Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

“Thypoid Fever”

PEMBIMBING :
dr. Rina Wahyu Herdiana
dr. Rudi Zakky Pahlawan, Sp.A

DISUSUN OLEH :
dr. Ilham Maulana Rosyadi

INTERNSIP RSUD KERTOSONO


PERIODE 23 Mei-23 November 2023

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : An. L
Tempat, Tanggal Lahir : Nganjuk, 18-09-2010
Usia : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Baron, Nganjuk
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal MRS : 8 Agustus 2023

1.2. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesa pada tanggal 8 Agustus 2023 pada pukul 16.30
WIB di RSUD Kertosono.

● Keluhan Utama

Demam sejak tanggal 1 agustus pukul 16.00 wib.

● Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam. Tujuh hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan demam hingga
sekarang. Demam tinggi mendadak, suhu naik turun dan dirasakan
dengan suhu tertinggi saat sore menjelang malam. Demam sempat turun
setelah minum obat penurun panas namun kembali panas lagi. Pasien
juga mengeluhkan nyeri perut ulu hati , anggota gerak atas dan bawah,
mual dan muntah sebanyak 5 x tidak disertai darah, nyei kepala (+),
Batuk (-), pilek (-) dan nafsu makan menurun. BAB normal, tidak ada
lendir maupun darah. BAK tidak ada keluhan.

1
● Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.


- Riwayat menderita penyakit kejang , kejang demam , infeksi
disangkal.
- Riwayat masuk rumah sakit disangkal.

● Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga seperti yang dialami pasien, hipertensi dan


diabetes mellitus disangkal.

● Riwayat Kebiasaan

.Pasien merupakan siswa SMP dan memiliki kebiasaan makan di warung


sepulang sekolah

● Riwayat Sosio-ekonomi

Pasien tinggal dengan orangtua. Lingkungan rumahnya bersih dan baik.


Hubungan dengan tetangga maupun keluarga baik. Pasien memiliki kartu
kesehatan KIS.

 Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Ibu G3P2A0 hamil 37 minggu rutin memeriksakan kandungan ke
bidan selama kehamilan, tidak ada pesan khusus. Riwayat penyakit darah
tinggi, perdarahan dan trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum obat
lain atupun jamu saat hamil disangkal.

 Riwayat Kelahiran
2
- Penolong persalinan : Bidan
- Cara persalinan : Pervaginam normal
- Tempat kelahiran : Puskesmas
- Masa gestasi : cukup bulan 37 minggu
- Berat badan lahir : 3300 gram
- Panjang badan : ibu lupa
- Lingkar kepala : ibu lupa
- Lingkar dada : ibu lupa
- Penyulit selama persalinan : KPD(-), Lilitan Tali pusar (-)
- Kelainan bawaan : tidak ada
- Ikterik : (-)
- Sianosis : (-)
Kesan: Aterm dan BBL Normal

 Riwayat Postnatal
- Setelah 24 jam kelahiran bayi pulang
- Dirawat setelah lahir : (-)
- Sakit setelah lahir. : (-)
Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik

 Riwayat Imunisasi

No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar


1. Hepatitis B 3x 0,1,3,4 bulan
2. Polio 4x 0, 2, 3,4 bulan
3. BCG 1x 1 bulan
4. DPT 3x 2, 3, 4 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
- Berat badan lahir : 3300 gram

3
- Berat badan sekarang : 48 kg
- Panjang badan lahir :-
- Panjang badan sekarang: 150 cm
- BMI : 21.3 kg/m2
- Riwayat perkembangan sesuai dengan buka KMS.
 Kesan : Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Normal.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TB : 150 cm
BB : 48 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 116/80 mmHg
Nadi : 92x/menit, pulsasi kuat, reguler
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 38,2oC
Saturasi : 98%

Status Generalis
Kepala : Rambut distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : Ukuran normosefali, puc
at (-), lesi (-), deformitas (-), scar (-),
massa (-), edema (-), sianotik (-). Kesan : normal
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
pupil bulat, isokor, refleks pupil langsung dan tidak langsung
(+/+).
Hidung : Bentuk dan ukuran normal, deformitas (-), krepitus (-),
deviasi septum (-), hematoma septum (-), mukosa hiperemis (-),
4
benda asing (-), rhinorrhea (-), darah (-).
Telinga : Kedua telinga tampak simetris, serumen (-), hiperemis (-), liang
telinga lapang, deformitas (-), nyeri tekan (-), benda asing (-)
,nyeri tekan (-), nyeri tarik (-).
Mulut : Sianosis (-), deviasi lidah (-), atrofi lidah (-), lidah kotor (-),
mukosa mulut hiperemis (-), faring hiperemis (-),
letak uvula ditengah, tonsil T1/T1.

Leher : pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-),


pembesaran KGB leher dan supraklavikular (-),
pembesaran kelenjar parotis (-).

Thorax
Jantung :
Inspeksi→ ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi→ ictus cordis teraba pada ICS V Linea axilaris anterior Sinistra,
tidak teraba thrill.
Perkusi→ Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dextra.
Batas jantung kiri : ICS V linea axilaris anterior sinistra.
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra.
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis sinistra.
Auskultasi→ Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).

Pulmo :

Inspeksi→ Bentuk dada normal, jejas (-), luka (-), benjolan (-), memar (-),

pelebaran sela iga (-), kedua dinding dada simetris.

Palpasi→ Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-), vokal fremitus

simetris.

Perkusi→ Sonor pada kedua lapang paru.


5
Auskultasi→ Suara dasar trakea, bronkhial, bronkovesikular,vesikular (+/+),

Rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Inspeksi→ Bentuk abdomen cembung, Smiling Umbilicus (-),

Caput medusae (-), spider naevi (-). Kesan : normal

Auskultasi→ bising usus (+) 2x/menit.

Perkusi→ shifting dullness (-), undulasi (-),

ketok costovertebra (-). Kesan : normal

Palpasi→ Abdomen teraba supel, lien dan vesica velea tidak

teraba, ballottement ginjal (-),Nyeri Tekan Epigastrium


(+)

Ekstermitas : Look→ pendarahan aktif (-).


Feel→ Krepitus (-), Akral hangat di empat ekstremitas,
sianosis (-), CRT normal (<2 detik), turgor kulit baik,
pulsasi distal arteri radialis dan dorsalis pedis baik.
Move→ tidak dilakukan aktif maupun pasif.
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium

6
1.5. Resume
An.L, 12 tahun datang ke UGD RSD Kertosono dengan keluhan demam.
Tujuh hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan demam
hingga sekarang. Demam tinggi mendadak, suhu naik turun dan dirasakan
dengan suhu tertinggi saat sore menjelang malam. Demam sempat turun
setelah minum obat penurun panas namun kembali panas lagi. Pasien juga
mengeluhkan nyeri di anggota gerak atas dan bawah, mual dan muntah
sebanyak 5 x, pusing (+), Batuk (-), pilek (-) dan nafsu makan menurun. BAB
konsistensi keras, tidak ada lendir maupun darah. BAK tidak ada kelainan..
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien tekanan darah 116/80 mmHg,
nadi 90x/menit, respirasi 20x/menit, Suhu 38,2 oC, SpO2 98%. Pada
pemeriksaan fisik abdomen terdapat Nyeri tekan epigastrium. Selain itu, dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Igg/Igm anti salmonella Positif.
1.6. Diagnosis Kerja
Thypoid Fever
1.7. Diagnosis Banding
7
Demam dengue
Leprospirosis
Malaria

1.8. Tatalaksana
- Inf D5 ½ NS 1250 cc/ 24 jam
- Inf paracetamol 3x 500 mg KP
- Inj Ranitidin 2x50 mg
- Inj kloramfenikol 4x500 mg
- Inj Ondansetron 3x 4 mg

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typhus abdominalis atau typhoid fever
adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri gram negative
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmnonella enterica serover typhi
(Salmonella typhi) atau Salmonella enterica serover paratyphi (Salmonella
paratyphi) dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan
rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
60c) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinisasi. 1.5 Faktor
risiko dari demam tifoid ini yaitu konsumsi air yang terkontaminasi bakteri
salmonella typhi, mengonsumsi makanan yang kurang matang, tinggal di daerah
padat penduduk dan sanitasi yang buruk, kebersihan tangan yang kurang,
kebiasaan jajan makanan di luar rumah yang kurang bersih.

Gambar 1 Bakteri Salmonella typhi

9
2.3 Patofisiologi

Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella


paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negatif
ananerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui oral
bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian bakteri
akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian bakteri
Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya di ileum dan
jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem imun humoral mukosa (IgA) tidak
lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan menginvasi kedalam sel epitel usus
halus (terutama sel M) dan ke lamina propia. Di lamina propia bakteri akan
difagositosis oleh makrofag. Bakteri yang lolos dapat berkembang biak didalam
makrofag dan masuk ke sirkulasi darah (bakterimia I).
Bakterimia I dianggap sebagai masa inkubasi yang dapat terjadi selama 7-
14 hari Bakteri Salmonella juga dapat menginvasi bagian usus yang bernama plak
payer. Setelah menginvasi plak payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke
dalam folikel limfoid intestin dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri
melewati sistem retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga
melewati organ hati dan limpa. Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag
yang selanjutnya berkembang biak di sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan
masuk ke sirkulasi darah untuk kedua kalinya (bakterimia II).
Saat bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat makrofag
memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan mediator inflamasi salah satunya
adalah sitokin. Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan munculnya demam,
malaise, myalgia, sakit kepala, dan gejala toksemia. Plak payer dapat mengalami
hyperplasia pada minggu pertama dan dapat terus berlanjut hingga terjadi nekrosis
di minggu kedua. Lama kelamaan dapat timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat
terbentuk ulkus diminggu ketiga. Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan
perdarahan dan perforasi. Hal ini merupakan salah satu komplikasi yang cukup
berbahaya dari demam tifoid.

10
2.4 Diagnosis

Anamnesis
Orang dengan tifoid umumnya datang dengan demam non-spesifik yang
makin parah setelah beberapa hari dan tidak ada perbaikan gejala dengan
pengobatan suportif. Perlu dipastikan juga mengenai riwayat mengonsumsi
makanan dan minuman yang kurang higienis serta paparan terhadap
lingkungan dengan sanitasi yang buruk.
Gejala dapat bervariasi antar individu satu dengan individu
lainnya, dari ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran klinis
yang khas.
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pada awal
sakit, demamnya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering
naik turun. Pada pagi suhu rendah atau normal, sore dan malam
suhu badan tinggi , dan dari hari ke hari demam makin tinggi
yang disetai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-
pusing) yang sering dirasakan nyeri kepala frontal, nyeri otot,
pegal- pegal, insomnia, mual dan muntah, pada minggu kedua
demam makin tinggi, kadang terus menerus, pasien membaik
maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan
dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.
b. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang terlalu lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah, lidah
kelihatan kotor dan di tutupi selaput putih ujung lidah dan lidah
kemerahan.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan penurunan kesadaran yaitu
kesadaran ringan seperti kesadaran berkabut (tifoid).
d. Hepatosplenomegali

11
Hati dan limpa, ditemukan sering membesar. Demam ini bisa di
ikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, atau batuk pada
keadaan yang parah bisa di sertai gangguan kesadaraan.
Komplikasi yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan
usus ,dan koma. Gejala demam tifoid mengakibatkan tiga
kelainan yaitu, demam berkepanjangan, gangguan sistem
pencernaan, gangguan kesadaran .12
Pemeriksaan Fisik
a. Pada minggu pertama sakit, tanda klinis tifod masih belum khas,
mungkin hanya didapatkan suhu badan meningkat.
b. Pada minggu kedua, tanda klinis menjadi lebih jelas berupa:
1 Distensi abdomen
2 Rose spot berupa bercak-bercak makulopapul berukuran 1-4
cm, dengan jumlah tidak lebih dari 5, umumnya menghilang
dalam 2-5 hari
3 Lidah tampak kotor yang khas ditengah dan tepi, sedang
ujungnya merah dan tremor
4 Teraba bradikardi relatif dan dicrotic pulse (denyut ganda,
dimana denyut kedua lebih lemah dari denyut pertama)
5 Splenomegali
6 Hepatomegali
c. Sedangkan pada minggu ketiga biasanya ditemukan :
1. Berat badan menurun selama sakit
2. Tampak konjungtiva terinfeksi
3. Abdomen lebih membuncit
4. Penurunan kesadaran ke dalam typhoid state, yaitu apatis,
somnolen, stupor, confusion, dan bahkan psikosis
5. Penderita tampak takipneu, dengan denyut nadi teraba
kecil dan lemah
6. Terdengar krepitasi pada dasar paru

12
Apabila terjadi komplikasi, akan didapatkan melena, nyeri perut,
simptom neuropsikiatrik, ataupun penurunan kesadaran seperti delirium,
kurang waspada, stupor, koma, bahkan syok. 12
2.5 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Darah Perifer

Pada pasien demam tifoid, dapat ditemukan berbagai gambaran


dari pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukopenia, leukosit
normal, atau leukositosis, aneosinofilia dan limfopenia, juga
anemia ringan dan trombositopenia. Laju endap darah meningkat. 17.
B. Uji Widal
Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagella (F) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Deteksi titer antibodi
terhadap S. tiphy, S. paratiphy yakni aglutinin O (dari tubuh bakteri) dan
aglutinin H (flagella bakteri). Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada
akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu keempat dan tetap
tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan aglutinin O terlebih
dahulu baru diikuti aglutinin H. Titer antibodi O > 1/320 atau antibodi H >
1/640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang khas.
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen bakteri Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid, yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh bakteri), b) Aglutinin H
(flagella bakteri), dan c) Aglutinin Vi (simpai bakteri). Dari ketiga
aglutinin tersebut, hanya aglutnin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam Tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar terinfesi

13
bakteri ini. Pembentukan aglutinin ini mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut, mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-
6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Oleh karena itu, uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji widal, yaitu:
1) Pengobatan dini dengan antibiotik,
2) gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,
3) waktu pengambilan darah,
4) daerah endemik dan nonendemik,
5) riwayat vaksinasi,
6) rekasi anannestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi deman tifoid masa lalu
atau vaksinasi,
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Tes pemeriksaan widal memiliki sensitivitas 53% dan spesifisitas
83% Hanya dapat negatif sampai 30% dari kasus demam tifoid dengan
kultur. Hal ini mungkin disebabkan penggunaan antibiotika yang
mempengaruhi respon antibodi. Selain itu, serotipe salmonella lain juga
memiliki antigen O dan H, dan dapat mengalami cross-reactive epitop
dengan enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu
17
.

14
Gambar 3 Pemeriksaan Widal14
C. Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi

antibodi anti Salmonella tiphy 09. Hasil psotif menunjukkan infeksi

salmonella serogroup D dan tidak spesifik S. tiphy. Infeksi S. paratiphy

menunjukkan hasil negatif. Sensitivitas 75- 80% dan spesifitas 75-90 %.

Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, yang dapat digunakan

secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, khususnya di negara

berekembang.

Tes Anti S. tiphy IgM merupakan tes aglutinasi kompetitif semi

kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan

menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan resolusi dan

sensitifitas. Spesifitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen yang

spesifik ditemukan pada Salmonella serogroup D dan tidak ditemukan

pada organisme lain.

Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya

mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit hasil positif pada tes anti S. typhy IgM

menunjukkan terjadinya infeksi salmonella, sedangkan infeksi yang


15
disebabkan oleh serotipe lain seperti S. paratiphy A, akan memberikan

hasil negatif 17.

Gambar 4. Skema dari langkah kerja uji tubex 16

Gambar 3 Pemeriksaan Tubex

Tabel 1: Interpretasi hasil uji tubex 16


Skor Nilai Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa
hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

D. Uji Typhidot

Uji Typhidot dimaksudkan untuk mendeteksi IgM dan IgG pada

protein membran luar (outer Membran Protein) Salmonella tiphy. Hasil

positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM

dan IgG terhadap S. tiphy. Sensitifitas 98%, spesifitas 76,6%. Hasil

positif dapat ditemukan 2 -3 hari setelah infeksi. IgG dapat


16
bertahan hingga 2 tahun dan deteksi IgG tidak dapat membedakan

infeksi akut dan konvalesen. Uji typhidot-M hanya mendeteksi antibodi

IgM sehingga lebih spesifik

E. UJI IgM Dipstick

Uji IgM dipstik merupakan uji untuk mendeteksi secara khusus

IgM spesifik menggunakan strip yang mengandung antigen

lipopolisakarida Salmonella tiphy dan anti IgM sebagai kontrol. Uji

serologis dengan pemeriksaan dipstik dapat mendeteksi antibodi IgM

spesifik terhadap antigen LPS Salmonella tiphy ini dilakukan dengan

menggunakan membran nitrosellulosa yang mengandung antigen

Salmonella tiphy sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan

komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik

dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap. Antibodi yang spesifik umumnya hanya

terlihat pada minggu pertama demam.

