Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

RSUD dr. H. Marsidi Judono, Tanjung Pandan

Nama Peserta : dr. Meuti Rahma dini


Nama Wahana : IGD RSUD dr. H. Marsidi Judono
Topik : Epilepsi Pada Anak
Tanggal (kasus) : 12 Mei 2018 Presenter : dr. Nur Indah Wulan Dani
Nama Pasien : An. F No. RM : 1-00-57-65
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
1. dr. Daniel, Sp.A
2. dr. Bambang Hermawan
Tempat Presentasi : RSUD dr. H. Marsidi Judono
Obyektif Presentasi :
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Bumil
Deskripsi :
Pasien baru datang ke instalasi Gawat Darurat RSUD Marsidi Judono, perempuan usia 8 tahun, dengan
keluhan kejang kurang lebih satu jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung kurang lebih 30
menit. Saat kejang anak tidak sadar, mata terbelalak ke atas, badan kaku, tangan kelonjatan keatas dan kaki
terhentak-hentak dan kaku.
Selain itu saat kejang anak mengompol. Kejang terjadi saat anak baru bangun tidur. Setelah kejang, anak
tidak mau membuka mata. Saat kejang anak sedang tidak demam namun batuk pilek kurang lenih 2 hari.
Makan dan minum normal. BAK dan BAB Normal.
Pasien sering mengalami hal serupa sebelumnya di rumah, tapi tidak pernah berobat.
o Tujuan :
o penegakkan diagnosis epilepsy pada anak, tatalaksana serta komplikasi yang mungkin terjadi.
o o o o
Bahan o Tinjauan o Riset o Kasus o Audit
bahasan : Pustaka
Cara o Diskusi o Presentasi & o Email o Pos
membahas : Diskusi
Data pasien Nama : An. F Nomor Registrasi : 1-00-57-65
Nama klinik : Telp : - Terdaftar sejak : -
RSUD dr. H. Marsidi Judono

Data utama untuk bahan diskusi :


1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Anak perempuan usia 8 tahun, dengan keluhan kejang kurang lebih satu jam sebelum masuk rumah sakit.
Kejang berlangsung kurang lebih 30 menit. Saat kejang anak tidak sadar, mata terbelalak ke atas, badan
kaku, tangan kelonjatan keatas dan kaki terhentak-hentak dan kaku.
Selain itu saat kejang anak mengompol. Kejang terjadi saat anak baru bangun tidur. Setelah kejang, anak
tidak mau membuka mata. Saat kejang anak sedang tidak demam namun batuk pilek kurang lenih 2 hari.
Makan dan minum normal. BAK dan BAB Normal. Pasien sering mengalami hal serupa sebelumnya di
rumah, tapi tidak pernah berobat.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Sering menglami kejang seperti ini
3. Riwayat Pengobatan :
Tidak jelas
Pemeriksaan Fisik :
Status Present
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis (E4M6V5)
Tanda-Tanda Vital
TD : 100/70 mmHg
HR : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,2 oC
Berat Badan : 32 kg

Status Generalis
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Reflek pupil +/+ isokor
Mulut : bibir merah, tidak kering, faring hiperemis -/-, tonsil T1/T1, mukosa basah
Leher : pembesaran KGB (-)
Paru
Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis, fremitus taktil kanan=kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Ekstremitas : Akral hangat -/-, CRT < 2 detik, edema (-)

4. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10,6 gr/dl 12-18 gr/dl
Leukosit 13300 /mm3 4000-10000/mm3
Trombosit 345000/mm3 100000-400000/mm3
Hematokrit 32,50% 36-55%
GDS 108 mg 115 mg/100ml
K+ 3,42 mmol/L 3,50-4,10 mmol/L
Na+ 137,9 mmol/L 135,0-145,0 mmol/L
Cl- 108,7 mmol/L 98,0-108,0 mmol/L

Daftar Pustaka :
1. Hay WW, Levin MJ, Shondeimer JM, etc. 2009.Current Diagnosis and Treatment Pediatrics 9 th
edition. New York : McGraw-Hill. Page 683-698.
2. Soedomo A, Sinardja AMG, Wardy A, dkk. 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdossi.
Hal 1-32, 40-50, 59-62.
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, etc. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics 19th edition.
Philadelphia : Elsevier Saunders. Page 2013-2039.
4. Shorvon OD. 1995. Status Epilepticus Its Clinical Features and Treatment in Children and Adult.
US : Cambridge.
5. Harsono. 2007. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya dalam Epilepsi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. Hal 26-35.
6. Clinical Guideline 20. 2004. The epilepsien : the diagnosis and management of the epilepsies in
adults and children in primary and secondary care. London : National Institute of Clinical
Excellence.
7. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Diagnosis and management of Epilepsies in
Children and Young People, A national clinical guideline. Edinburg. 2005 : 4-10.
8. Wilmshurst JM. Approach to Epilepsy in Childhood. CME. 2004; 22 : 427-433.
9. ILAE. Guidelines for epidemiologic studies on epilepsy. Epilepsia 1993 ; 34 : 592-6.
10. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Edt.Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Unit
Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006.

Hasil Pembelajaran :
1. Mengetahui gambaran klinis mengenai Epilepsi pada anak
2. Mengetahui tatalaksana serta pencegahan epilepsy
PEMBAHASAN KASUS

1. Subjektif
Anak usia 8 tahun datang dengan keluhan kejang. kejang kurang lebih satu jam sebelum
masuk rumah sakit. Kejang berlangsung kurang lebih 30 menit. Saat kejang anak tidak
sadar, mata terbelalak ke atas, badan kaku, tangan kelonjatan keatas dan kaki terhentak-
hentak dan kaku. Selain itu saat kejang anak mengompol. Kejang terjadi saat anak baru
bangun tidur. Setelah kejang, anak tidak mau membuka mata. Saat kejang anak sedang
tidak demam namun batuk pilek kurang lenih 2 hari. Makan dan minum normal. BAK
dan BAB Normal

2. Objektif
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesa
Pemeriksaan Fisik
Hasil Laboratorium
3. Assessment
Observasi konvulsi ec Epilepsi

4. Planning
- Rawat inap
- O2 nasal kanul 2 lpm
- Ivfd D5 ½ Ns 12 tpm
- inj. Diazepam 3mg bila anak kejang
- Observasi kejang dan tanda vital
BAB II
EPILEPSI

2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh
aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik
ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat
menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik.
Bangkitan epilepsi dapat terjadi mengikuti gangguan metabolik, traumatik, anoksia, atau infeksi
otak (diklasifikasikan sebagai remote symptomatic seizures), atau secara spontan tanpa diketahui
fokus keterlibatan pada sistem saraf pusat.
Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu
epilepsi; hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi,
anatomi, faktor presitipasi, usia awitan, ber at dan kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan
kadang-kadang prognosis. Dikenal pula istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan
patologik dengan satu etiologi yang spesifik, seperti epilepsi mioklonik progresif pada penyakit
Unverricht-Lundborg.

2.2 Epidemiologi
Epilepsi paling sering terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dan pada usia lanjut.
Prevalensi datar pada kelompok usia 10-15 tahun. Kemungkinan untuk terjadi bangkitan kedua
setelah bangkitan pertama tanpa provokasi pada anak sekitar 50%. Risiko kejadian bangkitan
ulang setelah bangkitan kedua tanpa provokasi adalah 85%. 65-70% anak dengan epilepsi akan
mencapai remisi dengan pengobatan yang sesuai. Remisi epilepsi pada onset anak-anak sekitar
50% dari penderita.
Di negara berkembang, insidensi epilepsi pada anak lebih tinggi daripada di negara maju,
berkisar antara 25-840/100.000 penduduk per tahun. Prevalensi yang pasti untuk epilepsi pada
anak sulit ditentukan.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri
dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana
i. Dengan gejala motorik
ii. Dengan gejala somatosensorik
iii. Dengan gejala otonom
iv. Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
ii. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
i. Parsial sederhana yang menjadi umum
ii. Parsial kompleks menjadi umum
iii. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
a. Lena (absence)
i. Tipikal lena
ii. Atipikal lena
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :
1. Fokal/parsial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
i. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
ii. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
iii. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
b. Simtomatik
i. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
ii. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
iii. Epilepsi lobus temporal
iv. Epilepsi lobus frontal
v. Epilepsi lobus parietal
vi. Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi beurutan sesuai dengan usia awitan)
i. Kejang neonatus familial benigna
ii. Kegang neonatus benigna
iii. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
iv. Epilepsi lena pada anak
v. Epilepsi lena pada remaja
vi. Epilepsi mioklonik pada remaja
vii. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjadi
viii. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
ix. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
b. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
i. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
ii. Sindrom Lennox-Gastaut
iii. Epilepsi mioklonik astatik
iv. Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
i. Etiologi non spesifik
1. Ensefalopati mioklonik dini
2. Ensefalopati pada infantile sini dengan burst supresi
3. Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
ii. Sindrom spesifik
iii. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal
ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
iv. Epilepsi afasia yang didapat (sindrom Landau-Kleffner)
v. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
i. Kejang demam
ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

Sindrom epilepsi diklasifikasikan berdasarkan tampilan dari bangkitan (lokal dan general), umur
dari onset, temuan EEG, dan faktor klinik lain.

2.4 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini
dalam sindrom West. Sindrom Lennox-Gaustaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya : cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.

Umumnya, epilepsi simtomatik dan kriptogenik terjadi pada onset awal kehidupan.
Sindrom epilepsi idiopatik biasanya tergantung usia, terjadi pada awal kehidupan hingga remaja,
tergantung pada sindrom spesifiknya. Kespesifikan dari sindrom epilepsi membantu dalam
menentukan prognosis. Epilepsi idiopatik biasanya terkontrol dan bahkan mencapai remisi,
dibandingkan dengan epilepsi simtomatik.

2.5 Diagnosis
Pedoman Umum
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
1. Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal merupakan
bangkitan epilepsi.
2. Langkah kedua : apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan
tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
3. Langkah ketiga : tentukan etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2
kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG. Secara
sistematis, urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama : ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus, diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh dari anamnesis
yang mencakup auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
i. Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/
berkemih
ii. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest) : Pasien mungkin
mendeskripsikan sebagai rasa takut, baal atau kesemutan pada jari-jari,
rasa silau pada satu lapang pandang. Seringkali anak tidak mengingat dan
tidak dapat mendefinisikan aura tetapi keluarga dapat melihat perubahan
perilaku pada onset tersebut.
iii. Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata
iv. Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todd’s paresis
v. Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal
vi. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan
pola bangkitan
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar OAE,
kombinasi terapi)
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau
sistemik
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi/anak
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dll.
2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan memperhatikan
klasifikasi ILAE 1981.
3. Langkah ketiga : untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit epilepsi apa
yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi ILAE 1989.
Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan respons terhadap OAE.

Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologik


Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologik adalah sebagai
berikut :
 Lingkar kepala
 Mencari tanda-tanda dismorfik
 Kelainan kulit
 Pemeriksaan jantung dan organ lain
 Gangguan respirasi (hiperventilasi)
 Evaluasi psikologik
 Defisit neurologik
 Pemeriksaan funduskopik

Pemeriksaan Fisik Umum


Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan defisit neurologik fokal atau
difus.

Pemeriksaaan Neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari interval antara
saat dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak tanda
pasca iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s paresis, transient aphasic symptoms, yang
tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama
adalah untuk m enentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen
(epilepsi simtomatik) dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaan memungkinkan.
Pemeriksaan ini mencakup :
 Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)
 Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal
 Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman EEG
interiktal adalah sebagai berikut :
 Waktu perekaman
o Perekamam paskaiktal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang
epilepsi interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar (51%)
dibandingkan bila perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%).
 Perekaman berulang
 Keadaan kurang tidur (sleep deprivation)
 Aktivasi : tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik
 Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas. Video EEG
telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk penentuan
lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi.

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan membantu penentuan
jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan OAE.
Namun, EEG tidak harus abnormal pada anak dengan epilepsi. EEG normal dapat ditemukan
pada kejang umum pertama dan pada sepertiga anak kurang dari 4 tahun. EEG pertama dapat
normal pada 20% anak lebih dari 4 tahun dan sekitar 10% pada dewasa. Persentase ini berkurang
dengan EEG serial.
 Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)
Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi lesi
epileptogenik di otak. Pencitraan otak emergensi biasanya tidak diperlukan dalam kasus
tanpa bukti trauma atau abnormalitas akut pada pemeriksaan. MRI (tidak emergensi)
diindikasikan pada anak dengan gangguan kognitif dan perilaku yang signifikan, atau
abnormalitas pada pemeriksaan neurologik yang tidak diketahui penyebabnya, bangkitan
kejang parsial, atau dengan EEG tidak menunjukan benign partial epilepsy of childhood
atau primary generalized epilepsy, dapat dipertimbangkan untuk bayi di bawah usia 1
tahun, kesulitan untuk mengontrol bangkitan kejang, gangguan progresif neurologik pada
pemeriksaan serial, perburukan fokal pada EEG, dan bukti lain untuk disfungsi
neurologik.
Indikasi
 Status epileptikus atau epilepsi akut yang berat
 Penyandang epilepsi fokal kecuali yang memiliki sindrom elektroklinik yang
tipikal untuk BECTS
 Epilepsi refrakter
 Bila ditemukan gangguan tumbuh kembang atau bukti sindrom neurokutan
Jenis penciteraan
 Pencitraan struktural : CT scan, MRI, MR spektroskopik
CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20% pasien, sedangkan
MRI memungkinkan diagnosis radiologis pada 50% penyandang epilepsi parsial
refrakter MRI lebih baik dalam mendeteksi abnormalitas fokal berukuran kecil
dibandingkan CT scan.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis
secara non invasive, misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,
malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepitheliat tumor).
Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter
terhadap OAE.
 Pencitraan fungsional : PET, SPECT, fMRI. Kegunaan pencitraan fungsional
mencakup hal-hal sebagai berikut :
o Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi epilepsi
o Membantu identifikasi region epileptogenik
o Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan
o Melokalisasi fungsi otak
o Dibandingkan dengan pencitraan struktual, pencitraan fungsional
cenderung untuk menilai derajat epileptogenik korteks serebri secara
berlabihan
o PET (Positron Emission Tomography), SPECT (Single Photon Emission
Computed Tomography), dan MRS (Magnetic Resonance Spectroscopy)
bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan mengenai dampak
perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak
berkaitan dengan bangkitan.

Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, hapusan darah
tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi hati, ureum, kreatinin.
Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul
gejala klinik, dan rutin setiap tahun sekali.

 Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai steady state, pada
saat bengkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk
memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali,
atau bila terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat melepas
kombinasi dengan obat lain, bila terdapat perubahan fisiologi pada tubuh penyandang
(kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).

2.6 Diagnosis Banding


 Breath holding attacks (cyanotic and pallid)
 Tics (Tourette syndrome)
 Parasomnias (night terrors, sleep talking, walking, “sit ups”)
 Nightmares
 Migrain
 Benign nocturnal myoclonus
 Shuddering
 Gastroesophageal reflux (Sandifer syndrome)
 Infantile masturbation
 Conversion reaction / pseudoseizures
 Benign paroxysmal vertigo
 Staring spells

2.7 Komplikasi
1. Dampak Psikososial
Gangguan emosional, terutama depresi namun juga ansietas, kemarahan, dan perasaan
bersalah dan tidak berdaya, sering muncul pada pasien seperti juga pada orang tua
penderita epilepsi. Stigma yang ada sering membuat mereka menjadi tertutup. Mungkin
ada peningkatan resiko bunuh diri pada pasien dengan epilepsi. Dalam bersekolah mereka
juga sering menghadapi keterbatasan aktivitas yang tidak tepat dan menghadapi stigma
dari teman-temannya. Epilepsi dengan onset anak-anak berpengaruh pada kehidupan
dewasa mereka. Mereka jarang lulus sekolah, memiliki keterbatasan dalam bekerja, dan
juga bermasalah dalam hal pernikahan. Penderita menjadi tidak mandiri, bahkan pada
penderita yang sukses dalam pengobatan. Kadang-kadang pada kasus jarang, dapat terjadi
psikosis.

2. Keterlambatan Kognitif
Terdapat perdebatan dalam dampak epilepsi pada kognitif. Epilepsi ensefalopatik
(pengurangan kemampuan kognitif dan perkembangan yang berhubungan dengan kejang
yang tidak terkontrol) dapat terjadi, terutama pada anak kecil dengan epilepsi katastrofik
seperti sindrom West dan Lennox Gastaut. Hubungan epilepsi dengan gangguan kognitif
kurang jelas pada kejang parsial persisten. Aktivitas epileptiform kontinu berhubungan
dengan sindrom Landau Kleffner (acquires epileptic aphasia). Pseudodimensia dapat
tejadi pada pasien dengan epilepsi yang kurang terkontrol karena bangkitan berhubungan
dengan proses belajar mereka. Depresi adalah penyebab utama pada gangguan kognitif.
Antikonvulsan jarang mengakibatkan gangguan kognitif. Fenobarbital, topiramat,
valproat, dan lainnya mungkin terlibat. Retardasi mental dan autistik mungkin bagian dari
proses patologik yang menyebabkan kejang yang akan memburuk jika kejang bersifat
sering, lama, dan diikuti dengan hipoksia.

3. Kecelakaan dan Kematian


Luka fisik, terutama lecet pada dahi dan dagu sering pada kejang astatik atau akinetik
(yang disebut drop attacks), diperlukan tutup kepala proteksi. Dalam gangguan kejang
lain pada masa kanak-kanak, luka sebagai efek langung dari serangan tidak sesering
tenggelam, kecelakaan di dapur, dan jatuh dari ketinggian pada anak dengan potensi
epilepsi aktif.
Sudden unexpected death with epilepsy (SUDEP) jarang terjadi. Kecemasan terhebat dari
orang tua dari anak dengan onset baru epilepsi adalah kemungkinan meninggal dan cacat
otak. Walaupun anak dengan epilepsi meningkatkan risiko meninggal, namun SUDEP
jarang terjadi. Hampir semua kematian pada anak dengan epilepsi berhubungan dengan
gangguan neurologik, bukan bangkitan kejangnya. Risiko SUDEP terbesar adalah pada
kelompok anak dengan epilepsi tidak terkontrol dengan obat, terutama epilepsi
simtomatik. Mekanisme SUDEP tidak diketahui dengan pasti, namun kemungkinan
berhubungan dengan insufisien pernafasan postiktal. Kemungkinan aritmia kardial karena
bangkitan dapat terjadi.

2.8 Tatalaksana
Tatalaksana ideal pada kejang adalah mengkoreksi penyebab spesifik. Namun, walaupun
kelainan biokemikal seperti tumor, meningitis, dan penyebab lain telah diobati, obat
antikonvulsan masih sering diperlukan.

Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas hidup optimal
untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk penyandang epilepsi, tujuannya adalah “bebas bangkitan, tanpa
efek samping”. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.

A. Pertolongan Pertama
Perawat anak harus diinstruksikan untuk memproteksi pasien dari self-injury. Miringkan
anak penting untuk mencegah aspirasi. Memasukkan gagang sendok, depresor lidah, atau
jari ke dalam mulut pasien yang terkunci maupun menahan gerakan tonik-klonik dapat
memperburuk luka dibandingkan dengan lidah yang tergigit atau anggota gerak yang
memar. Orang tua sering konsentrasi pada sianosis yang terjadi saat bangkitan umum,
namun jarang terjadi hipoksia. Resusitasi mulut ke mulut jarang diperlukan.
Kejang berkelanjutan lebih dari 5 menit memerlukan diazepam per rektal untuk
mencegah terjadinya status epileptikus.

B. Obat Antiepilepsi
a. Strategi pengobatan : anak dengan kejang pertama memiliki kemungkinan
rekurensi 50%. Oleh sebab itu, biasanya tidak diperlukan pemberian OAE sampai
diagnosis epilepsi ditegakkan, yaitu adanya bangkitan kejang kedua. Tipe
bangkitan dan sindrom epilepsi berhubungan dengan inisiasi pemberian obat.
Mulai dengan satu jenis obat dengan dosis moderate dan dosis ditambah jika
bangkitan tidak terkontrol. Jika kejang tidak dapat dikendalikan dengan dosis
maksimal satu jenis OAE utama, perlahan-lahan ganti ke OAE lain sebelum
menggunakan terapi dua obat. Politerapi (penggunaan lebih dari dua jenis OAE)
jarang efektif jika dibandingkan dngan kemungkinan efek samping sinergis dari
obat multipel tersebut.
b. Prinsip terapi farmakologi
OAE diberikan bila :
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
 Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari (misalnya kurang tidur,
stress)
 Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
 Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan
 Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul dari OAE
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan
bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif, bila diduga ada perubahan
farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan
absorbs OAE), diduga penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan, setelah
penggantian dosis/regimen OAE, melihat interaksi agar OAE atau obat lain,
dilakukan rutin setiap tahun pada penggunaan fenitoin.
Bila dengan penggunaan dosis maksimun OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, makan
OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan (tapering off).
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila :
 Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
 Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses
otak, ensefalitis herpes
 Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak
 Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
 Riwayat bangkitan simtomatik
 Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko tinggi seperti JME (Juvenile
Myoclonic Epilepsy)
 Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,
infeksi SSP
 Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar OAE.
Strategi untuk mencegah efek samping :
 Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
pemberian terapi
 Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
 Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada
sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang epilepsi
Tabel Pemilihan OAE Berdasarkan Bentuk Bangkitan
OAE Fokal Umum Sekunder Tonik Lena Mioklonik
Klonik
Fenitoin + + + - -
Karbamazepin + + + - -
e
Asam Valproat + + + + +
Fenobarbital + + + 0 ?+
Gabapentin + + ?+ 0 ?-
Lamotrigine + + + + +-
Topiramate + + + ? ?+
Zonisamide + + ?+ ?+ ?+
Levetiracetam + + ?+ ?+ ?+
Oxkarbazepine + + + - -

c. Konseling : nasihat kepada orang tua bahwa pengguaan berlanjut dari OAE tidak
akan menyebabkan gangguan perlambatan mental signifikan dan permanen. OAE
berguna untuk mencegah terjadinya bangkitan kejang. Jangan mengganti dosis
obat tanpa diketahui oleh dokter. Pada anak yang lebih besar, dapat diterangkan
cara penggunaan obatnya dengan pengawasan dari orang tua mereka.

d. Kontrol : kontrol seperti darah rutin dan fungsi hati diperlukan untuk pasien yang
menggunakan OAE jangka panjang seperti valproat, fenitoin, dan karbamezepin.
Reevaluasi neurologik periodik sangat diperlukan. EEG ulangan diperlukan untuk
mengetahui perkembangan penyakit.

e. Managemen jangka panjang dan pemutusan obat antiepilepsi : rekurensi


terjadi pada 25% pasien yang menghentikan pengobatan, biasanya dalam 6-12
bulan setelah penghentian. Jika terjadi bangkitan lagi, OAE harus dilanjutkan
untuk sekitar 1-2 tahun.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
 Pengehentian OAE dapat didiskusikan dengan penyandang epilepsi atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
 Gambaran EEG normal
 Harus dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 3-6 bulan
 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut :
 Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
 Epilepsi simtomatik
 Gambaran EEG yang abnormal
 Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
 Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada
sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-
temporal, 5-25% pada epilepsi lena masa kecil, 25-75% epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi meioklonik pada anak, dan
JME
 Penggunaan lebih dari satu OAE
 Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
 Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
 Kemungkinan kekambuhan lebih ekcil pada penyandang yang terlah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum penggunaan dosis
OAE), kemudian dievaluasi kembali

f. Kandungan OAE dalam darah : beberapa efek toksik serius adalah reaksi
alergik dan toksisitas pada sumsum tulang dan hati.

