Anda di halaman 1dari 24

RINOSINUSITIS PADA ANAK

INDRI ADRIZTINA NIP. 198610142010122006

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU/

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


2013

Universitas Sumatera Utara

RINOSINUSITIS PADA ANAK Indri Adriztina, Andrina YM Rambe

PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang belum sepenuhnya dimengerti dan

membutuhkan banyak penelitian pada ilmu penyakit anak. Diagnosis sering bergantung
hanya pada anamnesis sehingga sulit dibedakan dengan influenza (common cold). Pada
keadaan yang ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, rinosinusitis dapat
menyebabkan gejala-gejala yang dapat mengganggu kualitas kehidupan dan komplikasi yang
ditimbulkannya dapat mengancam jiwa. Pada anak yang lebih tua ataupun remaja gejala yang
timbul biasanya merupakan gejala yang umum seperti demam, sekret hidung purulen, batuk
dan sakit kepala atau nyeri pada wajah. Gejala dapat lebih ringan pada anak yang lebih muda,
tetapi pada semua kasus selalu terdapat sekret nasal yang purulen. Gejala dari penyakit
saluran pernafasan bagian atas (hidung tersumbat, rinorea, dan batuk) merupakan gejala yang
paling sering dikeluhkan pada pasien di bagian anak. Salah satu tantangan terberat dari klinisi
adalah untuk membedakan apakah gejala ini disebabkan oleh infeksi virus saluran pernafsan
1,2
bagian atas, rhinitis alergi, ataupun rinosinusitis.

Faktor predisposisi tersering yang menyebabkan rinosinusitis adalah infeksi virus saluran
pernafasan atas akut yang akhirnya dapat menyebabkan rinosinusitis virus akut (yang
menyebabkan 80% dari infeksi bakteri sinus) dan inflamasi karena alergi (yang menyebabkan
20% dari infeksi bakteri sinus). Anak-anak menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA)
rata-rata 6 sampai 8 kali pertahunnya, dan diperkirakan 5% sampai 13% diantaranya
3
mengalami komplikasi menjadi infeksi sinus paranasal sekunder.
Penyakit yang berhubungan dengan rinosinusitis akut dan kronis sangat bervariasi dan sulit
untuk dibedakan. Anak-anak memiliki sistem imun yang belum sempurna karena itu anak
yang sering diberikan ke tempat penitipan anak memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
4
untuk menderita infeksi saluran pernafasan dan rinosinusitis berulang.

Rinosinusitis dapat mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena itu klinisi harus
5
berhati-hati dalam menegakkan diagnosa dan menentukan pentalaksanaan yang tepat.

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak ke atas dan belakang dari apeks

disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumella membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian

Universitas Sumatera Utara

tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Di sini bagian bibir atas membentuk
cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah-menyebelah
kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah latero-
6
superior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung.

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk
oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral),
premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
6
maksila, krista palatina serta krista sfenoid.

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksiladan prosesus horizontal os palatum.
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os
maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribosa yang dilalui filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan cranial
konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os laktimalis, konka superior, dan konka media yang merupakan bagian dari os
6
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoideus medial.

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung disebut meatus inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior,
celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius, dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)
6
teratas.

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di aatas konka media. Kelompok sel-sel etmoid poterir bermuara di
sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas-
belakang konka superior dan di depan korpus os-sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,
6
tempat bermuaranya sinus sphenoid.
Meatus media merupakan celah yang lebih luas daripada meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Di balik anterior konka
media yang letakny menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang bentuknya bulan
sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum, disebut hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum mebentuk tonjolan yang berbentuk

Universitas Sumatera Utara

seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan
hemisfer, yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila dan se-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal
dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
6
bermuara di posterior muara sinus frontal.

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus naso-
6
lakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya
dibentuk oleh lamina horizontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
6
prosesus vaginalis os sphenoid, dan bagian luar oleh lamina pterigoideus sfenoid.

SINUS PARANASAL
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada tiap-tiap sisi hidung: sinus frontal

kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan
kiri (antrum Highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi
oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung: berisi udara dan semua bermuar adi
6
rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Sinus Frontal
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda

bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadang-kadang juga ada sinus yang
rudimenter, tetapi tidak pernah tak terbentuk sama sekali. Mungkin ada septum yang
membagi sinus menjadi satu kompartemen atau lebih. Sinus ini berhubungan dengan meatus
media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang dan bermuara pada
atau dekat infundibulum bagian atas. Kadang-kadang kanalis frontonasal ini bermuara
langsung ke meatus medius.Ukuran rata-rata sinus frontal: tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam
1,5-2cm, dan isi rata-rata 6-7ml. Dinding depan sinus frontal hamper selalu diploik, terutama
di bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding
6
anterior dan posterior.

Universitas Sumatera Utara

Sel-sel etmoid
Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira sebelah lateral
di setengah atau sepertiga atas hidung dan disebelah medial orbita. Tulang etmoid
mempunyai bidang horizontal dan bidang vertical yang saling tegak lurus. Bagian superior
bidang yang tegak lurus disebut Krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina
perpendikularis os etmoid, yang merupakan bagian dari septum. Bidang horisontalnya terdiri
dari bagian medial, yang tipis dan berlubang-lubang yaitu lamina kribrosa, dan bagian lateral,
6
yang lebih tebal dan merupakan atap sel-sel etmoid.

Lamina kribrosa tidak ditutupi oleh sel-sel etmoid akan tetapi terbuka bebas pada atap rongga
hidung. Terbentuk oleh tulang yang keras dan tidak mudah patah oleh kekuatan yang biasa
digunakan pada operasi hidung, tetapi lubang-lubang yang ada dapat merupakan jalan untuk
penjalaran infeksi ke selaput otak, terutama bila operasi dilakukan pada waktu ada infeksi
akut traktus respiratorius atas. Dinding luar sinus etmoid adalah os planum, atau lamina
papirasea os etmoid dan os lakrimalis. Lempeng-lempeng tulang ini sangat tipis dan juga
merupakan dinding medial rongga orbita. Bila tulang ini tembus, dapat menyebabkan selulitis
6
orbita yang mungkin disertai dengan menonjolnya isi orbita.

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, sudah ada pada waktu bayi
lahir, kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa
pubertas. Pada orang dewasa sinus etmoid terdiri dari sejumlah sel-sel pneumatic yang besar
dan jumlahnya bervariasi. Tidak jarang ditemukan sel-sel etmoid anterior yang meluas
sampai ke duktus nasofrontal atau mendesak duktus tersebut. Jumlah volume kedua sinus ini
kira-kira 14 ml tetapi ada juga yang volumenya berbeda jauh. Ada dua kelompok sel-sel:
kelompok anterior, yang bermuara ke meatus medius, dan kelompok popterior, yang
6
bermuara ke meatus superior.

Sinus maksila
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil di sebelah medial orbita.

Mula-mula dasarnya lebih tinggu daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami
penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan
kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila atau antrum Highmore,
merupakan sinus paranasal yang terbesar, berbentuk pyramid irregular yang dasarnya
mengahadap ke fosa nasalis dan puncaknya kearah apeks zigomatikus os maksila. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Morris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm
dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Pada orang dewasa isinya kira-kira 15
6
ml.

Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus
unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os lakrimalis.
Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita. Dinding posterior-inferior atau
dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian
6
luar palatum durum, dinding anterior berhadapan dengan fosa kanina.

Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus media melalui lubang kecil,
yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya lebih besar daripada lubang yang
sebenarnya. Hal ini mempermudah intuk keperluan tindakan irigasi sinus. Gigi premolar
kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-
kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif
yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah
atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
6
yang akan mengakibatkan sinusitis.

Sinus sfenoid
Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sphenoid masih kecil, namun telah berkembang

sempurna pada usia 12-15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta
bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang
tipis, yang letaknya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar
6
daripada sisi lainnya.

Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil
menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Ukuran ostium sinus sphenoid berkisar antara 0,5
sampai 4 mm dan letaknya kira-kira 10-20mm di atas dasar sinus, sehingga kurang
menguntukngkan dari segi drainase menurut gravitasi. Ukuran sinus ini kira-kira sebagai
berikut: usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-
6
rata sekitar 7,5ml (0,05 sampai 30 ml).

Ostium sinus biasanya terdiri dari membran, sedangkan lingkaran tulangnya jauh lebih besar
daripada orifisiumnya. Letaknya dekat septum nasi dan tersembunyi di balik konka media
dan berdampingan dengan septum. Bila ada atropi konka atau deviasi septum ke sisi yang
berlawanan, mungkin ostium ini akan tampak pada pemeriksaan rinoskopi anterior.

Universitas Sumatera Utara

Sekret purulen yang mengalir dari ostium melalui koana posterior menuju ke nasofaring atau
6
ke ujung posterior konka media.

Gambar A: Anatomi sinus paranasal potongan koronal. B: Anatomi sinus paranasal potongan sagital
7
C: Gambar sel-sel etmoid

FISIOLOGI
Hidung mempunyai empat fungsi utama; yaitu (1) sebagai lokasi epitel olfaktorius,

(2) saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah, (3) organ yang
mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru, dan (4) sebagai organ
yang mampu membersihkan dirinya sendiri. Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh
terhadap zat-zat yang berbahaya yang masuk bersamaudara pernafasan. Hidung juga berperan
6
sebagai resonator dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma.
Universitas Sumatera Utara

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan beberapa teori
mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan (air conditioning)
seperti pada rongga hidung. Ternyata volume pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang
lebih seperseribu dari volume sinus pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya
mampu melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran
napas bagian atas, karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh darah
sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara, tidak banyak
mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak memungkinkan sinus berfungsi
5,6
sebagai resonator suara yang efektif.

Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh panas
udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insulators) seperti mata
dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak
diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala,
dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Sebagai
pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata udara
inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan udara,
peredam kejut (shock absorber), protektor suara antara organ vokal dengan telinga, sebagai
tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium dan
6,8
wajah.

DEFINISI
Rinosinusitis didefenisikan sebagai peradangan atau infeksi mukosa dari satu atau

lebih ruang sinus paranasal. Rinosinusitis merupakan penamaan yang digunakan dikarenakan
peradangan biasanya berawal dari epitel hidung. Rinosinusitis disebabkan oeh pertumbuhan
bakteri pada ruang tertutup. Gangguan ini juga disebut rinosinusitis karena mukosa pada
kavum nasi berhubungan dengan mukosa pada sinus paranasal sehingga dapat mempengaruhi
kedua tempat tersebut. Rinitis virus atau alergi biasanya dapat menyebabkan sinusitis dan
1,5,9
terjadinya sinusitis tanpa didahului rinitis amatlah jarang.

Rinosinusitis pada anak dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan lamanya penyakit:
akut, akut rekuren, subakut dan kronis. Simptom dari sinusitis akut termasuk rinorea, batuk-
batuk, hidung tersumbat,sesekali bisa ditemukan demam subfebris, otitis media, rasa tidak
nyaman, dan sakit kepala. Gejala-gejala ini dapat membingungkan untuk membedakannya
dengan penyakit lain, terutama ISPA. Adanya gejala-gejala yang menetap

Universitas Sumatera Utara

sampai 7-10 hari atau gejala yang memberat selama 7 hari dengan gejala rinorea dan batuk
yang menonjol bisa kita duga sebagai rinosinusitis akut. Sebagai tambahan, dapat disertai
0
gejala dari infeksi akut yang berat seperti rinorea yang purulen dan demam tinggi (>40 C)
dan edema periorbital. Rinosinusitis akut yang berulang didefenisikan dengn adanya fase
sembuh total dari sinusitis akut dengan adanya angka kekambuhan 3 atau lebih dalam enam
bulan ataupun lebih dari 4 kali dalam setahun. Sinusitis subakut adalah adanya gejala dan
tanda yang menetap selama 3 minggu sampai dengan 3 bulan. Sinusitis kronis adalah adanya
10
gejala dan tanda yang relatif tidak berat dan menetap lebih dari 3 bulan.

PATOFISIOLOGI
Sinus maksila, frontal, etmoid dan sfenoid, semua didrainase melalui kavum nasi

melalui ostium dengan diameter kira-kira 1-3 mm. Obstruksi dari daerah sempit ini dapat
membuat lingkungan yang baik untuk pertumbuhan kuman patogen berkolonisasi, Antibiotik
tidak dianjurkan pada obstruksi akut, walaupun demikian apabila obstruksi yang menetap
selama 7-10 hari, infeksi sekunder dapat terjadi. Pada sinusitis bakteri akut, biasanya
disebabkan oleh satu jenis bakteri, tetapi pada 26-30% kasus dibuktikan adanya infeksi
5
bakteri multiple.

KEKERAPAN
Rinosinusitis adalah salah satu dari penyakit tersering yang terdapat di Amerika

Serikat. Sekitar 20 juta kasus terdiagnosa setiap tahunnya dan lebih dari 30 juta orang
terdiagnosa dengan rinosinusitis kronis. Di Indonesia, angka kejadian sinusitis akut
mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang, sekitar 1 dalam 1000
4,11
orang.
ETIOLOGI
Organisme penyebab dari sinusitis bakteri akut pada anak sama seperti pada penyakit

otitis media akut. Hal itu termasuk Streptococcus pneumonia (30% sampai 40% dari semua
bakteri diisolasi), Haemophilus influenza (20% sampai 30%), Moraxella catarrhalis (12%
sampai 20%), dan Streptococcus pyogenes (sekitar 3%). Bakteri lain yang lebih jarang
ditemukan termasuk Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, neisseria sp. dan bakteri gram
positif dan gram negatif lainnya. Virus bertanggung jawab pada sebagian kasus seperti,
4,5
coronavirus, influenza, parainfluenza,adenovirus dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

9
Tabel 2. Organisme pada rinosinusitis akut.

,
Streptococcus pnemoniae Haemophilus influenzae Moraxella 30-40% 20-30% 12-
catarrhalis S. pyogenes Bakteri gram negatif Bakteri anaerob, jamur 20% 3-5% <3% jarang

Etiologi dari rinosinusitis aku dan kronis sangat berbeda jauh. Pada keadaan rinosinusitis
akut, diyakini disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, infeksi jamur ataupun peradangan yang
disebabkan karena alergi. Patofisiologi yang pasti dari terjadinya rinosinusitis kronis masih
belum dapat dipastikan. Dengan adanya proses radang multipel yang mendasarinya dan
biasanya sering terjadi overlapping, tampaknya dapat dikatakan bahwa rinosinusitis kronis
terjadi disebabkan oleh etiologi yang multipel. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis diantaranya faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor
4,9
struktural.

FAKTOR PREDISPOSISI
5
Banyak faktor yang dapat menyebabkan rinosinusitis :

 Infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA) yang mendahuluinya


 Rinitis alergi
 Polusi lingkungan
 Infeksi gigi atau ekstraksi gigi
 Perubahan hormon
 Faktor iatrogenik
 Variasi anatomi (hipertrofi tonsil atau adenoid, septum deviasi, polip nasi,

palatoschiziz)

 Berenang
 Defisiensi imun
 Gangguan sekretori (kista fibrosis)
 Sindrom immotilitas silia
 Mucociliary clearens yang abnormal yang merupakan akibat dari struktur silia yang
abnormal (sindrom Kartegener)

Universitas Sumatera Utara

 Bronkiektasis
 Asma
 Sistem imun yang belum sempurna
 GERD

GEJALA
Gejala rinosinusitis pada anak susah dibedakan dari penyakit common cold ataupun

rhinitis vasomotor. Gejala pada anak cenderung tidak spesifik dan biasanya termasuk
rinorea, hidung tersumbat, demam, sekret purulen hidung anterior atau posterior,
susah makan, nafas berbau, batuk dan suara sengau. Tanda klasik yang biasa terdapat
pada orang dewasa (seperti nyeri pada wajah dan sakit kepala) relatif jarang
5
ditemukan.

Salah satu gejala yang dapat terjadi meskipun tidak terlalu sering adalah adanya
demam tinggi yang disertai ISPA yang berat yang bisanya terjadi selama 3 sampai 4
hari. Jika demam mengawali gejala ISPA, maka cenderung merupakan gejala
rinosinusitis viral. Pada anak yang lebih besar ataupun menginjak remaja dapat
ditemukan gejala yang yang menyerupai seperti pada orang dewasa: sakit kepala,
nyeri pada wajah dan terasa tekanan pada wajah, nyeri gigi pada daerah maksila,
1
faringitis dan batuk.

12
Tabel 2. Gejala rinosinusitis pada anak

Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronis

Rinorea
Sekret hidung purulen Nyeri Batuk yang lebih sering Sakit kepala
wajah Nyeri pada wajah
Demam Hidung tersumbat
Hidung tersumbat Batuk Suara serak
Demam sub-febris
Bengkak pada periorbital Asma
Nyeri pada mata atau gigi

Pada gejala yang menetap pada pemberian antibiotik yang optimal dapat kita curigai sebagai
infeksi jamur. Infeksi rinosinusitis jamur terjadi terutama pada anak dengan
immunocompromised ataupun dengan riwayat atopi. Infeksi jamur dapat terbagi 2 yaitu

Universitas Sumatera Utara

infeksi jamur non-invasif dan infeksi jamur invasif. Gejala yang umum pada infeksi jamur
antara lain demam sub-febris, rinorea purulen, terasa penuh pada wajah dan nyeri daerah
sinus yang terkena. Pada rinosinusitis pada jamur kuretase dan drainase merupakan
13
penatalaksanaan pilihan.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan rinoskopi anterior sangat penting dan dapat dilakukan dengan

menggunakan speculum hidung atau otoskop. Dapat digunakan dekongestan topikal sebelum
melakukan pemeriksaan untuk memperbaiki lapangan pandang. Pemeriksaan fisik harus
termasuk konka, dan septum, mengevaluasi konsistensi mukus, dan menentukan ada tidaknya
5
polip ataupun bernafas dari mulut, perdarahan.

Pada kebanyakan kasus, tidak ditemukan pemeriksaan fisik yang khusus untuk menentukan
diagnosis. Jika terdapat nampaknya sekret purulen yang mengalir dari meatus media dapat
kita diagnosis dengan rhinosinusitis akut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan otoskop dengan cara menekankan melalui rongga hidung dengan lembut,
tekhnik tersebut tidak mudah untuk dilakukan, terutama pada anak yang masih sangat kecil.
Pada sinusitis etmoid dapat ditemukan edema pada periorbital. Pada anak yang lebih tua dan
menginjak remaja, penekanan pada daerah sinus frontal dan maksila dapat menumbulkan
1
nyeri ataupun rasa yang tidak nyaman.

DIAGNOSIS
Diagnosis dari rhinosinusitis akut tergantung oleh anamnesis; seringnya tidak terlalu

terdapat perbedaan pemeriksaan fisik yang mencolok antara penyakit ini dan ISPA biasa.
Rhinosinusitis akut merupakan gejala saluran nafas atas berat yang bertahan lebih dari 10 hari
1
atau dengan gejala yang semakin parah pada waktu 7 sampai 10 hari.

Diagnosa dari rinosinusitis seringnya sulit untuk dilakukan dan biasanya dilakukan
berdasarkan dari anamneses dan pemeriksaan fisik. Meskipun aspirasi dan kultur dari cairan
pada sinus merupakan gold standart diagnosis, prosedur ini dapat menyebabkan rasa sakit dan
infeksi iatrogenik. Prosedur ini biasanya dilakukan pada sinusitis yang megalami komplikasi
atau pada pengobatan yang membutuhkan isolasi dari kuman penyebab untuk menentukan
antibiotik yang spesifik. Sayangnya, kultur dari sekret pada hidung sering tidak memiliki
korelasi terhadap kuman penyebab dari aspirasi dari sinus sehingga tidak terlalu dapat
1,5
membantu.

Universitas Sumatera Utara

Dari sebuah penelitian mengungkapkan terdapat hifa pada 52% dari aspirasi cairan pada sinus
pada pasien dengan alergi dan 32% positif jamur, salah satunya Aspergillus sp. Dan
dematiaceous, karena itu adanya infeksi jamur pada pasien anak dengan rinosinusitis alergi
14
harus dipertimbangkan.

Menurut Task Force on Rhinosinusitis, diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan jika
5
terdapat paling tidak 2 kriteria mayor ataupun 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.

5
Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor pada Rinosinusitis.

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Sakit kepala
Sakit dan nyeri tekan di wajah Pembengkakan
di wajah Obstruksi hidung Fatique
Sekret dari hidung dan postnasal
Hiposmia/anosmia Halitosis
Sakit gigi
Demam Batuk
Sakit/nyeri tekan/pembengkakan pada

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan transluminasi dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya cairan pada

rongga sinus maksila dan frontal. Tekhnik ini dilakukan pada ruangan gelap dan diarahkan
transiluminator (cahaya dengan intensitas tinggi) ke mulut ataupun pipi (untuk melihat sinus
maksila) atau kebawah dari batas supraorbital bagian medial (untuk sinus frontal) untuk
melihat transmisi dari cahaya melalui rongga sinus. Transluminasi tidak dapat terlalu
dipastikan hasilnya pada anak dengan umur dibawah 10 tahun. Pada orang yang lebih dewasa
dapat dilakukan pemeriksaan dengan transluminsi, pada keadaan cahaya dari transluminasi
normal, maka diduga tidak terjadi sinusitis, sebaliknya, jika tidak terdapat cahaya
transluminasi maka diduga terdapat cairan pada rongga sinus. Peneliti menyimpulkan bahwa
pemeriksaan dengan menggunakan transiluminasi memiliki tingkat diagnostik yang terbatas
dan bergantung pada skill dari pemeriksa. Dengan hanya pemeriksaan transluminasi tidak
3,5
dapat menegakkan rinosinusitis. Ultrasound juga memiliki nilai diagnostik yang terbatas.

Pemeriksaan radiologi foto polos biasanya tidak terlalu dapat membantu untuk mendiagnosa
rhinosinusitis karena cenderung memiliki spesifisitas yang rendah. Foto polos

Universitas Sumatera Utara

tidak dianjurkan untuk mendiagnosa rinosinusitis pada anak karena sering ditemukan tidak
akurat jika dibandingkan dengan pemeriksaan Computed tomography (CT) scan. McAlister
dari RS St. Louis melakukan penelitian prospektif terhadap 70 orang anak yang memiliki
gejala rinosinusitis kronis dan membandingkan antara pemeriksaan foto polos dan CT-scan
dan menemukan hasil yang berbeda sekitar 29% sampai 23%. Dia mengungkapkan bahwa
pada foto polos dapat terlihat gejala pada sinus yang berlebihan ataupun lebih sedikit dari
yang terlihat pada CT-scan, Ct-scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan
evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada
pasien dengan rinosinusitis kronis dan dipersiapkan untuk operasi. Pada suatu penelitian
disebutkan CT-scan memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. CT- scan dapat juga
digunakan untuk mendiagnosa polip, benda asing, atau kelainan anatomi yang dapat
menyebabkan gejala klinis. Penebalan mukosa, adanya air-fluid level, dan gambaran sinus
yang opaque merupakan gambaran yang bisa terdapat pada rhinosinusitis pada CT scan. MRI
merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dipilih jika dicurigai adanya komplikasi
intrakranial. Pada pemeriksaan radiologi pasien dengan rinosinusitis jamur tampak
perselubungan pada sinus yang terkena, dan pada infeksi yang terjadi pembentukan bola
jamur, juga tampak terlihat gambaran bola jamur pada hasil pemeriksaan radiologi. Pada
1,3,13,15
infeksi jamur invasif dapat terlihat adanya erosi tulang.

Gambar A: Foto polos dari seorang anak yang telah menjalani operasi sinus endoskopi. Terlihat perselubungan
pada maksila kanan dan penebalan mukosa pada maksila kiri. Sulit terlihat sinus ethmoid
Gambar B: CT-scan dari pasien yang sama yang diambil 20 menit sesudahnya. Tidak terdapat kelainan pada sel
etmoid, dan terlihat penebalan pada mukosa sinus maksila kanan yang mana pada foto polos terlihat sebagai
4
perselubungan. Sinus maksila kiri bersih, hanya terdapat penebalan pada bagian atap sinus.

Universitas Sumatera Utara

DIAGNOSA BANDING
Rinosinusitis pada anak harus dibedakan dengan rinitis alergi, yang mana biasanya

dikarakteristikan dengan hidung tersumbat yang berkelanjutan, bersin, mata terasa gatal, dan
riwayat atopi dari keluarga. Hipertropi adenoid atau septum deviasi yang berat juga dapat
menimbulkan gejala-gejala yang menyerupai rinosinusitis. Adanya benda asing, asma
5
ataupun keganasan juga harus disingkirkan.

PENATALAKSANAAN
Amoksisilin merupakan obat pilihan pada penyakit rhinosinusitis. Dosis yang

dianjurkan 45mg/kg per hari sampai 90 mg/kg perhari tergantung dengan beratnya gejala atau
adanya factor resiko yang spesifik. Dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan umur
tidak kurang dari 2 tahun, yang tidak berada pada tempat penampungan anak, dan tidak
mendapatkan pengobatan antibiotik dalam waktu dekat dan pada gejala yang tidak berat.
Pasien yang mengalami alergi pada golongan penisilin dapat diterapi dengan sefalosporin
golongan kedua ataupun ketiga secara oral (cefuroxim,cefdinir, cefpodoxime) kecuali pada
keadaan alergi yang berpotensial untuk terjadi cross-reactivity. Pada keadaan seperti ini,
golongan makrolid seperti ini dapat diberikan clarithromicyn atau azitromycin. Klindamisin
merupakan salah satu alternative yang dapat diberikan pada pasien dengan alergi penisilin
1
yang resisten pada pneumococcus.

Jika tidak ditemukan perbaikan dalam 3 hari dengan penggunaan amoxicillin atau jika pasien
mengeluhkan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang lebih berat dan demam yang tinggi,
terapi pilihan yang diberikan merupakan amoxicillin/clavulanate (amoxicillin 90 mg/kg
perhari), dan dapat diberikan terapi alternatif lainnya berupa sefalosporin generasi kedua atau
ketiga. Belum ditentukan durasi dari pemberian obat yang optimal. Banyak variasi dari lama
terapi yang direkomendasikan, 14 hari, 14 hari ataupun 28 hari. Sebagai salah satu
pilihan,disarankan untuk memberikan terapi sampai 7 hari setelah gejala menghilang
memastikan sarat terapi minimum 10 hari dan menghindari terapi yang terlalu berlama-lama
1
yang mana dapat menyebabkan masalah resistensi.

Pada infeksi oleh karena jamur yang bersifat invasif dapat diberikan terapi anti jamur seperti
amphotericyn B (0,3-3,0 mg/kg/hr) atau fluconazole secara parenteral dan dapat dilakukan
kuretase dan drainase dari sinus yang terkena.Beberapa peneliti menyarankan untuk
pemberian irigasi dengan anti jamur yang cukup efektif dalam mempercepat pembuangan
dari organisme penyebab. Pada infeksi jamur yang membentukan bola jamur, bola jamur
14,16,17
tersebut harus diangkat dengan prosedur antrostomi.

Universitas Sumatera Utara

TERAPI ADJUVAN
Tidak ada terapi adjuvan tertentu yang menjadi ketetapan pada penyakit

rhinosinusitis. Bagaimanapun, ada beberapa terapi yang dapat diberikan untuk meringankan
gejala. Terapi adjuvant dapat diberikan untuk mengurangi edema dari ostium sinus dan
memperbaiki drainase. Dekongestan topical harus diberikan dengan berhati-hati dan tidak
lebih dari 3 hari untuk menghindari efek rebound dan rhinitis medikamentosa. Pada
rinosinusitis akut pemberian antihistamin sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan
meningkatnya viskositas sekret dan menggaggu clearens mukosiliar. Antihistamin dapat
diberikan pada pasien yang didasari oleh adanya rhinitis alergi. Steroid topikal secara teori
dapat membantu meredakan inflamasi lokal, tetapi efek penyembuhan pada rinosinusitis akut
masih dalam perdebatan. Irigasi hidung dengan menggunakan salie diketahui dapat
1,4
membantu mengurangi gejala dari rinosinusitis.

PEMBEDAHAN
Tindakan operatif biasanya dilakukan pada anak dengan rhinosinusitis yang berulang

dan yang tidak respon terhadap medikamentosa, yang mana anak tersebut tidak mengalami
alergi ataupun GERD yang tidak diatasi, dan tidak didasari oleh penyakit sistemik lainnya
1
yang menyebabkan rhinosinusitis tersebut.

Adenoidektomi
Dari penelitian terdahulu telah diketahui terdapat hubungan antara anak yang menderita sakit
tonsil ataupun adenoid dengan sinusitis. Huggil dan Ballantyne menyatakan adanya
hubungan antara adenoiditis, hipertropi adenoid dengan frekuensi terjadinya rinosinusitis.
Merch menyatakan semakin besar adenoid pad maka semakin tinggi insiden tampaknya
perselubungan pada maksila pada gambaran foto polos. Telah dilaporkan adanya perbaikan
dari gejala-gejala rinosinusitis kronis seperti rinorea, batukpost-nasal drip, halitosis setelah
dilakkannya adenoidektomi. Tindakan adenoidektomi juga lebih mudah dilakukan dan
memiliki lebih sedikit komplikasi debandingkan dengan operasi sinus dengan endoskopi.
Dari sebuah penelitian meta analisis, adenoidektomi dapat dipertimbangkan sebagai tindakan
lini pertama bagi penderita rinosinusitis yang tidak mengalami perbaikan. Rosenvelt
mempelajari langkah-langkah dalam tata laksana rinosinusitis yang persisten dan menyatakan
studi ini valid untuk diterapkan. Masih belum ditegaskan bahwa ukuran adenoid pad

Universitas Sumatera Utara

memperngaruhi terapi sinusitis dan Rosenvelt merekomendasikan bahwa adenoidektomi


4,18
harus dilakukan terlebih dahulu tanpa memperdulikan ukuran dari adenoid pad.

Irigasi Antrum
Lavase antrum merupakan metode untuk mendeteksi dan mengatasi sinusitis berulang. Salah
satu dari kekurangannya yaitu bahwa metode ini ditunjukkan hanya pada sinus maksila.
Irigasi ini dapat dilakukan pada ostium, meatus inferior atau fosa kanina. Irigasi jarang dapat
mengatasi rinosinusitis hanya dengan 1 kali tindakan, sehingga prosedur ini jarang dilakukan
sebagai prosedur utama saat ini. Irigasi antrum saat ini menjadi suatu prosedur untuk
4
melakukan kultur dari sinus maksila.

19
Gambar : Lavase antral pada anak.

Antrostomi Meatus Inferior (Nasal Antral Window)


Saat ini, prosedur ini jarang dilakukan kecuali pada anak dengan penyakit imunodefisiensi,
AIDS dan pada beberapa kasus kistik fibrosis. Lund telah melakukan penelitian retrospektif
dan prospektif dan menyimpulkan bahwa berdasarkan penelitian 45% dari tindakan ini
antrostomi menutup pada evaluasi selanjutnya. Dalam penelitiannya juga disimpulkan bahwa
antrostomi harus lebih besar dari 1cm agar tetap terbuka dan antrostomi sendiri jarang dapat
bertahan pada anak-anak. Muntz dan Lusk melakukan evaluasi terhadap 39 anak yang
diterapi dengan antrostomi meatus inferior bilateral untuk sinusitis kronis dan mendapatkan
gejala yang tidak berkurang pada 60% pasien pada 1 bulan pertama dan 73% pasien pada 6
4
bulan evaluasi, karena itu mereka mulai meninggalkan metode ini.

Antrostomi Meatus Media


Suatu tindakan alternatif untuk menciptakan ventilasi dari sinus maksila adalah dengan
membuka ostium alami dengan metode antrostomi meatus media. Wilkerson melakukan

Universitas Sumatera Utara


penelitian dan menyimpulkan bahwa prosedur ini efektif pada pasien rinosinusitis kronis.
Saat ini banyak bukti yang menyatakan bahawa antrostomi meatus media dapat bertahan.
Bagaimanapun, kegagalan dalam mengidentifikasi ostium alami atau melebarkannya dapat
4
menyebabkan obstruksi yang persisten.

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

Pembedahan tradisional untuk terapi rhinosinusitis pada seperti tindakan pembedahan di atas
kadang memiliki hasil yang kurang memuaskan dan angka kesakitan yang tinggi. Kegunaan
FESS pada orang dewasa diperkenalkan oleh Kennedy pada tahun 1980an, dan pertama
kalinya dilakukan pada anak oleh Gross et al. FESS direkomendasikan sebagai prosedur yang
20
aman dan efekrif yang dapat memperbaiki drainase dari sinus paranasal.

21
Indikasi absolut dilakukannya tindakan FESS pada anak jika ditemukan :

1. Sumbatan total dari hidung yang disebabkan oleh poliposis yang masuf dan

tertutupnya hidung disebabkan medialisasi dari dinding lateral hidung

2. Polip antrokoanal
3. Komplikasi intrakranial
4. Mukokel dan mukopyokel
5. Abses orbita
6. Dekompresi dari kanalis optikus
7. Dakriosistitis yang disebabkan oleh sinusitis yang tidak mempan dengan obat
8. Sinusitis jamur
9. Gangguan meningoensepalus
10. Keganasan

21
Adapula indikasi relatif dari tindakan FESS pada anak adalah :
1. Pada sinusitis kronis yang menetap setelah dilakukan terapi yang optimal dan

tidak didasari oleh penyekit sistemik lainnya


2. Setelah dilakukan terapi optimal dengan antibiotik selama 2 sampai 6 minggu

(oral dan intravena) dan tetap terjadi rhinosinusitis berulang.


Sesungguhnya penatalaksanaan FESS pada anak bukanlah dikatakan sebagai prosedur

yang sama dengan orang dewasa dalam bentuk kecil. Perbedaan antara dewasa dan anak
terkait pada metode, rawatan post-operatif dan hasil yang didapatkan. Pada anak dilakukan
tindakan yang seminimal mungkin. Walaupun tidak pernah didapatkan adanya defornitas
pada wajah setelah dilakukannya tindakan FESS tersebut, tetapi pernah dideteksi adanya
20
hipoplasia pada sinus yang terlihat dari pemeriksaan CT-scan.

Universitas Sumatera Utara

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS PADA ANAK


Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007, skema berikut
diharapkan dapat membantu berbagai disiplin ilmu dalam pemberian terapi rinosinusitis pada
anak. Rekomendasi yang diberikan berdasar pada bukti-bukti yang ada, tetapi beberapa
22
pilihan harus dibuat pada situasi dan kondisi secara individual. Rinosinusitis Akut pada
22
Anak

Gejala tiba-tiba 2/lebih,yang satunya adalah


• sumbatan hidung/ pilek (sekret hidung anterior/ posterior), disertai atau tanpa:
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± hilang atau berkurangnya penghidu
Rinoskopi anterior (nasoendoskopi jika mungkin)
Foto polos & Tomografi Komputer SPN tidak disarankan

Pertimbangkan diagnosis lain: Gejala unilateral


Perdarahan
Krusta

Kakosmia
Gejala orbita:
Edema periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegia
Nyeri kepala frontal hebat Edem frontal
Tanda meningitis atau tanda neurologi fokal

Demam > 38° Nyeri hebat

Gejala < 5 hari atau sudah membaik

Gejala menetap/ memburuk setelah 5 hari

Sedang

Berat

Tidak toksik
Antibiotik oral

Common cold

Gejala membaik

TIDAK

Gejala membaik

Rawat di RS

Asma, Bronkitis kronik

1. Rawat
2. Tomografi Komputer 3. Segera Antibiotik I.V

dan atau operasi


4. Kultur & Resistensi

kuman

Toksik, sakit berat

Rawat di RS Antibiotik iv

YA

Amoksilin (lini Tidak ada perbaikan dalam 48


pertama) jam
Gejala
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

Universitas Sumatera Utara

± penurunan/ hilangnya penghidu


Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)
• Pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus • Pemeriksaan mulut: post nasal drip
• Singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi

Pencitraan

Foto polos sinus paranasal tidak disarankan. Tomografi komputer juga tidak disarankan
kecuali pada keadaan penyakit parah, pasien imunokompromais dan tanda komplikasi berat
(orbita dan intrakranial).
Universitas Sumatera Utara

22
Rinosinusitis Kronik pada Anak

Gejala tiba-tiba 2/lebih,yang satunya adalah


• sumbatan hidung/ pilek (sekret hidung anterior/ posterior), disertai atau tanpa:
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± hilang atau berkurangnya indera penghidu
Pemeriksaan: Rinoskopi anterior
Foto polos & Tomografi Komputer SPN tidak dianjurkan

Pertimbangkan diagnosis lain: Gejala unilateral


Perdarahan
Krusta

Kakosmia
Gejala orbita:
Edema periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegia
Nyeri kepala frontal hebat Edem frontal
Tanda meningitis atau tanda neurologi fokal

Tidak berat Eksaserbasi sering

ALERGI + Peny. Sistemik (-) Imunodefisiensi


Tidak perlu pengobatan

Terapi peny. sistemik jika mungkin

Perlu investigasi dan intervensi cepat

Perbaikan

Steroid topikal Cuci hidung +/- antihistamin

Antibiotika 2-6 minggu

Evaluasi > 4 minggu

Tidak ada perbaikan

Gejala selama lebih dari 12 minggu


Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/ kongesti
atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu

Pertimbangkan operasi

Lanjutkan terapi Kurangi seminimal mungkin

Tidak ada perbaikan

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)


• Pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus • Pemeriksaan mulut: post nasal drip
• Singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi

Pencitraan
Foto polos sinus paranasal tidak disarankan. Tomografi komputer juga tidak disarankan
kecuali pada keadaan penyakit parah, pasien immunocompromiseds dan tanda komplikasi
berat (orbita dan intrakranial).

PROGNOSIS
Pada umumnya sebagian besar kasus rinosinusitis pada anak memberikan hasil yang

baik hanya dengan terapi medikamentosa saja dan hanya sedikit yang akhirnya memerlukan
23
pembedahan.

KOMPLIKASI
Komplikasi dari rhinosinusitis cukup jarang terjadi. Tetapi, juka terjadi komplikasi

dari rhinosinusitis dapat menjadi berat dan mengancam jiwa. Komplikasi pada orbita
merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi, termasuk selulitis orbita, neuritis optic, dan
abses subperiosteal dari orbita. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema pada kelopak mata,
proptosis, gangguan kejernihan penglihatan, dan terganggunga pergerakan bola mata.
Gangguan pada system saraf pusat dapat berupa manifestasi dari peningkatan tekanan
intracranial seperti: muntah, sakit kepala, kaku kuduk, gangguan kesadaran, dan gangguan
neurologis lain. Segera dilakukan pemeriksaan dengan CT-scan untuk mengidentifikasi
kemungkinan dari thrombosis sinus kavernosus, meningitis, empyema subdural, abses otak,
atau osteomyelitis dari tulang frontal. Dapat dilakukan tindakan operatif drainase segera
1
sesuai dengan komplikasi yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN

Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang belum sepenuhnya dimengerti dan
membutuhkan banyak penelitian pada ilmu penyakit anak. Diagnosis sering bergantung
hanya pada anamnesis sehingga sulit dibedakan dengan influenza (common cold). Pada
keadaan yang ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, rhinosinusitis menyebabkan
gejala-gejala yang dapat mengganggi kualitas kehidupan dan komplikasi yang
ditimbulkannya dapat mengancam jiwa.

Organisme penyebab dari sinusitis bakteri akut sama seperti pada penyakit otitis media akut.
Hal itu termasuk Streptococcus pneumonia (30% sampai 40% dari semua bakteri diisolasi),
Haemophilus influenza (20% sampai 30%), Moraxella catarrhalis (12% sampai 20%), dan
Streptococcus pyogenes (sekitar 3%). Virus bertanggung jawab pada sebagian kasus seperti,
coronavirus, influenza, parainfluenza,adenovirus dan lain-lain. Pada gejala yang menetap
pada pemberian antibiotik yang optimal dapat kita curigai sebagai infeksi jamur.

Amoksisilin merupakan obat pilihan pada penyakit rinosinusitis. Dosis yang dianjurkan
45mg/kg per hari sampai 90 mg/kg perhari tergantung dengan beratnya gejala atau adanya
faktor resiko yang spesifik.

Jika tidak ditemukan perbaikan dalam 3 hari dengan penggunaan amoxicillin atau jika pasien
mengeluhkan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang lebih berat dan demam yang tinggi,
terapi pilihan yang diberikan merupakan amoxicillin/clavulanate (amoxicillin 90 mg/kg
perhari), dan dapat diberikan terapi alternatif lainnya berupa sefalosporin generasi kedua atau
ketiga. Belum ditentukan durasi dari pemberian obat yang optimal. Tindakan operatif
biasanya dilakukan pada anak dengan rinosinusitis yang berulang dan yang tidak respon
terhadap medikamentosa.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor A,Adam HM. Ssinusitis. Pediatrics in Review 2006;27(10):395-7


2. Reid RR. Complication of pediatric paranasal sinusitis. Pediatr Radiol 2004;34: 933-

42

3. Subcomitee on Management of Sinusiti and Committee on Quality Improvement.

Clinical Practice Guideline : Management of Sinusitis. PEDIATRICS

2001;108(3):798-807

4. Lusk RP. Pediatric Rhinosinusitis. In: Bailey BJ Ed. Head and Neck Surgery-

th
Otolaryngology. Vol.I, 2 ed., Philadelphia: Lippincott – W&W, 1998. p: 1187-200.

5. Brook I,Gooch WM, Jenkins SG, Pichichero ME. Medical Management of Acute

Bacterial Sinusitis. Ann Otol Rhino Laryngol 2000;109:2-17

6. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.

Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi

13, Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. hal: 1-25.

7. Nash D, Wald E. Sinusitis. Pediatric in Review 2001;22:111-7


8. Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy, Function and Evaluation. In: Bailey BJ Ed.

th
Head and Neck Surgery -Otolaryngology. Vol.II, 4 ed., Philadelphia: Lippincott –

W&W, 2006. p: 307-17.

9. Clark MM, Werner M. Acut Sinusitis. In: Essential Infectious Disease Topics for

st
Primary Care. 1 ed. New Jersey: Humana Press, 2008. p. 57-64

10. Qiunn FB, Ryan MW. Pediatric Rhinosinusitis. Proceedings of the Ground Round

Presentation, UTMB, Dept. of Otorynolaryngology; 2004 May 12

11. Utari LA, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Dewasa dengan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut di Instalasi Rawat Jalan di Rumah Sakit Islam Surakarta

periode Januari-Juni 2008: Surakarta;2008.p.1

12.Josepshon G, Roy S. Pediatric Rhinosinusitis: Diagnosis and Management.


International Pediatric 1999;14:15-2

13. Behrman RE, Kliegman RM, NelsonWE, Vaughn VC. Aspergiloosis. In: Nelson

Textbook of Pediatric. Fourteenth edition. Philadelphia: W>B> Saunders Company,


1992. Hal: 869-70

14. Al-Swiahb JN, Al-Ammar A, Al –Dausary SH. Allergic fungal in children in Saudi
Arabia. Saudi Med J 2007; Vol 28(11): 1711-1714

Universitas Sumatera Utara

15.Bhattacharyya N, Jones DT, Hill M, Shapiro NL. The diagnostic Accuracy of Computed
Tomography in pediatric Chronic Rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surgery 2004
Sep;130:1029-32

16. Boucher HW, Patterson TF. Aspergillosis. In: Infectious Disease: Diagnosis and
st
Treatment of Human Mycoses. 1 ed. New Jersey: Humana Press, 2008. p. 181-7
17. Groll AH, Koehler J, Walsh TJ. Invasive fungal infection in children; advances and
perspective. Pediatric Infectious Disease Revisited. 2007:Switzerland. p.405-44
18. Brietzke SE, Brigger MT. Adenoidectomy outcomes in pediatric rhinosinusitis: A
meta-analysis. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 2008;72: 1541-
5
19. Sinusitis-Antral Lavage-Sinus Washout-Revisited diunduh dari:
www.drpaulose.com/general/sinusi...evisited
20. Chang PH, Lee LA,Huang CC, Lai CH, lee TJ. Functional Endoscopic Sinus Surgery
in Children Using a Limited Approach. Arch Otolaryngology Head and neck Surgery
2004;130:1033-6.
21. Clement PAR, Bluestone CD, Gordts F, Lusk RP,Otten FWA,Goosens H et al.
Management of Rhinosinusitis in Children. Arch Otolaryngology Head and neck
Surgery 1998;124:31-34
22. Fokkens W. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007.
Dalam: Buku Saku EPOS, 2007. hal: 14-7.
23. Shah AR, Salamone FN, Tami TA. Acute & Chronic Sinusitis. In: Current Diagnosis
th
& Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2 ed., Mc Graw Hill Lange,
2005. p: 273-81

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai