Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session

DIABETES MELITUS TIPE 1

Oleh:

Winarti Rimadhani 1840312257

Preseptor

Prof. dr. Darfioes Basir, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah penyakit atau gangguan metabolisme kronis


dengan berbagai penyebab yang ditandai dengan karakteristik hiperglikemia
atau tingginya kadar gula darah dan disertai dengan gangguan metabolism
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas. Disebut
diabetes melitus tipe 1 apabila terjadi defisiensi absolut sekresi insulin.1
Pada diabetes melitus tipe 1, terjadi kerusakan sel Beta pancreas akibat
proses autoimun atau idiopatik. Secara umum, ADA (American Diabetes
Association) dan ISPAD (International Society for Pediatric and Adolescent
Diabetes) membagi klasifikasi diabetes melitus berupa diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe lain (defek genetik fungsi sel beta
pancreas, defek genetik kerja insulin, kelainan eksokrin pancreas, gangguan
endorin, terinduksi obat, infeksi, diabetes melitus bentuk immune-mediated
ataupun sindrom) dan diabetes melitus gestasional.2
Diabetes melitus tipe 1 merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
sering mempengaruhi anak-anak dan remaja bahkan bisa menetap sampai
dewasa. Jumlah anak-anak yang didiagnosis diabetes melitus tipe 1 terbilang
meningkat di seluruh dunia. Hal tersebut menjadi masalah kesehatan utama di
negara maju maupun negara berkembang. Data dari IDF (International
Diabetes Federation) tahun 2011, jumlah anak di dunia (usia 0-13 tahun)
dengan diabetes melitus tipe 1 sebanyak 490.100 anak dengan penambahan
kasus baru sebanyak 77.800 anak per tahun. Di Indonesia sendiri, berdasarkan
data registrasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2012, insidensi
diabetes melitus tipe 1 berkisar 0,2 – 0,42 per 100.000 anak per tahun dimana
bervariasi disetiap provinsi.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolism
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah
mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.1

2.2 Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam suatu
negara. Di beberapa negara barat kasus DM tipe-1 terjadi 5-10% dari seluruh
jumlah penderita diabetes, dan lebih dari 90% penderita diabetes pada anak dan
remaja adalah DM tipe-1. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000
dan insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15
tahun. Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras Kaukasia dibandingkan ras-ras
lainnya. Diperkirakan diseluruh dunia 80.000 anak-anak berusia kurang dari 15
tahun akan berkembang menjadi DM tipe-1. Data registri nasional DM tipe-1
pada anak dari PP IDAI hingga tahun 2014 didapatkan 1021 kasus. Terdapat 2
puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun.
Patut dicatat bahwa lebih dari 50% penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun.1
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1.
Walaupun hampir 80% penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam
patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi
sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada
pathogenesis DM tipe-1. Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibiity gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari
lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1
pada seseorang yang rentan. Jika dikaitkan dengan HLA, diperkirakan 10%
mempunyai riwayat keluarga diabetes, risiko pada kembar identik adalah kurang
dari 40%, sedangkan pada saudara kandung diperkirakan 4% pada usia 20 tahun,
dan 9,6% pada usia 60 tahun dibandingkan 0,5% pada seluruh populasi.1
2.3 Etiologi, Patogenesis dan Patofiologi
DM tipe 1 disebabkan antara lain karena proses autoimun yaitu adanya
autoantibodi yang menyerang sel beta pancreas seperti glutamicacid
decarboxylase autoantibodies (GAD); tyrosine phosphatase like insulinoma
antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies (IAA); dan β-cellspecific zinc transporter 8
autoantibodies(ZnT8), maupun proses idiopatik.Faktor genetic yang diduga
berperan yaitu HLA system yang dipicu oleh faktor yang berasal dari lingkungan
seperti infeksi virus ,toksin,dan lain-lain. 2,3

Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 1.12

Kerusakan sel β pankreas terjadi melalui mekanisme autoimun yang


diperantarai oleh sel T CD8+, sel T CD4+ serta infiltrasi makrofag yang
menyebabkan destruksi sel β pankreas.11Destruksi sel β pancreas akhirnya akan
menyebabkan terjadinya keadaan defisiensi insulin absolute yang
menyebabkan lipolisis meningkat, hiperglikemia,dan katabolisme protein
meningkat.
. Insulin berperan penting dalam mengatur cadangan energi sel. Pada
keadaan normal, insulin disekresikan sebagai respon terhadap adanya makanan
yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang melibatkan sistim neural,
hormonal, dan substrat. Hal ini memungkinkan pengaturan disposisi energi
yang berasal dari makanan menjadi energi yang langsung dipakai atau
disimpan. 5
Pada DM tipe-1, makin menurunnya insulin pasca makan akan
mempercepat proses katabolisme. Insulinopenia, menyebabkan penggunaan
glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemi
posprandial. Bila insulin makin menurun tubuh akan berusaha memproduksi
lebih banyak glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis. Akan tetapi
karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel maka hepar akan
berusaha lebih keras lagi, sebagai akibatnya timbullah hiperglikemia puasa,
menimbulkan diuresis osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah
terlampaui (180 mg/dL). Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit dan
cairan, terjadi dehidrasi, yang selanjutnya menimbulkan stres fisiologis dengan
hipersekresi hormon stres (epinefrin, kortisol, glukagon dan hormon
pertumbuhan). Meningkatnya kadar hormon stress dan makin menurunnya
kadar insulin menyebabkan peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis,
lipolisis dan ketogenesis, hingga ketoasidosis diabetik (KAD).6

2.4 Perjalanan Penyakit


DM tipe-1A bisa terjadi pada semua umur, dari bayi baru lahir sampai
usia lanjut. Perjalanan penyakit diabetes ditandai melalui beberapa periode:
1. Pre-diabetes
2. Manifestasi klinis diabetes
3. Periode “honeymoon”
4. Ketergantungan insulin yang menetap
5.
2.4.1 Pre-diabetes

Fase prediabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri dengan


kerusakan total sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas ditandai oleh
menurunnya sekresi C-peptide. Periode ini ditandai dengan ditemukannya
antibodi (ICA, GAD, IA, dll) dan merupakan prediktor terhadap timbulnya
diabetes klinis.
Bila ditemukan lebih dari satu autoantibodi akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya diabetes, misalnya jika terdapat IA2 dan GAD maka
risiko untuk menjadi DM tipe-1 adalah sebesar 70% dalam kurun waktu 5
tahun. Parameter yang bisa membantu menentukan stadium ini adalah:
1) Islet cell autoantibodies (ICA)
2) Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD)
3) IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atautyrosine posphatase)
autoantibodies
4) Insulin autoantibodies (IAA)
5) HLA typing
Petanda genetik dengan tipe HLA tertentu, akan meningkatkan atau
menurunkan kerentanan terhadap timbulnya DM tipe-1. Faktor lingkungan
seperti rubella kongenital, infeksi enterovirus (coxsackie) dan virus ECHO,
kasein, protein gluten susu sapi.
2.4.2 Manifestasi klinis diabetes

Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis bervariasi,


bisa mendadak dalam beberapa hari menjadi KAD atau dalam beberapa
minggu menunjukkan gejala klasik DM. Penelitian Diabetes Prevention Trial
menunjukkan bahwa 73% pasien yang didiagnosis DM tipe-1 tidak
menunjukkan gejala klinis.
2.4.3 Periode “honeymoon”

Periode “honeymoon” ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa


minggu atau bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode honeymoon” bila
kebutuhan insulin kurang dari 0,5 U/kg BB/hari dengan HbA1c <7%. Hal ini
perlu dijelaskan kepada keluarga yang biasanya menganggap fenomena ini
sebagai tanda-tanda kesembuhan, padahal keadaan ini hanya bersifat sementara
sebelum memasuki periode ketergantungan total terhadap insulin.
2.4.4 Periode ketergantungan terhadap insulin

Perjalanan penyakit dari periode “honeymoon” ke periode tergantung


insulin seumur hidup biasanya lambat, tetapi bisa dipercepat dengan adanya
penyakit lain. Terapi sulih insulin merupakan satu-satunya pengobatan untuk
DM tipe-1.

2.5 Gambaran Klinis


Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Biasanya gejala poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan yang
cepat menurun terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum diagnosis
ditegakkan.
Gejala lain yang bisa di dapatkan pada anak dengan DM tipe-1 yaitu anak
dengan enuresis nokturnal (pada anak yang sudah besar), anak dengan
dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan diuresis (poliuria)
apalagi disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau keton.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
A. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis,
penurunan berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu ≥
200 mg/ dL (11.1 mmol/L). Atau
B. Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7 mmol/L). Atau
C. Kadar glukasa plasma ≥200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2
TTGO (Tes Tolerasansi Glukosa Oral). Atau
D. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT)
Pada penderita yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa
plasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar glukosa
plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu.
Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.
Penilaian glukosa plasma puasa:
1. Normal :< 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
2. Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =IFG):
100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
3. Diabetes ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral:
1. Normal :<140 mg/dL (7.8 mmol/L)
2. Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance =IGT) :140–
200 mg/dL (7.8–<11.1 mmol/L)
3. Diabetes ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L)

2.7 Tatalaksana
Hal pertama yang harus dipahami bahwa DM tipe-1 tidak dapat
disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal
mungkin dengan mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol
metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam
batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan
parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c <7% berarti
kontrol metabolik baik; HbA1c <8% cukup dan HbA1c >8 dianggap buruk.
Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia anak mengingat semakin
rendah HbA1c semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia.
Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik pengelolaan DM tipe-1
pada anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari
ahli endokrinologi anak, ahli gizi, ahli psikiatri, psikologi anak, pekerja sosial,
dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak penderita akan lebih
menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik. Untuk itu komponen
pengelolaan DM tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan,
olahraga, edukasi, yang didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring).
Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang baik.
2.7.1 Insulin

Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penyandang DM


tipe-1. Terapi insulin pertama kali digunakan pada tahun 1922, menggunakan
insulin regular, diberikan sebelum makan dan ditambah sekali pada malam
hari. Namun saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang
memungkinkan pemberian insulin dalam berbagai macam regimen.
2.7.1.1 Kerja Insulin
Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang
menentukan dalam pengelolaan penderita DM. Respons klinis terhadap insulin
tergantung pada beberapa faktor:
a. Umur individu.
b. Tebal jaringan lemak.
c. Status pubertas.
d. Dosis insulin.
e. Tempat injeksi.
f. Latihan (exercise).
g. Kepekatan, jenis, dan campuran insulin.
h. Suhu ruangan dan suhu tubuh

2.7.1.2 Jenis Insulin


Sebelum era tahun 80-an, penggunaan insulin masih memakai produk
hasil purifikasi kelenjar pankreas babi atau sapi. Dengan dikembangkannya
teknologi DNA rekombinan, telah dapat dihasilkan insulin rekombinan
manusia yang telah digunakan secara luas saat ini. Insulin rekombinan ini lebih
disukai sebagai pilihan utama, selain dapat diproduksi secara luas juga
mempunyai imunogenitas yang lebih rendah dibandingkan insulin dari babi dan
sapi

Gambar
2. Kadar
Insulin. 1

Tabel 1. Jenis
Insulin
Para ahli sepakat bahwa jenis kerja panjang kurang sesuai digunakan pada
anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus
disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek
sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan finansial), sosiokultural (sikap
Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.

Dua hal yang perlu penting dikenali pada pemberian insulin, yaitu efek
Somogyi dan efek Subuh (Dawn effect). Efek Somoyi terjadi sebagai kompensasi
terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya (rebound effect). Akibat
pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia pada malam hari (jam
02.00-03.00). Sebaliknya efek Subuh terjadi akibat kerja hormon-hormon kontra
insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan penambahan makanan kecil
sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam hari, sedangkan efek Subuh
memerlukan penambahan dosis insulin malam hari untuk menghindari
hiperglikemia pada pagi hari.

2.7.1.2.1 Insulin Kerja Cepat (rapid acting)


Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentuk
dimer dan heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan lama awitan kerjanya.
Insulin Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak membentuk agregat dimer maupun
heksamer, sehingga dapat dipergunakan sebagai insulin kerja cepat. Ketiganya
merupakan analog insulin kerja pendek (insulin reguler) yang dibuat secara
biosintetik. Pada insulin Lispro, urutan asam amino 28 (prolin) dan 29 (lisin) dari
rantai B insulin dilakukan penukaran menjadi 28 untuk lisin dan 29 untuk prolin.
Sedangkan pada insulin Aspart, asam amino prolin di posisi ke-28 rantai B insulin
diganti dengan asam aspartat. Insulin Glulisin merupakan insulin kerja cepat
terbaru dengan modifikasi urutan asam amino ke-3 (lisin) dan ke-29 (glutamat)
dari rantai B insulin secara simultan.
Dengan sifat-sifat di atas, insulin kerja cepat direkomendasikan untuk
digunakan pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Insulin jenis
ini dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari, atau regimen basal-bolus. Pada
beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat akan sangat efektif untuk digunakan:
Jika perlu dapat diberikan segera sebelum makan, yang tidak saja mengatasi •
hiperglikemia setelah makan juga hipoglikemia malam hari. Pada saat • snack
sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi saat sebelum
makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan
insulin kerja menengah. Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah •
post prandial pada anak pre-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit
diramalkan (bayi, balita dan anak prasekolah).
Pada penggunaan • CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau
pompa insulin. Memberikan efek yang cepat dalam mengatasi hiperglikemia tanpa
atau disertai • ketosis dan di saat sakit.

2.7.1.2.2 Insulin Kerja Pendek (short acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai
insulin ’reguler’. Biasanya dipergunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti
ketoasidosis, penderita baru dan tindakan bedah. Insulin jenis ini kadang-kadang
juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau
kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari
DM tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini
untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang
seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut
pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah.
Insulin kerja pendek pilihan terbaik untuk terapi intravena dan digunakan
pada KAD dan mengontrol diabetes saat prosedur operasi. Insulin kerja cepat juga
dapat digunakan sebagai terapi intravena, tetapi efeknya tidak lebih baik
dibandingkan insulin kerja pendek dan harga lebih mahal.
2.7.1.2.3 Insulin Kerja Menengah (intermediate acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk suspensi sehingga terlihat keruh.
Mengingat lama kerjanya maka lebih sesuai bila digunakan dalam regimen dua
kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Sebelum digunakan,
insulin harus dibuat merata konsentrasinya; jangan dengan mengocok (dapat
menyebabkan degradasi protein), tetapi dengan jalan menggulung-gulung di
antara kedua telapak tangan
Jenis insulin ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah
mempunyai pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama
untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian besar penderita
diabetes anak menggunakan insulin jenis ini.
DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum
dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik
yang baik. Apabila orangtua segan untuk menggunakan regimen insulin dengan
pemberian insulin kerja menengah secara multipel (2 kali sehari), penggunaan
satu kali sehari masih dimungkinkan pada golongan usia ini tentunya dengan
memperhatikan dulu efek insulin terhadap kontrol metaboliknya.
Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah:
 Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn).
 Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente).
Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena
memungkinkan untuk digabung dengan insulin reguler dalam satu syringe tanpa
adanya interaksi (insulin reguler bila dicampur dengan insulin lente dalam satu
syringe, akan terjadi reaksi sehingga mengurangi efek kerja jangka pendeknya).
2.7.1.2.4 Insulin Kerja Panjang (long acting)

Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja


lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal-bolus. Profil
kerjanya pada penderita diabetes anak sangat bervariasi dengan efek akumulasi
dosis

