Anda di halaman 1dari 10

Promosi kesehatan

TINEA VERSICOLOR

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh

Ayu Permata Sari Br Tarigan, S.Ked


2006112021

Preseptor :

dr.Elli Kusmayati, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
A. Tinea Versicolor........................................................................................3
2.1 Definisi dan epidemiologi.....................................................................3
2.2 Etiologi dan pathogenesis.....................................................................3
2.3 Gambaran klinis....................................................................................5
2.4 Penatalaksanaan....................................................................................5
BAB 3......................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................8

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Pitiriasis versikolor (PV) atau tine versicolor adalah penyakit jamur


superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus
Malassezia. Manifestasi klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan
perubahan warna baik hipopigmentasi, hiperpigmentasi ataupun eritematosa,
tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal (1,2).
Prevalensi PV di daerah tropis mencapai 60%, sedangkan di daerah subtropis atau
daerah dengan empat musim, prevalensi cenderung lebih rendah. PV lebih banyak
dijumpai pada usia dewasa muda baik lakilaki ataupun perempuan (3).
Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor
pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak kedua di antara
dermatofitosis lain di Indonesia. Empat Genus Malassezia spp., yang sebelumnya
dikenal sebagai Pityrosporum, termasuk didalamnya adalah 14 spesies yeast
basidiomycetous lipofilik. Setiap spesies ini dibedakan berdasarkan kebutuhan
nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua Malassezia spp. membutuhkan lipid karena
tidak mampu mensintesis asam lemak jenuh kecuali M. Pachydermatis (1,2).
Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu
pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis. Malassezia juga berperan pada
beberapa penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan
psoriasis. Fitz Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup
komensal ada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung
banyak mengandung lemak permukaan (3). Sebuah studi di Indonesia melaporkan
identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M. furfur
sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. Globosa (3).
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses
penggelapan kulit (2). Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam
azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat
menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia spp.
menghasilkan sejumlah senyawa indol yang diduga mengakibatkan
hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada

1
umumnya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh
adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur.
Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan
ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar
matahari (3).
Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai
jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh
(4).Terapi topikal merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor.
Terapi sistemik, dapat dipilih apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas,
rekurensi, dan gagal terapi topikal (2). Studi menunjukkan, terapi dalam jangka
waktu yang lama, konsentrasi yang lebih tinggi pada terapi topikal dan dosis yang
lebih tinggi pada terapi oral, terbukti meningkatkan angka kesembuhan (3,5). Lesi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama sampai
hitungan bulan, meskipun penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien
merasa penyakit belum sembuh (5). Repigmentasi memerlukan waktu lama dan
dari segi kosmetik sering dirasakan mengganggu oleh pasien. Tujuan tinjauan
pustaka ini adalah menambah pemahaman mengenai mekanisme hipopigmentasi
yang terjadi pada PV, penatalaksanaan untuk PV dan repigmentasinya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinea Versicolor
2.1 Definisi dan epidemiologi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat
infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis
khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang tertutup
skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal (1,2).
Perubahan warna dapat berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Sinonim
PV antara lain tinea versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver
spots, chromophytosis, tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu (3).
Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab
dan hanya 1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis
terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia (2,3). Lingkungan yang
hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia
terletak pada garis ekuator dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan
kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia
21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30
tahun. Di daerah tropis, laki-laki cenderung lebih banyak menderita PV
dibandingkan dengan perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan (3).
2.2 Etiologi dan pathogenesis
PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik
yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Malassezia spp.
merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal pada kulit terutama di
daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak mengandung lemak.
Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang berhubungan dengan PV adalah
M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan urutan spesies
predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode isolasi (3).

3
Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari
PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M.
sympoidalis, dan M. globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin,
maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies tertentu (3).
PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang
menjadi bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor
yang mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang
meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis,
penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif,
dan malnutrisi (1,2).
Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada kerentanan terhadap
PV. Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit,
diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain (1). Belum ada penjelasan
mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa
lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga
muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun
mandi. Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi
tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa
proses imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi
histiosit dan peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga
akan meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan
terjadinya elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada
respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang
akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar.
Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel
mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α
cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan
terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB
dengan menekan aktivitas promoter tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai
di bagian superfisial stratum korneum.

4
2.3 Gambaran klinis
Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih,
merah atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat
berkeringat. Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini
karena warna skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat.
Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal
pasien, paparan sinar matahari, dan derajat keparahan penyakit. Pada orang kulit
putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak
menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap,
lesi cenderung lebih putih atau hipopigmentasi. Pada lesi awal biasanya akan
muncul area hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul
area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat muncul pada satu pasien. Lesi awal
berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama halus yang terkadang
tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama pada lesi yang kering
dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan tampak lebih jelas
(finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek, scalpel, atau ujung kuku
(coup d’ongle of Besnier). Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi
bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat
ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.
Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas
ke bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan
meluas ke daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif
jarang, lesi juga dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut
sebagai tipe inversa; selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.
Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk
atrofikans, periareolar atau imbrikata.
2.4 Penatalaksanaan
Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor
antara lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid,
siklopiroksolamin, begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin.
Protokol yang digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion

5
selenium sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10
menit, kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus
yang luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya
dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan sebagai
regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai alternatif, dapat
digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena, didiamkan selama 5
menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama tiga hari berturut-turut.
Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali sehari pada area yang terkena
selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan lebih dari 80%. Walaupun terapi
topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir, atau ringan terapi sistemik mungkin
diperlukan untuk pasien dengan penyakit yang luas, sering berulang, atau jika
tidak berhasil dengan agen topikal. Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole
merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif.
Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-
400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral
yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang
diberikan dengan hasil yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga
menunjukkan efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian memiliki
efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga
efektif diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral merupakan suatu alilamin,
tidak direkomendasikan untuk pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena
obat ini tidak dihantarkan secara efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas
obat serta interaksi melalui pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus
diperhatikan pada penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea versikolor.
Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan
azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi. 30 Rekurensi yang relatif sering dan
bercak hipopigmentasi yang bertahan lama merupakan masalah paling sering
dihadapi pada pengobatan PV. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan
sistemik, dapat digunakan, meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang
keuntungan terapi kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan,
mengingat angka rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang sulit

6
dihindari. Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida 1,8% sekali
seminggu, 1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol 400 mg/minggu pada hari
yang sama selama 3 bulan. Cara tersebut dapat dipilih terutama untuk kasus
dengan lesi yang luas.
Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau
komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia. Angka
kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.30 Terapi preventif yang
dapat digunakan antara lain berupa obat topikal 1 – 2 kali per bulan; ketokonazol
400mg sekali sebulan atau 200 mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal
bulan; atau itrakonazol 2 kali 200 mg/ hari setiap bulan. Meskipun demikian,
sebaiknya diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif atau
preventif dalam jangka lama.

7
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA

1. RJ H, HR A. Mycology. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.


Oxford: WileyBlackwel; 2010. p. 36.10 – 36.12.
2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
p. 2298–311.
3. Radiono S, Suyoso S BK. Pitiriasis Versikolor. In: Dermatomikosis
Superfisialis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013. p. 24–34.
4. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID VA. The Malassezia
genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev. 2012;25:106–41.
5. Hu SW BM. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions.
Arch Dermatol. 2010;146:1132.

Anda mungkin juga menyukai