Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Kompleks

Penulis:
dr. Werry

Program Internsip Dokter Indonesia


Wahana Nusa Tenggara Timur
RSUD Bajawa
2022
LAPORAN KASUS
Kejang Demam Kompleks

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Dokter Internsip RSUD Bajawa


Dokter Pembimbing:
Dokter Pendamping
Dr. I Made Dony Hartawan

Program Internsip Dokter Indonesia


Wahana Nusa Tenggara Timur
RSUD Bajawa
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi kasus dengan judul

Kejang Demam Kompleks

telah diterima dan disetujui oleh pembimbing

sebagai syarat untuk menyelesaikan

Program Internsip Dokter Indonesia di RSUD Bajawa

Bajawa, 4 Mei 2022


Pendamping

dr. I Made Doni Hartawan


IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : An. AT
Tempat/Tanggal Lahir : Bajawa, 05 April 2020
Pekerjaan :-
Umur : 1 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan :-
Agama : Katolik
Tanggal Masuk RS Ciawi : 29 desember 2021

1. ANAMNESIS
Tanggal 29 Desember 2021 Jam 09.00 WITA. Dilakukan alloanamnesis.
Keluhan Utama : Kejang Berulang
Keluhan Tambahan : BAB cair 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


• Ibu pasien mengatakan pasien demam (suhu tidak di ukur) pada jam 01.00 dan 4 jam
kemudian mengalami kejang kurang lebih 1 menit, kejang kaku seluruh tubuh dan
mata mendelik keatas.
• Setelah 4 jam pasien kembali kejang -+ 1 menit kejang kaku seluruh tubuh dan mata
mendelik keatas. Setelah kejang pasien menangis.
• BAB cair sejak 2 hari SMRS, dengan frekuensi 2-3 kali perhari, ampas (-), darah (-),
lendir (-)
• Batuk (-)
• BAK normal, mual dan muntah disangkal, Nafsu makan baik
• Trauma disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Keluhan serupa (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat keluhan serupa

Riwayat Perinatal:
Selama ibu pasien mengandung, ibu menyangkal adanya sakit atau dirawat di RS. Ibu
mengatakan selama kehamilan tidak ada penyulit sewaktu kehamilan maupun saat proses
persalinan.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir pada tanggal 05 April 2021. Pasien lahir di Bidan secara normal (pervaginam).
Saat lahir usia cukup bulan yaitu 38 minggu. Ibu mengatakan saat lahir pasien langsung
menangis dengan kencang.

Riwayat Asupan Nutrisi


• ASI  usia 0 sampai 6 bulan.
• dilanjutkan dengan Susu formula dan makanan keluarga
• Pasien memiliki nafsu makan yang baik.
• Pasien memiliki nafsu makan yang baik.

Riwayat Imunisasi:
Pasien tidak melakukan imunisasi dasar
Usia 0 bulan : HBO (+)
Usia 1 bulan : BCG, Polio 0 (+)
Usia 2 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 1 (+)
Usia 3 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 2 (+)
Usia 4 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 3 (+)
Usia 9 bulan : campak (+)
Kesimpulan : Riwayat imunisasi lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang:


• Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya.

Status Gizi:
BB: 10,7 Kg ; PB: 85 cm
Berdasarkan kurva WHO untuk anak perempuan usia 0-2 tahun
BB/PB : Status Gizi normal

2. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 29 desember 2021 Jam 09.00 WIB pemeriksaan di IGD


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E 4 V5 M6)
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 90x/menit, Regular, Isi Cukup
Frekuensi Napas : 24 x/menit, Regular,
Saturasi Oksigen : 99%
Suhu Tubuh : 38o C
Data Antropometri : BB: 10,7 kg; PB: 85 cm
Berdasarkan kurva WHO untuk anak perempuan usia 0-2 tahun
BB/PB : Status Gizi normal
Pemeriksaan Sistem
• Kepala
Normocephali, tidak ada deformitas, rambut hitam terdistribusi merata, rambut tidak
mudah dicabut, tidak teraba benjolan di kepala, nyeri tekan(-)
• Mata
Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung(-/-), pupil bulat isokor,
diameter 2 mm, Refleks Cahaya +/+, Kornea Jernih
• Mulut
Lidah kotor (-), lidah kering (-) dinding faring posterior hiperemis (-),
Tonsil T1-T1 tidak hiperemis
• Telinga
Normotia, liang telinga lapang +/+, sekret -/-, serumen -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri
tekan mastoid -/-, nyeri tarik aurikula-/-
 Hidung
Bentuk normal, deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), sekret -/-, darah -/-,
mukosa hiperemis -/-
• Leher
Trakea letak di tengah, tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, nyeri tekan (-). Tidak
ada pembesaran KGB submandibula, cervical, supra-infraclavicula, nyeri tekan (-)
• Thoraks
Paru :I: Bentuk dada normal, pergerakan dada simetris
Retraksi dinding dada suprasternal (-), interkostal (-)
P: Stem fremitus kanan-kiri depan-belakang sama kuat
Tidak teraba benjolan
P: Sonor, batas paru hepar di ICS V MCL dextra
A: Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki(-/-), Wheezing(-/-)
Jantung : I: Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
P: Batas jantung tidak melebar
Redup, batas jantung kanan misdternum
Redup, batas jantung kiri di ICS V MCL sinistra
Redup, batas jantung atas di ICS III PSL sinistra
A: Bunyi jantung I dan II normal, Murmur (-), Gallop (-)
• Abdomen
• Inspeksi : Datar, supel
• Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit normal
• Perkusi : Timpani di 4 Kuadran
• Palpasi : Nyeri tekan (-) di Epigastrium, hepar dan limpa tidak teraba
membesar
• Ekstremitas
Akral hangat, oedem (-), CRT<2 detik
• Tulang Belakang
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), opistotonus (-), gibbus (-)
• Kulit
Petekie (-), Sianosis (-), ikterik (-)
• Status Neurologis
– Tanda rangsang meningeal negatif
– Pemeriksaan nervus kranialis I-XII dalam batas normal
– Tanda peningkatan tekanan intracranial negatif
– Pemeriksaan motorik dan sensorik dalam batas normal

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 20/10/2019

Indikator Nilai Rujukan


Hemoglobin 11.9 11 - 13 g/dL
Hematokrit 37,7 35 - 47%
Leukosit 24,6 6 -18 ribu/UL
Trombosit 310 150 – 440ribu/UL
GDS 125 80-120 mg/dL

4. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien anak laki-laki berusia 1 tahun 8 bulan yang mengalami kejang
8 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang kaku seluruh tubuh dengan mata mendelik keatas.
Setelah kejang pasien tampak sadar dan menangis. Setelah 4 jam pasien kembali kejang.
Sebelum kejang pasien mengalami demam yang tinggi sejak 9 jam sebelum masuk rumah
sakit. Kejang yang dialami pasien merupakan kejang pertama. Pasien juga BAB cair 2 hari
SMRS dengan frekuensi 2-3 sehari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi pasien baik, rangsang meningeal (-)
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan Leukosit.
5. DAFTAR MASALAH
Diagnosis kerja
 Kejang Demam kompleks
 DCA tanpa tanda dehidrasi
6. PENGKAJIAN
A. Clinical Reasoning
• Kejang demam 2x dalam 24 jam
• BAB cair 2-3x sehari

B. Diagnosis Banding
 Meningitis
 Encephalitis
 Epilepsy

C. Rencana Diagnostik
 Pemeriksaan H2TL/24 Jam
 Elektrolit

D. Rencana Terapi
• Diazepam 3mg IV bila kejang
• Diazepam pulvis 3x2mg PO
• IVFD RL 43 tpm/Makro
• Paracetamol 3x5ml jika suhu 38,5’C
• Oralit 50-100ml tiap BAB cair
• Zinc syrup 1x20mg PO

E. Rencana Evaluasi
- Evaluasi KU, tanda-tanda vital dan tanda-tanda perburukan (penurunan
kesadaran, kejang, tanda dehidrasi)
- Evaluasi hasil pemeriksaan penunjang
G. Edukasi
- Menjelaskan tentang alasan pasien dirawat
- Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang diderita dan cara
penyebarannya
- Menjelaskan kepada keluarga pasien cara pencegahan penyakit
- Menjelaskan tentang tanda bahaya yang mungkin terjadi
- Memberikan informasi mengenai komplikasi yang mungkin terjadi

7. PROGNOSIS

- Ad Vitam : Dubia ad Bonam


- Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
- Ad Functionam : Dubia ad Bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Menurut Konsensus Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(UKK Neurologi IDAI ), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan demam
kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam.1,2 Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang
bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada
masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya karena
keseimbangan elektrolit akut.3

Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal
atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam) sedangkan kejang demam
sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal,
kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.2

Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut
didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.
Klasifikasi kejang demam menurut Livingston
Livingston membagi kejang demam menjadi:
 Kejang demam sederhana
o Kejang bersifat umum
o Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun
o Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi normal
 Epilepsi yang dicetuskan oleh demam
o Kejang bersifat fokal
o Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun
o Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi setelah anak tidak demam abnormal
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama
Fukuyama membagi kejang demam menjadi:
 Kejang demam sederhana
 Kejang demam kompleks

Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang
tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.
 Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga
 Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
 Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
 Lama kejang kurang dari 20 menit
 Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)
 Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca-kejang
 Tidak ada abnormalitas neurologis atau perkembangan sebelumnya

Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus UKK Neurologi IDAI


Berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI, kejang demam diklasifikasikan menjadi:
 Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang
dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
 Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
o Kejang lama. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar.
o Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
o Kejang berulang. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.1

2. EPIDEMIOLOGI

Kejang sangat tergantung kepada umur. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak
berumur 6 bulan - 5 tahun. 20% merupakan kejang demam kompleks, sedangkan kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. 85% kejang pertama
sebelum berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang
mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8
tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi.4

3. MANIFESTASI KLINIK
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun
dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat diikuti oleh
hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa
hari.4,5

4. ETIOLOGI
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.6

Gambar 1. Etiologi Kejang Demam


(Sumber: Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012;
79(3):10-13)
Infeksi yang berakibat pada kejang demam
Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam. Peranan infeksi pada sebagian
besar kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama didasarkan atas reaksi demam
yang terjadi. Faktor lain yang mungkin berperan menyebabkan kejang demam, antara lain:
 Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
 Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
 Ensefalitis viral yang ringan yang tidak tidak diketahui atau ensefalopati toksik
sepintas
 Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit

Virus Influenza A dan B


Infeksi virus influenza A merupakan penyebab terpenting kejang demam, terutama di Asia.
Hal ini berkaitan dengan tingginya insidensi kejang demam pada infeksi virus ini
dibandingkan dengan infeksi virus saluran nafas lainnya, seperti adenovirus dan virus
parainfluenza. Pada anak dengan infeksi virus Influenza A ditemukan suhu maksimal yang
lebih tinggi, durasi demam yang lebih pendek sebelum timbulnya kejang, dan kejang fokal.

Respiratory Synctitial Virus (RSV)


Komplikasi neurologis, meliputi ensefalopati dengan hipotonus dan kejang atau ensefalopati
yang bermanifestasi dengan kejang, dilaporkan berkaitan dengan infeksi RSV. Oleh karena
itu, baik melalui proses inflamasi langsung ataupun tidak langsung, RSV memiliki efek
neurotoksik dan menyebabkan ensefalopati selama infeksi saluran nafas akut.

Enterovirus
Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin “cytokine storm”
pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi enterovirus-71. Kejang demam juga dapat
disebabkan oleh infeksi enterovirus lainnya, seperti Coxsackievirus Grup A.

Rotavirus
Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi tersering pada anak-anak
berusia 3-24 bulan. Kejang sebelum onset gastroenteritis dilaporkan terjadi pada 40% kasus.
Hilangnya cairan dan elektrolit pada diare rotavirus juga terlibat dalam patogenesis terjadinya
kejang.

Herpesvirus
Beberapa anggota keluarga herpesvirus memiliki neurotropisme dan menyebabkan gangguan
neurologis pada anak, diantaranya: virus herpes simpleks 1, virus herpes simpleks 2, varicella
zoster, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus 7.
Virus herpes simpleks 1, cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus 7
berkaitan dengan kejang demam. Berdasarkan penelitian, human herpes virus 6, dan human
herpes virus 7 berkaitan dengan kejang lama (30 menit atau lebih).

Bakteri
Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang demam. Beberapa
penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella dysenteriae (enteritis), Streptococcus
pneumoniae (infeksi saluran nafas), dan Escherichia coli (infeksi saluran kemih) berkaitan
dengan kejang demam.

Vaksinasi
Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi. Kejang demam yang
berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi. Kejang demam terutama terjadi pasca
pemberian vaksin tertentu, khususnya vaksin dengan organisme yang dilemahkan, seperti
vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) dan vaksin yang mengandung toksin atau vaksin
dengan preparat sel utuh (whole cell), seperti vaksin whole cell pertusis. Angka kejadian
pasca vaksinasi MMR adalah 25-34 per 100.000 anak, sedangkan pasca vaksinasi DTwP
adalah 6-9 kasus per 100.000 anak. Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada
anak yang mengalami kejang demam.

Genetik
Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang demam. Kejang
demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko terbesar pada keluarga tingkat
pertama (orang tua dan saudara kandung). Namun, pola turunan dari kejang demam tidak
diketahui. Sekitar 10-20% saudara kandung dari anak dengan kejang demam akan mengalami
kejang demam. Dalam penelitian pada saudara kembar dan orang tua, kejang demam dapat
diturunkan sebesar 70%. Sebagian besar penelitian mendukung pola pewarisan poligenik atau
multifaktorial. Jarang ditemukan pola pewarisan monogenik pada kejang demam.

Gambar 2. Mutasi genetik pada kejang demam7


(Sumber: Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of
Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-12.

5. FAKTOR RESIKO
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam,
usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu,
hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir
rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik,
trauma kepala).8,9
A. Demam
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8 oC aksila atau di atas 38,3oC
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada anak
disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak. Demam
merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang.8
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-
39,9°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11%
dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC.8
B. Usia
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama pascanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi
sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila
mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.8
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam
glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai
inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding
inhibisi.8
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi
sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi dan
berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.8
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila anak
mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang.8
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada anak
antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia
18 sampai dengan 24 bulan.8
C. Riwayat Keluarga
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya beresiko
sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua
orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam
hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27%
berbanding 7%.8
D. Faktor prenatal dan perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan
eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi
pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi persalinan
diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia
sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah
hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam. 8
E. Faktor pascanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis.8

6. PATOGENESIS
Kejang merupakan kondisi akibat aktivitas neuronal yang berlebihan pada otak.
Neuron (unit fungsional terkecil dari sistem saraf) memiliki sifat khusus, yaitu
eksitabilitas, merupakan kemampuan untuk menciptakan sinyal elektrik,
mengintegrasikannya, dan mentransmisikannya ke neuron lain dan efektor.
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel
dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Pada neuron, perbedaan muatan di dalam dan di luar sel merupakan perbedaan jenis dan
konsentrasi ion. konsentrasi K+ lebih tinggi di dalam daripada di luar sel, sebaliknya
konsentrasi Na+ lebih tinggi di luar daripada di dalam sel. Gradien konsentrasi K+ keluar
sel menyebabkan pergerakan pasif K+ keluar sel ketika kanal selektif K+ terbuka. Hal
sama terjadi pada Na+, yaitu ketika gradient konsentrasi Na+ keluar sel, terjadi pergerakan
pasif Na+ keluar sel ketika kanal selektif Na+ terbuka. Oleh karena lebih banyaknya kanal
K+ yang terbuka dibandingkan kanal Na+ saat istirahat, permeabilitas membran terhadap
K+ lebih besar. Perbedaan konsentrasi ini dijaga oleh pompa Na+/K+ ATPase.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu: 8
- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada
keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah
keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel
dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun
atau kepekaan sel saraf meningkat.7
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan
terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah
lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi
perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas
motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak.8
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:8
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan
oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion keluar
masuk sel.

7. DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat disingkirkan
yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan elektrolit, dan
penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis
merupakan penyebab kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada
kejang yang disertai demam yaitu 2-5%.10
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada sistem
respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50% kejadian
kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus herpes
(Human Herpes Virus 6 dan 7).10
Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu :11
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas
akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/OMA, dll)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia)
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain:11
- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasuque dan
pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil
edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab
demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis
Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan
pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau penyakit
lain yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan
dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya
dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk melihat
ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus infeksi dari
pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor, magnesium dan
glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam juga kurang memberikan arti
yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam sederhana.10
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG (elektroensefalogram).
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering
asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG
dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7
hari setelah serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai
prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau perkembangan ke arah
epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien
kejang demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang kurang bermakna.4
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali sulit
untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena
itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat
dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur >18
bulan jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke meningitis.2,4,10

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa
pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperti meningitis.5
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu
jika memenuhi kriteria sebagai berikut:2
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam

8. TATALAKSANA

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu: 4
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus dilakukan ialah
membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah
aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara
teratur, diberikan terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi. 4 Awasi keadaan vital
seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang
tinggi diturunkan dengan pemberian antipiretik. Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-
15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.2
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu
1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5 menit apabila
diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-
lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20
mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis:2,4
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering berulang dan
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu proflaksis intermiten
pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari.2 Untuk
profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam. Obat yang
diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke jaringan otak. Diazepam intermiten
memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam pada kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis:2
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.4
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital
4-5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital berupa
kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% pasien.
Efek samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.
Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam. Antikonvulsan
profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut:4
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara dan menetap
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam

9. PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian
akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang
umum.2,3
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah demam.
Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
paling besar pada tahun pertama.2,3

10. KOMPLIKASI
Pada anak dengan kejang demam simpleks, dapat meningkatkan 1% kemungkinan
untuk terjadi epilepsi di kemudian hari dan 4-6% pada anak dengan kejang demam kompleks.
Encephalopathy merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Terdapat studi yang mengatakan
bahwa kejang demam dapat menyebabkan deficit atensi/hiperaktif pada anak terutama pada
anak laki-laki. Selain itu dapat pula meningkatkan resiko Tourette syndrome.12
Anak-anak dengan kejang demam memiliki risiko lebih tinggi untuk penyakit atopik
seperti rinitis alergi dan asma. Prevalensi tinggi stres hiperglikemia telah dilaporkan pada
anak-anak dengan kejang demam.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia. Konsensus


Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI); 2006.
2. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatadja I, Handryastuti S.
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2016.
3. Jones T, Jacobsen SJ. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications. Int J
Med Sci. 2007;4(2):110–4.
4. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2000.
5. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ. 2007;334(7588):307–11.
6. Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012;
79(3):10-13
7. Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile
Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.
8. Fuadi F, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
Anak. Sari Pediatri. 2016;12(3):142–9.
9. Iva-Yuana I-Y, Bahtera T, Wijayahadi N. Korelasi Kadar Seng Serum dan Bangkitan
Kejang Demam. Sari Pediatri. 2016;12(3):150–6.
10. Shinnar S, Glauser TA. Febrile seizures. J Child Neurol. 2002;17(1):44–52.
11. Pudjiadi AH, Hegar S, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vol. 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2009.
12. Leung AK, Hon KL, Leung TN. Febrile seizures: an overview. Drugs Context.
2018;7(212536).

Anda mungkin juga menyukai