CA NASOFARING
Pembimbing:
dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL
Disusun Oleh:
Alun Khairunnisa 2014730005
Dwi Purwanti 2014730021
Feby Gethia A 20147300030
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa
Tutorial yang berjudul “Karsinoma Nasofaring” dapat tersusun dan terselesaikan
tepat pada waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL,
selaku pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian
tutorial ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan selama masa kepaniteraan klinik penulis di bagian THT, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan klinis
yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan kesehatan
secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium 1, 56,0 % untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk
dapat berperan dalam pencegahan , deteksi dini dan rehabilitas perlu diketahui
seluruh aspeknya antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostic, pemeriksaan
serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien
yanhg pengobatanya tidak berhasil dengan baik.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faring merupakan bagian dari system pencernaan dan pernafasan yang berada di
sebelah posterior rongga hidung dan rongga mulut, memanjang dengan berbatasan
dengan laring pada bagian inferiornya.16
Faring merupakan ruangan fibro-muskular dengan panjang + 15 cm
dengan batas-batas sebagai berikut:
Anterior : choana
Superior : dasar tengkorak (basis cranii)
Inferior : batas inferior dari vertebra C6 posterior dan pallatum
molle
3
Faring dibagi menjadi 3 bagian:
Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke
anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan
yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke
supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring
terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral
akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma
nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa
yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda
dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini
disebabkan karena adanya jaringan adenoid.3,4 Di nasofaring terdapat
banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara
di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).3,4
o punya f(x) respirasi
o terletak diatas palatum molle dan dibelakang nasal cavity (choana).
o Sejumlah jar. Limfoid pada faring membentuk incomplete tonsilar
ring pada superior faring, disebut Waldeyer’s ring.
o Jaringan limfoid beragregrasi membentuk pharyngeal
tonsil/adenoid (berada dalam membrane mukosa dari atap dan
dinding posterior nasofaring.
Orofaring
o Memiliki fungsi digestive
o superior : soft palate / palatum molle
inferior : pangkal lidah
4
lateral : palatoglosal dan palatopharingeal arches (pilar tonsil)
meluas dari soft palate ke superior dari epiglotis
o terdapat palatine tonsil yang merupakan kumpulan jar.limfoid pada
masing2 orofaring antara palatine.
Laringofaring
o terletak posterior terhadap laring
o meluas dari superior epiglotis dan pharyngoepiglotic fold ke
inferior cricoid cartilage dimana akan menyempit dan berlanjut ke
esophagus.
o C4-C6
o Dinding posterior dan lateral dibentuk oleh middle dan inferior
constrictor muscle.
Faring merupakan tabung otot yang mengandung otot-otot:
Otot palatal
Otot stylopharyngeus
Otot salpingopharyngeus
Otot palatopharyngeus
5
Gambar 2. Anatomi concha, nasopharynx, dan laryngopharynx
6
Gambar 3. Nn. Cranialis
7
Gambar 5. Relations of the Pharynx
8
2.1.1 Otot-otot Faring1
9
Gambar 7. Otot – otot pharynx
10
2.3 Fisiologi Menelan 3
11
TAHAP VOLUNTER DARI PENELANAN.
Bila makanan sudah siap untuk ditelan, "secara sadar" makanan ditekan
atau digulung ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke
belakang terhadap palatum, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 63-1. Dari
sini, proses menelan menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung
secara otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.18
12
serius pada penelanan.
4. Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan esofagus.
Pada saat yang bersamaan, 3-4 sentimeter di atas dinding otot esofagus,
suatu area yang dinamakan sfingter esofagus bagian atas atau sfingter
faringoesofageal, berelaksasi, sehingga makanan dapat bergerak dengan
mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di an-
tara penelanan, sfingter ini, tetap berkontraksi dengan kuat (sebesar tekanan
60 mm Hg di dalam lumen uses), dengan demikian mencegah udara masuk
ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke atas juga mengangkat
globs keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan biasanya
melewati sisi-sisi epiglotis dan bukan melintas di atas permukaannya-, hal
ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke dalam trakea.
5. Pada saat yang bersamaan dengan terangkatnya laring dan relaksasi
sfingter faringoesofageal, seluruh otot dinding faring berkontraksi,
mulai dari bagian superior faring dan menyebar ke bawah sebagai
gelombang peristaltik yang cepat melintasi daerah faring media dan
inferior dan kemudian ke dalam esofagus, yang mendorong makanan ke
dalam esofagus.
Sebagai ringkasan mekanika tahapan penelanan dari faring: trakea
tertutup, esofagus terbuka, dan suatu gelombang peristaltik cepat berasal dari
faring mendorong bolus makanan ke dalam esofagus bagian atas, dan seluruh
proses terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik.
13
BAB III
KARSINOMA NASOFARING
3.1 Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang
terbanyak di temukan di Indonesia.5 karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
yang berasal dari epitel nasofaring.
3.3 Etiologi
Sudah hampir pasti dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, karena semua penderita nasofaring didapatkan titer
anti-virus EB yang cukup tinggi.4-6
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan
sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam
jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai
dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan
virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.2 Mediator di bawah ini
dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :
14
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : -
benzopyrenen - benzoanthracene - gas kimia - asap industri - asap kayu - beberapa
ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.2,3
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara
kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma
nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan tidak jelas.
15
g) kebiasaan hidup
Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan
(daging dan ikan) terutama pada musim dingin.
h) kebudayaan
i) sosial ekonomi
Sebagian besar penderita adalah golongan sosial ekonomi rendah
dan hal ini pula menyangkut dengan lingkungan dan kebiasaan hidup.
j) infeksi kuman atau parasit.4-6
16
3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
Anamnesis
Dapat ditemukan keluhan benjolan pada area hidung dan leher, nyeri
tenggorokan, kesulitan bernafas, nyeri atau dengung di telinga, dan nyeri kepala.
Pembesaran dan ekstensi tumor di nasofaring dapat menyebabkan:
Obstruksi nasal: kongesti, secret hidung, perdarahan
Perubahan pendengaran: biasanya akibat tuba eustachius tertutup
Kelumpuhan saraf kranial: biasanya berhubungan dengan ekstensi tumor ke
basis kranii. Sindrom unilateral merupakan ciri khas dari KNF
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan leher dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening (KGB) yang tegas dan tidak nyeri (ditemukan pada 80% pasien).
Karsinoma nasofaring jarang sekali terdeteksi pada stadium dini ( sebelum
terjadinya penyebaran ke kelenjar limfe regional). Pembagian level KGB di leher
adalah sebagai berikut:
Level I: nodus submental dan submandibular
Level Ia: segitiga submental
Level Ib: segitiga submandibular
Level II : nodus jugular atas
Level III: nodus jugular tengah
Level IV: nodus jugular bawah
Level V: kelompok segitiga posterior
Level VI: kelompok segitiga anterior
Level VII: nodus mediastinal atas
17
c) Diagnosis pasti ditegakan dengan biopsi nasofaring yang dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung dan mulut. Biopsi dari
hidung dilakukan dengan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy) dengan memasukan cunam biopsi melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut
dengan menggunakan kateter nelaton yang dimasukan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar
dan diklem bersam-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian
juga dengan hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik
ke atas kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.
Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi dilakukan dengan anestersi
topikal Xylokain 10%.5,6
3.7 Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe,
yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas
sel tidak terlihat dengan jelas.2,6,10 Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa
keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif.
Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.2 Klasifikasi
18
gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.6
3.8 Stadium 4
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992) :
T = Tumor primer
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pad a satu lokalisasi saja (lateral/ posterosuperior/ atap
dan lain-lain)
T2 = Tumor terdapat pada 2 lokalisasi atau lebih tapi masih terbatas di rongga
nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atatu
mengenal saraf-sraf otak.
TX = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
M = Metastasis jauh
19
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasih jauh
Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
Atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1
3.9 Terapi
1. Radioterapi merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Sampai saat
ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
2. Pengobatan tambahan:
Diseksi leher
Pemberian tetrasiklin
Faktor transfer
Interferon
Kemoterapi(terapi tambahan terbaik)
o Cis-platinum
o Bleomycin
o 5-fluorouracil
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radio
20
sensitizer” memperlihatkan hasil yang memberikan harapan akan
kesembuhan total penderita karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan
di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan serologik dan radiologik.5
3.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk dengan resiko tinggi
Mengubah kebiasaan hidup tidak srhat menjadi lebih baik
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup sehat
Meningkatkan sosio-ekonomi
Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan anti EA secara masal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
13. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada
pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16.
14. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h. 179-
87.
15. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK
USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.
16. Moore KL, Dalley AF. Anatomi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Hipokrates; 2002.
17. Juncqueira. Histologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
18. Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
19. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke
delapan. McGrawl-Hill. 2003.
20. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006.
21. George L. Adams, M.D., J. Lawrence R. Boies, M.D., dan M.D. Peter A.
Higler, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997
23