Demam Tifoid
Disusun oleh :
dr. Oscar Wiradi Putera
Pembimbing :
dr. Sendy Tjahjowargo, Sp.A
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui sebagai persyaratan yang diperlukan sebagai kelengkapan program internsip
dokter Indonesia periode Agustus 2018-2019.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :
1
LATAR BELAKANG
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
aksilar lebih dari 37,5⁰C, suhu rektal lebih dari 38⁰C) akibat suatu proses ekstrakranium, tanpa
adanya infeksi pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain.1,17 Lebih dari
90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan
kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.6
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.3,17 Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih.4 Dalam praktek
sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang demam, karena setiap
kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.Hampir 62,2%
kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum
usia 12 tahun dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun.Kejang
demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya
epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2
– 5 %.2 Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam masih membawa
kekhawatiran yang sangat bagi orang tua.5
Atas dasar alasan diatas, maka disusunlah laporan kasus pasien dengan kejang demam
kompleks ini.
2
BAB I ILUSTRASI KASUS
Inisial : An. AA
Pembiayaan : BPJS
Pasien diantar ibunya ke IGD RSUD Pademangan karena kejang sekitar 30 menit yang lalu
sebelum sampai di rumah sakit. Pada saat sampai di IGD pasien dalam keadaan kejang dan
tidak sadar dengan kedua mata mendelik ke atas dan tangan dan kaki dalam keadaan kaku.
Dikatakan ibu pasien merupakan kejang pertama kali dan belum pernah ada kejadian ini
sebelumnya. Lama kejang dikatakan kurang lebih 30 menit sejak dibawa dari rumah. Sebelum
kejang dikatakan ibu pasien anak terlihat bengong dan tidak merespon saat diajak bicara.
3
Pasien sempat berobat paginya ke klinik karena demam dan diberi penurun panas saat diberikan
demam turun dan tiba-tiba terjadi kejang pada sore harinya.
Orang tua pasien mengaku belum pernah terjadi kejang pada pasien sebelumnya.
Tidak terdapat riwayat kejang pada anggota keluarga pasien baik dari pihak ibu maupun ayah
pasien
Kesadaran : kejang
Temperatur : 37.2 o C
4
STATUS GENERALIS
Kepala
Kesan Normocephali
Mata
Konjungtiva kesan pucat tidak ada , Sklera kesan ikterik tidak ada
Leher
Tidak teraba pembesaran KGB, lainnya dalam batas normal
Mulut
Mukosa mulut dan bibir terkesan basah
Thorax
Pernapasan kesan vesikuler pada kedua lapang paru, tidak ditemukan rhonki maupun
wheezing pada kedua lapang paru.
Bunyi jantung I dan II kesan normal, tidak ditemukan murmur. Detak jantung terkesan
regular, cepat, dan kuat.
Abdomen
Bising usus normal , Perut pasien datar dan supel, tidak terdapat nyeri tekan. Tidak teraba
pembesaran hati maupun lien. Turgor kulit masih baik.
Ekstremitas
Akral terasa hangat , CRT < 3 detik.
5
1.7. TATALAKSANA
Tatalaksana IGD
1.8. FOLLOW UP
S : Selama di IGD pasien cenderung tidur, respons minimal, dikatakan orangtua pasien
pasien tidak tidur semalaman, pasien masuk stesolid pukul 16.55 tidak langsung
menangis saat kejang berhenti
O : KU lemas,respons minimal. GCS E2M4V4. HR= 102x, RR= 35x, T=37,0oC, spO2 =
99 % (oksigen terpasang), kaku kuduk (-), Babinski (-), UUB membumbung (-),
UUB cekung (-)
o Ceftriaxone 2 x 500 mg IV
o Dexamethasone 3 x 1 mg IV
o O2 1 lpm
o Diazepam p.o tunda
- Saran rujuk
- puasa
6
28/2/2019, 4.49 WIB
O : Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Compos Mentis GCS E4V5M6,
T=36,5oC, RR=30x, HR=120x produksi NGT =lendir kering +, mata CA-/-,SI-/-,
pulmo SN ves +/+, rh -/- , wh -/- , cor BJ 1-2 murni regular murmur -, gallop -,
abdomen supel, BU +,
S : t.a.k
O : tampak sakit sedang GCS 15, suhu 37oC, HR 110x/menit, RR 28x/menit, spO2 99%
Mata CA-/-, SI-/-, Leher kaku kuduk (+), thorax retraksi -,SN ves +/+ rhonki -/-, wh -/-,
Bunyi jantung 1-2 murni regular murmur (-) gallop (-), abdomen supel (+), BU (+),
P : terapi lanjut, pending rawat inap karena hasil lab belum ada
7
1.9. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau
metabolik lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam.
Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat
umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara
seluruh kejang demam.
Kejang demam disebut kompleks jika kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat
fokal atau parsial satu sisi, kejang umum didahului kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam.
Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu (1) imaturitas otak dan
termoregulator, (2) demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat, dan (3) predisposisi genetik
> 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan). 1
II. ANAMNESIS
– Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang.
– Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA)).
– Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga: biasanya
didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (ayah, ibu atau
saudara kandung).
– Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia).2
9
– Pemeriksaan nervus kranial
– Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun besar (UUB) menonjol, papil
edema.
– Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.
– Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, refleks fisiologis, refleks patologis. Pada
pemeriksaan neurologis biasanya tidak didapatkan kelainan.4,5
10
V. DIAGNOSIS BANDING
Meningitis
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan ini
dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini
seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk,
diare, pilek, dan muntah.Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala yang hebat disertai
demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran, iritabilitas, letargi, malaise,
kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat sugestif dari meningitis tetapi tidak ada satupun
gejala yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang
dari 3 tahun jarang mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel,
letargi, malas minum, dan high pitched cry.Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ubun-ubun
besar yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang meningeal yang lain (Brudzinki
dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak
Ensefalitis
Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal) atau
seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus, bakteri, jamur,
dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan proses terjadinya penyakit.
Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak sehingga disebut sebagai
mendadak, sering ditemukan hiperpireksia, dapat terjadi penurunan kesadaran dengan cepat,
kejang yang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivius, dapat ditemukan
11
gejala peningkatan tekanan intrakranial (muntah proyektil, rewel, ubun – ubun menonjol,
menangis terus – menerus dan lebih buruk jika digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat
dirasakan pada anak yang lebih besar), perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku
VI. PATOFISIOLOGI
Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya
pada set level sekitar 36,5 – 37,5⁰C. Berbeda dengan hipertermia pasif, set level meningkat
ketika demam. Demam terutama terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut dan terdapat
hubungannya untuk mengatasi infeksi tersebut.9 Demam dapat disebabkan infeksi bakteri,
virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui secara pasti
mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak lainnya,
namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu ambang
kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38⁰C, ada pula yang baru mengalami
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius
Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal, satu molekul glukosa akan
anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan hipoksia
12
akan terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ serta reuptake
asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam
sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel
akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga
semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah
pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion
terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam
tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+
influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat
Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat merupakan
reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang
aktif, sehingga pada otak yang belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.14
Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator neuropeptid,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.13
Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan
dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang
neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+, K+,
inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor.Oleh karena itu,
13
pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan
otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang
menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah
kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan
cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau
kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%.Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat
pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam
menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat
menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah,
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 interaksi faktor sebagai penyebab kejang
demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam, dimana kebutuhan
oksigen dan metabolisme meningkat, 3) predisposisi genetik.17
VII.PROGNOSIS
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam belum pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
b. Kemungkinan mengalami kematian
14
Kematian karena kejang demam belum pernah dilaporkan
c. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada
tahun pertama.
d. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risko menjadi
epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-
6%, kombinasi dari faktor risko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan kejang demam.
VIII. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan
kejang
1. Penanganan pada saat kejang
Menghentikan kejang: Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan
kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal.
15
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit.Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai
12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor resikonya.4
16
Gambar 1.2 Algoritma Penanganan Kejang Demam menurut British Columbia
Medical Association (2010)21
Turunkan demam:
– Antipiretik: paracetamol 10 mg/kgBB/dosis PO atau ibuprofen 5-10
mg/kgBB/dosis PO, keduanya diberikan sehari 3-4 kali
– Kompres: suhu > 390C air hangat; suhu > 380C air biasa
Pengobatan penyebab: antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit
dasarnya.
Penanganan suportif lainnya meliputi:
– Bebaskan jalan napas
– Pemberian oksigen
17
– Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
– Pertahankan keseimbangan darah
2. Pencegahan kejang
Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan diazepam
0,3 mg/kgBB/dosis PO dan antipiretik pada saat anak menderita penyakit yang
disertai demam.
Pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikata dengan asam valproat 15-40
mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis.
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
Kejang lama > 15 menit
Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang: hemiparesis, paresis Todd,
palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus
Kejang fokal
Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika:
Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.20
3. Indikasi rawat inap
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia
c. Usia dibawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama kali
e. Terdapat kelainan neurologis
18
IX. EDUKASI PADA ORANG TUA
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagan besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberi informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulur atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.
6. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September
2002: 59 - 62
2. Ontoseno T, Poewodibroto S, Rahman MA. 2008. Kejang Demam. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmi Kesehatan Anak, 56-58. Surabaya: RSUD Dr.
Soetomo.
3. Pudjiadi AH, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, 150-152. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
4. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2006. “Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam”.Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan ke Dua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Melda Deliana. 2002. “Tata Laksana Kejang Demam pada Anak”. Sari Pediatri, vol. 4, no.
2, hal: 59-62.
6. Lewis DW. 2011. Neurologi: Kejang (Serangan Paroksisimal). Dalam Ilmu Kesehatan Anak
Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman
7. Reza M, Eftekhaari TE, Farah M. 2008. “Febrile Seizures: Faktors Affecting Risk of
8. Knudsen FU. 2000. “Febrile Seizures: Treatment and Prognosis”. Epilepsia, vol. 41, p 2-9.
9. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. “Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
10. Soebandi, A. 2014. “ Kejang Demam Tidak Seseram yang Dibayangkan”. Diunduh tanggal
10 Maret 2015.http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/kejang-demam-tidak-
seseram-yang-dibayangkan.html
11. Sibernagl, S. 2007. Suhu, Energi: Demam. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
20
12. Murray, R.K., Granner D.K 2003. “Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya”, Dalam
Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. 25th. Ed Terjemahan oleh: Hartono, Andry. Jakarta
13. Chen Y, Beder RA, Baram TZ. 2001. “Novel And Transient Populations Of Corticotrophin
14. Berg AT. Recurrent Febril Seizures in Baram FZ, Sinnar S. 2002.“Febril Seizures. San
15. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. 2013. Diagnosis Fisik pada anak. Jakarta:
16. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Kejang Demam. Pedoman Pelayanan Medis. h. 150-
153.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Ensefalitis. Pedoman Pelayanan Medis. h. 67-69.
19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Meningitis Bakterial. Pedoman Pelayanan Medis. h.
189-192.
20. Lewis DW. 2011. Neurologi: Meningitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial Nelson.
Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore:
Elsivier. h. 736-743.
21. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical
Association. 2010
21