Disusun Oleh:
dr. Ananda Chaerunnisa P.
Dokter Pendamping:
dr. Aprizal, MARS
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2
BAB II. STATUS PASIEN......................................................................................3
I. Identitas Pasien.............................................................................................3
II. Anamnesis.....................................................................................................3
III. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................4
IV. Pemeriksaan Penunjang................................................................................5
V. Resume..........................................................................................................6
VI. Diagnosis.......................................................................................................6
VII. Tatalaksana................................................................................................6
VIII. Prognosis...................................................................................................6
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan..................................................................................................7
II. Gambar Klinis Umum...................................................................................9
III. Tatacara Diagnosis......................................................................................12
IV. Pertolongan Pertama pada Gigitan Ular.....................................................15
V Terapi di Rumah Sakit................................................................................16
BAB IV. DISKUSI...............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit akibat gigital ular atau “snake bite” merupakan kejadian yang
cukup sering ditemukan pada lingkungan tertentu dan biasanya berhubungan
dengan pekerjaan tertentu, terutama pada area pedesaan di negara-negara
berkembang.
Gigitan ular adalah cedera jaringan lokal yang disebabkan oleh gigitan
animalia jenis spesies ular, berbisa maupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan
ular tersebut dapat menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, seperti
kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular, perdarahan serius bila
melukai pembuluh darah besar, infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen
lainnya, serta peradangan lokal.
Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak
segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih
besar dari luka biasa karena toksik / racun mengakibatkan infeksi yang lebih
parah. Tidak semua ular berbisa tetapi karena hidup pasien tergantung ketepatan
diagnosa maka pada keadaan yang meragukan ambil sikap menganggap semua
gigitan ular berbisa. Pada kasus gigitan ular 11 % kemungkinan meninggal
karena racun ular bersifat Hematotoksik, Neurotoksik, dan Hitaminik (Arif
Mansyoer, 2006).
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
No. Rekam Medik 136914
Tanggal Masuk IGD : 23 Januari 2021
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri luka gigitan ular
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Cileungsi dengan keluhan nyeri
pada luka di kaki kanan setelah digigit ular +/- 3 jam SMRS saat sedang
berada di kebun. Ular berwarna hijau, kepala seperti ular tanah. Ular
tampak memiliki dua gigi panjang dan tajam di sisi atas mulut.
Kesemutan (+), bengkak (+), terasa baal di kaki kanan, mual (+), pusing
(+). Pasien dilakukan pertolongan pertama dengan cara kaki diikat
dengan kain. Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak (-), nyeri tenggorokan
(-), gangguan penghidu (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut = dinding dada
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien
tidak membesar.
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2”
2. Status Lokalis
Pada region cruris distal dextra:
L: tampak fang mark (+), edema (+)
F: teraba hangat, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)
M: ROM terbatas nyeri
Gambar 1. Foto klinis fang mark pada regio cruris distal dextra
V. RESUME
Tn.N pria usia 54 tahun dibawa ke IGD RSUD Cileungsi dengan keluhan
nyeri pada luka di kaki kanan setelah digigit ular +/- 3 jam SMRS saat sedang
berada di kebun. Ular berwarna hijau, kepala seperti ular tanah. Ular tampak
memiliki dua gigi panjang dan tajam di sisi atas mulut. Kesemutan (+),
bengkak (+), terasa baal di kaki kanan. Pasien dilakukan pertolongan pertama
dengan cara kaki diikat dengan kain.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan fang mark (+) di regio cruris distal dextra,
edema (+), teraba hangat, nyeri tekan (+), ROM terbatas nyeri.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan anemia 12.3 g/dL,
trombosit masih dalam batas normal
VI. DIAGNOSIS
Snake Bite Grade II
VII. TATALAKSANA
- IVFD SABU 2 amp + D5% 500cc / 8 jam
- Injeksi Ketorolac 30 mg IV
- Injeksi Omeprazole 40 mg IV
- Injeksi Tetagam 250 mg IM
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr iv
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering
dijumpai di Unit Gawat Darurat.1-3,8 Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan
ular di Indonesia per tahun.6,7 Sebagai perbandingan, antara tahun 1999 sampai
tahun 2001terdapat 19.335 kedatangan ke rumah sakit di Malaysia karena bisa
gigitan binatang. Sebagian besar diantaranya disebabkan oleh gigitan ular.5 Tidak
semua gigitan ular berbisa.3,7 Terdapat sekitar 40 spesies dari ular berbisa yang
terbagi dalam dua famili:2,3,8,9
1. Elapidae; bertubuh pendek, gigi taring depan yang kuat. Termasuk dalam
spesies ini adalah ular kobra, ular karang dan ular laut.
