DISPEPSIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara
Oleh :
2006112021
Preseptor :
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
“Dispepsia“. Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam
Sp.KKLP dan dr. Elviana Saragih selaku preseptor dan preseptor lapangan
Masyarakat dan atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
i
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL...................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 4 PEMBAHASAN.........................................................................................1
BAB 5 KESIMPULAN..........................................................................................1
iii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................1
DAFTAR TABEL
v
BAB 1
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa. Keluhan yang dirasakan tiap seseorang berbeda-beda sesuai
dengan gejala-gejalanya. Banyaknya penyebab dari gejala dispepsia dibagi
menjadi dua kelompok yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (1). Di
dalam masyarakat penyakit dispepsia sering disamakan dengan penyakit maag,
dikarenakan terdapat kesamaan gejala antara keduanya. Hal ini sebenarnya kurang
tepat, karena kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang berarti lambung,
sedangkan kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
yaitu “dys” yang berarti buruk dan “peptei “ yang berarti pencernaan. Jadi
dispepsia berarti pencernaan yang buruk (2).
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan
tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian
di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia
adalah dispepsia fungsional (3). Secara global, angka kejadian dispepsia
prevalensinya mencapai 21%. Prevalensi ini meningkat jika dispesia
didefinisikan luas menggunakan kriteria Roma III, sehingga menjadi 29% (4).
Kasus dispepsia di kota-kota besar di Indonesia cukup tinggi. Dari data terakhir
oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2015, angka kejadian dispepsia di Surabaya
31,2 %, Denpasar 46 %, Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5 %,
Pontianak 31,2 %, Medan 9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 % (5).
Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan
masih menjadi salah satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan,
termasuk dispepsia. Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang
1
cenderung mudah terbawa arus umumnya menjadi masalah yang timbul pada
masyarakat.
2
2
LAPORAN KASUS
Umur : 56 tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
lemas
Os datang ke UGD PKM Tanah Luas dengan keluhan mual dan muntah yang
dirasakan sejak 1 hari yang lalu dengan frekuensi muntah >5 kali dalam
sehari diikuti nyeri pada ulu hati sehingga tidak dapat melakukan aktivitas,
dengan intensitas nyeri 5 dari 10. Keluhan ini dirasakan tiba-tiba beberapa
saat setelah makan pukul 15.00 wib sehabis pulang bekerja dagang keliling.
3
mengurangi gejala namun, tidak membaik. Beberapa waktu kemudian os
4
5
tahun terakhir)
Pasien Tn. Abdullah berumur 56 tahun tinggal bersama ibu mertua, istri
Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72 kali/menit, irama teratur
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36.5 oC
TB : 162 cm
BB : 66 kg
Status Generalis
o Kepala
Bentuk : Normal
Rambut : Hitam dan lurus
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sclera ikterik (-/-), reflex cahaya langsung
(+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Simetris, nyeri (-/-)
Leher
Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri,
retraksi (-), bentuk dada normal
Palpasi : Fremitus raba simetris
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Upaya promotif
Edukasi pasien dan keluarga meliputi menjaga pola makan yang baik dan
seimbang, mengurangi cemas berlebihan.
2.7.2 Upaya preventif
1. Menjaga pola makan dengan mengurangi konsumsi makanan pedas, asam
dan perlunya frekuensi makan 3 kali dalam sehari, sehingga sindrom
dyspepsia dapat dihindari.
2. Menjaga fikiran agar tidak stress berlebihan.
2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
2.9 Anjuran
1. Menganjurkan pasien tetap mengonsumsi makan-makanan yang bergizi
seimbang.
2. Mematuhi anjuran dokter untuk masalah yang berkaitan dengan penyakit
pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Dispepsia
3.1.1 Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa (3). Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas
harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala
enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan (1).
3.1.2 Anatomi fisiologi lambung
Anatomi makroskopik lambung diperlihatkan dalam gambar di bawah ini.
Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar. Di daerah pilorus dan kardia,
kelenjar mensekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar
mengandung sel parietal (oksintik) yang mensekresikan asam hidroklorida dan
faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel peptik) yang mensekresikan
pepsinogen (8).
Sel-sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung
setiap hari. Cairan lambung ini mengandung bermacam-macam zat, diantaranya
adalah HCl dan pepsinogen. HCl yang disekresikan oleh kelenjar di korpus
lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencemaan
protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencema protein, serta
merangsang aliran empedu dan cairan pankreas. Asam ini cukup pekat untuk
dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa
lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung juga
mengandung mukus (8).
13
14
3.1.3 Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-
negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional (3).
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan
44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan
ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus. Di Indonesia, data prevalensi infeksi
Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien
dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode diagnostik
(pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada
pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit
pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%.
Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun
2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta
prevalensi terendah di Jakarta (8%) (1).
3.1.4 Etiologi dan faktor risiko
Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak teratur sehingga memicu
timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu.
Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam
kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi
16
1. Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah dispepsia yang teiah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya misalnya adanya tukak di lambung, usus dua belas
jari, radang pankreas, radang empedu, dan lainlain. Dispepsia organik jarang
ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun
(11).
19
2. Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang
tidak ada keiainan organik tetapi merupakan keiainan fungsi dari saluran makanan
(11).
Dispepsia dismotilitas umumnya teijadi gangguan motilitas, di antaranya
waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenai. Penderita dengan dispepsia
fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu terhadap
kenaikan asam lambung (11).
Kelainan psikis, stres, faktor lingkungan juga dapat menimbuikan dispepsia
fungsional. Hal ini berhubungan dengan fungsi saluran cema yang ada
pengamhnya dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal
secara langsung, tetapi kemungkinannya efek dari antral gastrin dan rangsangan
lain dari sel parietal. Asam lambung banyak mengandung HCl dan pepsin yang
akan terbentuk hanya dengan melihat, mencium bau atau membayangkan suatu
makanan. Hal ini terjadi secara reflektoris oleh karena pengamh nervus vagus
(11).
3.1.6 Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacter pylori
(Hp) dan obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain
gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas
viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah
genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal
sebelumnya. Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas
dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang
dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik
lambung (khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum,
hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan
lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah), infeksi
20
Gambar 2 Representasi skema dari berbagai faktor yang mungkin terlibat dalam
dispepsia fungsional
3.1.6.1 Perlambatan pengosongan lambung
Secara sederhana, perlambatan pengosongan lambung dianggap menjadi
salah satu faktor utama dalam patofisiologi dispepsia fisiologis dengan keluhan
seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati. Beberapa penelitian melaporkan
prevalensi perlambatan pengosongan lambung 20%-50% menimbulkan gejala
dispepsia. Secara keseluruhan, pengosongan lambung dari makanan padat adalah
1,5 kali lebih lambat dari subyek kontrol. Selain perlambatan pengosongan
lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi
lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster (4).
3.1.6.2 Gastric accommodation
Akomodasi lambung dimediasi oleh refleks vasovagal yang dipengaruhi
oleh makanan yang masuk dan dihasilkan melalui aktivasi saraf nitrergik yang
merelaksasikan fundus dan corpus lambung. Disfungsi persarafan vagal diduga
berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional.
21
Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbuikan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang (11)(4).
3.1.6.3 Hipersensitivitas visceral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung
bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia
(1). Hipersensitivitas terhadap distensi lambung telah didokumentasikan pada
34% pasien FD dan terkait dengan nyeri epigastrium postprandial, sendawa, dan
penurunan berat badan (4).
3.1.6.4 Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya terdapat peningkatan
sekresi asam lambung. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbuikan rasa tidak enak di perut. Peningkatan
sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak teratur.
Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi
dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu
yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi
dinding mukosa pada lambung (4).
3.1.6.5 Sensitivitas terhadap lipid
Gejala dispepsia biasanya muncul setelah makan-makanan berlemak,
dalam penelitian dengan memasukkan lipid secara intraduodenal menimbulkan
perut distensi dan memicu perasaan penuh, tidak nyaman dan mual. Hal ini
disebabkan teraktivasinya cholecystokinin akibat CCK reseptor antagonis
desloxiglumide untuk mencegah dispepsia yang diinduksi oleh lipid (4).
3.1.6.6 Faktor psikososial
Selama beberapa dekade telah ditemukan dispepsia fungsional terkait
faktor komorbid psikologis, yaitu: kecemasan dan depresi. Kecemasan dan depresi
dianggap tidak hanya berkontribusi pada pathogenesis dasar gejala pada beberapa
penderita FD, tetapi juga untuk mendorong perilaku mecari pengobatan (4).
22
3.1.7 Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia.
Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria
diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen
bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional (3).
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu
atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1) Nyeri epigastrium
2) Rasa terbakar di epigastrium
3) Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4) Rasa cepat kenyang
23
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di
daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto
polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar, atau
tampak dilatasi dari intestin terutama di jejenum yang disebut sentinal loops.
3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak
membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya keiainan
di esofagus, lambung dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan wama
mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Keiainan di esofagus yang sering ditemukan
dan perlu diperhatikan di antaranya adalah esofagitis, tukak esofagus, varises
esofagus, tumor jinak atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal
esofagus.
4. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif,
akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan
diagnosis dari suatu penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbuikan efek samping,
dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi penderita yang berat pun dapat
dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada dispepsia terutama bila ada dugaan
kearah keiainan di traktus biliaris, pankreas, keiainan tiroid, bahkan juga ada
dugaan tumor di esofagus dan lambung.
3.1.9 Penatalaksanaan
3.1.9.1 Pencegahan
1) Pencegahan primordial
Merupakan upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki
faktor risiko dispepsia, dengan memberikan penyuluhan tentang cara mengenali
dan menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia.
Sebagai contoh adalah adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan
membuat peraturan pada kotak rokok akan bahaya dari rokok tersebut terhadap
kesehatan. Untuk menghindari infeksi Helicobacter pylori dilakukan dengan cara
menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan gizi dan penyediaan air
bersih (11).
26
2) Pencegahan primer
Berperan dalam mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat
dispepsia pada orang yang sudah mempunyai faktor risiko dengan cara membatasi
atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti makan tidak teratur,
merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas,
asam. Obat-obatan penghilang nyeri dari golongan NSAIDs dapat diganti dengan
obat-obatan yang tidak mengandung NSAIDs. Berat badan perlu dikontrol agar
tetap ideal, karena gangguan di saluran pencemaan seperti rasa nyeri di lambung,
kembung dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas.
Rajin olahraga dan mampu memanajeman stres juga akan menurunkan risiko
terjadinya dispepsia (11).
3) Pencegahan sekunder
a. Diet mempunyai peran yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali. Makanan harus mudah dicema, tidak
merangsang peningkatan asam lambung dan bisa menetralisir asam HCL
(4).
b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor
H2, penghambat pompa asam (proton pump inhibitor=PPI), sitoprotektif,
prokinetik dan kadang dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
anti-depresi dan cemas untuk penderita dengan keluhan yang berhubungan
dengan faktor kej iwaan seperti cemas dan depresi (4).
c. Bagi yang berpuasa, untuk mencegah kambuhnya sindrom dispepsia,
sebaiknya menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat
sahur dan berbuka untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa
sehingga keluhan yang timbul saat berpuasa, terutama saat perut sudah
kosong (6-8 jam setelah makan terakhir), dapat dikurangi. Obat anti asam
bekerja selama 12-14 jam. Obat ini dapat mengontrol asam lambung
selama penderita berpuasa. Berbeda dengan dispepsia organik, bila si
penderita berpuasa, kondisi sakit lambungnya justru semakin parah.
Penderita boleh berpuasa, setelah penyebab sakit lambungnya diobati
terlebih dahulu.
27
4) Pencegahan tersier
Penting sekali untuk para tenaga medis/psikiater untuk menelusuri
kejadian yang menimpa penderita dalam suatu sistem terapi secara terpadu.
Dengan rehabilitasi mental melalui konseling diharapkan terjadi progresifitas
penyembuhan yang baik setelah faktor stres ditangani (11).
3.1.9.2 Pengobatan
Penjelasan kepada penderita mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Diagnosis klinis dan evaluasi
bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancam dilakukan. Perlu
dijelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Latar
belakang faktor psikologis perlu dievaluasi. Penderita dinasehati untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan
yang baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia.
Golongan obat dapat dilihat pada tabel berikut (1).
Tabel 4 Golongan obat yang diterapkan pada farmakoterapi dispepsia
Golongan farmakologi Contoh obat Efek
Eradikasi Helicobacter
Obat eradikasi Aminopenicilin, pylori, perbaikan
Helicobacter pylori Makrolid, PPI dismotilitas secara tidak
langsung dan sekretolitik
Gastroprotecti on,
Garam Magnesium, menetralisir kelebihan
Menetralkan agen
garam Aluminium asam, anti inflamasi
hipotetik
Gastroprotection,
Garam bismuth
antiinflamasi hipotetik
Antiinflamasi hipotetik
Sucralfat Gastroprotection,
antiinflamasi hipotetik
Metoklopramid, Prokinetik dan
Cisapride antirefluks Antisekretori
Prokinetik
dan eradikasi
Helicobacter pylori
28
Antisekretori dan
Proton pump inhibitors Omeprazol, pantoprazol,
eradikasi Helicobacter
(PPI) lansoprazol, rabeprazol
pylori
Ranitidin, famotidin Antisekretori dan
Agen antihistamin H2
antiinflamasi
Agen antidepresif
tricyclic SSRI (Selective Antidepresi dan
Obat antidepresi
Serotonin Reuptake anxiolitik
Inhibitors)
Antidepresi dan
Anxiolitik Benzodiazepin, buspiron
anxiolitik
Gambar 4 Algoritme Tata Laksana Dispepsia di Berbagai Tingkat
Layanan Kesehatan
29
Gambar
6 Algoritme Tata Laksana Eradikasi Infeksi Hp
31
BAB 4
PEMBAHASAN
Pengetahuan yang
Sanitasi kurang Perilaku
Dispepsia
Pencegahan Primer
1. Edukasi pasien terkait dispepsia (pengertian, penyebab dan faktor resiko
untuk kambuh, manifestasi klinis, cara pengobatan yang tepat).
2. Edukasi terkait perilaku sanitasi, lifestyle, nutrisi, dan lingkungan, menjaga
kesehatan dengan memperhatikan makanan yang dikonsumsi.
3. Pemantauan terhadap perkembangan pengetahuan tentang dispepsia pada
pasien dan keluarga.
Pencegahan Sekunder
Mendapatkan pengobatan sedini mungkin secara tepat untuk mencegah
dan mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi.
Pencegahan Tersier
Rehabilitasi mental melalui konseling diharapkan terjadi progresifitas
penyembuhan yang baik setelah faktor stres ditangani.
BAB 5
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
37