Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

Demam Tifoid

Disusun oleh :
dr. Oscar Wiradi Putera

Pembimbing :
dr. Sendy Tjahjowargo, Sp.A

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PADEMANGAN
JANUARI 2019 – MEI 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

LATAR BELAKANG ............................................................................................................... 2

BAB I ILUSTRASI KASUS .................................................................................................. 3

1.1. IDENTITAS PASIEN ................................................................................................. 3

1.2. KELUHAN UTAMA .................................................................................................. 3

1.3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG ...................................................................... 3

1.4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU ........................................................................... 4

1.5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA, SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIASAAN 4

1.6. PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................................. 4

1.7. TATALAKSANA ....................................................................................................... 6

1.8. FOLLOW UP .......................................................................................................... 6-7

1.9. PROGNOSIS ............................................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 22-23

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini diajukan oleh:


Nama : dr. Oscar Wiradi Putera
Jabatan : Dokter Internsip
Judul : Demam Tifoid

Telah disetujui sebagai persyaratan yang diperlukan sebagai kelengkapan program internsip
dokter Indonesia periode Agustus 2018-2019.

Pembimbing Kasus : dr. Sendy Tjahjowargo , SpA ( )


Pembimbing Internsip : dr. Santhy Payung ( )

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :

1
LATAR BELAKANG

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
aksilar lebih dari 37,5⁰C, suhu rektal lebih dari 38⁰C) akibat suatu proses ekstrakranium, tanpa
adanya infeksi pada sistem saraf pusat, gangguan elektrolit, atau metabolik lain.1,17 Lebih dari
90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan
kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan, insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.6
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.3,17 Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih.4 Dalam praktek
sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang demam, karena setiap
kejang demam kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.Hampir 62,2%
kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum
usia 12 tahun dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun.Kejang
demam kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya
epilepsi. Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2
– 5 %.2 Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam masih membawa
kekhawatiran yang sangat bagi orang tua.5

Atas dasar alasan diatas, maka disusunlah laporan kasus pasien dengan kejang demam
kompleks ini.

2
BAB I ILUSTRASI KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Inisial : An. AA

Nomor rekam medis : 058667

Tanggal lahir/umur : 1 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Belum bekerja

Pendidikan : Belum sekolah

Status perkawinan : Belum menikah

Alamat : Jl.Lodan Dalam IIc no 22

Pembiayaan : BPJS

Ruang perawatan : IGD RSUD Pademangan

Tanggal masuk RS : 27 Februari 2019 pukul 16.55

1.2. KELUHAN UTAMA

Kejang sejak 30 menit SMRS.

1.3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien diantar ibunya ke IGD RSUD Pademangan karena kejang sekitar 30 menit yang lalu
sebelum sampai di rumah sakit. Pada saat sampai di IGD pasien dalam keadaan kejang dan
tidak sadar dengan kedua mata mendelik ke atas dan tangan dan kaki dalam keadaan kaku.
Dikatakan ibu pasien merupakan kejang pertama kali dan belum pernah ada kejadian ini
sebelumnya. Lama kejang dikatakan kurang lebih 30 menit sejak dibawa dari rumah. Sebelum
kejang dikatakan ibu pasien anak terlihat bengong dan tidak merespon saat diajak bicara.

3
Pasien sempat berobat paginya ke klinik karena demam dan diberi penurun panas saat diberikan
demam turun dan tiba-tiba terjadi kejang pada sore harinya.

1.4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Orang tua pasien mengaku belum pernah terjadi kejang pada pasien sebelumnya.

1.5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA, SOSIAL, EKONOMI DAN


KEBIASAAN

Tidak terdapat riwayat kejang pada anggota keluarga pasien baik dari pihak ibu maupun ayah
pasien

1.6. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tidak dapat dinilai karena kejang

Kesadaran : kejang

Frekuensi nadi : 148 x / menit

Frekuensi pernapasan : 26 x / menit

Temperatur : 37.2 o C

Saturasi oksigen : 99 % (setelah kejang berhenti dan dipasang O2)

Berat badan : 7.6 kg (saat diukur di IGD)

4
STATUS GENERALIS

Kepala
Kesan Normocephali

Mata
Konjungtiva kesan pucat tidak ada , Sklera kesan ikterik tidak ada

Leher
Tidak teraba pembesaran KGB, lainnya dalam batas normal

Mulut
Mukosa mulut dan bibir terkesan basah

Thorax
Pernapasan kesan vesikuler pada kedua lapang paru, tidak ditemukan rhonki maupun
wheezing pada kedua lapang paru.
Bunyi jantung I dan II kesan normal, tidak ditemukan murmur. Detak jantung terkesan
regular, cepat, dan kuat.