Bisa ular terdiri dari lebih 20 bahan berbeda terutama protein, termasuk
enzim dan toksin polypeptide. Enzim prokoagulan menyebabkan koagulopati
konsumsi. Haemorrhagin (zinc metalloproteinase) yang merusak lapisan endotel
pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan sistemik. Sitolitik atau nekrotik
toksin yang mengandung hydrolase (proteolitik enzim dan phospholipase A),
toksin polypeptide dan factor lain yang meningkatkan permeabilitas yang
menyebabkan pembengkakan local. Yang juga merusak sel dan jaringan.
Hemolitik dan miolitik phospholipase A2, enzim yang merusak membrane sel ,
endotel, otot lurik, saraf dan sel darah merah. Pre sinaptik neurotoksin (biasanya
pada elapidae dan beberapa viperidae) merupakan phospholipase A2 yang
merusak nerve ending yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin. Neurotoksin
post sinaptik (terutama pada elapidae) polipeptida yang berkompetisi dengan
asetilkolin pada reseptor asetilkolin di neuromuscular junction yang
3,4
menyebabkan paralisis mirip efek curare.
II. GAMBARAN KLINIS UMUM
Gigitan ular famili Elapidae terutama Ular Kobra lazim menyebabkan nyeri,
edema lokalis, sampai nekrosis jaringan pada daerah yang digigit oleh efek bisa
ular yang masuk ke aliran darah sistemik. Klinis dapat berlanjut menjadi gejala
neurologik seperti ptosis, ophtalmoplegia, disfagi, afasia dan paralisa pernapasan
jika korban tidak mendapat tatalaksana adekuat terutama serum anti bisa ular
(SABU).1,2,6
Gambar 10. Bullae dan multiple haemoraghic bullae post Viper’s bite9
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda
envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan
pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi
lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak
terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata
yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan
menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari
tanda bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada
waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang
digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan
bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain
adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili
Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
Gambar 14. Gambaran umum gejala gigitan ular6
Satu-satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom
atau lebih dikenal istilah Serum Anti Bisa Ular (SABU). Pemberian seawal
mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini dapat diberikan jika
tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek lokal, anti venom
biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam. Indikasi pemberian anti
venom antara lain7,8,10
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguan kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri.
Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit. Jika
jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan untuk
memperkirakan jenis ular :
Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular
kobra/elapidae
Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
Jika jenis ular masih sulit diidentifikasi, pemberian Anti venom polivalen dapat
dilakukan dengan pemantauan ketat. Pedoman terapi SABU mengacu pada
Schwartz dan Way:2
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada luka di kaki kanan setelah digigit
ular +/- 3 jam SMRS saat sedang berada di kebun. Untuk mengarahkan
penatalaksanaan, sebaiknya memastikan ciri-ciri ular berbisa seperti warna, bentuk
kepala, dan taring. Lebih baik lagi jika ular yang mengigit dapat dibawa ke tenaga
kesehatan.
Ular berwarna hijau, kepala seperti ular tanah. Ular tampak memiliki dua gigi
panjang dan tajam di sisi atas mulut. Bila dilihat dari ciri-ciri tersebut ular yang
mengigit adalah famili Viperidae. Walaupun begitu, informasi tersebut masih
belum dapat memastikan bahwa pasien terpapar bisa ular. Sebagian ular tidak
berbisa dapat memiliki ciri yang sama, selain itu, ular berbisa juga dapat menggigit
tanpa mengeluarkan bisa (dry bite).
Untuk memastikan adanya paparan bisa dan menentukan derajat penyakit
harus diperhatikan adanya gejala lokal dan sistemik. Derajat berat kasus gigitan
ular berbisa umumnya dibagi menjadi 4 skala, yaitu derajat 1 = tidak ada gejala
(minor), derajat 2 = gejala lokal (moderate), derjat 3 = gejala berkembang ke
daerah regional (severe), derajat 4 = gejala sistemik (major).
Gejala sistemik yang perlu diwaspadai diantaranyaadalah gangguan
penglihatan, gejala neurologis (pusing, sakit kepala), gejala kardiovaskular
(berdebar-debar, hipotensi), gejala sistem pencernaan (mual, muntah), gejala pada
sistem pernapasan (sulit bernapas), dan gejala lain seperti demam, kelemahan otot,
serta hipersallivasi. Gejala akibat gigitan ular dapat terjadi 2-6 jam. Pada saat
datang ke RS, pasien mengeluhkan mual dan pusing.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda gigitan di kaki bawah kanan.
Didapatkan reaksi lokal seperti edema dan nyeri tekan. Saat pasien datang ke RS,
pemeriksaan fisik generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien darah rutin, GDS, LED
(tidak ada kelainan). Pada kasus gigitan ular berbisa, walaupun pada awalnya
gejala yang timbul ringan harus tetap dilakukan skrining untuk menyingkirkan
komplikasi pada sistem lain.
Berdasarkan data anamnesis yang didapatkan mengenai jenis ular dan bekas
gigitas yang terlihat pada pasien, dicurigai bahwa pasien mengalami gigitan ular
berbisa. Bila dilihat dari bentuk ular yang menggigitdan manifestasi klinis yang
timbul, yaitu bisa ular yang bersifat sitotoksik, ular yang mengigit adalah famili
Viperidae. Selain itu gejala lokal yang terjadi seperti kaki yang nyeri dan bengkak
mendukung bahwa pasien telah terpapar bisa ular. Walaupun reaksi lokal dan
sistemik yang terjadi ringan, namun karena telah terdapat bukti keterlibatan
sistemik, gigitan ular berbisa pada pasien masuk dalam derajat II (sedang) dimana
pasien membutuhkan terapi Serum Anti Bisa Ular (SABU) untuk mencegah
kerusakan jaringan lebih lanjut akibat dari toksin bisa ular yang menyebar dengan
cepat, apalagi pada pasien ini tidak dilakukan kontrol lokal (Imobilisasi
ekstremitas). Selain itu pasien juga memerlukan pemantauan ketat terhadap
terjadinya komplikasi sistemik lainnya.
Semua anti bisa ular adalah derivat serum binatang, tersering berasal dari
serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan
menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien dalam
jumlah besar dapatmenyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan tipe III.
Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-25% pasien, bahkan
dapat terjadi kematian karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi tipe lambat
dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan gejala serum sicknessseperti demam,
ruam yang difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa
hari.8 Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek samping yang
serius jarang terjadi.14 Pemberian anti bisa ular harus dilakukan di rumah sakit
yang tersedia alat-alat resusitasi.11 Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin
dapat mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%. Profilaksis
yang hanya menggunakan promethazine tidak dapat mencegah reaksi yang cepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hafid A et al. 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana bagian Gigitan
Ular. Dalam : De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC :
Jakarta. 1997. Hal. 99-100
9. Warrell DA. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,
Thailand. Bangkok. 1999.
10. Warrell DA. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes.
BMJ 2005; 331:1244-1247 [accessed 20 March 2018]. available from
http://doi:10.1136/bmj.331.7527.1244.
11. Wangoda R. Watmon B. Kisige M. Snakebite Management : Experience
From Gulu Regional Hospital Uganda. 2002.