Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

hipoksik Iskemik Enselopati


Diajukan sebagai Salah SatuTugas dalamMenjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak
BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Disusun oleh:
Muhammad Arief

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE) masih merupakan penyebab mortalitas


dan morbiditas jangka panjang. HIE terutama dipicu oleh keadaan hipoksia otak,
iskemik oleh karena hipoksia sistemik seperti pada keadaan asfiksia perinatal dan
penurunan aliran darah ke otak.(1)
Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia) dan/atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai
organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia
sehingga dalam jaringan timbul asidosis laktat. Pengaruh hipoksia dan iskemia
tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor
tersebut menyebabkan asfiksia. Asfiksia dapat terjadi pada waktu pre, peri dan
postnatal.1 American Academy of Pediatrics (AAP) dan the American College of
College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) membuat definisi asfiksia
sebagai berikut : (1) adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7,00)
pada darah umbilikus atau analisis gas darah arteri apabila fasilitas tersedia; (2)
adanya nilai apgar persisten 0-3 selama >5 menit ; (3) manifestasi neurologis segera
pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotoni, koma, ensefalopati hipoksik
iskemik; dan (4) adanya gangguan fungsi multi organ segera pada waktu
perinatal.1,2.
HIE merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan
saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi
serebral atau retardasi mental. Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3-1,8 % di
negara-negara maju, sementara di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30 %
yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental (palsi serebral,
keterbelakangan mental). Di Indonesia belum ada catatan yang valid mengenai
kematian dan kecacatannya, tetapi diyakini lebih tinggi dari angka-angka di atas.4

1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama (inisial) : MAH
Tanggal Lahir : 18 September 2016
Umur (saat diperiksa) : 1 bulan 11 hari
Jenis Kelamin : Laki – laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Aceh Utara
No CM : 1-10-65-09
Tanggal Masuk : 22 Oktober 2016, pkl 09.43 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 29 Oktober 2016, pkl 09.00 WIB

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Kejang
 Keluhan Tambahan : Sesak napas, lemah, tidak kuat menghisap
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RS. Cut Meutia Lhokseumawe dibawa dengan riwayat
kejang – kejang yang pertama kali dialami 2 jam setelah lahir. Kejang yang terjadi
berupa kelonjotan seluruh tubuh yang disertai gerakan bola mata ke atas dan ke
bawah. Durasi kejang ± 5 menit dan berulang selama 1 minggu setelah lahir.
Diantara kejang dan setelah kejang pasien tidak bangun. Keluhan kejang ini disertai
dengan kebiruan pada seluruh tubuh pasien, lemas dan sedikitnya pergerakan bayi.
Menurut keterangan dari keluarga pasien, pasien lahir ditolong bidan dengan
keadaan tidak segera menangis, tidak bernapas dan tampak kebiruan pada seluruh
tubuh. Setelah dilakukan tindakan awal oleh bidan, pasien dapat bernapas spontan
yang diikuti dengan keadaan sesak napas. Kemudian pasien dirujuk ke RS. Cut
Meutia dan dirawat di ruang intensif dan dipasang alat bantu napas. Setelah 2 jam
dirawat, pasien mengalami kejang – kejang. 1 jam kemudian tubuh pasien berubah
menjadi kekuningan. Kekuningan pada kulit ini menghilang setelah hari rawatan

2
ke-7. Selama 1 minggu dirawat, pasien tampak lemas, jarang bergerak, jarang
menangis dan terkesan seperti tidak sadar. Pasien mengalami perubahan setelah 4
minggu dirawat. Pasien mulai bergerak dan menangis, namun masih terlihat lemah,
sesak napas dan kesulitan menghisap ketika disusui oleh ibunya.
Saat ini ibu pasien mengeluhkan bayinya mengalami sesak nafas . keluhan
ini sudah dialami sejak pasien dirawat di RS sebelumnya. Keluhan batuk, pilek dan
demam tidak dijumpai Selain itu ibu pasien juga mengeluh bayinya tampak lemah
dan tidak kuat menghisap ketika disususi, berat badan bayinya yang tidak
bertambah dan kekakuan otot terutama pada otot tangan dan leher.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengalami riwayat tidak bernapas spontan setelah lahir, riwayat
kejang sejak 2 jam setelah lahir, dan riwayat kuning pada kulit 3 jam setelah lahir.

 Riwayat Penggunaan Obat


Tidak ada data mengenai obat – obatan yang sudah didapatkan pasien selama
dirawat di RS. Cut Meutia. Saat dirujuk, pasien mendapatkan obat anti kejang
(luminal).

 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien. Riwayat HT,
Diabetes, asma, TB dan alergi dalam keluarga tidak ada.

 Riwayat Kehamilan
Ibu pasien ANC secara teratur ke bidan, riwayat hamil 1x, melahirkan 1x,
abortus tidak pernah. Penyakit yang dialami selama kehamilan berupa muntah –
muntah berlebihan pada kehamilan muda dan anemia, riwayat demam selama
kehamilan dan menjelang persalinan tidak ada. Obat – obat yang dikonsumsi
selama kehamilan yaitu asam folat, obat penambah darah dan anti muntah. Riwayat
vaksin tetanus saat hamil tidak ada. Ibu pasien hamil sampai usia kehamilan 40 – 42
minggu.

 Riwayat Persalinan

3
Pasien merupakan anak pertama, lahir post date secara pervaginam, dibantu
oleh bidan. Pasien lahir lewat bulan tidak segera menangis dengan berat
badan 3100 gram, PB dan LK ibu lupa. Pada saat persalinan ditemukan
adanya lilitan tali pusat pada leher bayi, juga ditemukan air ketuban berwarna
hijau.
 Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah diimunisasi sebelumnya.

 Riwayat Makanan
0 bulan - sekarang : ASI + susu formula

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5, compos mentis (not full alert)
Tekanan darah : tidak dilakukan
Heart Rate : 153 x/menit
Respiratory Rate : 44 x/menit
Temperatur : 36,1 ˚C
b. Antropometri
BBS : 2800 gr LK : 34 cm
PB : 51,5 cm LP : 32 cm
BBI : 3,7 kg LD : 30 cm
HA : 1 minggu 3 hari LiLa : 9 cm
Status gizi
BB/U : < -3 SD
PB/U : -3 s.d -2 SD
BB/PB : < -3 SD
LK/U : < -3 SD
Kesimpulan : gizi buruk

Kebutuhan Cairan : 100 x BB


100 x 2,8 = 280 cc/hari

• Kebutuhan Kalori : 108 x 3,7 = 399,6 kkal/hari

• Kebutuhan Protein : 2,2 x 3,7 = 8,14 gr/hari

c. Status Generalis
1) Kulit

4
Warna : putih kekuningan
Turgor : kembali cepat
Parut/skar : tidak dijumpai
Sianosis : tidak dijumpai
Ikterus : tidak dijumpai
Pucat : tidak dijumpai
2) Kepala
Bentuk : mikrosefali (LK = 34 cm), ubun-ubun besar teraba datar,
diameter ubun-ubun besar 2,5 cm
Rambut : berwarna hitam, sulit dicabut, distribusi merata
Wajah : simetris, parese nervus facialis (-/-), old man face (-)
Mata : edema palpebra (-/-), ptosis (-/-), konjungtiva palpebra
inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (/), parese nervus III, IV dan VI (-/-)
Telinga : normotia, sekret MAE (-/-), serumen MAE (+/+)
Hidung : nafas cuping hidung (+/+), sekret (-/-)
3) Mulut
Bibir : bibir kering (-), mukosa bibir lembab (), sianosis (-),
pucat (-)
Lidah : granul (-), kotor (-), makroglossy (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
4) Leher
Trakhea : terletak ditengah
KGB : pembesaran KGB tidak dijumpai
Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
TRM : kaku kuduk (-)
5) Thoraks
Inspeksi

