Anda di halaman 1dari 30

REFLEKSI KASUS

DEMAM DENGUE

Oleh:
Igam Aditya Prasada
1871121013

Pembimbing:
dr. I Putu Wijana, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD SANJIWANI GIANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2019

1
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SANJIWANI GIANYAR
FKIK UNIVERSITAS WARMADEWA
REFLEKSI KASUS
Pembimbing/Penguji : dr. I Putu Wijana, Sp.A

I. Identitas Pasien

Nama : JAYA
Usia : 16 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Br. Tegallinggah, Bedulu, Blahbatuh, Gianyar
Agama : Hindu
Suku/bangsa : Bali/Indonesia
No. RM : 579746
Tanggal MRS : 6 Agustus 2019
Ruang : Abimanyu

II. Kasus
Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani dalam keadaan sadar pada tanggal 5
Agustus 2019 pukul 16.00 WITA dengan keluhan demam. Demam dirasakan sejak 5
hari yang lalu (2/8/2019) pukul 05.00 wita sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Keluhan demam dikatakan mendadak tinggi dan terus menerus namun keluarga
pasien tidak melakukan pengukuran suhu tubuh karena tidak memiliki alat pengukur
panas. Awalnya setelah pulang sekolah pasien belum demam, kemudian pasien tidur
malam, namun setelah bangun tidur pada esok paginya pasien mengalami demam
tinggi. Pada saat yang bersamaan di wajah pasien terdapat kemerahan. Pasien
sebelumnya sempat dibawa ke dokter praktek swasta pada tanggal 2/8/2019 dan
didapatkan suhu tubuh sebesar 39,5 oC kemudian diberikan obat penurun panas
(paracetamol). Setelah diberi obat dikatakan demam pasien sempat turun sebentar
namun tidak mencapai suhu normal menjadi 37,8 oC. Pada (4/8/2019) panas badan
pasien dirasakan menurun, namun pada (5/8/2019) saat pagi hari panas badan pasien

2
dirasakan naik lagi dan akhirnya keluarga pasien memutuskan untuk membawa
pasien ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar. Keluhan demam dikatakan terasa
berkurang ketika mengkonsumsi obat penurun panas dan dikatakan memberat ketika
tidak mengkonsumsi obat penurun panas. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu
pasien mengalami penurunan nafsu makan dan minum sejak sakit serta merasa mual.
Riwayat mengalami muntah disangkal pasien. Riwayat mimisan (hidung berdarah),
gusi berdarah, kejang, menggigil, bintik-bintik merah pada anggota tubuh, perut
membesar, BAB dan BAK darah atau kehitaman, keluhan pada telinga, sesak nafas,
batuk, serta pilek disangkal pasien. Selain itu, keluhan lain yang dirasakan pasien
yaitu sakit kepala, nyeri sekitar kelopak mata, pegal-pegal otot, sakit didaerah sendi
dan nyeri ulu hati. Keluhan pegal otot dan nyeri sendi yang dirasakan pasien hilang
timbul dan tidak menyebabkan hambatan dalam bergerak atau beraktifitas. Buang air
besar pasien dikatakan masih dalam batas normal konsistensi fesesesnya lembek,
warna kuning, tanpa lendir, tanpa ampas maupun darah terakhir 1 hari SMRS pukul
17.00 WITA (4/8/2019). Buang air kecil pasien dikatakan dalam batas normal
terakhir saat tiba di rumah sakit, warna kuning jernih dan tidak berbuih. Riwayat
bepergian ke daerah endemik malaria disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien tidak
memiliki alergi obat maupun makanan. Pasien sebelumnya sempat berobat ke dokter
praktek swasta pada tanggal 2 Agustus 2019 dan mendapatkan obat paracetamol. Keluarga
pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Untuk riwayat penyakit kronis pada orang
tua pasien seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung disangkal. Pasien
merupakan anak kedua, pasien merupakan seorang anak yang aktif dan senang pergi ke
sekolah dan bermain dengan temannya. Keluarga pasien termasuk kelompok ekonomi
golongan menengah kebawah. Lingkungan rumah pasien memiliki sanitasi yang baik
dimana selokannya tidak ada genangan air, di lingkungan sekitar rumah pasien juga tidak
terdapat tong-tong kontainer. Kamar mandi pasien menggunakan ember yang besar yang
dibersihkan setiap dua kali seminggu dan keluarga tidak pernah menggunakan bubuk
ABATE. Tetangga pasien dikatakan ada dua orang yang menderita penyakit seperti pasien.
Fogging sudah dilakukan setiap kali terdapat kasus demam berdarah.
Pasien lahir secara normal di Rumah Sakit yang ditolong oleh dokter. Saat lahir,
berat badan lahir pasien 3500 gram dan panjang badan 50 cm, lingkar kepala serta lingkar
dada dikatakan lupa. Tidak ada kelainan saat persalinan dan kelainan pada pasien.. Pasien
telah mendapat imunisasi lengkap. Riwayat nutrisi: ASI : 0-6 bulan, susu formula: 6-24

