Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia.. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.1,2
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rinosinusitis ini.2,3
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.1
Polip hidung merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari
pembengkakan mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi
belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat.6

1
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara
1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar
0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi
sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-
4,3%. Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya terjadi pada
penderita dewasa muda dengan rentang usia 30-60 tahun.4
Polip hidung merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan
keluhan sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dirasakan. Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas
yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan
adanya sinusitis. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung,
anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau
sekitar mata, adanya sekret hidung. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis
mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung
berair. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dapat
secara medikamentosa, non medikamentosa, maupun operatif.4,5

B. Rumusan Masalah
Tujuan pembuatan makalah ini yakni untuk mengetahui penyakit Sinusitis.

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : Agar mahasiswa
mampu memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien
sinusitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


1. Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
nares anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior
kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum
durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah
lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus
etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.7

2. Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal
os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os

3
etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung
adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex
nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan
kartilago alaris major.7

3. Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior
terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os
maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding
lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka
media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka
suprema biasanya akan mengalami rudimenter.7
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior. Meatus superior atau fisura etmoid
merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os
etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di
posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus
sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus
media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus
medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris.7
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan
yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium
sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara

4
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga
meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira
antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.7

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri.


Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa.
Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina
dan krista sfenoid.7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada
anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial. 4,7

5
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4,7

6
B. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga yang terdapat pada bagian dalam


tulang maksila, frontal, sfenoid dan etmoid, serta berhubungan dengan kavum
nasi melalui dinding lateral kavum nasi. Terdapat empat pasang sinus
paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan sfenoid. Sinus paranasal
dilapisi oleh mukoperiosteum tipis berupa epitel torak berlapis atau berlapis
semu bersilia yang berisi udara dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya
terdapat tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan terdapat
kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara konstan
memproduksi mukus. Sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim (muramidase)
yang mampu membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang terdapat
di permukaan epitel bersilia mempunyai fungsi dalam melembabkan,
menghangatkan udara yang dihirup dan menangkap (membersihkan) polutan
berbagai material yang dapat merugikan bagi tubuh. Mukus beserta bahan
material yang telah di proses dihancurkan) selanjutnya oleh pergerakan silia
akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostium dengan pola tertentu.9
Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat
menyebabkan iritasi serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan
keluar sinus. Oleh gerakan silia, mucous blanket yang ada di setiap sinus akan
dialirkan seluruhnya keluar ostium (klirens mukosilier) dalam waktu 20-30
menit. Mukus yang berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis anterior
selanjutnya akan menuju kompleks ostiomeatal di meatus medius. Sedangkan
mukus dari sinus etmoidalis losterior dan sfenoid akan mengalir menuju
meatus superior melalui resesus sfenoetmoidalis. Transport mukus selanjutnya
menuju nasofaring dengan mengelilingi tuba eustachius.4,9
Sinus frontalis berada pada os frontalis, dipisahkan oleh septum
tulang. Masing-masing sinus berbentuk segitiga (triangular), memanjang
sampai batas atas ujung medial alis dan kebelakang hingga bagian medial atap
orbita. Sinus frontalis bermuara pada meatus media melalui infundibulum
nasi. Sinus sfenoid berada pada os sfenoid. Sinus ini bermuara pada resesus

7
sfenoetmoidal diatas konka superior.Sinus etmoid berada pada anterior, media
dan posterior os etmoid, antara hidung dan orbita. Sinus etmoid anterior
bermuara pada infundibulum, sinus etmoid media bermuara pada meatus
media, di atas bula etmoidalis, dan sinus etmoid posterior bermuara pada
meatus superior.9

Gambar 5. Dinding lateral nasal tanpa konka


Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan rongga pneumatisasi yang merupakan
sinus paranasal paling besar dengan bentuk seperti piramid, volume pada
dewasa antara 15-30 ml, dan terletak pada regio maksilaris dibelakang
kulit pipi. Atap sinus terbentuk dari dasar orbita dan dasar sinus
berhubungan dengan akar premolar dan molar. Sinus ini bermuara pada
meatus media melalui hiatus semilunaris. Dinding anterior terbentuk dari
bagian fasialis maksila, dinding posterior membatasi fosa infratemporal,
dinding medial terbentuk dari dinding lateral kavum nasal, dasar sinus
yaitu prosesus alveolar dan dasar orbita sebagai dinding superior. Pada 2%
kasus, akar gigi molar pertama dan kedua dapat masuk kedalam sinus
maksila. Ostium sinus ini terbuka pada bagian superior dinding medial
untuk drainase sinus menuju infundibulum etmoid. Ostium sinus maksila
aksesorius ditemukan 15% sampai 40% orang, kebanyakan umumnya di
bagian superior dan posterior prosesus unsinatus diatas insersi konka
inferior. 9

8
Sinus Frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan,
jumlah dan ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius
membentuk penonjolan, disebut resesus frontalis. Sinus frontal terbagi
oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga tak beraturan.
Pada dinding posterior dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman
pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal
dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium
nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus
medius, atau tidak langsung melalui aspek superior infundibulum dan
hiatus semilunaris.9

Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur sentral hidung dengan anatomi
yang kompleks. Bagian lateral sinus etmoid membentuk dinding medial
orbita, sfenoid membentuk bagian posterior wajah sedangkan permukaan
superior dibentuk oleh dasar tengkorak fosa kranial anterior dan beberapa
struktur dinding lateral nasal, yang berasal dari lamela basalis, meluas
secara posteroinferior dari dasar tengkorak. Dinding lateral sinus etmoid,
atau lamina papirasea, membentuk dinding medial orbita. Lempeng
vertikal pada bagian tengah tulang etmoid dibentuk dari bagian superior
fosa kranial anterior yang dinamakan krista gali dan bagian inferior kavum
nasi yang dinamakan lempeng perpendikular tulang etmoid, yang akan
membentuk septum nasal. Fosa kranial anterior terpisah dari sel etmoid
pada bagian superior oleh lempeng horizontal tulang etmoid, yang terdiri
dari lamina kribiformis medial yang tipis dan yang lebih tebal pada lateral
atap etmoid. Atap etmoid berartikulasi dengan lamina kribiformis pada
lamela lateral lamina kribiformis, yang merupakan tulang paling tipis pada
semua dasar tengkorak. Panjang lamela lateral tergantung dari posisi
lamina kribiformis dengan atap etmoid. Sinus etmoid dipisahkan oleh lima
sekat bertulang atau lamela. Kelima lamela ini, dari anterior ke posterior,

9
yaitu prosesus unsinatus, bula etmoid, lamela basalis, konka superior,
konka suprema.
Dasar lamela merupakan batas yang memisahkan sinus etmoid
anterior dan posterior. Bagian inferior dasar lamela menghubungkan
konka media ke dinding nasal lateral pada bidang aksial dan berfungsi
dalam stabilisasi konka saat operasi sinus endoskopi. Sel etmoid posterior
umumnya lebih besar dan memiliki pneumatisasi secara lateral dan
superior ke sinus sfenoid. Lamela sinus etmoid dipisahkan oleh empat buat
resesus yaitu resesus frontal yang merupakan drainase sinus frontalis,
infundibulum pada bagian lateral prosesus unsinatus, sinus lateralis dan
resesus sfenoetmoidalis pada bagian posterior meatus superior yang
merupakan drainase sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Lamina
basalis konka media membagi sinus etmoid menjadi kompleks etmoidalis
anterior dan posterior. Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule dan
celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior
menuju lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang
terletak paling anterior dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita.
Kompleks etmoidalis posterior terdiri atas selulule dan celah yang
mengalirkan sekret mukosa kearah posterior dan medial menuju lamela
dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkorak, dan dinding medial
orbita.9

Sinus Sfenoid
Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya.
Pada dinding lateral sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting
seperti sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus kranialis I, III, IV, V
dan VI. Ostium sinus sfenoid membuka ke resesus sfenoetmoid. Penelitian
pada ostium sinus sfenoid mengidentifikasi ujung posteroinferior konka
superior yang merupakan bagian paling baik dalam identifikasi ostium
sinus sfenoid. Pada kebanyakan kasus, ujung posteroinferior konka
superior berada pada bidang horizontal yang sama dengan dasar sinus

10
sfenoid. Ostium berada pada bagian medial konka superior pada 83%
kasus dan di lateral pada 17% kasus. Septum sfenoid biasanya mengalami
deviasi ke arah posterior dari garis tengah, membagi sinus menjadi dua
bagian asimetris dan dapat masuk ke dalam penonjolan tulang yang
melapisi nervus optikus atau arteri karotis.9

Gambar 6. Sinus Paranasal


2.1.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)
KOM adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya, prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila dan resesus
frontalis. Celah sempit ini (KOM) berperan sangat penting dalam
mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret
yang berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan mengalir
melalui daerah ini. Kompleks ostiomeatal merupakan area yang dikelilingi
oleh konka media di bagian medial, lamina papirasea di bagian lateral dan
lamela basalis pada bagian posterior serta atap etmoid pada bagian
superior. 9,10
Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada
dinding meatus medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis.
Infundibulum merupakan ruang berbentuk corong antara bula etmoidalis
dan prosesus unsinatus, pada akhirnya menerima aliran sekret dari sinus
frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris merupakan cekungan

11
berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4 mm,
terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus. Sekret yang
berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya
menuju meatus medius dan kemudian ke dalam hidung. 4,9

Gambar 7. Kompleks Ostiomeatal

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi


sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan
mengenail fungsi sinus paranasal yakni :9,10
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini
ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive
antara sinus dan rongga hidung.Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

12
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan
tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari
berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis.

C. Sinusitis
1. Definisi dan Klasifikasi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada
salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis
atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3
minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu

13
tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis,
yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis
ethmoidalis.Secara klinis sinusitis dibagian atas:
 Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
 Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa
bulan.
 Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas:
 Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala
sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan
septum deviasi
 Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre
molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis

2. Etiologi
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan
kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan
pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis.
Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau
iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell
carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis
atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus,
sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus
(fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu
pengeluaran mukus.4

14
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko
mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi
sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus,
bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan
sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai
penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.
Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien
dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang
mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella,
Aspergillus, dan Fusarium.

3. Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin,
dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih
tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden
yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus
adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun,
sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk
pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk
pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.2,4
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis
sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis
adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus

15
meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan
kualitas hidup yang berat

4. Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi
bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi
tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan
berkurangnya tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk
pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus,
bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah
sinusitis.10
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan
kuantitas dan kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis
disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi
saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B,
parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus.
Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti
gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan
menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus,
dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu
inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal
instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia.10,11
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi
virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang
aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang
merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya

16
akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia,
udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, environmental
ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa,
parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).12
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal
meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari
virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia
di dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk
berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan
mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis
dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat,
obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa
bakteri patogen.10,13
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
akar gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan
problem klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral
dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila
diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada
mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan
aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum unilateral seringkali
merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini
terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak
didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan
bakteri khas pada sinus.12,13
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat
menimbulkan gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram
negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang
dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau mengganggu
drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau

17
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi
premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari
sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan
mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar
gigi ke sinus dapat terjadi.10

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang
paling sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret
nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri
telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau
berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi
saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting
dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari
mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.10
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas
atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum
nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering
ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise,
dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin.11,12
Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan
kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di
dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri
pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung
dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.10,11
Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan
mukosa, selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang

18
membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus.
Biakan bakteri yang muncul biasanya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella catarrhalis. Jika
tidak mendapatkan penanganan yang adekuat Sinusitis maksilaris akut
dapat berubah menjadi sinusitis maksilaris kronis yang berlangsung
selama beberapa bulan atau tahun.12

Gambar 8. Cairan pada sinus maksilaris

2.2.6 Kriteria Diagnosis1,2,12,14


A. Sinusitis akut2,12,14
Anamnesis
Gejala mayor Gejala minor
Nyeri atau rasa tertekan pada
Sakit kepala
wajah
Sekret nasal purulen Batuk
Demam Rasa lelah
Kongesti nasal Rasa lelah
Obstruksi nasal Halitosis
Hiposmia atau anosmia Nyeri gigi

Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat
ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke

19
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita
dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu
dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat
perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan
tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).
Pemeriksaan fisik
Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya
pembengkakan pada muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang
berwarna kemerahan. Pada palpasi dapat sinus paranasal ditemukan nyeri
tekan dan tenderness.
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai
status dari mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar.
Kelainan anatomis juga dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan
transiluminasi pada sinus maksila dan frontal dapat menunjukkan adanya
gambaran gelap total, apabila hanya sebagian dinyatakan tidak spesifik.1

Gambar 9 dan 10. Pus pada meatus medius dan pembengkakan pipi

20
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.

Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan


tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan


dengan mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal atau kuman
patogen, seperti Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus dan
Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau
jamur.

B. Sinusitis Kronis1,2,14
Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk
berobat biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya
diikuti dengan malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret
pasca nasal (post nasal drip) , gangguan penciuman dan pengecapan.

Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari


meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.

Pemeriksaan penunjang
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan
sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada
pemeriksaan transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat

21
neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam sinus
maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.

Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan,


penggunaannya dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau
sinusitis frontalis.

Gambar 11 Gambaran CT scan menunjukan penebalaan mukosa sinus

CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk


mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus. Staging
dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini
sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan
sinusitis kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan
hasil terapi. Stagging didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi
medis. Stagging tersebut terbagi atas:

- Stage I : Satu fokus penyakit


- Stage II : Penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- Stage III : Difuse yang responsif terhadap pengobatan
- Stage IV : Difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

2.2.7 Penatalaksanaan1,2,4
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:1
 Mempercepat penyembuhan

22
 Mencegah komplikasi
 Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa)
dan pembedahan (operasi).Penatalakanaan yang dapat diberikan pada
pasien sinusitis akut, yaitu:
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang
merupakan first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72
jam, dapat diberikan amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik
diberikan selama 10-14 hari.1,4

Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6


minggu sebelum diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat
ditingkatkan sampai 90 mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat
atau dicurigai adanya komplikasi diberikan antibiotik secara intravena.
Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin dapat diberikan pada
Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2

Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian


antihistamin, dekongestan, dan steroid.

Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis,


kecuali jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat
mengentalkan sekret sehingga menimbulkan penumpukan sekret di
sinus,dan memperberat sinusitis.1,4

23
Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimetazolin, penileprin akan
menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis.
Aktifitasnya akan mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan
obstruksi ostium, meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi
sinus. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah
ketergantungan dan rebound nasal decongestan. Pemberian dekongestan
sistemik, seperti penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat menormalkan
ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi pembersih mukosilia.
Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari.1,4

Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan


mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki
drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka
pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.1,2

Pembedahan: Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi


medikamentosa yang maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi
bedah apabila ditemukan perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis,
nekrosis dinding sinus disertai pembentukan fistel, pembentukan mukokel,
selulitis orbita dengan abses dan keluarnya sekret terus menerus yang tidak
membaik dengan terapi konservatif. Beberapa tindakan pembedahan pada
sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi dan drainase, septoplasti,
andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic sinus surgery
(FESS).Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis
maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi
maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini,
antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan
standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan
antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan.1,4

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi Orbita

24
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada
daerah orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi
etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di
dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan perkontinuitatum. Variasi yang
dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.15.16

Komplikasi Intrakranial

Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,


abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan
infeksi dari sinus paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis
atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.15,16
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna
kranium; seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin
timbul lambat sehingga mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan
sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial
yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain.16
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas
secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada
ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke
perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri.16
Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
fistula oroantral ataufistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat
sangat berat.Gejala sistemik berupa malaise demam dan menggigil.
Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat

25
bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema supraorbita
dan mata menjadi tertutup.15,16
Komplikasi Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan.15,16
Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris,
sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya.
Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf di sekitarnya.15

26
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa


hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat. Rinitis dan sinusitis
umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang diterima adalah
rinosinusitis. Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya
rinosinusitis.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia,
adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata,
adanya sekret hidung. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah
digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif
maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri
dan keluhan dari pasien sendiri.
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala maupun
tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur
diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis sinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba 2 atau lebih gejala, dimana salah
satunya yaitu hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior atau postnasal drip)
disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan kemampuan
menghidu. Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior yang menunjukkan adanya
pembengkakan, kemerahan dan pus.

27
Antibiotik merupakan pengobatan yang paling sering digunakan dalam
tatalaksana sinusitis akut. Tatalaksana sinusitis viral lebih difokuskan pada kontrol
gejala, karena ini merupakan suatu keadaan yang akan membaik spontan (self
limited disease). Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai
terapi lini pertama. Pemberian analgesik dan antipiretik akan membantu
mengurangi gejala nyeri dan demam. Penggunaan dekongestan, baik lokal
maupun sistemik dapat membantu meringankan gejala yang dikeluhkan pasien.
Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang terus menerus
dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten.
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga
mencapai 90% kasus. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut diperkirakan terjadi
1 dari 1000 kasus. Komplikasi sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan pada tulang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane
GA, penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side
Publication;1991. p. 253-5.

2. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI, 2010: h. 152

3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar. Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.hal.122-124.

5. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and


Paranasal Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17 th ed. Vol 1. Connecticut: BC
Decker Inc, 2009:484-494

6. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000

7. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4 th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.

8. USA: American Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery


Foundation;2015:p1-39.

9. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses


and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3 rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.

10. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media
Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106.

11. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies
LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90

29
12. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical Treatment.
August 8, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed
December 20, 2010

13. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory
Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93

14. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,
Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-
91

15. Anugrahani A, Madaidipoera T, Dermawan A. Korelasi Otitis Media dengan


Temuan Nasoendoskopi pada Penderita Rinosinusitis Akut. ORLI. 2015:
45(2): 101-108.

16. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3 rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.

17. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on


rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139

18. Mansjoer,Arif,Kuspuji Triyanti,Rakhmi Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung.


Kapita Selekta Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 113-4.

19. Soetjipto, Damayanti dan Retno Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal:118-22.

20. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 2009. Rhinosinusitis
Alergika. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI.
Philadelphia: W.B. Saunders. Hal.210-217.

21. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007.


Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline
Penyakit THT di Indonesia. Hal.58.

22. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012:
2 (4) : 72-75

30
23. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9: 27-36

31

Anda mungkin juga menyukai