Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PERDARAHAN POST PARTUM

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi


di RS Rajawali Bandung

Pembimbing :
dr. H. Rachmat Sobarna, Sp.OG M.Kes

Disusun oleh :
Stella Kusumawardhani
11-2014-064

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2016
2
BAB I
Pendahuluan

Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua


wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan
post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional
Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post
partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas
penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup,
dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan
post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL
setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan
dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum
primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post
partum sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di
R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di
negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa
plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan
darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.

3
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. PERDARAHAN POST PARTUM


I. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal1,2,3. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan
sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100
x/menit, kadar Hb < 8 g/dL 2.
Perdarahan post partum dibagi menjadi1,2,5:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early
postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama
setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late
postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang
terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala
III.

II. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain1,2:
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta
- Gangguan pembekuan darah

4
III. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan
adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju
maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut5:
- Atonia uteri 50 – 60 %
- Sisa plasenta 23 – 24 %
- Retensio plasenta 16 – 17 %
- Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
- Kelainan darah 0,5 – 0,8 %

Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum2

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek. Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir Lemah
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera tidak berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri

5
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta
pada uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

IV. Kriteria Diagnosis1


 Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat,
kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus
 Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan
mungkin karena luka jalan lahir
 Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi
sisa plasenta

V. Pemeriksaan Penunjang1,2,3
a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang
buruk1,3.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal3.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan2,3.

6
b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta1,3.
 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan
post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta
dan variannya1,2,3.

VI. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu:
(1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum3.
a) Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat
memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan
resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien
dengan resiko sangat tinggi3.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam
volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian
besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat
rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan
kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan
cairan Ringer Laktat3.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada
penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah
perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak

7
tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.
Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan
edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal
dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih
dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan
infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah
yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah3.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan
efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih
baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak
diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan3.

b) Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-
masing unit.

VII. Penyulit1
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
 Syok ireversibel
 DIC

VIII. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III
dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum3.
Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:

8
 Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
 Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik

Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan Bila masih
40 tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi

9
IX. Penilaian Klinik derajat syok

Tabel II.3. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok3


Volume
Tekanan Darah Tanda dan
Kehilangan Derajat Syok
(sistolik) Gejala
Darah
Palpitasi,
500-1.000 mL
Normal takikardia, Terkompensasi
(10-15%)
pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
takikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg)
berkeringat
1500-2000 mL Penurunan sedang Gelisah, pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL Penurunan tajam Pingsan,
Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg) hipoksia, anuria

10
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan berbagai macam hal,
diantaranya adalah atonia uteri, laserasi jalanlahir dan

11
A. ATONIA UTERI

I. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum
yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah
persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah
pada terjadinya syok hipovolemik3.

II. Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda,
janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat),
kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir3.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal
ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-
obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain
yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis,
septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat
resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan
merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum3.

PREDISPOSISI ATONIA UTERI


1. Grandemultipara.
2. Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/ BB >
4000 gram).
3. Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi).
4. Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum).
5. Partus lama
6. Partus presipitatus.

12
7. Hipertensi dalam kehamilan.
8. Infeksi uterus.
9. Anemia berat.
10. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus).
11. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta.
12. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus
sebelum plasenta terlepas.

III. Penatalaksanaan2,3
 Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
 Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan
perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
 Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang
tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
 Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan
kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal
 Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan
dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai
pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi.
Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi
aorta abdominalis
 Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi

13
 Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap
2 atau 3 jam sesudahnya.
 Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap
> 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik
(khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
 Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

Bagan II.2. Penilaian Klinik Atonia Uteri2

14
B. RETENSIO PLASENTA

I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih
dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta
disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain2:
 Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa
 Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/melewati lapisan miometrium
 Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
 Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta2


Separasi / akreta Plasenta
Gejala Plasenta akreta
parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

15
III. Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta
tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
 Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit.
Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak
menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan
plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta
secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
 Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
 Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria
/ oral)
 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik

Plasenta inkarserata
 Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
 Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi
serviks dan melahirkan plasenta
 Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus
oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut
 Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum,
lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan
analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam
5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah

Sisa Plasenta
 Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke

16
tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke
rumah dan subinvolusi uterus
 Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g
oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg
oral
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
 Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

Plasenta akreta
 Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus
atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi
plasenta karena implantasi yang dalam
 Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan
diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini
memerlukan tindakan operatif

17
Bagan II.3. Penilaian Klinik Plasenta Akreta

C. LASERASI JALAN LAHIR

I. Klasifikasi2
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam6:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum
dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan
muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks

18
II. Faktor Resiko1
- Makrosomia
- Malpresentasi
- Partus presipitatus
- Distosia bahu

III. Penatalaksanaan2
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
 Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator

Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
 Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung
robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa,
menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani.
Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang
yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
 Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral).
Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi
ramuan tradisional atau
 terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas

Robekan serviks
 Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi

19
 Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
 Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan
lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
 Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri
dan perdarahan pasca tindakan
 Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
 Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan
transfusi darah

Bagan II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika2

20
D. KELAINAN DARAH
I. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet
biasanya tidak perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus
untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan
penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah
persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun
sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma3.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau
sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet
dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit
sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis3.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang
berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang
didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan
dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis.
Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran
normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu,
koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang
mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC3.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada
kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam,
serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).

II. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya
perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada
kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat.
Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 –

21
10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala
perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi
trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan
suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh
trombosit hanya 3 – 4 hari4.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII,
IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan
adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel
penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium,
plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris4.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan
fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit
von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya
suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis4.

22
BAB III
Kesimpulan

1. Post partum haemorrhage adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih, sesudah
anak lahir. Perdarahan pasca persalinan terbagi menjadi 2, yaitu ppp dini dan masa
nifas
2. Perdarahan pasca persalinan Perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih yang terjadi
segera setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian.Perdarahan masa nifas adalah
Perdarahan yang terjadi pada masa nifas 500 ml atau lebih setelah 24 jam bayi dan
plasenta lahir.
3. Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh Atonia uteri,
Robekan (laserasi, luka) jalan lahir., retensio plasenta dan sisa plasenta, Gangguan
pembekuan darah (koagulopati).
4. Gejala klinis yang ditemui adalah Perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah
bayi lahir., Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, denyut nadi
cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
5. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, Palpasi uterus ,Inspekulo,
Laboratorium.
6. Prinsip penanganan adalah menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok., dan ganti
darah yang hilang

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar
Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
2. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002,
Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
3. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com
4. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit Widya
Medika
5. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Angsar, M. D., 1999, Perlukaan Alat-alat Genital dalam Ilmu Kandungan, Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

24

Anda mungkin juga menyukai