Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan


gangguan penilaian realita seperti gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul,
anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk. Skizofrenia
merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% populasi
penduduk di dunia menderita skizofrenia, yang biasanya bermula di bawah usia
25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas
sosial.Berdasarkan survey Kementrian Sosial tahun 2008, penderita skizofrenia di
Indonesia ada 650.000 orang. Sekitar 30.000 orang dipasung dengan alasan agar
tidak membahayakan orang lain atau menutupi aib keluarga.1,2,3

American Psychiatric Association (1994, dalam Browne 2005)


menyatakan orang yang didiagnosis mengalami skizofrenia memiliki kesulitan
untuk menjalankan peran yang penting dalam hidup. Peran penting ini mencakup
kepuasan, stabilitas, hidup mandiri, memiliki hubungan dengan orang lain,
terutama hubungan yang dekat dengan teman dan keluarga. Kehilangan peran
inilah yang memberi dampak besar pada menurunnya kesehatan mental orang
yang didiagnosis skizofrenia.1,4

Semakin berkembangnya jaman dan teknologi, maka semakin besar pula


stressor psikososial di masyarakat, yang berakibat semakin banyaknya orang yang
mengalami gangguan jiwa karena tidak mampu mengatasinya. Salah satu
gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah
skizofrenia.Sebagian penderita gangguan ini menjadi tidak produktif, bahkan
ditelantarkan sebagai psikotik yang berkeliaran di jalan-jalan. Oleh sebab itu,
penulis tertarik untuk membahas laporan kasus mengenai skizofrenia.

1
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

1. Nama : Tn. CA

2. Tanggal Lahir/Umur : 23 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-Laki

4. Pekerjaan : Tidak bekerja

5. Pendidikan : Tamat SMA

6. Agama : Islam

7. Alamat : Prabumulih

8. Status Perkawinan : Belum menikah

9. Warga Negara : Indonesia

A. STATUS INTERNUS
- Keadaan Umum

Sensorium : Apatis

Suhu : 36.7C

2
Nadi : 88x/menit

Pernafasan : 22x/menit

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Turgor :< 2 detik

Berat Badan : 50 kg

Tinggi Badan : 168 cm

Status Gizi : Underweight

- Sistem Kardiovaskular : tidak ada kelainan


- Sisem Respiratorik : tidak ada kelainan
- Sistem Gastrointestinal : tidak ada kelainan
- Sistem Urogenital : tidak ada kelainan
- Kelainan Khusus : tidak ada kelainan

B. STATUS NEUROLOGIKUS
Urat Syaraf Kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : tidak ada kelainan
Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial : tidak ada kelainan

Mata : Gerakan : baik ke segala arah

Persepsi Mata : baik, diplopia tidak ada,


visus normal
Pupil : bentuk bulat, sentral,
isokor, 3mm, reaksi
cahaya +/+, reaksi
konvergensi +/+
Refleks Kornea : +/+
Pemeriksaan Oftalmoskopi : tidak dilakukan

Motorik : - Tonus : eutoni

- Koordinasi : baik

3
Turgor: baik; Refleks: normal; Kekuatan: +5/+5
Sensibilitas : tidak ada kelainan

Susunan Saraf Vegetatif : tidak ada kelainan

Fungsi Luhur : tidak ada kelainan

Kelainan khusus : tidak ada kelainan

C. ANAMNESIS

Identitas Alloanamnesis (10 Februari 2017; di Poliklinik Rawat Jalan RS Dr.


Ernaldi Bahar Palembang)

1. Nama : Tn. S

2. Umur : 31 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Pekerjaan : Satpam

5. Pendidikan : Tamat SMA

6. Agama : Islam

7. Alamat : Prabumulih

8. Hubungan dengan pasien : Saudara Ipar

- Sebab Utama

Pasien sering berdiam diri dan tidak mau berbicara.

- Keluhan Utama

4
(Pasien tidak menjawab saat ditanya)

- Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak 2 bulan yang lalu, keluarga pasien mengeluhkan perubahan


perilaku pada pasien dimana pasien menjadi jarang bicara dengan
keluarganya setelah saudara perempuan pasien menjual motor milik
pasien tanpa persetujuan darinya. Pasien tampak berdiam diri, tampak
sedih, dan tidak pernah terlihat gembira. Pasien masih dapat makan,
minum, mandi, BAK, dan BAB secara mandiri dan baik.