17
Gambar 3 Pemeriksaan Uji Dipstik

Uji IgM Dipstick mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.


typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yag mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan
campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah
inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi
kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannnya
dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik. Sensetivitas 65-
77% dan spesivitas 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah muncul gejala 17.
F. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard dalam
menegakkan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan kultur memiliki tingkat
spesifisitas 100%. Pemeriksaan kultur Salmonella typhi dari darah dan feses pada
minggu pertama infeksi memiliki tingkat sensitivitas sebesar 85-90% dan
kemudian menurun sekitar 20-30% seiring berjalannya waktu. Selain dari darah
dan feses, pemeriksaan kultur juga dapat dilakukan dengan menggunakan sampel
urin dan cairan aspirasi sumsum tulang belakang yang dapat dilakukan di minggu
ke 2-3.
Pemeriksaan kultur dari sampel urin umumnya kurang sensitif (25 – 30%).
Sedangkan pemeriksaan kultur dari sampel cairan aspirasi sumsum tulang
belakang memiliki sensitivitas 90% sampai pasien mendapatkan terapi antibiotik
selama 5 hari. Namun, tindakan aspirasi sumsum tulang belakang dapat
menyebakan nyeri, sehingga harus dipertimbangkan manfaat dan risikonya bila
ingin melakukan pemeriksaan ini.
2.7 Diagnosis Banding

1. Demam berdarah dengue

18
Demam dengue Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari,
disertai keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering
muntah, uji torniquet positif, penurunan jumlah trombosit dan
peninggian hemoglobin dan hematokrit 15 pada demam berdarah
dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, igM atau IgG anti
dengue positif.
2. Malaria
Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium menimbulkan gejala
demam, sakit kepala, lemas, nyeri otot, sakit pada bagian perut,
menggigil ,bibir dan jari pucat kebiruan (sianotik) mual dan muntah .
Pemeriksaan fisik konjungtiva atau telapak tangan pucat,
Pembesaran limpa (splenomegali), dan pembesaran hati
(hepatomegali). Pemeriksaan mikroskopis menemukan parasit
plasmodium pada sedian darah penderita
3. Leptospirosis
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah,
conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan
nyeri betis yang menyolok. Pemeriksaan serologi Microscopic
Agglutination Test (MAT) atau tes Leptodipstik positif.

2.8 Tatalaksana
Pada penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk

dirawat di rumah sakit agar pengobatan lebih optimal, proses

penyembuhan lebih cepat, observasi penyakit lebih mudah,

meminimalisasi komplikasi dan menghindari penularan.

1. Terapi Non-Farmakologis

A. TIRAH BARING
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk

mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat,

19
penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi

tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah

komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka

dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

penderita.

B. NUTRISI

Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderíta sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan

parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada

komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah

selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk

penderita tifoid , biasanya diklasifikasikan atas : diet cair , bubur lunak, tim dan

nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat

atau tim (diet padat dini).

2. Farmakologi
Anti mikroba
a. Kebijakan dasar pemberian anti mikroba
Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah
dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun
suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau
20
sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan bakteri Salmonella
(biakan gaal), kecuali fasilitas biakan ini betul-betul tidak ada dan tidak bisa
dilaksanakan. Anti mikroba yang dipilih harus mempertimbangkan :
- Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid.
- Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
- Berspektrum sempit.
- Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil.
- Efek samping yang minimal.
- Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.
b. Pilihan anti mikroba untuk demam tifoid

Anti mikroba (antibiotika) yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang

telah dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan dan

dipilih dari hasil uji kepekaan.

