Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan kesehatan tahun 2012 khususnya terdapat pada bidang imunisasi dasar lengkap
yang termasuk didalam penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) harus
mendapat perhatian lebih oleh banyak pihak. Beberapa diantaranya penyakit Campak, Difteri,
Pertusis, Tetanus Neonatorum, Tuberkolosis, Hepatitis B dan Polio. Apabila penyakit menular
ini tidak segera dilakukan pencegahan dengan pemberian imunisasi lengkap, maka akan
menyebabkan kematian ataupun kecacatan pada penderita. Penyakit menular yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD3I) adalah penyakit yang diharapkan dapat diberantas atau
ditekan dengan pelaksanaan program imunisasi.Imunisasi adalah suatu cara yang dilakukan
untuk menimbulkan ataupun meningkatkan kekebalan tubuh seseorang terhadap paparan
penyakit.

Prevalensi kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi terkadang menunjukkan
peningkatan maupun penurunan, tergantung jenis penyakit menular (Depkes RI, 2005). Tahun
2010 penyakit campak dilaporkan sebesar 17.139 kasus dengan incidence rate sebesar 0,73 per
10.000 penduduk, dengan jumlah kasus KLB campak sebanyak 2.570 kasus dimana 6 kasus
meninggal akibat campak. Kasus difteri dilaporkan terdapat 385 kasus dimana kasus terbanyak
terdapat dikelompok usia 4-9 tahun yaitu sebesar 141 kasus, kemudian menyusul usia 1-3 tahun
sebesar 138 kasus difteri, untuk penyakit polio dilaporkan bahwa Non Polio AFP Rate sebesar
2,62 per 100.000 anak.

Program imunisasi dasar, Lima Imunisasi dasar Lengkap (LIL), yang dicanangkan oleh
pemerintah bagi bayi meliputi 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis B dan
1 dosis Campak (Depkes, 2010). Namun pada kenyataannya program imunisasi dasar lengkap
yang telah dilakukan tidak seluruhnya berhasil dan masih banyak bayi atau balita status
kelengkapan imunisasinya belum lengkap, banyak faktor yang menyebabkan kelengkapan
imunisasi, faktor tersebut antara lain usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, efek samping
vaksin dan kepercayaan adat/agama. Faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar
di Puskemas Kelurahan Penjaringan II masih belum diketahui.

1
1.2 Identifikasi Masalah
Belum diketahuinya faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar di
Puskesmas Kelurahan Penjaringan II
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar di Puskesmas

Kelurahan Penjaringan II

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui sebaran umur ibu di Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.
2. Mengetahui sebaran tingkat pendidikan ibu di Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.
3. Mengetahui hubungan umur ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar di Puskesmas
Kelurahan Penjaringan II.
4. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar di
Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.
5. Mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar di Puskesmas
Kelurahan Penjaringan II.
6. Mengetahui hubungan efek samping imunisasi dengan kelengkapan imunisasi dasar di
Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.
7. Mengetahui hubungan agama dan budaya dengan kelengkapan imunisasi dasar di
Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademis
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai imunisasi dasar
1.4.2 Manfaat Praktis Bagi Puskesmas
1. Meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi di bidang Kesehatan Ibu dan Anak
2. Meningkatkan cakupan imunisasi dasar

2
1.4.3 Manfaat Praktis Bagi Masyarakat
1. Masyarakat mengetahui jenis-Jenis Imunisasi Dasar
2. Masyarakat mengetahui pentingnya imunisasi dasar
3. Masyarakat tidak takut terhadap efek samping imunisasi

1.5 Hipotesis
 H0 : tidak ada hubungan antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar
 H0 : tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar
 H0 : tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar
 H0 : tidak ada hubungan antara demam dengan kelengkapan imunisasi dasar
 H0 : tidak ada hubungan antara agama dan adat dengan kelengkapan imunisasi dasar

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi
berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya
akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh
mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit infeksi
yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan
secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan memberikan
imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada
suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa
sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel
memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup
memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang
sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk
antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan :
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang
daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang diubah (
dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang,

4
tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya pencegahan
penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak dapat dilakukan
dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian
yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Pencegahan sekunder
adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau
meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi
berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain.

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak 2,5 juta
balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang
disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit
campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus.
Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi akan
dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari
> 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut.1
TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit
tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga mencakup
wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur (calon mempelai). Pada anak-anak,
imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur 1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah
dasar (kelas 1 – kelas 6).

5
RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap
antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu : 1)
mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak
ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme
pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini
disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan
nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan
terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD ( T dependent )
sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral.
Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi
adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin ( Ig ) yang dapat
dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda
dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan
organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase :


 Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC = antigen
presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
 Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

KEBERHASILAN IMUNISASI
Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta
kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi
maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi

6
spesifik campak masih tinggi akan membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air
susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA
terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada
penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio
sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat
pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang
atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan diberikan dahulu
2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi
makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.
Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang
dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan
lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan
defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan
vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup
karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan
mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan
limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar
globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat
antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons
terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen

7
lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang
tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa
faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin
polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio
parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang
terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan. Sedang dosis
terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui
dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping frekuensi,
jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin
berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang
masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak
sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi
arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (
booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap
antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada
atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen presenting cells )
untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan
mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin
mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian ( komponen ) dari
mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah

8
untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat
ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme,
misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada
media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun.
Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN
1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons
imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid
tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
 Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
 Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab
penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh
menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus atau
bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan
berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah
virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman

9
pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus berkembang biak
( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau cahaya ) atau
pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi yang beredar ) dapat
menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang
diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi
dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik
seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat mempengaruhi
perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons ( non
response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap
antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena
pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan
sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


 Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio, rotavirus,
demam kuning ( yellow fever ).
 Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia (
biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun pada

10
orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin
inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama
tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.
Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan
vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,
respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak
menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah
beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih
memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat
paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini
disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan
untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :


 Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
 Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler,
tifoid Vi, lyme disease.
 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
 Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus influenzae
tipe b.
 Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).

VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN


Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan
terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh kita bekerja melawan
mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1

11
Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi
dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan non-spesifik :
- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang berfungsi untuk
menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian bawah.
- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin - berperan sebagai
antibakteri
- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan memproduksi
interferon untuk melawan virus tersebut.
- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik yang
diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan menangkap, mencerna,
dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel B. Sistem
kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan sebagai
prrotein saja yang akan merangsang sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein
mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya
antigen akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T
ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel plasma
yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah
dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar,

12
maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori telah
mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang merupakan
bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan ditanggapi oleh
sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan,
maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari luar
antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang
dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan berlangsung
bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat dibuat dari2 :
 Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
 Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
 Vaksin rekombinan
 Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium dengan cara
memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan
masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan
kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun,
vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh
resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan
replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup
yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow
fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media
pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan penambahan bahan kimia
(biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat murni dan hanya

13
komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari
kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh
dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak
dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini
berasal dari seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Juga dari
toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni misalnya pneumokokus,
meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa genetik,
misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan
cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah
diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan virus,
contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah kanker leher
rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga
menghasilkan struktur mirip dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo –
particles of HPV tipe 16).
PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :
 Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan
yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa
mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau
pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.

14
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal
kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang
menunjukkan adanya kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain
untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik,
sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
 Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang
harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih
berat.
 Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
 Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang
Pemberantasan Penyakit Menular.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk
mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A )
menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450- 600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot
deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk
suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat
terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak
umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian

15
tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk
vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah :
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara
adekuat.
 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di daerah
gluteal
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang
menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

16
CARA PENYUNTIKAN VAKSIN
Subkutan
Perhatian
 Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela, meningitis
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum


Bayi (lahir s/d12 bulan) Paha Jarum 5/8’’-3/4 Arah jarum 45o
anterolateral Spuit no 23-25 Terhadap kulit
1-3 tahun paha Jarum 5/8’’-3/4 Cubit tebal untuk
anterolateral/ Spuit no 23-25 suntikan subkutan
Lateral lengan
atas
Anak > 3 tahun Lateral lengan Jarum 5/8’’-3/4 Aspirasi spuit sebelum
atas Spuit no 23-25 disuntikan
Untuk suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Intramuskular
Perhatian:
 Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d 12 bulan Otot vastus lateralis Jarum 7/8’’-1’’1. Pakai jarum yang
pada paha daerah Spuit n0 22-25 cukup panjang untuk
anterolateral mencpai otot
1-3 tahun Otot vastus lateralis
Jarum 5/8’’-1 ¼’’ (5/8 2. Suntik dengan arah
pada paha daerah untuk suntikan di jarum 80-90o. lakukan
anterolateral deltoid umur 12-15 dengan cepat
sampai masa otot bulan 1. Tekan kulit sekitar
deltoid cukup besar
Spuit no 22-25 tepat suntikan
(pada umumnya dengan ibu jari dan
umur 3 tahun telunjuk saat jarum
ditusukan
Anak > 3 tahun Otot deltoid, di Jarum 1’’-1 ¼’’ 2. Aspirasi spuit sblm
bawah akromion Spuit no 22-25 vaksin disuntikan,
untuk meyakinkan

17
tidak masuk ke dalam
vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan
pada bagian
sekstremitas berbeda

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi


Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan
atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian
ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini :
 Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan pengobatan
khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).
 Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ).
 Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau kemoterapi.
 Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia, kanker,
HIV/AIDS ).
 Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas (
radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).
 Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin campak,
poliomielitis, rubela ).
 Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
 Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi


Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi
yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang

18
memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut.
Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi
diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1


Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si penerima layanan
baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan pemberian vaksinasi, reaksi yang
timbul setelah pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
following immunization (AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan
semakin meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisasi.
Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas
imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja
yang dapat terjadi. Dan bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk
bertanya dan mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, kesalahan program, reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan.
Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi suntikan,
dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik
pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik,
sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin,
pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat
diminimalisasi.

19
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi lebih
karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat suntikan.
Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan karena
kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat
dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih dahulu,
karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi setelah
pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah,
nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat
berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang
terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000
dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek samping atau KIPI,
maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas gejala apa saja yang dapat terjadi setelah
vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau
bengkak maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik
saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin dibawa
kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian vaksinasi mempunyai
kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke
Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di setiap provinsi.

VAKSINASI YANG DIANJURKAN1


Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya.
Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena
kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia,
pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib
(sebagai program imunisasi nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program
imunisasi nasional)
Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010

20
- Tuberculosis - MMR (campak, gondong, rubella)
- Hepatitis B - Haemophilus influenza tipe B
- DPT (Difteri, tetanus, pertusis) - Demam tifoid
- Poliomielitis - Varisela
- Campak - Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak Indonesia, 2010)1

1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak berulang selama 1-3
tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.Vaksin
BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB
tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier).
Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80% terhadap
tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin ini
diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan.
Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada
catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO tetap menganjurkan
pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha),
penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak
subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat
(dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku
untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada infeksi
HIV).

21
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul dalam waktu 1
– 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin
memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan
agar tetap bersih dan kering.

2. Vaksinasi Hepatitis B1,3


Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan anak karena
pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh
beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat
pada tabel 2.
Nama Produsen Cara Dosis Interval
Dagang Pemberian Pemberian

Engerix B GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke-


Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke-
pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke-
II Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke-
B 20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian Vaksin Hepatitis
B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam (sampai ke otot).
Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1 bulan, dan 6 bulan
kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi hepatitis B, maka
secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab,
22
Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun
hanya jangka pendek (3-6 bulan).
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat
sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak
ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan
kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

3. Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian. Sebagai
imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi tetanus dan pertusis,
dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah
menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin
difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced
diphteria toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak
dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7
tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui suntikan
intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6
bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah suntikan yang
ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar hanya bertahan selama 10
tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup
dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau minimal 5
tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk memberikan booster
setiap 10 tahun.

23
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan menggunakan
vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan
diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi lokal berupa
kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat
mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang pada pemberian
vaksin yang pertama.

Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu, namun
kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia kurang
dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau
DtaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar
diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan merupakan whole
pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang telah di non aktifkan. Namun,
sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang
mengandung satu atau lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP,
ternyata efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika
dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya,
namun terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi
suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (0,06%), anak gelisah dan
menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang
berat dapat terjadi ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi

24
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan ensefalopati pada
pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah
bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang
(hipotonik- hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT. DPT diberikan
satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan
terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus
ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami
gangguan pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa nyeri, warna
kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri, Tetanus dan
Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan
pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3 bulan (DPT II)
dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi
DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan
DPT V diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin DT
pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena vaksin memberikan
perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak
yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan
memberikan perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT,
bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT
bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya

25
abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa
dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular baik pada
imunisasi dasar maupun ulangan.

4. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan IPV (inactivated
polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan IPV diberikan melalui
suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2
bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita
harus mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan
daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan
mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan jadwal seperti
imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap respons pembentukan daya
tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya
diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh
dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio.
Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan
nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam,
muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh,
kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi virus polio
yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja selama 6 minggu,

26
sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan
pemberian IPV.

5. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman (vaksin MMR). Jika
hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan
dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan
(virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa potensi
vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens kegagalan vaksinasi).
Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan
mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD, SLTP dan
SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh pengobatan
imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan
imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai pada hari ke-
5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4
hari

27
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya diperkirakan muncul
pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

6. Vaksinasi MMR1,3
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita, pada usia
12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan vaksinasi MMR
untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit campak,
gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia anak 12-15 bulan.
Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan dalam.

Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :


Galur virus yang
dilemahkan
Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3
Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia

Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk melalui
vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh setelah menderita
gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap
telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak
dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah.

KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.

Hubungan Umur dengan Kelengkapan Imunisasi

28
Menurut Afriani T,dkk (2012) dalam penelitiannya diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi anak. Hal ini dibuktikan dengan setelah dilakukan
uji Chi-Square dengan nilai kemaknaan α =0,05 didapatkan nilai p =0,591 dimana p > 0,05
sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi
dasar.5

Hal yang sama didapatkan pada penelitian Adzaniyah,dkk (2013) yang melakukan penelitian yang
sama dengan menghubungkan faktor usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar dimana
didapatkan nilai p = 0,793 dimana p >0,05 sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara
usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar.6

Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian Janu P (2012) dimana didapatkan nilai p = 0,82
untuk hubungan usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dengan nilai kemaknaan α = 0,05 sehingga
p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi.7

Penelitian Rizani (2009), juga menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia ibu
dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi. Sehingga usia dapat dikatakan tidak berhubungan
dengan kelengkapan imunisasi dasar bayi.8

Hubungan Pendidikan Dengan Kelengkapan imunisasi

Menurut Afriani T,dkk (2012) dalam penelitiannya diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
antara pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi anak. Hal ini dibuktikan dengan setelah
dilakukan uji Chi-Square dengan nilai kemaknaan α =0,05 didapatkan nilai p =0,127 dimana p
> 0,05 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan
kelengkapan imunisasi dasar.5

Hal yang berbeda didapatkan pada penelitian Adzaniyah,dkk (2013) yang melakukan penelitian
yang sama dengan menghubungkan faktor pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar
dimana didapatkan nilai p = 0,00 dimana p < 0,05 sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara
pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar.6

Hasil yang sama didapatkan pada penelitian Lisnawati,dkk (2013) yang melakukan penelitian yang
sama dengan menghubungkan faktor pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi dimana

29
didapatkan nilai p = 0,001 dimana p < 0,05 sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara usia
ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar.9

Hasil serupa didapatkan pada penelitian Fazzila S (2012) yang menghubungkan kedua faktor diatas
dan didapatkan hasil nilai p= 0,023 sehingga dikatakan terdapat hubungan antara pendidikan ibu
dengan kelengkapan imunisasi.10

Penelitian Iffa Humaida (2009) juga menyatakan terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan
kelengkapan imunisasi. Didapatkan nilai p=0,02 dimana p<0,05 sehingga terdapat hubungan
antara pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi.11

Hubungan Demam dengan Kelengkapan Imunisasi

Menurut Adzaniyah (2013) dalam penelitiannya diketahui bahwa terdapat hubungan antara efek
samping demam dengan kelengkapan imunisasi anak. Hal ini dibuktikan dengan setelah dilakukan
uji Chi-Square dengan nilai kemaknaan α = 0,05 didapatkan nilai p =0,00 dimana p < 0,05
sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara efek samping demam dengan kelengkapan
imunisasi dasar.6

Hubungan Adat & Agama dengan Kelengkapan Imunisasi

Menurut Juliana N (2011) dalam penelitiannya diketahui bahwa terdapat hubungan antara
kepercayaan terhadap adat dan agama dengan kelengkapan imunisasi anak. Hal ini dibuktikan
dengan setelah dilakukan uji Chi-Square dengan nilai kemaknaan α =0,05 didapatkan nilai p =0,00
dimana p < 0,05 sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan dengan
kelengkapan imunisasi dasar.12

Hasil yang sama didapatkan pada penelitian Adzaniyah (2013) yang melakukan penelitian yang
sama dengan menghubungkan faktor kepercayaan dengan kelengkapan imunisasi dimana
didapatkan nilai p = 0,00 dimana p < 0,05 sehingga disimpulkan terdapat hubungan kepercayaan
dengan kelengkapan imunisasi dasar.6

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan studi analitik observasional dengan desain potong lintang atau
cross sectional untuk mengetahui sebaran karakteristik faktor ibu dan hubungannya dengan
kelengkapan imunisasi di Puskesmas Kelurahan Penjaringan II.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

 Pengambilan Data : Posyandu Balita RW 06,RW 11,RW 12,RW 13,RW 14 dan RW 16


 Pengolahan Data : Puskesmas Kelurahan Penjaringan II

3.2.2 Waktu Penelitian


Waktu Penelitian : Oktober – November 2018
3.3 Sumber Data
Sumber data primer penelitian ini didapatkan dari pengisian kuisioner langsung oleh subjek
penelitian.
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1 Populasi
Populasi target dari penelitian ini adalah semua ibu yang datang ke Posyandu dan
memiliki anak berusia 12 bulan keatas
3.4.2 Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah beberapa ibu yang datang ke Posyandu yang memiliki
anak berusia 12 bulan keatas

31
3.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.5.1 Kriteria Inklusi

 Ibu yang datang ke Posyandu dan memiliki anak berusia 12 bulan keatas

3.5.2 Kriteria Ekslusi

o Ibu yang memiliki anak berusia dibawah 12 bulan


o Ibu yang tidak bersedia mengisi kuisioner

3.6 Estimasi Besar Sampel

Estimasi atau perkiraan besar sampel dalam penelitian ini dicari dengan menggunakan
rumus perhitungan sampel untuk uji hipotesis terhadap 1 proporsi

Rumus Yang digunakan adalah :

Keterangan :

N = jumlah sampel minimal

α = derajat kepercayaan (kesalahan tipe I) = 5 % (0,02)

Z α = derajat kesalahan untuk α 5% (dari tabel Z) = 1,96

p = jumlah anak yang imunisasi dasarnya lengkap karena proporsinya belum diketahui
maka nilai p = 0,5

q = 1 – p = 0,5

d = presisi absolut / tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (10 %) = 0,1

Maka dari rumus tersebut jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah

(1,96)2 x 0,5 x 0,5

n= (0,1)2
32
n = 96,04

Jadi jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 96 sampel

3.7 Cara Kerja

Ibu Yang Datang Ke Posyandu Yang


Memiliki Anak berusia 12 bulan
keatas

Sampel memenuhi kriteria Inklusi


dan tidak memenuhi kriteria
Eksklusi

Tidak diikutsertakan
Sesuai Tidak Sesuai
Pengumpulan data melalui
kuisioner

Pengolahan Data

Analisis Data

33
3.8 Identifikasi Variabel

Variabel Terikat : Kelengkapan imunisasi dasar

Variabel Tidak Terikat : Usia Ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, efek samping

vaksin (demam), agama/adat,

3.9 Rencana Analisis Data

Sebaran usia, pekerjaan, pendidikan ibu dan faktor lainnya disajikan secara deskriptif.
Data hubungan antar variabel dianalisis dengan statistik inferensial berdasarkan kurva
persebaran data. Data yang diperoleh ini bersifat kategorik tidak berpasangan. Uji yang
digunakan adalah uji Chi-Square. Digunakan uji Chi-Square karena kedua variabel penelitian
ini menggunakan skala nominal. Data dianalisis dengan menggunakan bantuan program
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 17 for Windows

3.10 Definisi Operasional

3.10.1 Usia ibu

Usia pada responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu usia dibawah 19 tahun dan usia
diatas 19 tahun. Untuk skala penelitian adalah skala Nominal.

3.10.2 Tingkat pendidikan ibu

Tingkat pendidikan merupakan tingkat terakhir pendidikan yang ditamatkan oleh


responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu diatas 9 tahun dan dibawah 9 tahun. Skala
variabel dibuat dalam nominal yaitu tingkat pendidikan dibawah 9 tahun dan diatas 9 tahun.

3.10.3 Pekerjaan ibu

Pekerjaan yang dimaksud pada penelitian adalah apakah ibu bekerja atau tidak. Skala
variabel dibuat dalam nominal yaitu bekerja dan tidak bekerja.

34
3.10.4 Demam

Menurut American Academy of Pediatrics demam merupakan suatu keadaan dimana suhu
rektal mencapai > 38oC dan suhu oral mencapai > 37,8oC. Pada penelitian ini ditanyakan
apakah demam menjadi faktor ibu tidak memperbolehkan anaknya diimunisasi. Skala
variabel dibuat dalam nominal yaitu ya dan tidak.

3.10.5 Agama dan adat istiadat

Pada penelitian ini diteliti apakah agama atau adat istiadat menjadi faktor yang
mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar atau tidak. Skala variabel dibuat dalam
nominal yaitu ya dan tidak.

3.10.6 Kelengkapan Imunisasi Dasar

Pada penelitian ini yang dimaksud imunisasi dasar lengkap adalah balita yang sudah
mendapatkan imunisasi BCG, PentaBio 3, Polio 4 dan Campak. Skala variabel dibuat
dalam nominal yaitu lengkap dan tidak lengkap.

35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data penelitian didapatkan dari pengisian kuisioner oleh 104 ibu yang memiliki anak berusia 12
bulan keatas dan datang ke Posyandu. Karakteristik sosiodemografi subjek penelitian akan
ditampilkan pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Subjek Penelitian

Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid dibawah 19 tahun 67 64.4 64.4 64.4

diatas 19 tahun 37 35.6 35.6 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan total subjek penelitian yang berusia dibawah 19 tahun sebanyak
67 subjek (64,4%) dan diatas 19 tahun sebanyak 37 subjek (35,5%)

Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid dibawah 9 tahun 45 43.3 43.3 43.3

diatas 9 tahun 59 56.7 56.7 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan total subjek penelitian yang memperoleh pendidikan dibawah 9
tahun sebanyak 45 subjek (43,3%) dan diatas 9 tahun sebanyak 59 subjek (56,7%)

36
Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid bekerja 73 70.2 70.2 70.2

tidak bekerja 31 29.8 29.8 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan total subjek penelitian yang bekerja sebanyak 73 subjek
(70,2%) dan yang tidak bekerja sebanyak 31 subjek (29,8%)

Demam

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak 82 78.8 78.8 78.8

ya 22 21.2 21.2 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan total subjek penelitian yang takut anaknya diimunisasi karena
menyebabkan demam sebanyak 22 subjek (21,2%) dan tidak takut sebanyak 82 subjek (78,8%)

Agama dan adat

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak 100 96.2 96.2 96.2

ya 4 3.8 3.8 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan total subjek penelitian yang takut anaknya diimunisasi karena
tidak sesuai dengan agama atau adat sebanyak 4 subjek (3,8%) dan tidak takut sebanyak 100
subjek (96,2 %)

37
Data variabel terikat didapatkan melalui pengisian kuisioner oleh responden sebanyak total 104
responden. Data variabel terikat frekuensinya adalah sebagai berikut (tabel 4.2)

Tabel 4.2 Kelengkapan Imunisasi Dasar

Kelengkapan imunisasi dasar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak lengkap 6 5.8 5.8 5.8

lengkap 98 94.2 94.2 100.0

Total 104 100.0 100.0

Dari data tabel diatas didapatkan bahwa bayi yang mendapat imunisasi lengkap sebanyak 98
subjek (94,2%) dan yang tidak mendapat imunisasi lengkap sebanyak 6 subjek (5,8%)

Variabel-variabel karakteristik subjek kemudian dihubungkan dengan variabel terikat dan


hasilnya dimuat pada tabel 4.3 – 4.8

Tabel 4.3 Hubungan umur dengan kelengkapan imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .014a 1 .906

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .014 1 .905

Fisher's Exact Test 1.000 .638

Linear-by-Linear Association .014 1 .906

N of Valid Cases 104

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.13.

b. Computed only for a 2x2 table

38
Karena tabel tidak memenuhi syarat Chi-square (2 cells have expected count less than 5) maka
yang digunakan adalah hasil Fisher Exact test yaitu p=1,000 dimana α=0,05 sehingga karena
p>0,05 maka dikatakan tidak ada hubungan antara umur dengan kelengkapan imunisasi (h0
diterima)

Tabel 4.4 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Kelengkapan Imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .256a 1 .613

Continuity Correctionb .007 1 .935

Likelihood Ratio .262 1 .609

Fisher's Exact Test .696 .475

Linear-by-Linear Association .254 1 .615

N of Valid Cases 104

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.60.

b. Computed only for a 2x2 table

Karena tabel tidak memenuhi syarat Chi-square (2 cells have expected count less than 5) maka
yang digunakan adalah hasil Fisher Exact test yaitu p=0,696 dimana α=0,05 sehingga karena
p > 0,05 maka dikatakan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kelengkapan imunisasi
(h0 diterima)

39
Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan dengan Kelengkapan Imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .526a 1 .468

Continuity Correctionb .070 1 .791

Likelihood Ratio .584 1 .445

Fisher's Exact Test .666 .419

Linear-by-Linear Association .520 1 .471

N of Valid Cases 104

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.79.

b. Computed only for a 2x2 table


Karena tabel tidak memenuhi syarat Chi-square (2 cells have expected count less than 5) maka
yang digunakan adalah hasil Fisher Exact test yaitu p=0,666 dimana α=0,05 sehingga karena
p > 0,05 maka dikatakan tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kelengkapan imunisasi (h0
diterima)

Tabel 4.6 Hubungan demam dengan kelengkapan imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.708a 1 .191

Continuity Correctionb .627 1 .428

Likelihood Ratio 2.949 1 .086

Fisher's Exact Test .338 .231

Linear-by-Linear Association 1.692 1 .193

N of Valid Cases 104

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.27.

b. Computed only for a 2x2 table

40
Karena tabel tidak memenuhi syarat Chi-square (2 cells have expected count less than 5) maka
yang digunakan adalah hasil Fisher Exact test yaitu p=0,338 dimana α=0,05 sehingga karena
p > 0,05 maka dikatakan tidak ada hubungan antara demam dengan kelengkapan imunisasi (h0
diterima)

Tabel 4.7 Hubungan adat dan agama dengan kelengkapan imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 36.676a 1 .000

Continuity Correctionb 24.627 1 .000

Likelihood Ratio 14.431 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 36.323 1 .000

N of Valid Cases 104

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .23.

b. Computed only for a 2x2 table

Karena tabel tidak memenuhi syarat Chi-square (2 cells have expected count less than 5) maka
yang digunakan adalah hasil Fisher Exact test yaitu p= 0,000 dimana α= 0,05 sehingga karena p
< 0,05 maka dikatakan ada hubungan antara agama dan adat dengan kelengkapan imunisasi (h0
ditolak)

41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Kelompok usia terbanyak subjek penelitian adalah usia < 19 tahun ( 67 subjek )
2. Mayoritas subjek menjalani program wajib belajar 9 tahun atau lebih ( 56,7% )
3. Mayoritas subjek penelitian bekerja (70,2 %)
4. Tidak ada hubungan antara faktor usia ibu dengan kelengkapan imunisasi
5. Tidak ada hubungan antara faktor pendidikan ibu dengan kelengkapan imunisasi
6. Tidak ada hubungan antara faktor pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi
7. Tidak ada hubungan antara faktor demam dengan kelengkapan imunisasi
8. Terdapat hubungan antara faktor adat dan agama dengan kelengkapan imunisasi

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini disarankan supaya Puskesmas dapat melakukan pendekatan kepada
warga Penjaringan melalui tokoh Agama sehingga warga tidak lagi khawatir mengenai
masalah agama atau adat dan diharapkan lebih banyak dilakukan penyuluhan mengenai
imunisasi sehingga warga tidak khawatir mengenai efek samping seperti demam serta dapat
digunakan alat bantu promosi seperti poster dan leaflet sehingga warga tahu mengenai
pentingnya imunisasi.

42
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Afriani T (2012).Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Pada Anak dan Pengelolaan Vaksin di Puskesmas dan Posyandu Kecamatan X Kota
Depok.Buletin Penelitian Sistem Kesehatan (17)2 ;135-142.
6. Adzaniyah,dkk (2013). Faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Imunisasi Dasar di
Kelurahan Krembangan Utara. Jurnal Berkala Epidemiologi (2)1 ;59-70.
7. Janu P 2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan,Usia dan Status Pekerjaan Ibu Dengan
Status Imunisasi Dasar Bayi di Desa Japanan Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten.
8. Rizani, A., Muhammad Hakimi, Djauhar Ismail.(2009). Hubungan Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Ibu dalam Pemberian Imunisasi Hepatitis B 0-7 Hari di Kota Banjarmasin.
Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (25)1.
9. Lisnawati (2013).Hubungan Pengetahuan,Pendidikan dan Informasi Ibu Dengan
Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Anak 1-5 Tahun di Puskesmas Titeu Kabupaten Pidie
Tahun 2013.
10. Fazzila S (2018). Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu dengan
Imunisasi Dasar Bayi 9-12 bulan di Puskesmas Ranomeeto Tahun 2018.
11. Iffa Humaida (2009). Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Perilaku Ibu
Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar bayi usia 9-12 bulan.
12. Juliana N (2016). Pengaruh Pengetahuan,Kepercayaan dan Dukungan Tokoh Masyarakat
Dengan Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap di UPT Puskesmas Sungai Raya Kecamatan
Sungai Raya Kabupaten Aceh Tahun 2016.

43
LAMPIRAN

Kuisoner Screening Pemberian Vaksinasi Dasar dan Pengetahuan Ibu Mengenai Vaksin Dasar

Pendidikan Terakhir Ibu

a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA / SMK
e. Perguruan Tinggi

Riwayat Imunisasi Balita

BCG Sudah / Belum


Hepatitis B Sudah / Belum 123 (kali)
Polio Sudah / Belum 1 2 3 4 (kali)
DPT Sudah / Belum 123 (kali)
Campak Sudah / Belum

1. Menurut ibu apakah pengertian imunisasi itu?


a. Suatu upaya untuk memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit
b. Suatu upaya untuk menyembuhkan penyakit degenerative
c. Upaya untuk bebas dari kuman
d. Pemberian makanan tambahan

44
2. Menurut ibu penyakit apa saja yang dapat dicegah dengan imunisasi?
a. Polio, campak, hepatitis B, TBC, difteri, tetanus, dan pertusis
b. DBD, malaria, dan tipus
c. Imunoglobulin
d. Malnutrisi

3. Menurut ibu apa manfaat imunisasi?


a. Sebagai pencegahan terhadap penyakit
b. Sebagai pengobatan penyakit degenerative
c. Supaya menambah nafsu makan pada anak
d. Tidak tahu

4. Di manakah ibu dapat memperoleh pelayanan imunisasi?


a. sekolah
b. kantor kelurahan
c. posyandu/RS/puskesmas
d. rumah kader

5. Menurut ibu sejak umur berapa bayi boleh diimunisasi?


a. Sejak umur 0 bulan
b. Sejak umur > 1 tahun
c. 2 tahun
d. 5 tahun

45
6. Apakah ibu, mengetahui jenis imunisasi apa yang harus diberikan kepada bayi baru lahir?
a. DPT
b. HepatitisB 0
c. Campak
d. Polio

7. Menurut ibu, jenis imunisasi apa saja yang harus diberikan kepada bayi kurang dari satu
tahun?
a. DPT, BCG, Polio
b. Hepatitis B, Campak
c. TT
d. MMR

8. Menurut ibu, berapa kali imunisasi Hepatitis B diberikan?


a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. 4 kali

9. Menurut ibu, imunisasi apa yang digunakan untuk mencegah penyakit Hepatitis B?
a. Hepatitis B
b. BCG
c. Campak
d. Polio

10. Bagaimana cara pmberian imunisasi Hepatitis B?


a. Suntik
46
b. Tetes
c. Diminum
d. Tidak tahu

11. Di manakah imunisasi Hepatitis B diberikan?


a. Rumah
b. Posyandu/puskesmas/RS
c. Kantor lurah
d. Tidak tahu

12. Apakah ibu mengetahui, umur berapa bayi harus diberi imunisasi campak?
a. 0 - 7 hari
b. 2 bulan
c. 5 bulan
d. 9 bulan

13. Menurut ibu, berapa kali bayi harus diberi imunisasi campak?
a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. 4 kali

14. Menurut ibu imunisasi campak untuk mencegah penyakit apa?


a. DPT
b. BCG
c. Campak
d. Polio

47
15. Apakah ibu mengetahui, bagaimana cara pemberian imunisasi campak?
a. Ditetes
b. Disuntik
c. Diminum
d. Tidak tahu

16. Apakah ibu mengetahui, berapa kali bayi diberi imunisasi BCG?
a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. 4 kali

17. Menurut ibu imunisasi BCG untuk mencegah penyakit apa?


a. TBC
b. Tipus
c. Campak
d. Polio

18. Apakah ibu mengetahui, berapa kali bayi diberi imunisasi DPT?
a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. 4 kali

19. Menurut ibu imunisasi DPT untuk mencegah penyakit apa?

48
a. TBC
b. Tipus
c. Difteri, tetanus, pertussis
d. Polio

20. Apakah ibu mengetahui, berapa kali bayi diberi imunisasi polio?
a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. 4 kali

21. Menurut ibu imunisasi polio untuk mencegah penyakit apa?


a. TBC
b. Tipus
c. campak
d. Polio
22. Menurut ibu, bagaimana cara pemberian imunisasi Polio?
a. Disuntik
b. Ditetes
c. Diminum
d. Tidak tahu

23. Di manakah imunisasi polio diberikan?


a. Di RS/Puskesmas/Posyandu
b. Di rumah Kader
c. Di kelurahan
d. Tidak tahu

49
24. Menurut ibu, imunisasi apa yang diberikan terakhir kali?
a. DPT
b. BCG
c. Campak
d. Polio

25. Apakah Puskesmas memberikan penyuluhan mengenai imunisasi dasar?


a. Ya
b. Tidak

26. Menurut ibu apakah penyuluhan imunisasi dasar yang diberikan puskesmas sudah cukup
lengkap?
a. Ya
b. Tidak

27. Dimanakah ibu mendapatkan informasi mengenai imunisasi dasar?


a. Puskesmas
b. Posyandu
c. Rumah Sakit Swasta

28. Apakah ibu setuju anaknya diimunisasi?


a. Ya
b. Tidak
Jika tidak mengapa?
a. Tidak ada biaya
b. Takut anak menjadi demam
c. Tidak sesuai dengan sosial budaya (agama, adat,dll)
50
d. Lain - lain

51

Anda mungkin juga menyukai