2.7.1.2.5 Insulin kerja campuran


Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran yang
mempunyai pola kerja bifasik; terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan
menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh pabrik.
Sedian insulin campuran kerja pendek atau kerja cepat dengan insulin kerja
menengah tersedia dalam beberapa rasio perbandingan antara lain 10:90, 15:85,
20:80, 25:75, 30:70, 40:60, 50:50. Sediaan yang ada di Indonesia adalah dengan
kombinasi 30:70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan 70%
insulin kerja menengah
Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian
sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik
yang baik dengan campuran insulin sendiri yang sesuai. Penggunaan sediaan ini
banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut:
2.7.1.2.6 Insulin Basal Analog

Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja
panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin
glargine dan detemir; keduanya mempunyai profil kerja yang lebih terduga
dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Insulin ini
tidak direkomendasikan untuk anak usia di bawah 6 tahun, tapi tercatat insulin
glargine dapat diberikan pada anak usia kurang 1-5 tahun. Perlu digarisbawahi,
bahwa insulin glargine serta detemir tidak dapat dicampur dengan insulin jenis
lainnya.
Glargine dan detemir direkomendasikan sebagai insulin basal karena sifat
kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak (“peakless”) dengan lama kerja 24
jam. Bila dibandingkan dengan NPH pada kelompok anak usia 5-16 tahun,
keduanya dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik, namun
secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin
glargine dan detemir juga mengurangi risiko hipoglikemia nokturnal yang berat.
Efek akumulasi glargine terlihat pada salah satu penelitian dan beberapa
anak merasakan sensasi panas setelah pemberian. Pada beberapa penelitian setelah
pemberian glargine selama 6 tahun memperlihatkan sedikit perbaikan HbA1c
tetapi menurunkan kasus hipoglikemia. Pada orang dewasa masa kerja glargine
berlangsung sampai dengan 24 jam, tetapi rata-rata berlangsung 20 jam setelah
disuntikkan.
Pada penelitian orang dewasa yang diberikan detemir dengan dosis
0,1U/kg dan 0,8U/kg, masa kerjanya berlangsung antara 6-23 jam. Sedangkan
penelitian pada anak, 70% diberikan sehari dua kali
2.7.1.3 Regimen insulin

Beberapa prinsip pemakaian insulin perlu dikemukakan terlebih dahulu


sebelum membahas regimen insulin.

1. Tujuan terapi insulin adalah menjamin ketersediaan kadar insulin yang


cukup di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan sebagai
insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi
(bolus) akibat efek glikemia makanan.

2. Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada regimen


yang seragam untuk semua penderita DM tipe-1. Regimen apapun yang
digunakan bertujuan untuk mengikuti pola sekresi insulin pada orang
normal sehingga mampu menormalkan metabolisme gula atau minimal
mendekati normal.

3. Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor yakni:


umur, lama menderita diabetes mellitus, gaya hidup penderita (pola
makan, jadwal latihan, sekolah, dsb), target kontrol metabolik, dan
kebiasaan individu maupun keluarganya.

4. Kecil kemungkinannya untuk mencapai normoglikemia pada anak dan


remaja dengan pemberian insulin satu kali per hari.

5. Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada


keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan keadaan sakit penderita,
dan sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.

6. Berdasarkan hasil DCCT, sukar sekali mencapai normoglikemia secara


konsisten pada DM tipe-1. Rerata HbA1c pada kelompok pengobatan
intensif pada DCCT adalah 7-7,5%.
7. Konsep basal-bolus (misal: insulin pump, kombinasi pemberian insulin
basal 1-2 kali dan insulin kerja cepat atau kerja pendek sebagai bolus saat
makan utama/makanan kecil) mempunyai kemungkinan terbaik
menyerupai sekresi insulin fisiologis.

8. Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi


insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek dengan insulin
basal).

9. Pada fase remisi seringkali hanya memerlukan 1 kali suntikan insulin kerja
menengah, panjang atau basal untuk mencapai kontrol metabolik yang
baik.

2.7.1.3.1 Split-Mix Regimen

Injeksi 1 kali sehari


Regimen ini sering sekali tidak sesuai digunakan pada penderita DM tipe-1
anak maupun remaja. Namun regimen ini dapat diberikan untuk jangka waktu
pendek sementara pada fase remisi. Insulin yang digunakan adalah insulin kerja
menengah atau kombinasi kerja cepat/pendek dengan insulin kerja menengah.
Injeksi 2 kali sehari
Metode ini menggunakan campuran insulin kerja cepat/pendek dan kerja
menengah yang diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. Untuk
ini dapat menggunakan insulin campuran buatan pabrik atau mencampur sendiri.
Regimen ini biasa digunakan pada anak-anak yang lebih muda.
Injeksi 3 kali sehari
Insulin campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah diberikan
sebelum makan pagi, insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan siang
atau snack sore, dan insulin kerja menengah pada menjelang tidur malam hari.
Regimen ini biasa digunakan pada anak-anak yang lebih tua dan remaja di mana
dengan regimen 2 kali tidak mencukupi.
2.7.1.3.2 Basal-bolus regimen

Regimen ini menggunakan insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum


makan utama, dengan insulin kerja menengah diberikan pada pagi dan malam
hari, atau dengan insulin basal (glargine, detemir) yang diberikan sekali sehari
(pagi atau malam hari).
Regimen ini biasa digunakan pada anak remaja ataupun dewasa. Komponen
basal biasanya berkisar 40-60% dari kebutuhan total insulin, yang dapat diberikan
menjelang tidur malam, atau sebelum makan pagi, siang, atau 2 kali yakni
sebelum makan pagi dan malam; sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang
disuntikkan 20-30 menit sebelum makan bila menggunakan insulin reguler, atau
segera sebelum makan atau sesudah makan bila menggunakan analog insulin kerja
cepat.
2.7.1.3.3 Pompa Insulin

Hanya boleh menggunakan analog insulin kerja cepat yang diprogram sebagai
insulin basal sesuai kebutuhan penderita (biasanya 40-60% dari dosis total insulin
harian). Untuk koreksi hiperglikemia saat makan, diberikan dosis insulin bolus
yang diaktifkan oleh penderita.
Regimen apapun yang digunakan pemantauan glukosa darah secara mandiri di
rumah sangat dianjurkan untuk memudahkan dosis penyesuaian insulin ataupun
diet. Apabila tidak dapat menggunakan glukometer, maka pemeriksaan rutin urin
sehari-hari di rumah sudah cukup memadai. Keterbatasan pemeriksaan urin
reduksi perlu dipahami oleh tenaga medis sehingga tidak mengambil kesimpulan
yang keliru. Parameter obyektif keadaan metabolisme glukosa darah yang dapat
dipercayai saat ini adalah pemeriksaan HbA1c serum, sehingga wajib dilakukan
oleh penderita setiap 3 bulan.
Dosis harian insulin

Dosis tergantung beberapa faktor, antara lain :


1) Usia
2) Berat badan
3) Status pubertas
4) Lama dan fase diabetes
5) Tempat suntikan
6) Asupan makanan
7) Pola olahraga
8) Rutinitas sehari-hari
9) Hasil dari pemantauan kadar glukosa darah dan HbA1c Saat sakit

2.7.1.4 Pedoman dosis

1. Selama periode “honeymoon”, total dosis insulin harian < 0,5 U/kgBB/hari.
2. Anak sebelum pubertas (di luar periode “honeymoon”) dalam kisaran dosis
0,7-1,0 U/kgBB/hari.
3. Selama pubertas, kebutuhan akan meningkat di atas 1 U sampai dengan 2
U/kgBB/hari.
2.7.1.5 Distribusi dosis insulin

