Oleh
Srikitta Danielia 1840312443
Kenty Regina 1840312455
Dhesty Mira Erviza 1840312626
Preseptor:
dr. Liza Fitria, Sp.A
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Case Report Session yang berjudul “Infeksi
Saluran Kemih“ ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai Infeksi Saluran Kemih, serta menjadi
salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada selaku preseptor
yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran, perbaikan dan
bimbingan. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca
terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang Infeksi Saluran Kemih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 4
2.4 Patofisiologi 4
2.5 Manifestasi Klinis 8
2.6 Diagnosis 8
2.7 Tatalaksana 12
2.8 Komplikasi 15
2.9 Prognosis 16
BAB III. LAPORAN KASUS 17
BAB IV. DISKUSI 29
LAMPIRAN 31
DAFTAR PUSTAKA 37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi saluran kemih (ISK)/urinary tract infection (UTI) adalah satu dari
penyakit infeksi yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak terutama pada
usia di bawah tiga tahun. Walaupun sering dijumpai pada bayi/ anak, namun tidak
cukup mudah mengenali dan konfirmasi pasti diagnosis penyakit ini.1,2 Penyebab
hal tersebut adalah gejala dan tanda yang tidak spesifik pada bayi/anak, disamping
itu pengumpulan urin dan interpretasi hasil konfirmasi diagnosis pada kelompok
usia tersebut tidak mudah.3 pengenalan dini terhadap penyakit ini perlu
diwaspadai karena menimbulkan komplikasi akut seperti gagal ginjal akut,
bakteremia, sepsis, meningitis, atau dapat berulang, dan akhirnya akan
menyebabkan kerusakan ginjal permanen, hipertensi, serta penyakit ginjal kronik
tahap akhir.4,5
Infeksi saluran kemih merupakan terminologi umum yang menunjukkan
keadaaan bertumbuh dan berkembangbiaknya kuman atau mikroba dalam saluran
kemih dalam jumlah bermakna. Klasifikasi ISK dapat berdasarkan lokalisasinya,
yaitu ISK atas atau ISK bawah, tetapi untuk kepentingan klinis dapat dibagi atas
ISK tidak berkomplikasi (ISK simpleks) dan ISK komplikata (ISK kompleks).
Kebanyakan infeksi ini tidak berkomplikasi dan berespon terhadap pengobatan,
namun 30-40% mengalami episode berulang dalam 2 tahun. Infeksi rekurens
menjadi komplikata dan pengobatannya menjadi sulit serta memiliki sekuele
serius.6
Terdapat ISK pada anak mungkin merupakan tanda (marker) kelainan
(anomali) dan fungsional saluran kemih. Abnormalitas yang sering ditemukan
pada ISK anak adalah refluks vesikoureteral (vesicoureteral reflux=VUR), uropati
obstruktif, dan disfungsi buli-buli (bladder dysfunction)1,2 organisme penyebab
ISK dan kerentanan terhadap antibiotik diperlukan untuk eradikasi infeksi,
pencegahan urosepsis, serta mengurangi kemungkinan kerusakan renal.1,2,5,7
Sekitar 7% sampai 8% anak perempuan dan 2% anak laki-laki mengalami
ISK selama8 tahun pertama kehidupan. Insidensi infeksi tertinggi selama tahun
pertama kehidupan pada kedua jenis kelamin, sedangkan ISK tanpa demam akan
1
lebih tinggi insidensinya pada anak perempuan berusia lebih dari 3 tahun. Sesudah
masabayi, infeksi saluran kemih terbatas, pada kandung kemih dan umumnya
disertai dengan gejala lokal dan mudah diobati.8 Sebaliknya, demam akan
meningkatkan kemungkinan keterlibatan ginjal dan dikaitkan dengan
kemungkinan risiko yang lebih besar terhadap kelainan nefrourologik yang
mendasari dan parut ginjal.8
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna. ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik. ISK
simtomatik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi yang menyerang
parenkim ginjal, disebut pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi
yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa
gangguan miksi seperti disuria,polakisuria, dan kencing mengedan (urgency). ISK
simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran kemih
yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih yang
menyebabkan stasis urin. ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang
disertai dengan kelainan anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang
menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelianan saluran kemih
dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal,
buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.9ISK berulang berarti
terdapatnya dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau ISK atas, atau satu
episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih episode sistitis atau
ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau ISK bawah.10
2.2 Epidemiologi
ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK
tergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada neonatus berkisar
antara 0,1% hingga 1% dan meningkat menjadi 1% pada neonatus dengan demam,
dan 5,3% pada bayi. Pada bayi asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada 0,3
hingga 0,4%. Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anakperempuan
dan 1-2% pada anak laki-laki. Pada anak dengan demam berumur kurang dari 2
tahun, prevalensi ISK 3-5%.9
3
2.3 Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%)
pada ISK serangan pertama. Kuman lain penyebab ISK yang sering adalah
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii,
Stafilokokus, dan Enterokokus.9
Pada ISK kompleks, sering sitemukan kuman yang virulensinya rendah
seperti Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, atau
epidermidis.9
2.4 Patofisiologi
Patogenesis kejadian ISK sangat kompleks karena bergantung pada faktor
penjamu dan faktor organismenya. Timbulnya infeksi pada saluran kemih
bergantung pada faktor predisposisi yang ada diantaranya yaitu adanya obstruksi
urin, kelainan struktur, urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang
lama.11
Cara penularan infeksi pada anak ISK dapat berlangsung karena proses
hematogen, atau asending dari uretra eksterna ke kandung kemih kemudian ke
ginjal. Pada anak kecil, sumber infeksi ISK yang sering terjadi akibat bakteri dari
tinjanya sendiri yang berjalan secara asending ke saluran kemih. Bakteri
uropatogenik tersebut akan melekat pada sel uroepitel dan mempengaruhi
kontraktilitas otot saluran kemih dan mempengaruhi peristaltiknya. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitel akan meningkatkan virulensi bakteri tersebut.11
Mukosa pada kantong kemih mengandung glikoprotein musin layer yang
berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan ini menyebabkan bakteri dapat
membentuk kolonisasi dan terjadinya peradangan. Bakteri kandung kemih dapat
naik ke ureter dan ginjal.11
Infeksi pada kantong kemih berulang dapat menyebabkan perubahan pada
dinding vesika dan inkompetensi katub vesikoureter. Akibat rusaknya katub ini
urin dapat refluks ke ureter terutama saat berkemih (kantong kemih berkontraksi),
kemudian menyebabkan ureter melebar dan kerusakan pielum dan parenkim
ginjal.11
4
Apabila infeksi mengenai buli, infeksi tersebut menyababkan iritasi dan
spasme otot vesika urinaria sehingga muncul gejala rasa ingin miksi terus-
menerus (urgensi), miksi berulang (polakisuria), nyeri berkemih (disuria). Mukosa
menjadi meradang dan bila terjadi perdarahan dapat menyebabkan hematuria. 11
5
Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran
antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih, muarauretra,
pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untukmelihat ada
tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna
diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia padalaki-laki atau
sinekie vagina pada perempuan. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah
prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang
peran utama untuk menegakkan diagnosis.
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa
pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan
ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun
dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus
dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditatalaksana
sebagaipielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP
membuat patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu : 1. suhu tubuh
390C atau lebih, 2. demam berlangsung dua hari atau lebih, 3. ras kulit putih,
4.umur di bawah satu tahun, 5. tidak ditemukan kemungkinan penyebab
demamlainnya. Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka
sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.
A. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase,
protein,dan darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya
bakteriuria,tetapi tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria
biasanyaditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK
simtomatik,tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria
dapatjuga terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin sterilperlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp.,
danUreaplasma urealitikum.
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit
esterase,enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan
banyaknyaleukosit dalam urin.
6
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri
dalamurin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi
dapatditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar
kumanGram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat
menjadinitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam
urin.Urindengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit.
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih,
tetapitidak dipakai sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah
mempunyaisensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam diagnosis ISK.
Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio ugal
dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL
adalahsuatu iron-carrier-protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan
merupakankomponen imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi
bakteri.Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30 ng/mg merupakan tanda
ISK.
Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat
denganmikroskop fase kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged
urin),terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-
kirasetara dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang
dipusing,terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis
menandakanjumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop
fase kontrastidak terlihat kuman, umumnya urin steril.
Anti coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan
menggunakan
fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis
padaremaja dan dewasa muda, namun tidak mampu laksana pada anak.
B. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
membantumenegakkan diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun
sebagianbesar pemeriksaan tersebut tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan
nilaiabsolut neutrofil, peningkatan laju endap darah (LED), C-reactive protein
7
(CRP)yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas. Kadar
prokalsitoninyang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk
pielonefritisakut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan
sakar ginjal.Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam proses
inflamasi.Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-1β)
meningkat padafase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
C. Biakan urin
Kecurigaan terhadap ISK pada anak biasanya berdasarkan keluhan atau
temuan pada urinalisis, atau keduanya. Kultur urin penting dilakukan untuk
konfirmasi dan pemberian terapi yang sesuai. Pengambilan sampel urin pada
anak yang telah dilatih untuk toilet training dapat diambil urin midstream. Pada
anak laki-laki yang belum disunat preputium harus ditarik terlebih dahulu, bila
preputium tidak dapat di tarik, sampel urin yang dikumpulkan tidak nyata dan
telah terkontaminasi dengan flora kulit. Berdasarkan pedoman klinis AAP untuk
mengumpulkan sampel urin pada anak usia 2-24 bulan dapat dilakukan katerisasi
atau aspirasi supra pubik. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil dengan
memakai kantong penampung urin (urin bag atau urin collector). Pengambilan
sampel urin dengan metode urin collector, merupakan metode yang mudah
dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu hingga
80%. Child Health Network (CHN) merekomendasikan 3 teknik pengambilan
sampel urin, yaitu midstream (pancar tengah), katerisasi urin, dan aspirasi supra
pubik, sedangkan pengambilan dengan urin bag tidak digunakan.
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlumendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan padasuhu kamar lebih dari ½
jam, maka kuman dapat membiak dengan cepatsehingga memberikan hasil
biakan positif palsu. Jika urin tidak langsungdikultur dan memerlukan waktu
lama, sampel urin harus dikirim dalamtermos es atau disimpan di dalam lemari
es. Urin dapat disimpan dalamlemari es pada suhu 40oC, selama 48-72 jam
sebelum dibiak.
Disebut bakteriuria bermakna bila ditemukannya kuman dalam jumlah
bermakna. Pengertian jumlah bermakna tergantung pada cara pengambilan
8
sampel urin. Bila urin diambil dengan cara pancar tengah, katerisasi urin, dan
urin collector, maka disebut bermakna bila ditemukan kuman 105 cfu (colony
forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter urin segar, sedangkan bila diambil
dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan bermakna jika ditemukan kuman
dalam jumlah berapa pun.
D. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat penting untuk melihat adanya kelainan
anatomi maupun fungsional ginjal dan saluran kemih, yang merupakan
faktorrisiko terjadinya ISK berulang dan parut ginjal. Berbagai jenis pemeriksaan
pencitraan antara lain ultrasonografi (USG), miksio-sistouretrografi (MSU), PIV
(pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto succinic acid), CT-scanatau
magnetic resonance imaging (MRI). Dulu, PIV merupakan pemeriksaan yang
sering digunakan, tetapi belakangan ini tidak lagi rutin digunakan pada ISK
karena berbagai faktor antara lain efek radiasi yang multipel, risiko syok
anafilaktik, risiko nekrosis tubular akut, jaringan parut baru terlihat
setelahbeberapa bulan atau tahun, tidak dapat memperlihatkan jaringan parut
pada permukaan anterior dan posterior. PIV digunakan untuk kasus tertentu,
misalnya untuk melihat gambaran anatomi jika tidak jelas terlihat dengan USG
dan skintigrafi DMSA, misalnya ginjal tapal kuda.
2.7 Tatalaksana9
Tatalaksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien,
lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK.
Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan
pemberian antibiotik merupakan faktor risiko penting terhadap terjadinya jaringan
parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil
sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba.
Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah
terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut.
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK
pada anak, dan masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa
9
protokol penanganan ISK telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter
berupa uji klinis dan meta-analisis, meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi
protokol penanganan ini saling melengkapi. 29 Secara garis besar, tatalaksana ISK
terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi
dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan mencegah
infeksi berulang.
1. Eradikasi infeksi akut
Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah
terjadinya urosepsis dan kerusakan parenkhim ginjal. Jika seorang anak dicurigai
ISK, berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu
hasil biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin.
Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau
lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat
dalam literatur. Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam
pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin
antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK
kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti. Selain pemberian antibiotik,
dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan.
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka
pendek dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena itu, pada sistitis
diberikan antibiotik jangka pendek.
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral
selama 7 hari, tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral
dengan waktu yang lebih singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan
pemberian selama 7 hari.
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:
1) Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter
spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
2) Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
10
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang
resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti
sefalosporin atau ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik
parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan
dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.
3) Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,
dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan
kepekaan terhadap obat.
Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang
tinggi terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan
sensitivitas sebagian besar kuman patogen dalam urin mendekati 96% terhadap
gentamisin dan seftriakson.
Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik
yang diberikan secara oral maupun parenteral, seperti terlihat pada tabel 1 dan
tabel 2.
11
Pengobatan sistitis akut
Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit,namun bila gejala klinik cukup berat
misalnya rasa sakit yang hebat, toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat
di rumah sakit dan diberi pengobatan parenteral hingga gejala klinik membaik.
Lama pengobatan umumnya 5 – 7 hari, meskipun ada yang memberikan 3-5 hari,
atau 7 hari.
Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti
trimetoprim-sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilinklavulanat,
sefaleksin, dan sefiksim. Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk
menghindari resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi pielonefritis. ISK
simpleks umumnya memberikan respon yang baik dengan amoksisilin,
sulfonamid, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.
Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus
mempunyai penetrasi yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan
nefritis interstitialis. Belum ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik
pada pielonefritis akut, tetapi umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari,
meskipun ada yang menuliskan 7-14 hari atau 10-14 hari.
Pemberian antibiotik parenteral selama 7 - 14 hari sangat efektif dalam
mengatasi infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral
menimbulkan berbagai permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian
obat, pasien memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan
ketidaknyamanan bagi pasien dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk
12
mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral.
Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik
parenteral. sehingga setelah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik per oral sampai selama 7-14 hari pengobatan.
Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan oral
setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik terlihat dengan nyata atau setidak-
tidaknya demam telah turun dalam 48 jam pertama. Dianjurkan pemberian
profilaksis antibiotik setelah pengobatan fase akut sambil menunggu hasil
pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam
ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama.
Pengobatan ISK pada neonatus
Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati,
anoreksia, ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau
minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi
infeksi yang belum berkembang menyebabkan mudah terjadi sepsis atau
meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan saluran kemih. Pengobatan
terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram negatif. Antibiotik harus
segera diberikan secara intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada
umumnya cukup memadai. Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK
adalah 10-14 hari. Pemberian profilaksis antibiotik segera diberikan setelah
selesai pengobatan fase akut.
Bakteriuria asimtomatik
Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman > 105 cfu/mL dalam
urin tanpa gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan
frekuensi) ataupun gejala klinik ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar
ginjal. Bakteri pada bakteriuria asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi
rendah dan tidak punya kemampuan untuk menyebabkan kerusakan ginjal
meskipun kuman tersebut mencapai ginjal.
Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan
terapi antibiotik, malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi
antara lain meningkatkan rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan
13
virulensi rendah pada saluran kemih dapat menghambat invasi kuman patogen,
dengan demikian kuman komensal tersebut dianggap berfungsi sebagai profilaksis
biologik terhadap kolonisasi kuman patogen.
Pengobatan suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga
perlu diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi
cairan harus adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar
dapat disuruh untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene
perineum perlu ditekankan terutama pada anak perempuan. Untuk mengatasi
disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/
kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti
demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang.
14
bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil
biakan urin.
Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada
anak perempuan, antara lain infestasi parasit seperti cacing benang, pemakaian
bubble bath, pakaian dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang bersifat
iritatif terhadap mukosa perineum dan vulva, pemakaian toilet paper yang salah,
konstipasi, ketidak mampuan pengosongan kandung kemih secara sempurna, baik
akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor lain (non
neurogenic bladder), RVU, preputium yang belum disirkumsisi.
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien
termasuk memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan
menghilangkan atau mengatasi faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi
yang teratur bermanfaat mencegah ISK berulang. Pada kasus refluks dianjurkan
miksi berganda (double micturation maupun tripple micturation). Koreksi bedah
terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat tinggi, urolitiasis,
katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi sangat
bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus
dilihat kasus per kasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak
disirkumsisi meningkat 3-15 kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah
disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi pada anak laki telah terbukti efektif
menurunkan insidens ISK.
Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama
telah digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap
berulangnya pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering
diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai
kondisi risiko tinggi lainnya.
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan
mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan
efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada
anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang selama pengamatan
5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi
15
antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora
normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan
yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang
(gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom
Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk pasien.
Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3 - 4 bulan.
Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya
refluks atau obstruksi) maka pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.
Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:
• Trimetoprim :1-2 mg/kgbb/hari
• Kotrimoksazol
- Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
- Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
• Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
• Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari
• Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari
• Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
• Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
• Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari. 4,6,29,41
Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis
yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta
cranberry juice.
2.8 Komplikasi9
ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan
meningitis. Komplikasi ISK jangka panjang adalah parut ginjal, hipertensi, gagal
ginjal, komplikasi pada masa kehamilan seperti preeklampsia. Parut ginjal terjadi
pada 8-40% pasien setelah mengalami episode pielonefritis akut.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. ASA
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 18 Desember 2017
Agama : Islam
Wali : Tn. S
Hubungan : Kakek
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jalan Panorama Baru, Puhun Pintu K, Mandiangin Koto
Selatan, Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal Masuk : 15/08/2019
No.Rekam medis : 52.15.23
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dari ibu kandung pasien dan nenek pasien (alloanamnesis).
Seorang anak perempuan berusia 1 tahun 7 bulan dirawat di bangsal anak Rumah
Sakit Achmad Muchtar pada tanggal 15 Agustus 2019 dengan :
A. Keluhan Utama
Semakin rewel dan menangis saat buang air kecil dirasakan sejak lebih kurang 2
minggu sebelum masuk rumah sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak rewel dan menangis saat buang air kecil dirasakan sejak 6 bulan
yang lalu, semakin bertambah rewel dan sering menangis saat buang air
kecil dirasakan sejak lebih kurang 2 minggu sebelum rumah sakit
Buang air kecil berwarna kemerahan sejak mengonsumsi obat TB paru,
sebelum mengonsumsi obat TB paru, buang air kecil berwarna kuning
pekat, jumlah kurang, dan anak sering mengedan saat buang air kecil,
buang air kecil tidak keruh atau bercampur dengan ampas buang air besar
17
Demam ada, hilang timbul, mudah berkeringat, menggigil, tidak disertai
kejang. Riwayat demam tinggi sebelumnya ada, diukur sendiri di rumah,
suhu tertinggi mencapai 41⁰C, kemudian anak diberikan parasetamol dan
suhu turun
Batuk ada hilang timbul, batuk berdahak produktif, namun sulit
dikeluarkan, batuk disertai pilek yang muncul terutama ketika anak
menangis, batuk tidak disertai sesak nafas
Mual dan muntah tidak ada. Riwayat muntah ada, 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, jumlahnya sekitar ½ gelas, tidak menyemprot, berisi
sisa makanan dan minuman
BAB tidak ada keluhan
18
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama atau dengan
penyakit infeksi saluran kemih
E. Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan (38-39 minggu)
Cara lahir : SC atas indikasi Kala II memanjang
Ditolong oleh : Dokter Spesialis
Berat lahir : 2600 gram
Panjang lahir : 39 cm
Saat lahir : Langsung menang ( lemah)
Konsumsi Obat : Stetolith
Kesan : Riwayat persalinan normal, asfiksia janin ringan
F. Riwayat Makanan dan Minuman
Bayi: ASI Ekslusif usia 0 – 4 bulan
Susu Formula usia 4 bulan - sekarang
Bubur Cerellac usia 6 bulan - sekarang
Nasi Tim usia 9 bulan – 24 bulan
Anak: Nasi keluarga yang dilumatkan sejak sejak usia 1 tahun, 2
kali/hari, menghabiskan ½ porsi, dengan berbagai lauk yang dilumatkan.
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan kurang.
G. Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG 1 bulan (+ scar) -
DPT 1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Polio 1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Hepatitis B 1 0 bulan -
2 1 bulan -
19
3 6 bulan -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak 9 bulan -
Kesan: Imunisasi dasar lengkap
H. Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat
Pertumbuhan Riwayat Gangguan
Umur Umur
dan Perkembangan Mental
Perkembangan
Tertawa 4 bulan Isap jempol -
Miring 6 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 8 bulan Sering mimpi -
Duduk Belum bisa Mengompol -
Merangkak Belum bisa Aktif sekali -
Berdiri Belum bisa Apatik -
Lari Belum bisa Membangkang -
Gigi pertama 9 bulan Ketakutan 4 bulan
Bicara Belum bisa Pergaulan jelek -
Membaca Belum bisa Kesukaran belajar -
Prestasi di
Tidak ada
sekolah
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai usia (terlambat)
Kesulitan untuk melakukan kontak mata dan komunikasi (berteriak
namun tidak dapat mengungkapkan kata-kata)
Ketakutan bila berhadapan dengan orang asing (menangis dan rewel)
Belum dapat menelungkup dengan usaha sendiri
Belum dapat menahan kepala tegak saat tengkurap
20
Riwayat Keluarga
Ayah/Wali Ibu/Wali
Nama Tn. S Ny. M
Umur 38 tahun 34 tahun
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan Wiraswasta Dosen
Penghasilan Rp 3.500.000.- Rp 5.000.000,-
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada
21
Kulit : akral hangat, CRT < 2 detik
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
aksila, inguinal
Kepala : flat head and flat face, LK = 37,5 cm, mikrocephal
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata :konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
hipertelorism
Telinga : low set ear, tidak ada sekret
Hidung : saddle nose, flattened nasal bridge
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah
Leher : short neck
Toraks : normochest, retraksi tidak ada
Paru :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : tidak dilakukan perkusi
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen:
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : A1M1P1
Anggota gerak : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik
22
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hematologi (15 Agustus 2019)
Hb : 11,9 g/dL
Leukosit : 12.470 / mm3
Eritrosit : 4,31 juta
Trombosit : 287.000 /mm3
Hematokrit : 35,7 %
Hitung jenis : 2/0/16/66/16
MCV : 82,8 fL
MCH : 27,6 pg
MCHC : 33,3 gr/dL
Kesan : anemia ringan, leukositosis, limfositosis
Mikroskopis
Eritrosit :-
Leukosit :-
Telur Cacing :-
Bakteri :-
Amoeba :-
Sisa Pencernaan :-
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kesan : dalam batas normal
24
USG Abdomen Bawah dan Pelvis (21 Agustus 2019)
25
Urinalisa (22 Agustus 2019)
Fisis
o Warna : Kuning tua
o Kekeruhan :-
Sedimen
o Leukosit : 2/µL
o Eritrosit : 2/µL
o Silinder (hialin, granuler, erileuko :-
o Kristal :-
o Epitel :+
o Oval fat bodies :-
o Bakteri :-
o Jamur :-
Kimia Urin
o Protein :-
o Glukosa :-
o Bilirubin :-
o Urobilinogen :-
o Benda Keton :+
o pH : 6,5
o Nitrit :-
o Darah samar / Hb :+
o BJ : 1,010
o Leukosit :+
Kesan : leukosituria, hematuria mikroskopik, ketonuria (+)
26
VI. DIAGNOSIS KERJA
ISK
Hidronefrosis dan Hidroureter Bilateral ec Suspect Divertikel Vesika
Urinaria + suspect sistitis kronis
TB Paru dalam pengobatan
Global Developmental Delayed + suspect down syndrome unconfirmed
cytogenetics tests and chromosomal analyses
Severe malnutrition
V. TATALAKSANA
IVFD Kaen IB 24cc/jam 8 tpm (aff 16/08)
Meropenem 3 x 240 mg iv
Paracetamol 3 x 70 mg p.o (k/p)
OAT (INH 60 mg, Rifampisin 90 mg, Pirezinamid 150 mg)
27
FOLLOW UP PASIEN
26/08/2019 S/ Anak tidak demam, tidak ada kejang, tidak sesak
Pilek disertai sekret ada, terutama ketika anak menangis
Mual dan muntah tidak ada
Anak terpasang kateter urin, kateter urin tampak terpasang
baik, rewel dan gelisah saat berkemih tidak ada
Ku kesadaran TD HR RR T
O/ Sakit kurang aktif 95/60 x/i 110x/i 22x/i 36,5⁰ C
Mata : konjungtiva anemis -/- sclera ikterik -/-
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : CRT < 2’, akral hangat
BB = 6,6 kg kg, PB = 73 cm
A/ ISK
Hidronefrosis dan Hidroureter Bilateral ec Suspect
Divertikel Vesika Urinaria + suspect sistitis kronis
TB Paru dalam pengobatan
Global Developmental Delayed + suspect down
syndrome unconfirmed cytogenetics tests and
P/ chromosomal analyses
Severe malnutrition
OAT (INH 60 mg, Rifampisin 90 mg, Pirezinamid
150 mg)
Paracetamol 3 x 70 mg (k/p)
Pasien boleh pulang
Konsul ke poli anak (endokrinologi, respirologi,
infeksi, nutrisi dan metabolik), bedah anak, bedah
urologi RSUP dr. M. Djamil (endokrinologi,
respirologi, infeksi, nutrisi dan metabolik)
Rencana VCUG
28
BAB IV
DISKUSI
29
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak kurang aktif, rewel, tidak ada
tanda-tanda kegawatan, dengan status gizi buruk (severe malnutrition) yakni di
bawah -3 SD. Dalam pemeriksaan status generalis, tampak beberapa fitur klinis
yang khas pada pasien dengan down syndrome meliputi saddle nose and flattened
nasal bridge, dengan LK 38,5 cm, kesan mikrocephal, jauhnya jarak antara kedua
mata (hipertelorism), low set ear and short neck, yang diikuti dengan gejala sulit
kontak mata dan komunikasi, keterlamabatan motorik dan perkembangan lainnya.
Dari hasil urinalisa pasien yang dilakukan pada 16 Agustus 2019
didapatkan leukosituria dan 22 Agustus 2019 didapatkan leukosituria dengan
hematuria mikroskopik dan ketonuria. Hal ini kemungkinan disebabkan infeksi
bakteri ascending pada traktus urinarius anak, yang memberi sinyal leukosit
sebagai sel pertahanan dan imunitas tubuh, menyebabkan iritasi dan spasme otot
kandung kemih, peradangan mukosa sehingga memunculkan leukosituria dan
hematuria mikroskopik yang loss saat buang air kecil. Dari hasil pemeriksaan
USG abdomen bawah dan pelvis tampak pelebaran dari sistem pelviokaliks atau
dikenal dengan hidronefrosis dengan sebab dan grade yang bervariasi dengan
dugaan terjadinya divertikel vesica urinaria disertai sistitis kronis.
Anak ditatalaksana dengan pemberian cairan resusitasi IVFD Kaen 1B
sebanyak 24 cc/jam 8 cc tpm. Kaen 1B berguna untuk mengganti cairan elektrolit
tubuh karna mengandung natrium, klorida dan glukosa. Anak juga diberikan
Meropenem injeksi 3 x 240 mg sesuai kultur sensitivitas antibiotik. Selanjutnya
anak diberikan parasetamol 3 x 70 mg (p.o) saat pasien demam tinggi yang tidak
bisa diturunkan panas dengan dikompres. Selain itu, pengobatan TB anak pada
pasien tetap dilanjutkan dengan pemberian INH 60 mg, Rifampisin 90 mg,
Pirezinamid 150 mg.
Pasien kemudian direncanakan pemeriksaan VCUG (voiding
cystouretrouregrogram) di RSUP dr. M. Djamil untuk pemeriksaan penunjang
diagnostik lebih lanjut.
30
LAMPIRAN 1
31
LAMPIRAN 2
LARINGOSKOPI (24 APRIL 2018)
32
LAMPIRAN 3 (ANALISIS KROMOSOM 21 MEI 2019)
33
LAMPIRAN 4 (GROWTH CHART)
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary Tract Infection. Dalam Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology. Edisi ke-6.
Berlin. 2019;1229-310.
2. Elder JS. Urinary Tract Infection. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders. 2007; 2223-34.
3. National Institute for Health and Care Excellence. Urinary Tract Infection in
under 16s: Diagnosis and Management. NICE Guideline. Diakses-26 Agustus
2019
4. Kher KK, Leichter HE. Urinary Tract Infection. Clinical Pediatric
Nephrology. New York: McGraw-Hill. 1992;277-321.
5. Lambert H, Coultard M. The Child with Urinary Tract Infection. Clinical
Pediatric Nephrology. Edisi-3. Oxford: Oxford University. 2003;197-225.
6. Hoberman A,Wald ER, Hickey RW, Baskin M, Charron M, Majd M, dkk.
Oral versus Initial Intravenous Therapy for Urinary Tract Infection in Young
Febrile Children. Pediatrics. 1999;104:79-86.
7. American Academyof Pediatrics, Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Urinary Tract Infection. Practice Parameter: The Diagnosis,
Treatment, and Evaluation of The Initial Urinary Tract Infection in Febrile
Infant and Young Children. Pediatric. 1999;103:843-52.
8. Montini G, Tullus K, Hewitt I. Febrile Urinary Tract Infection in Children. N
Eng J Med. 2011;365(3):239-50.
9. Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi. Konsensus Infeksi Saluran Kemih
Pada Anak. Jakarta: IDAI. 2011:1-34.
35
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. Urinary Tract Infection
in Children. 2007. http://guidance.nice.org.uk..cg054/- Diakses 26 Agustus
2019.
11. Rusdidjas, Ramayanti R. Infeksi saluran kemih, dalam Buku Ajar Nefrologi
Anak Edisi 2. IDAI. 2002. p.142-63.
12. Noer Sjaifullah, 1994, Infeksi Saluran Kemih Pada Anak dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak,pp 119-121, Falkutas
kedokteran UNAIR, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
13. Rachmadi D, Sekarwana N, Hilmanto D, Garna H. Infeksi Saluran Kemih
dalam Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 3.IDAI. 2017:475-87.
36