Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

DISPEPSIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Ayu Permata Sari Br Tarigan, S.Ked

2006112021

Preseptor :

dr. Noviana Zara, M.KM, Sp.KKLP

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah

SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul

“Dispepsia“. Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam

menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Noviana Zara, M.KM,

Sp.KKLP dan dr. Elviana Saragih selaku preseptor dan preseptor lapangan

selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan

Masyarakat dan atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan

bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga

laporan kasus ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa

yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. v

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

BAB 2 LAPORAN KASUS ...................................................................................... 3


2.1 Identitas pasien ............................................................................................. 3
2.2 Anamnesis .................................................................................................... 3
2.3 Profil keluarga .............................................................................................. 5
2.4 Pemeriksaan fisik ......................................................................................... 8
2.5 Pemeriksaan penunjang ............................................................................. 10
2.6 Diagnosis banding dan diagnosis kerja..................................................... 10
2.7 Penatalaksanaan ......................................................................................... 10
2.7.1 Upaya promotif ................................................................................... 10
2.7.2 Upaya preventif .................................................................................. 10
2.7.3 Upaya kuratif ...................................................................................... 10
2.7.4 Upaya rehabilitatif .............................................................................. 11
2.7.5 Upaya psikososial ............................................................................... 11
2.8 Prognosis..................................................................................................... 11
2.9 Anjuran ....................................................................................................... 11
2.10 Faktor risiko lingkungan fisik dari penyakit ............................................ 11
2.11 Faktor risiko lingkungan biologis dari penyakit ...................................... 11
2.12 Faktor risiko lingkungan sosial dari penyakit .......................................... 12

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 13


3.1 Dispepsia..................................................................................................... 13
3.1.1 Definisi ................................................................................................ 13
3.1.2 Anatomi fisiologi lambung ................................................................ 13
3.1.3 Epidemiologi ....................................................................................... 15
3.1.4 Etiologi dan faktor risiko ................................................................... 15
3.1.5 Jenis dispepsia .................................................................................... 18
3.1.6 Patofisiologi ........................................................................................ 19
3.1.7 Diagnosis ............................................................................................. 22
3.1.8 Pemeriksaan penunjang ...................................................................... 24
3.1.9 Penatalaksanaan .................................................................................. 25

BAB 4 PEMBAHASAN .......................................................................................... 31


BAB 5 KESIMPULAN ........................................................................................... 35

ii
iii

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 36


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Anggota keluarga yang tinggal serumah ...................................................... 5


Tabel 2 Lingkungan tempat tinggal ........................................................................... 6
Tabel 3 Sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas) .................................................... 7
Tabel 4 Golongan obat yang diterapkan pada farmakoterapi dispepsia ................ 27

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi lambung .................................................................................... 14


Gambar 2 Representasi skema dari berbagai faktor yang mungkin terlibat dalam
dispepsia fungsional .................................................................................................. 20
Gambar 3 Alur diagnosis dispepsia .......................................................................... 23
Gambar 4 Algoritme Tata Laksana Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan
Kesehatan ................................................................................................................... 28
Gambar 5 Algoritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional ..................................... 29
Gambar 6 Algoritme Tata Laksana Eradikasi Infeksi Hp...................................... 30
Gambar 7 Analisis penyebab penyakit (Fishbone) ................................................. 32

v
BAB 1

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa. Keluhan yang dirasakan tiap seseorang berbeda-beda sesuai
dengan gejala-gejalanya. Banyaknya penyebab dari gejala dispepsia dibagi menjadi
dua kelompok yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (1). Di dalam
masyarakat penyakit dispepsia sering disamakan dengan penyakit maag,
dikarenakan terdapat kesamaan gejala antara keduanya. Hal ini sebenarnya kurang
tepat, karena kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang berarti lambung,
sedangkan kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
yaitu “dys” yang berarti buruk dan “peptei “ yang berarti pencernaan. Jadi dispepsia
berarti pencernaan yang buruk (2).
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa
tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di
negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia
adalah dispepsia fungsional (3). Secara global, angka kejadian dispepsia
prevalensinya mencapai 21%. Prevalensi ini meningkat jika dispesia didefinisikan
luas menggunakan kriteria Roma III, sehingga menjadi 29% (4). Kasus dispepsia
di kota-kota besar di Indonesia cukup tinggi. Dari data terakhir oleh Departemen
Kesehatan RI Tahun 2015, angka kejadian dispepsia di Surabaya 31,2 %, Denpasar
46 %, Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5 %, Pontianak 31,2 %, Medan
9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 % (5).
Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan masih
menjadi salah satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan, termasuk
dispepsia. Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah
terbawa arus umumnya menjadi masalah yang timbul pada masyarakat.

1
2

Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan instan, gaya hidup
menjadi lebih sedentary, stres, dan polusi telah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari. Gaya hidup dan kebiasaan makan yang salah akan secara langsung akan
mempengaruhi organ-organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan
(6)(1)(7).
Berdasarkan hasil wawancara kepada 5 (lima) pasien dispepsia yang
melakukan kunjungan, 3 (tiga) diantaranya mengatakan saat merasa stres mengaku
suka mual atau merasa ingin muntah, 2 (dua) pasien lainnya mengaku cenderung
mengeluh nyeri dibagian ulu hati. 4 (empat) dari 5 (lima) pasien mengatakan
memiliki pola makan yang kurang teratur, seperti telat makan, dan makan kurang
dari 3 kali sehari. Serta dari pihak Puskesmas mengatakan kunjungan yang datang
dengan keluhan sakit perut banyak disebabkan oleh pola makan dan untuk tingkat
stres dalam kejadian dispepsia belum digali secara mendalam.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Tn. Abdullah

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 56 tahun

Alamat : Dusun Meulinya, Desa Matang Ceubrek, Kel.

