Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

OLEH :

KARDIYANTO

NIM. .......................

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA

TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

A. KONSEP CEDERA KEPALA


1. PENGERTIAN
Cedera kepala masih merupakan permasalah kesehatan global sebagai penyebab
kematian, disabilitas, dan deficit mental. Cedera kepala menjadi salah satu penyebab
kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala sering mengalami edema
cerebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak
atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra kranial.
(Kumar, dkk, 2013).

Menurut Smelter & Bare, (2013). Cedera kepala atau trauma kepala merupakan
kerusakan otak dan sel-sel mati tidak dapat pulih akibat dari trauma atau benturan
sehingga darah yang mengalir berhenti walaupun hanya beberapa menit saja,
sedangkan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan besifat kongenital ataupun degenerativ tetapi
disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma tajam. (Batticaca. F. 2008).

Menurut Smeltzer & Bare (2013), pertimbangan paling penting pada cedera kepala
adalah apakah otak telah atau tidak mengalami cedera. Kejadian cedera minor dapat
menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan
glukosa sampai derajat tertentu. Sementara sel-sel serebral membutuhkan suplai darah
terus-menerus untuk kebutuhan metabolisme yang mengandung oksigen, nutrien dan
mineral. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan keparahan cedera dan
menurut jenis cedera. Berdasarkan keparahannya cedera kepala dibagi menjadi 3,
yaitu Cedera Kepala Ringan (CKR), Cedera Kepala Sedang (CKS), dan Cedera
Kepala Berat (CKB). Sedangkan menurut jenis cedera dibagi 2, yaitu cedera kepala
terbuka dan cedera kepala tertutup (Wijaya & Yessi. 2013). Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada kelompok usia produktif yaitu
antara umur 15 – 45 tahun dan lebih di dominasi oleh kaum laki-laki yang sebagian
besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan kendaraan sepeda
motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak, sisanya disebabkan oleh
jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, korban kekerasan dan lain
sebagainya. (Tobing, 2011).

World Health Organization (WHO), menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas


menjadi penyebab kematian ke sepuluh di dunia dengan jumlah 1,21 juta (2,1%),
sedangkan di negara berkembang menjadi penyebab kematian ketujuh di dunia
dengan jumlah kematian 940.000 (2,4%). Di Amerika Serikat dipekirakan setiap
tahunnya sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala. Lebih dari 52.000 orang
meninggal dunia, 275.000 orang dirawat di rumah sakit, dan hampir 80% dirawat dan
dirujuk ke instalansi gawat darurat. Jenis kelamin laki-laki yang lebih banyak
mengalami cedera kepala dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan.(WHO,
2016). Berdasarkan hasil Kementrian Kesehatan RI (2014), Di Indonesia pada tahun
2013 terdapat 100.106 kejadian kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia
mencapai 26.416 jiwa. Artinya setiap hari 72 nyawa melayang dan rata-rata setiap
jamnya sebanyak 3 orang meninggal akibat kecelakaan. Sementara itu menurut
Lisnawati (2012) menjelaskan bahwa indonesia dalam kurun waktu 3 bulan
(November 2011 – April 2012) ditemukan 524 penderita cedera kepala, 103
diantaranya mengalami delirium dan terdiri dari 27,2% merupakan cedera kepala
sedang dan 72,8% merupakan cedera kepala ringan.

2. ETIOLOGI
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya cedera
kepala adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan
bermotor bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh POLTEKKES KEMENKES RI PADANG Menurut KBBI, jatuh
didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena
gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan turun turun maupun sesudah sampai
ke tanah
c. Kekerasan Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksa).

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah
atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.

Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam cedera
kepala yaitu:
a. Trauma tajam Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk:
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau kedua-duanya.

Menuurut NANDA (2013) mekanisme cidera kepala meliputi Cedera Akselerasi,


Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre Coup, dan Cedera Rotasional.
a. Cedera Akselerasi Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak, missal, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan
ke kepala.
b. Cedera Deselerasi Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada
kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan kekerasan fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh pasien
dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak dengan
bagian dalam rongga tengkorak.

