Anda di halaman 1dari 18

REFARAT

ACUTE CORONARY SYNDROME


ST ELEVATION MIOCARDIAL INFARCTION

Disusun Oleh:

Nuril Hasanah Rahman (170100127)


Nurfayza Magistrani (170100128)
Nilfa Selviani SM Sambo (170100212)

Pembimbing:
Dr. dr. Zulfikri Mukhtar Sp.JP

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
referat berjudul ”Acute Coronary Syndrome - ST Elevation Miocardial Infarction. Referat
ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Dalam proses penyusunan laporan kasus ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada Dr. dr. Zulfikri Mukhtar Sp.JP selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan referat.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan
referat di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan
dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, 30 maret 2020

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Pembimbing,

Dr. dr. Zulfikri Mukhtar Sp.JP

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar..................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ............................................................................................. ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
Daftar Tabel ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3
2.1 Acute Coronary Syndrome .................................................................. 3
2.1.1 Definisi .................................................................................... 3
2.1.2 Klasifikasi ACS........................................................................ 4
2.2 ST Elevation Miocardial Infarction...................................................... 4
2.2.1 Definisi...................................................................................... 4
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis .......................................................... 4
2.2.3 Faktor Risiko........................................................................... 5
2.2.4 Diagnosis................................................................................. 6
2.2.5 Tatalaksana.............................................................................. 8
2.2.5.1. Tatalaksana Awal....................................................... 8
2.2.5.2. Tatalaksana STEMI.................................................... 9
2.2.6 Komplikasi....................................................................................12
2.2.7 Prognosis......................................................................................13
BAB III. KESIMPULAN............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20

iii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. ST Elevasi pada EKG..........................................................................7

2.2. Kontraindikasi terapi fibrinolitik..........................................................9

2.3. Regimen terapi fibrinolitik...................................................................9

2.4. Prognostik Skor Killip..........................................................................11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Acute Coronary Syndrome disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke jantung


yang terjadi secara mendadak. Kondisi ini adalah penyebab utama dari mortalitas dan
morbiditas di regio Asia-Pasifik (Jan et al., 2016). Acute Coronary Syndrome
menyebabkan kematian setelah keluar rumah sakit sebanyak 72%. Sedangkan 21%
disebabkan oleh serangan jantung dan 6% kematian mendadak disebabkan oleh
penyebab yang tidak diketahui. Acute Coronary Syndrome adalah masalah kesehatan
di masyarakat dan merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Acute Coronary Syndrome yang terjadi dapat diakibatkan oleh peningkatan
kebutuhan metabolic miokard, penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke miokardium
melalui sirkulasi coroner, maupun keduanya. Kondisi yang berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan metabolik miokard dapat terjadi akibat pengerahan tenaga
fisik yang ekstrim, hipertensi atau hipotensi berat, dan stenosis katup aorta.
Penurunan suplai oksigen dan nutrisi untuk otot jantung terjadi karena rupturnya
plak aterosklerotik yang tidak stabil diikuti oleh oklusi koroner (Bolooki et al, 2010).
Beberapa faktor risiko telah diketahui turut berinteraksi dalam pembentukan plak
aterogenik. Faktor-faktor tersebut secara umum dapat dibagi menjadi faktor yang
tidak dapat dikendalikan dan dapat dikendalikan. Faktor yang tidak dapat
dikendalikan antaranya adalah usia, jenis kelamin, dan genetic. Sementara faktor
yang dapat dikendalikan adalah merokok, hipertensi, hyperlipidemia, diabetes
mellitus.

1
2

Acute Coronary Syndrome diklasifikasikan menjadi tiga yaitu ST elevated


myocardium infark (STEMI), Non ST elevated myocardium infark (NSTEMI), dan
Unstable angina pectoris (UAP) (PERKI 2018). ST elevation myocardial infarction
(STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling
berat (Kumar dan Canon, 2009). Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah
koroner secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya.
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler. Injuri
vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia miokard yang berhubungan dengan
elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan
terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard,
yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18%
(O’Gara et al., 2013). Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita infark miokard
akut per tahun dan sepertiganya menderita STEMI (Yang et al., 2008).

1.2 TUJUAN PENULISAN

Refarat ini bertujuan untuk menjelaskan definisi, faktor risiko, klasifikasi,


pathogenesis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis Acute Coronary
Syndrome – ST Elevation Miocardial Infarction serta untuk melengkapi tugas di
Departemen Ilmu Kesehatan Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan refarat ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai


definisi, faktor risiko, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi,
dan prognosis ST Elevation Miocardial Infarction.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ACUTE CORONARY SYNDROM

2.1.1. DEFINISI

Acute coronary syndrome (ACS) merupakan satu kondisi yang mengancam jiwa
yang menjelaskan keadaan seseorang yang sedang menderita penyakit jantung
koroner. ACS merupakan manifestasi klinis dari fase akut penyakit jantung koroner.
Gambaran klinis dari ACS bergantung pada tingkat keparahan dan luasnya iskemia
miokard. (Lilly et al., 2016)

Istilah acute coronary syndrome (ACS) adalah suatu kesatuan yang


menggambarkan kelainan pada akut miokard infark baik secara klinis maupun
patofisiologis. Umumnya, hal ini disebabkan oleh rupturnya plak atherosklerosis,
fissura, erosi, ataupun kombinasi dengan trombosis intrakoroner dan hal ini
berhubungan dengan peningkatan resiko myonekrosis dan kematian jantung. ACS
meliputi Unstable Angina (UAP) dan ST-segment elevation myocardium infark
(STEMI) atau Non ST-segment elevation myocardium infark (NSTEMI) akut.
Perbedaan presentasi dari ketiganya berdasarkan atas ada atau tidaknya nekrosis
miosit yang diikuti dengan hasil bacaan EKG yang tampak pada saat timbul gejala
ACS. ACS yang tidak disertai dengan nekrosis miokardial didefinisikan sebagai
UAP, namun nekrosis miokardial merupakan komponen yang dibutuhkan dalam
STEMI ataupun NSTEMI. Mengenali pasien dengan ACS sangatlah penting
dikarenakan diagnosis dari ACS akan mencetus triase dan tatalaksana awal.(Hurst et
al, 2016).

3
4

2.1.2. KLASIFIKASI ACS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram


(EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, ACS dibagi menjadi :

1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)


2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (NSTEMI)
3. Angina pektoris tidak stabil (UAP)

2.2 ST ELEVATION MIOCARDIAL INFARCTION


2.2.1 DEFINISI
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang berkepanjangan
akibat oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005). STEMI terjadi akibat stenosis total
pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung yang bersifat
irreversible (Brown & Edwars, 2005).
STEMI merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis melalu intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. Inisiasi
tatalaksana revaskularisasitidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarka jantung.

2.2.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang bersentuhan
langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel yang semula licin
menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan masuk kelapisan
dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat lapisan
pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah.
Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah
menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin
banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami
fisura, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan
pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan serotonin)
memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit juga akan
memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X sehingga
menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh
trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan
mengakibatkan STEMI (Black & Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby, 2008 & Alwi,
2006).

Jika trombus yang terbentuk di sekitar plak yang ruptur menutup total diameter
pembuluh darah, aliran darah setelah obstruksi ini akan berhenti, terjadinya iskemia
jaringan, maka akan mengakibatkan infark miokard (biasanya STEMI). Sebaliknya,
jika trombus hanya menutup sebagian diameter pembuluh darah atau terjadi
penutupan total yang sementara karena adanya rekanalisasi atau spontan atau spasme
pembuluh darah yang terjadi tiba – tiba, keparahan dan lamanya iskemia akan lebih
singkat, dan NSTEMI yang lebih kecil atau unstable angina pectoris (UAP) akan
terjadi (Lilly et al., 2016).

2.2.3 FAKTOR RISIKO

a. Pria
b. Umur > 45 tahun
c. Hipertensi
d. Merokok
e. Dislipidemia
f. Diabetes melitus

g. Riwayat PJK dini dalam keluarga


2.2.4 DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis ACS dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala dan tanda dari baik STEMI maupun
NSTEMI dapat diprediksi melalui patofisiologi yang mendasarinya. Secara kualitatif,
rasa tidak nyaman selama serangan menyerupai serangan angina pektoris, tapi
biasanya dengan intensitas yang lebih berat, durasi yang lebih lama, dan penjalaran
yang lebih luas. Sensasi tersebut berasal dari mediator – mediator seperti adenosine
dan laktat yang dilepas oleh sel –sel otot jantung yang mengalami iskemia.
Nyeri dada yang dirasakan pasien ACS dapat berupa nyeri dada tipikal berupa
rasa tertekan/berat pada daerah retrosternal, yang menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium yang berlangsung
intermitten/beberapa menit, atau persisten (>20 menit) yang dapat disertai gejala
tambahan seperti keringatdingin, mual, muntah, nyeri perut, sesak nafas, dan pingsan,
ataupun nyeri dada atipikal berupa penjalaran di lokasi nyeri dada tipikal dengan
gejala tambahan rasa gangguan pencernaan, sesak nafas yang tidak dapat dijelaskan,
dan rasa lemah mendadak yang sulit dijelaskan, yang sering dijumpai pada pasien
usia 25 – 40 tahun atau >75 tahun, wanita, diabetes, gagal ginjal menahun atau
demensia. (PERKI,2018)

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui faktor pencetus iskemia, adanya


komplikasi, ataupun penyakit komorbid serta untuk menyingkirkan diagnosisbanding.
Komplikasi iskemia perlu untuk dicurigai jika ditemukan regurgitasi katup mitral,
suara jantung tiga, ronki basah halus dan hipotensi. Temuan seperti pericardial
friction rub akibat pericarditis, pulsasi nadi yang tidak teratur, dan regurgitasi katup
aorta akibat diseksi aorta, perkusi hipersonor pada pneumotoraks,

dan nyeri pleuritik perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding ACS. (PERKI,
2018)

Penggunaan pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis


banding yang ada. Beberapa pemeriksaan penunjang yang rutin digunakan antara lain
pemeriksaan kelistrikan jantung menggunakan elektrokardiografi (EKG), dan
pemeriksaan biomarka jantung (cardiac marker). Perekaman EKG 12 sadapan
dilakukan pada semua pasien yang datang dengan nyeri dada ataukeluhan lain yang
mengarah kepada iskemia, dan sedapat mungkin dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Gambaran EKG yang didapatkan sangat
bervariasi. Pada pasien dengan STEMI, gambaran EKG dapat berupa elevasi segmen
ST persisten (>20 menit). Dugaan adanya iskemia otot jantung dapat diperkuat
dengan temuan left bundle branch block (LBBB) baru yang juga disertai elevasi
segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen
ST ≥1 mm di V1-V3 (PERKI, 2018; Roffi et al., 2016)

Tabel 2.1 ST Elevasi pada EKG

Pengukuran biomarka jantung bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat


nekrosis pada otot jantung. Beberapa biomarka jantung kurang spesifik yang pernah
digunakan adalah myoglobulin, creatine kinase, creatine kinase myocardial band
fraction, sedangkan penggunaan cardiac troponin (cTN), baik I maupun T, sebagai
biomarka penentu nekrosis otot miokard lebih spesifik dan lebih sensitive. Pada
pasien STEMI dan NSTEMI akan dijumpai peningkatan biomarka jantung ini,
sedangkan pada UAP dan SAP tidak dijumpai adanya peningkatan. Pemeriksaan
biomarka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral untuk meningkatkan
sensitifitas dan menyingkirkan bias akibat pengukuran di ruang rawat intensif
jantung. Kadar troponin pada pasien IMA meningkat di darah perifer 3 – 4 jam
setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu dan akan menghilang dalam 2 –
3 hari, namun jika terjadi nekrosis lUAPs dapat menetap hingga 2 minggu. Jika tidak
tersedia troponin, dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan meningkat
kadarnya dalam waktu 4 – 6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap
sampai 2 hari. Pemeriksaaan laboratorium berupa tes darah rutin, gula darah sewaktu,
status elektrolit, tes fungsi ginjal dan panel lipid untuk menilai faktor komorbid pada
pasien. Pemeriksaan foto polos digunakan untuk menentukan diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit komorbid harus dilakukan di ruang gawat
darurat menggunakan alat portabel karena pasien tidak boleh meninggalkan ruangan.
(PERKI, 2018; Morrow, 2017)

2.2.5 TATALAKSANA

2.2.5.1 TATALAKSANA AWAL

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan ACS dengan dasar keluhan angina di ruang gawat darurat sebelum ada
hasil pemeriksaan EKG dan / atau biomarka jantung. Terapi yang diberikan berupa
oksigen, nitrat, aspirin, klopidogrel, morfin, yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan. (PERKI, 2018)

Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan tirah baring pada pasien.
Kemudian sangat dianjurkan untuk mengukur tingkat saturasi pasien dan memberikan
oksigen jika didapatkan Sa02 <90% atau PaO2 <60 mmHg. Untuk mengurangi rasa
nyeri dada dapat diberikan nitrogliserin (NTG) spray / tablet sublingual. Jika nyeri
dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulangi sampai tiga kali dengan
interval waktu 5 menit. Nitrogliserin intravena dapat diberikan jika nyeri dada tidak
responsif dengan terapi 3 dosis NTG. Jangan berikan NTG pada pasien dengan
riwayat penggunaan phospodiesterase type 5 inhibitor atau dengan hipotensi saat
datang ke ruang gawat darurat. (PERKI, 2018; Roffi, 2015)

Aspirin (dosis awal 150-300 mg) dan clopidogrel (dosis awal 300-600 mg) dapat
diberikan sebagai antiplatelet pilihan. Clopidogrel dapat diganti menjadi ticaglerol
jika klopidogrel tidak tersedia. Morfin sulfat (1-5 mg intravena) dapat diberikan pada
pasien yang tidak responsive dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. (PERKI, 2018)

2.2.5.2 TATALAKSANA STEMI

Tatalaksana STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis
dan pengobatan. Pilihan terpai reperfusi yang diberikan baik terapi fibrinolitik
maupun intervensi koroner perkutan (PCI) harus dilakukan sesegera mungkin untuk
mengurangi risiko berkembangnya iskemia miokardium.
a. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dipilih dikarenakan ketidakmampuan pelayanan medis tempat
pasien berada dalam melakukan IKP dalam waktu yang disarankanyaitu ≤ 120 menit.
Pilihan agen yang spesifik (tenecplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan daripada
agen yang tidak spesifik (streptokinase). Selama terapi fibrinolitik, harus disertakan
pemberian aspirin, clopidogrel dan antikoagulan sampai tindakan revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari pilihan antikoagulan
yang dapat digunakan antara lain enoxaparin subkutan, heparin tidak terfraksi, dan
fondaparinux (hanya pada pasien yang diberikan streptokinase sebagai pilihan agen
fibrinolitiknya).

Tabel 2.2 Kontraindikasi terapi fibrinolitik

Tabel 2.3 Regimen terapi fibrionolitik


b. Intervensi Koroner Perkutan (PCI) Primer
PCI primer merupakan tindakan yang dieberikan pada pasien tanpa terapi
fibrinolitik sebelumnya yang dilakukan pada arteri yang infark dengan
menggunakan balloon, stent, atau alat lainnya. PCI dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam waktu 120 menit dari kontak medis pertama. Pada pasien
dengan syok kardiogenik atau gagal jantung berat wajib mendapat terapi PCI
primer kecuali jika diperkirakan tindakan akan tertunda lama.Akses melalui radial
lebih disarankan daripada femoral karena memiliki risiko perdarahan, kompikasi
pembuluh darah dan keperluan tranfusi yang lebih kecil. Pasien yang tidak
memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda / dual antiplatelet
therapy (DAPT), lebih disrankan menggunakan drug – eluting stent (DES)
daripada bare metal stents (BMS).

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi PCI primer disarankan


mendapatkan farmakoterapi periprosedural berupa DAPT yaitu aspirin dan
penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum tindakan angiografi.
Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160 – 320 mg) dan pilihan untuk
penghambat reseptor ADP dapat berupa ticagrelor (dosis awal 180 mg, dengan
dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) atau clopidogrel (dosis awal 600
mg, dengan dosis pemeliharaan 75 mg per hari) jika ticagrelor tidak tersedia atau
dikontraindikasikan. Pemberian antikoagulan intravena juga harus diberikan pada
PCI primer, dengan pilihannya berupa heparin tidak terrefraksi atau enoxaparin
intravena. (PERKI 2018, Roffi, 2016).

2.2.6 KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi berasal dari proses inflamasi,


abnormalitas mekanikal, dan abnormalitas elektrikal yang berasal dari nekrosis
miokardium (Lilly et al.,2016). Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain : 1)
disfungsi miokardum yang dapat berupa gagal jantung dan syok kardiogenik, 2)
infark ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan yang
ditandai dengan distensi vena jugularis 3) komplikasi mekanis berupa ruptur otot
papilaris, rupture dinding ventrikel, rupture septum ventrikel, aneurisma
ventrikel, 4) infeksi perikardium, 5) tromboemboli, 6) komplikasi elektrikal
berupa aritmia (fibrilasi ventrikel, aritmia supraventricular, blok konduksi), dan 7)
kematian. (PERKI, 2018; Roffi, 2016)
2.2.7 PROGNOSIS

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas (prognostik) dalam 30 hari.

Tabel 2.4 Kelas Killip (prognostik)

.
.
13

BAB III

KESIMPULAN

Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu kesatuan yang menggambarkan


kelainan pada akut miokard infark baik secara klinis maupun patofisiologis.
Umumnya, hal ini disebabkan oleh rupturnya plak atherosklerosis, fissura, erosi,
ataupun kombinasi dengan trombosis intrakoroner dan hal ini berhubungan dengan
peningkatan resiko myonekrosis dan kematian jantung. ACS meliputi Unstable
Angina (UAP) dan ST-segment elevation myocardium infark (STEMI) atau Non ST-
segment elevation myocardium infark (NSTEMI) akut. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi
tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarka jantung.

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan ACS dengan dasar keluhan angina di ruang gawat darurat sebelum
ada hasil pemeriksaan EKG dan / atau biomarka jantung. Terapi yang diberikan
berupa oksigen, nitrat, aspirin, klopidogrel, morfin, yang tidak harus diberikan
semua atau bersamaan.

Tatalaksana STEMI yaitu dilakukan PCI, jika tidak tersedia di rumah sakit
maka dilakukan pemberian terapi fibrinolitik. Untuk prognosis, beberapa stratifikasi
risiko dapat digunakan. skor Killip digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J. M., & Hawk, J. H. (2005). Medical surgical nursing clinical managementh for
positive outcomes (7 Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Saunders.

Damman, P., Woudstra, P., Kuijt, W.J., de Winter, R.J., James, S.K., 2012. P2Y12
platelet inhibition in clinical practice. J Thromb Thrombolysis 33, 143–153.
https://doi.org/10.1007/s11239-011-0667-5

Hurst, J.W., Fuster,V., Walsh, R. A., & Harrington, R. A. 2016. Hurst's the heart. New
York, McGraw-Hill Medical.

Jan, S., Lee, S.W.-L., Sawhney, J.P., Ong, T.K., Chin, C.T., Kim, H.-S., Krittayaphong,
R., Nhan, V.T., Itoh, Y., Huo, Y., 2016. Catastrophic health expenditure on acute
coronary events in Asia: a prospective study. Bull. World Health Organ. 94, 193–200.
https://doi.org/10.2471/BLT.15.158303

Lilly,L.S. 2016. Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of medical


students and faculty. Baltimore, MD, Wolters Kluwer/Lippincott Williams &Wilkins.

Morrow, D. A. 2017, Myocardial Infarction: A Companion to Braunwald’s Heart


Disease, 1st edn, Elsevier Health Sciences, pp. 1 – 87.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018, Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga, Centra Communications, Jakarta, p. 3-59.

Roffi, M., Patrono, C., Collet, J.-P., Mueller, C., Valgimigli, M., Andreotti, F., Bax, J.J.,
Borger, M.A., Brotons, C., Chew, D.P., Gencer, B., Hasenfuss, G., Kjeldsen, K.,
Lancellotti, P., Landmesser, U., Mehilli, J., Mukherjee, D., Storey, R.F., Windecker,
S., ESC Scientific Document Group, 2016. 2015 ESC Guidelines for the management
of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation: Task Force for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients
Presenting without Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). European Heart Journal 37, 267–315.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehv320

14

Anda mungkin juga menyukai