“MENINGOENSEFALITIS”
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
Judul : Meningoensefalitis
ii
Pembimbing Dokter Muda
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut
dan kronis.Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.Meningoensefalitis tuberkulosis adalah
peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB).
Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.
Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama
pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930
sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal.Setelah
perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB.
Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB
aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi
otak.Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous.
Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik,
eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah,
makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai
pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah
akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel
subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark
serebral karena iskemia.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Usia : 15-08-2016 (5 tahun 3 bulan 7 hari)
Tanggal Masuk : 18-11-2021
Tanggal pemeriksaan : 19-11-2021
Ruangan : PICU
Alamat : Pasangkayu
II. Anamnesis
- Keluhan Utama : Kejang
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak perempuan umur 5 tahun 3 bulan 7 hari datang dengan keluhan kejang, kejang
muncul 1 kali dengan durasi +1 jam SMRS. Keluarga pasien mengaku saat kejang posisi
tangan lurus dan tubuh kaku. Sesaat tiba di rumah sakit, pasien mengalami kejang kembali
dengan durasi +1 jam. Keluhan disertai dengan penurunan kesadaran sesaat setelah kejang.
Pasien juga mengalami demam selama 3 hari SMRS. Keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien mengalami sakit kepala serta tidak mampu melihat cahaya sejak 10 hari SMRS. Pasien
mengalami BAB cair disertai lendir dan darah dengan frekuensi 5 kali dalam sehari 3 hari
SMRS.
- Tanda Vital :
- Respirasi : 24 kali/menit
- Suhu : 38,1 0C
6
- SpO2 : 97 %
- Heart Rate : 104 kali/menit
Kulit
Warna sawo matang, Turgor : < 2 detik, Ruam (-), sianosis (-).
Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut dan tebal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-), Isokor
(+/+)
Hidung :Pernafasan cuping hidung (-), Epitaksis (-), rhinorrhea(-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher
Kelenjar Getah Bening : Pembesaran (-)
Trakea : Posisi Central
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1 Normal
Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral kanan=kiri, tampak retraksi (-),
jejas (-/-).
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan=kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di sic v linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal.
Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni reguler, suara tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
7
Palpasi : Nyeri tekan regio epigastrium (-)
Perkusi : Bunyi timpani pada seluruh lapang abdomen
Genitalia
Perempuan, dalam batas normal.
Anggota Gerak
Ekstremitas Atas : Akral hangat (+/+), Edema (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral Hangat (+/+)
Refleks :
Fisiologis: Patologis:
++ ++ -- --
++ ++ -- --
8
2. Pemeriksaan Elektrolit
Na 135.80 mmol/l Normal
K 3.65 mmol/l Normal
Cl 102.97 mmol/l Normal
3. Fungsi ginjal
Ureum 31 mg/dl Normal
Kreatinin 0.6 mg/dl Normal
4. Fungsi hati
SGOT 240 U/L Meningkat
SGPT 110 U/L Meningkat
V. RESUME
Pasien anak perempuan umur 5 tahun 3 bulan 7 hari datang dengan keluhan kejang,
kejang muncul 1 kali dengan durasi +1 jam SMRS. Keluarga pasien mengaku kejang yang
dialami diseluruh tubuh pasien. Sesaat tiba di rumah sakit, pasien mengalami kejang kembali
dengan durasi +1 jam. Keluhan disertai dengan penurunan kesadaran sesaat setelah kejang.
Pasien juga mengalami demam selama 3 hari SMRS. Keluarga pasien mengatakan bahwa
9
pasien mengalami sakit kepala serta tidak mampu melihat cahaya sejak 10 hari SMRS. Pasien
mengalami BAB cair disertai lendir dan darah dengan frekuensi 5 kali dalam sehari 3 hari
SMRS.
Pasien memiliki Riwayat kejang sejak berumur 3 bulan dan memiliki Riwayat
konsumsi asam valproate sejak umur 7 bulan tetapi tidak rutin. pasien sudah pernah di rawat
di RSUD Undata 3 tahun yang lalu dengan diagnosis Meningitis dan pulang kerumah dengan
keadaan umum baik, serta pernah berobat ke dokter jiwa di RS Madani dengan keluhan
terlalu aktif sehingga sulit untuk tertidur di malam hari.
Pada pemeriksaan rangsang meningeal terdapat refleks kakuk kuduk (+) dan Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 11,1 x 103 , RBC 4,72 x 106 , HGB 11,8 g/dl,
HCT 36,1% , PLT 169x103/ml (menurun).
VI. DIAGNOSA
Meningoensefalitis
VII. TERAPI
- IVFD Dex 5% 8 TPM
- Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
- Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
- Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
- Paracetamol drips 150 mg/8 jam (KP)
- Fenobarbital 150 mg/12 jam kemudian 30 mg/12 jam (Bila kejang)
- Curliv plus 2x1 cth
- Susu 3x100 cc
- Bubur saring 3x100 cc
VIII. ANJURAN
- Pungsi lumbal
- Pemeriksaan EEG
10
IX. FOLLOW UP
O:
RR: 28x/menit
N : 88 x/m
S : 36,2o C
A : Meningoensefalitis
P:
20/11/2021 S: Kejang (-), Demam (-), merintih (-), Nyeri kepala (+)
O:
KU: sakit berat
Kesadaran : Apatis (E4M5V4)
RR: 24x/m
11
N : 63 x/m
S : 36,4oC
Spo2 : 99% (dengan O2 nasal kanul)
A : Meningoensefalitis
P:
• IVFD Dextrose 5% 8 tpm
• Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
• Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
• Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
• Paracetamol drips 150 mg/8 jam (kp)
• Fenobarbital 150 mg/12 jam (bila kejang)
• Curliv plus 2x1 cth
• Susu 3x100 cc via NGT
• Bubur saring 3x100 cc via NGT
12
• Inj. Meropenem 300 mg/12 jam
• Inj. Dexamethason 5 mg/12 jam
• Inj. Piracetam 250 mg/8 jam
• Paracetamol drips 150 mg/8 jam (kp)
• Fenobarbital 150 mg/12 jam (bila kejang)
• Curliv plus 2x1 cth
• Susu 3x100 cc via NGT
• Bubur saring 3x100 cc via NGT
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
2. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang
disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama yaitu
pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan tuberculosis);
infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus empyema);
pajanan zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan
penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum ditemukannya
vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang menyebabkan meningitis
neonatus adalah bakteri yang sama yang menyebabkan sepsis neonatus.
14
Enterobacter Citrobacter
diversus Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas
aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d, e,
f, dan nontypable
>1 bulan Streptococcus pneumonia H. influenzae type b
Neisseria meningitides Group A streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes
Virus golongan enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis
viruses) adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan meningoencephalitis.
Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic
choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps adalah virus yang paling sering menjadi
penyebab pada pasien yang tidak tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang
menyebabkan meningitis yaitu Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-
scratch virus), M. tuberculosis, Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan
coccidioides), dan parasit (Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri,
Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri
dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis
dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak
atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari
setelah munculnya manifestasi ekstraneural.
15
Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis juga dapat
merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik dan gangguan
neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis di U.S adalah
golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile encephalitis viruses),
enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting encephalitis pada anak dan
dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.
16
3. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan
oleh bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid.
Proses ini berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas
dimana di dalam lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri.
Walaupun jarang, penyebaran dapat terjadi secara langsung yaitu dari
fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis, mastoiditism, dan otitis media)
maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1
bulan adalah Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-
10% kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada
golongan usia ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan
streptococcus grup B lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena
bakteri golongan gram negatif frekuensinya mulai menurun.
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan N. Meningitidis
akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan kasus meningitis bakterial. H.
influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-anak yang tidak
divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti
N.Meningitidis, S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul
polisakarida yang memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak
yang sehat tanpa reaksi sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul
secara sekunder akibat penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain
itu melalui pembuluh darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri
tidak mengalami proses opsonisasi oleh pathway komplemen klasik
sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
pasteurella multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan
anjing dan kucing. Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang
sudah terjadi menunjukan morbiditas dan mortalitaas yang tinggi.
Salmonella meningitis dapat dicurigai menyebabkan meningitis pada bayi
berumur< 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase
bakterial dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan
serebropsinal melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik
dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan
hanya antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen
yang dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic
merupakan zat patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau
endotoksin pada gram negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri,
zat-zat pathogen tersebut dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari
mediator dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain
sitokin (tumor necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet
activating factor, nitric oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator
inflamasi ini menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah
otak, vasodilatasi, neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi
platelet, dan aktifasi leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal
terjadinya infeksi meningitis bacterial mengalami peradangan (vaskulitis),
yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme
sawar darah otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal
injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap
infeksi, agen anti- inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya
deksametason yang telah terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada
sebagian besar infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1
tahun. Enterovirus adalah agen penyebab paling umum dan merupakan
penyebab penyakit demam tersering pada anak. Patogen virus lainnya
termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan adenovirus.
Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak <
3 bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap
saat selama tahun tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan
gugur. Infeksi virus menyebabkan respon inflamasi tetapi untuk tingkat
yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi bakteri. Kerusakan dari
meningitis viral mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan tekanan
intrakranial meningkat.
Meningitis karena jamur jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada
pasien immunocompromised; anak-anak dengan kanker, riwayat bedah
saraf sebelumnya, atau trauma kranial, atau bayi prematur dengan tingkat
kelahiran rendah. Sebagian besar kasus pada anak-anak yang menerima
terapi antibiotik dan memiliki riwayat rawat inap. Etiologi meningitis
aseptik yang disebabkan oleh obat belum dipahami dengan baik. Namun
jenis meningitis ini jarang terjadi pada populasi anak-anak.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat.
Penyakit ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali,
terdapat agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya
virus terjadi melalui jalur hematogen atau neuronal. Virus masuk tubuh
melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk
ke dalam tubuh virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudia
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput
lendir dan penyebaran melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien,
tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang
biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh
kelainan neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan penyebaran
langsung sepanjang akson saraf.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang
sedang berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan
berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular.
Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.
Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron
dan aksonnya terutama dianggap menggambarkan ensefalitis
“pascainfeksi” atau alergi. Korteks serebri terutama lobus temporalis,
sering terkena oleh virus herpes simpleks; arbovirus cenderung
mengenai seluruh otak; rabies mempunyai kecenderungan pada struktur
basal.
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari
virulensi virus, kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen
tubuh yang dapat menghambat multiplikasi virus. Banyak virus yang
penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi
virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu
dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik
melalui peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes
simpleks, virus varisella zoster ).
Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing
panensefalitis (SSPE) sampai sekarang ini masih belum jelas. Setelah
melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular,
dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih
(alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-
reseptor membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian
khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi
pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang
masih belum jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena
adanya transmisi neural secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf
trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas
dan ludah.Infeksi primer biasanya terjadi pada anak-anak dan
remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis, faringitis atau penyakit
saluran nafas.Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam
ganglia trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik
menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes
labialis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi
menjadi lengket. Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast
menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah
mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan jaringan
otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan
koma.
4. Manifestasi Klinis
a) Meninigitis
memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien
juga dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti:
- Mual dan muntah
- Kejang
- Fotofobia
- Penurunan kesadaran
b) Ensefalitis
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran
menurun. Manifestasi klinis tergantung pada :
1) Berat dan lokasi anatomi susuan saraf pusat yang terlibat,
misalnya :
- Virus Herpes simpleks yang kerap kali menyerang korteks
serebri, terutama lobus temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2) Patogenesis agen yang menyerang.
3) Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita,
5. Penegakan Diagnosis
ANAMNESIS
1. Anamnesis pada meningitis bakterial
- Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti:
semakin muda anak semakin kecil kemungkinan ia untuk
menunjukan gejala klasik yaitu demam, sakit kepala, dan
meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit kronis; dan anak
dengan selulitis wajah, selulitis periorbital, sinusitis, dan arthritis
septic memiliki peningkatan risiko meningitis.
- Meningitis pada periode neonatal dikaitkan dengan infeksi ibu
atau pireksia saat proses persalinan sedangkan meningitis pada
anak < 3 bulan mungkin memiliki gejala yang sangat spesifik,
termasuk hipertermia atau hipotermia, perubahan kebiasaan tidur
atau makan, iritable atau kelesuan, muntah, menangis bernada
tinggi, atau kejang.
- Setelah usia 3 bulan, anak dapat menampilkan gejala yang lebih
sering dikaitkan dengan meningitis bakteri, dengan demam,
muntah , lekas marah, lesu, atau perubahan perilaku
- Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh sakit
kepala, leher kaku, dan fotofobia
MANIFESTASI KLINIK
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda,
jarang menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura
jahitan, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul
lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih
mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku
kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal
harus dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya
ketidakstabilan kardiovaskular atau tanda- tanda tekanan intrakranial
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC,
diferensial, kadar protein dan glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis
ditandai dengan pleositosis neutrophilic, cukup dengan protein tinggi
nyata, dan glukosa rendah. Viral meningitis ditandai dengan protein
pleositosis limfositik ringan sampai sedang, normal atau sedikit lebih
tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada encephalitis menunjukkan
pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar glukosa
normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV.
Extreme peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa menunjukan
infeksi tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal.
Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri, jamur,
virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk
mendiagnosis enterovirus dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat
dari biakan virus. Leukositosis adalah umum ditemukan. Kultur darah
positif pada 90% kasus.
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi
komponen ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas
gelombang lambat, walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi
neuroimaging mungkin normal atau mungkin menunjukkan
pembengkakan otak difus parenkim atau kelainan fokal.
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma
pneumoniae, cat- scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM
serum atau CSF untuk infeksi virus West Nile tersedia, tetapi reaktivitas
silang dengan flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi.
pengujian serologi tambahan untuk patogen kurang umum harus dilakukan
seperti yang ditunjukkan oleh perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain
pengujian serologi, sampel CSF dan tinja dan usap nasofaring harus
diperoleh untuk biakan virus. Dalam kebanyakan kasus ensefalitis virus,
virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan pengujian
ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih belum
ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari
penyebab ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik
fokal. Biopsi otak mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat
yang tidak menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas.
HSV, rabies ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit
dan kuru) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi
patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin penting untuk
mengidentifikasi arbovirus dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi
jamur, dan penyakit non-menular, terutama primer SSP vasculopathies
atau keganasan
6. Tatalaksana
MENINGITIS
A. Meningitis Bakterial
Pengobatan pada kasus meningitis bakterial harus dilakukan
sesegera mungkin, bahkan saat diagnosis baru mulai terarah ke meningitis.
Namun, idealnya haruslah dilakukan kultur darah dan analisis liquor
cerebrospinal terlebih dahulu, sebelum antibiotik mulai diberikan.
Pada bayi dan anak-anak, tatalaksana meningitis bakteri meliputi
terapi antibiotic yang tepat dan terapi suportif. Dimaksud dengan terapi
suportif disini adalah, misalnya pemberian cairan untuk mencegah
gangguan elektrolit dan memastikan balans cairan berada pada level yang
normal. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga output urin
dan perfusi jaringan yang memadai, serta menghindari dehidrasi.
Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat
memempengaruhi aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam
liquor cerebrospinal.
Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan
tatalaksana kejang. Yaitu pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang masih berlanjut, kembali berikan
diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Jika kejang masih belum
berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kg BB, secara
intramuskular, 24 jam kemudia, diberikan dosis maintenance 4-5 mg/kg
BB h hari.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama
pengobatan. Namun, pada umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-
21 hari. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan lumbal pungsi ulanganm
untuk memverifikasi apakah terapi yang telah diberikan, berjalan sesuai
dengan harapan atau tidak.
Berdasarkan penelitian oleh Infectious Diseases Society of
America (IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis, pada tahun
2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone adalah yang paling
dianjurkan. Kombinasi ini memberikan respon adekuat terhadap
Streptococcus pneumonia dan Haemophillus influenza tipe B. Perlu
dicatat bahwa tidak dianjurkan untuk mengganti ceftriaxone dengan
ceftazidine, karena kemampuan bakteriostatiknya terhadap Streptococcus
pneumonia, kurang baik.
Terapi dengan karbapenem dapat dipertimbangkan sebagai pilihan,
pada patogen yang resisten sefalosporin. Sedangkan penggunaan
fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal setelah diberikan terapi
sebelumnya.
Sedangkan pada meningitis tuberkulosis, pada dasarnya, terapi
yang diberikan adalah pemberian kombinasi obat anti-tuberkulosis, serta
kortikosteroid.Tidak lupa juga diberikan penambahan obat simtomatik
(misalnya anti-kejang jika terdapat kejang dan koreksi dehidrasi bila
terjadi gangguan elektrolit. Terapi anti-tuberkulosis yang diberikan, sesuai
dengan konsep baku yang ada, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5 OAT
(isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol),
dilanjutkan dengan 12 bulan selanjutnya diberikan 2 OAT (isoniazid dan
rifampisin).
Terapi suportif lainnya yang masih bersifat kontroversial, adalah
pemberian glukokortikoid. Seperti telah dipelajari, bahwa sitokin
inflamatorik (interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor alfa)
memiliki pernah dalam patofisiologi meningitis bakterialis. Suatu
percobaan pada binatang laboratorium yang diinfeksi meningitis, dicoba
penambahan terapi glukokortikoid, hasilnya adalah ditemukan adanya
perbaikan meningitis. Pada empat percobaan acak, placebo-kontrol, pada
anak berusia lebih dari 2 bulan, terapi tambahan berupa deksametason
dapat mengurangi sekuele audiologik dan neurologik. Kontroversi disini
adalah karena keempat anak tersebut menderita meningitis akibat
Haemophillus influenza. Suatu riset terkini yang melibatkan anak dengan
meningitis Streptococcus pneumonia, perbaikan sekuele audiologik dan
neurologik yang terjadi tidak sesebustansial pada meningitis Haemophillus
influenza.
Berikut adalah gambar rekomendasi antibiotik untuk pasien suspek
meningitis bakterialis, yang telah terbukti positif pada pewarnaan gram.
Untuk durasi terapi antibiotik, belum ada durasi optimal yang
secara jelas direkomendasikan, bahkan untuk patogen yang insidensinya
cukup tinggi. Secara tradisional, jangka waktu 7 sampai 10 hari sudah
cukup untuk mengobati meningitis akibat Streptococcus pneumonia
hingga tuntas. Sedangkan untuk patogen lainnya, direkomendasikan
pemberian yang lebih lama, 10 sampai 21 hari. Pada suatu percobaan
acak, terapi dengan seftriakson pada anak dengan meningitis
Haemophillus influenza, terapi selama 7 hari ternyata memiliki efektivitas
yang sama dengan terapi selama 10 hari. Namun, pada praktek sehari-hari,
durasi terapi tiap-tiap pasien biasanya berbeda, karena kembali
disesuaikan secara individual, berdasarkan gejala klinis dan respons tubuh
serta patogennya itu sendiri.
B. Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien
tidak diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi
imunitas ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan
immunoglobulin intravena. Bukti anekdotla mendukung pemberian
asiklovir untuk bagian dari terapi meningitis Herpes Simplex virus,
Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus. Terapi ini biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan pasien
meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat.
Selain asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan valasiklovir. Studi
membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini, memiliki
efektifitas yang sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa digunakan
adalah 10 mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum ada
rumusan pasti untuk penggunaan famsiklovir, karena memang
penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan
bahwa dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari.
Untuk valaskilovir, dosis yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB,
3x sehari, dengan dosis maximum adalah 1000mg dalah 1 hari.
C. Meningitis Jamur
Terapi tentunya disesuaikan dengan etiologi funginya. Untuk meningitis
yang diakibatkan oleh infeksi Candida albicans, terapi awal pilihannya
adalah amfoterisin B (0,7 mg/kg bb/hari). Terapi lainnya yang juga dapat
diberikan adalah golongan azole, namun biasanya lebih sering digunakkan
sebagai terapi lanjutan. Etiologi tersering kedua, setelah Candida albicans,
adalah Coccidioides immitis. Pda infeksi oleh organisme ini, amtoferisin
B merupakan drug of choice. Dosis inisial adalah 0,1 mg untuk 3 kali
suntikan pertama. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 0,25-
0,5mg, 3-4 kalisetiap minggu. Perlu diketahui akan efek samping dari
amfoterisin B (nyeri punggung, nyeri tungkai). Jika memang pasien tidak
dapat menolerasi efek samping ini, terapi dapat diubah menjadi
Flukonazol oral (400mg / hari)
ENSEFALITIS
1. Ensefalitis supurativa
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
2. Ensefalitis virus
- Pengobatan simptomatis
Analgetik: Asam mefenamat 4 x 500 mg
Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan
penyebab herpes zoster-varicella.
Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200
mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.
5. Riketsiosis serebri
- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.
7. Prognosis
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh sempurna
walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pada kasus
yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya
memerlukan terapi jangka panjang.
Sedangkan prognosis ensefalitis tergantung dari keparahan penyakit klinis,
etiologi spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klnis berat dengan bukti adanya
keteribatan parenkim maka prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang
bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran.
Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes
simpleks
BAB IV
PENUTUP
iii