Anda di halaman 1dari 25

REFRESHING

TRAUMA KEPALA

Disusun Oleh :

Dwi Purwanti - 2014730021

Pembimbing :

dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK STASE SARAF

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
2018

1
TRAUMA KEPALA / CEDERA KEPALA

A. Definisi

Trauma/cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara


langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa
gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap.1
Cedera otak dibagi menjadi 2, yaitu : cedera otak primer dan cedera otak sekunder.
Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma
sedangkan cedera otak sekunder merupakan kerusakan yang berkembang kemudian
sebagai komplikasi.3

B. Epidemiologi

Cedera kepala merupakan kedaruratan neurologi yang memiliki akibat yang


kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat
otak yang mempengaruhi segala aktifitas manusia, jika terjadi kerusakan akan
mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab cedera kepala yang terbanyak adalah
kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian
cedera kepala yang dirawat di Rumah Sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian
urutan kedua setelah stroke, dan merupakan urutan kelima pada 10 penyakit terbanyak
yang dirawat di Rumah Sakit di Indonesia.1

C. Etiologi

Penyebab cedera kepala antara lain :1

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil


 Kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan
 Cedera akibat kekerasan
 Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak

2
 Kerusakan menyebar karena kekuata benturan, biasanya lebih berat sifatnya
 Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

D. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup.

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas,
maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena
posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak

3
sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang
otak, keadaan ini disebut herniasi.

1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan (contrecoup injury).3

2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bitnik-bintik perdarahan intraserebral.3

3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-
anak dengan tengkorak yang elastis).3

4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan
otak.3

E. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3


deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan : 1

1. Mekanisme

Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul/ cedera kepala tertutup dan cedera
tembus/cedera kepala terbuka. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan
oleh luka tembak atau tusukan.

4
a) Cedera Kepala Terbuka/Tembus

Cedera kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi


duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle
sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar
dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu
dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik
yang dapat membantu mendiagnosa adalah :

 Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )


 Hemotipanum (perdarahan di daerah gendang telinga )
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung )
 Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
 Otorrhoe (liquor keluar dari telinga)

b) Cedera Kepala Tertutup/Tumpul

Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA.
Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio
serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater.
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang
tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan
goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau
dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak
lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga
gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang

5
lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan
jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang
tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah
yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling
rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan
jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma
merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan
otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar
jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

 Komusio serebri (gegar otak)


Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan biasanya hanya
mengakibatkan pingsan sejenak, dengan atau tanpa amnesia retrograde.
Tanda-tanda kelainan neurologic apapun tidak terdapat pada penderita yang
bersangkutan. Diagnosis digunakan untuk kasus semacam itu ialah komusio
cerebri.
Komosio merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi
pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-
noda didepan mata dan linglung. Komosio adalah hilangnya kesadaran
sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan
kerusakan fisik yang nyata. Komosio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi
tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa
terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak.

 Kontusio serebri (Memar otak)


Merupakan perdarahan kecil/petechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Lesi kontusio adalah adanya akselarasi
kepala, yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselarasi yang kuat berarti
pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau
kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens

6
retikularis difus. Akibat blokade tersebut otak tidak mendapatkan input aferen
dan karena itu kesadaran hilang selama blokade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”),
“contercoup”, dan “intermediet”, menimbulkan gejala defisit neurologik,
yang bisa berupa refleks babinski positif dan kelumpuhan UMN. Pada
jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah
coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan
robek padalaserasio serebri.
Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai
adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan
dari kontusio akan terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik,
yaitu akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler
mengalami kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan
akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan
intra vaskuler dan interstisial yang disebut tekanan perfusi. Bila tekanan
arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila
turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang.
Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia
ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran
darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga
memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat
bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,
menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.
Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sindroma pasca kontusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada
konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau
bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang disertai dengan
kebingungan atau bahkan koma.

7
 Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan
tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau
stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus
otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis
perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam
beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi
pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan
otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua
sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

 Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak
diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit
kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan
lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan
kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini
sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.

8
 Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling
otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

2. Beratnya cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (menurut Brain Injury
Associaton of Michigan) :

Klasifikasi Penjelasan
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia setelah trauma < 24 jam
GCS 13-15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥20 menit dan ≤36 jam
Amnesia setelah trauma ≥24 jam dan ≤7 hari
GCS 9-12
Berat Kehilangan kesadaran ≥36 jam
Amnesia setelah trauma >7 hari
GCS 3-8

9
3. Morfologi

a. Fraktur cranium
Klasifikasi fraktur tulang sebagai berikut:
 Gambaran fraktur : linear, diastase, comminuted dan depressed

Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada
permukaan yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh
perubahan bentuk kepala dari sisi benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat fraktur.
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada satu
tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada
daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur
depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan kelenturan
tulang kepala.

 Lokasi anatomis : konveksitas dan basis cranii

Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur tulang
kepala dan 4% dari seluruh cedera kepala. Fraktur basis kranii sering
merupakan ekstensi dari fraktur kubah kranium, dapat juga timbul dari aliran
beban pada benturan langsung pada basis kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah sinus
sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal dengan petrosum, sfenoid ring
bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah terjadi fraktur. Gambaran fraktur
tergantung dari kekuatan tenaga, struktur tulang dan foramen pada basis
kranii. Fraktur basis kranii dengan robekan dura sangat mudah terjadi infeksi
atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan bocornya
LCS berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan
pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh
darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi.

 Keadaan luka : terbuka, tertutup dan lesi intra kranial

10
b. Cedera otak difus

Mulai dari konklusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai


kondisi yang sangat buruk, pada konklusi, penderita biasanya kehilangan
kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograde. Cedera otak difus
yang berat biasanya diaktifkan hipoksia, iskemia dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnea yang terjadi segera setelah trauma. Cedera
otak difus untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.

c. Perdarahan epidural (Epidural Hematoma/EDH)

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak


dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningeal media akibat fraktur tulang tengkorak.

d. Perdarahan subdural (Subdural Hematoma/SDH)

Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan epidural.


Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan
dengan perdarahan epidural.

e. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri yang terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.

11
F. Diagnosis
Anamnesis

1. Keluhan utama, dapat berupa : Penurunan kesadaran, Nyeri kepala


2. Anamnesis tambahan :
 Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
 Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan tingkat
keparahannya ?
 Apakah ada pingsan ?
 Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
 Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
 Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
 Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit
penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian
trauma
3. Komplikasi / Penyulit
 Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
 Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
 Ada sesak nafas, batuk-batuk
 Muntah atau tidak
 Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
 Adanya kejang atau tidak
 Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
 Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
 Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)

Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah


mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.

Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
a. Airway, dengan kontrol servikal:

12
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
 Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas
bebas.
 Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -
ada obstruksi parsial.
 Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada
leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

b. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat


 Pada inspeksi, baju harus dikendorkan untuk melihat ekspansi pernafasan dan
jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan
kanan.
 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
 Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.

c. Circulation, dengan kontrol perdarahan


1) Volume darah
 Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti
sebaliknya.
 Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.
 Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan
dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.

13
 Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka.

d. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
 A : sadar (Alert)
 V : respon terhadap suara (Verbal)
 P : respon terhadap nyeri (Pain)
 U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada
primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
 Skor GCS 13-15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
 Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
 Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
 Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.

2) Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)


 Skor GCS 9-12 (konfusi, letargi, atau stupor)

14
 Konklusi
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
 Kejang.

3) Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)


 Skor GCS 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak


atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu
tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah
disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab
penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.

e. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
 Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
 Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
 Rhinorrhea, Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan
naeurologis lengkap.
 Tingkat kesadaran dengan GCS
 Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
 Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak

15
Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala :

Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi


Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi
sekunder herniasi tentorial
Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese N III
bilateral
Dilatasi unilateral Reaksi menyilang Cedera N. Optikus
(equal) (Marcus-Gunn)
Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati
metabolik, lesi pons
Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik

Amnesia Pasca Trauma (Post-Traumatic Amnesia/PTA)


Indeks lain yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala adalah durasi
amnesia pascatrauma (PTA). PTA didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera
kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi, konsentrasi menurun, atensi menurun,
dan atau ketidakmampuan untuk membentuk memori baru.4

a) PTA 1 hari atau kurang : Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi yang
sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap , biasanya post-ok
syndrome.
b) PTA > 1 hari, tapi < 1 minggu : masa penyembuhan lebih panjang, biasanya
beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan
perawatan yang baik.
c) PTA 1-2 minggu : Penyembuhan membutuhkan waktu beberapa bulan, pada
beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat kembali bekerja,
pasien dapat melakukan aktivitas sosial dengan perawatan yang baik.
d) PTA 2-4 minggu : proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1 tahun atau
lebih. Didapatkan defisit permanen, sebagian tidak dapat melakukan aktivitas
fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas sosial).
e) PTA >4 minggu: terdapat defisit dan disabilitas yang permanen, dibutuhkan
pelatihan dan perawatan jangka panjang.

16
Pemeriksaan penunjang

1. Foto polos cranium ( scadel )


Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.
Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intrakranial.4

2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan
sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk
melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya
perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau
terhadap perkembangan perdarahan pada otak.3

Subdural Hematoma
Secara klinis, ditandai dengan penurunan kesadaran disertai laserasi berupa
hemiparese/plegia dan pada CT-Scan menunjukkan gambaran hiperdens berupa bulan
sabit.2

Gambar 1 Gambaran CT-Scan SDH

Epidural Hematoma
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lateralisasi berupa
hemiparesis/plegia, papil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, jejas pada

17
kepala.2 Pada pemeriksaan CT-scan menunjukkan lesi hiperdens berbentuk
bikonveks.

Gambar 2 Gambaran CT-Scan EDH

Subarakhnoid Hematoma
Tampak densitas yang meningkat di sulci-sulci pada CT-Scan.

Gambar 3 Gambaran CT-Scan SAH

Itracranial Hematoma
CT Scan kepala nonkontras merupakan modalitas terbaik untuk diagnosis
pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak sebagai lesi hiperdens
dengan edema minimal atau tanpa edema di sekeliling lesi. Pada subakut batas perifer
hematoma membentuk ring-like enhancement pada CT Scan dan MRI akibat
proliferasi kapiler pada kapsul hematoma.5

18
Gambar 4 Gambaran CT-Scan ICH

Kontusio Serebri
Pada gambaran CT-Scan menunjukkan perdarahan kecil-kecil di jaringan otak.

Gambar 5 Gambaran CT-Scan Kontusio serebri

G. Tatalaksana

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan atas


patokan pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum yaitu perhatian
urutan prioritas terhadap “6B” :2

Breathing (Jalan napas dan pernapasan)

Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas yang perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan, seperti : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang
cukup atau hiperventilasi bila perlu merupakan tindakan yang berperan penting

19
sehubungan dengan edema serebri yang terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai
frekuensi dan jenis pernapasan penderita.2

Blood (Sirkulasi darah)

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,


leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya
suatu peninggian tekanan intracranial. Sebaliknya, tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
(yang bukan dari kepala/otak) dan membutuhkan tindakan transfusi). 2

Brain (Otak)

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respons-respons mata,


fungsi motoric, dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respons ini merupakan implikasi
adanya perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila pada pemantauan menunjukkan
adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil
(ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (reflex
okulosefalik, okulovestibuler, deviasi konjugat, nystagmus).2

Bladder (Kandung kemih)

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa


kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita mengejan sehingga
tekanan intrakranial cenderung lebih meningkat.2

Bowel (Sistem pencernaan)

Usus yang penuh cenderung untuk meninggikan tekanan intracranial.2

20
Bone (Tulang)

Adanya fraktur mengakibatkan nyeri yang juga pada gilirannya akan


mengakibatkan kenaikan tekanan intracranial. Sehingga penanganan kelainan tulang
sehubungan dengan trauma yang dialami penderita juga harus dilakukan secara adekuat. 2
Berdasarkan prakteknya, cedera kepala dapat ditangani sesuai dengan tingkatan
klasifikasi klinisnya yaitu berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama
pascatrauma:

1. Cedera kepala yang ringan


 Anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan
kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde atau antegrade) serta
keluhan-keluhan yang berkaitan dengan peninggian tekanan intra kranial seperti :
nyeri kepala, pusing, dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan
tanda-tanda ada tidaknya trauma pada kepala, sedangkan amnesia antegrade
(pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat ringannya konkusi cedera kepala yang
terjadi.
 Pemeriksaan fisik ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik
lain, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada.
 Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk
mengetahui adanya : fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal,
pneumosefalus, korpus alinenum sedangkan foto servikal atau bagian tubuh lain
dilakukan sesuai dengan indikasi.
 Pemeriksaan CT-scan memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus
cedera kepala.
 Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
- Amnesia antegrade/pascatraumatika
- Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
- Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat moderat sampai berat.
- Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
- Adanya fraktur tulang tengkorak
- Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)
- Cedera berat bagian tubuh lain
- Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping di rumah)

21
2. Cedera kepala sedang

Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup
pemeriksaan scan tomografi computer otak (CT-Scan). Pada tingkat ini semua kasus
mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di Rumah Sakit
perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow
up CT-Scan pada hari ke-3 atau bila ada perburukan neurologis.

22
3. Cedera kepala berat

Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam
kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai risiko terbesar berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu” dapat berakibat
sangat fatal.

 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-


Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung
memperhebat peninggian tekanan intracranial dan menghasilkan prognosis yang
lebih buruk.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motoric, verbal, pemeriksaan
pupil, reflex okulosefalik dan reflex okulovesibuler. Penilaian neurologis kurang
bermanfaat bila tekanan darah penderita masih rendah (syok).
 Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : CT-scan dan angiografi serebral
 Rawat selama 7 – 10 hari
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

23
Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :

1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah
(pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm.
2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula interna
tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media.
3. Lesi massa ekstra aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula eksterna
4. Lesi massa intra aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari
arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.

H. Prognosis

Prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat tiba di rumah sakit.3

GCS saat tiba Mortalitas


15 1%
8-12 5%
<8 40%

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami


penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Semakin tua umur penderita, maka kemampuan
otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak,
sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri
mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa
mengambil alih fungsi bahasa. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami
amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka
biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.3

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Rianawati, dr. Sri Budhi, dkk. 2017. Buku Ajar Neurologi. Hlm. 437. Jakarta: Sagung
Seto.
2. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV hlm.216-220. Jakarta:PT Gramedia
Pustaka Utama.
3. Grace, Pierce A. dkk. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Hlm.93.
Jakarta:Penerbit Erlangga.
4. Dewanto, dr. George, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf hlm.12-19. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.
6. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.

25

Anda mungkin juga menyukai