3
bulan, bubur susu: 7-8 bulan, nasi tim: 8-12 bulan, makanan dewasa: 12 bulan – sekarang.
Riwayat tumbuh kembang: menegakkan kepala usia 3 bulan, membalik badan usia 4 bulan,
duduk usia 5 bulan, merangkak usia 6 bulan, berdiri usia 9 bulan, berjalan usia 12 bulan, dan
berbicara usia 13 bulan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan status present pasien yaitu keadaan
umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
88x/menit reguler kuat angkat, laju respirasi 22x/menit, temperatur aksila 38,3oC, SpO2
98%. Status general pada pasien yaitu, kepala normocephali, mata tidak anemis dan tidak
ikterus, telinga tidak ada sekret, pada hidung tidak ditemukan sekret maupun napas cuping
hidung, mukosa bibir kering, faring tidak hiperemis, tidak ada sekret tenggorokan, tonsil
T1/T1, pada leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Toraks simetris dan tidak
ada retraksi, cor S1S2 tunggal, regular, murmur (-), pulmo vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-, pada abdomen melalui inspeksi tidak ada distensi, auskultasi bising usus
normal, perkusi suara timpani, palpasi hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan dan
massa. Kulit tidak ada sianosis, turgor kembali cepat. Keempat ekstremitas hangat, CRT < 3
detik. Tes Rumple leed negatif.
Status antropometri berat badan 57 kg, tinggi badan 1770 cm, berat badan ideal 61 kg,
status gizi berdasarkan CDC BB/umur: persentil 25-50, TB/umur persentil 25-50, BB/TB
persentik 25-50 status gizi menurut Waterlow: 93% (Gizi Baik).
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 5/8/2019 didapatkan WBC 3,8 x 103/uL
(N), HGB 15,1 g/dL (N), HCT 44,3% (L), PLT 109 x 103/uL (L), sedangkan pada tanggal
8/8/2019 WBC 3,96 x 103/uL (N), HGB 13,5 g/dL (N), HCT 42,8% (L), PLT 88 x 103/uL
(L), ∆HCT 3,5%. Dengue blot Ig M negatif dan igG positif pemeriksaan tanggal 10/8/2019
Dari hasil pemeriksaan diatas, pasien didiagnosis dengan Demam Dengue (demam hari
ke-V) dengan diagnosis banding , demam berdarah dengue derajat I, demam chikungunya,
dan demam tifoid. Pasien diberikan penatalaksanaan, yaitu MRS, kebutuhan cairan
maintaince 2240 cc/hari, IVFD Dekstrosa 5% 1/2 normal saline (NS)30 tpm
makro, Paracetamol flash 1g/100 ml  4 x 50 cc (IV) (bila suhu >38oC) , Ranitidin
50 mg/2 ml ampul 2 x 1 ampul (IV), evaluasi DL tiap 24 jam, KIE makan dan minum
secukupnya, monitoring vital sign, balance cairan tiap 3 jam observasi keluhan dan tanda-
tanda kegawatan.

4
III. Masalah
1. Bagaimana cara mendiagnosis dan penatalaksanaan pada pasien Demam Dengue (DD)
maupun Demam Berdarah Dengue (DBD)?
2. Bagaimana cara membedakan Demam Dengue dengan diagnosis banding lainya?