g. Perhatikan efek samping obat : reaksi alergi signifikan terjadi pada 5-10%
pasien yang menggunakan karbamezepine, lamotrigin, oxcarbazepine, fenitoin,
dan fenobarbital yang beresiko terjadinya Steven Johnson Syndrome. Efek
samping lainnya adalah hepatotoksik, pankreatitis, diskrasia darah, dan batu
ginjal. Efek samping fenitoin adalah hiperplasia gingival dan hipertrikosis. Efek
samping valproat dan gabapentin adalah kenaikan berat badan sedangkan
topiramat, zonisamide, dan felbamate menyebabkan penurunan berat badan.

C. Terapi Alternatif
a. ACTH dan kortikosteroid :
i. Indikasi : ACTH diindikasikan untuk pengobatan sindrom West. Dosis
inisial ACTH adalah 20 U/d sampai 150 U/mz. ACTH biasanya
dilanjutkan dalam dosis maksimal selama 2 minggu atau lebih, lalu jika
bangkitan tidak ada dilakukan tappering off. Jika saat tappering off terjadi
bangkitan, lanjutkan ACTH dengam dosis efektif terakhir. Beberapa
neurologis menggunakan ACTH lebih dari 6 bulan dan ternyata lebih
menguntungkan. Kortikosteroid oral dan IVIG diindikasikan untuk
farmakoresisten epilepsi. Landau-Kleffner dilaporkan respon dengan
steroid oral.
ii. Dosis : ACTH dimulai dengan dosis 40-80 U/d atau hingga 150 U/mz i.m
dosis tunggal pagi hari. Orang tua dapat diajarkan untuk menginjeksi.
Untuk prednison dimulai dengan 2-4 mg/kgBB/hari oral dalam dosis
terbagi 2 atau 3.
iii. Pencegahan : berikan tambahan potasium, cegah infeksi, pencegahan
hipertensi, dan efek samping cushing.
b. Diet ketogenik : dipercaya dapat meningkatkan ambang kejang.
c. Stimulator nervus vagus : diindikasikan untuk epilepsi intractable. Dipasang
alat di bawah klavikula kiri dan mengenai nervus vagus kiri. Stimulasi diberikan
30 detik per 5 menit.

D. Bedah : diindikasikan untuk epilepsi intractable (epilepsi yang sulit dikontrol setelah
pemberian 2 atau 3 obat anti epilepsi yang tepat dalam 1 tahun). Konsep dasar dari
tindakan pembedahan ini adalah ditemukannya epileptic zone dan reseksi epileptogenic
zone akan menghentikan kejang. Kesembuhan dilaporkan 80% pasien. Indikasi operasi
adalah Rasmussen encephalitis atau extensive perinatal strokes untuk hemisferektomi,
tuberous sclerosis, dan drop attacks tidak terkontrol untuk corpus callostomy.

E. Tatalaksana umum :
a. Edukasi : edukasi keluarga pasien dan pasien mengenai penyakit epilepsi berikut
penyebab, prognosis, dan terapinya.
b. Hak dalam kehidupan : sedapat mungkin penderita epilepsi harus dapat hidup
seperti orang normal lainnya. Setelah bangkitan terkontrol, penderita dapat
berenang dengan penjaga. Aktivitas yang berhubungan dengan ketinggian tidak
diijinkan penderita harus menghindari alkohol.
c. Mengemudi : rata-rata negara mengeluarkan SIM untuk penderita epilepsi jika
penderita dibawah pengawasan dokter dan telah bebas bangkitan dalam 2 tahun.
d. Hamil : OAE berisiko untuk efek teratogenik seperti facial cleft. Asam valproat
dapat meningkatkan kejadian spinal dysraphism. Suplemen asam folat dianjurkan
saat hamil.
e. Sekolah : dapat disiapkan diazepam per rektal di sekolah.
2.7. Prognosis
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun.
Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami
kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30% penderita tidak akan
mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. 1
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi pada
hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering
terjadi. 1
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor yang
menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor
yang sama dengan remisi kejang. 3

Anda mungkin juga menyukai