Tanah luas Kab. Aceh Utara

Suku : Aceh

Agama : Islam

Waktu Pemeriksaan : 21 Oktober 2021

2.2 Anamnesis

Keluhan utama : Mual dan muntah

Keluhan tambahan : Nyeri ulu hati dan badan terasa

lemas

Riwayat penyakit sekarang :

Os datang ke UGD PKM Tanah Luas dengan keluhan mual dan muntah yang

dirasakan sejak 1 hari yang lalu dengan frekuensi muntah >5 kali dalam sehari

diikuti nyeri pada ulu hati sehingga tidak dapat melakukan aktivitas, dengan

intensitas nyeri 5 dari 10. Keluhan ini dirasakan tiba-tiba beberapa saat setelah

makan pukul 15.00 wib sehabis pulang bekerja dagang keliling. Os mengaku

sebelum gejala muncul makan siang dengan mi yang pedas. Os juga mengaku

mengkonsumsi obat yang dibeli pribadi di warung untuk mengurangi gejala

3
namun, tidak membaik. Beberapa waktu kemudian os mengeluhkan lemas

sehingga dibawa ke PKM terdekat.

4
5

Riwayat penyakit dahulu : Terdapat keluhan yang sama (satu

tahun terakhir)

Riwayat penyakit keluarga : Keluhan yang sama (Tidak ada),

Hipertensi Grd II (istri)

Riwayat pemakaian obat : Tidak ada

Riwayat sosial, ekonomi dan kebiasaan:

Pasien merupakan keluarga penerima bantuan tidak mampu dengan berobat ke

puskesmas menggunakan jasa pelayanan BPJS. Pasien bekerja sebagai

pedagang ikan keliling dengan penghasilan ± Rp 80.000/Hari.

2.3 Profil keluarga

Pasien Tn. Abdullah berumur 56 tahun tinggal bersama ibu mertua, istri dan

empat anak.

Tabel 1 Anggota keluarga yang tinggal serumah


Kedudukan
No Jenis
Nama dalam Umur Pendidikan Pekerjaan
. kelamin
keluarga

1. Tn. A Kepala
L 56 th SD Petani
(Pasien) Keluarga

2. Ny. N Istri P 49 th SD Mengurus


Rumah
Tangga

3. Tn. R Anak L 21 th SD Pelajar/Maha


siswa

4. Tn. D Anak L 16 th Belum Pelajar/Maha


tamat siswa
SD/Sederaja
t
6

5. Tn. M Anak L 12 th Belum Pelajar/Maha


tamat siswa
SD/Sederaja
t

6. Tn. M Anak L 8 th Belum Pelajar/Maha


tamat siswa
SD/Sederaja
t

Tabel 2 Lingkungan tempat tinggal


Status kepemilikan rumah : Pribadi

Daerah perumahan : Berjarak ± 5 meter/rumah

Kesimpulan
Karakteristik Rumah dan Lingkungan
Rumah tidak bertingkat dengan luas : 8 m x 10 m Keluarga pasien tinggal
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 6 orang di rumah sendiri dengan
Luas halaman rumah : 6 m x 5 m
Atap rumah dari: seng kepemilikian milik
Lantai rumah dari : semen pribadi yang dihuni
Dinding rumah dari : papan
Jumlah kamar : 3 oleh 6 orang. Pasien
Jumlah kamar mandi : 1 (di luar rumah) tinggal di daerah
Jendela dan ventilasi : 3 dan 6
perumahan yang cukup

Jamban keluarga : 1 (di luar rumah) ramai dengan jarak antar


Penerangan listrik : 2 Ampere rumah ± 5 meter. Rumah
Sumber air bersih : Sumur
Tempat pembuangan sampah : di belakang pasien memiliki jamban
rumah yang digunakan bersama
dan terpisah dari rumah.
Sumber air bersih berasal
dari sumur yang
berwarna kuning dan
berminyak.
7

Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS

Tabel 3 Sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas)


Kesimpulan
Faktor Keterangan
Cara mencapai pusat Pasien menggunakan Letak Puskesmas tergolong
pelayanan kendaraan pribadi (Sepeda jauh dari tempat tinggal
Kesehatan motor) menuju fasilitas pasien. Untuk biaya
kesehatan (Puskesmas) pengobatan tidak dipungut
Tarif pelayanan Menurut keluarga tidak ada biaya dan pelayanan
kesehatan biaya pelayanan kesehatan Puskesmas pun dirasakan
yang dilakukan di keluarga pasien dapat
Puskesmas membantu pasien.
Kualitas pelayanan Menurut keluarga kualitas
kesehatan pelayanan kesehatan yang
didapat memuaskan.

Status sosial dan kesejahteran


Pekerjaan pasien adalah pedagan ikan keliling. Keseharian pasien
mengandalkan pendapatannya setelah berdagang keliling untuk kehidupan pasien
dan keluarga sehari-hari baik makan, dan keperluan lainnya. Anak pertama dan
kedua dari pasien telah menikah. Empat anak lainnya masih dalam pendidikan.
Pasien berdagang keliling dengan sepeda motor dari pukul 8 pagi sampai dagangan
habis yaitu pukul 12 siang dengan pendapatan maksimal Rp 80.000 perharinya.
Pasien juga mengaku mengalami cemas dan banyak pikiran selama satu bulan
terakhir karena ekonomi.
Pola konsumsi makanan keluarga
Kebiasaan makan : Keluarga pasien memiliki kebiasaan makan antara 3 kali
dalam sehari, sedangkan pasien memiiki kebiasaan makan sehari 2 kali dengan
bahan-bahan baku dibeli langsung dari pasar. Pasien juga mengatakan bahwa
8

makanan yang dimakan beragam, terdapat sayur dan buah (hanya sesekali). Pasien
mengaku sering mengkomsumsi teh, roti dan makanan ringan lainnya pada pagi
hari sebelum berangkat berdagang dan siang hari setelah berdagang. Pasien juga
memiliki kebiasaan makan dengan rasa yang harus pedas dan beberapa kali makan-
makanan asam yang disajikan oleh keluarga seperti asam keueng.
Pola Higienitas dan Sanitasi Lingkungan
Pasien mengaku dalam kesehariannya mandi memakai sabun. Pasien
mencuci pakaian dan peralatan makan di tempat pencucian menggunakan air dari
sumur. Pasien mengatakan air berwarna kekuningan dan berminyak sehingga,
sesekali menggunakan air isi ulang untuk minum sehari-hari. Air sumur sesekali
dilakukan penyaringan menggunakan pasir khusus.
2.4 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2021
 Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran` : Compos mentis
GCS : E4 V5M6

 Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72 kali/menit, irama teratur
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36.5 oC
TB : 162 cm
BB : 66 kg

 Status Generalis
o Kepala
Bentuk : Normal
Rambut : Hitam dan lurus
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sclera ikterik (-/-), reflex cahaya langsung
9

(+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)


Telinga : Simetris, nyeri (-/-)

Hidung : Normal, Sekret (-/-), hiperemis (-/-)


Mulut : Simetris, mukosa bibir basah, pembengkakan tidak
ada
Lidah : Bentuk normal, tidak pucat, tidak kotor, warna
kemerahan
Faring : Hiperemis, tidak edema, membran/pseudomembran
(-)
Tonsil : Warna kemerahan, tidak ada pembesaran (T1/T1)
 Leher
Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan

Palpasi : Pembesaran KGB (-), distensi vena jugularis (-),


massa (-)
 Thorax
 Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri,
retraksi (-), bentuk dada normal
Palpasi : Fremitus raba simetris
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea mid klavikula kiri
Perkusi
Batas Atas : ICS II linea parasternal dekstra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : TD
 Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut datar
10

Palpasi : Defans muscular (-)


Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
 Ekstremitas
Superior : tidak ada kelainan

Inferior : tidak ada kelainan


2.5 Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien.
2.6 Diagnosis banding dan diagnosis kerja
Diagnosis banding : GERD, kolesistitis, pankreatitis, ulkus gaster
Diagnosis kerja : Dispepsia

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Upaya promotif
Edukasi pasien dan keluarga meliputi menjaga pola makan yang baik dan
seimbang, mengurangi cemas berlebihan.
2.7.2 Upaya preventif
1. Menjaga pola makan dengan mengurangi konsumsi makanan pedas, asam
dan perlunya frekuensi makan 3 kali dalam sehari, sehingga sindrom
dyspepsia dapat dihindari.
2. Menjaga fikiran agar tidak stress berlebihan.

2.7.3 Upaya kuratif


- IVFD RL 20 gtt/i
- Drip Ondansetron 4 mg/ H
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- B complex 3x1
- Omeprazole 2 x 20 mg
11

2.7.4 Upaya rehabilitatif


1. Kembali ke pusat pelayanan kesehatan jika keluhan tidak membaik atau
semakin memberat.
2. Monitoring yang dilakukan meliputi:
Memperhatikan adanya relaps atau kekambuhan.
Memperhatikan apakah terjadi efek samping obat
2.7.5 Upaya psikososial
Keluarga diharapkan dapat memberikan dukungan dan saling menjaga
kepada pasien.
2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
2.9 Anjuran
1. Menganjurkan pasien tetap mengonsumsi makan-makanan yang bergizi
seimbang.
2. Mematuhi anjuran dokter untuk masalah yang berkaitan dengan penyakit
pasien.
2.10 Faktor risiko lingkungan fisik dari penyakit
Jarak sumber air (sumur) dengan septi tanck yaitu 6 meter, dimana
seharusnya jarak antara sumber air dengan septi tanck yaitu 11 meter (minimal).
Kemudian di sekitar sumur terdapat kotoran hewan ternak pasien beserta genangan
air. Hal ini memicu sumber air terkontaminasi oleh mikroorganisme disekitar.

