Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SIMPLEKS

Disusun oleh:
dr. Anna Rahmania Sari

Pendamping:
dr. Rundy Hardianto

Diajukan guna memenuhi syarat tugas Program Internsip Dokter di


RS Mitra Siaga Tegal, Jawa Tengah periode IV tahun 2022

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS MITRA SIAGA TEGAL
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Anna Rahmania Sari


Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
Judul : Kejang Demam Simpleks
Pembimbing : dr. Rundy Hardianto

Tegal, 5 Mei 2023


Penyusun, Pembimbing,

dr. Anna Rahmania Sari dr. Rundy Hardianto

BAB I
LAPORAN KASUS

Nama dokter internsip: dr. Anna Rahmania Sari


Dokter Pembimbing : dr. Rundy Hardianto

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 2 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Pernikahan : Belum Menikah No. CM : 35***
Alamat : Tegal Tgl Masuk RS : 14 Maret 2023

II. ANAMNESIS (SUBJEKTIF)


Dilakukan anamnesis dengan pasien dan keluarga pasien pada tanggal 14
Maret 2023 pukul 15.30 di ruang IGD RSMS dan didukung dengan data
rekam medik pasien.
A. Keluhan Utama
Kejang
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar ibunya ke IGD dengan keluhan kejang dengan
durasi kira-kira 10 menit. Ibu pasien langsung membawa pasien ke
rumah sakit. Kejang dirasakan kaku pada seluruh tubuh. Saat ini pasien
masih kejang dan belum diberi obat. Pasien saat ini sedang demam.
Demam dirasakan sejak 4 hari SMRS, naik turun dan tidak menentu
waktunya. Batuk pilek, muntah, diare, BAK sulit disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal.

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pengobatan pasien sekarang ditanggung BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS (Tanggal: 14 Maret 2023)
Status Generalis (Pada 14 Maret 2023, Pukul: 15.30 WIB)
 Berat badan : 13 kg
 Keadaan Umum : saat masuk IGD, pasien dalam kondisi
kejang
Tanda Vital
 Nadi : 150 kali/menit, regular
 Suhu : 38,9 oC
 Pernapasan : 26 kali/menit
 SpO2 : 94 %
Mata
Bentuk simetris, pupil ODS bulat, isokor, reflex cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung
Bentuk normal, sekret (-/-)
Ekstremitas Atas
Akral dingin (-), edema (-)
Ekstremitas Bawah
Akral dingin (-), edema (-/-), arteri dorsalis pedis teraba lemah
Thorax
Inspeksi : Normochest, dada simetris (+/+), retraksi otot
pernafasan (-/-)
Palpasi : fremitus sama kuat pada seluruh lapang paru
Perkusi : sonor pada paru kanan dan paru kiri
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada apex jantung
Perkusi : pekak
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak kelainan
Auskultasi : bising usus (+), normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), CRT <2 detik
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen

IV. RESUME
Pasien pada tanggal 14 Agustus 2022 datang ke IGD RSMS pada
pukul 15.30 WIB dengan keluhan kejang dengan durasi kira-kira 10 menit.
Ibu pasien langsung membawa pasien ke rumah sakit. Kejang dirasakan kaku
pada seluruh tubuh. Saat ini pasien masih kejang dan belum diberi obat.
Pasien saat ini sedang demam. Demam dirasakan sejak 4 hari SMRS, naik
turun dan tidak menentu waktunya. Batuk pilek, muntah, diare, BAK sulit
disangkal.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum yang tampak
kejang, HR 150 kali/menit, regular, suhu 38,9 oC, pernapasan 26 kali/menit,
SpO2 94 %. Pemeriksaan fisik pada leher pasien didapatkan arteri dorsalis
pedis yang lemah.
Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium pasien pada tanggal 14
Agustus 2022 menunjukkan adanya penurunan trombosit.

V. DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA
Diagnosis Kerja
 Kejang Demam Simpleks
Terapi Farmakologi
 O2 nasal kanul 1 lpm
 IVFD Ringer Laktat 12 tpm
 Inf paracetamol 130 cc
 Diazepam supp 10 mg pemberian pertama  pasien sadar dan menangis
Terapi Non Farmakologi
 Konsultasi dokter spesialis anak
 Observasi demam dan kejang
Rencana Evaluasi
 Memantau tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien

VI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia at bonam
Ad functionam : dubia at bonam
Ad sanationam : dubia

BAB II
DAFTAR PUSTAKA

A. DEFINISI
Bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam.

B. PATOFISIOLOGI
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan
letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan
sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat
seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam
biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen
endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai
pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro-
dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6,
interleukin-1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2).
Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan
menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengkatalis
konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat
termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam
juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen,
yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas
neuronal ini yang menimbulkan kejang.

Gambar 1. Patofisiologi kejang demam


C. KLASIFIKASI
Kejang demam terbagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), tonik-klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa
gambaran fokal dan pulih dengan spontan. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang demam kompleks
biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu sisi atau
kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15 menit
dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah
kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2
kali, dan di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan diri. Kejang
lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang
parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang
berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan
anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kejang demam.
D. DIAGNOSIS
Anamnesis
 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
 Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan
anak pasca kejang, penyebab demam diluar infeksi susunan saraf pusat
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
 Singkirkan penyebab kejang yang lain, misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksia,
asupan kurang yang dapat mengakibatkan hipoglikemia.
Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
 Suhu tubuh : apakah terdapat demam
 Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, brudzinski I dan II, Kernique,
Laseque
 Pemeriksaan nervus kranial
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun-ubun besar (UUB)
menonjol, papil edema
 Tanda infeksi diluar SSP : ISPA, OMA, ISK dan lain-lain
 Pemeriksaan neurologi : tonus, motoric, refleks fisiologis, refleks
patologis
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula
darah
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis
adalah 0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada bayi kurang dari 12
bulan – sangat dianjurkan, bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan, bayi
>18 bulan – tidak rutin. Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal
d. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi
baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray
kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan)
atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis),
paresis nervus VI, papil edema.

E. TERAPI
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang
dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang
adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut
mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang
dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status
epileptikus.
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom Reye,
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan.
Antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,5C.
Dosis tersebut dapat menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi cukup berat
pada 25-39% kasus. Phenobarbital, carbamazepine, dan phenytoin saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

Gambar 2. Algoritma kejang demam


F. EDUKASI
 Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
 Memberitahukan cara penanganan kejang
 Memberi informasi mengenai risiko berulang
 Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat
risiko efek samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang :
 Tetap tenang dan tidak panik
 Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
 Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah
mungkin tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
 Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang
 Tetap bersama pasien selama kejang
 Berikan diazepam rektal. Jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
 Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
DAFTAR PUSTAKA

Arief RF (2015). Penatalaksanaan kejang demam. Cermin Dunia Kedokteran,


42(9): 658-661.
Deliana M (2002). Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, 4(2):
59-62.
IDAI (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
IDAI (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
Mosili P, Maikoo S, Musa, Mabandla V dan Qulu L (2020). The pathogenesis of
fever-induced febrile seizures and its current state. Neuroscience Insights,
15: 1-7.

Anda mungkin juga menyukai