Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KAPITIS/ CEDERA KEPALA

1. Definisi
M. Clevo Rendi, Margareth TH (2012). Cedera kepala yaitu adanya
deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada
tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-deceleasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan factor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.

Morton (2012). Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma


kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).

Wahyu Widagdo, dkk (2007). Cedera kepala adalah trauma yang


mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan
peubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi
fisik, fungsi tingkah laku dan emosional.

2. Etiologi
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya
cedera kepala adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor
bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih di gerakkan turun turun maupun sesudah sampai ke tanah
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksa).

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti


translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila
kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu
gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan
mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.

Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam
cedera kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi
dalam 4 bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak
koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-duanya.

Menuurut NANDA (2013) mekanisme cidera kepala meliputi Cedera


Akselerasi, Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre Coup, dan
Cedera Rotasional.
a. Cedera Akselerasi
Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak,
missal, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala.
b. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada
kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan
mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan
kekerasan fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam
ruang cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai
contoh pasien dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang
menfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

3. Patofisiologi
Trauma kranio serebral menyebabkan cedera pada kulit, tengkorak dan
jaringan otak. Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa
keadaan yang dapat empengeruhi luasnya cedera kepala pada kepala
yaitu:
a. Lokasi dari tempat benturan lansung
b. Kecepatan dan energi yang dipindahkan
c. Daerah permukaan energy yang dipindahkan
d. Keadaan kepala saat benturan (Wahyu Widagdo, dkk, 2007)
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah
untuk mengalami cedera dan kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetakan besar bagi seseorang. Tepat diatas tengkorak
terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal
diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran
dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit
kepala.

Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu


dari arteri, perdarahan arteri yang diakibatkan tertimbun dalam ruang
epidural bisa mengakibatkan fatal. Kerusakan neurologik disebabkan oleh
suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan
otak oleh pengaruh kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan oleh
efek akselerasi - deselerasi pada otak. Derajat kerusakan yang disebabkan
bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan maka
makin parah kerusakan yang terjadi.

Kerusakan yang tejadi karena benda tajam berkecepatan rendah dengan


sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologik terjadi pada tempat tertentu
dan disebabkan oleh benda atau fragmen tulang yang menembus
duramater pada tempat serangan. Cedera menyeluruh sering dijumpai pada
trauma tumpul kepala. Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan
diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung
yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak, tetapi pada trauma hebat
penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Bila kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar (pada kecelakaan) kerusakan
tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada jaringan saja tetapi juga
akibat akselerasi dan deselerasi.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam
tengkorak sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam
mengakibatkan malapetakan besar bagi seseorang. Tepat diatas tengkorak
terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal
diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran
dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit
kepala.

Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu


dari arteri, perdarahan arteri yang diakibatkan tertimbun dalam ruang
epidural bisa mengakibatkan fatal. Kerusakan neurologik disebabkan oleh
suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan
otak oleh pengaruh kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan oleh
efek akselerasi - deselerasi pada otak. Derajat kerusakan yang disebabkan
bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan maka
makin parah kerusakan yang terjadi.

Kerusakan yang tejadi karena benda tajam berkecepatan rendah dengan


sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologik terjadi pada tempat tertentu
dan disebabkan oleh benda atau fragmen tulang yang menembus
duramater pada tempat serangan. Cedera menyeluruh sering dijumpai pada
trauma tumpul kepala. Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan
diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung
yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak, tetapi pada trauma hebat
penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Bila kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar (pada kecelakaan) kerusakan
tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada jaringan saja tetapi juga
akibat akselerasi dan deselerasi.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam
tengkorak sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Apabila bagian
otak yang kasar bergerak melewati daerah krista sfenoidalis, bagian ini
akan dirobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan akan diperparah lagi bila
trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang akan
mengalami cedera yaitu bagian anterior lobus frontalis dan temporalis,
bagian posterior lobus oksipitalis, dan bagian atas mesonfalon. Kerusakan
sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade yang barakibat merusak
otak. (Price & Wilson. 2012)

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%,
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral
(Bararah & Jauhar. 2013 ).

4. Gejala klinis cedera kepala


Tanda-tanda ataugejala klinis untuk yang trauma kepala ringan
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun untuk beberapa saat
kemudian sembuh
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan kepribadian diri
f. Letargik
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat
a. Gejala atau tanda-tanda kardinal yang menunjukkan
peningkatan di otak menurun atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernapasan)
d. Apabila meningkatnya tekanan intracranial terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstermitas
Kecelakaan Tembakan Jatuh Kekerasa

K
o
m
p
e
n
s
a
s
i
t
u
b
u
h

vasokontriksi

Hipoksia, hipoksemia

pH, PO2↓,
PCO2↑

H
e
m
a
t
o
m

d
a
n

kerusakan sel
d
a
r
a
h

Kl
a
s
i
f
i
k
a
s
i

d
a
n

o
k
s
i
f
i
k
a
s
i

M
e
r
o
b
e
k

m
e
m
b
r
a
n

d
a
n

s
e
l

d
a
r
a
h

- TD ↑ Peningkatan TIK MK : Resiko Cedera


POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
- Penurunan kesadaran Ansietas

Ketidakseimbangan nutrisi

Sumber: Wijaya & Yessi. 2013, Padila. 2012 telah diolah kembali
kurang dari kebutuhan
6. Komplikasi cedera kepala
a. Faktor kardiovaskular
1.) Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal moikardial, peubahan tekanan vaskuler dan edema paru
2.) Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan
meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sisolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium
kiri adalah terjadinya edema paru.
b. Faktor respiratori
1.) Adanya edema paru pada cedera kepala dan vasokonstriksi paru atau hipetensi
paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi
2.) Konsentrasi oksigen dan karbon doiksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2
rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2,
akan tejadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan
penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid) sehingga oksigen tidak sampai ke otak
denan baik.
3.) Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan
intra cranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak
atau medulla oblongata.
c. Faktor metabolisme
1.) Pada cedera kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya
yaitu kecenderungan retensi natrium dan air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2.) Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus,
yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron.
d. Faktor gastrointestinal
Trauma juga mempegaruhi system gastrointestinal.Setelah cedera kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan meransang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal.
Hal ini akan meransang lambung menjadi hiperasiditas, dan mengakibatkan
terjadinya stress alser.

e. Faktor piskologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, cedera kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma
akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang
menyebabkan penurunan kesadaran dan penururnan fungsi neurologis akan
mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.

7. Manifestasi klinis
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013).
a. Cedera kepala ringan-sedang
1.) Disorientai ringan
2.) Amnesia post trauma
3.) Hilang memori sesaat
4.) Sakit kepala
5.) Mual dan muntah
6.) Vertigo dalam perubahan posisi
7.) Gangguan pendengaran
b. Cerdera kepala sedang-berat
1.) Oedema pulmonal
2.) Kejang
3.) Infeksi
4.) Tanda herniasi otak
5.) Hemiparise
6.) Gangguan akibat saraf cranial

Manifestasi klinis spesifik


a. Gangguan otak
1.) Commotion cerebri/gegar otak
a.) Tidak sadar < 10 menit
b.) Muntah-muntah, pusing
c.) Tidak ada tanda deficit neurologis
2.)
a.) Tidak sadar > 10 menit
b.) Muntah-muntah, amnesia retrograde
c.) Ada tanda-tanda deficit neurologis
3.) Perdarahan epidural/hematoma epidural
a.) Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam dan
meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri meningeal
b.) Gejala: penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari kacau mental
sampai koma
c.) Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bradikardi,
penurunan TTV
d.) Herniasi otak yang menimbulkan:
Dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang, isokor dan anisokor, ptosis
4.) Hematoma subdural
a.) Akumilasi darah antara durameter dan araknoid, karena robekan vena
b.) Gejala: sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfasia
5.) Hematoma subdural
a.) Akut: gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera
b.) Sub akut: gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera
c.) Kronis: 2 minngu sampai dengan 3-4 bulan setelah cedera
6.) Hematoma intracranial
a.) Pengumpulan darah > 25 ml dalam parenkim otak
b.) Penyebab: fraktur depresi tlang tengkorak, cedera penetrasi peluru, gerakkan
akselerasi tiba-tiba
7.) Fraktur tengkorak
a.) Fraktur linear/simple
Melibatkan Os temporalis dan pariental, jika garis fraktur meluas kearah
orbita/sinus paranasal sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan
b.) Fraktur basiler
Fraktur pada dasar tengkorak, bisa menimbulkan kontak CSS dengan sinus,
memungkinkan bakteri masuk

Sedangkan menurut Wahyu Widagdo, dkk (2007). Manifestasi klinis


cedera kepala antara lain sebagai berikut:
a. Komosio serebri
Dapat menimbulkan yaitu:
1.) Muntah tanpa nausea
2.) Nyeri pada lokasi cedera
3.) Mudah marah
4.) Hilang energy
5.) Pusing dan mata berkunang-kunang
6.) Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang
7.) Tidak ada defisit neurologis
8.) Tidak ada ketidaknormalan pupil
9.) Ingatan sementara hilang.
b. Kontusio serebri
Dapat menimbulkan yaitu:
1.) Perubahan tingkat kesadaran
2.) Lemah dan paralisis tungkai
3.) Kesulitan berbicara
4.) Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma
5.) Sakit kepala
6.) Leher kaku
7.) Perubahan dalam penglihatan
8.) Tidak berespon baik ransangan verbal dan nyeri
9.) Demam diatas 37
10.) Peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi
11.) Berkeringat banyak
12.) Perubahan pupil (konstriksi, midpoint, tidak bberespon terhadap cahaya)
13.) Muntah
14.) Otorrhea
15.) Tanda Baltt’s (ecchymosis pada daerah frontal)
16.) Flaccid paralisis atau paresis bilateral
17.) Kelumpuhan saraf kramial
18.) Glasgow coma scale di bawah 7
19.) Hemiparesis/paralisis
20.) Posisi dekortiksi
21.) Rhinorrhea
22.) Aktifitas kejang, Doll’s eyes
c. Hematoma epidural
Dapat menimbulkan yaitu:
1.) Luka benturan/penitrasi pada lobus temporalis, sinus dura atau dasar tengkorak
2.) Hilangnya kesadaran dalam waktu singkat mengikuti beberapa menit sampai
beberapa jam periode flasia, kemudian secara progresif turun kesadarannya
3.) Gangguan penglihatan
4.) Sakit kepala
5.) Lemah atau paralisis pada salah satu sisi
6.) Perasaan mengantuk, ataksia, leher kaku yang menunjukkan adanya hematoma
epidural fossa posterior
7.) Tanda-tanda pupil: dilatasi, tidak reaktifnya pupil dengan ptosis dari kelopak
mata pada sisi yang sama sengan hematoma
8.) Tekanan darah meningkat, denyut nadi menurun dengan aritmia, pernapasan
menurun dengan tidak teratur
9.) Kontralateral hemiparisis/paralisis
10.) Kontralateral aktifitas kejang jacksonia
11.) Tanda brudzinki’s positif (dengan hematoma fossa posterior)
d. Hematoma subdural
1.) Akut/subakut
Dapat menimbulkan diantaranya:
a.) Berubah-ubah hilang kesadaran
b.) Sakit kepala
c.) Otot wajah melemah
d.) Melemahnya tungkai pada salah satu sisi tubuh
e.) Gangguan penglihatan
f.) Kontralateral hemiparesis/paralisis
g.) Tanda-tanda babinsky positif
h.) Tanda-tanda pupil (dilatasi, pupil tidak beraksi pada sisis lesi
i.) Paresis otot-otot ekstraokuler
j.) Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
k.) Hiperaktif reflek tendon
2.) Kronik
a.) Gangguan mental
b.) Sakit kepala yang hilang timbul
c.) Perubahan tingkah laku
d.) Kelemahan yang hilang timbul pada salah satu tungkai pada sisi tubuh
e.) Meningkat gangguan penglihatan
f.) Penurunan tingkat kesadaran yang hilang timbul
g.) Gangguan fungsi mental
h.) Perubahan pola tidur
i.) Demam ringan
j.) Peningkatan tekanan intracranial

8. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Wahyu Widagdo,
dkk, 2007).
a. Non pembedahan
1.) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema
2.) Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk
mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis
3.) Diuretic loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan
intracranial
4.) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik
untuk megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko
peningkatan tekanan intracranial
b. Pembedahan
Kraniotomi di indikasikan untuk:
1.) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2.) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3.) Mengobati hidrosefalus

B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala


Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang
digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien, merencanakan secara sistematis
dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam Andra, dkk. 2013).
Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala
meliputi:
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan
darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB,
alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,
hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien akan mengalami penurunan
kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat kesehatan
1.) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual dan
muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur,
hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan
2.) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan, riwayat
trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan
cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol ( Muttaqin, A. 2008 ).
3.) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti hipertensi, diabetes
mellitus, dan lain sebagainya
e. Permeriksaan fisik
1.) Tingkat kesadaran
i. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)

No Komponen Nilai Hasil


1 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
3 ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak nyambung
5 Bicara membingungkan
Orientasi baik
2 Motorik 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka 2 Dengan rangsangan nyeri
mata (Eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013, Padila. 2012, NANDA NIC
NIC. 2013)

ii. Kualitatif
(1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai
GCS: 15 - 14.
(2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
(3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
(4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
(5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
(6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3
(Satyanegara.

2010).
2.) Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang digunakan
secara internasional:

Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, tidak 3
mampu melawan gravitasi

Kelemahan berat, Dapat digerakkan, mampu 2


terangkat sedikit
Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1

Tidak ada gerakan 0


(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013)

Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antar 0
sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami klien.
3.) Pemeriksaan reflek fisiologis
a.) Reflek bisep
Caranya: emeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan
membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau
membentuk sudut sedikit lebih dari 90 0 di siku, minta pasien
memflexikan di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba
fossa antecubital, tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal,
ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps
brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku, normalnya
terjadi fleksi lengan pada sendi siku.
b.) Reflek trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara
perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk
sudut kanan di bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah
langsung di siku, ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi
pada sendi siku dan sedikit pronasi, normalnya terjadi ekstensi lengan
bawah pada sendi siku.
c.) Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring
terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
d.) Reflek achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan
posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki
dalam posisi tipe katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar
flexi, ketukan hammer pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi
kaki krena kontraksi m.gastroenemius (Muttaqin, A.
2010).
4.) Reflek Patologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus
tertentu.
a.) Reflek babynski
Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan, tangan
kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap pada
tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki
dan pengembangan jari kaki lainnya.
b.) Reflek chaddok
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

c.) Reflek oppenheim


Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal, amati
ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning)
jari-jari kaki lainnya.
d.) Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada tidaknya
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki
lainnya.
e.) Reflek hofmen tromen
Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain.
Normalnya jari-jari lain tidak bergerak (Muttaqin, A. 2010).

f. Aspek neurologis
1.) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera kepala
berat 3-8).
2.) Disorientasi tempat/waktu
3.) Reflek patologis dan fisiologis
4.) Perubahan status mental
5.) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6.) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia, kehilangan sebagian
lapang pandang

7.) Perubagan tanda-tanda vital


8.) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran
9.) Tanda-tanda peningkatan TIK
a.) Penurunan kesadaran
b.) Gelisah letargi
c.) Sakit kepala
d.) Muntah proyektil
e.) Pupil edema
f.) Pelambatan nadi
g.) Pelebaran tekanan nadi
h.) Peningkatan tekanan darah systole
g. Aspek kardiovaskuler
1.) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
2.) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)
3.) TD naik, TIK naik
h. System pernafasan
1.) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi
stridor, tersedak
2.) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
3.) Ronki, mengi positif
i. Kebutuhan dasar
1.) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi, hematuri)
2.) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji bising
usus
3.) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
j. Pengkajian psikologis
1.) Gangguan emosi/apatis, delirium
2.) Perubahan tingkah laku atau kepribadian
k. Pengkajian social
1.) Hubungan dengan orang terdekat
2.) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara
tanpa arti, disartria, anomia
l. Nyeri/kenyamanan
1.) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda
2.) Gelisah
m. Nervus cranial
1.) N.I : penurunan daya penciuman
2.) N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
3.) N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun, perubahan
ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor
4.) N.V : gangguan mengunyah
5.) N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah
6.) N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
7.) N.IX, X, XI : jarang ditemukan

2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan diagnostic
1.) X-ray/CT scan
a.) Hematom serebral
b.) Edema serebral
c.) Perdarahan intracranial
d.) Fraktur tulang tengkorak
2.) MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3.) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4.) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5.) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6.) PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan aktivitas
metabolism pada otak.

b. Pemeriksaan laboratorium
1.) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan
AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau
untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
2.) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3.) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4.) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekana).
5.) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
6.) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
mengatasi kejang.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b/d gangguan serebrovaskular, edema cerebri,
meningkatnya aliran darah ke otak (TIK).
b. Resiko Ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeobronkial, kerusakan medula oblongata.
c. Nyeri akut b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, danalat
traksi.
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi cairan, trauma.
e. Gangguan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran,
peningkatantekanan intra cranial.
f. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan sarafmotorik.
g. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
h. Resiko kekurangan volume cairan b/d haluaran urine danelektrolit meningkat.

i. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kelemahan otot untuk
menguyah dan menelan.
j. Resiko cedera b/d penurunan tingkat kesadaran, gelisah, agitasi, gerkan involunter
dan kejang.
k. Ansietas b/d stress ancaman kematian. (NANDA. 2015).
4. Intervensi keperawatan

No Diagnosa
Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan NOC: NIC:
perfusi jaringan a. Circulation status Oxygen Therapy
serebral Kriteria hasil: a) Periksa mulut,
Definisi: 1) Tekanan hidung, dan sekret
penurunan sirkulasi systole dan trakea
jaringan otak yang diastole dalam b) Pertahankan jalan
dapat mengganggu rentang yang napas yang paten
kesehatan. diharapkan c) Atur peralatan
2) Tidak ada oksigenasi
Batasan
ortostatik d) Monitor aliran
Karakteristik:
hipertensi oksigen
a) Massa
3) Tidak ada e) Pertahankan
tromboplastin
tandatanda posisi pasien
parsial
abnormal peningkatan tekanan f) Observasi
intrakranial tandatanda
b) Massa
hipoventilasi
protrombin
abnormal b. Perfusi jaringan: g) Monitor adanya
serebral kecemasan pasien
c) Aterosklerosis
Kriteria hasil: terhadap oksigenasi
aerotik
d) Diseksi arteri 1) Mempertahankan
tekanan Monitoring
e) Stenosis karotid intrakranial Peningkatan
f) Aneurisme 2) Tekanan darah Intrakranial
serebri dalam rentang a) Monitor tekanan
g) Koagulopati normal perfusi serebral
h) Kardiomiopati 3) Tidak ada nyeri b) Catat respon pasien
dilatasi kepala terhadap stimulasi
i) Embolisme 4) Tidak ada muntah c) Monitor tekanan
j) Hiperkolesterol 5) Memonitor tingkat intrakranial pasien
emia kesadaran dan respon
k) Hipertensi neurologi terhadap
aktifitas
d) Monitor intake dan
output cairan
e) Kolaborasi dalam
pemberian antibiotic
f) Posisikan pasien pada
posisi semi fowler
g) Minimalkan stimulasi
dari lingkungan

Vital Sign Monitoring


a) Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
b) Monitor vital sign saat
pasien berbaring,
duduk, dan berdiri
c) Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
d) Monitor TD,
nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas
e) Monitor kualitas dari
nadi
f) Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
g) Monitor pola
pernapasan abnormal
h) Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
i) Monitor sianosis
perifer
j) Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
k) Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign.

2. Ketidakefektifan NOC NIC


pola nafas a. Respiratory Status: Airway management 1.
Ventilation Buka jalan nafas.
Indikator : 2. Posisikan pasien
1) Respiratory rate untuk memaksimalkan
dalam rentang normal ventilasi.
2) Tidak ada retraksi 3. Identifikasi pasien
dinding dada perlunya pemasangan
3) Tidak mengalami alat jalan nafas.
dispnea saat istirahat 4. Lakukan fisioterapi
4) Tidak ditemukan dada bila perlu
orthopnea 5. Auskultasi suara
5) Tidak ditemukan nafas , catat adanya
atelektasis suara tambahan
6. Monitor respirasi dan
status O2
b. Respiratory Status : Oxygen Therapy
Airway Patency 1. Pertahankan jalan
Indikator : nafas yang paten
1) Respiratory rate 2. Atur peralatan
dalam rentang oksigenisasi
normal 3. Monitor aliran
2) Pasien tidak cemas oksigen
3) Menunjukkan jalan 4. Pertahankan
nafas yang paten posisi pasien
5. Observasi
adanya tanda –
tanda
hipoventilasi
6. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenisasi.

Vital Sign Monitoring


1. Monitor TD,
nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor vital sign
saat pasien berbaring,
duduk atau berdiri
4. Monitor TD, nadi, RR
sebelum, selama dan
setelak aktivitas
5. Monitor kualitas nadi
6. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
7. Monitor suara paru
8. Monitor pola
pernapasan abnormal
9. Monitor suhu, warna,
dan kelembapan kulit.
10.Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign.
3. Nyeri Akut NOC NIC
a. Pain Level Pain Management
Indikator : 1. Lakukan pengkajian
1) Melaporkan nyeri secara
nyeri berkurang komprehensif
2) Melaporkan lamanya termasuk lokasi,
nyeri dirasakan karakteristik, durasi,
3) Tidak mengerang frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
4) Ekspresi wajah
releks 2. Observasi reaksi
nonverbal dari
5) Pasien tidak
ketidaknyamanan
mondarmandir
3. Gunakan teknik
6) Respiration rate
komunikasi
dalam rentang
terapeutik untuk
normal
mengetahui
7) Blood pressure dalam pengalaman nyeri
rentang pasien
normal
4. Kaji kultur
yang
b. Pain Control
mempengaruhi
Indikator :
respon nyeri
1) Mampu mengontrol
nyeri, (tahu 5. Kontrol lingkungan
penyebab nyeri, yang dapat
mampu mempengaruhi nyeri
menggunakan teknik seperti suhu ruangan,
nonfarmakologis pencahayaan dan
untukmengurangi kebisingan
nyeri, mancari 6. Kurangi faktor
bantuan) presipitasi nyeri
2) Melaporkan bahwa 7. Pilih dan lakukan
nyeri berkurang penangan nyeri
dengan (farmakologi, non
menggunakan farmakologi,
manajemen nyeri interpersonal)
3) Mampu mengenali 8. Ajarkan tentang
nyeri, (skala, teknik non
intensitas, frekuensi, farmakologi
dan tanda nyeri) 9. Berikan analgetik
4) Menyatakan rasa untuk mengurangi
nyamanstelah nyeri nyeri
berkurang 10. Evaluasi tingkat
5) Tanda-tanda vital keefektifan kontrol
dalam batas normal nyeri
11. Tingkatkan istirahat
12. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri.

Analgesic
c. Comfort Level Administration
Indikator : 1. Tentukan lokasi,
1) Nyeri berkurang karakteristik,
2) Kecemasan kualitas, dan derajat
berkurang nyeri sebelum
3) Stres berkurang pemberian obat
4) Ketakutan berkurang 2. Cek instruksi dokter
tentang jenis
obat,dosis dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
5. Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
6. Evaluasi efektifitas
analgesik, tanda dan
gejala.
(Sumber: NOC. 2013; NIC. 2013)

5. Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian diagnose keperawatan dan intervensi
keperawatan
6. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dilakukan bedasarkan pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi
keperawatan dan implementasi keperawatan yang dilihat dari hasil perkembangan
klein/pasien selama melakukan asuhan keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai