TRAUMA KEPALA
Disusun Oleh :
Pembimbing :
1
TRAUMA KEPALA / CEDERA KEPALA
A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Etiologi
2
Kerusakan menyebar karena kekuata benturan, biasanya lebih berat sifatnya
Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam
D. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas,
maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena
posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak
3
sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang
otak, keadaan ini disebut herniasi.
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan (contrecoup injury).3
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bitnik-bintik perdarahan intraserebral.3
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-
anak dengan tengkorak yang elastis).3
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan
otak.3
E. Klasifikasi
1. Mekanisme
Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul/ cedera kepala tertutup dan cedera
tembus/cedera kepala terbuka. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan
oleh luka tembak atau tusukan.
4
a) Cedera Kepala Terbuka/Tembus
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA.
Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio
serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater.
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang
tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan
goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau
dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak
lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga
gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang
5
lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan
jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang
tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah
yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling
rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan
jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma
merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan
otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar
jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
6
retikularis difus. Akibat blokade tersebut otak tidak mendapatkan input aferen
dan karena itu kesadaran hilang selama blokade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”),
“contercoup”, dan “intermediet”, menimbulkan gejala defisit neurologik,
yang bisa berupa refleks babinski positif dan kelumpuhan UMN. Pada
jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah
coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan
robek padalaserasio serebri.
Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai
adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan
dari kontusio akan terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik,
yaitu akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler
mengalami kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan
akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan
intra vaskuler dan interstisial yang disebut tekanan perfusi. Bila tekanan
arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila
turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang.
Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia
ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran
darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga
memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat
bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,
menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.
Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sindroma pasca kontusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada
konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau
bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang disertai dengan
kebingungan atau bahkan koma.
7
Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan
tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau
stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus
otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis
perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam
beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi
pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan
otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua
sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak
diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit
kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan
lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan
kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini
sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
8
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling
otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
2. Beratnya cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (menurut Brain Injury
Associaton of Michigan) :
Klasifikasi Penjelasan
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia setelah trauma < 24 jam
GCS 13-15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥20 menit dan ≤36 jam
Amnesia setelah trauma ≥24 jam dan ≤7 hari
GCS 9-12
Berat Kehilangan kesadaran ≥36 jam
Amnesia setelah trauma >7 hari
GCS 3-8
9
3. Morfologi
a. Fraktur cranium
Klasifikasi fraktur tulang sebagai berikut:
Gambaran fraktur : linear, diastase, comminuted dan depressed
Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada
permukaan yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh
perubahan bentuk kepala dari sisi benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat fraktur.
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada satu
tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada
daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur
depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan kelenturan
tulang kepala.
Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur tulang
kepala dan 4% dari seluruh cedera kepala. Fraktur basis kranii sering
merupakan ekstensi dari fraktur kubah kranium, dapat juga timbul dari aliran
beban pada benturan langsung pada basis kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah sinus
sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal dengan petrosum, sfenoid ring
bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah terjadi fraktur. Gambaran fraktur
tergantung dari kekuatan tenaga, struktur tulang dan foramen pada basis
kranii. Fraktur basis kranii dengan robekan dura sangat mudah terjadi infeksi
atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan bocornya
LCS berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan
pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh
darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi.
10
b. Cedera otak difus
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri yang terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
11
F. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
a. Airway, dengan kontrol servikal:
12
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas
bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -
ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada
leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
13
Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka.
d. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada
primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
Skor GCS 13-15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.
14
Konklusi
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
Kejang.
e. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.
2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
Rhinorrhea, Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan
naeurologis lengkap.
Tingkat kesadaran dengan GCS
Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak
15
Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala :
a) PTA 1 hari atau kurang : Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi yang
sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap , biasanya post-ok
syndrome.
b) PTA > 1 hari, tapi < 1 minggu : masa penyembuhan lebih panjang, biasanya
beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan
perawatan yang baik.
c) PTA 1-2 minggu : Penyembuhan membutuhkan waktu beberapa bulan, pada
beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat kembali bekerja,
pasien dapat melakukan aktivitas sosial dengan perawatan yang baik.
d) PTA 2-4 minggu : proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1 tahun atau
lebih. Didapatkan defisit permanen, sebagian tidak dapat melakukan aktivitas
fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas sosial).
e) PTA >4 minggu: terdapat defisit dan disabilitas yang permanen, dibutuhkan
pelatihan dan perawatan jangka panjang.
16
Pemeriksaan penunjang
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan
sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk
melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya
perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau
terhadap perkembangan perdarahan pada otak.3
Subdural Hematoma
Secara klinis, ditandai dengan penurunan kesadaran disertai laserasi berupa
hemiparese/plegia dan pada CT-Scan menunjukkan gambaran hiperdens berupa bulan
sabit.2
Epidural Hematoma
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lateralisasi berupa
hemiparesis/plegia, papil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, jejas pada
17
kepala.2 Pada pemeriksaan CT-scan menunjukkan lesi hiperdens berbentuk
bikonveks.
Subarakhnoid Hematoma
Tampak densitas yang meningkat di sulci-sulci pada CT-Scan.
Itracranial Hematoma
CT Scan kepala nonkontras merupakan modalitas terbaik untuk diagnosis
pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak sebagai lesi hiperdens
dengan edema minimal atau tanpa edema di sekeliling lesi. Pada subakut batas perifer
hematoma membentuk ring-like enhancement pada CT Scan dan MRI akibat
proliferasi kapiler pada kapsul hematoma.5
18
Gambar 4 Gambaran CT-Scan ICH
Kontusio Serebri
Pada gambaran CT-Scan menunjukkan perdarahan kecil-kecil di jaringan otak.
G. Tatalaksana
Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas yang perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan, seperti : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang
cukup atau hiperventilasi bila perlu merupakan tindakan yang berperan penting
19
sehubungan dengan edema serebri yang terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai
frekuensi dan jenis pernapasan penderita.2
Brain (Otak)
20
Bone (Tulang)
21
2. Cedera kepala sedang
Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup
pemeriksaan scan tomografi computer otak (CT-Scan). Pada tingkat ini semua kasus
mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di Rumah Sakit
perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow
up CT-Scan pada hari ke-3 atau bila ada perburukan neurologis.
22
3. Cedera kepala berat
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam
kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai risiko terbesar berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu” dapat berakibat
sangat fatal.
23
Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :
1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah
(pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm.
2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula interna
tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media.
3. Lesi massa ekstra aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula eksterna
4. Lesi massa intra aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari
arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.
H. Prognosis
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Rianawati, dr. Sri Budhi, dkk. 2017. Buku Ajar Neurologi. Hlm. 437. Jakarta: Sagung
Seto.
2. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV hlm.216-220. Jakarta:PT Gramedia
Pustaka Utama.
3. Grace, Pierce A. dkk. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Hlm.93.
Jakarta:Penerbit Erlangga.
4. Dewanto, dr. George, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf hlm.12-19. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.
6. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
25