan tidak dapat
berinteraksi dengan orang, dan membedakan orang dengan objek benda. Karakteristik aktivitas
mereka adalah intens, bersifat ritual (berulang-ulang), serta kompulsif, adanya gangguan pada
aktivitas mereka memicu tantrum atau reaksi marah. Perilaku membenturkan kepala,
menggeratakan gigi, mengayun-ayun tubuh ke depan dan ke belakang, respons yang kurang
terhadap rasa sakit dan rangsangan eksternal, serta mutilasi diri dapat ditemukan. Anak yang
terkena biasanya mengalami keterlambatan bicara, dan bila pun ada, sering didominasi olek
ekolalia (bisa salah duga sebagai gangguan obsesif-kompulsif), perseverasi (dapat
membingungkan dengan gangguan psikotik atau gangguan obsestif-kompulsif), pembalikan
kata ganti, irama suara yang tidak mengandung arti sama sekali, serta kelainan lainnya.

Meskipun etiologi gangguan autistik tidak diketahui, terdapat peningkatan risiko


mengalami gangguan autistik pada saudara kandung dibandingkan dengan populasi umum.
Prevalens adalah sekitar 10 kasus per 10.000 anak. Anak lelaki terkena empat hingga lima kali
lebih sering daripada anak perempuan. Anak perempuan yang terkena sering memiliki
keterlambatan mental yang berat.

Komorbiditas yang umum adalah retardasi mental (hingga 80%), gangguan kejang (25%
dan biasanya dimulai pada masa remaja), gangguan cemas, gangguan obsesif-kompulsif, dan
gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPPH). IQ yang lebih tinggi dan kemampuan
bahasa yang lebih baik berhubungan dengan prognosis yang lebih baik. Kemampuan
komunikasi yang baik memprediksi kemungkinan mampu beradaptasi dalam situasi sosial
yang kurang terstruktur atau bahkan dapat mandiri.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang definitif untuk menegakkan diagnosis


gangguan autistik, tetapi dapat membantu dalam mengidentifikasi penyebab medis yang
menyerupai autisme. Fungsi pendengaran harus diuji untuk menentukan apakan defisit yang
ada dapat menjelaskan gangguan berbahasa yang ada. Kelainan kromosom (fragile X
syndrome), polimorfisme genetik, infeksi virus kongenital, gangguan metabolik
(fenilketonuria), dan kelainan struktural otak (tuberous sclerosis) harus dievaluasi sebagai latar
belakang penyebab kemungkinan gejala autisme yang ada. Gangguan bahasa ekspresif dan
campuran reseptif-ekspresif harus dipertimbangkan. Konsultasi dengan ahli patologi bicara
dapat membantu dalam mengevaluasi kesulitan berkomunikasi. Adanya kelainan pada
pemeriksaan elektroensefalografi nonspesifik adalah umum bahkan tanpa kejang.

The American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining untuk autisme pada


usia 18 dan 24 bulan. Pengkajian komprehensif harus dilakukan jika ada saudara atau orang
tua yang mengalami gangguan ini, kekhawatiran pengasuh atau dokter anak.
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Evander Thamrin
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Lr. KH. Akib II No. 62 Palembang
Agama : Buddha
Status : Belum menikah
No. MedRec : 910923
Tanggal Pemeriksaan : 2 April 2019

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Belum lancar berbicara.

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan belum lancar berbicara pada pasien dirasakan sejak umur pasien 2 tahun. Pasien hanya
dapat berbicara “mama” dan “papa”, dan ibu pasien merasa bahwa anaknya sering
menggunakan bahasa yang tidak diketahui artinya atau bahasa planet. Keluarga pasien juga
menyadari ketika pasiennya dipanggil tidak menoleh, serta tidak melakukan kontak mata
dengan orang sekitar. Pasien sampai sekarang masih belum bisa bersosialisasi dengan teman
sebaya karena sering mengganggu (mendorong dan memukul) temannya. Ibu pasien
menyatakan bahwa pasien diberikan tontonan TV setiap hari mulai dari berumur 1 bulan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang : (-)
Riwayat trauma kepala : (-)
Riwayat sianosis : (-)
Riwayat kuning : (-)
Riwayat operasi tumor : (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Terdapat riwayat keluhan yang sama pada sepupu pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi


Tidak ditanyakan.

Riwayat Pengobatan
Tidak ada riwayat konsumsi obat.

C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis GCS: 15 (E4M6V5)
Tanda Vital : - TD: 120/80 mmHg
- HR: 80 x/menit
- RR: 20 x/menit
- T: 36,5oC
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 70 kg
IMT : 29,1 kg/m2 (Obesitas)

Cara Berjalan/Gait
Antalgik gait : (-)
Hemiparese gait : (-)
Steppage gait : (-)
Parkinson gait : (-)
Tredelenburg gait : (-)
Waddle gait : (-)
Lain-lain : Tidak dilakukan

Bahasa/Bicara
Komunikasi verbal : Echolalia (+)
Komunikasi nonverbal : Stereotipik dan repetitif (+)
Kulit: normal
Status Psikis :
- Sikap : Kooperatif - Orientasi : Tidak dapat dinilai
- Ekspresi wajah : Wajar - Perhatian : Normal

B. Saraf-saraf Kepala (Nervus Kranialis)


Nervus Kanan Kiri

I N. Olfaktorius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

II N. Optikus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

III N. Occulomotorius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV N. Trochlearis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

V N. Trigeminus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

VI N. Abducens Tidak dilakukan Tidak dilakukan

VII N. Facialis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

VIII N. Vestibulocochlearis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IX N. Glossopharyngeus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

X N. Vagus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

XI N. Accesorius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

XII N. Hypoglossus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normocephali
Posisi : normal
Mata : normal
Hidung : normal, simetris
Telinga : normal, simetris
Mulut : simetris
Wajah : simetris
Gerakan abnormal : tidak ada

D. Leher
Inspeksi: statis, simetris, struma (-), trakea di tengah
Palpasi: tidak teraba pembesaran KGB, kaku kuduk (-), tumor (-), JVP 5-2cmH2O

Luas Gerak Sendi


Ante /retrofleksi (n 65/50) : 65/50
Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45

Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : tidak dilakukan
Test Valsava : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan
Test Nafziger : tidak dilakukan

E. Thorax
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Eks. & Ins. Maksimum (tidak dilakukan)
Paru-paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, pelebaran sela iga (-)
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas-batas jantung normal
Auskultasi : BJ I & II (+) normal, HR 80x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
F. Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal

G. Trunkus
Inspeksi
Simetris : simetris
Deformitas: tidak ada
Lordosis : tidak ada
Scoliosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Hairy spot : tidak ada
Pelvic tilt : tidak ada
Palpasi
Spasme otot-otot para vertebrae : ada
Nyeri tekan (lokasi) : (+) Punggung bawah L4-L5
Luas gerak sendi lumbosakral
Ante/retro fleksi (95/35) : 85/30
Laterofleksi (D/S) (40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (35/35) : 35/35

Test provokasi :
Valsava test : tidak dilakukan - Tes Laseque : tidak dilakukan
Baragard dan Sicard : tidak dilakukan - Niffziger test : tidak dilakukan
Test SLR : tidak dilakukan - Test: O’Connell : tidak dilakukan
- FNST : tidak dilakukan - Test Patrick : tidak dilakukan
- Test Kontra Patrick : tidak dilakukan - Tes gaernslen : tidak dilakukan
- Test Thomas : tidak dilakukan - Test Ober’s : tidak dilakukan
- Nachalasknee flexion test : tidak dilakukan
- Yeoman’s hyprextension : tidak dilakukan
- Mc.Bride sitting test : tidak dilakukan
- Mc. Bridge toe to mouth sitting test : tidak dilakukan
- Test schober : tidak dilakukan

H. Anggota Gerak Atas


Inspeksi kanan kiri
Deformitas tidak ada tidak ada
Edema tidak ada tidak ada
Tremor tidak ada tidak ada
Nodus herbenden tidak ada tidak ada

Palpasi : tidak dilakukan

Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi

Refleks Fisiologis
Refleks tendon biseps Normal Normal
Refleks tendon triseps Normal Normal

Refleks Patologis
Hoffman Tidak ada Tidak ada
Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Kanan Kiri

Anatomical normal normal


Grips normal normal
Spread normal normal
Palmar abduct normal normal
Pinch normal normal
Lumbrical normal normal

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Abduksi Bahu 0-180 0-180 0-180 0-180

Adduksi Bahu 180-0 180-0 180-0 180-0

Fleksi bahu 0-180 0-180 0-180 0-180

Extensi bahu 0-60 0-60 0-60 0-60

Endorotasi bahu (f0) 90-0 90-0 90-0 90-0

Eksorotasi bahu (f0) 0-90 0-90 0-90 0-90

Endorotasi bahu (f90) 90-0 90-0 90-0 90-0

Eksorotasi bahu (f90) 0-90 0-90 0-90 0-90

Fleksi siku 0-150 0-150 0-150 0-150

Ekstensi siku 150-0 150-0 150-0 150-0


Ekstensi pergelangan 0-70 0-70 0-70 0-70
tangan

Fleksi pergelangan 0-80 0-80 0-80 0-80


tangan

Supinasi 0-90 0-90 0-90 0-90

Pronasi 0-90 0-90 0-90 0-90

Fleksi jari-jari tangan 0-90 0-90 0-90 0-90

Test Provokasi kanan kiri


Yergason test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Apley scratch test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Moseley test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Adson maneuver : tidak dilakukan tidak dilakukan
Tinel test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Phalen test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Prayer test : tidak dilakukan tidak dilakukan
Finkelstein : tidak dilakukan tidak dilakukan
Promet test : tidak dilakukan tidak dilakukan

I. Anggota Gerak Bawah


Inspeksi kanan kiri
Deformitas : (-) (-)
Edema : (-) (-)
Tremor : (-) (-)

Palpasi
Nyeri tekan (lokasi) : (+) (+)
Diskrepansi : (-) (-)
Krepitasi : (+) (+)
Neurologi
Motorik Kanan Kiri

Gerakan Terbatas Terbatas

Kekuatan

Fleksi paha 5 5

Ekstensi paha 5 5

Ekstensi lutut 5 5

Fleksi lutut 5 5

Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5

Motorik Kanan Kiri

Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5

Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5

Tonus Eutoni Eutoni

Tropi Eutropi Eutropi

Refleks Fisiologis

Refleks tendo patella Normal Normal

Refleks tendo Achilles Normal Normal

Refleks Patologis

Babinsky Tidak ada Tidak ada

Chaddock Tidak ada Tidak ada

Sensorik

Protopatik Normal

Proprioseptik Normal

Vegetatif Normal

Luas Gerak Sendi

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45

Ekstensi paha 0-20 0-20 0-20 0-20

Endorotasi paha 0-180 0-180 0-180 0-180

Adduksi paha 0-60 0-60 0-60 0-60

Abduksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45

Fleksi lutut 0-100 0-100 0-100 0-100

Ekstensi lutut 0-45 0-45 0-45 0-45

Dorsofleksi pergelangan kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Plantar fleksi pergelangan kaki 0-50 0-50 0-50 0-50

Inversi kaki 0-35 0-35 0-35 0-35

Eversi kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Tes Provokasi Sendi Lutut kanan kiri


Stes test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Drawer’s test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test tunel pada sendi lutut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test homan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test lain-lain Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. Pemeriksaan Penunjang


Radiologis:
Tidak dilakukan
Laboratorium:
Tidak dilakukan

D. RESUME
An. ET, 3 tahun, datang dengan keluhan belum lancar berbicara saat usia 2 tahun. Pasien
hanya dapat berbicara “mama” dan “papa”, dan sering menggunakan bahasa yang tidak
diketahui artinya atau bahasa planet. Pasien tidak menoleh saat dipanggil, serta tidak
melakukan kontak mata dengan orang sekitar. Hingga sekarang, pasien tidak dapat
bersosialisasi dengan teman sebaya. Terdapat riwayat pasien diberikan tontonan TV setiap hari
mulai dari usia 1 bulan. Selain itu, An. ET memiliki riwayat keluhan yang sama pada keluarga
yaitu sepupu.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan sensorium compos mentis dan tanda-tanda vital
dalam batas normal. Komunikasi verbal pasien adalah mengulang kalimat yang dikatakan
pemeriksa dan mampu melakukan perintah sederhana seperti salim dan melambaikan tangan,
sedangkan komunikasi nonverbal pasien didapatkan gerak stereotipik (+) dan gerak repetitif
(+). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa Autism Spectrum
Disorder.

E. EVALUASI
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran

1 Struktur dan Tidak ada kelainan pada struktur -


fungsi tubuh dan fungsi tubuh

2 Aktivitas Tidak ada kelainan aktivitas -

3 Partisipasi Hubungan sosial dengan teman Memperbaiki komunikasi agar


sebaya tidak baik hubungan sosial dengan teman
sebaya menjadi lebih baik

F. DIAGNOSA
Diagnosis klinis: Autism Spectrum Disorder.

G. PROBLEM REHABILITASI MEDIK


1. Gangguan berbicara: Belum dapat berbicara lancar
2. Gerakan repetitif (+) dan stereotipik (+)

H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi okupasi : 2 kali / minggu
2. Terapi wicara : 2 kali / minggu
3. Terapi edukasi :
- Meminimalisir penggunaan TV pada pasien
- Mengajarkan cara bersosialisasi dengan teman sebaya yang baik
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada
diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap
pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada
pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya”
sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai dengan
munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan
pada interaksi sosial, dan perilakunya 6,8,9

B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu 10 sampai 20
tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak autis di dunia pada tahun 1987
diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997,
angka itu berubah menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000
prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001
perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global prevalensinya berkisar
4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita
(lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari
400.000 anak.4 Penelitian yang dilakukan di Brick Township, New Jersey.1 melaporkan
angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun dengan autisme dan 67
per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada anak-anak. Penelitian terbaru di Canada
menyatakan bahwa prevalensi autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding
150 kelahiran 2,9.

C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang menjelaskan
tentang autisme yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orang
tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka. Anak tersebut meyakini bahwa
dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga menciptakan “benteng
kekosongan” untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan 6.
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih tinggi
dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung yang juga autis
sekitar 3%. Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada kejadian
autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme kontrol
tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf,
detoksifikasi logam berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun.
Disfungsi metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung,
ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang
sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih
berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis
metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron3.
Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme
memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.5,6
Penelitian pada anak kembar juga menemukan, jika salah satu anak mengalami
autisme, saudara kembarnya pun kemungkinan besar juga mengalami autisme.6 Para
ahli menduga hal ini diakibatkan adanya 20 gen yang berperan penting dalam
mencetuskan gangguan spektrum autisme, terutama gen neuroxin yang ditemukan
pada kromosom manusia No. 11.5,6 Neuroxin merupakan protein yang berperan
membantu komunikasi sel saraf, pada anak autis terjadi peningkatan jumlah neuroxin
daripada anak normal. Hal ini mengganggu proses migrasi sel normal
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik menunjukkan
adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala
dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory
input, dan belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di
serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah
ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik
secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami
sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan
otak, banyak penderita-penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam
darah dan cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal3
Ada beberapa faktor yang diyakini sebagai penyebab autisme diantaranya: 12
- Faktor ibu hamil
a. Usia ibu saat hamil
Makin tua usia ibu saat hamil, makin tinggi risiko anak mengalami
autisme. Penelitian yang dilakukan oleh Alycia Halladay, Direktur Riset
Studi Lingkungan Autism Speaks pada tahun 2010 menemukan, perempuan
usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen melahirkan anak yang mengalami
autisme dibandingkan perempuan berusia 20-29 tahun. Begitupula pada ibu
hamil yang berusia 30-34 tahun berisiko 27 persen untuk memiliki anak autis.
b. Infeksi pada ibu hamil
Beberapa infeksi virus yang dialami oleh ibu selama hamil diduga
memiliki pengaruh terhadap perkembangan otak anak sehingga mencetuskan
keadaan autisme pada saat anak lahir. Beberapa infeksi pada ibu hamil yang
diduga mencetuskan autisme pada anaknya antara lain:
1) Influenza
Wanita yang mengalami flu dan demam jangka panjang saat hamil diduga
lebih berisiko untuk melahirkan anak dengan autisme. Ibu hamil yang sering
menderita flu berpotensi dua kali lipat untuk melahirkan anak yang
didiagnosa autis pada usia anak yang ketiga, sedangkan ibu hamil yang
mengalami demam jangka panjang, berpotensi untuk melahirkan anak
dengan autisme sebanyak tiga kali lipat.
2) Infeksi Rubella dan Sitomegalovirus
Ada dugaan sementara bahwa virus Rubella dan Sitomegalovirus yang
menyerang ibu hamil dapat menyebabkan anak mengalami autisme.
Berdasarkan data WHO, ibu hamil yang terinfeksi saat usia kehamilannya
< 12 minggu memiliki risiko janin tertular 80-90 persen. Sedangkan jika ibu
terinfeksi rubella pada usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin
terinfeksi turun menjadi 10-20 persen. Namun, risiko janin terinfeksi dapat
meningkat mencapai 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36
minggu. Virus rubella dapat menyebabkan gangguan pada kehamilan, dapat
terjadi abortus spontan, serta gangguan perkembangan janin.
c. Konsumsi seafood
Menurut penelitian, sebagian besar anak autis memiliki jumlah
kandungan merkuri dan logam berat sebanyak 3-10 kali diatas normal. Merkuri
dan logam berat memicu kondisi hiperaktif pada anak. Ini merupakan akibat
dari kebiasaan ibu hamil yang sering mengkonsumsi seafood yang
mengandung kadar merkuri yang tinggi. Diduga makanan laut yang makin
marak mengandung merkuri dapat merusak otak janin. Ibu harus pandai
memilih makanan laut yang bebas dari merkuri, karena makanan laut
mengandung asam lemak omega-3 yang juga bermanfaat bagi janin.
- Faktor anak saat lahir
a. Hipoksia
Oksigen sangat mempengaruhi perkembangan otak janin begitu pula
pada bayi. Keadaan penurunan ketersediaan oksigen di otak akan
menyebabkan gangguan pada otak bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada
otak. Hipoksia pada janin dapat terjadi akibat perdarahan pada masa
kehamilan, sedangkan bayi yang lahir tidak cukup bulan juga berisiko untuk
mengalami hipoksia saat lahir.
b. Infeksi pada anak
Beberapa infeksi penting yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya
gangguan autisme pada anak adalah infeksi pada otak anak. Infeksi tersebut
antara lain virus Rubella, Herpes Simplex Virus (HSV) serta infeksi varisela,
campak dan mumps juga dilaporkan pada beberapa penelitian memiliki
hubungan dengan kejadian autisme pada anak. Infeksi lainnya adalah infeksi
bakteri seperti tuberkulosis pada otak. Infeksi tersebut dihubungkan dengan
kejadian meningitis dan ensefalitis dengan gejala demam tinggi, penurunan
kesadaran dan nyeri kepala. Jika keadaan ini terus terjadi dapat mencetuskan
kejang pada anak dan berakhir pada keadaan epilepsi. Infeksi pada otak serta
keadaan yang terjadi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak pada anak
sehingga dapat mencetuskan gejala autisme.
c. Gangguan pencernaan
Sekitar 60% penyandang autisme memiliki sistem pencernaan yang
kurang baik, seperti kekurangan enzim pencernaan dan/atau memiliki lapisan
pencernaan yang tipis sehingga dapat mengalami kebocoran dinding usus
(leaky gut).5,13 Hal ini sangat berpengaruh pada proses pencernaan beberapa
jenis makanan yang hanya tercerna secara parsial (masih berbentuk molekul
peptida berukuran besar).
Jenis makanan tersebut adalah yang mengandung protein seperti gluten
dan kasein, yang terdapat pada susu, gandum dan kedelai. Karena tercerna
masih dalam bentuk molekul besar akibat enzim pencernaan yang minimal
ditambah kebocoran dinding usus, maka molekul peptida tersebut
(caseomorphin dan gluteomorphin) lolos masuk ke aliran darah, dan akhirnya
terbawa ke otak dan menyebabkan terjadinya arus pendek stimulus (short
circuit brain) akibat peptida tersebut berikatan dengan reseptor opioid.
Kadar opioid meningkat dalam otak sehingga menyebabkan sistem saraf
pusat terganggu, seperti fungsi persepsi, kognotif, emosi, tingkah laku dan
sebagainya. Opioid juga mempengaruhi sistem imun penyandang autisme
sehingga anak penyandang autisme rentan mengalami infeksi, terutama infeksi
saluran pencernaan.
- Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat pada pengawet makanan, pewarna
makanan, penambah rasa (MSG), dan food additive lainnya.
- Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbal (Pb) dari limbah kendaraan
bermotor, merkuri (Hg) dari ikan yang tercemar / air raksa sebagai pengawet
vaksin ang kadarnya melebihi ambang batas aman.
- Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein.
- Infeksi jamur / yeast.
- Alergi dan intoleransi makanan, dan lain-lain.

D. Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang
spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik
berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar
terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-
sama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal)
hanya sekitar 5-10% saja3.
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun baru-
baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter. Selain
itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul dari beban yang
berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid
kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan perombakan yang tidak
lengkap dari gluten dan casein makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini
menarik banyak perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier
yang defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah
opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit3. Barrier
yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan.
Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak
spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun, baik teori
anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes diagnostik biologik
yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama autisme. Beberapa
peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada individu yang
mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga
pengaruhnya terhadap perilaku3.
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur neural
dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam kaitannya dengan
struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik
menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu
amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi,
sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye
di serebelum. Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua
daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih
kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang
bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan
neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan
neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid
endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan
antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut 3
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik
menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal
dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini
juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan hiperaktivirtas, dan depresi
unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik terdapat kenaikan dari beta-
endorphins, suatu substansi di dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya
ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan
kadar betaendorphins ini3.

E. Gambaran Klinis
Tanda-tanda awal pada pasien autisme berkaitan dengan usia anak. Usia anak
dimana sindroma autisme dapat dikenal merupakan kunci untuk segera melakukan
intervensi berupa pelatihan dan pendidikan dini. National Academy of Science USA
menganjurkan bahwa pendidikan dini merupakan kunci keberhasilan bagi seorang
anak dengan sindroma autisme. Pada umumnya semua peneliti sepakat bahwa
sindroma autisme merupakan diagnosis sekelompok anak dengan kekurangan dalam
bidang sosialisasi, komunikasi dan afeksi. Mereka juga sepakat bahwa mengenal
tanda-tanda awal autisme yaitu sejak usia dini (bayi baru lahir bahkan sebelum lahir)
sangat penting untuk upaya penanggulangan.
Gejala autisme dapat timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian
anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang
cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun.
Hal yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme
dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:
a. Isolasi sosial6
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social ke dalam suatu
keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat
pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain
tidak pernah ada. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar
kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka
bermain sendiri.
b. Kelemahan kognitif
Sebagian besar (± 70%) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70)
tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan
kemampuan sensori montor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan
hubungan social mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi
mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama
sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan oengaruh penarikan diri dari
lingkungan social.
c. Kekurangan dalam bahasa6
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal seperti terlambat
bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya
mengoceh, merengek, menjerit, atau menunjukkan ekolali, yaitu menirukan apa
yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan
TV, atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis
menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai
orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya anak autism tidak dapat
berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan
normal.
d. Tingkah laku stereotip6
Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang
berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif,
repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan
permainan yang sama dan monoton. Anak autis sering melakukan gerakan yang
berulang-ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-
putar, berjingkat-jingkat, dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-
ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik
rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat
perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini
sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian-bagian
tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada roda mainan mobil-mobilannya. Anak
autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

F. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme


Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan autisme
adalah13:
A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari 1 dan satu
masing-masing dari 2 dan 3:
1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai manifestasi
paling sedikit dua dari yang berikut:
a. Hendaya di dalam perilaku nonverbal seperti pandangan mata ke mata,
ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi
social.
b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat
perkembangannya.
c. Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat atau
pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan
atau menunjukkan objek yang menarik.
d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.
2. Secara fluktuatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai menifestasi
paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak
menyertai usaha mengimbangi cara komunikasialternatif seperti gerak
isyarat atau gerak meniru-niru)
b. Individu berbicara secara adekuat, hendaya dalam menilai atau
meneruskan oembicaraan orang lain.
c. Menggunakan kata berulang kali dan stereotip dan kata-kata aneh.
d. Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau pura-pura
bermain seuai tingkat perkembangan.
3. Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai manifestasi
paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau kelainan dalam
intensitas maupun focus perhatian akan sesuatu yang terbatas.
b. Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau ritual pun
tidak fungsional.
c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar arah jari dan
tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya.
d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip.
B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini dengan
serangan sebelum sampai usia 3 tahun:
1. Interaksi sosial
2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
3. Permainan simbol atau imaginatif.
C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi
masa anak.

Sementara itu, gangguan spektrum autis pada DSM V tidak diklasifikasikan menjadi
berbagai tipe seperti pada DSM IV-TR. Dalam DSM V, berbagai tipe autis dibahas
menjadi satu kesatuan sebagai gangguan spectrum autis yang setara dengan istilah
Pervasive Developmental Disorders (PDD) yang terdapat pada DSM IV-TR.
Selanjutnya, DSM V (APA, 2013) mengklasifikasikan gangguan spectrum autis
berdasarkan derajat berat ringannya menjadi tiga derajat berdasarkan aspek
komunikasi dan interaksi social serta aspek ketertarikan yang terbatas dan perilaku
berulang, yaitu derajat 1, derajat 2, dan derajat 3. Secara lebih rinci, klasifikasi tersebut
dapat dilihat pada table berikut ini14:

Autisme masa kanak berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III, antara lain6:
a. Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau
hendaya perkembangan yang muncul selama usia 3 tahun dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam 3 bidang: interaksi sosial, komunikasi dan perilaku terbatas dan
berulang
b. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan normal sebelumnya, tetapi bila
ada, kelainan perkembangan sudah jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis
sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat didiagnosis pada
semua kelompok umur
c. Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal
social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat
sosio-emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap perilaku dalam
kontek sosial, buruk dalam mengguanak isyarat sosial dan integrasi yang lemah
dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan khususnya kurangnya
respon timbal balik sosio-emosional.
d. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk
kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam
permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan kurangnya
interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa
ekspresif dan relatif kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam proses pikir;
kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain;
hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi komunikatif;
dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi
lisan.
e. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas,
pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecendrungan untuk bersikap kaku dan
rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru
atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan pola bermain. Terutama sekali dalam
masa kanak, terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak
dapat memaksa suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang sebetulnya
tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang stereotipik dengan perhatian pada
tanggal, rute atau jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering menunjukkan
perhatian yang khusus terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa);
dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari
lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam rumah).
f. Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autisme, tetapi
ada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

Adapun beberapa instrumen screening untuk autisme:11


1. CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale)
Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal 1970an, berdasarkan pengamatan
terhadap perilaku. Di 5dalamnya terdapat 15 nilai skala yang mengandung
penilaian terhadap hubungan anak dengan orang, penggunaan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, respon pendengaran, dan komunikasi verbal.
2. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)
Digunakan untuk screening autisme pada usia 18 bulan. Dikembangkan oleh
Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk melihat apakah autisme dapat
terdeteksi pada anak umur 18 bukan. alat screening ini menggunakan kuesioner
yang terbagi 2 sesi, satu melalui penilaian orang tua, yang lain melalui penilaian
dokter yang menangani.
3. Autism Screening Questionnaire
40 poin skala screening yang telah digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas untuk
mengevaluasi kemampuan berkomunikasi dan fungsi sosialnya.

G. Perkembangan Anak Autisme


Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat
dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode
perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler dan masa
prasekolah dan kanak-kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler
Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus autisme
sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya dengan
perkembangan anak normal.

No. Faktor Perkembangan Normal Anak Autis


Pembeda
1 Pola tatapan - Usia 6 bulan sudah mampu - Pandangan mereka
mata melakukan kontak sosial melewati orang dewasa
melalui tatapan yang mencegah
- Toddler: menggunakan gaze perkembangan pola
sebagai sinyal pemenuhan interaksi melalui tatapan.
vokalisasi mereka - Lebih sering melihat
atau mengundang kemana-mana daripada ke
partner untuk bicara orang dewasa
2 Affect Usia 2,5-3 bulan sudah - Tidak ada senyum sosial.
melakukan senyum sosial - Usia 30-70 bulan melihat
dan tersenyum terhadap
ibunya, tapi tidak disertai
dengan kontak mata dan
kurang merespon
senyuman ibunya.
3 Vokalisasi - Usia 2-4 bualn anak dan ibu - Karakter mutism mereka
terlibat dalam pola yang tampak dari kurangnya
simultan dan berganti vokal babbling yang
yang menjadi awal bagi menghambat jalan
komunikasi verbal interaksi sosial ini
selanjutnya.
4 Imitasi - Langsung muncul setelah - Usia 8-26 bulan dapat
Sos lahir. meniru ekspresi wajah
ial: tapi melalui sejumlah
berkaitan keanehan dan respon
den menikal yang
gan mengindikasikan sulitnya
responsifitas perilaku ini bagi mereka.
sosial,
bermain
bebas dan
bahasa
5 Inisiatif Merespon stimulus yang ada - Anak menjadi penerima
dan sehingga timbul reciprocity pasif dari permainan orang
Reciprocity dewasa dan tidak
berinteraksi secara ktif
dengan mereka
6 Attachment - Kelekatan pada anak autis
diselingi dengan
karakteristik pengulangan
pergerakan motorik
mereka seperti tepukan
tangan, goncangan dan
berputar-putar
7 Kepatuhan - Anak autis patuh terhadap
dan permintaan. Jika
Negativisme permintaan tersebut
sesuai dengan kapasitas
intelektual mereka,
mereka dapat merespon
secara pantas saat mereka
dalam lingkungan yang
terstruktur dan dapat
diprediksi.
- Anak autis memiliki sifat
negativistik secara
berlebihan

H. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding autisme, antara lain6:
a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya
Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah anak-anak
yang mempunyai ciri-ciri autisme, yaitu gangguan perkembangan sosial, bahasa,
dan perilaku, namun cirri lainnya berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini
adalah sebagai berikut:
1) Sindroma Rett
Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi khusus mengenai
anak perempuan. Perkembangan anak sampai usia 5 bulan normal, namun
setelah itu mundur. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi
perkembangan bahasa, interaksi social maupun motoriknya.
2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism namun masih
memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya
terganggu dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering
disebut sebagai “high functioning autism”.
Gangguan Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil. Onset usia
autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah
dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan
penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya
gangguan kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik
pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada
autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada
gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang
canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan
gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan
Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang lebih baik daripada
autisme infantil, kecuali autisme infantil high functioning. Batas antara
gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa
dan gangguan belajar sangat kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal
intelligence yang normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal
intelligence yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami
kesulitan berempati
3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang telah dicapai
setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4 tahun. Gangguan ini
sangat jarang terjadi dan paling sering mengenai anak laki-laki dibanding
perempuan.
a. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak
Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai
dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang
lebih rendah dan dengan IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistic.
Kriteria Autisme Skizofrenia dengan
onset masa anak-anak
Usia onset <36 bulan >5 tahun
Insidensi 2-5 dalam 10.000 Tidak diketahui,
kemungkinan sama atau
bahkan lebih jarang
Rasio jenis kelamin 3-4:1 1,67:1
(Laki-laki:Perempuan)
Status sosioekonomi Lebih sering pada Lebih sering pada
sosioekonomi tinggi sosioekonomi rendah
Penyulit prenatal dan Lebih sering pada Lebih jarang pada
perinatal dan disfungsi otak gangguan skizofrenia
autistic
Karakteristik perilaku Gagal untuk Halusinasi dan waham,
mengembangkan gangguan pikiran
hubungan: tidak ada
bicara (ekolalia); frasa
stereotipik; tidak ada atau
buruknya pemahaman
bahasa; kegigihan atas
kesamaan dan
stereotipik.
Fungsi adaptif Biasanya selalu Pemburukan fungsi
terganggu
Tingkat inteligensi Pada sebagian besar Dalam rentang normal
kasus
subnormal, sering
terganggu parah (70%)
Kejang grand mal 4-32% Tidak ada atau insidensi
rendah

b. Retardasi Mental (RM)


Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil dengan retardasi
mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi mental. Kira-kira 40% anak
autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan anak yang
teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada
retardasi mental tidak terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi
mental adalah gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah
karena ketidaksanggupan anak mengikuti pelajaran formal. Pembagian retardasi
mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient (IQ), retardasi mental
ringan IQ 55-70, RM sedang IQ 40-55, RM berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.
Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental
adalah:
1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-
anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.
2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi

I. Penatalaksanaan Autisme
Tidak ada pengobatan spesifik untuk mengobati gejala gangguan ini, obat-obat telah
dilaporkan memperbaiki gejala yang mencakup agresi, ledakan kemarahan hebat, perilaku
menciderai diri sendiri, hiperaktivitas, serta perilaku obsesif kompulsif serta sterotipik.
Agonis serotonin-dopamin (SDA) memiliki resiko rendah dalam menimbulkan efek
samping ekstrapiramidal. SDA mencakup risperidone, olanzapine, quetiappine, clozapine,
dan ziprasidone6.
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling
penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah metode
modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Berbagai
kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam
kemampuan dasar, yaitu:
1. Kemampuan memperhatikan
Program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa
memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan
kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek
yang ada disekelilingnya.
2. Kemampuan menirukan
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar
dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru
tindakan yang disertai bunyi-bunyian.
3. Bahasa reseptif
Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap
seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan
nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata.
4. Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari
komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi
wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau
berkomunikasi verbal.
5. Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang
mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan, dan stimulus-stimulus
di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan
imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yang ada di
sekitarnya.
6. Kemampuan mengurus diri sendiri
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri. Yang kedua, anak
dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet traning. Kemudian tahap
selanjutnya melatih mengenakan pakaian, menyisir rambut, dan menggosok gigi.

J. Terapi Autisme13
a. Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sehari-
hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran antara lain
metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program
yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual,
metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
b. Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang
dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah
ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat tergantung dari
usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).
c. Terapi wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat
tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi
ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan
gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai
kebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran) untuk menghasilkan
respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasi
mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semua
gangguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu
pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan
suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan.
Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut
g. Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat tercapainya
perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai
dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu
sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu
pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi menjadi sangat
penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan
terapi apapun pada individu dengan autisme.

K. Prognosis
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan autisme, anak
yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa komunikatif
saat usia 5-7 tahun cenderung mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan
pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku
dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi6.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle, P. 2001.
Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics, 108; 1155-61.
2. Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders. Pediatrics
Research, 6 (65); 591-8.
3. Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti,
Vol. 22 No. 1; 24-30.
4. Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf, Diakses 2 April
2019).
5. Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
6. Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioural
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of Medicine New York;
Chapter 42.
7. Made, O.R, Ratep Nyoman,2010. Diagnosis dan penatalaksanaan autisme. Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah. Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82607&val=970&title, Diakses 2
April 2019).
8. Warsiki, Endang. 2007. Gangguan Autisme dan Penatalaksanaan Psikiatrik. Dep./SMF
Ilmu Kedokteran Jiwa-Psikiatri Anak RSU Dr. Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya. Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol. 23, No. 1, 74-83.
(http://www.anima.ubaya.ac.id/class/openpdf.php?file=1371791997.pdf, Diakses 2 April
2019).
9. Elsabbagh, Mayada. 2012. Autism. Encyclopedia on Early Childhood Development.
University of Calgary, Canada. (http://www.child-
encyclopedia.com/pages/PDF/autism.pdf, Diakses 2 April 2019).
10. “Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders)”, (2006). National
Institute of Mental Health (NIMH).
(http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm, Diakses 2 April 2019).
11. “Living with Autism”, (2005). Autism Society of America (ASA). (http://www.autism-
society.org/site/PageServer?pagename=allaboutautism, Diakses 2 April 2019).
12. Soenardi, Tuti dan Susirah Soetardjo. 2002. Makanan Sehat Untuk Anak Autis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
13. “Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders)”, (2006). National
Institute of Mental Health (NIMH).
(http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm, Diakses 2 April 2019).
14. Sari, Erma Kumala. 2018. Konsep dan Karakteristik Peserta Didik Autis.
(http://ppg.spada.ristekdikti.go.id/pluginfile.php/23609/mod_resource/content/1/MODU
L%201%20Autis_PPG%20HYBRID.pdf, Diakses 2 April 2019).

Anda mungkin juga menyukai