3. PATOFISIOLOGI
Trauma kranio serebral menyebabkan cedera pada kulit, tengkorak dan jaringan otak.
Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa keadaan yang dapat empengeruhi
luasnya cedera kepala pada kepala yaitu:

a. Lokasi dari tempat benturan lansung


b. Kecepatan dan energi yang dipindahkan
c. Daerah permukaan energy yang dipindahkan
d. Keadaan kepala saat benturan (Wahyu Widagdo, dkk, 2007)

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah untuk mengalami cedera dan
kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetakan besar bagi seseorang.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat
digerakkan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal
diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang
mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada
penderita laserasi kulit kepala.

Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri,
perdarahan arteri yang diakibatkan tertimbun dalam ruang epidural bisa
mengakibatkan fatal. Kerusakan neurologik disebabkan oleh suatu benda atau
serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak oleh pengaruh kekuatan
atau energi yang diteruskan ke otak dan oleh efek akselerasi - deselerasi pada otak.
Derajat kerusakan yang disebabkan bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin
besar kekuatan maka makin parah kerusakan yang terjadi. Kerusakan yang tejadi
karena benda tajam berkecepatan rendah dengan sedikit tenaga.

Kerusakan fungsi neurologik terjadi pada tempat tertentu dan disebabkan oleh benda
atau fragmen tulang yang menembus duramater pada tempat serangan. Cedera
menyeluruh sering dijumpai pada trauma tumpul kepala. Kerusakan terjadi waktu
energi atau kekuatan diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan
pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak, tetapi pada trauma hebat
penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Bila kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar (pada kecelakaan) kerusakan tidak hanya terjadi akibat
cedera setempat pada jaringan saja tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi.

Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak


sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dengan benturan. Apabila bagian otak yang kasar bergerak melewati
daerah krista sfenoidalis, bagian ini akan dirobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan
akan diperparah lagi bila trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak
yang akan mengalami cedera yaitu bagian anterior lobus frontalis dan temporalis,
bagian posterior lobus oksipitalis, dan bagian atas mesonfalon. Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade yang barakibat merusak otak. (Price & Wilson.
2012)

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang
dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25%
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral (Bararah &
Jauhar. 2013 ).
4. GEJALA KLINIS CEDERA KEPALA

Tanda-tanda ataugejala klinis untuk yang trauma kepala ringan


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun untuk beberapa saat kemudian sembuh

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

c. Mual atau muntah

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun

e. Perubahan kepribadian diri

f. Letargik

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat

a. Gejala atau tanda-tanda kardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun


atau meningkat

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)

d. Apabila meningkatnya tekanan intracranial terdapat pergerakan atau posisi abnormal


ekstermitas.

5. KOMPLIKASI CEDERA KEPALA

a. Faktor kardiovaskular

1.) Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas


atipikal moikardial, peubahan tekanan vaskuler dan edema paru

2.) Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan


kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri.
Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sisolik. Pengaruh dari
adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

b. Faktor respiratori

1.) Adanya edema paru pada cedera kepala dan vasokonstriksi paru atau hipetensi
paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi

2.) Konsentrasi oksigen dan karbon doiksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2
rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan
tejadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Cerebral Blood Fluid) sehingga oksigen tidak sampai ke otak denan baik.

3.) Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra
cranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau
medulla oblongata.

c. Faktor metabolisme

1.) Pada cedera kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya
yaitu kecenderungan retensi natrium dan air, dan hilangnya sejumlah nitrogen

2.) Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus,
yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

d. Faktor gastrointestinal Trauma juga mempegaruhi system gastrointestinal.Setelah


cedera kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan meransang aktivitas
hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan meransang lambung menjadi
hiperasiditas, dan mengakibatkan terjadinya stress alser.

e. Faktor piskologis Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, cedera
kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang
timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma
berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan penururnan fungsi neurologis akan
mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
6. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013).

a. Cedera kepala ringan-sedang

1.) Disorientai ringan

2.) Amnesia post trauma

3.) Hilang memori sesaat

4.) Sakit kepala

5.) Mual dan muntah

6.) Vertigo dalam perubahan posisi

7.) Gangguan pendengaran

b. Cerdera kepala sedang-berat

1.) Oedema pulmonal

2.) Kejang

3.) Infeksi

4.) Tanda herniasi otak

5.) Hemiparise

6.) Gangguan akibat saraf cranial

Manifestasi klinis spesifik

a. Gangguan otak

1.) Commotion cerebri/gegar otak

a.) Tidak sadar < 10 menit

b.) Muntah-muntah, pusing


c.) Tidak ada tanda deficit neurologis

2.) a.) Tidak sadar > 10 menit

b.) Muntah-muntah, amnesia retrograde

c.) Ada tanda-tanda deficit neurologis

3.) Perdarahan epidural/hematoma epidural

a.) Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam dan
meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri meningeal

b.) Gejala: penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari kacau


mental sampai koma

c.) Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bradikardi,


penurunan TTV d.) Herniasi otak yang menimbulkan: Dilatasi pupil dan reaksi cahaya
hilang, isokor dan anisokor, ptosis

4.) Hematoma subdural

a.) Akumilasi darah antara durameter dan araknoid, karena robekan vena

b.) Gejala: sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfasia

5.) Hematoma subdural

a.) Akut: gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera

b.) Sub akut: gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera

c.) Kronis: 2 minngu sampai dengan 3-4 bulan setelah cedera

6.) Hematoma intracranial

a.) Pengumpulan darah > 25 ml dalam parenkim otak

b.) Penyebab: fraktur depresi tlang tengkorak, cedera penetrasi peluru,


gerakkan akselerasi tiba-tiba

7.) Fraktur tengkorak


a.) Fraktur linear/simple Melibatkan Os temporalis dan pariental, jika garis
fraktur meluas kearah orbita/sinus paranasal sehingga menyebabkan terjadinya
perdarahan

b.) Fraktur basiler Fraktur pada dasar tengkorak, bisa menimbulkan kontak
CSS dengan sinus, memungkinkan bakteri masuk Sedangkan menurut Wahyu
Widagdo, dkk (2007).

Manifestasi klinis cedera kepala antara lain sebagai berikut:

a. Komosio serebri Dapat menimbulkan yaitu:

1.) Muntah tanpa nausea

2.) Nyeri pada lokasi cedera

3.) Mudah marah

4.) Hilang energy

5.) Pusing dan mata berkunang-kunang

6.) Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang

7.) Tidak ada defisit neurologis

8.) Tidak ada ketidaknormalan pupil

9.) Ingatan sementara hilang.

b. Kontusio serebri Dapat menimbulkan yaitu:

1.) Perubahan tingkat kesadaran

2.) Lemah dan paralisis tungkai

3.) Kesulitan berbicara

4.) Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma

5.) Sakit kepala


6.) Leher kaku

7.) Perubahan dalam penglihatan

8.) Tidak berespon baik ransangan verbal dan nyeri

9.) Demam diatas 37

10.) Peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi

11.) Berkeringat banyak

12.) Perubahan pupil (konstriksi, midpoint, tidak bberespon terhadap cahaya)

13.) Muntah

14.) Otorrhea

15.) Tanda Baltt’s (ecchymosis pada daerah frontal)

16.) Flaccid paralisis atau paresis bilateral

17.) Kelumpuhan saraf kramial

18.) Glasgow coma scale di bawah 7

19.) Hemiparesis/paralisis

20.) Posisi dekortiksi

21.) Rhinorrhea

22.) Aktifitas kejang, Doll’s eyes

c. Hematoma epidural

Dapat menimbulkan yaitu:

1.) Luka benturan/penitrasi pada lobus temporalis, sinus dura atau dasar tengkorak

2.) Hilangnya kesadaran dalam waktu singkat mengikuti beberapa menit sampai
beberapa jam periode flasia, kemudian secara progresif turun kesadarannya

3.) Gangguan penglihatan


4.) Sakit kepala

5.) Lemah atau paralisis pada salah satu sisi

6.) Perasaan mengantuk, ataksia, leher kaku yang menunjukkan adanya hematoma
epidural fossa posterior

7.) Tanda-tanda pupil: dilatasi, tidak reaktifnya pupil dengan ptosis dari kelopak
mata pada sisi yang sama sengan hematoma

8.) Tekanan darah meningkat, denyut nadi menurun dengan aritmia, pernapasan
menurun dengan tidak teratur

9.) Kontralateral hemiparisis/paralisis

10.) Kontralateral aktifitas kejang jacksonia

11.) Tanda brudzinki’s positif (dengan hematoma fossa posterior)

d. Hematoma subdural

1.) Akut/subakut Dapat menimbulkan diantaranya:

a.) Berubah-ubah hilang kesadaran

b.) Sakit kepala

c.) Otot wajah melemah

d.) Melemahnya tungkai pada salah satu sisi tubuh

e.) Gangguan penglihatan

f.) Kontralateral hemiparesis/paralisis

g.) Tanda-tanda babinsky positif \

h.) Tanda-tanda pupil (dilatasi, pupil tidak beraksi pada sisis lesi)

i.) Paresis otot-otot ekstraokuler

j.) Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial

k.) Hiperaktif reflek tendon


2.) Kronik

a.) Gangguan mental

b.) Sakit kepala yang hilang timbul

c.) Perubahan tingkah laku

d.) Kelemahan yang hilang timbul pada salah satu tungkai pada sisi tubuh

e.) Meningkat gangguan penglihatan

f.) Penurunan tingkat kesadaran yang hilang timbul

g.) Gangguan fungsi mental

h.) Perubahan pola tidur

i.) Demam ringan

j.) Peningkatan tekanan intracranial

7. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Wahyu
Widagdo, dkk, 2007).
a. Non pembedahan
1.) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema

2.) Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk mengeluarkan
kristal-kristal mikroskopis

3.) Diuretic loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan intracranial

4.) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk
megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko peningkatan tekanan
intracranial

b. Pembedahan Kraniotomi di indikasikan untuk:


1.) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2.) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3.) Mengobati hidrosefalus
B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala

Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah


yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien, merencanakan secara
sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam Andra, dkk. 2013).

Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala
meliputi: 1.
Pengkajian

a. Identitas pasien Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat.

b. Identitas penanggung jawab Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama,
umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.

c. Keluhan utama Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien akan mengalami penurunan
kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.

d. Riwayat Kesehatan

1.) Riwayat kesehatan sekarang


Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual dan muntah,
sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias
beristirahat,kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan

2.) Riwayat kesehatan dahulu Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit
system persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat
penyakit sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-
obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alcohol
( Muttaqin, A. 2008 ).

3.) Riwayat kesehatan keluarga Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular
seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.

e. Permeriksaan fisik

1.) Tingkat kesadaran

i. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)

TABEL PENILAIAN GCS

N KOMPONEN NILA HASIL


O I
1 VERBAL 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti
3 Ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak nyambung
5 Bicara membingungkan Orientasi
baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah
3 REAKSI 1 Tidak berespon
MEMBUKA 2 Dengan rangsangan nyeri
MATA 3 Dengan perintah (sentuh)
(EYE) 4 Spontan
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013, Padila. 2012, NANDA NIC NIC. 2013
ii. Kualitatif

(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,


dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15 -
14.

(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.

(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,


berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.

(4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon


psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.

(5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.

(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3 (Satyanegara. 2010).

2.) Fungsi motorik

Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang digunakan
secara internasional:

Table kekuatan otot

Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa 4
melawan gravitasi, namun tidak mampu
melawan tahanan pemeriksa, gerakan
tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 3
450 , tidak mampu melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan, 2
mampu terangkat sedikit
Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, 1
tonus otot ada
Tidak ada gerakan 0
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013)

Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antar 0
sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami klien.