Abdomen
Bising usus normal , Perut pasien datar dan supel, tidak terdapat nyeri tekan. Tidak teraba
pembesaran hati maupun lien. Turgor kulit masih baik.

Ekstremitas
Akral terasa hangat , CRT < 3 detik.

5
1.7. TATALAKSANA

Tatalaksana IGD

- Stesolid 1 x 5 mg (16:55) rektal kejang berhenti


- O2 1 lpm

Advis dr. Sendy, SpA


- IVFD KaEN 3B 800 cc/24 jam
- Paracetamol drop 0,8 cc jika suhu < 38 oC
- Paracetamol IV 100 mg jika suhu > 38oC
- Diazepam 3 x 0,5 mg p.o
- Ranitidine 3 x 10 mg IV

1.8. FOLLOW UP

27/2/2019, 21.00 WIB

S : Selama di IGD pasien cenderung tidur, respons minimal, dikatakan orangtua pasien
pasien tidak tidur semalaman, pasien masuk stesolid pukul 16.55 tidak langsung
menangis saat kejang berhenti

O : KU lemas,respons minimal. GCS E2M4V4. HR= 102x, RR= 35x, T=37,0oC, spO2 =
99 % (oksigen terpasang), kaku kuduk (-), Babinski (-), UUB membumbung (-),
UUB cekung (-)

A : Kejang Demam Kompleks dd/ sekuele kejang

P : Advis dr. Sendy, SpA

o Ceftriaxone 2 x 500 mg IV
o Dexamethasone 3 x 1 mg IV
o O2 1 lpm
o Diazepam p.o tunda
- Saran rujuk
- puasa

6
28/2/2019, 4.49 WIB

S : Os sudah sadar penuh, respons baik

O : Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Compos Mentis GCS E4V5M6,
T=36,5oC, RR=30x, HR=120x produksi NGT =lendir kering +, mata CA-/-,SI-/-,
pulmo SN ves +/+, rh -/- , wh -/- , cor BJ 1-2 murni regular murmur -, gallop -,
abdomen supel, BU +,

A : Kejang demam kompleks

P : Advis dr.Sendy sp.A

Tatalaksana lanjut + rencana rawat inap untuk observasi

Puasa sampai produksi NGT bening jika bening boleh minum

28/2/2019, 8.15 WIB

S : t.a.k

O : tampak sakit sedang GCS 15, suhu 37oC, HR 110x/menit, RR 28x/menit, spO2 99%

Mata CA-/-, SI-/-, Leher kaku kuduk (+), thorax retraksi -,SN ves +/+ rhonki -/-, wh -/-,

Bunyi jantung 1-2 murni regular murmur (-) gallop (-), abdomen supel (+), BU (+),

ektermitas akral hangat +

A : Kejang demam kompleks dd Meningitis

P : terapi lanjut, pending rawat inap karena hasil lab belum ada

Advis dr.Pingkan sp.A :

Rawat HCU untuk observasi ketat

28/2/2019, 20:00 WIB

Pasien dirujuk ke RS lain

7
1.9. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad functionam : dubia

Ad sanationam : dubia

8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau
metabolik lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam.
Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat
umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara
seluruh kejang demam.
Kejang demam disebut kompleks jika kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat
fokal atau parsial satu sisi, kejang umum didahului kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam.
Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu (1) imaturitas otak dan
termoregulator, (2) demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat, dan (3) predisposisi genetik
> 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan). 1

II. ANAMNESIS
– Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang.
– Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA)).
– Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga: biasanya
didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (ayah, ibu atau
saudara kandung).
– Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia).2

III. PEMERIKSAAN FISIK


– Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh: apakah terdapat demam.
– Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque.

9
– Pemeriksaan nervus kranial
– Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun besar (UUB) menonjol, papil
edema.
– Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.
– Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, refleks fisiologis, refleks patologis. Pada
pemeriksaan neurologis biasanya tidak didapatkan kelainan.4,5

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


– Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau
kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit,
urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.3,7
– Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi
lumbal dianjurkan pada:
 Bayi usia kurang dari 12 bulan: sangat dianjurkan
 Bayi usia 12-18 bulan: dianjurkan
 Bayi usia > 18 bulan: tidak rutin dilakukan
– Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) tidak direkomendasikan. EEG masih dapat
dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya: kejang demam kompleks
pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
– Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya:
 Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)
 Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, UUB membonjol, paresisi nervus VI, edema papil).18,19