2.11 Faktor risiko lingkungan biologis dari penyakit


Pasien mengaku mandi, mencuci pakaian, alat makanan, bahan makanan
dan minum dengan air sumur yang dianggap kurang bersih yaitu berwarna kuning
dan berminyak. Sehingga dari air tersebut menjadi media untuk mikroorganisme
seperti H. Pylori masuk kedalam sistem gastrointestinal. Hal ini yang dapat menjadi
faktor risiko untuk mengiritasi dari dinding lambung.
12

2.12 Faktor risiko lingkungan sosial dari penyakit


Pendidikan dan pengetahuan
Rendahnya tingkat pengetahuan keluarga pasien tentang segala hal yang
berkaitan dengan penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh pola makan yang
tidak teratur, jenis-jenis makanan yang dikonsumsipun yang merangsang
peningkatan asam lambung seperti makan pedas, asam serta kafein yang terdapat
pada kopi maupun teh pada sistem gastrointestinal akan meningkatkan sekresi
gastrin sehingga akan merangsang produksi asam lambung. Tingginya asam
menyebabkan peradangan serta erosi pada mukosa lambung sehingga dapat
memunculkan gangguan dispepsia. Selain itu, stress dapat memicu perangsan
sistem saraf (Nervus vagus) yang menimbulkan mual dan muntah. Sehingga
pencegahan-pencegahan serta hal-hal yang harus dijalani oleh pasien jarang sekali
dapat terealisasikan. Hal-hal yang harus dihindari juga sering sekali pasien dan
keluarga abaikan.
Ekonomi
Ekonomi yang rendah menjadi faktor ketikmampuan pasien dan keluarga
untuk mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang, serta memicu stress bagi
pasien.
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Dispepsia
3.1.1 Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa (3). Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas
harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam
bulan sebelum diagnosis ditegakkan (1).
3.1.2 Anatomi fisiologi lambung
Anatomi makroskopik lambung diperlihatkan dalam gambar di bawah ini.
Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar. Di daerah pilorus dan kardia,
kelenjar mensekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar
mengandung sel parietal (oksintik) yang mensekresikan asam hidroklorida dan
faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel peptik) yang mensekresikan
pepsinogen (8).
Sel-sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung
setiap hari. Cairan lambung ini mengandung bermacam-macam zat, diantaranya
adalah HCl dan pepsinogen. HCl yang disekresikan oleh kelenjar di korpus
lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencemaan
protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencema protein, serta
merangsang aliran empedu dan cairan pankreas. Asam ini cukup pekat untuk dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung juga mengandung mukus (8).

13
14

Gambar 1 Anatomi lambung


Sekresi lambung dikatakan teijadi dalam tiga fase, yaitu fase sefalik, fase
gastrik, dan fase intestinal. Fase sefalik dari sekresi lambung berlangsung bahkan
sebelum makanan masuk ke dalam lambung, terutama sewaktu makanan sedang
dikonsumsi. Fase ini timbul akibat melihat, membaui, membayangkan, atau
mencicipi makanan. Semakin besar nafsu makan, semakin kuat rangsangan itu
timbul. Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik dari sekresi lambung
berasal dari korteks serebri dan pada pusat nafsu makan di amigdala dan
hipotalamus. Sinyal ditransmisikan melalui nukleus motorik dorsalis nervus vagus
dan dari tempat sebelumnya melalui nervus vagus ke lambung. Fase sekresi ini
normalnya menghasilkan sekitar 20% sekresi lambung yang berkaitan dengan
konsumsi makanan (9).
Fase gastrik terjadi saat makanan masuk ke lambung dan membangkitkan
refleks vasovagal yang panjang dari lambung ke otak dan kembali ke lambung,
refleks enterik setempat, dan mekanisme gastrin, yang semuanya kemudian
menyebabkan terjadinya sekresi getah lambung selama beberapa jam ketika
makanan berada di dalam lambung. Fase gastrik dari sekresi membentuk sekitar
70% dari total sekresi lambung yang berkaitan dengan konsumsi makanan dan
karena itu merupakan sebagian besar dari total sekresi lambung sehari-hari, yaitu
sebanyak 1500 ml (9).
15

Fase intestinal merupakan keberadaan makanan di bagian atas usus halus,


khususnya pada duodenum, akan terus mengakibatkan lambung menyekresi
sejumlah kecil getah pencemaan, mungkin sebagian akibat sejumlah kecil gastrin
yang dilepaskan oleh mukosa duodenum (9).

3.1.3 Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-
negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional (3).
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7
% kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus
gaster; dan normal pada 8,2% kasus. Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada
pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-
steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional
sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi,
kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang
menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran
di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi
ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta
(30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta
(8%) (1).
3.1.4 Etiologi dan faktor risiko
Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak teratur sehingga memicu
timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu.
Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam
kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi
16

faktor lainnya yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya


beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka,
makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu yang
merangsang (10).
Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit
yang diderita seseorang yang mana secara statistik berhubungan dengan
peningkatan kejadian suatu penyakit. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan
penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk
mendapatkan penyakit. Faktor risiko dispepsia yang akan saya uraikan berikut ini
yaitu merokok, alkohol, NSAID, infeksi Helicobacter pylori, pola makan, sosial
ekonomi, dan psikologis (11).
1. Merokok
Merokok adalah salah satu faktor risiko dispepsia. Sebuah penelitian
menemukan faktor risiko merokok terbesar terdapat pada populasi di
Amerika, Kanada, Inggris, dan India. Tar dalam asap rokok dapat
melemahkan katup Lower Esophageal Sphincter (LES), katup antara
lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik
hingga kerongkongan.
2. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan merupakan faktor risiko
dispepsia. Di kawasan Asia Pasifik, populasi di India dan Selandia Baru
menunjukkan hubungan yang pasti antara alkohol dan dispepsia.
Alkohol bekerja melenturkan katup LES, sehingga menyebabkan
refluks, atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan. Alkohol juga
dapat meningkatkan produksi asam lambung.
3. NSAID
Sebuah penelitian pada setiap warga Amerika yang dewasa, penggunaan
NSAID sangat berhubungan kuat dengan dispepsia. Penggunaan
NSAID dapat menyebabkan kerusakan mukosa dengan cara mengiritasi
langsung pada epitel lambung dan menghambat pembentukan
17

prostaglandin. Prostaglandin berguna untuk mempertahankan mukosa


gastrointestinal.
4. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Pada studi di Inggris terhadap 8074 subjek yang dilakukan tes untuk
menginvestigasi hubungan antara Helicobacter pylori dengan dispepsia,
ditemukan yang terinfeksi lebih banyak memiliki gejala dispepsia (44%)
daripada yang tidak terinfeksi (36%). Hp merupakan bakteri gram
negatif, berbentuk spiral, sensitif terhadap pH, dan merupakan
mikroaerofilik yang terletak antara lapisan mukus dan permukaan sel
epitel lambung. Hp berpengaruh pada kerusakan langsung mukosa dan
pembahan imunitas host.
5. Pola makan
Penelitian di Cina meneliti prevalensi dispepsia fungsional,
kebiasaan makan yang kurang baik seperti banyak makan yang asam
dan pedas menunjukkan faktor resiko yang signifikan. Terlalu sering
mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak dapat
menimbuikan keluhan dispepsia. Makanan tersebut cenderung lambat
dicema dan membuat makanan tinggal lebih lama di lambimg. Hal ini
dapat menyebabkan peningkatan tekanan di lambung, yang pada
akhimya akan meningkatkan tekanan terjadinya pelemahan LES. Jika
LES melemah, asam lambung akan naik ke kerongkongan.
Efek mengkonsumsi kopi, teh, alkohol, dan cola dapat
meningkatkan prevalensi disf>epsia. Minum kopi dapat merangsang
lambung untuk mengeluarkan asam lambung lebih banyak daripada
jumlah normal. Kafein dapat mengendurkan LES, katup antara lambung
dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas di lambung naik ke
kerongkongan.
6. Sosial ekonomi
Terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan rumah tangga yang
kurang dan anggota keluarga yang banyak dengan peningkatan gejala
dispepsia. Studi yang lain juga menjelaskan bahwa tingkat pendidikan
18

yang rendah juga ditemukan pada penderita dispepsia. Penelitian yang


dilakukan oleh (P Bytzer dkk, 2000) dari Department of Medicine,
University of Sydney, Nepean Hospital, Penrith, Australia terhadap
15.000 orang dewasa Australia menyimpulkan bahwa sosio ekonomi
yang rendah adalah salah satu faktor risiko terjadinya gejala gangguan
saluran cema bagian atas dan bawah.
7. Psikologi
Pada survei di Denmark, Kay dan Jorgensen mencatat terdapat
hubungan yang kuat terhadap orang dewasa yang memiliki masalah
dengan kerentanan psikologis. Sebuah survei di Australia, orang dewasa
dengan dispepsia memiliki skor kecemasan dan depresi yang tinggi, dan
sebuah studi di Cina mengungkapkan tekanan dari lingkungan sosial dan
kebiasaan hidup yang jelek adalah faktor resiko dispepsia. Keluhan
dispepsia dapat muncul akibat gangguan pikiran, kelelahan karena
terlalu banyak bekerja dan problem keuangan. Haug TT et all,
membandingkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan dan stress pada
penderita dispepsia fungsional dan penderita ulkus dimana sebelumnya
penderita-penderita tersebut mengalami stress dalam kehidupan selama
6 bulan sebelumnya. Ditemukan penderita-penderita dengan dispepsia
fungsional mempunyai tingkat yang lebih tinggi keadaan
kecemasannya, psikopatologi, depresi, dan keluhan somatik yang
berbeda-beda daripada penderita dispepsia dengan ulkus (11).
3.1.5 Jenis dispepsia
Jenis dispepsia dibagi menjadi dua, yaitu dispepsia organik dan dispepsia
fungsional yang akan diuraikan sebagai berikut (11).

1. Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah dispepsia yang teiah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya misalnya adanya tukak di lambung, usus dua belas
jari, radang pankreas, radang empedu, dan lainlain. Dispepsia organik jarang
ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun
(11).
19

2. Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang
tidak ada keiainan organik tetapi merupakan keiainan fungsi dari saluran makanan
(11).
Dispepsia dismotilitas umumnya teijadi gangguan motilitas, di antaranya
waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenai. Penderita dengan dispepsia
fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu terhadap
kenaikan asam lambung (11).
Kelainan psikis, stres, faktor lingkungan juga dapat menimbuikan dispepsia
fungsional. Hal ini berhubungan dengan fungsi saluran cema yang ada pengamhnya
dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara
langsung, tetapi kemungkinannya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari
sel parietal. Asam lambung banyak mengandung HCl dan pepsin yang akan
terbentuk hanya dengan melihat, mencium bau atau membayangkan suatu
makanan. Hal ini terjadi secara reflektoris oleh karena pengamh nervus vagus (11).

3.1.6 Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacter pylori
(Hp) dan obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan
motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan
faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik lambung (khususnya
keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara
volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih
cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah), infeksi Helicobacter pylori dan
20

faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi


(4).

Gambar 2 Representasi skema dari berbagai faktor yang mungkin terlibat dalam
dispepsia fungsional

3.1.6.1 Perlambatan pengosongan lambung


Secara sederhana, perlambatan pengosongan lambung dianggap menjadi
salah satu faktor utama dalam patofisiologi dispepsia fisiologis dengan keluhan
seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati. Beberapa penelitian melaporkan
prevalensi perlambatan pengosongan lambung 20%-50% menimbulkan gejala
dispepsia. Secara keseluruhan, pengosongan lambung dari makanan padat adalah
1,5 kali lebih lambat dari subyek kontrol. Selain perlambatan pengosongan
lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi
lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster (4).
3.1.6.2 Gastric accommodation
Akomodasi lambung dimediasi oleh refleks vasovagal yang dipengaruhi
oleh makanan yang masuk dan dihasilkan melalui aktivasi saraf nitrergik yang
merelaksasikan fundus dan corpus lambung. Disfungsi persarafan vagal diduga
berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional.
Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
21

proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbuikan gangguan


akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang (11)(4).
3.1.6.3 Hipersensitivitas visceral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung
bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia
(1). Hipersensitivitas terhadap distensi lambung telah didokumentasikan pada 34%
pasien FD dan terkait dengan nyeri epigastrium postprandial, sendawa, dan
penurunan berat badan (4).
3.1.6.4 Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya terdapat peningkatan sekresi
asam lambung. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbuikan rasa tidak enak di perut. Peningkatan sensitivitas mukosa
lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak
teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi
asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam
lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung
(4).
3.1.6.5 Sensitivitas terhadap lipid
Gejala dispepsia biasanya muncul setelah makan-makanan berlemak,
dalam penelitian dengan memasukkan lipid secara intraduodenal menimbulkan
perut distensi dan memicu perasaan penuh, tidak nyaman dan mual. Hal ini
disebabkan teraktivasinya cholecystokinin akibat CCK reseptor antagonis
desloxiglumide untuk mencegah dispepsia yang diinduksi oleh lipid (4).
3.1.6.6 Faktor psikososial
Selama beberapa dekade telah ditemukan dispepsia fungsional terkait faktor
komorbid psikologis, yaitu: kecemasan dan depresi. Kecemasan dan depresi
dianggap tidak hanya berkontribusi pada pathogenesis dasar gejala pada beberapa
penderita FD, tetapi juga untuk mendorong perilaku mecari pengobatan (4).
22

Stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan


keluhan pada orang sehat. Diiaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral, Korelasi antara faktor
psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia dibandingkan dengan kelompok kontrol, walaupun diiaporkan dalam
studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual
abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional (11).
3.1.6.7 Infeksi Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori (Hp) pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, infeksi Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kejadian infeksi Hp pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk
melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal
dengan pengobatan konservatif baku (1).

3.1.7 Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia.
Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria
diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen
bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional (3).
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1) Nyeri epigastrium
2) Rasa terbakar di epigastrium
3) Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4) Rasa cepat kenyang
23

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan


terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria
Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain
syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini
menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien
dispepsia (3).

Gambar 3 Alur diagnosis dispepsia


Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi
pasienpasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia
yaitu:
1) Penurunan berat badan (unintended)
2) Disfagia progresif
3) Muntah rekuren atau persisten
4) Perdarahan saluran cerna
5) Anemia
6) Demam
7) Massa daerah abdomen bagian atas
8) Riwayat keluarga kanker lambung
9) Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
24

Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi


terlebih dahulu dengan endoskopi (1). salah satu diagnosis dispepsia dapat
ditegakkan atas dasar pemeriksaan Endoskopi. Hasil pemeriksaan endoskopi
saluran cerna atas yang sering ditemukan dari kasus dispepsia yaitu gastritis,
dispepsia fungsional, gastritis erosif, dan duodenitis. Lokasi kelainan dispepsia
sering ditemukan pada lambung diikuti duodenum. Hasil pemeriksaan endoskopi
dapat ditemukan normal walaupun gejala dispepsia tersebut ada hal ini dinamakan
dengan istilah dispepsia fungsional. Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis
dispepsia dapat berupa tes darah, pemeriksaan nafas, pemeriksaan feses,
ultrasonografi abdomen dan pemeriksaan pencitraan (X-ray atau CT scan) (1).
3.1.8 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dispepsia terdiri dari
pemeriksaan laboratorium, radiologis, endoskopi, dan ultrasonografi yang akan
diuraikan sebagai berikut (6)(11).
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan darah,
urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak
cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dyspepsia ulcer, sebaiknya
diperiksa asam lambung.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di
saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap
saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada
refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama
di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke usus. Pada tukak di
lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu
suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang
jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara
25

radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar, atau tampak
dilatasi dari intestin terutama di jejenum yang disebut sentinal loops.
3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak
membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya keiainan
di esofagus, lambung dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan wama
mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Keiainan di esofagus yang sering ditemukan
dan perlu diperhatikan di antaranya adalah esofagitis, tukak esofagus, varises
esofagus, tumor jinak atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal
esofagus.
4. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif,
akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnosis
dari suatu penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbuikan efek samping, dapat
digunakan setiap saat dan pada kondisi penderita yang berat pun dapat
dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada dispepsia terutama bila ada dugaan
kearah keiainan di traktus biliaris, pankreas, keiainan tiroid, bahkan juga ada
dugaan tumor di esofagus dan lambung.
3.1.9 Penatalaksanaan
3.1.9.1 Pencegahan
1) Pencegahan primordial
Merupakan upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki
faktor risiko dispepsia, dengan memberikan penyuluhan tentang cara mengenali
dan menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia.
Sebagai contoh adalah adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan
membuat peraturan pada kotak rokok akan bahaya dari rokok tersebut terhadap
kesehatan. Untuk menghindari infeksi Helicobacter pylori dilakukan dengan cara
menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan gizi dan penyediaan air
bersih (11).
26

2) Pencegahan primer
Berperan dalam mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat
dispepsia pada orang yang sudah mempunyai faktor risiko dengan cara membatasi
atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti makan tidak teratur,
merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas,
asam. Obat-obatan penghilang nyeri dari golongan NSAIDs dapat diganti dengan
obat-obatan yang tidak mengandung NSAIDs. Berat badan perlu dikontrol agar
tetap ideal, karena gangguan di saluran pencemaan seperti rasa nyeri di lambung,
kembung dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas.
Rajin olahraga dan mampu memanajeman stres juga akan menurunkan risiko
terjadinya dispepsia (11).
3) Pencegahan sekunder
a. Diet mempunyai peran yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali. Makanan harus mudah dicema, tidak
merangsang peningkatan asam lambung dan bisa menetralisir asam HCL
(4).
b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor
H2, penghambat pompa asam (proton pump inhibitor=PPI), sitoprotektif,
prokinetik dan kadang dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti-
depresi dan cemas untuk penderita dengan keluhan yang berhubungan
dengan faktor kej iwaan seperti cemas dan depresi (4).
c. Bagi yang berpuasa, untuk mencegah kambuhnya sindrom dispepsia,
sebaiknya menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat
sahur dan berbuka untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa
sehingga keluhan yang timbul saat berpuasa, terutama saat perut sudah
kosong (6-8 jam setelah makan terakhir), dapat dikurangi. Obat anti asam
bekerja selama 12-14 jam. Obat ini dapat mengontrol asam lambung selama
penderita berpuasa. Berbeda dengan dispepsia organik, bila si penderita
berpuasa, kondisi sakit lambungnya justru semakin parah. Penderita boleh
berpuasa, setelah penyebab sakit lambungnya diobati terlebih dahulu.
27

4) Pencegahan tersier
Penting sekali untuk para tenaga medis/psikiater untuk menelusuri kejadian
yang menimpa penderita dalam suatu sistem terapi secara terpadu. Dengan
rehabilitasi mental melalui konseling diharapkan terjadi progresifitas penyembuhan
yang baik setelah faktor stres ditangani (11).
3.1.9.2 Pengobatan
Penjelasan kepada penderita mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Diagnosis klinis dan evaluasi
bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancam dilakukan. Perlu
dijelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Latar
belakang faktor psikologis perlu dievaluasi. Penderita dinasehati untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan
yang baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia.
Golongan obat dapat dilihat pada tabel berikut (1).
Tabel 4 Golongan obat yang diterapkan pada farmakoterapi dispepsia
Golongan farmakologi Contoh obat Efek
Eradikasi Helicobacter
Obat eradikasi Aminopenicilin, pylori, perbaikan
Helicobacter pylori Makrolid, PPI dismotilitas secara tidak
langsung dan sekretolitik
Gastroprotecti on,
Garam Magnesium, menetralisir kelebihan
Menetralkan agen
garam Aluminium asam, anti inflamasi
hipotetik
Gastroprotection,
Garam bismuth
antiinflamasi hipotetik
Antiinflamasi hipotetik
Sucralfat Gastroprotection,
antiinflamasi hipotetik
Metoklopramid, Prokinetik dan
Prokinetik
Cisapride antirefluks Antisekretori
28

dan eradikasi
Helicobacter pylori
Antisekretori dan
Proton pump inhibitors Omeprazol, pantoprazol,
eradikasi Helicobacter
(PPI) lansoprazol, rabeprazol
pylori
Ranitidin, famotidin Antisekretori dan
Agen antihistamin H2
antiinflamasi
Agen antidepresif
tricyclic SSRI (Selective Antidepresi dan
Obat antidepresi
Serotonin Reuptake anxiolitik
Inhibitors)
Antidepresi dan
Anxiolitik Benzodiazepin, buspiron
anxiolitik

Gambar 4 Algoritme Tata Laksana Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan


Kesehatan
29

*Tanda bahaya: penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif, muntah


rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa daerah
abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia awitan baru pada
pasien >45 tahun. PF: pemeriksaan fisik, SCBA: saluran cerna bagian atas, PPK-
1: Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, PPK-2-3: Pemberi Pelayanan
Kesehatan Tingkat Kedua dan Ketiga.

Gambar 5 Algoritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional


30

Gambar 6 Algoritme Tata Laksana Eradikasi Infeksi Hp


31

BAB 4

PEMBAHASAN

Diagnosis dispepsia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pasien tersebut memiliki gejala tidak nyaman setelah makan
berupa rasa mual, kemudian muntah dan diikuti dengan nyeri pada ulu hati. Pasien
mengaku gejala serupa terjadi dalam satu tahun belakang dan intensitas
kekambuhan mulai sering pada empat bulan terakhir. Saat gejala kambuh, pasien
mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung kemudian membaik Sebelum
dibawa ke puskesmas, pasien mengkonsumsi obat yang biasanya ia gunakan saat
gejala serupa kambuh namun, keluhan lemas semakin memberat sehingga dibawa
ke puskesmas oleh keluarga. Pasien memiliki kebiasaan makan hanya setelah
pulang bekerja pukul 15.00 wib dan sesekali makan pada malam hari. Pada pagi
hari hanya mengkonsumsi teh. Makan yang dikonsumsi tidak terlalu beragam,
pasien sesekali mengkonsumsi sayur dan buah.
Terdapat beberapa masalah pada kasus ini yang masih perlu dikaji untuk
penyelesaian masalahnya. Beberapa metode yang dapat dipergunakan dalam
mencari akar penyebab masalah, pada kasus ini metode yang digunakan adalah
diagram sebab akibat dari Ishikawa (diagram tulang ikan/ fish bone).
32

Pengetahuan yang
Sanitasi kurang Perilaku

Pola makan yang


Sumber air bersih Tidak mengetahui tidak baik dan jenis
berasal dari sumur faktor penyebab makanan yang sering
yang keruh dan terjadinya penyakit dikonsumsi pedas
berminyak dan asam.

Dispepsia

tMembeli obat tanpa


Perasaan cemas
tahu kegunaan dan
Peluang untuk berlebihan
mengkonsumsi
daya beli pangan
menurun tanpa anjuran oleh
dokter

Sosial-ekonomi Perilaku Psikologis

Gambar 7 Analisis penyebab penyakit (Fishbone)


33

MATRIKS CARA PEMECAHAN MASALAH


NO MASALAH PEMECAHAN MASALAH
1 Sanitasi Edukasi terkait salah satu penyebab dispepsia
ialah terinfeksi Helicobacter pylori dapat
berasal dari sumber air yang terkontaminasi.
Edukasi penggunaan air bersih seperti jarak
letak sumber air dengan jamban dan tempat
pembuangan sampah minimal 10 meter, tidak
ada genangan air disekitar sumber air, tidak
ada kotoran.
2 Pengetahuan yang kurang Edukasi faktor-faktor apa saja yang dapat
menimbulkan penyakit dispepsia,
memperberat penyakit, penatalaksanaan
serta cara pencegahan dari kekambuhan.
3 Perilaku  Edukasi terkait pola makan yang baik
yaitu dan benar serta jenis makanan
yang baik maupun tidak baik di
konsumsi, seperti: terlalu sering
makan-makanan pedas dan asam.
Edukasi mengenai menu seimbang
yaitu makanan yang beranekaragam
dalam bentuk penyajian makanan dan
bentuk hidangan makanan yang
disajikan seprti hidangan pagi,
hidangan siang, dan hidangan malam
dan menganung zat pembangun dan
pengatur.
 Edukasi agar tidak membeli obat-obat
sendiri tanpa anjuran dokter, seperti
golongan obat NSAID jika dikonsumsi
berlebihan dapat memicu gejala
34

dispepsia dikemudian hari.


4 Psikologis Edukasi terkait keluhan dispepsia dapat
muncul akibat gangguan pikiran yang memicu
cemas dan depresi, kelelahan karena terlalu
banyak bekerja sehingga, diharap mampu
mengurangi hal pencetus keluhan tersebut.
5 Sosial-ekonomi Edukasi pasien terkait terdapat hubungan
yang kuat antara pendapatan rumah tangga
yang kurang dan anggota keluarga yang
banyak dengan peningkatan gejala
dispepsia.

Pencegahan Primer
1. Edukasi pasien terkait dispepsia (pengertian, penyebab dan faktor resiko untuk
kambuh, manifestasi klinis, cara pengobatan yang tepat).
2. Edukasi terkait perilaku sanitasi, lifestyle, nutrisi, dan lingkungan, menjaga
kesehatan dengan memperhatikan makanan yang dikonsumsi.
3. Pemantauan terhadap perkembangan pengetahuan tentang dispepsia pada
pasien dan keluarga.

Pencegahan Sekunder
Mendapatkan pengobatan sedini mungkin secara tepat untuk mencegah dan
mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi.

Pencegahan Tersier
Rehabilitasi mental melalui konseling diharapkan terjadi progresifitas
penyembuhan yang baik setelah faktor stres ditangani.
BAB 5

KESIMPULAN

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa. Hal ini dapat disebabkan pola makan yang tidak teratur,
penggunaan NSAID, infeksi H. Pylori serta psikologis. Tatalaksana dispepsia
dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor penyebab
sebanyak mungkin dengan bantuan beberapa pemeriksaan penunjang. Kemudian,
penatalaksaan dapat dilaksanakan dengan pencegahan yaitu primordial, primer,
sekunder, tersier dan pengobatan (farmakoterapi).

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). Konsensus nasional


Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.

2. Fitrhriyana R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang. J Kesehat
Masy. 2018;2:43–54.

3. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S et al. Asian consensus report on


functional dyspepsia. Neurogastroenterol Motil. 2012;18:150–68.

4. Koduru P, Irani M, Quigley EMM. Definition, Pathogenesis, and


Management of That Cursed Dyspepsia. Clin Gastroenterol Hepatol
2018;16467–479. 2018;16:467–79.
5. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta; 2015.

6. Madisch A, Andresen V, Enck P, Labenz J, Frieling T, Schemann M. The


Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia. Dtsch Arztebl Int.
2018;115:222–33.

7. Susilawati. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia


Fungsional pada Remaja di Madrasah Alitah Negeri Model Manado. 2013;
8. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. EGC; 2013. 594-595
p.
9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta:
EGC; 2008.

10. Fithriyana R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia


Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. J Kesehat
Masy. 2018;2:43–54.

11. Amelia R. Karakterisik Penderita Dispepsia Di Instalasi Rawat Inap Penyakit


Dalam Rs Tk . Ii Dr . A K Gani Palembang Periode Januari-Desember 2011.
2012.

36
LAMPIRAN

37

Anda mungkin juga menyukai