Disusun oleh :
Kelompok 1 / A2-2018
FAKULTAS KEPERAWATAN
FEBRUARI, 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan tugas
pembuatan dan penyusunan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
NEONATAL (BBLR, ASPYXIA, HIPERBILIRUBINEMIA)” dalam mata ajaran kuliah
Keperawatan Anak I ini. Bersama dengan ini kami juga mengucapkan banyak-banyak
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat berpartisipasi dan juga membantu kami
dalam pembuatan dan penyusunan makalah mata ajaran kuliah ini. Semoga makalah ini
dapat banyak membantu dan bermanfaat bagi kita semua.
Tugas pembuatan dan penyusunan makalah kami ini tentu saja masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran kami terima dengan lebar dan lapang
dada demi perbaikan dan penyempurnaan tugas pembuatan dan penyusunan makalah ini
untuk menjadi sebuah makalah yang jauh lebih baik dan juga untuk pembelajaran bagi
kami dan Anda dalam menyelesaikan tugas-tugas makalah lain di kemudian hari.
ii
DAFTAR ISI
iii
2.2.6 Pemeriksaan dan Penunjang Asphyxia ................................................................ 40
2.2.7 Manajemen Pelaksanaan Asphyxia ...................................................................... 41
2.2.8 WOC Asphyxia .................................................................................................... 48
2.2.9 Asuhan Keperawatan pada Asphyxia................................................................... 49
2.3 Hiperbilirubinemia ........................................................................................................ 57
2.3.1 Definisi Hiperbilirubinemia ................................................................................. 57
2.3.2 Etiologi ................................................................................................................. 57
2.3.3 Patofisiologi ......................................................................................................... 58
2.3.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis......................................................................... 59
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................... 60
2.3.6 Manajemen Pelaksanaan Hiperbilirubinemia....................................................... 61
2.3.7 WOC Hiperbilirubinemia ..................................................................................... 64
2.3.8 Asuhan Keperawatan pada Hiperbilirubinemia ................................................... 65
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 71
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 71
3.2 Saran .............................................................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 73
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan bayi (neonatus) yang lahir
dengan memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai dengan 2499
gram. yang merupakan hasil dari kelahiran premature (sebelum 37 minggu usia
kehamilan).
Bayi dengan berat badan lahir rendah sangat erat kaitannya dengan
mortalitas dan morbiditas, sehingga akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan kognitif serta penyakit kronis di kemudian hari (WHO, 2004).
Asfiksia adalah suatu keadaan yang di gambarkan sebagai kegagalan untuk
bernapas atau ketidakmampuan bayi baru lahir untuk memulai dan
mempertahankan resirasi yang adekuat setelah melahirkan (Dewi, 2019). Asfiksia
neonatorum adalah suatu kondisi imana bayi tidak dapat segera bernapas secara
spontan dan teratur setelah dilahirkan (Kunci, 2019). Asfiksia merupakan keadaan
klinis yang berhubungan dengan hipoksemia (kekurangan oksigen), hiperkapnia
(akumulasi karbon dioksida), dan asidosis pada neonatus (Neonatal asphyxia : A
study of 210 cases, 2012). Asfiksia neonatorum merupakan sebuah emergensi
neonatal yang dapat mengakibatkan hipoksia (rendahnya suplai oksigen ke otak
dan jaringan) dan kemungkinan kerusakan otak atau kematian apabila tidak
ditangani dengan benar (Rsud & Tahun, 2018). Asfiksia terjadi apabila terdapat
kegagalan pertukaran gas di organ (Irwanto, 2017).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang
memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut „Excess
Physiological Jaundice‟. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non
Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus
>95% menurut Normogram Bhutani(Etika et al,2006).
Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran. Sebagian besar
bayi baru lahir, terutama bayi yang kecil (bayi yang berat lahir < 2.500 gr atau
usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu awal kehidupannya
1
(Maulida, 2014). Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi
(7%), ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%), dan kelainan kongenital (1%) per
1.000 kelahiran hidup (Ratuain, Wahyuningsih, & Purmaningrum, 2015).
1.2.5 Bagaimana Manifestasi klinis dan diagnosis dari BBLR, Asphyxia, dan
Hiperbilirubinemia?
1.2.6 Bagaimana Pemeriksaan penunjang dari BBLR, Asphyxia, dan
Hiperbilirubinemia?
1.2.7 Bagaimana Manajemen Penatalaksanaan dari BBLR, Asphyxia, dan
Hiperbilirubinemia?
1.2.8 Bagaimana WOC dari BBLR, Asphyxia, dan Hiperbilirubinemia?
2
1.3 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan bayi (neonatus) yang lahir dengan
memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai dengan 2499 gram. yang
merupakan hasil dari kelahiran premature (sebelum 37 minggu usia kehamilan).
Bayi dengan berat badan lahir rendah sangat erat kaitannya dengan mortalitas
dan morbiditas, sehingga akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif
serta penyakit kronis di kemudian hari (WHO, 2004).
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan berat
badan kurang dari 2.500 gram saat lahir. Bayi BBLR sebagian besar dikarenakan
retardasi pertumbuhan intrauterin (IUGR) dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu. Bayi BBLR memiliki risiko empat kali lipat lebih tinggi dari kematian
neonatal dari pada bayi yang berat badan lahir 2.500-3.499 gram (Muthayya, 2009).
2.1.2 Epidemologi
4
2.1.3 Etiologi
Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah (Proverawati
dan Ismawati, 2010), yaitu:
a. Faktor ibu
1. Penyakit
a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia,
b) Perdarahan antepartum, preekelamsi berat, eklamsia,
c) Infeksi kandung kemih.
d) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular
e) Seksual, hipertensi, HIV/AIDS, penyakit jantung.
f) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
2. Ibu
a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
4. Faktor janin
Faktor janin meliputi: kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi
sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
5
5. Faktor plasenta.
Faktor plasenta disebabkan oleh: hidramnion, plasenta previa, solutio
plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindromparabiotik), ketuban pecah
dini.
6. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain: tempat tinggal di dataran tinggi,
terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.
2.1.4 Patofisiologi
4. Sistem imunologi
Kemungkinan terjadi kerentanan pada bayi dengan berat lahir rendah
terhadap infeksi mengalami peningkatan. Konsentrasi Ig G serum pada bayi
sama dengan bayi matur. Imunoglobulin G ibuditransfer secara aktif melalui
plasenta ke janin pada trimester terakhir. Konsentrasi Ig G yang rendah
mencerminkan fungsi plasenta yang buruk berakibat pertumbuhan janin intra
uterin yang buruk dan meningkatkan risiko infeksi post natal. Oleh karena
itu bayi dengan berat lahir rendah berpotensi mengalami infeksi lebih banyak
dibandingkan bayi matur (Maryunani, Puspita 2014).
7
5. Perdarahan intracranial
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah pembuluh darah masih
sangat rapuh hingga mudah pecah. Perdarahan intracranial dapat terjadi
karena trauma lahir, disseminated intravascularcoagulopathy atau
trombositopenia idiopatik. Matriks germinal epidimal yang kaya pembuluh
darah merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perdarahan selama
minggu pertama kehidupan (Pantiawati, 2010).