IV. Analisis Masalah


 Cara mendiagnosis dan penatalaksanaan pada pasien Demam Dengue
(DD) maupun Demam Berdarah Dengue (DBD)
 Cara membedakan Demam Dengue dengan diagnosis banding lainnya

1. Pengertian
Demam Dengue (DD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak selama 2-
7 hari dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut,
mual, muntah, nyeri retro orbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, hepatomegali,
manifestasi perdarahan, dan lekopenia. Virus dengue adalah virus yang
termasuk dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus yang terdiri dari
empat serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4 yang
ditularkan ke manusia, sebagai host alami, melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes Albopictus. Sedangkan demam berdarah dengue (DBD)
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4 dengan
kecenderungan perdarahan dan manifestasi kebocoran plasma.1
Perbedaan DD dengan DBD adalah kebocoran plasma yang ditandai
dengan peningkatan hematokrit dan hipoproteinemia yang terjadi pada DBD.
DBD ditandai dengan trombositopenia dengan hemokonsentrasi. Sindrom
syok dengue (SSD) dapat dibagi menjadi SSD terkompensasi (takikardia,
takipnea, tekanan nadi menyempit, pemanjangan waktu pengisian kapiler,
kulit dingin, produksi urin menurun, gelisah) dan SSD dekompensasi
(takikardia, hipotensi, nadi cepat dan kecil, pernapasan kusmaull atau
hiperpnea, sianosis, kulit lembab dan dingin, nadi tidak teraba, tekanan darah
tidak terukur).1

5
2. Epidemiologi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue endemik pada daerah tropis
dan subtropis yang muncul sepanjang tahun terutama pada saat musim hujan,
kondisi optimal nyamuk berkembang biak. Keempat virus dengue
menginfeksi manusia di daerah Afrika dan Asia Tenggara sejak 100-800
tahun yang lalu. Virus ini berkembang pesat pada perang dunia kedua,
penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman
barang yang berperan dalam penyebaran global penyakit ini. DBD saat ini
sudah tersebar di luar daerah tropis dan subtropis, contohnya di Eropa
trasmisi lokal pertama kali dilaporkan di Perancis an Kroasia pada tahun
2010.2
Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan
peningkatan yang sangat pesat diseluruh penjuru dunia. WHO
memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya. 2 Dari
seluruh populasi yang terjangkit virus dengue kebanyakan diantaranya adalah
anak-anak (hampir 90%) yang berusia dibawah 5 tahun dan sekitar 2,5%
anak yang terinfeksi meninggal dunia.2 Sebanyak dua setengah milyar atau
dua perlima penduduk dunia beresiko terserang demam dengue dan sebanyak
1,6 milyar (52%) dari penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah
Asia Tenggara.2
Di Indonesia sendiri, pada 2015, tercatat sebanyak 126.675 penderita
DBD di 34 provinsi dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak
100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 meninggal dunia pada tahun 2014.
Di Bali, incidence rate berdasarkan provinsi merupakan tiga provinsi dengan
IR tertinggi bersama Kalimantan Timur dan Kalimantan Tenggara, yaitu
208,7 per 100.000 penduduk. Namun meskipun memiliki IR tertinggi, angka
kematian di Bali bukan yan tertinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena
medis dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik, selain itu tingkat
pengetahuan masyarakat tentang DBD di Bali juga tinggi.3

6
3. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup
B Antropoda Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family
flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3,
DEN Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering
ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan
DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala
klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal. 4
4. Penularan
Faktor-faktor yang menyebabkan penularan virus dengue yaitu kepadatan
vektor, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, dan suseptibilitas dari
penduduk. Mobilitas penduduk memegang peranan penting pada penularan
virus dengue, karena jarak terbang nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sebagai vektor yang sangat terbatas, yaitu 100 meter. Selain itu
lingkungan juga merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DHF
dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DHF. 5
5. Patofisiologi
Manifestasi klinis pada pasien demam dengue timbul akibat reaksi tubuh
terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah
dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari
sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai.
Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada
3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi
hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.9 Proses diatas menyebabkan

7
terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik
seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan Dengue Shock Syndrome (DSS) yaitu teori
virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).9 Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : virus dengue
seperti juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik
akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia
maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.6
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection
menjelaskan bahwa jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus
tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya
apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat
menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang
akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.9 Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam

8
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen (C3 dan C5).6
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan
syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya
dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites).9 Sebagai
respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD.
Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan
gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih
cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok.6

9
Gambar 1 patogenesis demam dengue dan demam berdarah dengue 6

6. Perjalanan penyakit demam berdarah dengue


Perjalanan klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase febris,
fase kritis, dan fase pemulihan.7
a. Fase febris
Demam mendadak tinggi (390-400 C) selama 2-7 hari dan biasanya diikuti
oleh muka kemerahan, eritema pada kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia, nyeri di belakang mata, fotofobia, rubeliform exanthema, dan sakit
kepala. Beberapa pasien bisa mengalami nyeri tenggorokan dan injeksi
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah umum ditemukan. Uji torniquet
yang positif pada fase ini bisa meningkatkan probabilitas infeksi dengue.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan mukosa (seperti
mimisan dan gusi berdarah) mungkin bisa ditemukan. Kulit mudah memar
dan perdarahan pada daerah bekas suntikan mungkin terjadi pada beberapa
kasus. Walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal. Hati bisa membesar dan terasa nyeri setelah
beberapa hari demam terjadi. Abnormalitas awal pada darah lengkap berupa
penurunan progresif dari total sel darah putih meningkatkan kecurigaan
terhadap infeksi dengue.7
b. Fase kritis
Penurunan suhu setelah demam hingga temperatur badan sekitar 37,5 0-380 C
atau kurang, dapat terjadi 3-8 hari. Peningkatan permeabilitas kapiler dan
peningkatan hematokrit mungkin terjadi. Kondisi tersebut menjadi tanda awal
fase kritis. Kebocoran plasma biasa terjadi 24-48 jam. Leukopenia progresif

10
yang diikuti penurunan jumlah platelet biasa terjadi setelah kebocoran plasma.
Pada kondisi ini pasien yang permeabilitas kapilernya tidak meningkat,
kondisinya membaik. Sebaliknya pada pasien yang permeabilitas kapilernya
meningkat, terjadi kehilangan banyak volume plasma. Derajat kebocoran
plasma berbeda-beda, efusi pleura dan asites dapat terjadi. Syok dapat terjadi
ketika kehilangan cairan plasma hingga volume yang kritis. Kemudian kondisi
tersebut dilanjutkan dengan tanda bahaya berupa temperatur badan yang
subnormal. Apabila syok terjadi cukup panjang dapat menyebabkan kerusakan
organ, asidosis metabolik dan disseminated intravascular coagulation (DIC).7
c. Fase pemulihan
Pasien bertahan setelah 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi gradual cairan
ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam kemudian. Kondisi akan
membaik, nafsu makan meningkat, gejala gastrointestinal mereda,
hemodinamik makin stabil dan diuresis membaik. Namun pada fase ini dapat
terjadi pruritus dan confluent erythematous atau petechial rash dengan daerah
kecil berupa kulit normal (isle of white in the sea of red), bradikardi dan
perubahan pada EKG. Hematokrit menjadi stabil, leukosit meningkat, dan
platelet mulai meningkat.7

7. Klasifikasi

Gambar 2 Klasifikasi infeksi dengue

11
Infeksi dengue dibedakan berdasarkan gejala yang timbul pada pasien.
Terdapat satu kategori yang memiliki gejala yang tidak tipikal yaitu
expanded dengue syndrome (EDS) diklasifikasikan oleh WHO pada tahun
2012 untuk menggambarkan kasus-kasus yang tidak termasuk dalam sindrom
syok dengue atau demam berdarah dengue. Manifestasi atipikal yang dicatat
dalam dengue yang diperluas bersifat multisistemik dan beragam dengan
keterlibatan organ, seperti hati, otak, jantung, ginjal, dan SSP.
Berdasarkan WHO 2010 membagi DBD dalam 4 derajat setelah
kriteria laboratorium terpenuhi yaitu:8
 Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan satu-
satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniket positif.
 Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
 Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi
(sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita
gelisah.
 Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba
dan tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan
kesadaran, sianosis dan asidosis.
8. Manifestasi Klinis
Menurut Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak;
UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014 :7
1. Demam Dengue (DD)
Demam tinggi mendadak (biasanya > 39º) terus menerus, bifasik selama
2-7 hari ditambah 2 atau lebih gejala/tanda penyerta:
- Nyeri kepala
- Nyeri belakang bola mata
- Nyeri otot & tulang
- Ruam kulit

12
- Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
maupun berupa uji tourniquet positif
- Leukopenia (Leukosit < 4000 /mm³)
- Trombositopenia (Trombosit < 100.000/mm³)
- Peningkatan hematokrit 5–10 %
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi berikut:
- Demam 2–7 hari yang timbul mendadak tinggi terus-menerus.
- Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau
melena; maupun berupa uji tourniquet positif.
- Trombositopnia (Trombosit < 100.000/mm³)
- Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari peningkatan
permeabilitas vaskular yang ditandai salah satu atau lebih tanda
berikut: peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi > 20% dari nilai
baseline atau penurunan sebesar itu pada fase konvalesens.
- Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/hypoalbuminemia
Hepatomegali (pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan
pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba
(just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan dan
dibawah procesus xifoideus)
Selain tanda-tanda untuk mengenali ada atau tidaknya infeksi dengue perlu
juga dilihat ada tidaknya tanda-tanda bahaya atau warning sign pada pasien.
Adapun dengan mengenali tanda tanda bahaya ini diharapkan dapat
mengantisipasi terjadinya syok pada pasien demam berdarah dengue. Tanda-
tanda bahaya (warning sign) yaitu:7

13
Gambar 3 Tanda-tanda bahaya demam berdarah dengue7
9. Pemeriksaaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi
virus dengue adalah:9
 Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan
BHK21). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya
tersedia di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk
tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial.
Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam.9
 Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa
nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan
isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas
laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada
enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal.9
 Deteksi antigen virus
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilakukan pada saat ini adalah
pemeriksaan NS-I antigen virus dengue yaitu suatu glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan

14
replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu
sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas
tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.9

Gambar 4 Kinetik NS-1 antigen dan IgG serta IgM antidengue pada infeksi
primer dan sekunder9
 Deteksi serum respons imun /uji serologi serum imun
Pemeriksaan respons imun serum yang dilakukan berupa
haemaglutination inhibition test (uji HI), complement fixation test (CET),
neutralization test (uji neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG
anti dengue.9
a. Haemaglutination inhibition test
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan
pemeriksaan ini. Uji H I walau sensitif namun kurang spesifik dan
memerlukan dua sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini
b. Complement fixation test (CET)
Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis,
sulit untuk dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.
c. Neutralization test (uji neutralisasi)
Neutralization test merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan
spesifik, metode yang paling sering dipakai adalah plaque reduction
neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara
teknik cukup rumit, oleh karena itü jarang dilakukan di laboratorium
klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.

15
d. Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada
umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi
setelah sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti
dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue,
namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti
dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-I antigen virus dengue
dan IgG serta IgM antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan
Jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer
dengan infeksi sekunder.

Gambar 5 hasil intepretasi IgG dan IgM9


 Analisis parameter hematologi
Parameter hematologi yang digunakan yaitu pemeriksaan hitung leukosit,
nilai hematrokit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan
bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.9
a) Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3) dan rasio antara
neutrophil dan limfosit (neutrofil<limfosit) berguna dalam
memprediksi masa kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan
limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase
demam dan saat masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat
terlihat pada DD.
b) Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat
ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase
demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu.

16
Trombositopenia pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga
sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit.
Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD.
Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati).
Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase
penyembuhan.
c) Pada awal demam nilai hematrokit masih normal. Peningkatan ringan
pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah.
Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari adanya
kebocoran plasma. Trombositopeni dibawah 100.000/uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematrokit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan.
10. Diagnosis
Adapun dalam menegakan diagnosis demam dengue menggunakan kriteria
yaitu:10
a. Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
b. Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena maupun
berupa uji tourniquet positif
c. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
d. Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah
e. Adanya leukopenia <4.000/mm3
f. Adanya Trombositopenia <100.000 mm3
Apabila didapatkan adanya gejala demam ditambah dua atau lebih gejala
yang lainnya maka diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakan.10
11. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari yang
disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita, myalgia, atralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan baik spontan maupun hasil uji Tourniquette, jumlah
leukosit yang rendah (<4000/mm3) tanpa atau dengan jumlah trombosit yang

17
menurun dan apalagi bila diketahui ada kasus dengue di lingkungan tempat
tinggal atau di sekolah, maka harus dicurigai pasien tersebut menderita
infeksi dengue. Adapun algoritma penanganan tersangka infeksi dengue dan
demam dengue yaitu. Selma penatalaksanaan kasus harus memperhatikan
tanda-tanda kegawatan pada infeksi dengue. 7,10,11

Gambar 5 Algoritma penanganan tersangka infeksi dengue10

18
Gambar 6 Algoritma penanganan demam dengue10

19
Gambar 7 Algoritma penangananan demam berdarah dengue grade I dan II10

20
Gambar 8 Algoritma penanganan DHF grade III dan IV10
Cairan pilihan untuk pasien DBD adalah cairan kristaloid isotonik.

Pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% tidak dianjurkan, kecuali bagi

pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan

hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravaskular sedangkan

21
dengan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang

intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume

cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi

kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid isoonkotik kurang

efektif. Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan

fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang lebih besar. Volume cairan yang

diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan laboratorium.

Penghitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD terjadi

hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan

yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah

dengan perkiraan defisit cairan 5%.

12. Komplikasi
Pada fase demam bisa terjdi dehidrasi, kejang demam, pada fase kritis syok
hipovolemik, perdarahan massif, keterlibatan organ, sedangkan pada fase
konvalesen yaiutu hipervolemik dan edema paru. Komplikasi terjadi akibat
syok yang berat dan lama, sehingga terjadi kondisi asidosis metabolik dan
perdarahan hebat sebagai akibat dari DIC dan kegagalan multiorgan seperti
hepar dan ginjal. Pemberian cairan yang berlebihan selama periode
perembesan plasma bisa menyebabkan efusi yang masif dan menyebabkan
gangguan pernapasan, kongesti paru akut dan atau gagal jantung. Selain itu,
syok yang berat dan berlangsung lama serta tidak mendapat terapi cairan
yang adekuat dapat menyebabkan gangguan metabolik atau elektrolit.
Kelainan metabolik sering ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia,
hipokalsemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Gangguan ini dapat
menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak biasa, misalnya ensefalopati.

22
13. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberantas jentik-jentik nyamuk
Aedes aegypti dengan cara melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN). Upaya-upaya PSN, diantaranya:12
a. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti bak mandi/WC,
drum, dan sebagainya) sekurang-kurangnya seminggu sekali.
Gantilah air di vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut
dan sebagainya sekurang-kurangnya seminggu sekali.
b. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan,
drum dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang
biak di tempat itu.
c. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas seperti
kaleng bekas, ban bekas, botol pecah dan lain-lain yang dapat
menampung air. Beberapa hal seperti potongan bambu, tempurung
kelapa dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya.
d. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar tidak
dihinggapi nyamuk.
Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan
bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-
jentik nyamuk diulang setiap 2-3 bulan sekali.12

14. Prognosis
Demam dengue secara umum merupakan penyakit self-limiting dengan
tingkat kematian kurang dari 1%. Jika diobati, demam berdarah dengue
memiliki tingkat mortalitas 2-5%. Bila tidak diobati, demam berdarah
dengue memiliki tingkat kematian setinggi 50%. Pasien yang selamat
biasanya sembuh tanpa gejala sisa dan memiliki kekebalan terhadap serotipe
virus yang menginfeksi.10,13
Demam berdarah dengue derajat I dan II akan memberikan prognosis
yang baik, penatalaksanaan yang cepat, tepat akan menentukan prognosis.
Umumnya DBD derajat I dan II tidak menyebabkan komplikasi sehingga
dapat sembuh sempurna. Prognosis DBD dapat diketahui berdasarkan terapi

23
dan penetalaksanaan yang dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan
memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan yang terlambat akan
menyebabkan komplikasi Mortalitas pada kasus DBD dikatakan cukup
tinggi. Pada usia dewasa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih
ringan jika dibandingkan dengan anak-anak. DBD derajat III dan IV
merupakan derajat SSD, yaitu pasien jatuh dalam keadaan syok dengan atau
tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai penatalaksanaan yang diberikan
dubia ad bonam.10,13

V. Pemecahan Masalah pada Kasus


Dalam menegakan diagnosis demam dengue dapat dilakukan dengan
merangkum data dan informasi yang didapat melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis
didapatkan keluhan utama pasien demam sejak 4 hari yang lalu pukul 05.00
Wita SMRS. Kronologi, awalnya pasien sedang beristirahat tiba-tiba setelah
bangun tidur pagi pasien merasa demam, kemudian pasien berobat ke dokter
praktek swasta dan diberikan obat penurun panas, setelah itu demam sempat
turun sebentar namun tidak mencapai suhu normal, pada keesokan harinya
(4/8/2019) panas mulai turun namun pada (5/8/2019) saat pagi hari panas
badan pasien naik. Adapun keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu nafsu
makan menurun, mual (+), nyeri sendi (+), pegal otot (+), nyeri ulu hati (+),
nyeri kepala (+), nyeri sekitar kelopak mata (+). Riwayat muntah, mimisan,
gusi berdarah, kejang, menggigil, bintik-bintik merah pada anggota tubuh,
perut membesar, BAB dan BAK darah atau kehitaman, keluhan pada telinga,
sesak nafas, batuk, serta pilek disangkal. Riwayat keluarga menderita
keluhan serupa disangkal. Riwayat tetangga mengalami keluhan serupa (+).
Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien didapatkan keluhan utama yang
sesuai dengan teori. Adapun demam pada pasien ini terjadi akibat reaksi
antigen antibodi memicu keluarnya mediator inflamasi IL-1, IFN gamma,
TNF alfa yang dikenal sebagai pirogen endogen yang dapat menimbulkan
demam dimana IL-1 bekerja langsung pada pusat termoregulator sedangkan
TNF alfa dan IFN gamma bekerja untuk merangsang pelepasan IL-1.

24
Demam dapat disebabkan oleh karena invasi bakteri, virus, parasit. Pada
pasien didapatkan demam tinggi dan timbul mendadak menandakan
kemungkinan besar pasien terinfeksi virus. Selain demam pasien juga
mengeluh mual, pegal otot, nyeri sendi, nyeri sekitar kelopak mata, nyeri
kepala serta nyeri ulu hati. Mual dan nyeri ulu hati ini disebabkan oleh
infeksi yang menyerang tubuh akan menyerang retikuloendotelial, sehingga
sistem ini bisa terganggu dan menyebabkan reaksi antigen antibodi yang
merangsang hipotalamus, sehingga menimbulkan peningkatan suhu tubuh
serta mengaktivasi anafilaksis dan kompensasinya mual dan nyeri ulu hati.
Hasil anamnesis ini perlu diperkuat melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan pemeriksan tanda vital didapatkan suhu tubuh pasien
panas. Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan adanya uji tourniquet
negatif tidak didapatkan adanya menifestasi perdarahan spontan, adanya
nyeri tekan epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, mulut basah, akral
hangat. Hasil pemeriksaan fisik yang didapat pada pasien sudah sesuai
dengan teori.
Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan darah lengkap dan imunoserologi (IgG/IgM antidengue) karena
menimbang asas efisiensi dan efektivitas. Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan isolasi virus dan RTPCR karena efektivitas pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan darah lengkap dan IgG/IgM antidengue selain itu
juga karena biaya dari pemeriksaan isolasi virus dan RTPCR yang relatif
mahal serta waktu untuk menunggu hasil yang lama, maka dari itu
pemeriksaan isolasi virus dan RTPCR kurang efisien dan efektif untuk
penanganan pasien. Pada pasien juga tidak dilakukan pemeriksaan NS-1
karena pasien datang ke rumah sakit dengan demam hari ke 4, sedangkan
secara teori pemeriksaan NS-1 hanya efektif apabila dilakukan pada hari ke
1-2 sakit. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien didapatkan
leukosit 3,8 103/uL, haemoglobin 15,1 g/dl, haematokrit 44,3 %, platelet 109
103/uL. Selama pasien dirawat di rumah sakit tidak didapatkan adanya
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit). Hasil darah lengkap pasien ini

25
menunjukan adanya leukopenia serta trombositopenia sehingga sesuai
dengan teori. Selain pemeriksaan darah lengkap pada pasien juga dilakukan
pemeriksaan IgG/IgM antidengue dan didapatkan hasil IgG positif yang
menunjukan adanya kemungkinan infeksi sekunder virus dengue pada pasien
sehingga mendukung dalam menegakan diagnosis demam dengue. Dalam
kepustakaan menyebutkan trombositopenia pada infeksi dengue terjadi
melalui mekanisme supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan
masa hidup trombosit. Sedangkan adanya leukopenia pada pasien
menunjukan kemungkinan terjadi infeksi virus.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien memenuhi kriteria diagnosis Demam Dengue dengan
kriteria klinis demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus,
adanya keluhan tidak khas lainnya seperti nyeri kepala, nyeri sekitar kelopak
mata, nyeri otot, nyeri uluhati, uji tourniquet positif, trombositopenia
<100.000/mm3, leukopenia <4000/mm3, tidak terdapat hemokonsentrasi,
serta hasil IgG antidengue yang positif.
Diagnosis demam chikungunya (DC) pada pasien ini dapat
disingkirkan karena pada demam chikungunya nyeri persendian terasa sangat
hebat, terus-menerus, bahkan anggota gerak terasa sulit digerakan. Selain itu,
pada demam chikungunya juga tidak didapatkan adanya trombositopenia dan
tanda tanda kebocoran plasma. Sedangkan pada pasien ini nyeri pada
persendian tidak hebat, tidak terus menerus, anggota gerak tidak sulit digerakkan,
tidak mempunyai riwayat perdarahan lama, terdapat trombositopenia (109 103/uL)
dan adanya hasil IgG antidengue positif yang menunjukan adanya kemungkinan
infeksi sekunder virus dengue. Pada demam tifoid yang membedakannya
dengan demam dengue yaitu pada minggu pertama suhu tubuh meninggi
secara bertingkat. Suhu tubuh lebih tinggi pada sore dan malam hari. Selain
itu terdapat lidah berselaput (lidah kotor di tengah, di tepi dan ujung warna
kemerahan, serta adanya tremor lidah), bradikardi relatif (penurunan
frekuensi nadi sebanyak 8 denyut permenit setiap kenaikan suhu 1oC) serta
adanya gangguan gastrointestinal seperti nyeri perut, diare atau konstipasi,
muntah dan perut kembung. Pada pasien ini tidak ditemukan gejala dan tanda

26
klinis demam tifoid seperti demam stepladder, bradikardi relatif, tifoid
tongue (lidah kotor) serta gangguan gastrointestinal sehingga menyingkirkan
diagnosis demam tifoid. Pada demam berdarah dengue yang
membedakannya dengan demam dengue adalah adanya tanda-tanda
kebocoran plasma berupa hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20)
dan menifestasi perdarahan spontan. Pada pasien tidak didapatkan adanya
tanda-tanda kebocoran plasma dan manifestasi perdarahan spontan sehingga
diagnosis demam berdarah dengue pada pasien ini dapat disingkirkan.
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus sudah sesuai dengan
teori. Prinsip penanganan Demam Dengue adalah terapi cairan, pengobatan
simtomatis dan pemantauan tanda vital. Pada kasus dilakukan pemberian
terapi berupa IVFD D5 ½ NS ~ 30 tpm yang setara dengan kebutuhan cairan
maintaince sebesar 2240 cc/hari, Paracetamol 4x50cc (IV) bila suhu >38oC,
Ranitidin 50 mg/2 ml ampul 2 x 1 ampul (IV), cek DL setiap 24 jam, pantau
keluhan, vital sign, warning sign dan produksi urine.
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh,dan memiliki efek alergi yang minimal. Kristaloid memiliki
waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Dalam aplikasinya
terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah
tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi
plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan
koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama
akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar
dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik
dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin

27
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati,
dan biaya yang lebih besar.14,15

28
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Dengue. 2014. Tersedia
dalam http://www/cdc/gov/dengue/epidemiology
2. Hairani L. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI
2009; 12 (3): 24-9
3. Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi. 2016. Tersedia
dalam:http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infod
atin/info datin%20dbd%202016.pdf
4. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris N, Gandaputra E. Demam
berdarah dengue. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta; 2 (4): 223-2
5. Lei HY, Huang KJ, Lin YS, Yeh TM, Liu HS, Liu CC. Immunopathogenesis
of Dengue Hemorrhagic Fever. Am. J. Infect. Dis. 2008; 4(1): 1-9.
6. Suardarmana K. Proses patofisiologi demam berdarah dengue. Udayana
University Press. Denpasar; 2018; 40 (2): 22-30
7. Departemen Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pedoman diagnosis dan tatalaksana infeksi virus dengue pada anak. Jakarta;
2014
8. Bhatia R, Dash AP, Temmy S. Review: Changing epidemiology of dengue in
South-East Asia. WHO South East Asia Journal of Public Health. 2013; 2(1):
23-27.
9. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2009: 2773-2795
10. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Demam Berdarah Dengue.
Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Denpasar: 2011; 205-211
11. Depkes RI. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011

29
12. Kementerian Kesehatan RI. 2016. http://www.depkes.go.id/article/print/1603
0700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-11-provinsi.html.
13. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator. 2010;2(2):110-119.

30

Anda mungkin juga menyukai