3.) Pemeriksaan reflek fisiologis

a.) Reflek bisep

Caranya: emeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan


membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk
sudut sedikit lebih dari 900 di siku, minta pasien memflexikan di sikusementara
pemeriksa mengamati dan meraba fossa antecubital, tendon akan terlihat dan
terasa seperti tali tebal, ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada
tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku,
normalnya terjadi fleksi lengan pada sendi siku.

b.) Reflek trisep

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara perlahan


tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu
atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku, ketukan pada
tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi,
normalnya terjadi ekstensi lengan bawah pada sendi siku.

c.) Reflek patella

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring terlentang,


ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena kontraksi
m.quadrisep femoris.
d.) Reflek achiles

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki


menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan posisi
kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe
katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer
pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi
m.gastroenemius (Muttaqin, A. 2010).

4.) Reflek Patologis

Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.

a.) Reflek babynski

Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan, tangan


kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap pada
tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki
dan pengembangan jari kaki lainnya.

b.) Reflek chaddok

Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

c.) Reflek oppenheim

Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal, amati
ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning)
jari-jari kaki lainnya.

d.) Reflek Gordon Menekan

pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada tidaknya gerakan


dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

e.) Reflek hofmen tromen


Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain. Normalnya jari-
jari lain tidak bergerak (Muttaqin, A. 2010).

f. Aspek neurologis

1.) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera
kepala berat 3-8).

2.) Disorientasi tempat/waktu

3.) Reflek patologis dan fisiologis

4.) Perubahan status mental

5.) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)

6.) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia, kehilangan


sebagian lapang pandang

7.) Perubagan tanda-tanda vital

8.) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran

9.) Tanda-tanda peningkatan TIK

a.) Penurunan kesadaran

b.) Gelisah letargi

c.) Sakit kepala

d.) Muntah proyektil

e.) Pupil edema

f.) Pelambatan nadi

g.) Pelebaran tekanan nadi

h.) Peningkatan tekanan darah systole

g. Aspek kardiovaskuler

1.) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)


2.) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)

3.) TD naik, TIK naik

h. System pernafasan

1.) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi stridor, tersedak

2.) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas

3.) Ronki, mengi positif

i. Kebutuhan dasar

1.) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi,


hematuri)

2.) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji


bising usus

3.) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang

j. Pengkajian psikologis

1.) Gangguan emosi/apatis, delirium

2.) Perubahan tingkah laku atau kepribadian

k. Pengkajian social

1.) Hubungan dengan orang terdekat

2.) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
disartria, anomia

l. Nyeri/kenyamanan

1.) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda

2.) Gelisah

m. Nervus cranial
1.) N.I : penurunan daya penciuman

2.) N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan

3.) N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun,


perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
anisokor

4.) N.V : gangguan mengunyah

5.) N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah

6.) N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh

7.) N.IX, X, XI : jarang ditemukan

2. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan diagnostic

1.) X-ray/CT scan

a.) Hematom serebral

b.) Edema serebral

c.) Perdarahan intracranial

d.) Fraktur tulang tengkorak

2.) MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.

3.) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral

4.) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang


patologis.

5.) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks


dan batang otak.

6.) PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan aktivitas


metabolism pada otak
b. Pemeriksaan laboratorium

1.) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi


(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.

2.) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan


regulasi natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan
dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.

3.) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.

4.) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid


(warna, komposisi, tekana).

5.) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan


penurunan kesadaran.

6.) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

3. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b/d gangguan serebrovaskular,


edema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak (TIK).

b. Resiko Ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler,


obstruksi trakeobronkial, kerusakan medula oblongata.

c. Nyeri akut b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, danalat


traksi.

d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi cairan, trauma.

e. Gangguan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatantekanan


intra cranial.
f. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan
sarafmotorik.

g. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

h. Resiko kekurangan volume cairan b/d haluaran urine danelektrolit


meningkat.

i. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kelemahan


otot untuk menguyah dan menelan.

j. Resiko cedera b/d penurunan tingkat kesadaran, gelisah, agitasi, gerkan


involunter dan kejang.

k. Ansietas b/d stress ancaman kematian. (NANDA. 2015).

