Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dan
rahmat-Nyalah, saya dapat menyelesaikan referat Polip Nasi sebagai tugas akhir
Ilmu Penyakit THT dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Muda di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Referat ini dibuat selain sebagai tugas, juga semoga dapat membantu
teman sejawat yang ingin mengetahui tentang Polip Nasi dan juga membantu saya
dalam mempelajari lebih dalam tentang Polip Nasi.
Selain itu saya ingin menucapkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Kedoktrean Uniersitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Endang Puspitowati, Sp.THT-KL, selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit
THT RSUD Ibnu Sina Gresik dan selaku pembimbing saya yang dengan
penuh kesabaran memberikan arahan kepada saya hingga dapat menyelesaikan
tugas laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu saya dalam kelancaran tugas ini, serta
kepada seluruh dokter spesialis THT dan staf yang telah memberikan peranan
besar dalam menyelesaikan tugas ini
4. Referat ini banyak kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran untuk
perbaikan serta penyempuranaan tugas ini sangat saya harapkan
Akhir kata saya mohon maaf atas segala kekurangan.

Gresik, Desember 2013

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
i
DAFTAR
ISI
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
ii
BAB I

PENDAHULUAN
1
A.
Latar
Belakang
......................................................................................................
......................................................................................................
1
B.
Tujuan
Penulisan
......................................................................................................
......................................................................................................
1

BAB II

TINJAUAN

PUSTAKA

2
A.

Hidung
3
1. Anatomi
2
2. Fisiologi
6

B.

Polip

Nasi

7
1. Definisi

ii

7
2. Etiologi
8
3. Patogenesis
8
4. Gejala

dan

Tanda

10
5. Pemeriksaan

Penunjang

11
6. Diagnosis

Banding

11
C.

Pengelolaan

Penderita

Polip

13
D.

Komplikasi

Operasi

14
BAB III

PENUTUP
15

DAFTAR PUSTAKA
16

iii

Nasi

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Polip nasi merupakan massa udematous yang lunak berwarna putih atau

keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkaan
mukosa hidung atau sinus. Prevalensi yang pasti dari polip nasi belum ada
datanya, oleh karena studi epidemiologi yang dilakukan dan hasilnya bergantung
pada populasi studi serta metodenya.(1,2)
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti.
Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat.
Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka
sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk
mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.
B.

TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
1. Dapat mengetahui dan memahami cara menegakkan diagnosis Polip
Nasi.
2. Dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan Polip Nasi.
2. Tujuan Khusus:
Sebagai sarat dalam menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik THT di
Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIDUNG
1.

ANATOMI (3)
Hidung (nasus) terdiri dari piramid hidung (nasus eksternus) dan
rongga hidung (cavitas nasi)
a.

Hidung Luar (Nasus Eksternus)


Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang
wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut radiks
nasi. Dari sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir sebagai
ujung yang disebut apeks nasi.
Di bagian depan terdapat lubang disebut nares. Nares di sebelah
medial dibatasi oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah
lateral dibatasi oleh alae nasi. Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di
sebelah superior diperkuat oleh tulang-tulang : os. nasalis, prosesus
frontalis os. maksila dan prosesus nasalis os frontal.
Di bagian bawah terdapat kerangka tulang rawan yang disebut
cartilagines nasi yang terdiri dari :
1) sepasang cartilago nasi lateralis superior
2) sepasang cartilago alaris mayor
3) sepasang cartilago alaris minores
4) cartilago septi nasi.

b.

Rongga Hidung (Kavitas Nasi)


Struktur ini dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah
anterior sampai koana di sebelah posterior. Rongga hidung terbagi dua,
kanan dan kiri oleh septum nasi. Rongga hidung mempunyai atap,
lantai, dinding lateral dan dinding media.
Atap :
Dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os
frontale lamina cribosa, os eithmoidale dan corpus os sphenoidale.
Dasar :
Dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina horizontalis
os palatum
Dinding medial atau septum nasi :
Dari anterior ke posterior terdiri atas cartilage septi nasi, lamina
perpendicularis os eithmoidale dan vomer
Dinding lateral :
Dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os eithmoidale,
concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini tidak rata,
ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi yang terletak
di bawah tiap conchae . Conchae nasales tersebut adalah :
-

conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak)

conchae nasalis superior

conchae nasalis media

conchae nasalis inferior

Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu :


-

meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales


posterior

meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus


maxilaris, sinus frontalis, cellulae ethmoidais anterior.

meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis.

c.

Vaskularisasi Hidung
1. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna
2. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi sepertiga
depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi
3. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior
4. cabang-cabang A. facialis
5. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna.
Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara R.
septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami septales
posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna, juga kadangkadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis anterior dan cabang
dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak superfisial. Daerah
tempat anastomosis ini disebut daerah Kiesselbach.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

d.

Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensorik dari n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensorik dari n.maxillaris melalui
ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina, selain mendapat
persarafan sensorik, juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut
sensorik dari n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion tersebut terletak di belakang dan sedikit di atas


ujung posterior concha media.
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di sepertiga atas hidung.

2.

FISIOLOGI (2,4,5)
Rongga hidung dilapisi oleh yang secara secara histologik dan
funsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat
sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkea aliran udara, mukosanya lebih
kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di rongga
hidung akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur.
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa
rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga
hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel
goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan di dekat
ostium.
Sekresi mukosa nasal merupakan campuran dari komponenkomponen : sekresi kelenjar mukosa dan sel goblet, transudasi dan eksudasi
dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari leukosit dan sel epitel
Fungsi hidung adalah untuk :
i. Sebagai jalan nafas
ii. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang masuk ke alveolus dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

iii. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakakukan oleh rambut, silia, palut lendir
(mucous blanket), dan lysozyme.
iv. Indra penghidu
v. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
vi. Proses berbicara
Hidung

membantu

proses

pembentukan

kata-kata.

Pada

pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan


hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
vii. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskular dan pernafasan.
B. POLIP NASI
1. Definisi
Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang
merupakan penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis,
massa lunak, bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang
terdapat di dalam rongga hidung (2).
Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke
rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi

terletak di

dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak
di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum,
yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana
posterior (polip antrokoanal).(6)

2. Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan
patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal :
umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga
dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip
nasi

(2)

. Penyebab lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin,

perubahan polisakarida dan ketidakseimbangan vasomotor(7).


3. Patogenesis
Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan
luar melalui udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan
kerusakan epitel dan infeksi.
Polip

nasi

terjadi karena adanya peradangan kronis pada

membran mukosa hidung dan sinus yang disebabkan oleh kerusakan epitel
akibat paparan iritan, virus atau bakteri.
Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasi.
Kerusakan epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat
mengalami aktivasi dalam respon terhadap alergen, polutan maupun agen
infeksius. Sel akan mengeluarkan berbagai faktor yang berperan dalam
respon inflamasi dan pemulihannya, antara lain neuropeptide-degrading
enzym, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat, sitokin inflamasi yang
mempengaruhi sel inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi mukus,
stimulasi fibroblas dan kolagen.(5)
Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan
dihasilkan pada polip nasi. Faktor-faktor tersebut meliputi

endothelial

vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese,


granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), eosinophil

survival enhancing activity (ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin


lainnya. (8)
Radikal

bebas

adalah

molekul

yang

sangat

reaktif

yang

kemungkinan berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat


menyebabkan kerusakan selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.Tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai
respon dari bocornya elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan
sistem endogenous enzyme (MAO, P450, dsb)
Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi
mukus yang kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi
nasal dan rinorrhea. Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga
terjadi karena peranan epidermal growth factors (EGF). (8)
Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia
membran mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah
jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh
gaya gravitasi. Akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa.
Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip,(9,13) kemudian
terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.
Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh
darah sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti
eosinofil, neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain.
Eksudasi plasma mikrovaskular berperan dalam perkembangan
kronik edem pada polip nasi.
Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang
edem dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat
muncul, menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses
dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan

proses regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip,


infeksi dan alergi.
Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip
nasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam jumlah
besar dari jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung yang
disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma dan rinitis alergi
(9)

.
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab

dari polip nasi. Pada polip nasi yang disebabkan oleh infeksi ditemukan
infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan.
Menurut Ogawa dari hasil pe pada penderita polip hidung disertai
deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan
septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran
udara pada bagian rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih
cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi
pada rongga hidung bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif. Tekanan
negatif ini merupakan rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang
dan terjadi edema (2).
Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena
inhibisi cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan
mediator radang, yaitu cysteinyl leucotrienes.(10)
4. Gejala dan Tanda
Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba
dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung

adalah gejala

utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada


keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh (6) , sengau, sakit kepala.
Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa
lendir di tenggorok.

10

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak,


bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada
pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada
pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa
berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di
nasofaring (1).
5. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk
memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak
polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi,
kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi. Gambar dari suatu polip nasi
yang tampak dengan endoskopi.

6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari polip nasi adalah :
a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan
asal tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding
posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya
keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif.
Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti
gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan

11

ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya


perluasan tumor ke intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya
massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu
sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada
pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran
klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
Pterigoideus ke belakang.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak
perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan
arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi
tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra
indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring
Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki(9).
b. Keganasan pada hidung
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia
seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling
sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung,
rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan
pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai
likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan
dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel
squamous berkeratin(9).

12

C.

PENGELOLAAN PENDERITA POLIP NASI


Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.

Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi


sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.
1.

Terapi Konservatif

(8)

a. Kortikosteroid sistemik
merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip
nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid
sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,
terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
b. Kortikosteroid spray
dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk
polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan
ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk
mencegah kekambuhan
c. Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase
yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2.

Terapi operatif
Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip
yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif.
Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi : (11,12,13)
a. Polipektomi intranasal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal

13

d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL)
f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
D.

KOMPLIKASI OPERASI
Komplikasi yang terbanyak meliputi :

SSP Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak,


hernisasi otak

Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otototot mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus
lakrimalis dapat menyebabkan epiphora

Pembuluh darah trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan


perdarahan.

Kematian

14

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Polip nasi adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari
mukosa hidung atau sinus paranasalis yang terdorong karena adanya gaya
berat.
2. Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya
reaksi alergi, infeksi, deviasi septum hidung, intoleransi aspirin, perubahan
polisakarida, dan ketidakseimbangan vasomotor.
3. Diagnosis polip nasi berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Pengelolaan penderita polip nasi dengan cara operatif (polipektomi) atau
dengan non operatif (kortikosteroid).
5. Diagnosis dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar penderita
tidak jatuh ke dalam penyulit yang lebih berat.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Van Der Baan. Epidemilogy and natural history dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen: Munksgaard,1997. 13-15.
2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2000: 9799.
3. Staf Pengajar Bagian Anatomi. Materi Kuliah Anatomi: organum sensuum.
FK Undip, 2000.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta :
EGC, !997: 173-94
5. Calderon, Devalia, Davies. Biology of Nasal Epithelium dalam Nasal
Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997. 31-41
6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
7. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology.
5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 :
142-53.
8. Archer. Nasal Polyps, Non surgical Treatment. http:// emedicine.com
9. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta :
EGC, !997: 173-94
10. szczeklik. Intolerence to aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory
drugs in airway disease dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard,
1997. 105-106
11. Montgomery William. Surgery of the Ethmoid and Sphenoid sinuses in
Surgery of the Upper Respiratory System vol 1. Philadelphia : Lea &
febiger,1971 : 41-52
12. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the ethmoid sinuses. In : Head
and neck Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New
York : George Thiem Verlag, 1995 : 465-9
13. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the Maxillary antrum. In : Head
and neck Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New
York : George Thiem Verlag, 1995 : 465-9

16

Anda mungkin juga menyukai