Sejak 1 minggu yang lalu, keluarga pasien mengatakan


perubahan perilaku pasien semakin bertambah parah. Pasien sering sulit
tidur, sering melihat ke arah kuburan yang berada didekat rumahnya.
Pasien hanya menanggapi perkataan orang disekelilingnya dengan
gerakan kepala atau beberapa penggal kata. Pasien sering terlihat kaku
dan tampak mempertahankan posisi tubuhnya dalam jangka waktu yang
lama. Keluarga pasien mengatakan pasien pernah pergi ke sungai yang
berada didekat rumahnya dimana pasien didapati hanya melamun dengan
tatapan kosong dan mempertahankan posisi tubuh diam dalam jangka
waktu yang lama. Riwayat melihat pasien berbicara sendiri disangkal.
Pasien hanya makan, minum, dan mandi apabila disuruh oleh keluarga.
Pasien kemudian dibawa berobat ke Poliklinik Rawat Jalan RS Dr.
Ernaldi Bahar Palembang untuk diberikan tatalaksana lebih lanjut.

- Riwayat Premorbid
Bayi : lahir normal, cukup bulan, ditolong oleh bidan

Anak-anak : pasien ramah dan memiliki banyak teman

Remaja : pasien ramah dan memiliki banyak teman

5
- Riwayat Kebiasaan dan Penyakit Dahulu
Riwayat trauma kepala : tidak ada
Riwayat demam tinggi : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat darah tinggi dan kencing manis : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat penggunaan NAPZA : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat merokok : ada, sejak 8 tahun yang
lalu, 1 bungkus/hari

- Riwayat Pendidikan

SD : tamat, tidak pernah tinggal kelas, nilai rata-rata

SMP :tamat, tidak pernah tinggal kelas, nilai rata-rata

SMA : tamat, tidak pernah tinggal kelas, nilai rata-rata

Pasien tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak memiliki


cukup biaya.

- Riwayat Pekerjaan
Belum pernah bekerja.

- Riwayat Perkawinan
Belum menikah.

- Riwayat Keluarga

o Pasien merupakananak ke-3 dari 4 bersaudara

6
o Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal

- Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga disangkal.

- Status Ekonomi
Pasien tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Semua biaya sehari-
hari ditangggung oleh kakak dan kakak iparnya.

AUTOANAMNESIS

Pemeriksa Pasien Interpretasi


(Psikopatologi)

Selamat pagi, pak Pasien diam dan tidak - Apatis


- Perhatian kurang
(pemeriksa tersenyum membalas salam.
- Kontak fisik tidak ada
sambil menatap mata - Mutisme
pasien dan mengajak - Katatonia
Pasien diam
bersalaman
saya dokter muda disini,
boleh ngobrol sebentar, Pasien diam
pak?
Pasien diam
nama lengkapnya siapa
pak? Pasien diam
umurnyo berapo

7
rumahnyo dimano?

kakak

Bapak tau disebelah rumah sakit


Bapak ini siapo?
Bapak tau sekarang lagi siang

ado dimano?
ini siang atau malem?
Pasien diam
- Cara bicara terhambat
Pasien menggelengkan - Orientasi tempat,
kepala waktu, dan orang baik
Bapak tau kenapa dibawa
Pasien diam
kesini oleh keluarga?
Bapak merasa sedang Pasien diam
sakit dak sekarang?
Bapak tau, kalo bapak
Pasien menganggukkan
dibawa kesini oleh
kepala.
keluarga Bapak supaya
Bapak diobati jadi bisa
Pasien menggelengkan
sembuh?
kepala.

Idak ganggu. Cuman - Discriminative insight

ado bae relevan terganggu


Bapak pernah liat - Discriminative
bayangan hitam dak Pasien menggelengkan judgement sulit dinilai
dirumah? kepala.

Bayangannyo cuma
Pasien menggelengkan
bapak dewek apo yang
kepala.
biso lihat?
Orang lain dak bisa liat?
Pasien menggelengkan
kepala.
terus ngapoin
bayangannyo Pak?
Pasien diam
Nganggu bapak dak?

8
Bayangannyo ado ajak
ngomong dak Pak?

Bapak ngeraso takut


berlebihan dak jadi setelah
Pasien hanya
sering liat bayangan itu?
menganggukkan
Bapak ado denger bisikan
kepala.
atau suara-suara dak
Pasien diam
dirumah?

Pasien menganggukkan - Halusinasi visual


- Halusinasi auditorik
kepala.
disangkal
oh yo, katonyo Bapak
galak duduk dewekan yo di
Pasien diam.
sungai? Ngapoin itu, Pak?

Bapak katanyo ada


masalah dengan kakak
bapak yo?

Katanyo motor bapak


dijual kakak bapak yo?
Bapak merasa kecewa
jadi?

