Anda di halaman 1dari 32

Lab/SMF Farmasi-Farmakoterapi P-Treatment

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ANTI FUNGI

Disusun Oleh
Noverita Febriani 1210015046
Inna Adilah 1510015067

Pembimbing
dr. Ika Fikriah, M.Kes

Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “P-Treatment
Anti Fungi”. Makalah ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Ika Fikriah, M.Kes, selaku
dosen pembimbing kami. Terdapat ketidak sempurnaan dalam makalah ini,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan makalah
ini. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................5
A. Definisi 5
B. Epidemiologi 6
C. Etiologi 6
D. Klasifikasi 7
E. Patofisiologi 10
F. Gambaran Klinis 11
G. Diagnosis 13
H. Penatalaksanaan15
BAB III TINJAUAN KASUS DAN P-TREATMENT......................................17
A. Menentukan Problem Pasien 18
B. Menentukan Tujuan Terapi 18
C. Pemilihan Terapi 18
D. Pemberian Terapi 25
E. Komunikasi Terapi 26
F. Monitoring dan evaluasi 27
BAB IV PENUTUP...........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di


negara – negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit
yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia. Iklim tropis dengan
kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan
jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya
masyarakat Indonesia yang berada digaris kemiskinan sehingga masalah
kebersihan lingkungan, sanitasi, dan pola hidup sehat kurang menjadi perhatian
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler. Jamur
umumnya berbentuk benang yang disebut hifa, memiliki dinding sel yang
mengandung kitin, merupakan anggota kelompok besar eukariotik organisme,
dan tidak berklorofil. Jamur hidup secara heterotof dan bersifat saprofit
(menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain), dan
simbiosis.
Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada daerah-
daerah lembab di tubuh manusia, diantaranya seperti pada daerah ketiak, leher,
lipatan daun telinga, sela jari tangan dan kaki, dan daerah lainnya. Penyakit
kulit karena jamur bisa menular karena kontak kulit secara langsung dengan
penderitanya atau tidak langsung melalui barang yang lembab dan sering
bersentuhan dengan penderita, seperti handuk. Gejala umum dari penyakit ini
adalah rasa gatal, warna kulit yang berbeda dari sekitarnya, bersisik, dan adanya
penebalan kulit.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1` TINEA VERSIKOLOR


2.1.1 Definisi
Tinea versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh
organisme Pityrosporum orbiculare dan Malassezia furfur, umumnya tidak
memberikan gejala subyektif, ditandai dengan adanya timbul macula dalam
berbagai ukuran dan warna, ditutupi dengan sisik halus dengan rasa gatal pada
badan bagian atas. Jamur tersebut terletak pada stratum korneum pada kulit.
Penyakit ini biasa terdapat pada orang dewasa muda yang tinggal berada di
daerah beriklim tropis dan subtropis.

2.1.2 Epidemiologi
Tinea vesikolor adalah penyakit yang dapat menyerang segala umur
baik pria maupun wanita, tetapi umumnya menyerang pada orang dewasa muda
pada usia 15-24 tahun, dimana pada saat tersebut kelenjar keringat lebih aktif.
Di Indonesia, kelainan ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan
diantara berbagai penyakit kulit akibat jamur. Daerah beriklim sedang terdapat
sekitar 20% tinea versikolor.

2.1.3 Etiologi
Tinea versikolor disebabkan oleh Malassezia spp. Bersifat lipofilik yang
merupakan flora normal pada kulit. Jamur ini dapat bersifat dimorfik, bentuk
ragi dapat berubah menjadi hifa. Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus
Pityrosporum (yang terdiri dari Pityrosporum ovale dan Pityrosporum
orbiculare), tetapi kemudian mengalami reklasifikasi sebagai genus Malassezia.
Analisis genetik sekarang telah menunjukkan bahwa lebih kompleks dan
setidaknya ada 12 spesies terpisah dari ragi lipofilik. Dimana ada 8 yang umum
pada kulit manusia. Spesies lipid dependent tergolong dalam genus; M.
sympodialis, M. globosa, M. restrica, M. slooffae, M. furfur, M. obtusa dan

5
selanjutnya dilaporkan spesies lain yaitu M.dermatitis, M.japonica,
M.yamotoensis, M.nana, M.caprae dan M.equina. satu lipofilik yang tidak
sepenuhnya spesies lipid dependent yaitu M.pachydermatis yang biasanya
ditemukan pada kulit hewan. Selanjutnya yang lebih dikenal M.furfur karena
mencakup spesies yang kompleks. Kolonisasi spesies ini terutama pada bagian
tubuh atas dan lipatan, area yang banyak kelenjar sebasea dan sekresi.