6. Rentan terhadap infeksi
Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu
terakhir masa kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah mudah
menderita infeksi karena imunitas humoral dan seluler masih kurang hingga
bayi mudah menderita infeksi. Selain itu, karena kulit dan selaput membran
bayi dengan berat badan lahir rendah tidak memiliki perlindungan seperti bayi
cukup bulan (Pantiawati, 2010).
7. Hiperbilirubinemia
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah lebih sering mengalami
hiperbilirubinemia dibandingkan dengan bayi cukup bulan.
Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi
dalam darah ditandai dengan jaundis dan ikterus. Hiperbilirubinemia dapat
terjadi akibat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dan terkonjugasi
(Wong, 2009).
2. Dismaturitas
Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya
untuk masa kehamilan.
Manifestasi Klinis BBLR pada Dismaturitas adalah:
Pada preterm seperti pada prematuritas
Term dan post term akan dijumpai kulit berselubung verniks kaseosa tipis
atau tidak ada
Kulit pucat atau bernoda mekonium
Kering keriput tipis
Jaringan lemak di bawah kulit tipis
Bayi tampak gesit, aktif dan kuat
Tali pusat berwarna kuning kehijauan.
9
B. Diagnosis BBLR
Beberapa masalah keperawatan yang sering muncul pada bayi BBLR dan
memerlukan intervensi diantaranya adalah:
10
a) Rentang nilai normal:
a. pH : 7,35-7,45
b. TCO2 : 23-27 mmol/L
c. PCO2 : 35-45 mmHg
d. PO2 : 80-100 mmHg
e. Saturasi O2 : 95 % atau lebih
b) Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.
c) Bilirubin: mungkin meningkat pada polisitemia.
Bilirubin normal:
1. bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl.
2. bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
d) Urinalisis: mengkaji homeostatis.
e) Jumlah trombosit (normal: 200000 - 475000 mikroliter):
a. Trombositopenia mungkin menyertai sepsis
f) EKG, EEG, USG, angiografi: defek kongenital atau komplikasi.
Beri oksigen melalui pipa nasal atau nasal prongs jika terdapat salah satu
tanda hipoksemia.
Lakukan perawatan kulit-ke-kulit di antara ke dua payudara ibu atau beri
pakaian di ruangan yang hangat atau dalam humidicrib jika staf telah
berpengalaman dalam menggunakannya. Jika tidak ada penghangat
bertenaga listrik, botol air panas yang dibungkus dengan handuk bermanfaat
untuk menjaga bayi tetap hangat. Pertahankan suhu inti tubuh sekitar 36.5 –
37.50 C dengan kaki tetap hangat dan berwarna kemerahan.
Jika mungkin berikan cairan IV 60 ml/kg/hari selama hari pertama
kehidupan. Sebaiknya gunakan paediatric (100 mL) intravenous burette:
dengan tetes = 1 mL sehingga, 1 tetes per menit = 1 mL per jam. Jika bayi
sehat dan aktif, beri 2-4 mL ASI perah setiap 2 jam melalui pipa lambung,
tergantung berat badan bayi.
Bayi sangat kecil yang ditempatkan di bawah pemancar panas atau terapi
sinar memerlukan lebih banyak cairan dibandingkan dengan volume biasa.
Lakukan perawatan hati-hati agar pemberian cairan IV dapat akurat karena
kelebihan cairan dapat berakibat fatal.
12
Jika mungkin, periksa glukosa darah setiap 6 jam hingga pemberian
minum enteral dimulai, terutama jika bayi mengalami apnu, letargi atau
kejang. Bayi mungkin memerlukan larutan glukosa 10%.
Mulai berikan minum jika kondisi bayi stabil (biasanya pada hari ke-2,
pada bayi yang lebih matur mungkin pada hari ke-1). Pemberian minum
dimulai jika perut tidak distensi dan lembut, terdapat bising usus, telah
keluar mekonium dan tidak terdapat apnu. Gunakan tabel minum.
Hitung jumlah minum dan waktu pemberiannya. Jika toleransi minum
baik, tingkatkan kebutuhan perhari. Pemberian susu dimulai dengan 2-4
mL setiap 1-2 jam melalui pipa lambung. Beberapa BBLSR yang aktif
dapat minum dengan cangkir dan sendok atau pipet steril. Gunakan hanya
ASI jika mungkin. Jika volume 2-4 mL dapat diterima tanpa muntah,
distensi perut atau retensi lambung lebih dari setengah yang diminum,
volume dapat ditingkatkan sebanyak 1-2 mL per minum setiap hari.
Kurangi atau hentikan minum jika terdapat tanda-tanda toleransi yang
buruk. Jika target pemberian minum dapat dicapai dalam 5-7 hari pertama,
tetesan IV dapat dilepas untuk menghindari infeksi. Minum dapat
ditingkatkan selama 2 minggu pertama kehidupan hingga 150-180
mL/kg/hari (minum 19-23 mL setiap 3 jam untuk bayi 1 kg dan 28-34 mL
untuk bayi 1.5 kg). Setelah bayi tumbuh, hitung kembali volume minum
berdasarkan berat badan terakhir.
Faktor-faktor risiko sepsis adalah: bayi yang dilahirkan di luar rumah
sakit atau dilahirkan dari ibu yang tidak sehat, pecah ketuban >18 jam,
bayi kecil (mendekati 1 kg).
Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu dan bila perlu rangsang
pernapasan bayi dengan mengusap dada atau punggung. Jika gagal,
lakukan resusitasi dengan balon dan sungkup. Jika bayi mengalami
episode apnu lebih dari sekali dan atau sampai membutuhkan resusitasi
berikan sitrat kafein atau aminofilin. Kafein lebih dipilih jika tersedia.
Dosis awal sitrat kafein adalah 20 mg kg oral atau IV (berikan secara
lambat selama 30 menit). Dosis rumatan sesuai anjuran Jika kafein
tidak tersedia, berikan dosis awal aminofilin 10 mg/kg secara oral atau
IV selama 15-30 menit. Dosis rumatan sesuai anjuran. Jika monitor
apnu tersedia, maka alat ini harus digunakan.
13
BBLR dapat dipulangkan apabila tidak terdapat tanda bahaya atau tanda
infeksi berat. Berat badan bertambah hanya dengan ASI. Suhu tubuh
bertahan pada kisaran normal (36-370C) dengan pakaian terbuka. Ibu yakin
dan mampu merawatnya. BBLR harus diberi semua vaksin yang
dijadwalkan pada saat lahir dan jika ada dosis kedua pada saat akan
dipulangkan.
Lakukan konseling pada orang tua sebelum bayi pulang mengenai:
pemberian ASI eksklusif menjaga bayi tetap hangat tanda bahaya untuk
mencari pertolongan Timbang berat badan, nilai minum dan kesehatan
secara umum setiap minggu hingga berat badan bayi mencapai 2.5 kg.
14
e) Ibu sehat
Gambar 2.3 mengeluarkan bayi dari baju kanguru Gambar 2.4 menyusui dalam PMK
16
Gambar 2.5 ayah dapat bergantian dengan ibu dalam PMK
PMK tidak diberikan sepanjang waktu tetapi hanya dilakukan jika ibu
mengunjungi bayinya yang masih berada dalam perawatan di inkubator dengan
durasi minimal satu jam secara terus-menerus dalam satu hari atau disebut PMK
intermiten.
18
jikabergelembung, menanadakan OGT tidak masuk ke lambung tetapi ke
paru paru, maka ulangi lagi hingga benar
i. Fikasasi OGT dengan plester
j. Rapikan alat-alat DAN Perawat cuci tangan
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merawat bayi lahir rendah di
dalam inkubator yaitu:
a. Inkubator tertutup:
1) Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka apabila dalam keadaan
tertentu seperti apnea, dan apabila membuka inkubator usahakan suhu
bayi tetap hangat dan oksigen harus selalu disediakan
2) Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
3) Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk
memudahkan observasi.
4) Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
5) Pengaturan oksigen selalu diobservasi
6) Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan
suhu 27 derajat Celcius.
b. Inkubator terbuka:
1) Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian
perawatan pada bayi.
2) Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu
normal dan kehangatan.
3) Membungkus dengan selimut hangat
4) Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah
aliran udara
5) Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui
kepala.
6) Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan
ketentuan di bawah ini
19
Berat Badan 0-24 jam 2-3 hari 4-7 hari 8 hari
Lahir (gram) (℃) (℃) (℃) (℃)
1500 34-36 33-35 33-34 32-33
1501-2000 33-34 33 32-33 32
2001-2500 33 32-33 32 32
>2500 32-33 32 31-32 32
20
2.1.9 Asuhan Keperawatan pada BBLR
A. Kasus
Ny. H dengan usia 18 tahun di rumah sakit X melahirkan seorang bayi
laki- laki dengan berat 1500 gram. Ny. H mengatakan tidak pernah
melakukan pemeriksaan USG selama masa kehamilan. Selama masa
kehamilan Ny. H tidak merasakan adanya kejanggalan atau kelainan pada
kandungannya, namun karena ini anak pertama Ny. H dan suaminya maka
tekanan psikis dirasakan pada masa-masa kehamilan. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik didapatkan data bayi dengan berat badan 1500 gram,
panjang bayi 35 cm, kondisi bagian kepala yang lebih besar dari bagian
lainnya, dan kondisi bayi yang lemah dibanding bayi normal. Pemriksaan
TTV didapatkan nadi : 143x/menit, RR : 19x/menit suhu : 36,3oC.
Kemudian diagnosis masalah keperawatan yang didapatkan dari data
tersebut yaitu bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
DATA PASIEN
21
- Kondisi bayi lemah
- Kondisi bagian kepala lebih besar dari bagian
tubuh lainnya (tidak proporsional)
Riwayat Penyakit -
Dahulu
PENGKAJIAN FISIK
1. Refleks : menggenggam dan menghisap masih lemah
2. Tonus : menangis masih lemah
3. Kepala / leher
a. Fontanel anterior : lunak
b. Sutura sagitalis : tepat
c. Gambaran umum : simetris
4. Mata : normal simetris
5. THT
a. Telinga : normal simetris
b. Hidung : normal simetris
6. Wajah : normal simetris, terpasang OGT pada bayi
7. Abdomen : lunak dengan lingkar perut 20,5 cm
8. Toraks : simeris, retraksi derajat 1
9. Paru-paru : gerakan kanan-kiri sama, ditemukan suara nafas wheezing,
pernafasan
dibantu menggunakan nasal kanul 0.5 lpm
10. Jantung : suara jantung normal dengan kecepatan 143 bpm
11. Ekstermitas : dapat menggerakan bagian tubuh dengan normal
12. Umbiliku : normal
13. Genital : normal berjenis laki-laki
14. Anus : paten
15. Spina : normal
16. Kulit : kemerahan normal tidak ada sianosis
17. Suhu : suhu normal (36,3oC)
22
ANALISA DATA
23
RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
Terapeutik :
-Posisikan semi fowler
atau fowler
-Berikan minum hangat
-Berikan oksigen, jika
perlu
24
refleks menghisap bayi d.d Observasi :
intake bayi tidak adekuat -Periksa posisi OGT
dengan memeriksa residu
Dalam waktu 1 × 24 jam, klien
lambung atau
diharapkan dapat
mengauskultasi
meningkatkan status
hembusan udara
menyusui, dengan kriteria
-Monitor tetesan
hasil :
makanan pada pompa
setiap jam
Status Menyusui : (L.03029)
-Monitor rasa penuh,
- Berat badan bayi
mual, dan muntah
meningkat (5)
-Monitor residu lambung
- Tetesan/pancaran ASI
tiap 4-6jam selama 24
cukup meningkat (4)
jam pertama, kemudian
- Percaya diri Ibu
tiap 8 jam selama
meningkat(5)
pemberian makanan via
- Intake Bayi meningkat (5)
enteral, jika perlu
- Hisapan bayi meningkat
-Monitor pola buang air
(5)
besar setiap 4-8jam, jika
perlu
Terapeutik :
-Gunakan teknik bersih
dalam pemberian
makanan via selang
-Berikan tanda pada
selang untuk
mempertahankan lokasi
yang tepat
-Peluk dan bicara pada
bayi selama diberikan
makan untuk
menstimulasi aktivitas
25
makan
-Irigasi selang dengan
30ml air tiap 4-6jam
selama pemberian makan
dan setelah pemberian
makan intermitten
-Hindari pemberian
makanan lebih dari 150cc
atau lebih dari 110-120%
dari jumlah makanan tiap
jam
Edukasi :
-Jelaskan tujuan dan
langkah-langkah
prosedur
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemeriksaan
sinar X untuk konfirmasi
posisi selang, jika perlu
-Kolaborasi pemilihan
jenis dan jumlah
makanan enteral
9 Agustus 14.00 Risiko infeksi (D.0142) b.d Pencegahan infeksi
2019 malnutrisi (I.14539)
Observasi :
Dalam waktu 1 × 24 jam, klien
-Monitor tanda dan gejala
diharapkan tidak ada tanda
infeksi lokal dan sistemik
infeksi, dengan kriteria hasil :
Terapeutik :
-Batasi jumlah
Status Nutrisi : (L.03030)
pengunjung
-Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
26
- Kekuatan otot mengunyah dengan pasien dan
(5) lingkungan pasien
- Kekuatan otot menelan -Pertahankan teknik
meningkat (5) aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
-Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
-Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
-Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Tanggal No. Jam Implementasi dan Paraf Jam Evaluasi SOAP Paraf
DK respon setiap
tindakan
18-2- 1 10.00 Monitor pola napas 12.00 S : -
2020 (frekuensi, O : frekuensi
kedalaman, usaha napas membaik,
napas) kedalaman
Respon : frekuensi napas membaik,
napas dan suara napas
10.20
kedalaman napas wheezing
membaik berkurang
A : masalah
Monitor bunyi teratasi sebagian
napas tambahan P : intervensi
27
(mis. gurgling, Dilanjutkan
mengi, wheezing,
ronkhi kering)
Respon : suara
napas pada klien
wheezing berkurang
18-2- 2 12.00 Monitor tetesan 14.00 S : -
2020 makanan pada O : intake dan
pompa setiap jam berat badan
Respon : intake meningkat serta
bayi dan berat hisapan bayi
12.15
badan bayi meningkat
meningkat A : masalah
teratasi sebagian
Peluk dan bicara
P : intervensi
pada bayi selama
dilanjutkan
diberikan makan
untuk menstimulasi
aktivitas makan
Respon : hisapan
bayi meningkat
28
2.2. Asphyxia Pada Neonatal
2.2.1 Definisi Asphyxia
29
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku, fungsi
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang pada neonatus
dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (bayi cukup
bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis + usia gestasi pada saat lahir)
pada bayi prematur. Insiden kejang terjadi pada bayi baru lahir sekitar 1-3 per 1000
bayi lahir (Dewi, 2019). Asfiksia yang terjadi segera setelah bayi lahir apabila tidak
ditangani dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada bayi diantaranya yaitu terjadi
hipoksia iskemik ensefalopati, edema serebri, kecacatan cerebral palsy pada otak;
hipertensi pulmonal presisten pada neonatus, perdarahan paru, dan edema paru pada
jantung dan paru-paru; enterokolitisnekrotikana pada gastrointestinal; tubular nekrosis
akut, Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (siadh) pada ginjal; dan
Dissemintaed Intravascular Coagulation (DIC) pada sistem hematologi (Rsud &
Tahun, 2018).
2.2.2 Epidemologi
Menurut WHO, 4 juta kematian setahun terjadi akibat asfiksia, 38% dari
semua kematian anak dibawah 5 tahun. Di negara low-income 23% dari total kematian
neonatus terjadi akibat asfiksia. Pada tahun 2008, insiden kejadian asfiksia perinatal
yaitu 1-6 per 1000 kelahiran bayi hidup dan menjadi peringkat ke 3 penyebab kematian
neonatus. Data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) 2010 menyebutkan bahwa
penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia di antaranya asfiksia (27%) (Dewi,
2019). Berdasarkan data dari WHO November 2013, jumlah kelahiran bayi hidup di
Indonesia pada tahun 2010 adalah 4.371.800, dengan kelahiran prematur sebanyak
675.700 (15,5 per 100 kelahiran hidup) dan angka kematian sebesar 32.400 (nomor 8
penyebab kematian di Indonesia) (Irwanto, 2017). Dalam 10 tahun terakhir, Angka
Kematian Neonatal di Indonesia cenderung stagnan yaitu 20/1000 kelahiran hidup
(SDKI 2002- 2003) menjadi 19/1000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
Proporsi kematian neonatal terhadap kematian anak balita cenderung
meningkat dari 43% (SDKI 2002- 2003) menjadi 48% (SDKI 2012). Penyebab utama
kematian neonatal pada minggu pertama (0-6 hari) adalah asfiksia (36 %), BBLR/
Prematuritas (32%) serta sepsis (12%) sedangkan bayi usia 7-28 hari adalah sepsis
(22%), kelainan kongenital (19%) dan pneumonia (17 %) (Irwanto, 2017). Angka
Kematian Neonatal (AKN) menurut SDKI 2017 terbaca sekitar 15 per 1000 KH.
Kematian neonatal didesa/kelurahan 0-1 per tahun sebanyak 83.447, di Puskesmas
30
kematian neonatal 7-8 per tahun sebanyak 9.825, dan angka kematian neonatal di
rumah sakit 18 per tahun sebanyak 2.868 (Kemenkes RI, 2019).
Asfiksia dapat disebabkan oleh faktor ibu, bayi dan tali pusat atau plasenta.
Terdapat lima hal yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada saat persalinan (Irwanto,
2017):
Faktor risiko asfiksia dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu faktor ibu,
faktor persalinan, faktor bayi dan faktor tali pusat. Faktor ibu adalah umur ibu,
pendidikan, pekerjaan, paritas, perdarahan antepartum, hipertensi pada saat hamil dan
anemia pada saat hamil. Faktor persalinan adalah jenis persalinan, penolong persalinan,
tempat persalinan, partus lama, dan ketuban pecah dini (KPD). Faktor bayi adalah
prematur dan berat badan lahir rendah serta faktor tali pusat adalah lilitan tali pusat, tali
pusat pendek dan prolapsus tali pusat (Widiani et al., 2016). Selain itu, faktor risiko
yang dapat menyebabkan asfiksia juga adalah faktor antepartum, intrapartum,
postpartum, dan janin (Neonatal asphyxia : A study of 210 cases, 2012). Faktor tersebut
meliputi :
31
faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi
yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan nifas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa primiparity merupakan
d) Kadar Hemoglobin
Kadar haemoglobin merupakan jumlah molekul di dalam eritrosit (sel darah
merah) yang bertugas untuk mengangkut oksigen ke otak dan seluruh
tubuh. Apabila terjadi gangguan pengangkutan oksigen dari ibu ke janin,
maka dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum yang menyebabkan
kematian pada bayi (Rsud & Tahun, 2018). Anemia ibu hamil
mengakibatkan aliran darah menuju plasenta akan berkurang sehingga
oksigen dan nutrisi semakin tidak seimbang untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme janin (Rsud & Tahun, 2018).
e) Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan di
atas 28 minggu atau lebih. Perdarahan antepartum yang berhubungan
dengan kehamilan diantaranya adalah plasenta previa, solutio plasenta,
perdarahan pada plasenta letak rendah, pecahnya sinus marginalis, dan
pecahnya vasa previa (Rsud & Tahun, 2018). Gangguan pertukaran gas di
plasenta akan menyebabkan hipoksia pada janin. Pertukaran gas antara ibu
dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
dinding perut dengan operasi Caesar) (Rsud & Tahun, 2018).Ibu yang
melahirkan dengan tindakan berisiko 4,44 kali melahirkan bayi dengan
asfiksia neonatorum dibandingkan dengan ibu yang melahirkan secara
spontan (Rsud & Tahun, 2018). Neonatus yang dilahirkan dengan sectio
caesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan
manfaat dari pengeluaran cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga
mengalami gangguan pernafasan yang lebih persistan (Rsud & Tahun,
2018). Kompresi toraks janin pada persalinan kala II mendorong cairan
34
untuk keluar dari saluran pernafasan.
4. Faktor Janin
a) Prematuritas
Bayi baru lahir prematur digunakan untuk mengkategorikan janin dan
kehamilan sebelum minggu ke 37 (Rsud & Tahun, 2018). Bayi baru lahir
prematur berisiko mengalami masalah pernapasan. Paru-paru belum
sepenuhnya matur hingga usia gestasi 35 minggu. Surfaktan, agen untuk
mengur angi tegangan permukaan pada paru-paru tidak adekuat pada bayi
premature (Rsud & Tahun, 2018).
b) Berat Bayi Lahir
Berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam
pertama setelah lahir. Berat bayi lahir dapat dikelompokkan menjadi: bayi
berat lahir rendah/BBLR (berat lahir kurang dari 2.500 gram tanpa melihat
usia gestasi), bayi berat lahir normal (berat lahir
≥2500 – ≤4000 gram), bayi berat lahir lebih (berat lahir lebih > 4000 gram)
(Rsud & Tahun, 2018). Bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah
umunya mengalami asfiksia neonatorum. Bayi dengan berat lahir rendah
berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfaktan, sehingga tidak
dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari
plasenta. Gangguan pernapasan sering menimbulkan penyakit berat pada
BBLR. Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan
pengembangan paru yang masih belum sempurna. Otot pernapasan yang
masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung, sehingga sering
terjadi apneu, asfiksia berat, dan sindroma gangguan pernapasan.
35
2.2.4 Patofisiologi
Gangguan fungsi berbagai organ pada bayi asfiksia tergantung pada lamanya
asfiksia terjadi dan kecepatan penanganan. Suatu studi mengenai dampak kerusakan
organ pada bayi asfiksia menunjukkan 34% bayi tidak didapatkan kerusakan organ,
23% bayi didapatkan kerusakan pada satu organ, 34% bayi pada dua organ, dan 9%
bayi pada tiga organ (Pediatri, Pediatri, Manoe, & Amir, 2003). Frekuensi kerusakan
akibat terjadinya asfiksia ditemukan pada ginjal (50%) diikuti dengan sistem saraf
pusat (28%), kardiovaskular (25%), dan sistem pernafasan (23%) (Gupta et al., 2018).
Gangguan utama pada sel di dalam susunan saraf pusat (SSP) akibat ensefalopati
hipoksik-iskemik adalah defisit suplai oksigen yang disebabkan oleh dua hal yaitu
hipoksia dan iskemia. Sumber energi otak adalah oksigen dan glukosa; pada keadaan
hipoksemia, glukosa yang masuk ke dalam otak meningkat, glikogenolisis meningkat,
glikolisis meningkat, glukosa otak menurun karena pemakaian glukosa lebih banyak
dibandingkan glukosa yang masuk, pembentukan asam laktat meningkat (H+ ) karena
glikolisis anaerob dan gangguan penggunaan piruvat, ATP menurun, fosforilasi
oksidatif menurun (Pediatri et al., 2003). Pada iskemia, perfusi darah yang masuk ke
dalam sebagian atau seluruh otak menurun sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel
otak menurun, glikogenolisis meningkat, glikolisis meningkat, pembentukan laktat
meningkat menyebabkan asidosis, ATP menurun, akumulasi asam dan no reflux
phenomen (Pediatri et al., 2003).
Gejala klinis biasanya terjadi 12 jam setelah asfiksia berat yaitu stupor sampai
koma, pernafasan periodik atau respiratory effort yang iregular, oligouria, hipotonus,
tidak ada refleks komplek seperti Moro dan hisap, kejang tonik-klonik atau multifokal
antara 12–24 jam dapat terjadi apnu yang menggambarkan disfungsi batang otak
(Pediatri et al., 2003). Dua puluh empat sampai 72 jam kemudian terjadi perburukan,
berupa koma, apnu lama dan mati batang otak terjadi 24-72 jam kemudian. Gejala
klinis asfiksia yang muncul pada setiap organ (Pediatri et al., 2003):
a) Sistem Kardiovaskular
37
dipertahankan dengan mengorbankan ginjal dan usus. Gejala klinis EKN ada
2 tipe berdasarkan saat timbulnya, yaitu EKN dini dan EKN lambat. Tipe
pertama seringkali terjadi 24-48 jam sesudah lahir. Tipe seperti ini pada
umumnya terjadi pada bayi cukup bulan yang sakit berat. Faktor risiko pada
kelompok ini adalah asfiksia neonatorum, gagal nafas, polisitemia dan
transfusi tukar. Bayi-bayi ini biasanya belum mendapat makanan enteral.
Penyebab EKN dini adalah hipoksikiskemik. Tipe yang kedua terjadinya agak
lambat dan terutama pada bayi kurang bulan, yaitu bayi yang telah mendapat
makanan enteral. Penyebab EKN tipe ini adalah makanan enteral yang
berlebihan dan bakteri tumbuh lampau, sedangkan fungsi intestinal dan daya
tahan tubuhnya masih rendah.
d) Hati
Hati dapat mengalami kerusakan yang berat (shock liver), sehingga fungsinya
dapat terganggu. Kadar transaminase serum (SGOT, SGPT), faktor
pembekuan (PT, PTT, dan fibrinogen), albumin dan bilirubin harus dipantau.
Kadar amoniak serum harus diukur.
e) Sistem Darah
Seringkali ditemukan KID akibat rusaknya pembuluh darah, kegagalan hati
membuat faktor pembekuan dan sumsum tulang gagal memproduksi
trombosit. Korst dkk (1996) meneliti 153 neonatus cukup bulan dengan
ensefalopati dibandingkan dengan kontrol, dilaporkan hitung sel darah merah
berinti pada kelompok neonatus cukup bulan dengan ensefalopati lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Diperkirakan peningkatan sel darah merah
berinti dapat dipakai sebagai petunjuk saat terjadinya gangguan neurologis
pada fetus. Hasil penelitian didapatkan kadar eritropoetin neonatus cukup
bulan dengan mekonium pada cairan amnion lebih tinggi dibandingkan
kontrol, sehingga keluarnya mekonium dapat dihubungkan dengan kejadian
hipoksia fetus kronik.
f) Paru-paru
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal persisten,
mekanisme terjadinya adalah vasokonstriksi paru akibat hipoksia dan
asidosis, pembentukan otot arteriol paru pada masa pranatal, pelepasan zat
aktif seperti leukotrin dan pembentukan mikrotrombus, perdarahan paru,
edem paru karena gagal jantung, acute respiratory distress syndrome, HMD
38
sekunder akibat gangguan produksi surfaktan karena asfiksia, dan aspirasi
mekonium.
Oxorn dan William menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis
asfiksia neonatorum ada beberapa cara, yaitu sebagai berikut (Rsud & Tahun,
2018):
a. Antepartum
Adanya pola abnormal (nonreaktif) pada nonstress fetal heart monitoring,
serta terjadi pola deselerasi lanjut pada contraction stress test.
b. Intrapartum
Terjadi brakikardi di bawah 100 denyutan per menit antara kontraksi rahim
atau pola deselerasi yang abnormal, adanya irregularitas denyut jantung
janin yang jelas, trakikardi di atas 160 kali per menit (terjadi silih berganti
dengan brakikardi), pola deselerasi lanjut pada frekuensi denyut jantung
janin, dan keluarnya mekonium pada presentasi kepala.
c. Postpartum
Keadaan bayi ditentukan dengan skor Appearance, Pulse, Grimace,
Activity, Respiration (APGAR). APGAR merupakan suatu metode untuk
menentukan tingkatan keadaan bayi baru lahir: angka 0, 1 atau 2 untuk
masing-masing dari lima tanda, yang bergantung pada ada atau tidaknya
tanda tersebut. Penentuan tingkatan ini dilakukan 1 menit setelah lahir dan
diulang setelah 5 menit.
Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia diklasifikasikan sebagai
berikut (Rsud & Tahun, 2018):
a. Vigorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi.
b. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis dan
refleks iritabilitas tidak ada.
c.Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat yang kadang-
kadang pucat dan refleks iritabilitas tidak ada.
39
2.2.6 Pemeriksaan dan Penunjang Asphyxia
40
Nilai Apgar adalah metode obyektf untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan
berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan bayi secara umum, serta
responnya terhadap resusitasi (Irwanto, 2017). Nilai Apgar ditentukan pada menit ke-1
dan menit ke-5 setelah lahir. Jika nilai Apgar pada menit ke-5 kurang dari 7 maka ada
tambahan nilai setiap 5 menit sampai 20 menit. Nilai Apgar tidak digunakan untuk
memulai tindakan resusitasi ataupun menunda intervensi pada bayi dengan depresi
sampai penilaian menit ke-1. Akan tetapi resusitasi harus segera dimulai sebelum
menit ke-1 dihitung. Evaluasi klinis, laboratorium, dan uji instrumental diperlukan
untuk menilai dan mengelola bayi baru lahir dengan asfiksia. Diagnosis banding untuk
bayi baru lahir dengan dugaan asfiksia akut perdarahan, depresi dari anestesi ibu atau
analgesia, infeksi, gangguan jantung atau paru, trauma, gangguan neurologis dan
penyakit metabolism (Antonucci et al., 2014). Berikut ini evaluasi yang dapat
dilakukan :
41
Sumber : BUKU SAKU. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial (2010)
Menurut Vidia dan Pongki (Ii, Medis, & Neonatorium, 2014) klasifikasi asfiksia
terdiri dari :
1. Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak
memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali.
2. Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak
memerlukan tindakan istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan
tindakan resusitasi.
3. Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
42
sianosis, refleks iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta
pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal.
4. Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif
dan pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu
diberikan natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan
cairan glukosa 40% 1- 2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena umbilikus.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali/menit,
tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas
tidak ada.
2. Tindakan Khusus
a) Asfiksia Berat
Berikan o2 dengan tekanan positif dan intermenten melalui pipa endotrakeal.
Dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan o2. o2 yang
diberikan tidak lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul
lakukan massage jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum
80-100 x/menit.
b) Asfiksia Sedang/Ringan
Pasang Relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik.
Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu kepala
bayi ekstensi maksimal beri o2 1-21/menit melalui kateter dalam hidung, buka
tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atasbawah secara teratur 20
x/menit.
c) Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.
43
Penatalaksanaan resusitasi dasar pada penanganan segera asfiksia neonatorum
dilakukan sesuai dengan algoritma tatalaksana asfiksia neonatorum yang
direkomendasikan American Heart Association (AHA)/American Academy of
Pediatrics (AAP), dengan melakukan beberapa penyesuaian (Iv, Neonatorum,
Kesehatan, & Who, 2007):
1. Tim resusitasi
Di tingkat puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi, mengenali gajala
asfiksia, dan dapat memberikan resusitasi segera. Di tingkat rumah sakit
atau yang lebih tinggi, resusitasi dilakukan oleh dokter atau paramedic
yang telah mengikuti pelatihan resusitasi neonatus yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi.
2. Alat resusitasi
Di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon mengembang sendiri
(self inflating bag/ ambu bag) bagi pelaksanaan ventilasi dalam resusitasi
asfiksia neonatorum. Balon mengembang sendiri juga minimal harus ada
sebagai cadangan dimanapun resusitasi dibutuhkan, bila sumber gas
bertekanan gagal atau T-piece resusitator tidak berfungsi. Di tingkat
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, rumah sakit harus dilengkapi
dengan alat ventilasi yang lebih canggih. Neopuff harus ada ditingkat ini.
3. Penggunaan oksigen
Penggunaan oksigen aliran bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan
hipoksik iskemik ensefalopati.
4. Penggunaan oksimeter untuk monitoring dan panduan pemberian oksigen
44
Alat ini dapat mendeteksi hipoksia pada bayi sebelum bayi terlihat
sianosis secara klinis.15 Oksimeter tidak dapat digunakan pada kondisi
hipovolemia dan vasokontriksi. Keakuratannya ada pada kisaran saturasi
oksigen 70-100% (± 2%). Resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan
tambahan tenaga terampil, termasuk petugas yang terlatih dalam
melakukan intubasi endotrakeal, dan tambahan sarana untuk menjaga
suhu tubuh.
Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi kurang
bulan (Iv et al., 2007):
a. Menjaga bayi tetap hangat
Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk
mengurangi kehilangan panas.
b. Pemberian oksigen
Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi pada
bayi kurang bulan, digunakan blender oksigen dan oksimeter agar jumlah
oksigen yang diberikan dapat diatur dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat
diketahui. Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi
bagi bayi kurang bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur.
c. Ventilasi
Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan
ventilasi tekanan positif yang intermiten. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan:
a) Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 x/menit
tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin
bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak
45
mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan
mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir
Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH2O cukup. CPAP tidak dapat digunakan
dengan balon mengembang sendiri.
b) Tekanan terendah digunakan untuk memperoleh respons yang adekuat
Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang
dari 100 x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH2O
cukup untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan
frekuensi jantung atau gerakan dada, diperlukan tekanan yang lebih tinggi.
c) Pemberian surfaktan secara signifikan
Bayi sebaiknya mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan.
Penelitian menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30
minggu mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah
resusitasi, sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka
belum mengalami distres pernapasan.
d) Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak
Setelah resusitasi, perlu dilakukan pemantauan kadar gula darah, kejadian
apnu dan bradikardi pada bayi, jumlah oksigen dan ventilasi yang tepat,
pemberian minum yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati sambil
mempertahankan nutrisi melalui intravena dan pemantauan kecurigaan
tehadap infeksi. Jika bayi muda ditemukan dalam keadaan kejang, henti
napas, segera lakukan tindakan/pengobatan sebelum melakukan penilaian
yang lain dan rujuk segera (Neonatal et al., 2010). Bayi dapat dirujuk
apabila:
a) Suhu ≥ 36o C
b) Denyut jantung ≥ 100 per menit
c) Tidak ada tanda dehidrasi berat.
48
2.2.9 Asuhan Keperawatan pada Asphyxia
A. Kasus Asphyxia
Bayi baru lahir tanggal 09 Februari 2020 , jam 23.45 WIB dengan berat
badan 2750 gram. Bayi ini merupakan bayi post SC dengan indikasi gagal
vakum 1x, bayi di vakum 1x ±15 menit kemudian gagal. 1 jam sebelum lahir
direncanakan SC, bayi lahir secara SC, jenis kelamin laki-laki, bayi tidak
langsung nangis, nafas tidak spontan, BB 2750 gram, PB: 48cm, Apgar skor :
3-4-5, tonus otot lemah, bayi pucat, air ketuban hijau. Hasil TTV : Nadi : 105
x/m, RR : 46 x/m, S : 350C. Pada jam 23.46 bayi dapat bernafas spontan, jam
00.00 bayi dibawa ke peristi, jam 00.05 di cek TTV( Nadi : 140x/m, RR :
80x/m), bayi mengalami sianosis, tonus otot sangat lemah, bayi agak pucat.
PENGKAJIAN FISIK
B. Paru :
a. Inspeksi : Expansi dada tidak optimal
b. Perkusi : Terdengar bunyi sonor
c. Palpasi : Fokal fremitus seimbang antara kanan dan kiri
d. Auskultasi : Bunyi vesikuler, ada bunyi nafas tambahan ronkhi.
11. Abdomen :
a. Inspeksi : tali pusat masih basah, perut cembung, agak sianosis
b. Auskultasi : peristaltik 12 x/mnt
c. Perkusi : tympani
d. Palpasi : tidak teraba pembesaran hepar
12. Punggung : Simetris
13. Kulit : Elastis, akral dingin, terlihat sianosis
14. Ekstermitas :
a. Atas : Lengkap kedua tangan, untuk bergerak masih lemah,
tidak ada kelainan bentuk tangan
b. Bawah :Lengkap kedua kaki, untuk bergerak masih lemah,
masih pucat, akral dingin
15. Genetalia : Antara kedua testis dan penis sudah terbentuk
sempurna, tidak ada kelainan pada anatomi fisiologinya
16. Anus : Tidak ada kecacatan, sudah dilakukan colok dubur
50
REFLEK
1. Moro : (+) masih lemah
2. Roothing : (+) masih lemah
3. Walking : (+) masih lemah
4. Grosping : (+) masih lemah
5. Sucking : (+) masih lemah
6. Tonick neck : (+) masih lemah
7. Swallowing : (+) masih lemah
ELIMINASI
1. Miksi : (+) kuning jernih
2. Mekonium :(+)H ijau kehitaman
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 10 Februari 2020, jam 00:59:09 WIB.
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Parameters
WBC 26,19 (10^3/uL) M: 4,8-10,8 F: 4,8-10,8
RBC 4,19 (10^6/uL) M: 4,7-6,1 F: 4,2-5,4
HGB 14,8 (g/dl) M: 14-18 F: 12-16
HCT 44,6 (%) M: 42-52 F: 37-47
MCV 106,4 (fl) 79,0-99,0
MCH 35,3 (pg) 27,0-31,0
MCHC 33,2 (g/dl) 33,0-37,0
PLT 287 (10^3/uL) 150-450
RDW-CV 16,1 + (%) 11,5-14,5
RDW-SD 61,9 + (fl) 35-47
PDW 8,7 - (fl) 9,0-13,0
MPV 8,6 – (fl) 7,2-11,1
P-LCR 14,2 (%) 15,0-25,0
DIFFERENTIAL
NEUT# 10,54 (10^3/uL) 1,8-8
LYMPH# 13,64 (10^3/uL) 0,9-5,2
MONO# 1,73 (10^3/uL) 0,16-1
EO# 0,19 (10^3/uL) 0,045-0,44
BASO# 0,09 (10^3/uL) 0-0,2
NEUT% 40,3 (%) 50-70
LYMPH% 52,1 (%) 25-40
MONO% 6,6 (%) 2-8
EO% 0,7 (%) 2-4
BASO% 0,3 (%) 0-1
51
Pemeriksaan kimia darah pada tanggal 10 Februari 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
GDS 188 Mgr% 70-120
ANALISA DATA
Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan
10/2/2020 DS : - Spasme jalan Bersihan Jalan Napas
Jam DO: napas Tidak Efektif
07.40 - Terlihat sianosis (D.0001)
- Ada bunyi ronkhi pada
auskultasi paru
- RR : 55x/mnt
10/2/2020 DS : - Terpapar suhu Hipotermia
Jam DO : lingkungan rendah (D.0131)
07.40 - S : 35,5OC
- Terlihat pucat, agak sianosis
- Akral teraba dingin
10/2/2020 DS : - Efek Prosedur Resiko Infeksi
Jam DO: Invasif
07.40 - WBC : 26.19 10^3/uL
- tampak bekas luka di kaput
ektrasi
- tali pusat masih basah
- terpasang infus umbilikal
53
aktif eksternal
10 Februari 08.30 Resiko infeksi (D.0142) d.d Pencegahan infeksi
2020 efek prosedur invasive (I.14539)
Observasi :
Setelah di lakukan tindakan -Monitor tanda dan gejala
keperawatan selama 3x24 jam infeksi lokal dan sistemik
56
2.3 Hiperbilirubinemia
2.3.1 Definisi Hiperbilirubinemia
2.3.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Pada ikterus fisiologis biasanya disebabkan karena volume eritrosit yang
meningkat, usia eritrosit yang menurun, meningkatnya siklus enterohepatik. Pada
ikteru patologis terjadi oleh karena hemolisis yang meningkat seperti pada
inkompatibilitas golongan darah sistem ABO, inkomptabilitias rhesus, defek pada
membran sel darah merah (Hereditary spherocytosis, elliptocytosis,
57
pyropoikilocytosis, stomatocytosis), defesiensi berbagai enzim (defisiensi enzim
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), defesiensi enzim piruvat kinase,
dan lainnya), hemoglobinopati (pada talasemia). Keadaan lain yang dapat
meningkatkan produksi bilirubin adalah sepsis, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), ekstravasasi darah (hematoma, perdarahan tertutup),
polisitemia, makrosomia pada bayi dengan ibu diabetes (Mishra dkk., 2007).
2. Gangguan pada proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar (Mishra dkk., 2007).
3. Gangguan pada transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak (Lauer dan
Nancy, 2011).
4. Gangguan pada ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain
(Mishra dkk., 2007; Lauer dan Nancy, 2011).
2.3.3 Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin
(Maisels, 2006), Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin denganhemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari
heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tetrapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin indirek, indirek) (Maisels, 2006).
Bilirubin dalam plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air. Zat ini
58
kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Hepatosit melepaskan
bilirubin dari albumin dan mengubahnya menjadi bentuk isomeric monoglucuronides dan
diglucuronide (bentuk indirek) dengan bantuan enzim
uridinediphosphoglucuronosyltransferase 1A1 (UGT1A1) (Maisels dan McDonagh,
2008). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin (Porter dan Dennis, 2002).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati
(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia (Lauer dan Nancy, 2011).
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek
pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan
atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007).
59
b. Gambaran klinik ikterus patologis:
1. Timbul pada umur <36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (Szabo dkk., 2001). Lokasi
penentuan derajat kuning berdasarkan Kramer dapat dlihat pada gambar dibawah.
61
e. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum
digunakan secara rutin.
f. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena(500-
1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi
level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya
belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor
pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah
merah yang dilapisi oleh antibody(Cloherty et al, 2008).
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi
bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
62
2.3.7 WOC Hiperbilirubinemia
63
2.3.8 Asuhan Keperawatan pada Hiperbilirubinemia
A. Kasus Hiperbilirubinemia
Ny. D dengan usia 29 tahun di rumah sakit X melahirkan seorang bayi laki-laki
dengan berat 2300 gram. Ny. d mengatakan tidak pernah melakukan pemeriksaan USG
selama masa kehamilan. Selama masa kehamilan Ny. H tidak merasakan adanya
kejanggalan atau kelainan pada kandungannya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan data kondisi bayi yang lemah dibanding bayi normal dan warna wajah serta
dada yang bewarna kuning. Pemriksaan TTV didapatkan nadi : 136x/menit, RR :
19x/menit suhu : 36,4oC. Kemudian diagnosis masalah keperawatan yang didapatkan
dari data tersebut yaitu bayi dengan Hiperbilirubinemia.
DATA PASIEN
Data Pasien Keterangan
Nama By. E
Umur 4 hari
Jenis Kelamin Laki-laki
Tgl. MRS 10 Novemver 2019
Jam 09.45 WIB
Pekerjaan -
Diagnosis Medis Hiperbilirubinemia
Keluhan - Wajah dan dada bewarna kuning
- Kondisi bayi lemah
Riwayat Penyakit Dahulu -
PENGKAJIAN FISIK
a. Reflek menggenggam : lemah
f. Wajah : Warna wajah terlihat kuning, tidak ada lesi pada wajah,
kulit bersih.
64
g. Leher : Tidak ada kelainan (pembesaran kelenjar
tiroid/distensi vena jugolaris)
n. Ektermitas : Atas bawah tidak ada lesi, kuku klien pendek, gerak
aktif
DIAGNOSTIC TEST
Darah lengkap tanggal : 6 November 2019
- Hb : 16,0 mg/dl (L 13,5 – 18,0 – P 11,5 – 16,0 mg/dl)
- Leukosit : 18.000 (4000 – 11.00).
ANALISA DATA
Tanggal Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan
10-11-2019 DS : - Tubuh klien bewarna Resiko Ikterik Neonatus
DO :
kuning (D.0035)
- Membran mukosa
kuning
- Kulit kung
- Sklera kuning
65
DO :
Hasil Pemeriksaan
tanggal : 6November
2019
- Leukosit : 18.000.
- Bilirubin Direk :
0,83 mg/dl.
- Bilirubin Total :
21,3 mg/dl
4. Resiko Ikterik Neonatus b.d joundice yang d.d kulit wajah dan
dada tampakkuning.
5. Resiko terjadi infeksi
67
- Suhu tubuh stabil 36,5-37 infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
- Lab Normal.
-Batasi jumlah
pengunjung
-Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
-Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
-Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
-Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
-Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
- Mengobservasi P :Intervensi
keadaan umum bayi dilanjutkan
- Mengobservasi intake
dan output
- Mengobservasi penutup
mata dan popok klien
- Suhu 36,4 C, RR : 68
x/mnt, DJJ : 136x/ mnt.
- BB 2300 gr
69
begitu pula dengan
popoknya tertutup dengan
baik
70
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini kami dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan bayi (neonatus) yang lahir dengan
memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai dengan 2499 gram. yang
merupakan hasil dari kelahiran premature (sebelum 37 minggu usia kehamilan).
2. Perawatan metode kanguru (PMK) merupakan salah satu alternatif cara perawatan
yang murah, mudah, dan aman untuk merawat bayi BBLR. Dengan PMK, ibu dapat
menghangatkan bayinya agar tidak kedinginan yang membuat bayi BBLR mengalami
bahaya dan dapat mengancam hidupnya, hal ini dikarenakan pada bayi BBLR belum
dapat mengatur suhu tubuhnya karena sedikitnya lapisan lemak dibawah kulitnya.
3. Asfiksia adalah suatu keadaan yang di gambarkan sebagai kegagalan untuk bernapas
atau ketidakmampuan bayi baru lahir untuk memulai dan mempertahankan resirasi
yang adekuat setelah melahirkan (Dewi, 2019). Asfiksia neonatorum adalah suatu
kondisi imana bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur setelah
dilahirkan (Kunci, 2019). Asfiksia merupakan keadaan klinis yang berhubungan
dengan hipoksemia (kekurangan oksigen), hiperkapnia (akumulasi karbon dioksida),
dan asidosis pada neonatus (Neonatal asphyxia : A study of 210 cases, 2012).
4. Hiperbilirubinemia merupakan keadaan bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum
total melebihi 10mg/dl pada minggu pertama yang ditandai berupa warna kekuningan
pada bayi atau disebut dengan icterus neonatarum yang bersifat patologis. Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek yang berlebih (Xiaong dkk.,
2011).
71
3.2 Saran
72
DAFTAR PUSTAKA
Antonucci, R., Porcella, A., & Pilloni, M. D. (2014). Perinatal asphyxia in the term
newborn. 3(2), 1–14. https://doi.org/10.7363/030269
Amalia, Suci. 2017. Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami BBLR Dengan
Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh di RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
Semarang: STIKES Muhammadiyah Gombyong.
Dewi, Lusi Astriana. (2018). Penerapan Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Pada Bayi Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) Dengan Reflek Hisap Lemah Di Ruang Perinatologi
Rsud Sleman Yogyakarta. Prodi D-III Keperawatan Jurusan Keperawatan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
Dewi, M. R. (2019). Hubungan asfiksia dengan kejang pada neonatus di
ruang perinatologi dan NICU RSUD Wangaya kota Denpasar. 10(1),
144–147. https://doi.org/10.1556/ism.v10i1.398
Gupta, S. K., Sarmah, B. K., Tiwari, D., Shakya, A., & Khatiwada, D. (2018). Clinical
Profile of Neonates with Perinatal Asphyxia in a Tertiary Care Hospital of Central
Nepal. (October 2014). https://doi.org/10.31729/jnma.2802
Gurnida, D. A. (2010). PEMBERIAN DUKUNGAN GIZI PADA ANAK
SAKIT : ENTERAL DAN PARENTERAL. 27–28
Irwanto, I. (2017). Asfiksia pada Bayi Baru Lahir dan Resusitasi Asfiksia pada Bayi
Baru Lahir dan Resusitasi. (September).
Iv, B. A. B., Neonatorum, A. A., Kesehatan, O., & Who, D. (2007).
PERMASALAHAN BAYI BARU LAHIR. 49–86
Kunci, K. (2019). Analisis Faktor Penyebab Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir.
251–262. https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.ART.p251
Ii, B. A. B., Medis, A. T., & Neonatorium, A. (2014). No Title. 8–73
Maryuni, A. 2013. Buku Saku Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta:
Trans Info Media.
Nurqainah. (2017). Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Ny “F” Dengan Berat
Badan Lahir Sangat Rendah (Bblsr) Di Rsud Syekh Yusuf Kabupaten Gowa. Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
73
Nur Sri Atik, Sri Achadi Nugraheni, Kusyogo Cahyo, (2016). Analisis Implementasi
Program Perawatan Metode Kanguru (PMK) Dan Partisipasi Pasien Pada Pelayanan
Kesehatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Studi pada Pasien di Rumah Sakit Mardi
Rahayu Kudus). Jurnal. Vol.4, No. 2
Rsud, D. I., & Tahun, W. (2018). NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR
NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR.
Pediatri, S., Pediatri, S., Manoe, V. M., & Amir, I. (2003). Gangguan Fungsi Multi
Organ pada Bayi Asfiksia Berat. 5(2).
Puspita, Ndaru (2018) Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Ikterus
Neonatorum Di Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol. 6, No. 2( 174-181).
Widiani, N. N. A., Kurniati, D. P. Y., Windiani, I. G. A. T., Widiani, N. N. A., Kurniati,
P. Y., & Windiani, I. G. A. T. (2016). Faktor Risiko Ibu dan Bayi Terhadap
Kejadian Asfiksia Neonatorum di Bali : Penelitian Case Control Maternal and
Infant Risk Factors on The Incidence of Neonatal Asphyxia in Bali : Case
Control Study Pendahuluan Kematian bayi dan balita sebagian besar Meto. 4,
120–126.
Yuliastati dan Amelia Arnis. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan :
Keperawatan Anak. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
74