Ya udah, makasih yo pak


lah galak ngobrol samo
kami. Lain kali kito
ngobrol-ngobrol lagi yo

9
- Mutisme
- Echt
- Einfuhlung tidak bisa
dirabarasakan

KEADAAN UMUM

- Kesadaran/Sensorium : Apatis

- Perhatian : Inatensi

- Sikap : Apatis

- Inisiatif : Tidak ada `

10
- Tingkah Laku Motorik : Hipoaktif

- Ekspresi Fasial : Datar

- Verbalisasi : Terbatas

- Cara Bicara : Terbatas

- Kontak Psikis :- Kontak Fisik : Ada

- Kontak Mata : Ada

- Kontak Verbal : Ada

D. KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)

- Keadaan Afektif : afek datar

- Hidup Emosi

Stabilitas : Stabil

Kedalaman : Dangkal

Pengendalian : Tidak terkendali

Adekuat-Inadekuat : Inadekuat

Echt/Unecht : Echt

Einfuhlung : Tidak bisa dirabarasakan

Arus emosi : Lambat

- Keadaan dan Fungsi Intelek


Daya ingat (amnesia, dsb) : Baik
Daya Konsentrasi : Baik
Orientasi : Baik
Luas Pengetahuan Umum dan Sekolah : Sulit dinilai

11
Discriminative Judgement : Sulit dinilai
Discriminative Insight : Relevan terganggu
Dugaan taraf intelegensi : Baik
Kemunduran intelektual (demensia, dsb) : Tidak ada
- Kelainan Sensasi dan Persepsi
Ilusi : Disangkal
Halusinasi : Halusinasi
visual (+), halusinasi
auditorik (-)
- Keadaan Proses Berpikir
Psikomotilitas :
Sulit dinilai
Mutu proses berpikir
: Sulit dinilai
Arus Pikiran

Produktivitas : Sulit dinilai

Kontinuitas : Sulit dinilai


Hendaya berbahasa
Flight of ideas : Sulit dinilai
Inkoherensi : Sulit dinilai
Sirkumstansial : Sulit dinilai
Tangensial : Sulit dinilai
Terhalang : Sulit dinilai
Terhambat : Sulit dinilai
Perseverasi : Sulit dinilai
Verbigerasi : Sulit dinilai
- Isi Pikiran
Pola Sentral : Sulit
dinilai
Waham : Sulit
dinilai
Ide terfiksir : Sulit
dinilai
Fobia : Sulit dinilai
Hipokondria :
Sulit dinilai
Konfabulasi : Sulit
dinilai

12
Perasaan inferior :
Sulit dinilai
Perasaan berdosa/salah
: Sulit dinilai
Rasa permusuhan/dendam
: Sulit dinilai
Kecurigaan : Sulit dinilai
Lain-lain : Sulit dinilai
- Pemilikan Pikiran

Obsesi : Sulit dinilai

Alienasi : Sulit dinilai

- Bentuk Pikiran
Autistik : Sulit
dinilai
Dereistik : Sulit
dinilai
Simbolik : Sulit
dinilai
Paralogik : Sulit
dinilai
Simetrik : Sulit
dinilai
Konkritisasi : Sulit
dinilai
Lain-lain : Sulit
dinilai
- Keadaan Dorongan Instinktual dan Perbuatan
Abulia/Hipobulia : Tidak ada
Vagabondage : Tidak ada
Katatonia : Ada
Kompulsi : Tidak ada
Raptus/Impulsivitas : Tidak ada
Mannerisme : Tidak ada
Kegaduhan Umum : Tidak ada
Autisme : Tidak ada

13
Deviasi Seksual : Tidak ada
Logore : Tidak ada
Ekolalia : Tidak ada
Ekopraksi : Tidak ada
Mutisme : Ada
Lain-lain :
Pasien tampak mempertahankan posisi kedua tangannya diatas
kepala setelah tangannya diangkat oleh pemeriksa.
- Kecemasan (anxiety) yang terlihat secara nyata (overt) : Tidak ada
- Reality Testing Ability : Terganggu

E. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
- AKSIS I : F20.2 Skizofrenia katatonik
- AKSIS II : Z03.2 Tidak ada diagnosis
- AKSIS III : Tidak ada diagnosis
- AKSIS IV :Masalah berkaitan dengan primary support
group (keluarga)
- AKSIS V : GAF Scale 30-21

F. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
- Skizofrenia katatonik
- Episode depresif berat dengan gejala psikotik
- Gangguanskizoafektif

G. TERAPI
a. Psikofarmaka
Risperidone 2x2 mg
Fluoxetine 1x10 mg
Neurodex 1x1 tab
b. Psikoterapi
Konseling : menjelaskan pada pasien tentang
penyakitnya
Membantu pasien untuk dapat menerima dan
memaafkan orang yang mengecewakannya.
Edukasi : memotivasi pasien dan
menganjurkan pasien untuk selalu minum obat secara
teratur agar penyakitnya terkontrol dan menjelaskan

