Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Tn.

R DENGAN DIAGNOSA
MEDIS CEDERA OTAK BERAT (COB)
DI IGD RSUD dr.DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

OLEH :
ANISAH
NIM: 2021-01014901-007

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera otak merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Hasil otopsi memperlihatkan 75% penderita memperlihatkan cedera otak pada
kecelakaan lalu lintas yang fatal. Kematian sebagai akibat dari cedera otak yang dari
tahun ke tahun semakin bertambah antara lain karena jumlah penderita cedera otak
yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau kurang sesuai dengan
harapan kita.
Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Kalimantan Tengah mencatat selama
semester petama 2010 tercatat 4.438 kejadian kecelakaan, penderita yang dirujuk ke
rumah sakit RSUD dr.Doris Sylvanus Palangkaraya dan dirawat inap diruang bedah
saraf mencapai 576 orang. Perubahan patofisiologi setelah cedera otak adalah
kompleks. Trauma bisa disebabkan oleh mekanisme yang berbeda dan sering
berkombinasi. Perubahan – perubahan setelah trauma dapat mengakibatkan
kerusakan struktur dan pada tingkat molekuler, biokimia, seluler dan pada tingkat
makroskopis misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema.
Cedera otak digolongkan menjadi 2 yaitu cedera otak primer dan cedera otak
sekunder. Cedera otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi
secara langsung saat kepala tebentur dan memberi dampak cedera jaringan otak.
Cedera otak 2 sekunder terjadi akibat cedera otak primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan (Xiao peng et al, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan dan penulisan studi kasus ini adalah agar penulis
mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang meliputi
biopsikososial dan spiritual pada pasien dengan Cedera Otak Berat (COB) di IGD
RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Pasien dengan diagnosa
medis Cedera Otak Berat (COB) di IGD RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.

1
2

2) Mampu menentukan diagnosa keperawatan Pasien dengan diagnosa medis


Cedera Otak Berat (COB) di IGD RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
3) Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada Pasien dengan diagnosa
medis Cedera Otak Berat (COB) di IGD RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.
4) Mampu melaksanakan implementasi keperawatan Pasien dengan diagnosa
medis Cedera Otak Berat (COB) di IGD RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.
5) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Pasien dengan diagnosa medis
Cedera Otak Berat (COB) di IGD RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat
1.4.1 Rumah Sakit
Sebagai masukan untuk bahan evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan
Cedera Otak Berat (COB)
1.4.2 Mahasiswa
Sebagai tambahan ilmu dalam peningkatan pengetahuan khususnya tentang
asuhan keperawatan Cedera Otak Berat (COB).
1.4.3 Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi pendidikan dan penelitian serta
informasi tentang asuhan keperawatan Cedera Otak Berat (COB).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Cedera Otak


2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).
Cedera otak berat adalah proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan suatu gangguan traumatik dari 9 fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan kesadaran dengan skor GCS 3
sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam. (Haddad and Arabi, 2017)
Jadi yang dimaksud cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2.1.2 Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena
peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma
ketiga terbanyak di dunia. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap
tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala
sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%- 9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana, 2011).

3
4

2.1.3 Jenis-jenis cedera kepala


Ada beberapa jenis cedera kepala yang biasa terjadi (Aggraini, 2020).
Berikut jenis-jenis tersebut:
1) Hematoma
Hematoma adalah pembekuan darah di luar pembuluh darah. Hal ini bisa
menyebabkan tekanan di tengkorak dan memicu hilangnya kesadaran hingga
kerusakan otak permanen.
2) Pendarahan
Pendarahan karena cedera kepala bisa terjadi di ruang sekitar otak, yang dikenal
dengan istilah subaraknoid, dan di dalam jaringan otak, yang disebut pendarahan
intraserebral.
Perdarahan subaraknoid sering menyebabkan sakit kepala dan muntah.
Sementara itu, pendarahan intraserebral bisa menyebabkan penggumpalan darah
yang memicu tekanan pada otak.
3) Gegar otak
Gegar otak terjadi ketika ada benturan keras di tengkorak, Hal ini bisa memicu
hilangnya fungsi otak hingga kerusakan permanen.
4) Pembengkakan otak
Cedera kepala juga berisiko besar menyebabkan pembengkakan otak atau
jaringan di sekitarnya. Hal ini juga bisa memicu tekanan yang menganggu
fungsi otak.
5) Fraktur tengkorak
Luka atau benturan yang keras juga bisa menyebabkan tulang tengkorak patah
atau fraktur, yang berpotensi memicu kerusakan pada otak.
6) Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus adalah cedera pada otak yang tidak menyebabkan
perdarahan tetapi merusak sel-sel otak. Kerusakan sel-sel ini menyebabkan otak
tidak bisa berfungsi. Kondisi ini juga dapat menyebabkan pembengkakan.
Cedera aksonal difus adalah salah satu jenis cedera kepala yang paling
berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan otak permanen hingga
kematian.

2.1.4 Etiologi
1) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya .
5

2) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
3) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala, antara lain :
1) Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
2) Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3) Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan
1) Kontak benturan (Gonjatan langsung) Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu
objek
2) Kecelakaan lalu lintas
(1)Jatuh
(2)Kecelakaan industri
(3) Serangan yang disebabkan karena olah raga
(4)Perkelahian
2.1.5 Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
1) Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempar.
2) Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur.
3) Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
6

2.1.6 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral
seperti kesulitan dalam berbicara,nyeri di kepakla dan bola mata, tampak
berkeringat, bisa muntah, dan terjadi kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat
muncul masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100
gr jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
menyebakan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuuh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
7

WOC

Terkena peluru - Kecelakaa


Benda tajam Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul - Terjatuh
- trauma persalinan
- penyalahgunaan
obat/alkohol
Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial
/ kulit kepala / Jaringan otak

Breath Blood Brain Bowel Bladder Bone

Perdarahan, P Perdarahan
P Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf Fraktur
hematoma, kesadaran
kesadaran arteri darah di otak motorik tulang
kerusakan & P TIK
Kompensasi meningen P Sirkulasi tengkorak
jaringan
Bed rest tubuh yaitu: P volume
lama vasodilatasi Hematoma kesadaran P darah ke P Gangguan Terputusnya
& bradikardi epidural sensori nafsu makan, ginjal kesadaran koordinasi kontinuitas
Penekanan Anemia mual, muntah, gerak tulang
saraf P
disfagia ekstremitas
system kemampuan Aliran darah Perubahan P P Gangguan
Hipoksia batuk produksi
pernapasan ke otak sirkulasi kemampuan keseimbangan
CSS P urine Hemiparase Nyeri
mengenali
Penurunan Akumulasi intake / hemiplegi akut
Perubahan Hipoksia stimulus
kapasitas makanan dan Resiko
mukus jaringan PK: P TIK Oligouria
pola nafas adaftif cairan cedera
intrakranial Kesalahan Gangguan Resiko
RR , Batuk tdk Gg. perfusi interpretasi mobilitas infeksi
Perubahan
hiperpneu, efektif, jaringan Resiko pola fisik
hiperventil- ronchi, serebral Gangguan defisit eliminasi
asi RR persepsi volume urine
sensori cairan
Pola nafas
tdk efektif
8

Bersihan
jalan nafas Resiko nutrisi kurang
tdk efektif dari kebutuhan
9

2.1.7 Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi:
2.1.7.1 Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak
atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera
kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
2.1.7.2 Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah.
Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan
laserasi.
2.1.7.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas
GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
1) Reaksi membuka mata (E)
Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

2) Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
10

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2


Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

3) Reaksi Gerakan lengan / tungkai


Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menjadi:
1) Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai
dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada
fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat
mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio
serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

2.1.8 Manifestasi Klinis


11

1) Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,


kehilangan tonus otot.
2) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
3) Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
4) Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
5) Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
6) Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi
atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya
simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
7) Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
8) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
9) Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung
(CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam
regulasi tubuh.
10) Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
11) Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
12) Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
13) Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
14) Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
12

gangguan pengecapan dan penciuman.


15) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
16) Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
17) Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
18) Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
19) Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi
yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi
pada batang otak.
20) Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat
terjadi.
21) Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
22) Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi pernapasan)
23) Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
Perdarahan yang sering ditemukan:
1) Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media
yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri
karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2
hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala- gejala yang terjadi: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,
muntah, hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

2) Subdural Hematoma
13

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan udem pupil. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda
dan gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.Tanda
dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk

2.1.9 Pemeriksaan Fisik


Observasi dan pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
2) TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
3) Pernafasan ( B1 : Breathing )
(1) Hidung : Hidung simetris, atau terdapat fraktur
(2) Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
(3) Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas
dangkal.
(4) Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan
cuping hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk
(5) Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama
antara kanan dan kiri dinding dada
(6) Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada
batas paru dan hepar.
(7) Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,
14

suara ronchi dan weezing.


4) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
(1) Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus
cordis 1
(2) Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin,
berkeringat
(3) Perkusi : Suara pekak
(4) Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis,
oedema
5) Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS
(1) Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak miring ke sisi kanan
(2) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor,
gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
(3) Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir,
bibir tampak kering, terdapat afasia.
(4) Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher,
tidak tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.
6) Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )
(1) Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,
pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.
(2) Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
(3) Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.
7) Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )
(1) Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak
ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung
kadang-kadang, terdapat diare, buang air besar perhari.
(2) Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada
nyeri tekan.
(3) Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada
daerah hepar.
(4) Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.
(5) Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik
15

ususnormal.
(6) Rektum : Rectal to see
8) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
(1) Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif,
droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
(2) Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral
kulit.
2.1.10 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
(1) Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan
kesadaran.
(2) CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
(2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena
syok, febris, dll).
(4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
(5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
(Sthavira, 2012).
(3) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
16

mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.


(4) EEG

Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%.
Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah
pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang
delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk
pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
(5) X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
2.1.11 Penatalaksanaan
1) Cedera kepala sedang (GCS 9 -12)

Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat Darurat
(UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu
menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau
mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak sedang mengalami
perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan tersebut maka pemeriksaan
neurologi secara berkala diharuskan dalam mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan.
CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah
saraf. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara,
dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama
12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam
direkomendasikan bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat
penurunan status neurologis pasien (ATLS, 2008).
17

2) Cedera kepala berat (GCS < 8)


Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.Urutan tindakan
menurut prioritas adalah sebagai berikut.
(1) Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
a) Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan.
b) Pernafasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral


atau perifer. Kelainansentral adalah depresi pernafasan pada lesi
medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru , DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor
penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan


kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial, yakni berupa
hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tempo nadi jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma.
3) Pemeriksaan fisik
18

Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,


defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan fisik
pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan
dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan
sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
4) Tekanan Intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas
20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut.
a) Hiperventilasi
Setelah resusitasi ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27 -30 mmHg dimana
terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah
serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan
selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi
hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama
24 -48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas
darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
b) Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang
dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
c) Terapi diuretik
(a) Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus 0,5 -1 gram/kgBB dalam
20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24
-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
(b) Loop diuretik (Furosemid)
19

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat


pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstisial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/IV.
(c) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1 mg/kgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol 20 mmHg selama 24-48 jam dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
d) Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
e) Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya


ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada
satu bidang, jangan posisi fleksi atau laterofleksi, supaya pembuluh vena
daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
5) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch,
pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer
laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari
dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan
20

tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit,


pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat
diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti
diuretichormone (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar
elektrolit, gula darah, ureum,kreatinin dan osmolalitas darah.
6) Nutrisi
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral
melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000 -3000 kalori/hari.
7) Epilepsi atau kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,
kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post
traumatik.

2.1.12 Komplikasi
1) Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya
memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan
respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh
2) Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3) Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
21

karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
4) Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
5) Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran
6) Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa factor
yakni : Prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi
sistemik.
2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1.1 Pengkajian
1) Data subjektif :
(1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
(2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
(3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
(4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
(5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
(6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
22

pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani


proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
(7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
(8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
(9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
2) Pengkajian ABCDEF
(1) Airway
a) Cek jalan napas paten atau tidak
b) Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
c) Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan
seperti snoring, gurgling, crowing.
(2) Breathing
a) Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
b) Gerakan dinding dada simetris atau tidak
c) Irama napas cepat, dangkal atau normal
d) Pola napas teratur atau tidak
e) Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
f) Ada sesak napas atau tidak (RR)
g) Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernapasan
(3) Circulation
a) Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
b) Tekanan darah
c) Sianosis, CRT
d) Akral hangat atau dingin, Suhu
23

e) Terdapat perdarahan, lokasi, jumlah (cc)


f) Turgor kulit
g) Diaphoresis
h) Riwayat kehilangan cairan berlebihan
(4) Disability
a) Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
b) GCS : EVM
c) Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
d) Ada tidaknya refleks cahaya
e) Refleks fisiologis dan patologis
f) Kekuatan otot
(5) Exposure
a) Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
b) Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
(6) Five Intervention
a) Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
b) Saturasi oksigen
c) Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
d) Pemeriksaan laboratorium
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian fokus
ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat.
Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat
umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-
tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat
trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf
di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan
hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan
24

produksi sputum, sesak napas.


(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan
jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan
hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
(3) B3 (Brain)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral
dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi
serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya
bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik inspeksi
umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat
paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori ganguan sensibilitas
pada klien cedera kepala berat sesuai dengan segmen yang mengalami
gangguan.
(4) B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine,


termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
(5) B5 (Bowel)

Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus


paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal
yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
(6) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran
25

ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
4) Pemeriksaan penunjang
(1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography): menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
(2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn
subarachnoid (warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.

2.1.2 Diagnosa Keperawatan (SDKI Defenisi dan Indikator Diagnostik


26

Edisi 1)
Diagnosis keperawatan adalah sebuah label singkat, menggambarkan
kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-
masalah aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan Cedera Otak Berat (COB) yaitu sebagai berikut:
1) Bersihan jalan napas tidak efektik berhubungan dengan obstruksi jalan
napas. (SDKI D.0001 Hal 18)
2) Penurunan kapasitas intra adaptif kranial berhubungan dengan 02 keotak
berkurang. (SDKI D.0066 Hal 149)
3) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan infark jaringan
serebral. (SDKI D.0017 Hal 51)
4) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kelemaham otot spicter.
(SDKI D.0040 Hal 96)
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tirah baring lama. (SDKI
D.0054 Hal 124)
6) Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan menelan terganggu atau tidak
simetris. (SDKI D.0032 Hal 81)
7) Nyeri akut berhubungan dengan agan pencedera biologis (SDKI. D.0077.
Hal: 172)
8) Risiko infeksi berhubungan dengan agen pencedera fisik (Cedera Otak
Berat) (SDKI.D.0142 hal. 304)
27

2.1.3 Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)


No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Dx 1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan
SIKI Latihan batuk efektif I.01006 halaman 142
Bersihan jalan napas tidak selama 3 x 7 jam Jalan nafas tetap efektif.
Observasi
efektik berhubungan dengan Kriteria hasil : - Identifikasi kemampuan batuk
obstruksi jalan napas . (SDKI SLKI L.01001 - Monitor adanya retensi sputum
1. Batuk efektif : (3) - Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
D.0001 Hal 18)
2. Produksi sputum : (2) - Monitor input dan ouput cairan
3. Gelisah : (3) Terapeutik
4. Frekuensi napas : (5) - Atur posisi semi-Fowler
5. Pola napas : (5) - Buang secret pada tempat sputum
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran
2 Dx 2 Setelah diberikan asuhan keperawatan SIKI Manajemen peningkatan tekanan intrakarnial I.06194
Penurunan kapasitas adaptif selama 3 x 7 jam, diharapkan Penurunan hal.205
intrakranial berhubungan kapasitas adaptif intrakarnial stabil. Observasi
dengan 02 keotak berkurang. Kriteria Hasil : - Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi,gangguan
SLKI L.0649 metabolisme,edema serebral)
(SDKI D.0066 Hal 149)
1. Fungsi kognitif : (3) - Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah
2. Gelisah : (3) miningkat, tekanan nadi melabar,bradikardia,pola napas
3. Tekanan nadi : (5) ireguler,kesadaran menurun)
4. Pola napas : (5) - Monitor MAP (mean Arterial Pressure)
5. Respon pupil : (3) - Monitor CVP ( Sentral Venous Pressure), jika perlu
6. Tekanan intrakranial : (3) - Monitor PAWP, jika perlu
- Monitor PAP, jika perlu
28

- Monitor ICP (Intra Carnial Pressure), jika tersedia


- Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Monitor gelombang ICP
- Monitor status pernapasan
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor cairan serebro-spinalis (mis.warna,konsistensi)
Terapeutik
- Meminimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Hindari manuver valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari pemberian cairan IV hipotonik
- Atur ventilator agar PaCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsa, jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
- Kolaborasi pemberian pelunan tinja, jika perlu
3 Dx 3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan SIKI Manajemen peningkatan tekanan intracranial I.06294
Perfusi jaringan serebral tidak selama 3x7 risiko penfusi serebral tidak halaman 205
efektif berhubungan dengan efektif meningkat dengan kriteria hasil : Obsevasi
infark jaringan serebral. SLKI L.02014 - Identifikasi penyebab TIK
1. Tingkat kesadaran (5) - Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
(SDKI D.0017 Hal 51)
2. Sakit kepala (5) - Monitor MAP
3. Gelisah (5) - Monitor CVP
4. Nilai rata-rata tekanan darah (5) - Monitor PAP
5. Kesadaran (5) - Monitor ICP (cerebral perfusion pressure)
- Monitor status pernapasan
29

- Monitor intake ouput


Terapeutik
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Hindari maneuver valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Atur ventilator PaCO2 optimal
Kolaborasi
- Kolaborasi pemebrian sedasi dan anti konvulsan
- Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja
4 Dx 4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan SIKI Dukungan perawatan diri BAB/BAK I.11349 halaman 37
Gangguan eliminasi urine selama 3 x7 jam gangguam eliminasi urin Obsevasi
berhubungan dengan membaik dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebiasaan BAK/BAB sesuai usia
kelemaham otot spicter. SLKI L.04034 - Monitor integritas kulit pasien
1. Sensasi berkemih : (5) Terapeutik
(SDKI D.0040 Hal 96)
2. Desakan berkemih : (5) - Buka pakaian yang diperlukan untuk memudahkan eliminasi
3. Frekuensi BAK : (5) - Ganti pakaian pasien setelah eliminasi
4. Karakteritis urine : (5) - Latih BAL/BAB
- Sediakan alat bantu
Edukasi
- Anjurkan BAK/BAN secara utin
- Anjurkan ke kamar mandi/toilet
5 Dx 5 Setelah diberikan asuhan keperawatan 1x 7 SIKI Dukungan ambulasi I.06171 halaman 22
Gangguan mobilitas fisik jam diharapkan mobilisasi klien mengalami Observasi
berhubungan dengan tirah peningkatan. - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
baring lama. (SDKI D.0054 Kriteria hasil: - Indentifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
SLKI L.05042 - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
Hal 124)
1. Pergerakan ekstermitas : (5) memulai ambulasi
2. Kekuatan otot : (5) - Monitor kondisi selama melakukan ambulasi
30

3. Rentang gerak ROM : (5) Terapeutik


4. Kecemasan : (3) - Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
5. Kaku sendi : (3) - Fasilitasi melakukan ambulasi fisik
6. Gerakan terbatas : (3) - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
7. Kelemahan fisik : (3) meningkatkan ambulasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi sederhana yang haru dilakukan misalnya
berjalan dari tempat tidur ke kursi roda

6 Dx 6 Setelah dilakukan tindakan keperawatan SIKI manajemen gangguan makanan I.03111 halaman 177
Risiko defisit nutrisi selama 2x7 jam resiko defisit nutrisi Obsevasi
berhubungan dengan menelan membaik dengan kriteria hasil : - Monitor asupan makanan dan keluarnya makanan dan caran
terganggu atau tidak simetris. SLKI L.03030 serta kebutuhan kalori
1. Porsi makanan yang dihabiskan : (5) Terapeutik
(SDKI D.0032 Hal 81)
2. Berat Badan : (5) - Timbang berat badan secara rutin
3. Indeks massa tubuh IMT : (5) - Diskusi perilakukan makan dan jumlah aktifitas fisik
4. Frekuensi makan : (5) - Lakukan kontrak prilaku misalnya target berat badan
5. Nafsu Makan : (5) - Damping perilaku ke kamar mandi untuk pengamatan
memuntahkan kembali makanan
Edukasi
- Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan
situasi pemicu pengeluaran maknan
- Ajarkan pengaturan diet yang tepat
- Ajarkan keterampiral koping untuk penyelesaian masalah
perilaku maknan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan makanan
31

7 Diagnosa Kep 1 Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (SIKI.I. 08238, HAL: 201)
Nyeri akut berhubungan SLKI. L. 08066. Hal: 145) Observasi
dengan agan pencedera Setelah dilakukan intervensi, maka 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
biologis Tingkat Nyeri pasein Menurun selama kualitas, intensitas nyeri dan skala nyeri
(SDKI. D.0077. Hal: 172) 1x7 jam dengan 2. Identifikasi faktor yang memperberat dan
Kriteria Hasil: memperingan nyeri
1. Melaporkan nyeri berkurang atau Terapeutik
hilang (skala nyeri berkurang: 3. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
skala 1-2/ nyeri ringan) (5) rasa nyeri (mis, relaksasi napas dalam, terapi musik,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
2. Lamanya nyeri berlangsung
hangat/dingin,)
(rentang waktu dalam 2-3 menit) 4. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(5) (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Ekspresi wajah klien tenang dan 5. Fasilitasi istirahat dan tidur
tidak meringis (5) Edukasi
4. TTV dalam batas normal 6. Jelaskan strategi meredakan nyeri
TD: S=100-140 mmHg 7. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
D=60- 90 mmHg rasa nyeri
N: 60-100 x/m Kolaborasi
S: 36,5- 37,5 ‘C Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi,
R: 12-20 x/m analgetik.

8 Dx 8 Setelah dilakukan asuhan keperawan Edukasi Pencegahan Infeksi (SIKI.I.12406. Hal 80)
32

Risiko infeksi berhubungan selama 1x 7 jam, Infeksi tidak terjadi. Observasi:


dengan agen pencedera fisik Kriteria hasil: (SLKI.L.182) 1. Periksa kesiapan dan kemampuan menerima informasi
(Cedera Otak Berat) Kemerahan menurun (5) terapeutik
(SDKI.D.0142 hal. 304) Bengkak menurun (5) 2. Siapkan materi, media tentang faktor-faktor penyebab,
Demam menurun (5) cara identifikasi dan pencegahan infeksi dirumah sakit
Leukosit menurun (5) maupun di rumah
3. Jadualkan waktu yang tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan dengan
pasien dan keluarga
4. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi:
5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
6. Informasikan hasil pemeriksaan laboratorium misalnya
leukosit
7. Anjurkan mengikuti tindakan pencegahan sesuai
kondisi
8. Anjurkan membatasi pengunjung
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
operasi
10. Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan dan istirahat
11. Anjurkan kecukupan mobilisasi
12. Anjurkan latihan napas dalam sesuai kebutuhan
13. Berikan obat sesuai advice dokter
Cefriaxone 2x1 g/ IV
1.2.2 Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan
keperawatan terhadap pasien dengan Cedera Otak Berat (COB). Perawat harus
mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan
pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien.
1.2.3 Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan yaitu untuk pencapaian tujuan dalam asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir
dari proses keperawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI Cetakan I (2016). Cetakan II 2017, Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan.Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLLKI DPP PPNI Cetakan II (2019). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI Cetakan II (2019). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

American College of Surgeon Committee on Trauma. (2011). Cedera Kepala.

Anggraini, (2020). Cedera Kepala: Jenis, Penyebab, Gejala hingga Cara


Mengatasinya. https://apple.co/3hXWJ0Lhttps://health.kompas.com/read/
2020/07/26/073200968/cedera-kepala--jenis-penyebab-gejala-hingga-cara-
mengatasinya?page=all

Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi
trauma IKABI.

Turner DA. (2011). Neurological evaluation of a patient with head trauma.


Dalam : Neurosurgery2nd edition. New York: McGraw Hill, 2011.

Irwana O. (2011). Cedera Kepala. Faculty of Medicine Universitas of Riau


Pekan Baru.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.


Http://www.biausa.org [diakses 23 maret 2021]

Bickley, Lynn S. (2011). Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Bates. Edisi 5. EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10.
EGC, Jakarta. Doenges M.E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Haddad, S. H. and Arabi, Y. M. (2017) ‘Critical care management of severe traumatic


brain injury in adults’, Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine. BioMed Central Ltd, 20(1), p. 12. doi: 10.1186/1757-7241-
20-12.

Hudak & Gallo, (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2,


EGC, Jakarta. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta. Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2012.
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jilid Satu.
Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. (2007). Simposium trauma kranio-serebral


tanggal 3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala.


Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970.
Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta: EGC
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto
L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai