Anda di halaman 1dari 26

TUTORIAL

CA NASOFARING

Pembimbing:
dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Alun Khairunnisa 2014730005
Dwi Purwanti 2014730021
Feby Gethia A 20147300030

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa
Tutorial yang berjudul “Karsinoma Nasofaring” dapat tersusun dan terselesaikan
tepat pada waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL,
selaku pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian
tutorial ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan selama masa kepaniteraan klinik penulis di bagian THT, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan klinis
yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan kesehatan
secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan.

Cianjur, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Anatomi Faring .........................................................................................3
2.2 Histologi Nasofaring ...............................................................................10
2.3 Fisiologi Menelan ....................................................................................11
BAB III KARSINOMA NASOFARING ..............................................................14
3.1 Definisi ....................................................................................................14
3.2 Epidemiologi dan Insidensi .....................................................................14
3.3 Etiologi ....................................................................................................14
3.4 Faktor Risiko ...........................................................................................15
3.5 Gejala dan Tanda .....................................................................................16
3.6 Diagnosis .................................................................................................17
3.7 Histopatologi ...........................................................................................18
3.8 Stadium....................................................................................................19
3.9 Terapi ......................................................................................................20
3.10 Perawatan Paliatif ....................................................................................21
3.11 Pencegahan ..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan suatu penyakit tumor ganas yang paling


banyak di Indonesia. Hampir 60% tumor kepala dan leher adalah karsinoma
nasofaring, yang diikuti oleh tumor ganas hidung, dan sinus paranasal (18%),
laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentasi
rendah. Karsinoma nasofaring berada dalam kedudukan lima besar dari tumor
ganas tubuh manusia bersama tumor ganas cervix uteri, tumor payudara, tumor
getah bening, dan tumor kulit.1
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama1,2 Tumor ini berasal dari
fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana
epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.3,4,5 Survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan
angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.2 Penanggulangan
karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.2 Pada stadium
dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara
tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium
lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan
radioterapi.2,3,5-13
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien namun cukup sulit dilakukan,
karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak dibawah
dasar tengkorak serta berhubung dengan banyak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun posterior leher.2

1
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium 1, 56,0 % untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk
dapat berperan dalam pencegahan , deteksi dini dan rehabilitas perlu diketahui
seluruh aspeknya antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostic, pemeriksaan
serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien
yanhg pengobatanya tidak berhasil dengan baik.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring

Gambar 1. Nasal and Oral Cavities pharynx and larynx

Faring merupakan bagian dari system pencernaan dan pernafasan yang berada di
sebelah posterior rongga hidung dan rongga mulut, memanjang dengan berbatasan
dengan laring pada bagian inferiornya.16
Faring merupakan ruangan fibro-muskular dengan panjang + 15 cm
dengan batas-batas sebagai berikut:
 Anterior : choana
 Superior : dasar tengkorak (basis cranii)
 Inferior : batas inferior dari vertebra C6 posterior dan pallatum
molle

3
Faring dibagi menjadi 3 bagian:
 Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke
anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan
yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke
supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring
terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral
akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma
nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa
yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda
dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini
disebabkan karena adanya jaringan adenoid.3,4 Di nasofaring terdapat
banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara
di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).3,4
o punya f(x) respirasi
o terletak diatas palatum molle dan dibelakang nasal cavity (choana).
o Sejumlah jar. Limfoid pada faring membentuk incomplete tonsilar
ring pada superior faring, disebut Waldeyer’s ring.
o Jaringan limfoid beragregrasi membentuk pharyngeal
tonsil/adenoid (berada dalam membrane mukosa dari atap dan
dinding posterior nasofaring.
 Orofaring
o Memiliki fungsi digestive
o superior : soft palate / palatum molle
inferior : pangkal lidah

4
lateral : palatoglosal dan palatopharingeal arches (pilar tonsil)
meluas dari soft palate ke superior dari epiglotis
o terdapat palatine tonsil yang merupakan kumpulan jar.limfoid pada
masing2 orofaring antara palatine.
 Laringofaring
o terletak posterior terhadap laring
o meluas dari superior epiglotis dan pharyngoepiglotic fold ke
inferior cricoid cartilage dimana akan menyempit dan berlanjut ke
esophagus.
o C4-C6
o Dinding posterior dan lateral dibentuk oleh middle dan inferior
constrictor muscle.
Faring merupakan tabung otot yang mengandung otot-otot:
 Otot palatal
 Otot stylopharyngeus
 Otot salpingopharyngeus
 Otot palatopharyngeus

5
Gambar 2. Anatomi concha, nasopharynx, dan laryngopharynx

Perdarahan faring berasal dari arteri palatine ascenden, arteri pharyngeal


ascenden, cabang arteri tonsilar yang memperdarahi wajah, cabang arteri
maxillary, dan cabang arteri lingual bagian dorsal.
Persarafan faring berasal dari plexus pharyngeus yang berasal dari saraf
cranial IX dan X. Persarafan motorik otot-otot konstriktor berasal dari nervus
vagus, sementara stylopharyngeus berasal dari saraf cranial IX. Persarafan
sensorik nasofaring berasal dari V2, yang mana saraf cranial IX mempersarafi
sensorik pada bagian atas faring, dan saraf cranial X mempersarafi sensorik faring
bagian bawah.

6
Gambar 3. Nn. Cranialis

Gambar 4. Interior of the pharynx

7
Gambar 5. Relations of the Pharynx

8
2.1.1 Otot-otot Faring1

Gambar 6. Otot – otot pharynx

9
Gambar 7. Otot – otot pharynx

2.2 Histologi Nasofaring 2

Epitel: epitel bertingkat silindris bersilia


Lamina propria:nodul limfoid
Gland:banyak (sel goblet), kelenjar mucous dan serous (kebanyakan mucous)
Terdapat serat elastin
Otot : skeletal17

10
2.3 Fisiologi Menelan 3

Gambar 8. Fisiologi menelan

Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring


pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping menelan dan
hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk mendorong makanan.
Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat me-
nelan.18
Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang
mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan
membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam, esofagus; dan (3) tahap
esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari fa-
ring ke lambung.18

11
TAHAP VOLUNTER DARI PENELANAN.
Bila makanan sudah siap untuk ditelan, "secara sadar" makanan ditekan
atau digulung ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke
belakang terhadap palatum, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 63-1. Dari
sini, proses menelan menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung
secara otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.18

TAHAP FARINGEAL DARI PENELANAN.


Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring,
bolus merangsang daerah receptor menelan di seluruh pintu faring, khususnya
pada tiang-tiang tonsil, dan impuls-impuls dari sini berjalan ke batang otak
untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai
berikut:
1. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi naves posterior, dengan cara
ini mencegah refluks makanan ke rongga hidung.
2. Lipatan palatofaringeal pada kedua sisi faring tertarik ke arah medial untuk
saling mendekat satu sama lain. Dengan cara ini, lipatan-lipatan tersebut
membentuk celah sagital yang harus dilewati oleh makanan untuk masuk ke
dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga
makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan mudah sementara
menghalangi lewatnya benda yang besar. Karena tahap penelanan ini
berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda besar apa pun biasanya sangat
dihalangi untuk berjalan melewati faring masuk ke esofagus.
3. Pita suara laring bertautan secara keras, dan laring ditarik ke atas dan
anterior oleh otot-otot leher. Kerja ini, digabung dengan adanya ligamen
yang mencegah pergerakan epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis
bergerak ke belakang di atas pembukaan laring. Kedua efek ini mencegah
masuknya makanan ke dalam trakea. Yang paling penting adalah eratnya
tautan pita suara, namun epiglotis membantu mencegah makanan agar
sejauh mungkin dari pita suara. Kerusakan pits suara atau otot-otot yang
membuatnya bertautan dapat menyebabkan strangulasi. Sebaliknya,
pembuangan epiglotis biasanya tidak menyebabkan gangguan yang

12
serius pada penelanan.
4. Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan esofagus.
Pada saat yang bersamaan, 3-4 sentimeter di atas dinding otot esofagus,
suatu area yang dinamakan sfingter esofagus bagian atas atau sfingter
faringoesofageal, berelaksasi, sehingga makanan dapat bergerak dengan
mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di an-
tara penelanan, sfingter ini, tetap berkontraksi dengan kuat (sebesar tekanan
60 mm Hg di dalam lumen uses), dengan demikian mencegah udara masuk
ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke atas juga mengangkat
globs keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan biasanya
melewati sisi-sisi epiglotis dan bukan melintas di atas permukaannya-, hal
ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke dalam trakea.
5. Pada saat yang bersamaan dengan terangkatnya laring dan relaksasi
sfingter faringoesofageal, seluruh otot dinding faring berkontraksi,
mulai dari bagian superior faring dan menyebar ke bawah sebagai
gelombang peristaltik yang cepat melintasi daerah faring media dan
inferior dan kemudian ke dalam esofagus, yang mendorong makanan ke
dalam esofagus.
Sebagai ringkasan mekanika tahapan penelanan dari faring: trakea
tertutup, esofagus terbuka, dan suatu gelombang peristaltik cepat berasal dari
faring mendorong bolus makanan ke dalam esofagus bagian atas, dan seluruh
proses terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik.

13
BAB III
KARSINOMA NASOFARING

3.1 Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang
terbanyak di temukan di Indonesia.5 karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
yang berasal dari epitel nasofaring.

3.2 Epidemiologi dan Insidensi


Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-Mongoloid,
namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,
yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung)
atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.
Ras mongoloid merupakan faktor dominan (Cina Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia). Ditemukan pula di
Yunani, Afrika Utara.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di yunani, Afrika bagian utara
seperti aljazair dan Tunisia, pada orang eskimo di Alaska dan tanah hijau yang
diduga penyebaranya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan
dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine.

3.3 Etiologi
Sudah hampir pasti dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, karena semua penderita nasofaring didapatkan titer
anti-virus EB yang cukup tinggi.4-6
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan
sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam
jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai
dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan
virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.2 Mediator di bawah ini
dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :

14
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : -
benzopyrenen - benzoanthracene - gas kimia - asap industri - asap kayu - beberapa
ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA.2,3

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara
kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma
nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan tidak jelas.

3.4 Faktor Risiko


Banyak faktor yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor
ini, seperti:
a) letak geografis
b) rasial
c) jenis kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki, mungkin ada
hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-
lain.
d) Genetik
Banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari penderita
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada oragan tubuh lain.
e) pekerjaan
f) lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi bahan kimia, asap
sejenis kayu bakar, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu dan kebiasaan makan terlalu panas.

15
g) kebiasaan hidup
Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan
(daging dan ikan) terutama pada musim dingin.
h) kebudayaan
i) sosial ekonomi
Sebagian besar penderita adalah golongan sosial ekonomi rendah
dan hal ini pula menyangkut dengan lingkungan dan kebiasaan hidup.
j) infeksi kuman atau parasit.4-6

3.5 Gejala dan Tanda


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta metastasis atau gejala
di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang muncul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosen-muller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai otalgia. Tidak jarang penderita
mengalami gangguan pendengaran.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran ke foramen Laserum akan mengenai saraf otak ke
II, IV, VI dan bisa juga V, sehingga tidak jarang diplopia. Neuralgia trigeminal
merupakan gejala yang sering ditemukan.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf IX, X, XI dan XII jika
penjalaran ke foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
Jackson. Bila sudah mengenai semua saraf otak, maka disebut sindrom unilateral.
Dapat pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian, biasanya
prognosisnya buruk.
Metastasis kelenjar leher dalam bentuk benjolan yang membawa
penderita datang.4-6

16
3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
Anamnesis
Dapat ditemukan keluhan benjolan pada area hidung dan leher, nyeri
tenggorokan, kesulitan bernafas, nyeri atau dengung di telinga, dan nyeri kepala.
Pembesaran dan ekstensi tumor di nasofaring dapat menyebabkan:
 Obstruksi nasal: kongesti, secret hidung, perdarahan
 Perubahan pendengaran: biasanya akibat tuba eustachius tertutup
 Kelumpuhan saraf kranial: biasanya berhubungan dengan ekstensi tumor ke
basis kranii. Sindrom unilateral merupakan ciri khas dari KNF
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan leher dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening (KGB) yang tegas dan tidak nyeri (ditemukan pada 80% pasien).
Karsinoma nasofaring jarang sekali terdeteksi pada stadium dini ( sebelum
terjadinya penyebaran ke kelenjar limfe regional). Pembagian level KGB di leher
adalah sebagai berikut:
 Level I: nodus submental dan submandibular
 Level Ia: segitiga submental
 Level Ib: segitiga submandibular
 Level II : nodus jugular atas
 Level III: nodus jugular tengah
 Level IV: nodus jugular bawah
 Level V: kelompok segitiga posterior
 Level VI: kelompok segitiga anterior
 Level VII: nodus mediastinal atas

Diagnosis dapat ditegakan dengan:


Pemeriksaan Penunjang
a) CT scan kepala dan leher
b) Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB

17
c) Diagnosis pasti ditegakan dengan biopsi nasofaring yang dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung dan mulut. Biopsi dari
hidung dilakukan dengan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy) dengan memasukan cunam biopsi melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut
dengan menggunakan kateter nelaton yang dimasukan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar
dan diklem bersam-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian
juga dengan hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik
ke atas kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.
Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi dilakukan dengan anestersi
topikal Xylokain 10%.5,6

3.7 Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe,
yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas
sel tidak terlihat dengan jelas.2,6,10 Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa
keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif.
Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.2 Klasifikasi

18
gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.6

WHO telah menyetujui bahwa ada 3 betuk karsinoma (epidermoid)


pada nasofaring, yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma
tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdeferensiasi.5

3.8 Stadium 4
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992) :
T = Tumor primer
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pad a satu lokalisasi saja (lateral/ posterosuperior/ atap
dan lain-lain)
T2 = Tumor terdapat pada 2 lokalisasi atau lebih tapi masih terbatas di rongga
nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atatu
mengenal saraf-sraf otak.
TX = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional.


NO =Tidak ada pembesaran
N 1 = Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakan.
N 2 = Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakan.
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastasis jauh

19
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasih jauh

Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
Atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1

3.9 Terapi
1. Radioterapi merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Sampai saat
ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
2. Pengobatan tambahan:
 Diseksi leher
 Pemberian tetrasiklin
 Faktor transfer
 Interferon
 Kemoterapi(terapi tambahan terbaik)
o Cis-platinum
o Bleomycin
o 5-fluorouracil
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radio

20
sensitizer” memperlihatkan hasil yang memberikan harapan akan
kesembuhan total penderita karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan
di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan serologik dan radiologik.5

3.10 Perawatan Paliatif


Perhatian pertama harus diberikan pada penderita dengan pengobatan
radiasi. Membeerikan nasihat kepada pasen untuk makan dengan banyak
kuah, membawa air minum kemanapun pergi, mencoba memakan dan
mengunyah makanan yang rasanya asam sehingga merangsng keluarnya air
liur.Untuk pasen pasca pengobatan lengkap namun terjadi residu, residif
atau metastasis jauh tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan
selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualita hidup pasien.5

3.11 Pencegahan
 Pemberian vaksinasi pada penduduk dengan resiko tinggi
 Mengubah kebiasaan hidup tidak srhat menjadi lebih baik
 Penyuluhan mengenai lingkungan hidup sehat
 Meningkatkan sosio-ekonomi
 Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan anti EA secara masal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi Lutan, dkk. Tinjauan tumor ganas nasofaring di poliklinik THT


RS.Dr. Pirngadi Medan tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah Kongres
Nasional VII Perhati., Surabaya, 21-23 Agustus 1983.h. 771-81.
2. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar
(ed).Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan.
Jakarta : FK UI, 1989.h. 71-84.
3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring.
Referat.Medan : FK USU, 1998.h. 1-20.
4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi
13. Jilid 1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta :
Binarupa Aksara, 1994.h.391-6.
5. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York :
Churchill Livingstone, 1989.h. 495-507.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed.
Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In :
Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93.
8. Close LG, et al. Essentials of head and neck oncology. New York : Thieme,
1998.p. 205-10.
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A.
Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi
ketiga. Jakarta : FK UI, 1997. h. 149-53.
10. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program &
abstrak PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan
radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol.XXVI No.1. Medan : FK USU, 1996. h. 15-20.
12. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi.
Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII
No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8.

22
13. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada
pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16.
14. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h. 179-
87.
15. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK
USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.
16. Moore KL, Dalley AF. Anatomi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Hipokrates; 2002.
17. Juncqueira. Histologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
18. Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
19. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke
delapan. McGrawl-Hill. 2003.
20. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006.
21. George L. Adams, M.D., J. Lawrence R. Boies, M.D., dan M.D. Peter A.
Higler, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997

23

Anda mungkin juga menyukai