4. Intervensi keperawatan

Tabel 2.3
Intervensi keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi NOC: NIC:
jaringan serebral a. Circulation status Oxygen Therapy
Definisi: penurunan Kriteria hasil: a) Periksa mulut,
sirkulasi jaringan otak yang 1) Tekanan systole hidung, dan sekret
dapat mengganggu dan diastole trakea
kesehatan. Batasan dalam rentang b) Pertahankan jalan
Karakteristik: yang diharapkan napas yang paten
a) Massa tromboplastin 2) Tidak ada c) Atur peralatan
parsial abnormal ortostatik oksigenasi
b) Massa protrombin hipertensi d) Monitor aliran
abnormal 3) Tidak ada oksigen
c) Aterosklerosis aerotik tandatanda e) Pertahankan posisi
d) Diseksi arteri peningkatan pasien
e) Stenosis karotid tekanan f) Observasi
f) Aneurisme serebri intrakranial tandatanda
g) Koagulopati b. Perfusi hipoventilasi
h) Kardiomiopati dilatasi jaringan:serebral g) Monitor adanya
i) Embolisme Kriteria hasil: kecemasan pasien
j) Hiperkolesterol emia 1)Mempertahankan terhadap
k) Hipertensi tekanan oksigenasi
intrakranial Monitoring
2) Tekanan darah Peningkatan
dalam rentang Intrakranial
normal a) Monitor tekanan
3) Tidak ada nyeri perfusi serebral
kepala b) Catat respon
4) Tidak ada pasien terhadap
muntah stimulasi
5) Memonitor c) Monitor tekanan
tingkat kesadaran intrakranial pasien
dan respon
neurologi terhadap
aktifitas
d) Monitor intake dan
output cairan
e) Kolaborasi dalam
pemberian
antibiotic
f) Posisikan pasien
pada posisi semi
fowler
g) Minimalkan
stimulasi dari
lingkungan
Vital Sign
Monitoring
a) Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
b) Monitor vital sign
saat pasien
berbaring, duduk,
dan berdiri
c) Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
d) Monitor TD, nadi,
RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas
e) Monitor kualitas
dari nadi
f) Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
g) Monitor pola
pernapasan
abnormal
h) Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
i) Monitor sianosis
perifer
j) Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi yang
melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
k) Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign.
2 Ketidakefektifan pola nafas NOC NIC
a.Respiratory Airway management
Status: Ventilation 1. Buka jalan nafas.
Indikator : 2. Posisikan pasien
1) Respiratory rate untuk
dalam rentang normal memaksimalkan
2) Tidak ada retraksi ventilasi.
dinding dada 3. Identifikasi pasien
3) Tidak mengalami perlunya pemasangan
dispnea saat istirahat alat jalan nafas.
4) Tidak ditemukan 4. Lakukan fisioterapi
orthopnea dada bila perlu
5) Tidak ditemukan 5. Auskultasi suara
atelektasis nafas , catat adanya
b.Respiratory suara tambahan 6.
Status: Airway Monitor respirasi dan
Patency Indikator : status O2 Oxygen
1) Respiratory rate Therapy 1.
dalam rentang normal Pertahankan jalan
2) Pasien tidak cemas nafas yang paten
3) Menunjukkan jalan 2. Atur peralatan
nafas yang paten oksigenisasi
3. Monitor aliran
oksigen
4. Pertahankan posisi
pasien
5. Observasi adanya
tanda – tanda
hipoventilasi
6. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenisasi.
Vital Sign
Monitoring
1. Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
2. Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
3. Monitor vital sign
saat pasien berbaring,
duduk atau berdiri
4. Monitor TD, nadi,
RR sebelum, selama
dan setelak aktivitas
5. Monitor kualitas
nadi
6. Monitor frekuensi
dan irama pernapasan
7. Monitor suara paru
8. Monitor pola
pernapasan abnormal
9. Monitor suhu,
warna, dan
kelembapan kulit.
10.Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign
3 Nyeri Akut NOC NIC Pain
a. Pain Level Management
Indikator : 1. Lakukan
1) Melaporkan nyeri pengkajiannyeri
berkurang secara komprehensif
2) Melaporkan termasuk lokasi,
lamanya nyeri karakteristik, durasi,
dirasakan frekuensi, kualitas dan
3) Tidak mengerang faktor presipitasi
4) Ekspresi wajah 2. Observasi reaksi
releks nonverbal dari
5) Pasien tidak ketidaknyamanan
mondarmandir 3. Gunakan teknik
6) Respiration rate komunikasi terapeutik
dalam rentang normal untuk mengetahui
7) Blood pressure pengalaman nyeri
dalam rentang normal pasien
b. Pain Control 4. Kaji kultur yang
Indikator : mempengaruhi respon
1) Mampu mengontrol nyeri
nyeri, (tahu penyebab 5. Kontrol lingkungan
nyeri, mampu yang dapat
menggunakan teknik mempengaruhi nyeri
nonfarmakologis seperti suhu ruangan,
untukmengurangi pencahayaan dan
nyeri, mancari kebisingan
bantuan) 6. Kurangi faktor
2) Melaporkan bahwa presipitasi nyeri
nyeri berkurang 7. Pilih dan lakukan
dengan menggunakan penangan nyeri
manajemen nyeri (farmakologi, non
3) Mampu mengenali farmakologi,
nyeri, (skala, interpersonal)
intensitas, frekuensi, 8. Ajarkan tentang
dan tanda nyeri) teknik non
4) Menyatakan rasa farmakologi
nyamanstelah nyeri 9. Berikan analgetik
berkurang untuk mengurangi
5) Tanda-tanda vital nyeri
dalam batas normal 10. Evaluasi tingkat
c. Comfort Level keefektifan kontrol
Indikator : nyeri
1) Nyeri berkurang 11. Tingkatkan
2) Kecemasan istirahat
berkurang 12. Monitor
3) Stres berkurang penerimaanpasien
4) Ketakutan tentang manajemen
berkurang nyeri.
Analgesic
Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi
dokter tentang jenis
obat,dosis dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
5. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
6. Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala.
(Sumber: NOC. 2013; NIC. 2013)
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2014, New Statistical Update Looks at Worldwide


Heart, Stroke Heath, Dallas.

Amran. 2012. Analisis Faktor Resiko Kematian Penderita Stroke, Makassar.

Bararah, Taqiyyah dan Mohammad Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan


Lengkap Menjadi Perawat Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.

Kementrian Kesehatan RI, 2013, Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik.

Kumar, dkk. 2013. Buku Ajar Patologis Robbin, Ed.7, Vol. 2. Jakarta: Buku
Kedokteran ECG.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda dan Hardi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta:
Mediaction Jogja.

Nurarif, Amin Huda dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta:
Mediaction Jogja.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka


Cipta.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Perhimpunan Dokter Spesialis Indonesia. 2011. Buku Ajar Neurologis Klinis.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Potter, Patricia A., Anne Griffin Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan
Volume 2. Jakarta: EGC

Price, Sylvia. A dan Loraine M. Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit, Ed. 6, Vol 2. Jakarta: EGC.

Priharjo, Robert. 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2, Jakarta: Buku


Kedokteran EGC

Rendi, M. Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

RSUP Dr. M. Djamil. Indeks Penyakit Instalasi Rawat Inap tahun 2013.

Safrizal, dkk. 2013. Hubungan Nilai Oxygen Delivery Dengan Outcome Rawatan
Pasien Cedera Kepala Sedang. http://jurnal.fk.unand.ac.id. Diakses Pada
2013.

Solihin, M, Zainal (2014), Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Kepala Di RSI
Sakinah Kota Mojokerto, diakses dalam
http://repository.poltekkesmajapahit.ac.id/index.php/PUB/-KEB/ article/
view File/549/461, pada tanggal 10 Januari 2017.

Sugiyono, dkk. (2012). Memahami Penelitian Kulitatif. Bandung : Alfabeta.

Sujarweni. W. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava Media.

Tarwoto, dkk. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
CV. Trans Info Media.

Tobing, HG. (2011). Synopsis ilmu bedah saraf. Jakarta: Sagung Seto.

Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah (Keperawatan Dewasa Teori Dan Askep). Yogyakarta: Nuha
Medika.
Widagdo, Wahyu, dkk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Tim Penerbit Buku Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai