Anda di halaman 1dari 39

REFLEKSI KASUS November 2021

“MENINGOENSEFALITIS”

Nama : Elsa Ananda Alfiany


No. Stambuk : N 111 21 017
Pembimbing :dr. Haryanti Kartini Huntoyungo,
M.Biomed Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Elsa Ananda Alfiany

No. Stambuk : N 111 21 017

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul : Meningoensefalitis

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Undata Palu

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, November 2021

ii
Pembimbing Dokter Muda

dr. Haryanti Kartini Huntoyungo, M.Biomed, Elsa Ananda Alfiany


Sp. A

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut
dan kronis.Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.Meningoensefalitis tuberkulosis adalah
peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB).
Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.
Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama
pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930
sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal.Setelah
perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB.
Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB
aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.

Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi
otak.Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous.
Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik,
eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah,
makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai
pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah
akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel
subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark
serebral karena iskemia.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Usia : 15-08-2016 (5 tahun 3 bulan 7 hari)
Tanggal Masuk : 18-11-2021
Tanggal pemeriksaan : 19-11-2021
Ruangan : PICU
Alamat : Pasangkayu

II. Anamnesis
- Keluhan Utama : Kejang
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak perempuan umur 5 tahun 3 bulan 7 hari datang dengan keluhan kejang, kejang
muncul 1 kali dengan durasi +1 jam SMRS. Keluarga pasien mengaku saat kejang posisi
tangan lurus dan tubuh kaku. Sesaat tiba di rumah sakit, pasien mengalami kejang kembali
dengan durasi +1 jam. Keluhan disertai dengan penurunan kesadaran sesaat setelah kejang.
Pasien juga mengalami demam selama 3 hari SMRS. Keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien mengalami sakit kepala serta tidak mampu melihat cahaya sejak 10 hari SMRS. Pasien
mengalami BAB cair disertai lendir dan darah dengan frekuensi 5 kali dalam sehari 3 hari
SMRS.

- Riwayat Penyakit Sebelumnya :


 Pasien memiliki Riwayat kejang sejak umur 3 bulan dan memiliki Riwayat konsumsi
asam valproate sejak umur 7 bulan tetapi tidak rutin.
 Sebelumnya pasien sudah pernah di rawat di RSUD Undata pada tahun 2018 dengan
diagnosis Meningitis.
5
 Pasien pernah berobat ke dokter jiwa di RS Madani dengan keluhan terlalu aktif
sehingga sulit untuk tertidur di malam hari.
- Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat Sosial Ekonomi : pasien lahir dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah.
- Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan : Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan
merupakan anak yang aktif
- Riwayat Kehamilan dan Persalinan : pasien lahir normal, cukup bulan dan merupakan anak
ke-3 dari 3 bersaudara.
- Kemampuan dan Kepandaian : Kemampuan dan kepandaian anak tidak sesuai dengan
usianya, pasien memiliki keterlambatan dalam berbicara.
- Anamnesis Makanan :
- Usia 0-1 tahun : ASI
- 1 tahun-sekarang : makanan rumahan
- Riwayat Imunisasi : Imunisasi Lengkap

III. Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum : Sakit berat
- Kesadaran : Somnolen (GCS : E1V2M4)
- Berat Badan : 15 kg
- Panjang Badan : 104 cm
- Lingkar Kepala : 47 cm
- Lingkar Dada : 50 cm
- Lingkar Perut : 48 cm
- Status Gizi :
- BB/U : 78% (BB kurang)
- PB/U : 94% (Tinggi baik)
- BB/TB : 88% (Gizi kurang)

- Tanda Vital :
- Respirasi : 24 kali/menit
- Suhu : 38,1 0C

6
- SpO2 : 97 %
- Heart Rate : 104 kali/menit

 Kulit
Warna sawo matang, Turgor : < 2 detik, Ruam (-), sianosis (-).
 Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut dan tebal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-), Isokor
(+/+)
Hidung :Pernafasan cuping hidung (-), Epitaksis (-), rhinorrhea(-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
 Leher
Kelenjar Getah Bening : Pembesaran (-)
Trakea : Posisi Central
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1 Normal
 Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral kanan=kiri, tampak retraksi (-),
jejas (-/-).
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan=kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-).
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di sic v linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal.
Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni reguler, suara tambahan (-)
 Abdomen
Inspeksi : Permukaan tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

7
Palpasi : Nyeri tekan regio epigastrium (-)
Perkusi : Bunyi timpani pada seluruh lapang abdomen
 Genitalia
Perempuan, dalam batas normal.

 Anggota Gerak
Ekstremitas Atas : Akral hangat (+/+), Edema (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral Hangat (+/+)

 Refleks :
Fisiologis: Patologis:
++ ++ -- --
++ ++ -- --

IV. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah rutin

WBC 11.1 x 103/ul Normal

RBC 4,72 x 106/ul Normal

HGB 11,8 g/dl Normal

HCT 36,1 % Normal

PLT 169 x 103/ul Menurun

MCV 76,5 fL Normal

MCH 25,0 pg Normal

MCHC 32,7 g/dl Normal

8
2. Pemeriksaan Elektrolit
Na 135.80 mmol/l Normal
K 3.65 mmol/l Normal
Cl 102.97 mmol/l Normal

3. Fungsi ginjal
Ureum 31 mg/dl Normal
Kreatinin 0.6 mg/dl Normal

4. Fungsi hati
SGOT 240 U/L Meningkat
SGPT 110 U/L Meningkat

5. Glukosa Darah : 107 mg/dl


6. Radiologi
- tidak tanpak lesi hiperdens
- sulci dan gyri prominent
- midline tidak shift
- system ventrikel kesan sedikit dilatasi
- CPA, pons, dan cerebellum dalam batas normal
- Kedua orbita dan ruang retroorbita dalam batas normal
- Sinus paranasalis dan air cell mastoid dalam batas normal
- Tulang-tulang yang tervisualisasi intak

Kesan : Hypoplasia cerebri disertai ventriculomegaly ex vacuo

V. RESUME
Pasien anak perempuan umur 5 tahun 3 bulan 7 hari datang dengan keluhan kejang,
kejang muncul 1 kali dengan durasi +1 jam SMRS. Keluarga pasien mengaku kejang yang
dialami diseluruh tubuh pasien. Sesaat tiba di rumah sakit, pasien mengalami kejang kembali
dengan durasi +1 jam. Keluhan disertai dengan penurunan kesadaran sesaat setelah kejang.
Pasien juga mengalami demam selama 3 hari SMRS. Keluarga pasien mengatakan bahwa

9
pasien mengalami sakit kepala serta tidak mampu melihat cahaya sejak 10 hari SMRS. Pasien
mengalami BAB cair disertai lendir dan darah dengan frekuensi 5 kali dalam sehari 3 hari
SMRS.
Pasien memiliki Riwayat kejang sejak berumur 3 bulan dan memiliki Riwayat
konsumsi asam valproate sejak umur 7 bulan tetapi tidak rutin. pasien sudah pernah di rawat
di RSUD Undata 3 tahun yang lalu dengan diagnosis Meningitis dan pulang kerumah dengan
keadaan umum baik, serta pernah berobat ke dokter jiwa di RS Madani dengan keluhan
terlalu aktif sehingga sulit untuk tertidur di malam hari.
Pada pemeriksaan rangsang meningeal terdapat refleks kakuk kuduk (+) dan Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 11,1 x 103 , RBC 4,72 x 106 , HGB 11,8 g/dl,
HCT 36,1% , PLT 169x103/ml (menurun).

VI. DIAGNOSA
Meningoensefalitis

VII. TERAPI
- IVFD Dex 5% 8 TPM
- Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
- Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
- Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
- Paracetamol drips 150 mg/8 jam (KP)
- Fenobarbital 150 mg/12 jam kemudian 30 mg/12 jam (Bila kejang)
- Curliv plus 2x1 cth
- Susu 3x100 cc
- Bubur saring 3x100 cc

VIII. ANJURAN
- Pungsi lumbal
- Pemeriksaan EEG

10
IX. FOLLOW UP

Tanggal/ waktu Follow up

19/11/2021 S: belum sadar, kejang (-), demam(-)

O:

KU: sakit berat

Kesadaran : Delirium (GCS :E2V3M5)

RR: 28x/menit

N : 88 x/m

S : 36,2o C

Spo2 : 99% (dengan O2 nasal kanul)

A : Meningoensefalitis

P:

• IVFD Dextrose 5% 14 tpm


• Inj. Fenobarbital 150 mg dalam 20cc ns
• Inj. Dexamethason 3 mg/6 jam
• Paracetamol drips 150 mg/4 jam (KP)
• Ceftriaxone 750 mg/12 jam
• Susu 3x100 cc via ngt
• Bubur saring 3x100 cc via ngt

Tanggal/ waktu Follow up

20/11/2021 S: Kejang (-), Demam (-), merintih (-), Nyeri kepala (+)
O:
KU: sakit berat
Kesadaran : Apatis (E4M5V4)
RR: 24x/m

11
N : 63 x/m
S : 36,4oC
Spo2 : 99% (dengan O2 nasal kanul)

A : Meningoensefalitis
P:
• IVFD Dextrose 5% 8 tpm
• Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
• Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
• Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
• Paracetamol drips 150 mg/8 jam (kp)
• Fenobarbital 150 mg/12 jam (bila kejang)
• Curliv plus 2x1 cth
• Susu 3x100 cc via NGT
• Bubur saring 3x100 cc via NGT

Tanggal/ waktu Follow up

21/11/2021 S: Kejang (-), demam(-), merintih (+), Nyeri kepala (-)


O:
- KU: sakit berat
- Kesadaran : Apatis (E4M5V4)
- RR: 32x/m
- N : 77 x/m
- S : 36,4oC
- Spo2 : 98% (dengan O2 nasal kanul)
A : Meningoensefalitis
P:
• IVFD Dextrose 5% 8 tpm

12
• Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
• Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
• Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
• Paracetamol drips 150 mg/8 jam (kp)
• Fenobarbital 150 mg/12 jam (bila kejang)
• Curliv plus 2x1 cth
• Susu 3x100 cc via NGT
• Bubur saring 3x100 cc via NGT

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi

Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon dan meningens.


Nama lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis, encephalomeningitis, dan
meningocerebritis.

2. Etiologi

Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang
disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama yaitu
pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan tuberculosis);
infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus empyema);
pajanan zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan
penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum ditemukannya
vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang menyebabkan meningitis
neonatus adalah bakteri yang sama yang menyebabkan sepsis neonatus.

Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis


Golongan Bakteri yang paling sering Bakteri yang jarang menyebabkan
Usia menyebabkan meningitis Meningitis
Neonatus Group B streptococcus Staphylococcus aureus
Escherichia coli Coagulase-negative staphylococci
Klebsiella Enterococcus faecalis

14
Enterobacter Citrobacter
diversus Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas
aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d, e,
f, dan nontypable
>1 bulan Streptococcus pneumonia H. influenzae type b
Neisseria meningitides Group A streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes

Virus golongan enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis
viruses) adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan meningoencephalitis.
Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic
choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps adalah virus yang paling sering menjadi
penyebab pada pasien yang tidak tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang
menyebabkan meningitis yaitu Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-
scratch virus), M. tuberculosis, Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan
coccidioides), dan parasit (Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri,
Acanthamoeba).

Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri
dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis
dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak
atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari
setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

15
Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis juga dapat
merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik dan gangguan
neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis di U.S adalah
golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile encephalitis viruses),
enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting encephalitis pada anak dan
dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.

16
3. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan
oleh bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid.
Proses ini berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas
dimana di dalam lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri.
Walaupun jarang, penyebaran dapat terjadi secara langsung yaitu dari
fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis, mastoiditism, dan otitis media)
maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1
bulan adalah Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-
10% kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada
golongan usia ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan
streptococcus grup B lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena
bakteri golongan gram negatif frekuensinya mulai menurun.
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan N. Meningitidis
akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan kasus meningitis bakterial. H.
influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-anak yang tidak
divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti
N.Meningitidis, S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul
polisakarida yang memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak
yang sehat tanpa reaksi sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul
secara sekunder akibat penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain
itu melalui pembuluh darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri
tidak mengalami proses opsonisasi oleh pathway komplemen klasik
sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
pasteurella multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan
anjing dan kucing. Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang
sudah terjadi menunjukan morbiditas dan mortalitaas yang tinggi.
Salmonella meningitis dapat dicurigai menyebabkan meningitis pada bayi
berumur< 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase
bakterial dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan
serebropsinal melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik
dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan
hanya antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen
yang dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic
merupakan zat patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau
endotoksin pada gram negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri,
zat-zat pathogen tersebut dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari
mediator dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain
sitokin (tumor necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet
activating factor, nitric oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator
inflamasi ini menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah
otak, vasodilatasi, neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi
platelet, dan aktifasi leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal
terjadinya infeksi meningitis bacterial mengalami peradangan (vaskulitis),
yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme
sawar darah otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal
injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap
infeksi, agen anti- inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya
deksametason yang telah terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada
sebagian besar infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1
tahun. Enterovirus adalah agen penyebab paling umum dan merupakan
penyebab penyakit demam tersering pada anak. Patogen virus lainnya
termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan adenovirus.
Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak <
3 bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap
saat selama tahun tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan
gugur. Infeksi virus menyebabkan respon inflamasi tetapi untuk tingkat
yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi bakteri. Kerusakan dari
meningitis viral mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan tekanan
intrakranial meningkat.
Meningitis karena jamur jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada
pasien immunocompromised; anak-anak dengan kanker, riwayat bedah
saraf sebelumnya, atau trauma kranial, atau bayi prematur dengan tingkat
kelahiran rendah. Sebagian besar kasus pada anak-anak yang menerima
terapi antibiotik dan memiliki riwayat rawat inap. Etiologi meningitis
aseptik yang disebabkan oleh obat belum dipahami dengan baik. Namun
jenis meningitis ini jarang terjadi pada populasi anak-anak.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat.
Penyakit ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali,
terdapat agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya
virus terjadi melalui jalur hematogen atau neuronal. Virus masuk tubuh
melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk
ke dalam tubuh virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudia
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput
lendir dan penyebaran melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien,
tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang
biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh
kelainan neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan penyebaran
langsung sepanjang akson saraf.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang
sedang berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan
berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular.
Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.
Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron
dan aksonnya terutama dianggap menggambarkan ensefalitis
“pascainfeksi” atau alergi. Korteks serebri terutama lobus temporalis,
sering terkena oleh virus herpes simpleks; arbovirus cenderung
mengenai seluruh otak; rabies mempunyai kecenderungan pada struktur
basal.
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari
virulensi virus, kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen
tubuh yang dapat menghambat multiplikasi virus. Banyak virus yang
penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi
virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu
dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik
melalui peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes
simpleks, virus varisella zoster ).
Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing
panensefalitis (SSPE) sampai sekarang ini masih belum jelas. Setelah
melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular,
dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih
(alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-
reseptor membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian
khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi
pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang
masih belum jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena
adanya transmisi neural secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf
trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas
dan ludah.Infeksi primer biasanya terjadi pada anak-anak dan
remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis, faringitis atau penyakit
saluran nafas.Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam
ganglia trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik
menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes
labialis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi
menjadi lengket. Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast
menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah
mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan jaringan
otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan
koma.

4. Manifestasi Klinis
a) Meninigitis
memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien
juga dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti:
- Mual dan muntah
- Kejang
- Fotofobia
- Penurunan kesadaran
b) Ensefalitis
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran
menurun. Manifestasi klinis tergantung pada :
1) Berat dan lokasi anatomi susuan saraf pusat yang terlibat,
misalnya :
- Virus Herpes simpleks yang kerap kali menyerang korteks
serebri, terutama lobus temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2) Patogenesis agen yang menyerang.
3) Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita,

Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk


akut atau subakut. Pada fase awal, pasien mengalami maleise dan
demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai
dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan
daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan
kesadaran. Kejang dapat berupa fokal dan umum. Kesadaran
menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis
yang buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal
atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Permeriksaan
neurologis sering kali menunjukkan hemiparesis. Beberapa kasus
dapat menunjukkan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku
kuduk dan papil edema.

5. Penegakan Diagnosis
ANAMNESIS
1. Anamnesis pada meningitis bakterial
- Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti:
semakin muda anak semakin kecil kemungkinan ia untuk
menunjukan gejala klasik yaitu demam, sakit kepala, dan
meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit kronis; dan anak
dengan selulitis wajah, selulitis periorbital, sinusitis, dan arthritis
septic memiliki peningkatan risiko meningitis.
- Meningitis pada periode neonatal dikaitkan dengan infeksi ibu
atau pireksia saat proses persalinan sedangkan meningitis pada
anak < 3 bulan mungkin memiliki gejala yang sangat spesifik,
termasuk hipertermia atau hipotermia, perubahan kebiasaan tidur
atau makan, iritable atau kelesuan, muntah, menangis bernada
tinggi, atau kejang.
- Setelah usia 3 bulan, anak dapat menampilkan gejala yang lebih
sering dikaitkan dengan meningitis bakteri, dengan demam,
muntah , lekas marah, lesu, atau perubahan perilaku
- Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh sakit
kepala, leher kaku, dan fotofobia

2. Anamnesis untuk meningoencephalitis viral


Anak yang tidak mendapatkan imunisasi untuk campak, gondok dan
rubella beresiko mengalami meningoencephalitis viral
3. Anamnesis untuk meningitis akibat infeksi jamur
pasien immunocompromised beresiko mengalami meningoencephalitis
akibat infeksi jamur
4. Anamnesis untuk meningitis aseptik
Terdapat riwayat mengkonsumsi obat biasanya obat anti-inflammatory
drugs (NSAID), IVIG, dan antibiotik. Gejala mirip dengan meningitis
virus. Gejala dapat terjadi dalam beberapa menit menelan obat.
5. Anamnesis untuk ensefalitis
Informasi seperti musim tahun, perjalanan, kegiatan, dan paparan
dengan hewan membantu diagnosis.

MANIFESTASI KLINIK
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda,
jarang menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura
jahitan, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul
lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih
mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku
kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar 4. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15%


dari pasien yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis
bakteriKesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi
pada 15-20 % dari pasien dan lebih sering dengan meningitis
pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan
pasien akan mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah.
Ubun-ubun menonjol, ptosis, saraf cerebral keenam, anisocoria,
bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah tanda-tanda
tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak. Papilledema
jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural,
atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome
beberapa hari gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan,
demam, sakit kepala, dan keluhan perut, yang diikuti dengan gejala
khas kelesuan progresif, perubahan perilaku, dan defisit
neurologis. Kejang yang umum pada presentasi. Anak-anak
dengan ensefalitis juga mungkin memiliki ruam makulopapular
dan komplikasi parah, seperti fulminant coma, transverse myelitis,
anterior horn cell disease (polio-like illness), atau peripheral
neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan pada
ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi
neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status
mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini
dapat membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis.
Misalnya akibat infeksi virus West Nile, tanda-tanda dan gejala
yang tidak spesifik dan beberapa temuan fisik yang unik termasuk
makulopapular, ruam eritematous; kelemahan otot proksimal, dan
flaccid paralysis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal
harus dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya
ketidakstabilan kardiovaskular atau tanda- tanda tekanan intrakranial
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC,
diferensial, kadar protein dan glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis
ditandai dengan pleositosis neutrophilic, cukup dengan protein tinggi
nyata, dan glukosa rendah. Viral meningitis ditandai dengan protein
pleositosis limfositik ringan sampai sedang, normal atau sedikit lebih
tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada encephalitis menunjukkan
pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar glukosa
normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV.
Extreme peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa menunjukan
infeksi tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal.
Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri, jamur,
virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk
mendiagnosis enterovirus dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat
dari biakan virus. Leukositosis adalah umum ditemukan. Kultur darah
positif pada 90% kasus.
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi
komponen ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas
gelombang lambat, walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi
neuroimaging mungkin normal atau mungkin menunjukkan
pembengkakan otak difus parenkim atau kelainan fokal.
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma
pneumoniae, cat- scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM
serum atau CSF untuk infeksi virus West Nile tersedia, tetapi reaktivitas
silang dengan flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi.
pengujian serologi tambahan untuk patogen kurang umum harus dilakukan
seperti yang ditunjukkan oleh perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain
pengujian serologi, sampel CSF dan tinja dan usap nasofaring harus
diperoleh untuk biakan virus. Dalam kebanyakan kasus ensefalitis virus,
virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan pengujian
ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih belum
ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari
penyebab ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik
fokal. Biopsi otak mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat
yang tidak menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas.
HSV, rabies ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit
dan kuru) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi
patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin penting untuk
mengidentifikasi arbovirus dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi
jamur, dan penyakit non-menular, terutama primer SSP vasculopathies
atau keganasan

Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal pada beberapa


gangguan sistem saraf pusat

kondisi Tekanan Leukosit (/μL) Protein Glukosa Keterangan


(mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 atau 75%
mm H2O limfosit, glukosa darah
30-40%
monosit,
1-3% neutrofil
Meningitis Biasanya 100-60,000 +; 100-500 Terdepresi Organisme
bakterial akut meningkat biasanya apabila dapat dilihat
beberapa ribu; dibandingkan pada Gram
PMNs dengan stain dan
mendominasi glukosa kultur
darah;
biasanya <40
Meningitis Normal 1-10,000; >100 Terdepresi Organisme
bakterial yang atau didominasi atau normal normal dapat
sedang meningkat PMNs tetapi dilihat;
menjalani mononuklear pretreatment
pengobatan sel biasa dapat
mungkin menyebabkan
mendominasi CSF steril
Apabila
pengobatan
sebelumnya
telah lama
dilakukan
Tuberculous Biasanya 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Bakteri tahan
meningitis meningkat mendominasi lebih menurun asam mungkin
: dapat pada awalnya tinggi khususnya dapat terlihat

sedikit namun khususnya apabila pada


meningkat kemudian saat pengobatan pemeriksaan
karena limfosit dan terjadi tidak adekuat usap CSF;
bendunga monosit blok
n cairan mendominasi cairan
serebrospi pada akhirnya serebrospi
nal pada nal
tahap
tertentu
Fungal Biasanya 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding yeast
meningkat mendominasi menurun dapat terlihat
pada awalnya khususnya
namun apabila
kemudian pengobatan
monosit tidak adekuat
mendominasi
pada akhirnya
Viral meningitis Normal PMNs 20-100 Secara umum
atau atau mendominasi normal; dapat
meningoencefali meningkat pada awalnya terdepresi
tis tajam namun hingga 40
kemudian pada beberapa
monosit infeksi virus
mendominasi (15-20% dari
pada akhirnya ; mumps)
jarang lebih dari
1000 sel kecuali
pada eastern
equine
Abses (infeksi Normal 0-100 PMNs 20-200 Normal Profil
parameningeal) atau kecuali pecah mungkin
meningkat menjadi CSF normal

6. Tatalaksana
MENINGITIS
A. Meningitis Bakterial
Pengobatan pada kasus meningitis bakterial harus dilakukan
sesegera mungkin, bahkan saat diagnosis baru mulai terarah ke meningitis.
Namun, idealnya haruslah dilakukan kultur darah dan analisis liquor
cerebrospinal terlebih dahulu, sebelum antibiotik mulai diberikan.
Pada bayi dan anak-anak, tatalaksana meningitis bakteri meliputi
terapi antibiotic yang tepat dan terapi suportif. Dimaksud dengan terapi
suportif disini adalah, misalnya pemberian cairan untuk mencegah
gangguan elektrolit dan memastikan balans cairan berada pada level yang
normal. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga output urin
dan perfusi jaringan yang memadai, serta menghindari dehidrasi.
Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat
memempengaruhi aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam
liquor cerebrospinal.
Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan
tatalaksana kejang. Yaitu pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang masih berlanjut, kembali berikan
diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Jika kejang masih belum
berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kg BB, secara
intramuskular, 24 jam kemudia, diberikan dosis maintenance 4-5 mg/kg
BB h hari.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama
pengobatan. Namun, pada umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-
21 hari. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan lumbal pungsi ulanganm
untuk memverifikasi apakah terapi yang telah diberikan, berjalan sesuai
dengan harapan atau tidak.
Berdasarkan penelitian oleh Infectious Diseases Society of
America (IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis, pada tahun
2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone adalah yang paling
dianjurkan. Kombinasi ini memberikan respon adekuat terhadap
Streptococcus pneumonia dan Haemophillus influenza tipe B. Perlu
dicatat bahwa tidak dianjurkan untuk mengganti ceftriaxone dengan
ceftazidine, karena kemampuan bakteriostatiknya terhadap Streptococcus
pneumonia, kurang baik.
Terapi dengan karbapenem dapat dipertimbangkan sebagai pilihan,
pada patogen yang resisten sefalosporin. Sedangkan penggunaan
fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal setelah diberikan terapi
sebelumnya.
Sedangkan pada meningitis tuberkulosis, pada dasarnya, terapi
yang diberikan adalah pemberian kombinasi obat anti-tuberkulosis, serta
kortikosteroid.Tidak lupa juga diberikan penambahan obat simtomatik
(misalnya anti-kejang jika terdapat kejang dan koreksi dehidrasi bila
terjadi gangguan elektrolit. Terapi anti-tuberkulosis yang diberikan, sesuai
dengan konsep baku yang ada, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5 OAT
(isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol),
dilanjutkan dengan 12 bulan selanjutnya diberikan 2 OAT (isoniazid dan
rifampisin).
Terapi suportif lainnya yang masih bersifat kontroversial, adalah
pemberian glukokortikoid. Seperti telah dipelajari, bahwa sitokin
inflamatorik (interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor alfa)
memiliki pernah dalam patofisiologi meningitis bakterialis. Suatu
percobaan pada binatang laboratorium yang diinfeksi meningitis, dicoba
penambahan terapi glukokortikoid, hasilnya adalah ditemukan adanya
perbaikan meningitis. Pada empat percobaan acak, placebo-kontrol, pada
anak berusia lebih dari 2 bulan, terapi tambahan berupa deksametason
dapat mengurangi sekuele audiologik dan neurologik. Kontroversi disini
adalah karena keempat anak tersebut menderita meningitis akibat
Haemophillus influenza. Suatu riset terkini yang melibatkan anak dengan
meningitis Streptococcus pneumonia, perbaikan sekuele audiologik dan
neurologik yang terjadi tidak sesebustansial pada meningitis Haemophillus
influenza.
Berikut adalah gambar rekomendasi antibiotik untuk pasien suspek
meningitis bakterialis, yang telah terbukti positif pada pewarnaan gram.
Untuk durasi terapi antibiotik, belum ada durasi optimal yang
secara jelas direkomendasikan, bahkan untuk patogen yang insidensinya
cukup tinggi. Secara tradisional, jangka waktu 7 sampai 10 hari sudah
cukup untuk mengobati meningitis akibat Streptococcus pneumonia
hingga tuntas. Sedangkan untuk patogen lainnya, direkomendasikan
pemberian yang lebih lama, 10 sampai 21 hari. Pada suatu percobaan
acak, terapi dengan seftriakson pada anak dengan meningitis
Haemophillus influenza, terapi selama 7 hari ternyata memiliki efektivitas
yang sama dengan terapi selama 10 hari. Namun, pada praktek sehari-hari,
durasi terapi tiap-tiap pasien biasanya berbeda, karena kembali
disesuaikan secara individual, berdasarkan gejala klinis dan respons tubuh
serta patogennya itu sendiri.

B. Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien
tidak diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi
imunitas ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan
immunoglobulin intravena. Bukti anekdotla mendukung pemberian
asiklovir untuk bagian dari terapi meningitis Herpes Simplex virus,
Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus. Terapi ini biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan pasien
meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat.
Selain asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan valasiklovir. Studi
membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini, memiliki
efektifitas yang sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa digunakan
adalah 10 mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum ada
rumusan pasti untuk penggunaan famsiklovir, karena memang
penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan
bahwa dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari.
Untuk valaskilovir, dosis yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB,
3x sehari, dengan dosis maximum adalah 1000mg dalah 1 hari.

C. Meningitis Jamur
Terapi tentunya disesuaikan dengan etiologi funginya. Untuk meningitis
yang diakibatkan oleh infeksi Candida albicans, terapi awal pilihannya
adalah amfoterisin B (0,7 mg/kg bb/hari). Terapi lainnya yang juga dapat
diberikan adalah golongan azole, namun biasanya lebih sering digunakkan
sebagai terapi lanjutan. Etiologi tersering kedua, setelah Candida albicans,
adalah Coccidioides immitis. Pda infeksi oleh organisme ini, amtoferisin
B merupakan drug of choice. Dosis inisial adalah 0,1 mg untuk 3 kali
suntikan pertama. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 0,25-
0,5mg, 3-4 kalisetiap minggu. Perlu diketahui akan efek samping dari
amfoterisin B (nyeri punggung, nyeri tungkai). Jika memang pasien tidak
dapat menolerasi efek samping ini, terapi dapat diubah menjadi
Flukonazol oral (400mg / hari)

ENSEFALITIS

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah


sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan
tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan
perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian
makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan
apabila pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial
dapat diberi Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5
mg/kgBB/hari. Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa
tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum telah stabil.
Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode
8-12 jam. Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis
yang periodik pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan,
akumulasi lendir pada tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot
pernapasan. Pada pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine
Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis
dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV
telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan
pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.

1. Ensefalitis supurativa
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.

2. Ensefalitis virus
- Pengobatan simptomatis
 Analgetik: Asam mefenamat 4 x 500 mg
 Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
 Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan
penyebab herpes zoster-varicella.
 Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200
mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.

3. Ensefalitis karena parasit


- Malaria serebral, Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam,
setiap 8 jam hingga tampak perbaikan.
- Toxoplasmosis
 Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
 Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
 Spiramisin 3 x 500 mg/hari
- Amebiasis, rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
4. Ensefalitis karena fungus
- Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6
minggu
- Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.

5. Riketsiosis serebri
- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.

7. Prognosis

Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh sempurna
walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pada kasus
yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya
memerlukan terapi jangka panjang.
Sedangkan prognosis ensefalitis tergantung dari keparahan penyakit klinis,
etiologi spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klnis berat dengan bukti adanya
keteribatan parenkim maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang
bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran.
Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes
simpleks

BAB IV
PENUTUP

Meningoensefalitis berarti peradangan pada otak (encephalon) dan


selaput pembungkusnya (meningen). Bakteri, jamur, dan proses autoimun
dapat menyebabkan ensefalitis, tetapi pada kebanyakan kasus etiologinya
adalah virus. Virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab tersering dari
ensefalitis. Gejala umum yang terjadi adalah lemah, malaise, demam, sakit
kepala, pusing, mual-muntah, fotofobia, nyeri ekstermitas, tanda
nasofaringitis, halusinasi, kejang, gangguan kesadaran. Penatalaksaan pada
meningoensefalitis adalah dengan menggilangkan gejala-gejala yang ada dan
memberikan obat sesuai faktor penyebab, yaitu antibakteri atau antivirus.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh
sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama.
Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf
secara permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rofinda Z D. kelaianan Hemostasis pada Leukemia. Jurnal kesehatan


andalas. 2012; 1(2): 68-74.
2. FK UI. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid I. Jakarta : Media
Aescuapius. 2014.
3. Juniasari C, Fitriyana S, Afgani A, Yuniarti L, Triyani Y. Klasifikasi
Morfologi Leukemia Limfoblastik Akut berhubungan dengan Kejadian
Relaps pada Pasien Anak. JIKS. 2020; 1(1):1-5
4. Yenni. Rehabilitasi Medik pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik
Akut. Jurnal Biomedik (JBM). 2014; 6(1): 1-7
5. Elisafir R, Arsin AA, Wahyu A. Survival of patient Acute Lymphoblastic
Leukemia ini Children at dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital
Makassar. 2018;1(3):283-292
6. Presmono B. 2012. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Short J R, Gray O P, Dodge J A. Sinopsis Pediatri. Tangerang : Binarupa
Aksara Publisher
8. Garna H, Nataprawira H M. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak.edisi 4. 2014. Semarang : Departemen/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unpad/ RSUP dr. Hasan Sadikin

iii

Anda mungkin juga menyukai