14
kepada pasien apa yang akan terjadi jika obat tidak
diminum

Memotivasi pasien untuk kembali berkomunikasi


dengan keluarga dan orang-orang yang tinggal di
lingkungan sekitar rumahnya.

c. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga untuk mengontrol
kedisiplinan pasien dalam minum obat secara teratur agar
penyakitnya terkontrol dan menjelaskan kepada keluarga pasien
apa yang akan terjadi jika obat tidak diminum.
Memotivasi keluarga untuk membawa pasien kontrol ke dokter
secara teratur dan menciptakan suasana yang dapat membantu
penyembuhan.
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang sekitar tentang
penyakit pasien sehingga tercipta dukungan sosial dalam
lingkungan yang kondusif sehingga membantu proses
penyembuhan
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan lingkungan
disekeliling pasien untuk tidak menjauhi pasien dan membiarkan
pasien berinteraksi dengan lingkungan sehingga membantu
resosialisasi.

H. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Istilah skizofrenia pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler. Pemilihan


istilah ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pada skizofrenia terjadi
pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan
penilaian realita seperti gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul,
anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran
dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan
mencakup waham dan halusinasi.1,2,5

Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut


gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia

16
katatonik. Pada skizofrenia katatonik ditemukan gangguan yang nyata pada
fungsi motorik, meliputi: stupor, negativisme, rigiditas, eksitasi, manerisme,
dan fleksibilitas serea. Selama stupor atau eksitasi katatonik, pasien
memerlukan pengawasan yang cermat untuk mencegah mereka menyakiti diri
sendiri atau orang lain.2,5

3.2 Epidemiologi

Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan


angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0
per 10.000 dengan beberapa variasi geografik. Skizofrenia yang menyerang
kurang lebih 1% populasi, biasanya bermula di usia < 25 tahun, berlangsung
seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial.2,8

Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan


risiko morbiditas selama hidup 0,85% dan kejadian puncak pada akhir masa
remaja atau awal dewasa. Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di
atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki onset skizofrenia usia 15-25 tahun
dan wanita 25-35 tahun.Sejumlah studi bahwa pria lebih cenderung
mengalami hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan wanita lebih
cenderung memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria
sebelum awitan penyakit.Secara umum, hasil akhir pasien skizofrenia wanita
lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.2,5,8

3.3 Etiologi

Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia. 3,8
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan
gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala

17
mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya
sebagai berikut:

a. Faktor Neurobiologis

1. Faktor Genetika

Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia


adalah gangguan bersifat keluarga. Penelitian tentang adanya pengaruh
genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia bila
terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama bila
hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan,
semakin tinggi risikonya).Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang
mempengaruhi perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia.5,8

Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan


skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau
tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel dibawah
ini.5,8

Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan.

18
Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia

Populasi umum 1% 2.

Kembar monozigotik 40 - 50 % Faktor

Kembar dizigotik 10 - 15 %

Saudara kandung skizofrenia 10 %

Orang tua 5%

Anak dari salah satu orang tua 10 - 15 %


skizofrenia

Anak dari kedua orang tua skizofrenia 30 - 40 %

Neuroanatomi Struktural

Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis merupakan


tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu
daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Gangguan
pada sistem limbik akan mengakibatkan gangguan pengendalian emosi.
Gangguan pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah
facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat ditemukan gangguan organik
berupa pelebaran ventrikel tiga dan lateral, atrofi bilateral lobus
temporomedial dan girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.3,8,11

3. Faktor Neurokimia

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga diidentifikasi


sebagai etiologi pada pasien skizofrenia. Hipotesis yang paling banyak yaitu
gejala psikotik pada pasien skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya
gangguan neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin). Peningkatan ini
merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak
reseptor dopamin, atau hipersensitivitas reseptor dopamin.3,11

19
b. Faktor Psikososial

1. Faktor Keluarga dan Lingkungan

Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting


dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien
skizofrenia sering tidak dibebaskan oleh keluarganya. Beberapa
peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh
pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar
atau tidak jelas dan sedikit tak logis. Penderita skizofrenia pada
keluarga dengan ekspresi emosi tinggi (expressed emotion [EE],
keluarga yang berkomentar kasar dan mengkritik secara berlebihan)
memiliki peluang yang lebih besar untuk kambuh.5,8

2. Faktor Stressor

Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-ekonomi


dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset
gejala akut.5

3.4 Manifestasi Klinis

Pada DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) menyebutkan


bahwa tipe katatonik memiliki gambaran klinis yang mendominasi yaitu
imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (termasuk
fleksibilitas serea) atau stupor, aktivitas motorik yang berlebihan (tidak
bertujuan dan tidak dipengaruhi stimulus eksternal), negativisme ekstrim
(resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap semua instruksi atau
dipertahankannya suatu postur rigid dari usaha menggerakkan) atau
mutisme, keanehan gerakan volunter sebagaimana diperlihatkan oleh
pembentukan postur (secara volunter menempatkan diri dalam postur
yang tidak sesuai atau bizar), gerakan stereotipi, manerisme prominen,

20
atau menyeringai secara prominen, dan adanya ekolalia atau
ekopraksia.2,3

3.5 Patofisiologis

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga


diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi
antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam
aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin,
norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang
pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik.
Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan
gejala-gejala skizofrenia.

Gambar 1. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.13

Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:13

1. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental


ke batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini
memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek

21
viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur
mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif
seperti waham dan halusinasi;

Gambar 2. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang


menyebabkan gejala positif.13

2. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke


korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran
sosial, menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur
mesokortikal akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan
kognitif pada skizofrenia. Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi
gejala kognitif (dorsolateral prefrontal cortex / DLPFC ) dan gejala
afektif (ventromedial prefrontal cortex / VMPFC) skizofrenia.

22
Gambar 3. Jalur mesokortical dopamin pada otak13

3. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari


dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal
ganglia atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi
menginervasi sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada
jalur nigrostriatal berhubungan dengan efek neurologis
(Ekstrapiramidal / EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan
antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2 antagonis).

23
Gambar 4. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.13

4. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamusdan


memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin
disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa
lapar, haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan,
gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik
mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan
endokrin.

Gambar 5. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak.13

5. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk


periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,

24
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.12

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari


skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang
digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan
kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.

Gambar 6. Hipotesis dopamin pada skizofrenia.13

3.6 Diagnosis

25
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria
DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien skizofrenia,
yaitu:8

1. Berlangsung paling sedikit enam bulan

2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,


hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi

3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut

4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood


mayor, autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia harus digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe
skizofrenia. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi perilaku yang paling
menonjol. Berdasarkan PPDGJI-III, maka pedoman diagnostik skizofrenia
katatonik (F20.2), yaitu :8,9

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :

(a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan


dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)

(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan


mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)

(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap

26
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah

yang berlawanan)

(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya)

(f) Fleksibilitas cerea/ waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak


dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar), dan

(g) Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara

otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta

kalimat-kalimat.

3.7 Diagnosis Banding

3.7.1 Skizofrenia Residual

Salah satu diagnosa banding dari skizofrenia katatonik adalah skizofrenia


residual. PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostik untuk skizofrenia residual
yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk suatu diagnosis yang
meyakinkan:

1) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan


psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang
buruk.
2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.

27
3) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia.4,9

3.7.2 Gangguan Katatonik Organik


Untuk menegakkan diagnosis gangguan katatonik organik ( F06.1) ini, harus
mengetahui sebelumnya pedoman diagnostik untuk Gangguan mental lainnya
akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik (F06) yaitu,
1. Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik
yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental yang
tercantum
2. Adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu atau bulan ) antara
perkembangan penyakit yang mendasari dengan timbulnya sindrom mental
3. Kesembuhan dari gangguan mental setelah perbaikan atau dihilangkannya
penyebab yang mendasarinya
4. Tidak adanya bukti yang mengarah pada penyebab alternatif dari sindrom
mental ini ( seperti pengaruh yang kuat dari riwayat keluarga atau pengaruh
stres sebagai pencetus )

Sedangkan pedoman diagnostik untuk gangguan katatonik organik menurut


PPDGJ-III sebagai berikut,
Kriteria umum tersebut diatas (F06)
Disertai salah satu dibawah ini :
(a) Stupor (berkurang atau hilang sama sekali gerakan spontan dengan
mutisme parisal atau total, negativisme, dan posisi tubuh yang kaku)
(b) Gaduh gelisah (hipermotilitas yang kasar dengan atau tanpa
kecenderungan untuk menyerang)
(c) Kedua-duanya (silih-berganti secara cepat dan tak terduga dari hipo-
ke hiper-aktivitas)4,9

3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,


sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan

28
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar
rumah.Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia
katatonik dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan
farmakologis.5,8

PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS

1. Rawat Inap / Hospitalisasi

Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di


rumah sakit.11 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di
rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya
fasilitas pengobatan rawat jalan. Rawat inap diindikasikan terutama untuk :2,3

Tujuan diagnostik

Stabilisasi pengobatan

Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan,


maupun mengancam lingkungan sekitar

Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk,
ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan
papan

Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun


lingkungan

Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem pendukung


komunitas merupakan tujuan utama rawat inap. Rawat inap dan layanan
rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian

29
pasien (contohnya dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena
pada pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien
tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.2,5

2. Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)

Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi


suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan
maksud mengembalikan penderita ke masyarakat. Terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu
pasien mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya adalah
untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara
langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat membantu mereka
megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti efektif mencegah
kekambuhan. Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Hal ini
dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat
penting dalam menjaga kepercayaan diri dan kualitas hidupnya.Penting sekali
untuk menjaga komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.3,5

PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS

1. Pemberian obat-obat anti-psikosis

Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom


psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama.
Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an. Pemilihan
jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan
(fase akut atau kronis) dan efek samping obat. Fase akut biasanya

30
ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi.2,10

Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat


pengobatan simtomatik. Obat anti-psikosis efektif mengobati gejala
positif pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena
passivity) dan mencegah kekambuhan. Obat-obat ini hanya mengatasi
gejala gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia. Pengobatan dapat
diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka
panjang.2,5

Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,


pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek
samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan
mengurangi ketaatan berobatan (compliance) atau kesetiaberobatan
(adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau
antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.

Gambar 7. Sifat obat antipsikotik konvensional adalah kemampuan mereka untuk


memblokir reseptor dopamin D2 khususnya di jalur dopamin mesolimbik. Sehingga akan
mengurangi hiperaktivitas pada jalur dopamin mesolimbik dan mengurangi gejala
positif.7

31
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral). Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis
sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah semua
gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif
berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih
mempunyai efek klinis.10

Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan


mekanisme kerjanya, yaitu:2,8,11

1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) / anti-psikosis generasi I


(APG-I)

Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau


tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas
tinggi dalam mem-blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah
yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.2,3,7
Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala
positif, contohnya gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir
yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan
untuk terapi gejala negatif.Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki
dua kekurangan utama, yaitu :

1. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup


tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang
cukup normal

2. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang


mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling
utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme
berupa rigiditas dan tremor.
32
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam
satu dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang
stabil dan telah menyesuaikan dengan efek samping apa pun. Prototip
kelompok obat APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan
obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis,
karena ketersediannya dan harganya murah.2,12

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).10

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis


Anjurkan

Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600


mg/hari

Promactil Tab. 100 mg

Meprosetil Tab. 100 mg

Cepezet Tab. 100 mg

Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg

Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg

Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15


mg/hari

Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15


mg/hari

Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300


mg/hari

Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15


mg/hari

Dores Tab. 1,5 mg

Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg

33
Haldol Tab. 2 - 5 mg

Govotil Tab. 2 - 5 mg

Lodomer Tab 2 - 5 mg

Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang


mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala
parkinsonisme (efek esktrapiramidal /EPS). Semua obat APG-I dapat
menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut,
akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas). EFek
samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-
hari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan efek
kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
menggunakan obat. Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka
harus disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai
obat antidotum.8,10,12

2. Serotonin Dopamine Antagonist (SDA) / anti-psikosis generasi II


(APG-II)

Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi


pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena
golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS =
extrapyramidal symptom). Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis
baru atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-
psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki
efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik
yang lebih luas.2,12

34
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas
terhadap Dopamine D2 Receptors(sama seperti APG-I) dan juga
berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors (Serotonin-dopamine
antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif (waham, halusinasi,
inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat,
apatis, menarik diri).3,10

Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).10

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis


Anjurkan

Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600


mg/hari

Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100


mg/hari

Sizoril Tab. 25 - 100 mg

Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20


mg/hari

Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400


mg/hari

Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100


mg/hari

Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari

Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg

Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg

35
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15


mg/hari

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul,


penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif
(waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal perlu
dipertimbangkan.10

3.9 Prognosis

Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk


menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan
10% meninggal karena bunuh diri. Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10
sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode
follow-up 20 tahun.Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin
untuk melakukan bunuh diri.3,5,11

Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.2

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus

Onset akut Onset tidak jelas

Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan


pekerjaan pramorbid yang baik pekerjaan pramorbid yang buruk

Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik

36
gangguan depresif)

Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau


janda/duda

Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia


(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)

Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk


(terutama dari keluarga) untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien

Gejala positif Gejala negative

Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

Tidak ada remisi dalam tiga tahun

Sering timbul relaps

Riwayat penyerangan

BAB IV

ANALISIS KASUS

Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai


olehkekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi),
dalam mood(contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan
hubungannya dengan dunialuar serta dalam hal tingkah laku. 1,2Menurut DSM-IV,
adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe paranoid,terdisorganisasi
(hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilahskizofrenia
simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif sederhana.3

Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan


untuk bagianwaktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika
diobati dengan berhasil):

37
1) Waham

2) Halusinasi

3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheresi)

4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

5) Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition).

Tn. CA, laki-laki, 23 tahun, datang ke Poliklinik Rawat Jalan RS Dr.


Ernaldi Bahar Palembang, ditemani oleh saudara kandung dan saudara ipar yaitu
Tn. S, laki-laki, 31 tahun dengan sebab utama sering berdiam diri dan tidak mau
berbicara. Wawancara dan observasi dilakukan pada Jumat, 10 Februari 2017
pukul 11.00 s.d 11.30 WIB di ruang Poliklinik Rawat Jalan RS Dr. Ernaldi Bahar
Palembang. Penampilan pasien tidak rapi, perawakan kurus dengan tinggi badan
165 cm dan berat badan 50 kg, warna kulit sawo matang. Selama wawancara
pasien hanya diam dengan posisi tubuh yang tetap dipertahankan dan tidak
berubah hingga wawancara selesai.

Dari hasil alloanamnesis didapatkan bahwa sejak 2 bulan yang lalu,


keluarga pasien mengeluhkan perubahan perilaku pada pasien dimana pasien
menjadi jarang bicara dengan keluarganya setelah saudara perempuan pasien
menjual motor milik pasien tanpa persetujuan darinya. Pasien tampak berdiam
diri, tampak sedih, dan tidak pernah terlihat gembira. Pasien masih dapat makan,
minum, mandi, BAK, dan BAB secara mandiri dan baik.

Sejak 1 bulan yang lalu, keluarga pasien mengatakan perubahan perilaku


pasien semakin bertambah parah. Pasien sering sulit tidur, sering melihat ke arah
kuburan yang berada didekat rumahnya. Pasien hanya menanggapi perkataan
orang disekelilingnya dengan gerakan kepala atau beberapa penggal kata. Pasien
sering terlihat kaku dan tampak mempertahankan posisi tubuhnya dalam jangka
waktu yang lama. Keluarga pasien mengatakan pasien pernah pergi ke sungai
yang berada didekat rumahnya dimana pasien didapati hanya melamun dengan

38
tatapan kosong dan dengan posisi tubuh yang kaku dalam jangka waktu yang
lama. Riwayat melihat pasien berbicara sendiri disangkal. Pasien hanya makan,
minum, dan mandi apabila disuruh oleh keluarga.Pasien kemudian dibawa berobat
ke Poliklinik Rawat Jalan RS Dr. Ernaldi Bahar untuk diberikan tatalaksana lebih
lanjut.

Pada autoanamnesis pasien hanya memberikan respon berupa gerakan


kepala dan beberapa penggal kata-kata. Dari hasil pemeriksaan keadaan khusus
didapatkan afek yang datar selain itu juga ditemukan adanya katatonia, mutisme,
fleksibilitas cerea,inatensi, dan apatis.Pada autoanamnesisjuga didapatkan riwayat
adanya halusinasi visual pada pasien dimana pasien mengatakan melihat bayangan
hitam di kuburan yang berada didekat rumahnya. Pasien mengatakan pertama kali
melihat bayangan hitam tersebut sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat halusinasi
auditorik disangkal oleh pasien.

Berdasarkan uraian diatas pasien didiagnosis multiaksial Axis I : F.20.2


Skizofrenia katatonik. Hal ini didasarkan atas riwayat keluhan 1bulan yang lalu
berupa halusinasi visual ditambah dengan keadaaan pasien yang sering terlihat
kaku dan tampak mempertahankan posisi tubuhnya dalam jangka waktu yang
lama.

Berdasarkan paparan wawancara tersebut, pasien telah memenuhi kriteria


diagnosis skizofrenia katatonik berdasarkan PPDGJ III, yaitu memenuhi kriteria
umum untuk diagnosis skizofrenia dan satu atau lebih dari perilaku berikut ini
harus mendominasi gambaran klinisnya, seperti stupor (amat berkurangnya dalam
reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara), gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal ), menampilkan posisi
tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh
tertentu yang tidak wajar atau aneh), negativisme (tampak jelas perlawanan yang
tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakan kearah yang berlawanan), rigiditas (mempertahankan posisi tubuh

39
yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya), fleksibilitas cerea/
waxy flexibility ( mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang
dapat dibentuk dari luar), dan gejala-gejala lain seperti command automatism
(kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta
kalimat-kalimat.

Pada pasien ini dijumpai gejala utama episode depresif dimana pasien
tampak memiliki afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, serta
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah. Selain itu,
pada pasien juga menunjukkan adanya perhatian yang berkurang yang sudah
berlangsung lebih dari 2 minggu. Berdasarkan alloanamnesis juga ditemukan
bahwa adanya masalah antara pasien dengan keluarganya dimana pasien
merasakan kekecewaan dengan kakak perempuannya yang menjual motor milik
pasien dengan keputusan sepihak. Namun, pada pasien ini ditemukan gejala klinis
yang menunjang diagnosis skizofrenia dimana ditemukan adanya halusinasi yang
menetap berupa halusinasi visual pada pasien, perilaku katatonik seperti
fleksibilitas cerea dan mutisme, serta adanya gejala negatif. Keluhan pasien yang
terjadi pada 1 bulan terakhir berupa halusinasi pada pasien lebih menonjol
dibandingkan gejala afektif sehingga diagnosis banding gangguan skizoafektif
juga dapat disingkirkan.

Pada aksis II dan III, tidak ada diagnosis dikarenakan tidak ditemukan
gangguan kepribadian dan tidak adanya riwayat gangguan kondisi medik umum
pada pasien ini.

Pada aksis IV, stressor berupa permasalahan dalalam keluarga, aksis IV


merupakan berbagai keadaan yang dapat menjadi faktor penyebab seseorang
mengalami gangguan kejiwaan. Keadaan keadaan tersebut misalnya, masalah
pada keluarga , lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, ekonomi, akses
kepelayanan kesehatan, interaksi dengan hukum atau kriminal, dan psikososial
atau lingkuangan lain. Pada kasus ini, pasien memiliki masalah psikososial
dengan primary support group (keluarga) berupa kekecewaan dengan saudara
perempuan pasien yang menjual motor milik pasien dengan keputusan sepihak.

40
Pada aksis V GAF Scale 30-21. Pasien tergolong pada GAF Scale 30-21
karena gejala pada pasien berupa disabilitas berat dalam komunikasi dan daya
nilai, tidak mampu berfungsi disemua bidang, pasien tidak peduli dengan sekitar
dan tidak menanggapi hal-hal disekitarnya, pasien tidak dapat berkerja,
melakukan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi sosial dengan keluarga dekat
maupun orang lain sekitar.

Terapi pada pasien ini adalah psikoterapi, sosioterapi, dan farmakoterapi


yaitu, risperidone, fluoxetine, dan neurodex. Risperidone merupakan antipsikotik
generasi kedua atau antipsikotik atipikal yang memiliki kemampuan
menghilangkan gejala negatif (afek datar, hilangnya kehendak dan energi), gejala
positif(halusinasi), gejala klinis (kurangnya perhatian), dan gejala afektif
(hipotimia) yang lebih baik pada pasien dibandingkan obat antipsikotik tipikal.
Pada pasien juga diberikan fluoxetine dengan dosis 1x10 mg yang merupakan
penghambat reuptake serotonin selektif dengan tujuan sebagai antidepresan.

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam, dikarenakan faktor usia pada
pasien yang termasuk dalam kategori dewasa, kemudian onset pada kasus masih
pada onset akut, dan penyebab atau stressor pada pasien jelas yaitu masalah
keluarga, riwayat premorbid yang baik, serta dukungan keluarga yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

41
1. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PP
PDSKJI). 2012. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
Jiwa/Psikiatri.
2. Sadock, Virginia and Benjamin J Sadock. 2014. Kaplan & Sadock - Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
3. Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius.
4. Browne, G. 2005. Housing, Social Support and People with
Schizophrenia: A grounded theory study comparing boarding houses and
private homes. Issues in Mental Health, 26, 311-326.
5. Katona, C., Cooper, C., dan Mary Robertson. 2012. At A Glance
PsikiatriEdisi 4. Jakarta : Erlangga. 2012:18-21.
6. Anna, L.K. (2011, 3 Juni). 80 Persen penderita skizofrenia tak diobati.
Health Kompas [on-line]. Diaks pada tanggal 17 Oktober 2011 dari
http://health.kompas.com/read/2011/06/03/07014272/80.Persen.Penderita.
Skizofrenia.Tak.Diobati.
7. Antipsychotic Agents. Stahls Essential Psychopharmacology. 4 th Edition.
Diunduh dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
8. Hadisukanto, Gitayanti dan Elvira. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2.
Jakarta : Badan Penerbit FK UI.
9. Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
10. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic
Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya (PT. Nuh Jaya).
11. Sadock, Virginia and Benjamin J Sadock. I. Made Wiguna S (Ed). 2010.
Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa Aksara Publisher.
12. Setiabudy, dkk. Sulistia Gan Gunawan (Ed). 2007. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Stahl, Stephen M (Ed). 2008. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. England : Cambridge
University Press.

42
43

Anda mungkin juga menyukai