Pada anak dengan regimen dua kali suntikan, pada pagi hari diberikan lebih
banyak (lebih kurang 2/3) dari total dosis harian dan dosis lebih sedikit (lebih
kurang 1/3) pada sore hari. Pada regimen ini, kandungan insulinnya terdiri dari
1/3 dosis insulin kerja pendek dan kurang lebih 2/3 insulin kerja menengah.
Pada regimen basal bolus, insulin kerja menengah (sebagai insulin basal)
diberikan pada malam hari sebesar 30% (jika bolus menggunakan insulin kerja
pendek) dan 50% (jika bolus menggunakan insulin kerja cepat) dari dosis total
harian. Kebutuhan insulin bolus lebih kurang 50% (jika menggunakan insulin
kerja cepat) sampai dengan 70% (jika menggunakan insulin kerja pendek) yang
diberikan secara terbagi antara 3-4 kali.
Glargine sering diberikan sehari sekali, tetapi beberapa anak membutuhkan dua
kali pemberian atau dikombinasikan dengan NPH sebagai insulin basal. Glargine
dapat diberikan sebelum makan pagi atau saat akan tidur malam yang akan
memberikan efek yang sama, tetapi hipoglikemia malam hari akan berkurang jika
diberikan setelah makan pagi. Glargine sebagai insulin basal, kebutuhannya
adalah 20% lebih rendah untuk mencegah hipoglikemia. Detemir sering diberikan
sehari dua kali pada anak, dan bila akan diganti dengan NPH, dosis tetap sama.
2.7.1.6 Penyesuaian dosis insulin

Penyesuaian dosis insulin bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang


optimal, tanpa meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia dan tanpa
mengabaikan kualitas hidup penderita baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Keseimbangan antara kontrol metabolik dan kualitas hidup sangat sulit
dicapai tetapi harus diusahakan. Pengaturan dosis insulin yang terlalu kaku atau
terlalu fleksibel tidak menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik.

Penyesuaian dosis biasanya dibutuhkan pada periode honeymoon, masa remaja,


masa sakit, dan sedang menjalankan pembedahan. Pada dasarnya kebutuhan
insulin sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh. Masalahnya penyesuaian
dosis insulin tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena belum ada
regimen insulin yang benar-benar sesuai dengan fisiologi insulin alamiah. Selain
itu pola hidup penderita juga mempengaruhi kadar glukosa darah. Meskipun
demikian penyesuaian dosis insulin yang tidak tepat dapat mencetuskan
kedaruratan medik.

Pada periode “honeymoon”, dosis insulin yang dibutuhkan sangat rendah,


bahkan pada beberapa kasus kontrol metabolik dapat dicapai tanpa pemberian
insulin sama sekali. Dosis insulin pada periode ini perlu disesuaikan untuk
menghindari serangan hipoglikemia. Pada masa remaja, kebutuhan insulin
meningkat karena kerja hormon steroid seks, meningkatnya amplitudo dan
frekuensi sekresi growth hormone, yang kesemuanya merupakan hormon anti
insulin.

Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan makanan tetapi
jangan menghentikan insulin sama sekali. Penghentian insulin akan meningkatkan
lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah meningkat dan penderita
rentan untuk menderita ketoasidosis. Pada saat terjadi perubahan pola makan
untuk jangka tertentu misalnya Ramadhan, dosis insulin juga harus disesuaikan
hingga 2/3 atau 3/4 dari insulin total harian, serta distribusinya disesuaikan
dengan porsi dosis sebelum buka puasa lebih besar dari dosis sebelum makan
sahur.

2.7.1.6.1 Penyesuaian dosis insulin berdasarkan pola kadar glukosa


Pada regimen dua atau tiga kali suntikan, penyesuaian dosis dilakukan
berdasarkan pola kadar glukosa darah harian selama beberapa hari (7-10 hari)
dengan mempertimbangkan pola aktifitas dan pola makan penderita. Pada
regimen basal-bolus, penyesuaian dosis insulin dilakukan lebih fleksibel dan
dinamis. Penyesuaian dilakukan setiap sebelum makan tergantung hasil
monitoring kadar glukosa darahnya. Selain itu dipertimbangkan juga pola kadar
glukosa darah harian, konsumsi makanan (karbohidrat) dan besar penyimpangan
kadar glukosa darah terhadap target yang ditentukan. Penggunaan insulin kerja
cepat analog memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan
untuk melihat efektifitasnya. Beberapa alat pompa insulin yang baru, dapat
diprogram secara otomatis untuk menyesuaikan dosis insulin sesuai kadar glukosa
darah saat itu serta asupan karbohidratnya.
2.7.1.6.2 Penyesuaian dosis insulin bila kadar glukosa darah di luar target:
Terapi insulin harus segera diberikan setelah dilakukan diagnosis (dalam 6 jam
setelah ditemukan ketonuria) untuk mencegah gangguan metabolik dan
DKA.Peningkatan kadar glukosa darah sebelum makan pagi: meningkatkan dosis
insulin kerja menengah/panjang sebelum makan malam atau sebelum tidur
(diperlukan pemeriksaan kadar glukosa darah tengah malam untuk memastikan
tidak terjadinya hipoglikemia nokturnal).
Peningkatan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan: menaikkan dosis insulin
kerja cepat/pendek sebelum makan. Peningkatan kadar glukosa sebelum makan
siang atau malam: menaikkan dosis insulin basal sebelum sarapan pagi atau
menaikkan dosis insulin kerja cepat/pendek sebelum makan pagi (bila
menggunakan regimen basal-bolus). Jika menggunakan insulin kerja cepat untuk
regimen basal-bolus, juga bisa dilakukan penyesuian dosis insulin basal.
Penyesuaian dosis insulin juga dapat dilakukan dengan jalan memperhitungkan
rasio •insulin-karbohidrat (menggunakan rumus 500). Angka 500 dibagi dengan
dosis insulin total harian hasilnya dinyatakan dalam gram. Artinya 1 unit insulin
akan dapat mengatasi sekian gram karbohidrat dalam diet penderita.
Koreksi hiperglikemia: dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila menggunakan
insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila menggunakan insulin kerja pendek.
Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam mg/dL,
artinya 1 unit insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil
pembagian tersebut dalam mg/dL. Hasil perhitungan dosis koreksi ini bersifat
individual dan harus mempertimbangkan faktor lain misalnya latihan.
Peningkatan kadar glukosa sesudah makan malam: menaikkan insulin kerja
cepat/pendek sebelum makan malam. Hipoglikemia dengan sebab yang belum
jelas: evaluasi ulang dosis insulin secara keseluruhan.
2.7.1.7 Interaksi obat terhadap insulin

Beberapa bahan berikut harus dipertimbangkan jika digunakan dengan insulin:

Alkohol: dapat menurunkan kadar glukosa darah


Aspirin: dosis besar dapat menurunkan kadar glukosa darah
Kafein: dosis besar dapat menaikkan kadar glukosa darah
Kokain: dapat menaikkan kadar glukosa darah

Obatan-obatan yang dapat menaikkan kadar glukosa darah adalah:


 Kortikosteroid Diazoxid (Hyperstat, Proglycem)
 Diuretik Epinefrin
 Estrogen Lithium karbonat
 Niacin Fenobarbital
 Dilantin Tiroid
Obat-obat yang dapat menurunkan kadar glukosa darah
 Steroid anabolik Kloramfenikol
 Klofibrat Koumarin
 Metildopa MAO inhibitors
 Fenilbutazon Propanolol

2.7.2 Pengaturan makan

Pengaturan makan merupakan salah satu penanganan dan edukasi pada


diabetes. Makanan yang disarankan harus sesuai dengan kultur, etnik, tradisi
keluarga dan kebutuhan individu setiap anak. Waktu makan yang teratur dan rutin
dalam keluarga membantu dalam pemilihan jenis dan asupan makanan sehingga
akan menghasilkan glukosa darah yang baik.

Pengaturan makan pada penderita DM tipe-1 bertujuan mencapai kontrol


metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk
metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun untuk aktivitas. Dengan ini
diharapkan anak tidak menjadi obes dan dapat dicegah timbulnya hipoglikemia.
Sedangkan pada DM tipe-2 bertujuan mengurangi asupan kalori, penurunan berat
badan, serta mencegah, memperlambat, dan menurunkan risiko mikro-
makrovasular.

Pengaturan makan segera dilakukan setelah diagnosis. Ada beberapa cara


untuk menghitung kebutuhan kalori, antara lain berdasarkan berat badan ideal dan
berdasarkan umur. Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan jika dihitung
berdasarkan berat badan ideal, maka memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi
badan dan berat badan saat penghitungan, serta data kecukupan kalori yang
dianjurkan (Tabel 7.4). Dapat pula menggunakan penghitungan berdasarkan
umur: bila berusia 0-12 tahun menggunakan rumus 1000 + {usia (tahun) x 100} =
kal/hari dan jika berusia lebih dari 12 tahun= 2000 kal/m2.

Tabel 2. Kecukupan kalori.2

Makanan kita mengandung karbohidrat, protein, lemak serta vitamin dan


mineral. Karbohidrat, protein dan lemak merupakan penyumbang energi yang
terbesar. Tetapi setelah beberapa tahun penelitian ternyata karbohidrat merupakan
nutrien yang paling berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. Sembilan puluh
sampai seratus persen karbohidrat akan diubah menjadi glukosa dalam waktu 15-
90 menit setelah makan. Protein 58% akan dirubah menjadi glukosa dalam waktu
3-4 jam setelah makan, sedangkan lemak membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mengubah 10% lemak menjadi glukosa. Komposisi makanan yang
disarankan per hari adalah :
 Karbohidrat : 50-55%:Sukrosa sedang (sampai dengan 10% total kalori)
 Lemak : 30-35%
< 10% lemak jenuh + asam lemak trans
< 10% lemak tak jenuh rantai ganda
10% lemak tak jenuh rantai tunggal (sampai dengan 20% total kalori)
 Asam lemak n-3 (konfigurasi sis) : 0,15 g/hari
 Protein : 10-15%.
Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat tinggi, indeks glikemik
dan glycaemic load yang rendah, misalnya golongan buah-buahan, sayuran, dan
sereal yang akan membantu mencegah lonjakan-lonjakan kadar glukosa darah.
Kebutuhan serat perhari pada anak sampai usia 1 tahun adalah 2,8-3,4 gram per
megajoule, pada anak di atas 2 tahun dapat digunakan rumus = umur (tahun) + 5=
gram/hari. Serat yang larut (soluble fiber) akan menurunkan kadar lipid, misalnya
pada sayuran, buah, kacang-kacangan, gandum. Golongan serat yang tidak larut
(insoluble fiber) akan menyebabkan fungsi usus lebih baik, misal terdapat pada
beras merah dan sereal.
Kebutuhan sukrosa 10% dari total kalori perhari. Asupan sukrosa bila tidak
berlebihan tidak akan menaikkan kadar glukosa darah, tetapi pemanis sukrosa dari
makanan/minuman dapat menyebabkan hiperglikemia. Sukrosa dapat digunakan
sebagai pencegahan dan terapi hipoglikemia sebelum dan selama olahraga.
Fruktosa terdapat dalam jumlah besar dalam buah dan tidak menyebabkan
hiperglikemia. Sukrosa sebagai pemanis tidak direkomendasikan. Pilihan yang
dianjurkan adalah fruktosa dari buah dan sayuran.
Kebutuhan lemak 30-35% dari total kalori perhari. Disarankan asupan lemak
harus lebih rendah dari total kebutuhan lemak dengan menurunkan asupan lemak
jenuh dan asam lemak trans. Asam lemak tak jenuh rantai tunggal (MUFA =
Monounsaturated fatty acids) dan asam lemak tak jenuh rantai ganda (PUFA=
polyunsaturated fatty acids) dapat digunakan sebagai pengganti asupan lemak
dengan jumlah yang sesuai untuk memperbaiki profil lemak.
Asam lemak jenuh produk hewani antara lain terdapat di susu, keju, mentega,
dan daging merah, sedangkan asam lemak tak jenuh rantai sedang hasil olahan
pabrik antara lain biskuit, kue, dan coklat. Asam lemak tak jenuh rantai ganda
terdapat pada tumbuh-tumbuhan antara lain jagung, bunga matahari, kedelai, dan
biji-bijian. Minyak ikan dan minyak tumbuh-tumbuhan mengandung asam lemak
tak jenuh n-3, sedangkan asam lemak tak jenuh rantai tunggal terdapat di minyak
zaitun, wijen, dan kacang-kacangan.
Kebutuhan protein adalah 10-15% dari total kalori harian. Kebutuhan protein
perhari berkurang dari 2 g/kgBB/hari pada bayi menjadi 1 g/kgBB/hari pada usia
10 tahun, sedangkan kebutuhan pada remaja 0,8-0,9 g/kgBB/hari. Jenis makanan
yang dianjurkan ayam, ikan, sayuran yang berprotein dan susu dengan rendah
lemak.
Makanan yang sebaiknya dihindari adalah alkohol yang dapat menyebabkan
hipoglikemia berkepanjangan, garam tidak dianjurkan pada anak-anak. Makanan
yang perlu dibatasi adalah yang mengandung asam lemak jenuh misal daging
merah, dan yang mengandung asam lemak tak jenuh rantai sedang hasil olahan
pabrik, misalnya biskuit, kue, coklat dll.

Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan dan
pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis, serta makanan yang
tidak berbeda dengan teman sebaya atau dengan makanan keluarga. Pengaturan
makan yang optimal biasanya terdiri dari 3 kali makan utama dan 3 kali
pemberian makanan kecil. Keberhasilan kontrol metabolik tergantung kepada
frekuensi makan dan regimen insulin yang digunakan. Pada regimen insulin basal
bolus, semakin sering penyuntikan akan semakin fleksibel pada pemberian makan,
sedangkan pada regimen insulin split-mixed 2 kali sehari, maka pemberian makan
harus teratur.
Regimen insulin split-mixed dua kali sehari mengharuskan konsistensi dalam
penghitungan dan asupan kalori. Kecukupan kalori sehari dapat dibagi dalam 3
kali makan dan 2-3 kali kudapan, demikian juga waktu makan juga harus
konsisten.
Penderita DM tipe-1 yang menggunakan regimen insulin basal bolus maka
pengaturan makanannya menggunakan penghitungan kalori yang diubah dalam
jumlah gram karbohidrat, yaitu dalam 1 unit karbohidrat mengandung 15 gram
karbohidrat. Piramida makanan memperlihatkan pengelompokan jenis makanan
penukar yang terdiri dari kelompok tepung, sayur, buah, susu, protein dan lemak.
Pada kelompok tepung termasuk juga tepung dari tumbuh-tumbuhan antara lain
jagung, kentang, kacang-kacangan dan lain-lainnya. Pada piramida makanan juga
terdapat frekuensi konsumsi perhari.
2.7.2.1 Penghitungan jumlah gram karbohidrat

Penghitungan gram karbohidrat diperlukan agar kebutuhan insulin lebih


tepat sehingga kontrol metabolik baik. Regimen basal bolus sangat membutuhkan
ketrampilan penghitungan rasio insulin-karbohidrat. Biasanya 1U insulin dapat
menurunkan 15-20 gram karbohidrat.
Pada setiap kunjungan sebaiknya diberikan penjelasan mengenai
pengaturan makan, agar dapat disesuaikan dengan umur, aktivitas yang dilakukan,
masa pubertas, dan sebagainya. Pola makan dan pemberian insulin saling terkait,
sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting untuk mengevaluasi
terapi. Kelompok makanan penukar dengan jumlah gram karbohidrat tiap unitnya
dan beberapa contoh daftar makanan penukar dalam gram karbohidrat dan ukuran
rumah tangga tampak pada
2.7.3 Olahraga

Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat


badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Pada penderita DM berolahraga
dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan perasaan ‘sehat’
atau ‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, sehingga
mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa
olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya
komplikasi DM jangka panjang.
Pada anak sehat, olahraga akan menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan
hormon kontraregulator glukosa yang akan meningkatkan produksi glukosa di
hati. Glukosa akan digunakan oleh otot selama olahraga dan akan menjaga kadar
glukosa darah tetap stabil selama olahraga. Sedangkan pada penderita DM tipe-1
yang terkontrol, pankreas tidak dapat mengatur kadar insulin sebagai respons dari
olahraga dan juga mungkin disertai gangguan hormon kontraregulasi glukosa,
sehingga terjadi hipoglikemia selama olahraga.
Bagi penderita DM, terutama yang tidak terkontrol dengan baik, olah raga
dapat menyebabkan keadaan yang tidak diinginkan seperti keadaan hiperglikemia
sampai dengan KAD, makin beratnya komplikasi diabetik yang sudah dialami,
dan hipoglikemia (Tabel 7.7). Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita
DM dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu penderita DM tipe-1 yang
memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan intensitas
sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang
merawatnya sebelum memulai program olahraganya. Mereka diharapkan
memeriksakan status kesehatannya dengan cermat dan menyesuaikan intensitas,
dan lama olahraga dengan keadaan kesehatan saat itu.
Bagi penderita DM tipe-1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum,
selama, dan setelah berolahraga. Ada beberapa penyesuaian diet, insulin, dan cara
monitoring gula darah agar aman berolahraga, antara lain:
1. Sebelum berolah raga
a. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan
pelatih/ guru olaraga dan konsultasikan dengan dokter.
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olah raga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolah raga.
d. Kalau Gula Darah (GD) <90 mg/dL dan cenderung turun, tambahkan
ekstra karbohidrat.
e. Kalau GD 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung
lama aktifitas dan respons individual).
f. Kalau GD >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olahraga sampai
GD normal dengan insulin.
g. Bila olahraga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan tentukan
apakah penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat diperlukan.
h. Bila olahraga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olah raga
kompetisi insulin dapat dinaikkan.
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (@ 250 mL 20
menit sebelum olah raga).
2. Selama berolah raga
a. Monitor GD tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.
3. Setelah berolahraga
a. Monitor GD, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa
dengan program olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin.
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam setelah
olah raga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat. Hipoglikemia
awitan lambat dapat terjadi sampai 2 kali 24 jam setelah latihan.

Respons seseorang, juga penderita DM tipe-1, terhadap suatu jenis olahraga


sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan umum. Seorang atlet
berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan pola
pengelolaan yang benar-benar sesuai untuk jenis olahraganya.
2.7.4 Pemantauan mandiri

Salah satu tujuan dalam pengelolaan pasien diabetes adalah kemampuan


mengelola penyakitnya secara mandiri. Penderita diabetes dan keluarganya
mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat karena
pemberian insulin tergantung kepada kadar glukosa darah. Dari beberapa
penelitian telah dibuktikan hubungan yang bermakna antara pemantauan mandiri
dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar glukosa darah beberapa kali perhari
harus dilakukan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia,
dan untuk penyesuaian dosis insulin. Kadar glukosa darah preprandial, post
prandial dan tengah malam sangat diperlukan untuk penyesuaian dosis insulin.
Perhatian yang khusus terutama harus diberikan kepada anak prasekolah
dan sekolah tahap awal yang sering tidak dapat mengenali episode hipoglikemia
yang mungkin dialaminya. Pada keadaan seperti ini diperlukan pemantauan kadar
glukosa darah yang lebih sering.

2.7.5 Kontrol metabolik


Tujuan monitoring glukosa adalah mengetahui secara tepat kontrol glukosa
pada setiap individu. The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
menyatakan bahwa kontrol glukosa yang tepat akan mendapatkan target glikemik
yang realistik, mencegah komplikasi akut hipoglikemia dan komplikasi kronik
penyakit mikro-makrovaskular, meminimalkan efek hipoglikemia dan
hiperglikemia terhadap fungsi kognitif dan suasana hati. Pengumpulan data
kontrol glukosa dari setiap pusat data juga dapat digunakan sebagai standar
nasional atau internasional sebagai gambaran diabetes dari setiap negara. Namun
dalam prakteknya sulit dicapai karena terdapat kemungkinan hipoglikemia serta
kebutuhan kalori yang semakin meningkat sesuai dengan pertumbuhan anak
Indikator kontrol metabolik yang buruk meliputi hal berikut:
 Poliuri dan polidipsi.
 Enuresis dan nokturia.
 Gangguan penglihatan.
 Penurunan berat badan atau gagal penambahan berat badan.
 Gagal tumbuh.
 Pubertas terlambat.
 Infeksi kulit.
 Penurunan prestasi disekolah.
 Peningkatan kadar HbA1c
 Peningkatan kadar lemak darah.

Sedangkan beberapa kriteria kontrol metabolik yang baik, yaitu:


- Tidak terdapat atau glukosuria minimal
- Tidak terdapat ketonuria
- Tidak ada ketoasidosis
- Jarang terjadi hipoglikemia
- Glukosa PP normal
- HbA1c normal
- Sosialisasi baik
- Tidak terdapat komplikasi
- Pertumbuhan dan perkembangan anak normal
Saat ini, telah digunakan beberapa pemeriksaan untuk menilai kontrol glikemik
yang lebih baik yaitu:
1. Kadar glukosa darah.
2. Glycated hemoglobin (misal HbA1c).
3. Glycated serum protein (misal fruktosamin).
Frekuensi pemeriksaan glukosa darah disesuaikan dengan regimen insulin yang
digunakan, usia anak dan kestabilan penyakit diabetes sendiri. Pemeriksaan
glukosa darah yang lebih sering akan lebih memperbaiki kontrol glikemik.
Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan dengan
kadar HbA1c dan parameter klinis untuk menilai dan memodifikasi tata laksana
DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1c merupakan alat yang
tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1c menggambarkan
kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Bila kadar HbA1c meningkat
atau tetap tinggi, tata laksana diabetes yang berjalan harus dinilai ulang. Target
HbA1c pada semua kelompok umur adalah <7,5%. Ketidaksesuaian antara hasil
pemantauan di rumah dengan hasil HbA1c perlu analisis lebih lanjut
penyebabnya.
2.8 Komplikasi
Komplikasi DM tipe 1 dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan
komplikasi kronik baik reversible maupun irreversible.Sebagian besar komplikasi
akut bersifat reversible sedangkan yang kronik bersifat irreversible,tetapi
perjalanan penyakitnya dapat diperlambat melalui tatalaksana yang optimal.10
Komplikasi akut atau jangka pendek Diabetes Mellitus tipe 1 antara lain
Hipoglikemia dan Ketoasidosis Diabetik.Sedangkan komplikasi kronik atau
jangka panjang dibagi menjadi dua yaitu macrovaskular seperti penyakit jantung
koroner,stroke,dan penyakit pembuluh darah perifer,dan microvaskular seperti
retinopati,neuropati,dan nefropati.10
2.9 Prognosis
Berdasarkan hasil DCCT,dapat disimpulkan bahwa komplikasi kronik pada
penerita DM tipe 1 dapat dihambat secara bermakna dengan kontrol metabolik
yang baik.Perbedaan HbA1c sebesar 1% sudah mengurangi resiko komplikasi
sebanyak 25-50%.10
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

 Nama : MI

 Umur : 9 Bulan

 Jenis kelamin : Laki-laki

 No MR : 01.05.37.91

 Nama ayah / ibu : Tn. MS / Ny. EP

 Alamat : Tembilahan Hulu, Riau

 Tanggal masuk : 4 Juli 2019

Anamnesis
Keluhan Utama
Gula darah tidak stabil sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang

 Gula darah pasien naik turun sejak usia 2,5 bulan. Anak telah dikenal
menderita DM Tipe 1 sejak usia 2,5 bulan didiagnosis oleh spesialis anak
di daerah, anak rutin mendapat novomix 2U/hari, novorapid jika gula
darah > 180 mg/dl.

 Menurut ibunya, pasien sering buang air kecil sejak 7 bulan yang lalu.
Frekuensi sering 7-5 kali perhari, jumlah banyak, jernih.

 Menurut ibunya, pasien sering merasa haus sejak 7 bulan yang lalu
sehingga pasien sering menyusu pada ibunya.

 Anak demam hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu, saat ini tidak ada
demam

 Berat badan turun sejak 10 hari yang lalu dari 9 kg menjadi 7 kg.

 Batuk dan pilek tidak ada


 Muntah tidak ada

 BAB tidak ada kelainan

Riwayat Penyakit Dahulu

 Anak pernah kejang 2x, kejang pertama bulan maret 2019, kejang 1x
lamanya 3 menit, mata anak keatas saat kejang dan anak kelojotan, anak
tidak diobati, anak sadar setelah kejang, gula darah anak 40mg/dl. Kejang
kedua bulan juni 2019, kejang 1x, selama <5menit anak sadar setelah
kejang, anak tidak diobati, gula darah = 41 mg/dl. Muntah tidak ada.
 Rawatan pertama pada 28 desember 2018 dengan penurunan kesadaran
dan didiagnosis mendertia DM tipe 1 (GD=HI gr/dl)
 Rawatan kedua januari 2019 dengan demam dan penurunan kesadaran,
kejang tidak ada, dirawat selama 3 hari (GD=HI gr/dl)
 Rawatan ketiga pada juni 2019 degan demam hilang timbul, gula darah
tinggi (GD= 576 gr/dl) dan suspect ISK. Dirawat selama 6 hari.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Kakak sepupu ibu pasien menderita DM saat berusia 20 tahun
 Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara.
Riwayat Persalinan
 Lama hamil : Cukup bulan (37-38 minggu)

 Cara lahir : SC

 Indikasi : Kala II memanjang dan gagal induksi

 Ditolong oleh : Dokter

 Berat lahir : 2800 gram

 Panjang lahir : 46 cm

 Saat lahir : bayi langsung menangis kuat


 Kesan : Riwayat persalinan normal, cukup bulan

Riwayat Makanan dan Minuman

 Bayi

o ASI : 0 – 6 bulan

o Susu formula : -

o Buah biskuit : -

o Bubur susu : -

o Nasi tim :-

 Anak

o Makanan utama:

o Daging :

o Ikan :

o Telur :

o Sayur :

o Buah :

 Kesan: anak masih mendapatkan ASI

Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)


BCG - -
DPT 1 - -
2 - -
3 - -
Polio 1 - -
2 - -
3 - -
Hepatitis B 1 - -
2 - -
3 - -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak - -
Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur


Tertawa 2 bulan
Miring 5 bulan
Tengkurap 6 bulan
Duduk -
Merangkak -
Berdiri -
Lari -
Gigi pertama -
Bicara -
Membaca -
Prestasi di sekolah -
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: tumbuh kembang terhambat

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. MS Ny. EP
Umur 28 tahun 21 tahun
Pendidikan SMP SMA
Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta
Penghasilan/bln Rp. 3.000.000 Rp. 7.000.000
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 Zihan saputri 4 tahun Sehat

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

 Rumah tempat tinggal : Rumah permanen

 Sumber air minum : Air Galon

 Buang air besar : Jamban didalam rumah

 Pekarangan : Cukup Luas

 Sampah : Dibakar

 Kesan : Higiene dan sanitasi lingkungan kurang baik

Pemeriksaan Fisik
Umum

 Keadaan umum : Sedang

 Kesadaran : kooperatif E4M5V6

 Tekanan darah : 90/60 mmHg

 Frekuensi nadi : 118 x/menit

 Frekuensi napas : 24 x/menit

 Suhu : 37,3°C

 Edema : tidak ada

 Ikterus : tidak ada


 Anemia : tidak ada

 Sianosis : tidak ada

 Berat badan : 7,5 Kg

 Tinggi badan : 72 cm

 BB/U : -2 ≤ SD ≤ +2

 TB/U : -2 ≤ SD ≤ +2

 BB/TB : -2 ≤ SD ≤ +2

 Status gizi : Normal

Khusus

 Kulit : Teraba hangat


 Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
 Kepala : bulat, simetris, ubun-ubun telah menutup
Normocephal, ubun-ubun tidak cekung.
 Rambut : hitam, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

 Telinga : tidak ada kelainan

 Hidung : Napas cuping hidung tidak ada

 Tenggorok : Tonsil T1-T1

 Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah

 Toraks

o Paru

 Inspeksi : normochest, retraksi tidak ada

 Palpasi : fremitus kiri=kanan


 Perkusi : sonor

 Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, rhonki tidak ada,

wheezing tidak ada

o Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

 Perkusi : tidak dilakukan

 Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada

 Abdomen

o Inspeksi : distensi (-)

o Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

o Perkusi : timpani

o Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Punggung : tidak ditemukan kelainan

 Genitalia : fimosis (+), A1P1G1

 Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium
Darah (27/1/2019)

 Hb : 10,0g/dL

 Leukosit : 12.890 / mm3

 Trombosit : 411.000 /mm3

 Natrium : 135 Mmol/L

 Kalium : 4,7 Mmol/L


 Kalsium : 10,3 mg/dl

 Ureum : 11 mg/dl

 Kreatinin : 0,2 mg/dl

 SGOT : 37 µ/l

 SGPT : 33 µ/l

 GDS : 502 gr/dl

Kesan : Hiperglikemia

Daftar Masalah

 Gula darah tidak terkontrol


 Demam
 Nafsu makan menurun
Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Susp KAD ec DM Tipe I
Susp ISK

Penatalaksanaan
 Kegawatdaruratan
Tatalaksana KAD:
- Koreksi Cairan:
Derajat Dehidrasi = 5%
Defisit Cairan = 5% x 7,5 x 1000 = 375 ml
Kebutuhan rumatan dalam 48 jam = 2x750 cc = 1500 cc
Cairan yang lebih dibutuhkan belum ada
Total cairan/jam = 39,1 – 0,7 = 38,4 cc/jam
- Insulin drip regular: 0,1 IU/BB/jam
0,5 cc insulin dalam Nacl 0,9% 50 cc ~ 0,7 cc/kg/jam
 Nutrisi

- D10% + KCL 10 meq 38,4cc/jam jika GDR <90

- D5 ½ NS + KCL jika GDR 90-150


- D5 ¼ NS + KCL jika GDR 150 – 250

- NaCL 0,9% + KCL jika GDR > 250

- Diet DM

o Pagi 170 kkal (4sdm)

o Siang 250 kkal (6sdm)

o Malam 170 kkal (4sdm)

o Snack  ASI OD

 Medikamentosa

- Ampsilin 4x375 mg(iv)

- Gentamisin 2x18 mg (iv)

- Paracetamol 4x75mg (iv)

 Edukasi

- Menjelaskan kepada orangtua tentang penyakit anaknya

- Cegah risiko infeksi

- Ajari ibu pemberian insulin

- Pemantauan gula darah sendiri


- Deteksi dini gejala hipoglikemia
- Pengaturan makan anak
Rencana Pemeriksaan

- Keton urin

- Pemeriksaan HbA1c

- Pemeriksaan EKG
Follow Up

Kamis, S/ Anak tidak ada kejang, anak tidak ada muntah, anak
4/7/2019 dipuasakan, BAK ada
O/ Keadaan umum: sakit sedang
Kesadaran: sadar
HR= 108x/menit, RR= 24x/menit, T= 38°C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : retraksi tidak ada
Abdomen: distensi tidak ada
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”
Keton urin: ++
AGD: 7,32/34/27/17,4/-7,6/42

A/ Susp KAD ec DM Tipe 1

P/ Rencana pindah HCU


Puasa
Cek GDR/jam, keton urin/ 2jam
VS/jam
Cek elektrolit dan HbA1c
Ampsilin 4x375 mg(iv)
Gentamisin 2x18 mg (iv)
Paracetamol 4x75mg iv

Jumat, S/ Pasien dalam drip insulin 0,1/kg/jam, GDR hipoglikemia


5/7/2019 Anak tidak ada demam, kejang tidak ada
Anak masih dipuasakan

O/ Keadaan umum: sakit sedang


Kesadaran: sadar
HR 112x/menit, RR 30x/menit, T 37°C
Mata : konjungtiva tidak anemis
Thoraks : retraksi (-) rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: distensi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”
A/ Susp KAD
Riwayat Hipoglikemia

P/ Bolus D 10
Cek GDR ulang post Bolus
Cek keton / 2jam
Ampsilin 4x375 mg(iv)
Gentamisin 2x18 mg (iv)
Paracetamol 4x75mg iv
ASI OD
Rencana penyapihan dan stop insulin jika gula darah tinggi
berikan sulfonylurea

Pukul 19.30  insulin stop GDR = 399mg/dl


Pemberian sulfonylurea glibenclamid 0,1 g/BB/hr =
3x0,25mg
Berikan insulin dosis terendah = 0,17cc/jam
Cek GDR/ 3 jam

Pukul 22.10  insulin tetap jalan 0,025 IU/gr/jam, anak boleh


makan bubur susu 3x, snack diberikan ASI.

Sabtu, S/ Anak telah mulai makan bubur susu sejakkemarin, toleransi


6/7/2019 baik, tidak ada demam dan kejang, muntah tidak ada, BAB dan
BAK biasa.

O/ Keadaan umum: sedang


Kesadaran: sadar,
HR 110x/menit, RR 30x/menit, T= 37°C
Mata : konjungtiva tidak anemis
Thoraks : retraksi (-)
Abdomen: distensi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”

A/ Susp KAD ec DM tipe I

P/ Lanjut pemberian insulin drip  0,17cc/jam


GDR/ 3 jam
Ampisilin 4x375 mg iv
Gentamisin 2x18 mg iv
Paracetamol 4x75 mg
Glibenklamid 3x0,25 mg po
BAB 4

DISKUSI

Telah diarawat pasien laki-laki berusia 7 bulan dengan keluhan gula darah
tidak terkontrol sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Anak telah dikenal
menderita DM Tipe 1 sejak usia 2,5 bulan didiagnosis oleh spesialis anak di
daerah, anak rutin mendapat novomix 2U/hari, novorapid jika gula darah > 180
mg/dl.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pada


pasien, ditegakkan diagnosis susp KAD ec DM Tipe 1. dari anamnesis didapatkan
adaya gejala klinis poliuria, polydipsia, berat badan yang menurun dan kadar gula
darah sewaktu >200 mg/dl. Pada hasil laboratorium didapatkan keton urin ++.

Pada penderita DM, akibat insulin yang tidak mampu mengubah glukosa
menjadi glikogen, kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi. Keadaan ini dapat
menyebabkan hiperfiltrasi pada ginjal sehingga kecepatan filtrasi ginjal juga
meningkat. Akibatnya, glukosa dan Natrium yang diserap ginjal menjadi
berlebihan sehingga urine yang dihasilkan banyak dan membuat penderita
menjadi cepat pipis (Poliuri).
Proses filtrasi pada ginjal normal merupakan proses difusi yaitu filtrasi zat
dari tekanan yang rendah ke tekanan yang tinggi. Pada penderita DM, glukosa
dalam darah yang tinggi menyebabkan kepekatan glukosa dalam pembuluh darah
sehingga proses filtrasi ginjal berubah menjadi osmosis (filtrasi zat dari tekanan
tinggi ke tekanan rendah). Akibatnya, air yang ada di pembuluh darah terambil
oleh ginjal sehingga pembuluh darah menjadi kekurangan air yang menyebabkan
penderita menjadi cepat haus (Polidipsi).
Ketoasidosis merupakan komplikasi akut DM tipe-1 yang disebabkan oleh
kekurangan insulin. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak
dapat digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat
memasuki sel, akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiper glikemia).
Benda keton yang terbentuk karena pemecahan lemak disebabkan oleh ketiadaan
insulin. Akumulasi benda keton ini menyebabkan terjadinya asidemia, dan
asidemia ini dapat menimbulkan ileus, menurunkan kemampuan kompensasi
terhadap poliuria, dan menimbulkan diuresis osmotik menyebabkan terjadinya
dehidrasi berat. Makin meningkatnya osmolaritas karena hiperglikemia dan
asidosis yang terjadi, menyebabkan penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran.
Tatalaksana pada pasien ini adalah Tatalakssana KAD dengan memberikan
Koreksi Cairan:
- Derajat Dehidrasi = 5%
- Defisit Cairan = 5% x 7,5 x 1000 = 375 ml
- Kebutuhan rumatan dalam 48 jam = 2x750 cc = 1500 cc
- Total cairan/jam = 39,1 – 0,7 = 38,4 cc/jam
- Insulin drip regular: 0,1 IU/BB/jam0,5 cc insulin dalam Nacl 0,9% 50
cc ~ 0,7 cc/kg/jam
Pasien ini juga diberikan antibiotic lini pertama Ampsilin 4x375 mg(iv) dan
Gentamisin 2x18 mg (iv) dan pemberian paracetamol 4x75mg bila suhu diatas
38,5oC. Tatalaksana diet pasien diberikan 170 kkal pagi, 250 kkal siang dan 170
kkal malam dengan pemeberian snack berupa ASI OD. Pada pasien ini sudah
dimulai pemberian sulfonylurea yaitu glibenklamid dengan dosis 3x0,25 mg
sacara oral.

Edukasi merupakan hal yang penting dilakukan pada anak karena DM tipe 1
merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat ini belum dapat
disembuhkan. Edukasi pertama dilakukan selama perawatan di rumah sakit
meliputi: pengetahuan dasar tentang DM tipe-1 (terutama perbedaan dasarnya
dengan tipe lain), pengaturan makanan, insulin (jenis cara pemberian, efek
samping dll), dan pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe-1
(hipoglikemia, pemberian insulin pada saat sakit).

Hal yang perlu diberikan dam mengedukasi:


- Menimbulkan pengertian dan pemahaman mengenai penyakit dan
komplikasinya.
- Memotivasi penderita dan keluarganya agar patuh berobat.
- Memberikan ketrampilan penanganan DM tipe-1. 4. Mengembangkan sikap
positif terhadap penyakit sehingga tercermin dalam pola hidup sehari-hari.
- Mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga terhindar dari komplikasi.
- Mengembangkan kemampuan untuk memberikan keputusan yang tepat dan
logis dalam pengelolaan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association (ADA), Kauffman FR. Medical


management of type 1 diabetes. Edisi ke 6. Virginia. Amerika Serikat.
ADA. 2012
2. International Diabetes Federation (IDF). Global IDF/ ISPAD for diabetes
in childhood and adolescence. Brussels: IDF Publication; 2012.
3. UKK Endorinologi Anak dan Remaja-Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), World Diabetic Foundation (WDF). Konsensus nasional
pengelolaan diabetes melitus tipe 1. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2009
4. Rustama DS, Subarja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N.
Diabetes Melitus. Dalam: Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB,
penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2010
5. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter
Ana Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011
6. Brink S, Lee WR, Pillay K. Diabetes in children and adolescents: basic
training for healthcare professionals in developing countries. Dalam: Patel
L, Zacharin M, penyunting. Practical paeditric endocrinology in limited
resource setting. Australia. Elsevier Saunders;2011
7. Jose RL Tridjaja B. Pulungan A.IDAI Buku Ajar Endokrinologi.2010
8. Tanenberg RJ, Alster DK, Tuttleman M, Zawadzki JK. Diagnosis and
monitoring of diabetes mellitus and diabetic complication. Dalam: Moore
T, Eastman RC, penyunting. Diagnostic Endocrinology. Edisi ke-2. St.
Louis: Mosby 1996.h.243-78
9. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus tipe-I di Indonesia.
PERKENI,2015
10. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus tipe-I.UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja.IDAI.WHO Fondation.2015
11. Baynest H.W. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and
Management of Diabetes Mellitus.Journal of diabetes mellitus.2015
12. Silbernagl S.Lang F.Color atlas of pathophysiology.Thieme.2000

Anda mungkin juga menyukai