Tabel 2 : Anti mikroba untuk penderita tifoid

Antibiotika Dosis Kelebihan dan Keuntugan

Kloramfenikol Dewasa: 4x500 mg (2gr)selama 14 Murah dan dapat diberi peroral


hari dan
Anak :50-100mg/kg BB/hari r max 2 sensitivitas masih tinggi
gr selama 10-14 hr dibagi 4 dosis Pemberian PO/IV Tidak
diberikan bila lekosit <
2000/mm3
Seftriakson Dewasa: (2-4) gr/hr Selama 3-5 hari Cepat menurunkan suhu, lama
Pemberian IV Anak: 80 mg/Kg pemberian pendek can dapat
BB/hr Dosis dosis tunggal serta cukup aman
tunggal selama 5 hari untuk anak.
Ampisilin Dewasa : (3-4) gr/hr selama 14 hari Aman untuk penderita
dan Anak :100 mg/Kg BB/hr Selama hamil. Sering dikombinasi
amoksisilin 10 hari dengan khloramfenikol
pada pasien kritis Tidak
mahal
Pemberian PO/IV
kotrimoksasol Dewasa : 2x (160-800) selama Tidak
21
14 hari mahal
Anak: TMP 6-10 mg/Kg BB/hr Pemberian
atau SMX 30-50 mg/Kg/hr peroral
Selama 10 hari
Quinolone Siprofloksasin 2x 500 mg selama 1 Pefloksasin dan fleroksasin
minggu Ofloksasin 2 x ( 200-400) lebih cepat menurunkan suhu
selama 1 minggu Efektif mencegah relaps dan
Pefloksasin : 1 x 400 selama 1 karier Pemberian peroral Anak
minggu : tidak dianjurkan karena efek
Fleroksasin : 1 x 400 selama 1 samping pada pertumbuhan
minggu tulang
Cefixime Anak : 15-20 mg/Kg BB/hari Aman untuk anak
dibagi 2 dosis selama 10 hari Efektif pemberian peroral

Di daerah endemik, 60 sampai 90% kasus demam tifoid dapat ditangani dengan
pemberian antibiotik dan istirahat di rumah. Pada awalnya, antibiotik
kloramfenikol merupakan pilihan terapi utama demam tifoid. Namun pada tahun
1990an, terjadi resistensi bakteri Salmonella typhi terhadap antibiotik
kloramfenikol. Saat ini, antibiotik golongan fluoroquinolon dianggap merupakan
pilihan utama dalam mengatasi demam tifoid. Pada sebuah studi, ditemukan
bahwa antibiotik golongan fluoroquinolon memiliki lama waktu terapi yang relatif
pendek (3 – 7 hari) dan memiliki tingkat kesembuhan sebesar 96%. Antibiotik
golongan fluoroquinolon menunjukkan lebih cepat dan lebih efektif menurunkan
jumlah bakteri Salmonella typhi di feses bila dibandingkan terapi lini pertama
seperti kloramfenikol dan trimetoprim-sulfametoksazol. Selain antibiotika
golongan fluoroquinolon, antibiotika golongan cefalosporin generasi ketiga
(ceftriakson, cefiksim dan cefoperazon) dan azitromisin juga terbukti efektif
dalam mengatasi demam tifoid. Pada sebuah studi ditemukan pemberian antibiotik
ceftriakson dan cefiksim dapat menurunkan gejala demam dalam waktu 1 minggu
pengobatan. Antibiotik kloramfenikol, amoksisilin dan trimetoprim
sulfametoksazol masih bisa diberikan pada daerah yang tidak memiliki resistensi
terhadap obat ini atau bila obat antibiotik golongan fluoroquinolon tidak dapat
ditemukan.

22
2.9 Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan demam tifoid tergantung pada seberapa


cepat diagnosis dibuat dan pemberian antibiotik. Tingkat kematian rata-rata
kurang dari 1% di seluruh dunia, tetapi itu bervariasi tergantung wilayah. Tingkat
kematian paling tinggi di antara yang sangat muda (kurang dari 1 tahun) dan yang
sangat tua. Sekitar 1% sampai 5% pasien akan menjadi pembawa kronis
Salmonella enterica serotype typhi meskipun terapi antimikroba yang memadai.

23
BAB III

PEMBAHASAN

Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang


ringan bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, (3) gangguan kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam
remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.

Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi.


Diagnosa ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis:

• Pasien demam 7 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam
turun pagi harinya.

• Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual-muntah dan nyeri


perut

• Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya

Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :

• Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang sedang,
tanpa gangguan kesadaran

• Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya

• nyeri tekan epigastrium (+)

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid


dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid
melalui biakan kuman dari spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin,
tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S. Tyhpi Diagnosis
demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun
identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah positif pada 40-60%
kasus yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan biakan feses atau urin
akan positif setelah minggu pertama. Biakan dari sumsum tulang akan positif pada
penyakit stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan
24
darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam typhoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
bergantung pada beberapa faktor, antara lain (1) jumlah darah yang diambil, (2)
perbandingan volume darah dan media empedu, (3) waktu pengambilan darah.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah karena membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasilnya dan pemeriksaan melacak
DNA tidak dilakukan karena biaya yang mahal dan fasilitas rumah sakit yang
terbatas.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan antibodi anti salmonelle typhi igG
dan IgM dan didapatkan hasil positif pada anti salmonelle typhi igG dan IgM.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini
dengan perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna
dengan kalori dan protein yang cukup dan rendah serat. Pemberiaan obatobatan
diberikan antibiotik kloramfenikol sebesar 500 mg perkali pemberian 4 x sehari
sebagai pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), anti
muntah (ondansetron) sebagai pengobatan simptomatis. Untuk memastikan
diagnosa dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kultur darah atau urin atau
feses. Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak
ada keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk
istirahat dan mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik
sampai 5 hari bebas demam.

25
BAB IV

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang


disebabkan oleh salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas
berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri salmonella
typhi, gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian,tatalaksana pada penyakit ini pun terdiri dari non-farmakologi
dan farmakologi dimana prognosis pada pasien yang menderita demam tifoid
tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau
tidaknya komplikasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrashekar A, Sodhi K, Dalal S.S. Study of clinical and laboratory profile


of enteric fever in pediatric age group. International Journal of Basic and
Applied Medical Sciences. 2016;3(3):16-23
2. Raj C. Clinical profile and antibiotic sensitivity pattern of typhoid fever in
patients admitted to pediatric ward in a rural teaching hospital. Inte Jour of
Medi Res & Health Sci. 2014;3(2):245-8.
3. Handayani. 2017. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Penyakit Demam Tifoid
di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Dr.Soekardjo Tasikmalaya. Jurnal Stikes
PHI, 4(12).
4. Batubuaya, D., Ratag, B, T., Wariki, W. 2017. Hubungan Higiene Perorangan
dan Aspek Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Demam Tifoid di Rumah
Sakit Tk.III
Mongisidi Manado. Jurnal Media Kesehatan, 9(3): 1-8.
5. Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab
Demam Tifoid terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran,
6(1).
6. Raj C. Clinical profile and antibiotic sensitivity pattern of typhoid fever in
patients admitted to pediatric ward in a rural teaching hospital. Inte Jour of
Medi Res & Health Sci. 2014;3(2):245-8.
7. Anggit A. P. Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Kejadian Demam
Tifoid HIGEIA 2 (4) (2018)
8. Date, K. A., Bentsi-Enchill, A., Fox, K. K., Abeysinghe, N., Mintz, E. D.,
Khan,M. I., Sahastrabuddhe, S., Hyde, T. B., 2014. Typhoid Fever
Surveillance and Vaccine Use South-East Asia and Western Pacific Regions,
2009 - 2013. morbidity and mortality week report, Vol 63(2), pp. 855-860.
9. Ahmad, S., Banu, F., Kanodia, P., Bora, R., Ranhotra, A., 2016. Evaluation Of
Clinical and Laboratory Profile of Typhoid Fever in Nepalese Children –
AHospital- Based Study. International Journal of Medical Pediatrics and
Oncology, Vol 2(2), pp. 60-66.

27
10. Bhandari, J., Thada, P. K., & DeVos, E. (2020). Typhoid Fever.

11. Cita, Y. P. (n.d.). Jakarta timur: 2017.


12. Dinaca, S. (2018). Gambaran hasil pemeriksaan widal metode .
13. JATMIKO, R. A. (2017). Uji aktivitas antibakteri ekstrak pangium edule
terhadap baketri salmonella typhii, 25.
14. Murzalina, C. (2019). Pemeriksaan Laboratorium Untuk Penunjang
Diagnostik Demam Tifoid.
15. Pratama, O., Nurjanah, D., & Ph, D. (2019). Diagnosa Gejala Penyakit
Demam Berdarah dan Malaria Berbasis Ontologi. E-Proceeding of
Engineering, 6(2), 8819– 8829.
16. Endayani, H., Satul, A., Abdul, I., & Suratno. (2019). Profil penggunaan
antibiotik pada pasien demam tifoid di rumah sakit umum daerah provinsi ntb
periode mei – juni 2019. Program Studi Diii Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatanuniversitas Muhammadiyah Mataram, 1(1), 41–57.
17. Martha Ardiaria. (2019). JNH (Journal od Nutrition and Health).
Epidemiologi, Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid, 7(2),
1.
18. Rahmasari, V., & Lestari, K. (2018). Review: Manajemen Terapi Demam
Tifoid: Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis. Farmaka, 16(1),
184–195.

28

Anda mungkin juga menyukai