5
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : simetris, kusmaul (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
intercostal (+)
Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : nyeri tekan (-/-), fremitus kanan = fremitus kiri, kesan
normal
Auskultasi : suara napas dasar vesikular (/), suara napas tambahan
rhonki (-/-) dan wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-)
6) Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-), pelebaran vena (-), hernia
umbilicalis (-)
Palpasi : soepel (+), nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar
kesan teraba pembesaran, renal dan lien tidak teraba
pembesaran, turgor cepat kembali
Auskultasi : peristaltik 3x/menit, kesan normal

7) Genitalia dan Anus


Normospadia, fimosis (-), hiperemis (-), udem (-), testis (+/+), hidrokel (-/-),
hernia scrotalis (-/-), anus (+)

8) Ekstremitas
Superior : ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin, CRT <2
detik, sianosis perifer (-/-), clubbing finger (-/-). spastik
(+/+)
Inferior : ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin, CRT <
2’’, sianosis perifer (-/-), clubbing finger (-/-),Spastik (-/-)

6
Status Neurologis
GCS : E4 M6 V5 (not full alert)
Mata : pupil bulat, isokor 3/3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+),
strabismus (-/-), ptosis (-/-).
TRM : kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-)
Nervus cranialis :
NI : tidak dapat dinilai
N II : Visus (1/∞ / 1/∞)
N III, N IV, NVI : Doll’s eye manuver (+/+), nistagmus (-/-)
N V : tidak dapat dinilai
N VII : wajah simetris (+/+)
N VIII : pendengaran (↓/↓)
N IX, NX : sulit dinilai
N XI : dalam batas normal
N XII : lidah simetris, tremor (-), fasikulasi (-)
Motorik : ekstremitas atas spastik (+/+), ekstremitas bawah
spastik (-/-)
Sensorik : sulit dinilai
Otonom : BAB (+) normal, BAK (+) normal
Reflek fisiologis : normo refleks (+/+)
Reflek patologis : babinski (-/-), chaddock (-/-)
Refleks primitif :
Rooting reflex : (-)
Sucking reflex : (+), lemah
Moro reflex : (+)
Tonic neck reflex : (+)
Plantar grasp reflex: (+)
Palmar grasp reflex: (+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
22/10/2016
Laboratorium
Darah Rutin
Hb 16,1 gr/dl* 9,0-14,0 gr/dl
Ht 46 %* 53-63 %
Leukosit 11.600/mm3 9.000-30.000/mm3
Eritrosit 5,1x106/mm3 4,4-5,8x106/mm3
Trombosit 307.000 /mm3 150.000-450.000/mm3
Hitung Jenis
Eosinofil 8 %* 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Neutrofil batang 1 %* 2-6 %

7
Neutrofil segmen 38 %* 50-70 %
Limfosit 43 %* 20-40 %
Monosit 10 %* 2-8 %
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 129 - 143 mmol/L
Kalium 5,2 mmol/L 3,6 – 5,8 mmol/L
Clorida 101 mmol/L 93 – 112 mmol/L
KGDS 91 mg/dL < 200 mg/dL
Ginjal
Ureum 16 mg/dl 13 – 43 mg/dl
Kreatinin 0,33mg/dl * 0,67-1,17 mg/dl

2.4.2 Pemeriksaan USG Kepala (25 Oktober 2016)

8
Kesimpulan : Pelebaran sistem ventrikel, terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
2.4.3 Pemeriksaan CT scan kepala (26 Oktober 2016)

Kesimpulan : Edema serebri


2.4.4 Pemeriksaan Elektroensefalografi (26 Oktober 2016)

9
Kesimpulan : EEG dalam batas normal

2.5 Diferensial Diagnosis


1. Neonatal seizure et causa
dd :
1. Hipoksik iskemik ensefalopati
2. Kelainan metabolik
+ Sepsis + Gizi buruk tipe marasmus
2.6 Diagnosis Kerja
Neonatal seizure et causa Hipoksik iskemik ensefalopati + Sepsis + Gizi
buruk tipe marasmus

2.7 Tatalaksana
 O2 kanul binasal 2 L/menit
 IVFD 4:1 10 gtt/menit (mikro)
 Inj. Ampicilin 100 mg/8jam
 Inj. Gentamisin 10 mg/12 jam

10
 Inj. Piracetam 50 mg/12 jam
 Diet ASI 30 cc setiap 3 jam via OGT/selang seling ad libitum

Rencana:
 Evaluasi kejang dan tanda vital
 DPJP divisi Neurologi Anak
 Konsul divisi nutrisi
 Konsul divisi tumbuh kembang
 Konsul rehabilitasi medik

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

2.9 Follow Up Harian


Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
22/10/2016 S/ kejang (-) sejak 2 minggu yang lalu, toleransi diet
melalui OGT baik
H1
BB: 2500 gr O/ HR: 153 x/m T: 36,3oC
RR: 30 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)

11
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment Hypoxic Ischemic Encephalopathy + Sepsis


Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-1)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-1)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV (H-2)
- Diet ASI/susu formula 30 cc/ 3 jam/ OGT
selang seling ad libitum

Rencana - Konsul bagian rehabilitasi medik → fisioterapi

Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
24/10/2016 S/ kejang (-), kurang bisa menghisap (-)
H2
O/ HR: 148 x/m T: 36,4oC
BB: gram RR: 30 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut

12
Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment - Sepsis (perbaikan)


- Sequele post sepsis
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-2)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-2)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-2)
- Diet ASI/susu formula 30 cc/ 3 jam/ OGT
selang seling ad libitum

Rencana - USG kepala


- Fisioterapi
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
25/10/2016 S/ kejang (-)
H3
O/ HR: 130 x/m T: 36,2oC
BB: 2600 gr RR: 35 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai

13
motorik: 5555/5555
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment - Sepsis (perbaikan)


- Sequele post sepsis
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-3)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-3)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-3)
- Diet ASI/susu formula 30 cc/ 3 jam/ OGT
selang seling ad libitum

Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
26/10/2016 S/ kejang(+) 1 kali
H4
O/ HR: 132 x/m T: 36,7oC
BB: gram RR: 30 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)

14
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

P. Penunjang :
USG kepala (25/10/2016) → terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
Assesment - Sepsis (perbaikan)
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-4)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-4)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-4)
- Luminal 2 x 5 mg
- Diet ASI/susu formula 30 cc/ 3 jam/ OGT
selang seling ad libitum

Rencana - CT scan kepala


- EEG
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
27/10/2016 S/ kejang (-)
H5
O/ HR: 132x/m T: 36,6oC
BB: gr RR: 32 x/m

15
P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), Tangisan lemah (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + spastik)
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

P. Penunjang :
- USG kepala (25/10/2016) → terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
- CT Scan (26/10/2016) → Edema Serebri
Assesment - Sepsis (perbaikan)
- Edema Serebri
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-5)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-5)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-5)
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV
- Luminal 2 x 5 mg
- Diet ASI/susu formula 30 cc/ 3 jam/ OGT

16
selang seling ad libitum

Rencana - Elektroensefalografi
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
28/10/2016 S/ kejang (-), menangis lemah (-), menghisap lemah (-)
H6
O/ HR: 140 x/m T: 36,6oC
BB: 2800 gr RR: 35 x/m
LK : 34 cm
P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), Tangisan lemah (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + spastik)
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

P. Penunjang :
- USG kepala (25/10/2016) → terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
- CT Scan (26/10/2016) → Edema Serebri

17
Assesment - Sepsis (perbaikan)
- Edema Serebri
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-6)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-6)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-6)
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV
- Luminal 2 x 5 mg
- Diet ASI/susu formula 40 cc/ 3 jam/OGT selang
seling ad libitum

Rencana - Elektroensefalografi (+), hasil (-)


- Konsul kardiologi anak
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
29/10/2016 S/ kejang (+) 1 kali, lemah(+)
H7
O/ HR: 124 x/m T: 36,2oC
BB: gram RR: 24 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), Tangisan lemah (+), menghisap
lemah (+), kejang (+) 1 kali
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + spastik)
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)

