1. Definisi
M. Clevo Rendi, Margareth TH (2012). Cedera kepala yaitu adanya
deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada
tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-deceleasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan factor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
2. Etiologi
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya
cedera kepala adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor
bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih di gerakkan turun turun maupun sesudah sampai ke tanah
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksa).
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam
cedera kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi
dalam 4 bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-duanya.
3. Patofisiologi
Trauma kranio serebral menyebabkan cedera pada kulit, tengkorak dan
jaringan otak. Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa
keadaan yang dapat empengeruhi luasnya cedera kepala pada kepala
yaitu:
a. Lokasi dari tempat benturan lansung
b. Kecepatan dan energi yang dipindahkan
c. Daerah permukaan energy yang dipindahkan
d. Keadaan kepala saat benturan (Wahyu Widagdo, dkk, 2007)
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah
untuk mengalami cedera dan kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetakan besar bagi seseorang. Tepat diatas tengkorak
terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal
diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran
dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit
kepala.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%,
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral
(Bararah & Jauhar. 2013 ).
K
o
m
p
e
n
s
a
s
i
t
u
b
u
h
vasokontriksi
Hipoksia, hipoksemia
pH, PO2↓,
PCO2↑
H
e
m
a
t
o
m
d
a
n
kerusakan sel
d
a
r
a
h
Kl
a
s
i
f
i
k
a
s
i
d
a
n
o
k
s
i
f
i
k
a
s
i
M
e
r
o
b
e
k
m
e
m
b
r
a
n
d
a
n
s
e
l
d
a
r
a
h
Ketidakseimbangan nutrisi
Sumber: Wijaya & Yessi. 2013, Padila. 2012 telah diolah kembali
kurang dari kebutuhan
6. Komplikasi cedera kepala
a. Faktor kardiovaskular
1.) Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal moikardial, peubahan tekanan vaskuler dan edema paru
2.) Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan
meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sisolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium
kiri adalah terjadinya edema paru.
b. Faktor respiratori
1.) Adanya edema paru pada cedera kepala dan vasokonstriksi paru atau hipetensi
paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi
2.) Konsentrasi oksigen dan karbon doiksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2
rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2,
akan tejadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan
penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid) sehingga oksigen tidak sampai ke otak
denan baik.
3.) Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan
intra cranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak
atau medulla oblongata.
c. Faktor metabolisme
1.) Pada cedera kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya
yaitu kecenderungan retensi natrium dan air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2.) Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus,
yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron.
d. Faktor gastrointestinal
Trauma juga mempegaruhi system gastrointestinal.Setelah cedera kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan meransang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal.
Hal ini akan meransang lambung menjadi hiperasiditas, dan mengakibatkan
terjadinya stress alser.
e. Faktor piskologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, cedera kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma
akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang
menyebabkan penurunan kesadaran dan penururnan fungsi neurologis akan
mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
7. Manifestasi klinis
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013).
a. Cedera kepala ringan-sedang
1.) Disorientai ringan
2.) Amnesia post trauma
3.) Hilang memori sesaat
4.) Sakit kepala
5.) Mual dan muntah
6.) Vertigo dalam perubahan posisi
7.) Gangguan pendengaran
b. Cerdera kepala sedang-berat
1.) Oedema pulmonal
2.) Kejang
3.) Infeksi
4.) Tanda herniasi otak
5.) Hemiparise
6.) Gangguan akibat saraf cranial
8. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Wahyu Widagdo,
dkk, 2007).
a. Non pembedahan
1.) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema
2.) Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk
mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis
3.) Diuretic loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan
intracranial
4.) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik
untuk megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko
peningkatan tekanan intracranial
b. Pembedahan
Kraniotomi di indikasikan untuk:
1.) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2.) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3.) Mengobati hidrosefalus
ii. Kualitatif
(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai
GCS: 15 - 14.
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
(4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
(5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3
(Satyanegara.
2010).
2.) Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang digunakan
secara internasional:
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, tidak 3
mampu melawan gravitasi
Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antar 0
sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami klien.
3.) Pemeriksaan reflek fisiologis
a.) Reflek bisep
Caranya: emeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan
membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau
membentuk sudut sedikit lebih dari 90 0 di siku, minta pasien
memflexikan di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba
fossa antecubital, tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal,
ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps
brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku, normalnya
terjadi fleksi lengan pada sendi siku.
b.) Reflek trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara
perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk
sudut kanan di bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah
langsung di siku, ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi
pada sendi siku dan sedikit pronasi, normalnya terjadi ekstensi lengan
bawah pada sendi siku.
c.) Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring
terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
d.) Reflek achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan
posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki
dalam posisi tipe katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar
flexi, ketukan hammer pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi
kaki krena kontraksi m.gastroenemius (Muttaqin, A.
2010).
4.) Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus
tertentu.
a.) Reflek babynski
Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan, tangan
kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap pada
tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki
dan pengembangan jari kaki lainnya.
b.) Reflek chaddok
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
f. Aspek neurologis
1.) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera kepala
berat 3-8).
2.) Disorientasi tempat/waktu
3.) Reflek patologis dan fisiologis
4.) Perubahan status mental
5.) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6.) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia, kehilangan sebagian
lapang pandang
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan diagnostic
1.) X-ray/CT scan
a.) Hematom serebral
b.) Edema serebral
c.) Perdarahan intracranial
d.) Fraktur tulang tengkorak
2.) MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3.) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4.) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5.) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6.) PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan aktivitas
metabolism pada otak.
b. Pemeriksaan laboratorium
1.) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan
AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau
untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
2.) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3.) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4.) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekana).
5.) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
6.) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
mengatasi kejang.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b/d gangguan serebrovaskular, edema cerebri,
meningkatnya aliran darah ke otak (TIK).
b. Resiko Ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeobronkial, kerusakan medula oblongata.
c. Nyeri akut b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, danalat
traksi.
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi cairan, trauma.
e. Gangguan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran,
peningkatantekanan intra cranial.
f. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan sarafmotorik.
g. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
h. Resiko kekurangan volume cairan b/d haluaran urine danelektrolit meningkat.
i. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kelemahan otot untuk
menguyah dan menelan.
j. Resiko cedera b/d penurunan tingkat kesadaran, gelisah, agitasi, gerkan involunter
dan kejang.
k. Ansietas b/d stress ancaman kematian. (NANDA. 2015).
4. Intervensi keperawatan
No Diagnosa
Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan NOC: NIC:
perfusi jaringan a. Circulation status Oxygen Therapy
serebral Kriteria hasil: a) Periksa mulut,
Definisi: 1) Tekanan hidung, dan sekret
penurunan sirkulasi systole dan trakea
jaringan otak yang diastole dalam b) Pertahankan jalan
dapat mengganggu rentang yang napas yang paten
kesehatan. diharapkan c) Atur peralatan
2) Tidak ada oksigenasi
Batasan
ortostatik d) Monitor aliran
Karakteristik:
hipertensi oksigen
a) Massa
3) Tidak ada e) Pertahankan
tromboplastin
tandatanda posisi pasien
parsial
abnormal peningkatan tekanan f) Observasi
intrakranial tandatanda
b) Massa
hipoventilasi
protrombin
abnormal b. Perfusi jaringan: g) Monitor adanya
serebral kecemasan pasien
c) Aterosklerosis
Kriteria hasil: terhadap oksigenasi
aerotik
d) Diseksi arteri 1) Mempertahankan
tekanan Monitoring
e) Stenosis karotid intrakranial Peningkatan
f) Aneurisme 2) Tekanan darah Intrakranial
serebri dalam rentang a) Monitor tekanan
g) Koagulopati normal perfusi serebral
h) Kardiomiopati 3) Tidak ada nyeri b) Catat respon pasien
dilatasi kepala terhadap stimulasi
i) Embolisme 4) Tidak ada muntah c) Monitor tekanan
j) Hiperkolesterol 5) Memonitor tingkat intrakranial pasien
emia kesadaran dan respon
k) Hipertensi neurologi terhadap
aktifitas
d) Monitor intake dan
output cairan
e) Kolaborasi dalam
pemberian antibiotic
f) Posisikan pasien pada
posisi semi fowler
g) Minimalkan stimulasi
dari lingkungan
Analgesic
c. Comfort Level Administration
Indikator : 1. Tentukan lokasi,
1) Nyeri berkurang karakteristik,
2) Kecemasan kualitas, dan derajat
berkurang nyeri sebelum
3) Stres berkurang pemberian obat
4) Ketakutan berkurang 2. Cek instruksi dokter
tentang jenis
obat,dosis dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
5. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
6. Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala.
(Sumber: NOC. 2013; NIC. 2013)
5. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian diagnose keperawatan dan intervensi
keperawatan
6. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dilakukan bedasarkan pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi
keperawatan dan implementasi keperawatan yang dilihat dari hasil perkembangan
klein/pasien selama melakukan asuhan keperawatan.