R DENGAN DIAGNOSA
MEDIS CEDERA OTAK BERAT (COB)
DI IGD RSUD dr.DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
OLEH :
ANISAH
NIM: 2021-01014901-007
1
2
3
4
2.1.4 Etiologi
1) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya .
5
2) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
3) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala, antara lain :
1) Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
2) Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3) Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan
1) Kontak benturan (Gonjatan langsung) Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu
objek
2) Kecelakaan lalu lintas
(1)Jatuh
(2)Kecelakaan industri
(3) Serangan yang disebabkan karena olah raga
(4)Perkelahian
2.1.5 Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
1) Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempar.
2) Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur.
3) Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
6
2.1.6 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral
seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di kepakla dan bola mata, tampak
berkeringat, bisa muntah, dan terjadi kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat
muncul masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100
gr jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuuh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
7
WOC
Perdarahan, P Perdarahan
P Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf Fraktur
hematoma, kesadaran
kesadaran arteri darah di otak motorik tulang
kerusakan & P TIK
Kompensasi meningen P Sirkulasi tengkorak
jaringan
Bed rest tubuh yaitu: P volume
lama vasodilatasi Hematoma kesadaran P darah ke P Gangguan Terputusnya
& bradikardi epidural sensori nafsu makan, ginjal kesadaran koordinasi kontinuitas
Penekanan Anemia mual, muntah, gerak tulang
saraf P
disfagia ekstremitas
system kemampuan Aliran darah Perubahan P P Gangguan
Hipoksia batuk produksi
pernapasan ke otak sirkulasi kemampuan keseimbangan
CSS P urine Hemiparase Nyeri
mengenali
Penurunan Akumulasi intake / hemiplegi akut
Perubahan Hipoksia stimulus
kapasitas makanan dan Resiko
mukus jaringan PK: P TIK Oligouria
pola nafas adaftif cairan cedera
intrakranial Kesalahan Gangguan Resiko
RR , Batuk tdk Gg. perfusi interpretasi mobilitas infeksi
Perubahan
hiperpneu, efektif, jaringan Resiko pola fisik
hiperventil- ronchi, serebral Gangguan defisit eliminasi
asi RR persepsi volume urine
sensori cairan
Pola nafas
tdk efektif
8
Bersihan
jalan nafas Resiko nutrisi kurang
tdk efektif dari kebutuhan
9
2.1.7 Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi:
2.1.7.1 Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak
atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera
kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
2.1.7.2 Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah.
Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan
laserasi.
2.1.7.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas
GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
1) Reaksi membuka mata (E)
Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4
2) Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
10
Mengikuti perintah 6
2) Subdural Hematoma
13
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan udem pupil. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda
dan gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.Tanda
dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk
ususnormal.
(6) Rektum : Rectal to see
8) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
(1) Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif,
droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
(2) Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral
kulit.
2.1.10 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
(1) Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan
kesadaran.
(2) CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
(2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena
syok, febris, dll).
(4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
(5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
(Sthavira, 2012).
(3) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
16
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%.
Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah
pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang
delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk
pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
(5) X – Ray
Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat Darurat
(UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu
menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau
mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak sedang mengalami
perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan tersebut maka pemeriksaan
neurologi secara berkala diharuskan dalam mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan.
CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah
saraf. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara,
dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama
12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam
direkomendasikan bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat
penurunan status neurologis pasien (ATLS, 2008).
17
2.1.12 Komplikasi
1) Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya
memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan
respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh
2) Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3) Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
21
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
4) Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
5) Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran
6) Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa factor
yakni : Prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi
sistemik.
2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1.1 Pengkajian
1) Data subjektif :
(1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
(2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
(3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
(4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
(5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
(6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
22
ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
4) Pemeriksaan penunjang
(1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography): menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
(2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn
subarachnoid (warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
Edisi 1)
Diagnosis keperawatan adalah sebuah label singkat, menggambarkan
kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-
masalah aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan Cedera Otak Berat (COB) yaitu sebagai berikut:
1) Bersihan jalan napas tidak efektik berhubungan dengan obstruksi jalan
napas. (SDKI D.0001 Hal 18)
2) Penurunan kapasitas intra adaptif kranial berhubungan dengan 02 keotak
berkurang. (SDKI D.0066 Hal 149)
3) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan infark jaringan
serebral. (SDKI D.0017 Hal 51)
4) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kelemaham otot spicter.
(SDKI D.0040 Hal 96)
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tirah baring lama. (SDKI
D.0054 Hal 124)
6) Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan menelan terganggu atau tidak
simetris. (SDKI D.0032 Hal 81)
7) Nyeri akut berhubungan dengan agan pencedera biologis (SDKI. D.0077.
Hal: 172)
8) Risiko infeksi berhubungan dengan agen pencedera fisik (Cedera Otak
Berat) (SDKI.D.0142 hal. 304)
27
6 Dx 6 Setelah dilakukan tindakan keperawatan SIKI manajemen gangguan makanan I.03111 halaman 177
Risiko defisit nutrisi selama 2x7 jam resiko defisit nutrisi Obsevasi
berhubungan dengan menelan membaik dengan kriteria hasil : - Monitor asupan makanan dan keluarnya makanan dan caran
terganggu atau tidak simetris. SLKI L.03030 serta kebutuhan kalori
1. Porsi makanan yang dihabiskan : (5) Terapeutik
(SDKI D.0032 Hal 81)
2. Berat Badan : (5) - Timbang berat badan secara rutin
3. Indeks massa tubuh IMT : (5) - Diskusi perilakukan makan dan jumlah aktifitas fisik
4. Frekuensi makan : (5) - Lakukan kontrak prilaku misalnya target berat badan
5. Nafsu Makan : (5) - Damping perilaku ke kamar mandi untuk pengamatan
memuntahkan kembali makanan
Edukasi
- Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan
situasi pemicu pengeluaran maknan
- Ajarkan pengaturan diet yang tepat
- Ajarkan keterampiral koping untuk penyelesaian masalah
perilaku maknan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan makanan
31
7 Diagnosa Kep 1 Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (SIKI.I. 08238, HAL: 201)
Nyeri akut berhubungan SLKI. L. 08066. Hal: 145) Observasi
dengan agan pencedera Setelah dilakukan intervensi, maka 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
biologis Tingkat Nyeri pasein Menurun selama kualitas, intensitas nyeri dan skala nyeri
(SDKI. D.0077. Hal: 172) 1x7 jam dengan 2. Identifikasi faktor yang memperberat dan
Kriteria Hasil: memperingan nyeri
1. Melaporkan nyeri berkurang atau Terapeutik
hilang (skala nyeri berkurang: 3. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
skala 1-2/ nyeri ringan) (5) rasa nyeri (mis, relaksasi napas dalam, terapi musik,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
2. Lamanya nyeri berlangsung
hangat/dingin,)
(rentang waktu dalam 2-3 menit) 4. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(5) (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Ekspresi wajah klien tenang dan 5. Fasilitasi istirahat dan tidur
tidak meringis (5) Edukasi
4. TTV dalam batas normal 6. Jelaskan strategi meredakan nyeri
TD: S=100-140 mmHg 7. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
D=60- 90 mmHg rasa nyeri
N: 60-100 x/m Kolaborasi
S: 36,5- 37,5 ‘C Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi,
R: 12-20 x/m analgetik.
8 Dx 8 Setelah dilakukan asuhan keperawan Edukasi Pencegahan Infeksi (SIKI.I.12406. Hal 80)
32
Tim Pokja SDKI DPP PPNI Cetakan I (2016). Cetakan II 2017, Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan.Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLLKI DPP PPNI Cetakan II (2019). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI Cetakan II (2019). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi
trauma IKABI.
Bickley, Lynn S. (2011). Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Bates. Edisi 5. EGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10.
EGC, Jakarta. Doenges M.E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.