18
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+) normal,
ruam kemerahan di lipat paha

P. Penunjang :
- USG kepala (25/10/2016) → terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
- CT Scan (26/10/2016) → Edema Serebri
Assesment - Sepsis (perbaikan)
- Edema Serebri
- Diaper rash
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-7)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-7)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-7)
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV
- Luminal 2 x 5 mg
- Gentamisin + Miconazol cream 2 x sehari
- Diet ASI/susu formula 40 cc/ 3 jam/ OGT
selang seling ad libitum
-
Rencana - Elektroensefalografi (+), hasil (-)
- Konsul kardiologi anak
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
30/11/2015 S/ kejang (-), menghisap lemah (+)
H8
O/ HR: 132 x/m T: 36,5oC
BB: gram RR: 21 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5, compos mentis
napas spontan (+), Tangisan lemah (+), menghisap
lemah (+), kejang (+) 1 kali
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal

19
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + spastik)
5555/5555

Kepala: mikrosefali, rambut hitam, sulit dicabut


Mata: pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+),
RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-), anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (+), lembab (+), gusi berdarah
(-/-),
dinding faring hiperemis (-), sekret (-)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) dinamis & statis, RIC (-/-), RSC
(-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-), BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+) normal,
ruam kemerahan di lipat paha

P. Penunjang :
- USG kepala (25/10/2016) → terdapat tanda-tanda
hidrosefalus
- CT Scan (26/10/2016) → Edema Serebri
Assesment - Sepsis (perbaikan)
- Edema serebri
- Diaper rash
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-8)
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-8)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-8)
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV
- Luminal 2 x 5 mg
- Gentamisin + Miconazol cream 2 x sehari
- Diet ASI/susu formula 40 cc/ 3 jam/OGT selang
seling ad libitum

Rencana - cek lab darah rutin


Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan

20
31/10/2016 S/ Kejang (-), rewel (+)
H9
O/ HR: 140 x/m T: 36,2oC
BB: RR: 30 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5
napas spontan (+), kejang (-)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + Spastik)
5555/5555

Kepala: normocephali, rambut dicukur, distribusi


normal
Mata: cekung (-/-),pupil bulat isokor  3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-),
Konjungtiva anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (-), lembab (+), gusi berdarah (-/-),
candidiasis (-), dinding faring hiperemis (-)
stomatitis (+)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) saat dinamis & statis, RIC (-/-),
RSC (-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+),
vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-),BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment - Sepsis (perbaikan)


- Edema serebri
- Diaper rash
- Stomatitis
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro)
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV (H-8)

21
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV (H-8)
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV(H-8)
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV
- Luminal 2 x 5 mg
- Gentamisin + Miconazol cream 2 x sehari
- Nyndia 3 x 0,5 cc
- Diet ASI/susu formula 40 cc/ 3 jam/OGT selang
seling ad libitum
Rencana - Konsul tumbuh kembang
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
1/11/2016 S/ Kejang (-),
H10
O/ HR: 135 x/m T: 36,2oC
BB: 2800 gram RR: 35 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5
napas spontan (+), kejang (-), menghisap sedang(+)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + Spastik)
5555/5555

Kepala: normocephali, rambut dicukur, distribusi


normal
Mata: cekung (-/-),pupil bulat isokor  3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-),
Konjungtiva anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta
(-/-)
Mulut : bibir pucat (-), lembab (+), gusi berdarah (-/-),
candidiasis (-), dinding faring hiperemis (-)
stomatitis (+)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) saat dinamis & statis, RIC (-/-),
RSC (-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+),
vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-),BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan

22
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment - Sepsis (perbaikan)


- Edema serebri
- Diaper rash
- Stomatitis
Terapi - IVFD 4:1 10 gtt/’ (mikro) → stop
- Inj. Ampicilin 100 mg/8 jam/IV → stop
- Inj. Gentamicin 10 mg/ 12 jam/IV → stop
- Inj. Piracetam 50 mg/ 12 jam/IV → stop
- Inj. Furosemid 2 mg/12 jam/IV → stop
- Luminal 2 x 5 mg
- Gentamisin + Miconazol cream 2 x sehari
- Nyndia 3 x 0,5 cc
- Diet ASI/susu formula 50 cc/ 3 jam ad libitum
Rencana - Konsul tumbuh kembang
Tanggal/hari
Catatan dan Instruksi
rawatan
2/11/2016 S/ Kejang (-), kemampuan menghisap membaik
H11
O/ HR: 130 x/m T: 36,7oC
BB: 2700 gram RR: 32 x/m

P.Fisik/SSP
GCS: E4M6V5
napas spontan (+), kejang (-), menghisap sedang(+)
pupil bulat isokor  3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/
+)
TRM: kaku kuduk (-)
nervus cranialis dalam batas normal
sensorik: sulit dinilai
motorik: 5555/5555 (gerakan kurang aktif + Spastik)
5555/5555

Kepala: normocephali, rambut dicukur, distribusi


normal
Mata: cekung (-/-),pupil bulat isokor  3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+), sklera ikterik (-/-),
Konjungtiva anemis (-/-)
Telinga: normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung: NCH (-), sekret (-/-), rhinorrea (-/-), krusta

23
(-/-)
Mulut : bibir pucat (-), lembab (+), gusi berdarah (-/-),
candidiasis (-), dinding faring hiperemis (-)
stomatitis (+)
Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax: simetris (+/+) saat dinamis & statis, RIC (-/-),
RSC (-/-), SF kanan=kiri, sonor (+/+),
vesikuler
(+/+), wheezing/rhonki (-/-),BJ I>BJ II, reguler
Abdomen: simetris (+), distensi (-), soepel, hepar kesan
teraba, renal & lien tidak teraba, nyeri tekan
(-),
timpani (+), peristaltik usus (+), kesan normal
Genitourinaria: anus (+), BAB (+), BAK (+), normal

Assesment - Sepsis (perbaikan)


- Edema serebri
- Diaper rash
- Stomatitis
Terapi - Luminal 2x5 mg
- Piracetam 2x50 mg
- Gentamisin + Miconazol cream 2 x sehari
- Nyndia 3 x 0,5 cc
- Diet ASI/susu formula 50 cc/ 3 jam ad libitum
Rencana - Hasil EEG : dalam batas normal
- Rencanan PBJ

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke
sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut.3
Ensefalopati adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi
mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Apabila perubahan kesadaran, kejang dan kelainan neurologis disebabkan oleh
kelainan metabolik, toksik atau vaskular, maka hal itu disebut sebagai ensefaopati.

24
Ensefalopati disebut sesuai dengan penyebabnya, misalnya ensefalopati metabolik,
ensefalopati hipertensif dan ensefalopati hepatik.6
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada
otak akut yang disebabkan karena asfiksia.1 Ensefalopati hipoksik iskemik
merupakan kelainan yang paling utama sebagai penyebab gangguan neurologis
pada bayi baru lahir disamping perdarahan periventrikular-intraventrikular yang
menyebabkan kelainan neuropatologis terutama pada bayi kurang bulan.6

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3 – 1,8 % di negara-negara maju,
sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Insiden HIE di
(1)
Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup . Di Australia
(1995), angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan
angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian
kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. 15 hingga 20 % bayi
dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25 – 30 % yang bertahan hidup
mempunyai kelainan neurodevelopmental permanen. 4

3.3 Etiologi9
 Faktor maternal : hipertensi (akut atau kronik), hipotensi, infeksi (termasuk
korioamnionitis), Ruptur uteri, hipoksia karena gangguan paru-paru atau
jantung, diabetes, penyakit vaskuler ibu dan Vasokonstriksi pembuluh darah
uterus karena kokain.
 Faktor plasenta : plasenta yang abnormal, abrusio, infark dan fibrosis,
Abnormalitas pembuluh darah umbilikus.
 Faktor fetus : anemia, infeksi, kardiomiopati, hydrops, severe
cardiac/circulatory insufficiency.
 Faktor neonatal : penyakit jantung bawaan sianotik, Persistent pulmonary
hypertension of the newborn (PPHN), kardiomiopati dan syok septik.

25
3.4 Patofisiologi
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibanding pada orang
dewasa. Hal ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha
mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari paru-paru,
gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa tulang, otot dan kulit, menuju ke otak, jantung
dan adrenal (diving reflex). Pada distres fetal, peristaltik usus meningkat, sfingter
ani terbuka, mekonium akan keluar mengotori air ketuban, sehingga akan masuk ke
trakea dan peru-paru, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan/atau kekuningan.
Kombinasi antara hipoksia fetal yang kronis dengan cedera hipoksik iskemik akut
setelah lahir mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur
kehamilannya. Pada hipoksia ringan, detak jantung akan menurun, tekanan darah
meningkat untuk memelihara perfusi pada otak, tekanan vena sentral dan curah
jantung. Bila asfiksia berlanjut dengan hipoksia berat dan asidosis, detak jantung
akan menurun serta curah jantung menurun. Tekanan darah akan menurun sebagai
akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi. Selama
asfiksia, timbul produksi metabolisme anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusi
jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis sistemik,
asam laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan
perbaikan perfusi. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral
sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan
proses glikolisis anaerobik tidak efektif serta produksi ATP berkurang. Jaringan
otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya
asidosis yang disertai dnegan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi
serebrovaskuler dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan iskemia dan
menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan glukosa menjadi
berkurang, cadangan energi berkurang dan timbunan asam laktat meningkat.
Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak
menurun dan adanya kombinasi hipoksik-iskemik, menyebabkan kegagalan
sekunder dari oksidasi fosforilasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan

26
energi, maka ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O,
Ca2+ intraseluler, dan penimbunan K+, glutamat dan aspartate ekstraseluler.1,3,7
Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang mengalami
asfiksia sekarang masih dalam penelitian. Teori yang dianut kematian sel otak
melalui proses apoptosis dan nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau
kronis, lokasi dan stadium perkembangan parenkim otak yang cedera. 1,3,7
Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik ditandai
dengan sekelompok sel neuron edema, disintegrasi dari membran, pecahnya sel, isi
sel tumpah ke rongga ekstraseluler yang memberikan reaksi inflamasi dan
fagositosis. Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin
kelihatan piknotik, membran sel membentuk gelembung-gelembung (“blebbing”),
inti sel berfragmentasi dan sel terbelah-belah dengan masing-masing pecahan (yang
mnegandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus oleh membran sel yang
utuh, ini disebut “apoptotic bodies”. Apoptotic bodies ini kemudian akan
mengalami fagositosis oleh makrofag ataupun sel di sekitarnya. Kematian sel
nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately cell death) dan terutama
terjadi pada sel neuron yang matur. Sebaliknya kematian sel apoptotik terjadinya
lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang
immature. 1,3,7
3.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga
beberapa hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan
peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan
detak jantung janin dengan variasi irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan
detak jantung janin secara terus menerus memperlihatkan pola deselerasi yang
bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit kepala janin menunjukkan
pH<7,2. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama
pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk
memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera
mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP.3

27
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekonium dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya
terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam
kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau
tonus tampak normal.3
Derajat ensefalopati dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat HIE.
1. Derajat 1 : 1,6%
2. Derajat 2 : 24%
3. Derajat 3 : 78%
4. Ensefalopati > 6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi
terjadi kecacatan neurologi berat.
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan
angka rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%
2. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%
3. Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%

Tabel 2.1 pembagian HIE pada bayi aterm menurut Sarnat (1,3,9)

Tanda Klinis Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3


(Ringan) (Sedang) (Berat)

Tingkat Hyperalert/irrit Letargi Stupor, koma


kesadaran able

Tonus otot Normal Hipotonik Flaccid

Postur Normal Fleksi Decerebrate

Reflek Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada


tendon/klonus

28
Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak

Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada

Pupil Midriasis Miosis Tidak sama, reflek


cahaya lemah

Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi

EEG Normal Voltase rendah Burst supression


sampai bangkitan ke isoelektrik
kejang

Lamanya <24 jam 24 jam sampai 14 Beberapa hari-


hari minggu

HIE derajat I disebut juga HIE ringan dengan manifestasi letargi dan
iritabilitas tanpa kehilangan kesadaran sesudah lahir. Gambaran karakteristik adalah
jitteriness dan aktivitas simpatis yaitu takikardi, pupil dilatasi dan berkurangnya
sekresi bronkial serta ludah. Tonus otot normal pada waktu istirahat tetapi pada
wktu pemeriksaan akan terjadi head log. Refleks tendon normal atau sedikit
meningkat kadang terdapat klonus. Refleks moro normal dan bila dirangsang terjadi
gerakan fleksi dan ekstensi berulang. Kejang biasanya tidak terjadi pada stadium ini
kecuali terdapat hipoglikemi sebagai penyebab. Gejala-gejala tersebut di atas segera
hilang dalam waktu 24 jam dan kemungkinan bayi sembuh sempurna.1,3,5,7,9,
HIE derajat II disebut juga HIE sedang. Pada keadaan ini bayi mneunjukkan
letargi sampai sopor dalam waktu 12 jam pertama dan terjadi jitteriness bila
dirangsang. Pada waktu istirahat terdapat hipotoni, pergerakkan spontan pada kedua
tungkai tidak ada. Sesudah 48-72 jam bila keadaan membaik akan menuju ke arah
gejala ensefalopati hipoksi-iskemik ringan. Bila keadaan memburuk terjadi
penurunan kesadaran sampai selanjutnya terjadi kejang.1,3,5,7,9
HIE derajat III disebut juga HIE berat. Pada keadaan ini bayi menunjukkan
penurunan kesadaran sopor atau koma setelah lahir dan usaha bernafas pun sulit

29
sehingga memerlukan pertolongan. Kejang timbul dalam 12 jam pertama.
Manifestasi lain adalah hipotoni, refleks tendon negatif, refleks moro dan tonic
neck negatif, refleks menghisap dan menelan hilang tapi refleks pupil dan
okulovestibular masih ada. Beberapa bayi menunjukkan perbaikan sementara dalam
tingkat kesadaran, tetapi kebanyakan masih tetap dalam keadaan koma dan sering
mnunjukkan kejang yang berlanjut dengan status epileptikus. Dalam keadaan ini,
respon terhadap antikonvulsan biasanya tidak baik. Selanjutnya dalam waktu 24
sampai 72 jam terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan koma,
ubun-ubun besar membonjol, refleks pupil dan okulovestibular menghilang dan
terjadi penghentian pernafasan yang akhirnya meninggal. Apabila terjadi perbaikan,
kesadaran akan membaik dari koma menjadi sopor atau somnolen, frekuensi kejang
berkurang, tonus otot meningkat, jittiriness timbul bila anak dirangsang dan
selanjutnya anak dalam keadaan cacat.3,5,7,9
Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ,
yaitu : otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna dan sumsum tulang. Susunan
saraf pusat merupakan organ yang paling sering terkena (72%), ginjal 42 % kasus,
jantung 29%, Gastrointestinal 29 % dan paru-paru 26%.
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal
nafas dan insufisiensi sirkulasi.

3.6 Penegakan Diagnosis


Diagnosis hipoksia perinatal dapat ditegakkan berdasarkan penilaian awal
pada neonatus, risiko yang dialami neonatus dengan Apgar skor yang rendah,
gangguan pH, serta presentasi klinis. Presentasi klinis dari hipoksia perinatal dapat
bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh trauma lahir, aspirasi mekonium, hipertensi
pulmonal. Rendahnya apgar skor lebih lanjut akan menggambarkan kerusakan
integritas kardiovaskular, penilaian ini apabila didapatkan Apgar skor =3 pada
menit ke -10 termasuk faktor depresi akibat anestesi, trauma, infeksi, dan gangguan
kardiopulmonal. Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH = 7, base defisit =16
mmol/L.12

30
Hipoksia perinatal yang perlu diwaspadai menjadi gangguan
neurodevelopmental jangka panjang apabila didapatkan denyut jantung <60
kali/menit, Apgar =3 pada 10 menit, memerlukan ventilasi tekanan positif pada
menit 1 atau belum menangis lebih dari 5 menit, kejang pada usia 12 sampai 24
jam, gambaran burst suppressed pada EEG.12
Adanya kejang yang terdeteksi pada awal jam pertama kehidupan
menunjukkan prognosis ke arah yang lebih buruk. Pada saat kejang, metabolisme
energi akan meningkatkan hiperaktivitas neuron dan berimplikasi pada
eksitoksisitas. Pemantauan kejang dapat dilakukan dengan menggunakan
Electroencephalography (EEG), atau menggunakan Cerebral Function Monitor
(CFM) yang menggunakan metode Amplitude-Integrated Electroencephalography
(aEEG)13
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Horn dkk, dilakukan penilaian
prediksi gangguan ensefalopati sedang dan berat yang akan timbul pada 5 hari
pertama, kerusakan yang tersering ditemukan adalah pada bagian fronto-parietal.
Gambaran EEG yang tampak abnormal minimal maupun normal pada kasus HIE
dapat mengalami perubahan perburukan pada follow up 2 tahun kemudian.14
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal. Pemeriksaan
tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut dan
pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan. Jenis-jenis pemeriksaan lainnya yaitu6:
1. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah, urin, serum elektrolit, BUN dan
serum kreatinin, faal pembekuan darah, faal hati dan analisis gas darah.
2. Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial atau menyingkirkan adanya meningitis.
3. MRI : untuk mnegetahui status mielinisasi, prognosis, follow up dan
perkembangandefek yang ada di otak.
4. USG : Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk
mendeteksi kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi
kelainan.

31
5. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan.
Resiko terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82%
pada bayi yang memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan
berat
6. EEG : untuk menentukkan pengobatan dan prognosis penderita.
7. Nuclear magnetic resonance : Dapat memperlihatkan struktur otak dan
fungsinya dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
8. Somatosensory evoked potential : terdapat hubungan erat antara hasil
akhir dengan SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai
hasil SEP yang normal pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP
abnormal pada usia < 4 hari akan mempunyai kelainan pada
pengamatan di usia selanjutnya.

3.7 Diagnosis Banding


Perlu dipikirkan penyakit atau keadaan lain yang menifestasi klinisnya
berupa ensefalopati neonatal, yaitu : 1) pengaruh sedasi, pemberian anastesi dan
analgesia lainnya pada waktu persalinan, 2) infeksi virus, sepsis atau meningitis, 3)
kelainan kongenital susunan saraf pusat, jantung dan paru, 4) penyakit
neuromuskuler, 5) trauma persalinan dan 6) kelainan metabolisme bawaan.1

3.8 Tatalaksana
Bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pada berbagai
fungsi organ, sehingga penanganannya memerlukan pendekatan multi disiplin.
1. Upaya yang optimal adalah pencegahan. Tujuan utama yaitu untuk
mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunya faktor
resiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya.
2. Resusitasi. Segera dilakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau
HIE.
a. ventilasi yang adekuat, usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2
dalam kadar yang fisiologis
b. oksigenasi yang adekuat

32
c. perfusi yang adekuat
d. koreksi asidosis metabolik
e. pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75-100 mg/dL
f. kadar kalsium harus dipertahankan dalm kadar yang normal.
g. Atasi kejang. Bila ada kejang, maka phenobarbital adalah obat pilihan.
Dosis 20mg/kg diberikan IV dalam 10-15 menit. Dosis ini dapat
mencapai kadar dalam darah 20 g/ml. Phenobarbital dapat diberikan
secara intramuskuler. Dosis intramuskuler yang diberikan adalah 10-15
% lebih tinggi dari pemberian IV. Jika kejang hilang diberikan dosis
rumatan 3-4 mg/kgBB/hari dengan selisih waktu 12 jam kemudian.
Secara teoritis, bila penderita masih kejang, dapat diberikan tambahan
phenobarbital dosis 5 mg/kgBB setiap 5 menit sampai kejang berhenti
atau sampai dosis 40mg/kgBB sudah tercapai. Tetapi kenyataannya
neonatus yang mengalami asfiksia dan mendapatkan phenobarbital dosis
20mg/kgBB akan mengantuk dan sulit dianalisis neurologisnya. Oleh
karena itu, apabila neonatus yang mengalami asfiksia dan kejang yang
telah diberikan phenobarbital sampai dosis 20mg/kgBB tidak
memberikan respon, maka diberikan fenitoin dengan dosis 20mg/kgBB
IV dalam waktu 30 menit atau 1mg/kgBB/menit, dilanjutkan dengan
dosis rumatan 5-10mg/kgBB/hari diberikan setiap 8 jam. Pada umumnya
dengan pengobatan kombinasi phenobarbital dan fenitoin maka 85%
kejang dapat diatasi. Bila kejang berlanjut maka diberikan lorazepam
dengan dosis 0,05-0,10 mg/kgBB IV dalam waktu beberapa menit.
h. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mnecegah
timbuknya edema serebri dengan cara mencegah overload cairan.
Restriksi cairan dengan pemberian 60ml/kgBB/hari/ waspadailah
kemungkinan timbulnya SIADH (Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone Secretion). Penggunaan glukokortikoid dan agent
osmotik tidak direkomendasikan.
i. Terapi hipotermi
Ada beberapa mekanisme yang diperkirakan berkaitan dengan sifat
neuroprotektif hipotermia. Hipotermia memodifikasi sel yang terpogram

33
mengalami apoptosis sehingga sel-sel tersebut dapat bertahan hidup.
Hipotermia juga melindungi neuron dengan mengurangi pelepasan
amino eksitatorik (glutamat dan dopamin), memberikan ambilan
glutamat yang terganggu oleh iskemia, serta menurunkan produksi NO
dan radikal bebas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
penurunan suhu otak sebesar 2-3 C segera setelah cedera hipoksik-
iskemik akan mengurangi penggunaan energi da atau kehilangan neuro
secara histologik. Hipotermia terapeutik bertujuan untuk mneurunkan
suhu struktur otak dalam, ganglia basalis, hingga 32-34 C. Untuk
menurunkan suhu otak dalam tersebut dibutuhkan penurunan suhu pusat
tubuh bayi hingga suhu dibawah 35 C. Selama beberapa dekade,
hipotermi dalam hingga suhu di bawah 28 C telah memperlihatkan
manfaat terhadap neuroproteksi selama henti jantung dalam pembedahan
jantung dan saraf. Hipotermi ringan (32-34 C) tampaknya dapat
ditoleransi dalam sejumlah penelitian pada hewan dan orang dewasa.
Efek merugikan yang mungkin timbul, seperti sinus bradikardia,
peningkatan tekanan darah dan peningkatan kebutuhan oksigen, bersifat
sementara dan reversibel dengan penghangatan. Pada studi meta-analisis
Cochrane terhadap 8 buah studi acak terkontrol, yang melibatkan 638
bayi cukup bulan dengan ensefalopati sedang atau berat dan bukti
asfiksia intrapartum, menyatakan bahwa hipotermia terapeutik
bermanfaat bagi bayi cukup bulan dengan HIE. Terapi cooling
mengurangi mortalitas tanpa meningkatkan disabilitas mayor pada bayi
yang bertahan hidup. Dengan demikian manfaat cooling melebihi efek
merugikan jangka pendek. Indikasi terapi cooling :
1. Neonatus dengan usia gestasi > 35 minggu
2. Usia kurang dari 6 jam
3. HIE derajat sedang atau berat
4. Bukti mengalami hipoksia-iskemik peripartum, minimal 2 dari tanda di
bawah ini :
a. Nilai apgar 5 atau kurang pada menit ke 10 dan/atau

34
b. Ventilasi mekanik atau membutuhkan resusitasi pada menit ke 10
dan/atau
c. pH darah tali pusat < 0,7 pH darah < 0,7 atau defisit basa > 12 dalam 1
jam setelah lahir.

Kontraindikasi terapi cooling pada bayi dengan HIE :


1. cooling tidak dapat dimulai dalam waktu 6 jam setelah lahir
2. BB < 2 kg
3. Kebutuhan oksigen > 80%
4. Kelainan kongenital mayor
5. Koagulopati berat
6. Kematian tidak dapat dihindari
7. Anus imperforata

3.9 Komplikasi
Berdasarkan waktunya, jejas yang ditimbulkan oleh kejadian hipoksik
iskemik dibagi menjadi dua yaitu akut dan berkelanjutan. Kerusakan otak yang
disebabkan oleh fase akut contohnya terjadinya ruptur uterus, sering diikuti dengan
adanya bradikardia, dan jejas otak yang ditimbulkan lebih ke arah bagian tengah
otak. Sebaliknya jejas otak yang disebabkan proses yang berkelanjutan akan disertai
terdeteksinya perlambatan denyut jantung janin (contohnya insufisiensi plasenta)
lebih banyak menyebabkan jejas otak pada daerah wathershed zone.25 Gangguan
perkembangan lebih lanjut yang disebabkan oleh jejas akut antara lain cerebral
palsy, athetoid, spastik kuadriplegia, mikrosefal, gangguan kognitif. Kerusakan
pada watershed akan menyebabkan berbagai gangguan kognitif, kerusakan
penglihatan (tabel 1). 25,26
Lamanya waktu terjadinya hipoksia serta tingkat keparahan
gangguan neurologisnya sangat berpengaruh menentukan dampak hipoksia tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson pada tahun 2002 dengan
membandingkan tingkat kemampuan motorik dan kognitif anak usia sekolah
didapatkan anak dengan riwayat HIE stadium 3 memiliki gangguan
neurodevelopmental yang parah dibandingkan dengan HIE stadium 1 dan 2.15

Tabel. Hubungan hipoksia, kerusakan otak dan disabilitas

35
Palsi serebral / cerebral palsy (CP) merupakan dampak jangka panjang yang
seringkali dikhawatirkan terjadi. Gangguan ini merupakan kerusakan permanen non
progresif pada otak yang terjadi sebelum, selama atau setelah lahir, namun
intervensi dini dapat meminimalisasi kelainan neurologis pada penderita CP.
Diduga kerusakan terjadi pada daerah gangglia basalis, thalamus dan area
perirolandik akibat hipoksia perinatal berperan pada terjadinya CP di masa yang
akan datang.16
Palsi serebral / cerebral palsy (CP) tipe diskinetik lebih sering terlihat pada
asfiksia acute near total, pada pemeriksaan magnetic resonance imagine (MRI)
akan terlihat gambaran substansia alba pada korteks perirolandik. Berdasarkan
penelitian Barnet pada tahun 2004 dengan menggunakan Griffith Mental
Development Scales didapatkan anak dengan ensefalopati neonatal sedang berisiko
menjadi CP pada 12 bulan berikutnya dengan persentase 23–82%. 30 Disfungsi
motorik pada penderita CP bisa disebabkan primer karena lesi otak yang terjadi,
berupa gangguan tonus otot, keseimbangan, kekuatan otot, dan sensasi, sekunder
berupa kontraktur dan deformitas, serta tersier berupa mekanisme adaptif dan
respons terhadap gangguan primer dan sekunder. Anak dengan gangguan
ensefalopati neonatal yang terdiagnosis CP pada usia 12 bulan memiliki prognosis
neurodevelopmental yang buruk, sedangkan pada riwayat ensefalopati neonatal
ringan, rata-rata anak memiliki kemampuan sama dengan teman sebayanya yang
lahir tanpa riwayat asfiksia. Pencegahan atau penanganan yang tepat pada masalah-
masalah yang menyertai CP akan meningkatkan kualitas hidup penderita CP dan
keluarganya.15

36
Dampak lain yang seringkali menyertai adalah gangguan kognitif dan
tingkah laku seringkali diakibatkan oleh ensefalopati neonatal. Gangguan kognitif
dapat terjadi akibat jejas substansia alba, thalamus, dan gangglia basalis.9 Gangguan
kemampuan kognitif yang seringkali terdeteksi pertama kali adalah keterlambatan
membaca dan berhitung serta mulai tampak pada usia sekolah. 16
Struktur ini terkait dengan fungsi kognitif seperti ingatan dan perhatian yang
merupakan patogenesis terjadinya gangguan attention deficit hyperactive disorder
(ADHD), autisme dan skizofrenia.9,15,31,32 Berdasarkan penelitian Badawi, dkk anak
dengan riwayat ensefalopati neonatal sedang sampai berat memiliki risiko
berkembang menjadi gangguan tingkah laku autisme.16
Hal yang memperberat gangguan neurodevelopmental pada anak dengan
riwayat hipoksia adalah adanya gangguan fungsi indra antara lain penglihatan dan
pendengaran. Beberapa hal yang perlu terus dipantau pada anak yang memiliki
risiko hipoksia perinatal antara lain adanya sensori hearing loss pada tahun pertama
serta gangguan penglihatan akibat jejas pada korteks lateral oksipitoparietal
bilateral yang mempengaruhi penglihatan. Tatalaksana yang tepat dengan
monitoring ketat akan mencegah terjadinya kasus ambliopia sekunder di masa yang
akan datang dan mengoptimalkan penglihatan. Hipoksia menyebabkan terjadinya
hiperpolarisasi sel rambut dalam yang dapat mengakibatkan perubahan pada neuron
pendengaran. Menurut satu teori pelepasan spontan pada neuron pendengaran
merupakan hasil dari pelepasan spontan transmiter oleh sel rambut. Dengan adanya
rangsangan suara akan menyebabkan depolarisasi dari sel rambut yang akan
mengakibatkan peningkatan pelepasan transmiter kimia dan loncatan saraf. Pada
hipoksia akan terjadi hiperpolarisasi dari sel rambut yang akan mengakibatkan
penurunan jumlah transmiter yang dilepaskan dan berakibat penurunan dari
aktivitas saraf. Dalam penelitian histopatologi tulang temporal, lesi koklea telah
diamati pada bayi dengan asfiksia berat. Hal ini didukung dengan fakta bahwa
amplitudo, masa laten, dan interval gelombang interpeak semua terpengaruh yang
menunjukkan terjadinya kerusakan.33 Kejadian HIE yang disertai hipertensi

37
pulmonal memberikan risiko lebih tinggi untuk keterjadian tuli sensorineural, oleh
karena itu penting untuk dilakukan skrining awal pendengaran.

3.10 Prognosis
Penderita yang mengalami HIE, prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh
total, cacat atau emninggal dunia. Pada stadium ringan umumnya sembuh total,
pada stadium sedang 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada
lebih dari 5-7 hari. Prognosisnya buruk apabila1,8 :

1. Asfiksia berat berkepanjangan


2. HIE stadium berat50% meninggal dunia, sisanya timbul gejala sisa yang
berat
3. Kejang sulit diatasi, muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan
multiorgan
4. Kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan, 51 %
akan timbul epilepsi
5. Adanya oligouria persisten
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir
7. Adanya kelainan EEG sedang sampai berat
8. Adanya kelainan CT Scan berupa perdarahan berat, leukomalasia
periventrikuler (PVL) atau nekrosis
9. Kelainan MRI yang timbul 24-72 jam pertama setelah lahir.

38
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang bayi laki-laki berusia 1 bulan 11 hari rujukan dari
RS. Cut Meutia Lhokseumawe yang dirujuk dengan riwayat kejang – kejang yang
pertama kali dialami 2 jam setelah lahir. Keluhan ini diawali oleh keadaan asfiksia
pada saat lahir. Keluhan kejang ini juga disertai dengan penurunan kesadaran,
gerakan yang kurang aktif, kekakuan pada otot tangan dan leher, serta kelemahan
menghisap ketika disusui.
Kejang merupakan suatu disfungsi neurologis yang sering dijumpai pada
neonatus. Hal ini disebabkan karena masa neonatus lebih beresiko untuk terjadi
kejang dibandingkan dengan periode kehidupan lain. Insidensi kejang pada
neonatus yaitu sekitar 57,6 per 1.000 neonatus dengan berat badan lahir < 2.500
gram dan 8 dari 1.000 neonatus dengan berat badan lahir 2.500-3.999 gram. Salah
satu penyebab kejang pada neonatus yaitu hypoxic ischemic encephalopathy (HIE)
akibat asfiksia perinatal. Keadaan asfiksia perinatal terjadi pada 29,9 per 1.000
kelahiran bayi aterm dengan angka mortalitas sekitar 37-39% dan angka morbiditas
sekitar 38-45%. HIE merupakan penyebab kejang pada neonatus yang paling sering
terjadi pada bayi aterm. Angka kejadiannya mencapai 50-60% dari seluruh kejang
neonatus. Penyebab lain pada kejang neonatus yaitu infeksi intrakranial dengan
angka kejadian 5-10%, dan penyebab lain dengan angka kejaidan lebih rendah
seperti kelainan metabolik, benign idiopathic neonatal seizure, drug withdrawal
dan toksisitas obat.17,18,19
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada kasus ini
ditegakkan diagnosis neonatal seizure ec. dengan diagnosis banding 1) HIE, 2)
kelainan metabolik. HIE sering dijadikan patokan utama mekanisme terjadinya
kejang pada neonatus, namun tidak menutup kemungkinan hal ini didasari oleh
penyebab lain. Jika dikaitkan dengan etiologi secara umum, neonatal seizure dapat
disebabkan oleh lompatan elektrik yang berlebihan pada sistem saraf pusat akibat
depolarisasi yang berlebihan. Depolarisasi yang berlebihan ini dapat disebabkan

39
oleh berbagai hal : 1) gangguan produksi energi yang menyebabkan gangguan pada
pompa ion Na+/K+, keadaan yang menyebabkan hal ini antara lain distres
pernafasan, hipoglikemia dan sepsis. 2) Adanya neurotransmitter eksitator yang
berlebihan, keadaan yang menyebabkan hal ini antara lain hipoksia jaringan dan
hipoglikemia. Keadaan ini meningkatkan produksi glutamat yang berlebihan yang
dapat mencetuskan kejang. 3) Gangguan produksi neurotransmitter inhibitor ,
keadaan ini disebabkan oleh adanya kekurangan pyridoxine. 4) interaksi ion yang
menyebabkan gangguan pompa ion NA+/K+, keadaan ini disebabkan oleh
hipokalsemia dan hipomagnesemia yang menyebabkan influks natrium yang
berlebihan sehingga terjadi depolarisasi. Beberapa penyebab neonatal seizure
lainnya yang jarang ditemukan yaitu benign familial neonatal convulsions, yaitu
suatu gangguan genetik bersifat autosomal dominan. Penyabab kejang pada masa
neonatal juga dapat ditentukan berdasarkan usia saat terjadinya onset kejang.
Kejang yang terjadi pada usia 1-4 hari dapat disebabkan oleh HIE, kelainan
metabolik (hipoglikemia, sepsis), perdarahan intraventrikuler, toksisitas obat dan
defisiensi pyridoxine. Pada usia 4-14 hari etiologi kejang yang paling sering adalah
infeksi (meningitis, ensefalitis) dan gangguan metabolik (hipokalsemia,
hipoglikemia persisten, galaktosemia). Antara usia 2 minggu sampai 8 minggu
kejang dapat disebabkan oleh infeksi (meningitis, ensefalitis), kelainan metabolik
(kelainan metabolik yang diturunkan) dan gangguan perkembangan otak
(malformations of cortical development). Appleton dkk. Telah membuat suatu tabel
untuk merangkum penyebab kejang pada neonatus sebagai berikut.18,19

40
Gambar 4.1 Etiologi neonatal seizure berdasarkan onset kejang18

Pada kasus ini onset terjadinya kejang yaitu hari pertama kelahiran dimana
keadaan ini didahului oleh asfiksia pada saat lahir dan beberapa jam setelah
kelahiran, selain itu juga ditemukan kelainan pada kehamilan yaitu adanya lilitan
tali pusat yang diduga sebagai penyebab asfiksia perinatal pada neonatus. Selain itu
bayi juga lahir post date dengan air ketuban berwarna kehijauan. Hal inilah yang
menjadi dasar pertama ditegakkannya HIE sebagai etiologi dari kejang pada kasus
ini.
Dasar kedua adalah gejala-gejala yang dialami serta bukti-bukti
pemeriksaan fisik dan penunjang yang ditemukan mengarah ke HIE. Berdasarkan
literatur, gejala klinis yang ditemukan pada HIE berat adalah penurunan kesadaran,
perodic breathing, hipotonia dan kejang. Apabila terjadi HIE tipe akut/near total,
gejala disfungsi batang otak dapat menjadi gejala yang paling mencolok. Pada usia
24 -72 jam, tingkat kesadaran, kejang, apneu, dan gejala disfungsi batang otak
menjadi lebih dominan. Setelah 72 jam, bayi yang bertahan hidup akan
menunjukkan gejala (walapupnn sudah mulai berkurang) seperti : stupor, tonus
yang abnormal, disfungsi batang otak, dengan gangguan pada menghisap dan
menelan, pola kelemahan pada anggota gerak yang spesifik berkaitan dengan letak
topografi sel neuron yang mengalami cedera. Keadaan lain yang juga menjadi bukti

41
HIE berat yaitu, apgar skor rendah yang berkepanjangan, asidosis metabolik dan
gangguan organ lain. Pembagian derajat HIE menjadi derajat ringan, sedang dan
berat masih relevan untuk menentukan prognosis dan terapi. Karakteristik HIE
ringan yaitu irritable, peningkatan refleks moro dan tendon, dan peningkatan
respon simpatik, pemulihan dapat berlangsung setelah 2 hari dan tidak
menimbulkan gejala sisa yang berkepanjangan. HIE sedang ditandai dengan letargi,
hipotonus, penurunan refleks dan adanya kejang yang berkaitan dengan resiko
abnormalitas kedepannya. Sedangkan bayi dengan HIE berat akan mengalami
koma, flaksid tonus otot, disfungsi batang otak dan sistem saraf otonom, kejang
dan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan kematian atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pada kasus ini , pasien diduga mengalami
HIE berat karena ditemukan riwayat kejang, penurunan kesadaran, hipotonus, dan
refleks menghisap yang lemah. Walaupun data tersebut diperoleh melalui anamnesis
dan tidak semua poin-poin pada HIE berat dapat dibuktikan (karena pasien datang
sudah dalam masa resolusi) , namun dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan
penunjang yaitu ditemukannya tanda – tanda hidrosefalus pada USG kepala dan
edema serebri pada CT scan kepala.17
Pada kasus ini dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien
untuk mengkonfirmasi diagnosis, melihat kerusakan yang ditimbulkan dari keadaan
sebelumnya dan untuk prognosis serta pemilihan terapi yang akan dilakukan,
pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan lab darah lengkap, USG
kepala, CT scan dan EEG. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada HIE
meliputi pemeriksaan neuroimaging, biomarker, EEG dan cortical evoked response.
Pemeriksaan neuroimaging berfungsi untuk melihat lokasi dan derajat kerusakan
otak . CT scan masih memegang peranan penting dalam pemeriksaan HIE karena
durasi scanning yang lebih singkat daripada MRI, namun pemeriksaan CT scan
antara usia 3 -5 hari tidak dapat menunjukkan hasil yang bermakna. Pada usia
tersebut dilakukan MRI dengan teknik tertentu untuk mendapatkan informasi yang
berharga. MRI lebih sensitif untuk melihat kelainan pada talamus, ganglia basal dan
serebelum. Pada usia 10-14 hari kelainan dapat dilihat pada T1-MRI, sedangkan

42
T2-MRI untuk melihat kerusakan pada white matter. Biomarker metabolik yang
ditemukan pada HIE yaitu hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremi, dan asidosis
laktat. Pada kasus ini tidak ada biomarker metabolik yang menunjukkan kearah
tersebut. Pemeriksaan EEG dilakukan untuk melihat adanya gelombang
epileptiform pada pasien. Pemeriksaan EEG khusus yang disebut CFM (cerebral
function monitoring) merupakan pemeriksaan EEG yang berkelanjutan yang
berfungsi untuk menilai adanya gelombang kejang secara langsung pada keadaan
akut dan subakut.pemeriksaan EEG juga berfungsi untuk menentukan prognosis.
Pada kasus ini ditemukan gelombang EEG dalam batas normal.17,19
Tatalaksana yang telah diberikan pada pasien ini yaitu tatalaksana awal
kejang dan resusitasi ketika dirawat di ruang intensif RS. Cut Meutia. Pasien
dibawa ke RSUZA dalam keadaan HIE dan sepsis perbaikan. Kemudian diberikan
terapi oksigen 2 liter per menit, cairan intravena sesuai kebutuhan harian, anti
konvulsan (phenobarbital), antibiotik (ampisilin dan gentamisin), nootropik
(piracetam), diuretik (furosemid), diet ASI sesuai kebutuhan kalori dan protein.
Berdasarkan literatur, tatalaksana HIE yaitu 1) mengatasi keadaan asfiksia secara
cepat dengan resusitasi dan intervensi untuk mencegah cedera otak lebih lanjut,
termasuk dalam hal ini koreksi ventilasi dan perfusi, kadar gula darah, kontrol
terhadap kejang, mencegah kerusakan berbagai organ seperti, jantung, hati, dan
ginjal. Keadaan overload cairan merupakan hal penting untuk dikontrol.
Ketidaksesuaian sekresi hormon anti diuretik setelah keadaan HIE berat dapat
menimbulkan hiponatremia hipoosmolal yang menimbulkan edema serebri dan
kejang. Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa edema serebri dan
peningkatan tekanan intrakranial menimbulkan kerusakan otak sehingga harus
dilakukan kontrol terhadap edema serebri. Terapeutik serebral hipotermi baik secara
aktif maupun pasif untuk mencapai suhu 33 – 35 derajat celcius telah diterima
sebagai standar terapi HIE sedang-berat pada fase laten (6 jam setelah serangan).
Terapi ini telah menunjukkan penurunan angka mortalitas dan memperbaiki
perkembangan otak.17

43
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Hal ini didasarkan pada
hasil pemeriksaan derajat HIE, elektroensefalografi(EEG), CT scan kepala. Pada
pasien ini gambaran gelombang EEG dalam batas normal, tidak ditemukan lesi
hipodens dan hiperdens pada pemeriksaan CT scan kepala. Walaupu pasien diduga
mengalami HIE derajat berat, namun hal ini hanya ditentukkan berdasarkan riwayat
atau data anamnesis saja, karena pasien masuk ke RSUZA sudah mengalami
perbaikan. Adapun faktor-faktor yang menentukan prognosis HIE pada bayi matur
adalah 1) derajat dan durasi ensefalopati, 2) Adanya kejang, 3) Adanya edema otak,
4) gelombang EEG, 5) Pemeriksaan radiologis (CT scan / MRI/USG kepala).
Faktor yang paling menentukan dalam prognosis HIE adalah derajat keparahan dan
durasinya. Infan dengan EEG yang normal dalam 1 minggu setelah onset biasanya
memiliki prognosis yang baik.17

BAB V
KESIMPULAN

44
Telah dilaporkan seorang pasien laki – laki berumur 1 bulan 11 hari (saat
pemeriksaan) yang datang dengan keluhan kejang. Hasil pemeriksaan dari
anamnesis, peeriksaan fisik dan penunjang ditegakkan diagnosis neonatal seizure
ec. hypoxic Ischemic encephalopathy (HIE) dan sepsis (perbaikan). Terapi yang
diberikan mencakup cairan intravena sesuai kebutuhan, pemberian antibiotik
injeksi, anti konvulsan oral, diuretik injeksi dan nootropik injeksi serta diet ASI
sesuai dengan kebutuhan kalori dan protein. Pasien dirawat di Seurune 1 kamar 4
bed 1 selaa 11 hari dan menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

45
1. Utoma MT, Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. Ensefalopati
hipoksik iskemik perinatal. Continuing education ilmu kesehatan anak
XXXVI.2006. diakses dari : http://old.pediatrik.com/pkb/061022022401-
qf2m135.pdf.
2. Haws SP. Asuhan neonatus rujukan cepat. Jakarta: ECG;2008. Hal 297-99.
3. Kliegman RM. Asfiksia Neonatus. Dalam: Behrman ER, Kliegman R, Arvin
AM. Ilmu kesehatan anak Ed. 15. Jakarta: ECG;2002.hal 581-83.
4. Darto S, Sudiatmika IN. Hypoxic ischaemic encephalopathy. SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR. 2003 diakses dari:
http:ml.scribd.com/doc/.../Ensefalopati-Hipoksik-Iskemik.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiwatmo R, Kaban RK. Paket pelatihan
pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta:
IDAI;2008.hal 285-88.
6. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi Anak Ed. 2. Jakarta: IDAI;
2000.Hl 307-15,258-59.
7. Manoe MV, Amir I. Gangguan fungsi multiorgan pada bayi asfiksia berat. Sari
pediatri Volume 5, No. 2 September 2003. Diakses dari:
http://www.idai.or.id/saripediatri.
8. Usman A. Asfiksia neonatus. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI;2010.hal.228-29,236,248.
9. Stark, AR. Hipoxic ischemic.Dalam: Cloherty JP, Stark AR. Manual of
neonatology care.edisi ke-4.USA:Lippincott Williams & Willims;1997.hal.581-
21
10. Cunningham MD. Hipoxic Ischemic. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE. Neonatologi: Management,Procedure,On-call
Problems,Disease and Drugs ed. 5.US: MC Graw Hill;2004.hal.515-17.
11. Rundjan L. Cooling pada HIE, penerapan di RS perifer. Dalam Buku Naskah
lengkap Simposium Nasional IDAI;2012 juni 21-24;Balikpapan:Badan
Penerbit IDAI.2012.hal.163-64.
12. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy.
In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of
Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-
6.

46
13. Lai M-C, Yang S-N. Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Hindawi
publishin coorporation. 2010:1-6.
14. Horn AR, Swingler GH, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y, et al. Early
clinical signs in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy predict an
abnormal amplitude integratedelectroencephalogram at age 6 hours. BMC
Pediatrics 2013;13:52-62.
15. Handel Mlv, Swaab H, Vries LSd, Jongmans MJ. Behavioral outcome in
children with a history of neonatal encephalopathy following perinatal
asphyxia. Journal of Pediatric Psychology2010;35(3): 286–95.
16. Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term outcome after neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2010;95:220–F4
17. Roland E, Hill A. Neurological Problems of the Newborn. In Bradley’s
Neurological in Clinical Practice. Daroff, RB. 7nd Edition. Elsevier.2016:1956-
1962
18. Effendi, SH. Peranan Hipoksik Iskemik Ensefalopati Sebagai Penyebab
Neonatal Seizure. dalam Modul Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak
Berkelanjutan : Save the Child’s Brain within Golden Period. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2013: 1-68.
19. Mohamad A. Mikati. Hani AJ. Seizure in Childhood. in Nelson Textbook of
Pediatric. Kliegman RM. Bonita. Stanton. Geme JS. Nina F. 20nd Edition.
Elsevier. 2015.2849-2854.

47

Anda mungkin juga menyukai