10
V. DIAGNOSIS BANDING

Meningitis

Meningitis merupakan peradangan dari meningen (selaput otak). Radang dapat

disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus, atau juga mikroorganisme lain. Peradangan ini

dapat meluas melalui ruang sub arakhnoid, otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini

seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk,

diare, pilek, dan muntah.Gejala umum dari meningitis adalah sakit kepala yang hebat disertai

demam, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran, iritabilitas, letargi, malaise,

kejang, dan muntah merupakan hal yang sangat sugestif dari meningitis tetapi tidak ada satupun

gejala yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang

dari 3 tahun jarang mengeluh sakit kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel,

letargi, malas minum, dan high pitched cry.Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ubun-ubun

besar yang menonjol, kaku kuduk positif, atau tanda rangsang meningeal yang lain (Brudzinki

dan Kernig), kejang, defisit neurologis yang lain. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak

ditemukan pada anak kurang dari satu tahun.19,20

Ensefalitis

Ensefalitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan otak setempat (lokal) atau

seluruhnya (difus) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme (virus, bakteri, jamur,

dan protozoa).Namun penyebab tersering dan terpenting adalah virus.Ensefalitis berbeda

dengan meningitis (radang selaput otak) dalam hal penyebab dan proses terjadinya penyakit.

Namun, ensefalitis sering disertai oleh peradangan selaput otak sehingga disebut sebagai

meningoensefalitis.Gejala ensefalitis akut bervariasi. Gejalanya mulai demam tinggi

mendadak, sering ditemukan hiperpireksia, dapat terjadi penurunan kesadaran dengan cepat,

kejang yang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivius, dapat ditemukan

11
gejala peningkatan tekanan intrakranial (muntah proyektil, rewel, ubun – ubun menonjol,

menangis terus – menerus dan lebih buruk jika digendong, dan sakit kepala hebat yang dapat

dirasakan pada anak yang lebih besar), perubahan perilaku atau kepribadian, nyeri atau kaku

leher, nyeri kepala, silau (fotofobia), penurunan kesadaran, dan kejang.18

VI. PATOFISIOLOGI

Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya

pada set level sekitar 36,5 – 37,5⁰C. Berbeda dengan hipertermia pasif, set level meningkat

ketika demam. Demam terutama terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut dan terdapat

hubungannya untuk mengatasi infeksi tersebut.9 Demam dapat disebabkan infeksi bakteri,

virus, maupun parasit, misalnya infeksi saluran napas atas. Tidak diketahui secara pasti

mengapa demam dapat menyebabkan kejang pada satu anak dan tidak pada anak lainnya,

namun diduga ada faktor genetik yang berperan. Setiap anak juga memiliki suhu ambang

kejang yang berbeda, ada yang kejang pada suhu 38⁰C, ada pula yang baru mengalami

kejang pada suhu 40⁰C.8,9

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang

dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan

metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius

akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya

peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan

oksigen.Demam tinggi dapat mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.9

Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal, satu molekul glukosa akan

menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme berjalan

anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP. Pada keadaan hipoksia

12
akan terjadi kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ serta reuptake

asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam

sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel

akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga

semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah

pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion

terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan

mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam

keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga

fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam

tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+

influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat

menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. 10,13

Pada keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat merupakan

reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang

aktif, sehingga pada otak yang belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi.14

Corticotropin releasing hormon (CRH) yang merupakan salah satu eksitator neuropeptid,

berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus

tinggi, sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.13

Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan

dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang

neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+, K+,

dan Ca++ belum sempurna,sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca

depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Eksitator lebih dominan dibanding

inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor.Oleh karena itu,

13
pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan

otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window sehingga

rentan terhadap bangkitan kejang.11,12

Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko yang

dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam.Keluarga dengan riwayat pernah

menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah

kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan

cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau

autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%.Bila

kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam, maka risiko

terjadi kejang demam hanya 9%.Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat

pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam

20%-22%.Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah

menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat

menjadi 59%-64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah,

27% berbanding 7%.14,16

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 interaksi faktor sebagai penyebab kejang
demam, yaitu: 1) imaturitas otak dan termoregulator, 2) demam, dimana kebutuhan
oksigen dan metabolisme meningkat, 3) predisposisi genetik.17

VII.PROGNOSIS
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam belum pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
b. Kemungkinan mengalami kematian

14
Kematian karena kejang demam belum pernah dilaporkan
c. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada
tahun pertama.
d. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risko menjadi
epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-
6%, kombinasi dari faktor risko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan kejang demam.

VIII. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan
kejang
1. Penanganan pada saat kejang
Menghentikan kejang: Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan
kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal.
15
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit.Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai
12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor resikonya.4

Gambar 1.1 Algoritma Penanganan Kejang Akut dan Status Epileptikus4

16
Gambar 1.2 Algoritma Penanganan Kejang Demam menurut British Columbia
Medical Association (2010)21

 Turunkan demam:
– Antipiretik: paracetamol 10 mg/kgBB/dosis PO atau ibuprofen 5-10
mg/kgBB/dosis PO, keduanya diberikan sehari 3-4 kali
– Kompres: suhu > 390C  air hangat; suhu > 380C  air biasa
 Pengobatan penyebab: antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit
dasarnya.
 Penanganan suportif lainnya meliputi:
– Bebaskan jalan napas
– Pemberian oksigen

17
– Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
– Pertahankan keseimbangan darah
2. Pencegahan kejang
 Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan diazepam
0,3 mg/kgBB/dosis PO dan antipiretik pada saat anak menderita penyakit yang
disertai demam.
 Pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikata dengan asam valproat 15-40
mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis.
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
 Kejang lama > 15 menit
 Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang: hemiparesis, paresis Todd,
palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus
 Kejang fokal
 Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam
Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika:
 Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
 Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.20
3. Indikasi rawat inap
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia
c. Usia dibawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama kali
e. Terdapat kelainan neurologis

18
IX. EDUKASI PADA ORANG TUA
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagan besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberi informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulur atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.
6. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September
2002: 59 - 62
2. Ontoseno T, Poewodibroto S, Rahman MA. 2008. Kejang Demam. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmi Kesehatan Anak, 56-58. Surabaya: RSUD Dr.
Soetomo.
3. Pudjiadi AH, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, 150-152. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
4. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2006. “Konsensus Penatalaksanaan Kejang

Demam”.Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan ke Dua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

5. Melda Deliana. 2002. “Tata Laksana Kejang Demam pada Anak”. Sari Pediatri, vol. 4, no.

2, hal: 59-62.

6. Lewis DW. 2011. Neurologi: Kejang (Serangan Paroksisimal). Dalam Ilmu Kesehatan Anak

Essensial Nelson. Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman

RE. Singapore: Elsivier. hal. 736-743

7. Reza M, Eftekhaari TE, Farah M. 2008. “Febrile Seizures: Faktors Affecting Risk of

Recurrence”. J Pediatr Neurol, vol. 6, page: 341-344.

8. Knudsen FU. 2000. “Febrile Seizures: Treatment and Prognosis”. Epilepsia, vol. 41, p 2-9.

9. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. “Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada

Anak”. Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, hal: 142-149.

10. Soebandi, A. 2014. “ Kejang Demam Tidak Seseram yang Dibayangkan”. Diunduh tanggal

10 Maret 2015.http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/kejang-demam-tidak-

seseram-yang-dibayangkan.html

11. Sibernagl, S. 2007. Suhu, Energi: Demam. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 20-22.

20
12. Murray, R.K., Granner D.K 2003. “Membran: Struktur, Susunan, Dan Fungsinya”, Dalam

Murray R.K., Dkk. Biokimia Harper. 25th. Ed Terjemahan oleh: Hartono, Andry. Jakarta

Indonesia: EGC. Hal: 501-504.

13. Chen Y, Beder RA, Baram TZ. 2001. “Novel And Transient Populations Of Corticotrophin

Releasing Hormone Expressing Neurons In Developing Hippocampus Suggest Unique

Functional Roles: A Quantitative Spatiotemporal Analysis. J Neurosc In Press.

14. Berg AT. Recurrent Febril Seizures in Baram FZ, Sinnar S. 2002.“Febril Seizures. San

Diego: Academic Pres. p. 37-49.

15. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. 2013. Diagnosis Fisik pada anak. Jakarta:

Penerbit Sagung Seto. h. 1-17.

16. Menkes JH, Sankar R. 2000. Paroxysmal Disorders in Child Neurology. 6th Ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins JR. p. 987 - 991.

17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Kejang Demam. Pedoman Pelayanan Medis. h. 150-

153.

18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Ensefalitis. Pedoman Pelayanan Medis. h. 67-69.

19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Meningitis Bakterial. Pedoman Pelayanan Medis. h.

189-192.

20. Lewis DW. 2011. Neurologi: Meningitis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Essensial Nelson.

Edisi Keenam. Oleh Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Singapore:

Elsivier. h. 736-743.

21. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical

Association. 2010

21

Anda mungkin juga menyukai