2.1.4 Patogenesis
Malassezia furfur bersifat dimorfik, merupakan organisme lipofilik yang
tumbuh secara in vitro hanya dengan penambahan asam lemak C12-C14 seperti
minyak zaitun dan lanolin. Di bawah kondisi yang tepat, dapat mengkonversi
dari ragi saprofit ke bentuk miselium didominasi parasit, yang menyebabkan
penyakit klinis. Faktor predisposisi untuk transisi miselium mencakup hangat,
lingkungan lembab, hiperhidrosis, kontrasepsi oral, dan penggunaan
kortikosteroid sistemik, penyakit cushung, immunosupressi, dan keadaan
kurang gizi.
Senyawa tertentu disintesis oleh Malassezia yang disebut pityriacitrin
yang menyerap sinar ultraviolet. Secara khusus, melalui lipase Malassezia me
metabolisme berbagai asam lemak seperti asam arakidonat atau vaccenic dan
kemudian melepaskan asam azeleat sebagai salah satu metabolit. Asam azeleat
menghambat kerja tirosinase dalam jalur produksi melanin, yang menghasilkan
hipopigmentasi yang menetap pada kulit yang terkena selama berbulan-bulan,
dan bahkan bertahun-tahun.

2.1.5 Gambaran Klinis


Pada umumnya tidak ada keluhan, hanya berupa gangguan kosmetik.
Biasanya makula timbul dalam berbagai ukuran berbentuk bulat atau oval, dan
berbagai warna yang bervariasi. Pada kulit yang putih lesi berwarna cokelat
muda atau merah muda. Pada orang berkulit cokelat atau hitam, lesi berwarna
cokelat tua. Tetapi lesi tersebut dapat membesar dan menyatu membentuk lesi
yang lebih luas.

6
Pada keluhan biasanya ada gatal ringan atau tidak ada. Penegakan
diagnosis berdasarkan gambaran klinis dapat didukung dari pemeriksaan lampu
wood yang menampakkan fluresensi warna kuning keemasan, serta untuk
memastikan lebih lanjut dapat dilakukan pemeriksaan skuama menggunakan
KOH. Tinea versikolor cenderung dapat kambuh pada keadaan panas.

2.1.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Tinea versikolor umumnya tidak disertai gejala subyektif, hanya
berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang ada pruritus ringan.
Umumnya terjadi pada usia 15-24 tahun. Faktor predisposisi tinea
versikolor adalah musim panas, hiperhidrosis, olahraga, kulit yang
berminyak. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi,
hiperpigmentasi dan kadang eritematosa.
b. Pemeriksaan Kulit
 Lokalisasi: Tubuh bagian atas, lengan atas, leher, perut, ketiak,
selangkangan, paha, genital.
 Effloresensi:
1. Makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, hingga hitam.
2. Berskuama halus
3. Makula berbentuk bulat atau oval dengan ukuran bervariasi.
c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan mikroskop kerokan kulit menggunakan KOH 10%-


20%. Tampak hifa pendek dan sel-sel ragi bulat, yang terlihat
seperti spaghetti and meatballs atau gambaran bananas and grapes
sel ragi juga biasanya tampak berbentuk oval. Sebagai flora normal,
isolasi spesies Malassezia tidak dapat dijadikan sebagai pemeriksaa
laboratorium. Sediaan diambil menggunakan scalpel atau dengan
merekatkan selotip. Pemeriksaan menggunakan KOH 20% dan
dapat ditambahkan sedikit tinta biru hitam untuk memperjelas
gambaran element jamur. Kultur jarang digunakan karena

7
diperlukan lipid yang mengandung media (misal; minyak zaitun)
sebagai media pertumbuhannya.

2. Pemeriksaan lampu wood, pemeriksaan ini dapat memperlihatkan


flouresensi kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang
digunakan sebagai petunjuk lesi tinea versikolor dan mendeteksi
sebaran lokasi lesi. Perlu diwaspadai hasil pemeriksaan flouresensi
negatif palsu yang dapat disebabkan karena penggunaan salep yang
mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat
terjadi pada orang yang rajin mandi.

2.1.7 Diagnosis Banding


a. Makula hipopigmentasi: vitiligo, pytiriasis alba, postinflamatory
hypopigmentation.
b. Lesi berskuama: tinea corporis, dermatitis seboroik, cutaneous T
cell lymphoma.

2.1.8 Terapi
Beberapa obat topikal digunakan untuk mengobati tinea
versikolor yaitu selenium sulfida, zinc pyrithione, sodium silfacetamid,
ciclopiroxolamine, serta golongan azol, dan preparat anti jamur
allylamin. Anti jamur topikal azole bekerja sangat baik pada tinea
versikolor. Biasanya masa penyembuhannya 2-3 minggu. Penggunaan
ketokonazol dan itrakonazol oral juga efektif pada kasus tinea
versikolor. Dosis ketokonazol yang direkomendasi bervariasi, tetapi
beberapa pasien berespon pada dosis tunggal 400 mg, lainnya mungkin
memerlukan pengobatan yang panjang. Itrakonazol aktif melawan tinea
versikolor dengan total dosis 800 mg- 1000 mg. Diberikan selama 5
hari. Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi yang luas, kambuhan dan
gagal dengan terapi topikal antara lain:
 Ketokonazol 200mg/hari selama 7-10 hari atau 400 mg dosis
tunggal.

8
 Itrakonazol 200-400 mg/ hari selama 3-7 hari atau 400 mg dosis
tunggal.
 Fluconazol 400 mg dosis tunggal.
Selain itu, Terbinafin 1% selalu efektif pada tinea versikolor.
Penggunaan terbinafin oral tidak disarankan untuk pengobatan
Malassezia karena tidak efisien ke permukaan kulit, potensi toksisitas
obat ketika mempertimbangkan penggunaan golongan azol oral pada
aktivitas isoenzim sitokrom p450 harus diatasi ketika
mempertimbangkan penggunaan agen azol oral untuk mengobati tinea
versikolor.
Selenium sulfida 2,5% (sampo selsun). Penggunaannya efektif,
sampo yang berwarna kuning kemerahan digunakan sebelum tidur lalu
dibilas keesokan harinya. Perkiraan pengobatan yang panjang dan
banyak kasus memerlukan pengobatan teratur. (setiap malam selama 2
minggu). Keuntungan dari selenium sulfida yaitu harga yang murah dan
nyaman. Tetapi, dapat mengiritasi saat digunakan pada wajah dan
genital sertai memberi noda pada pakaian dan seprai. Alternatif lain dari
selenium sulfida adalah sampo ketokonazol 2% dengan menyabuni pada
area yang terkena selama 5 menit lalu dibilas. Ini digunakan selama 3
hari berturut-turut.

2.1.9 Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan
konsisten, serta faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi
dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah jamur negatif.

2.1.10 Edukasi
Edukasi pada pasien agar menjaga kebersihan kulit dan lingkungan,
memakai pakaian dari katun yang tidak ketat, tidak menggunakan
pakaian yang lembab, serta tidak bertukar pakaian dengan orang lain.

9
Kebersihan pribadi dengan mandi teratur menggunakan sabun dan
menjaga agar kulit tetap kering. Menghindari faktor predisposisi
seperti berkeringat meningkat, berbagi handuk dan pakaian,
kekurangan gizi, pakaian sintetis akan membantu untuk mengontrol
penyakit ini.

2.2 ANTI JAMUR


2.2.1 Definisi
Anti jamur juga disebut dengan obat anti mikotik, dipakai
untuk mengobati dua jenis infeksi jamur : infeksi jamur superficial
pada kulit atau selaput lendir dan infeksi jamur sistemik pada paru-
paru atau sistem saraf pusat. Infeksi jamur dapat ringan, seperti
pada tinea pedis (atlete’s food) atau berat, seperti pada paru-paru
atau jamur seperti candida spp, (ragi), merupakan bagian dari flora
normal pada mulut, kulit, usus halus dan vagina. Kandidiasis dapat
terjadi sebagai infeksi oportunistik jika mekanisme pertahanan
tubuh terganggu. Obat-obat seperti anti biotik, dan kontrasepsi oral
dapat juga mengubah mekanisme pertumbuhan tubuh. Infeksi
jamur oportunistik dapat ringan (infeksi ragi pada vagina) atau
berat (Infeksi Jamur Sistematik).

2.2.2 MAKROLID POLIEN : AMFOTERISIN B


Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces
nodosus. Sembilan puluh delapan persen campuran ini terdiri dari
amfoterisin B yang mempunyai aktivitas anti jamur. Kristal seperti
jarum atau prisma berwarna kuning jingga, tidak berbau dan tidak
berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat basa amfoter
lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas
37°C tetapi dapat bertahan sampai berminggu-minggu pada suhu
4°C.
 Mekanisme Kerja

10
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel
matang. Aktivitas anti jamur nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada
pH yang lebih rendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau
fungisidal tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur yang
dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL antibiotik ini dapat
menchambat aktivitas Histoplasma capsulaium, Cryptococcus
neoformans, Coccidioides immitis, dan beberapa spesies Candida,
Tondopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis,
Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus,
Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies
Trichophyton. Secara in vitro bila rifampisin atau minosiklin
diberikan bersama amfoterisin B terjadi sinergisme terhadap
beberapa jamur tertentu.
Amfoterisin B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat
pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel
bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel.
Bakteri, virus dan riketsia tidak dipengaruhi oleh antibiotik ini
karena jasad renik ini tidak mempunyai gugus sterol pada membran
selnya. Pengikatan kolesterol pada sel hewan dan manusia oleh
antibiotic ini diduga merupakan salah satu penyebab efek toksiknya.
Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin disebabkan terjadinya
perubahan reseptor sterol pada membran sel.
 Indikasi
Amfoterisin B sebagai antibiotika berspektrum lebar yang bersifat
fungisidal dapat digunakan sebagai obat pilihan untuk semua infeksi
jamur. Biasanya diberikan sebagai terapi awal untuk infeksi jamur
yang serius dan selanjutnya akan diganti dengan salah satu azole baru
untuk pengobatan lama atau pencegahan kekambuhan. Pasien yang

11
diobati dengan amfoterisin B harus dirawat di rumah sakit,karena
diperlukan pengawasan yang ketat selama pemberian obat.
 Kontraindikasi
Pasien yang hipersensitif terhadap obat ini, ibu menyusui, pada
pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik.
 Efek Samping
Infus amfoterisin B seringkali menimbulkan kulit panas,
keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot,
kejang dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapatkan
dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil. Terjadi
penurunan fungsi ginjal sebanyak 80% pada pasien yang diberikan
obar amfoterisin B.
 Dosis
Amfoterisin B sangat sedikit sekali dicerna melalui saluran cerna.
Secara umum dosis 0,3-0,5 mg/KgBB cukup efektif untuk berbagai
infeksi jamur, pemberian dilakukan selama 6 minggu dan bila
diperlukan akan dilanjutkan sampai 3-4 bulan.
 Sediaan
Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam vial berisi 50 mg
bubuk liofilik, dilarutkan dengan 10 mL akuades steril kemudian
diencerkan dengan larutan dekstrosa 5% dalam air sehingga didapatkan
kadar 0,1 mg/mL larutan. Selain dalam pemakaian parenteral, tersedia
juga sediaan dalam bentuk krim, losio, dan salep yang mengandung
3% amfoterisin B.
 Contoh merek dagang: AmBisome (injeksi)

2.2.3 ANALOG PIRIMIDIN: FLUSITOSIN


Flusitosin (5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik
yang berasal dari fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan
struktur dengan fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk kristal
putih tidak berbau, sedikit larut dalam air tapi mudah larut dalam
alkohol.

12
 Mekanisme kerja
Spektrum antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk
pengobatan kriptokokosis, kandidiasis, kromomikosis, torulopsis dan
aspergilosis. Cryptococcus dan Candida dapat menjadi resisten selama
pengobatan dengan flusitosin. Empat puluh sampai 50% Candida
sudah resisten sejak semula pada kadar 100 µg/mL flusitosin. Infeksi
saluran kemih bagian bawah oleh Candida yang sensitif dapat diobati
dengan flusitosin saja karena kadar obat ini dalam urin sangat tinggi.
In vitro pemberian flusitosin bersama amfoterisin B akan
menghasilkan efek supraaditif terhadap C. neoformans, C. tropicalis
dan C. albicans yang sensitif.
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin
deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah
mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis
protein sel jamur terganggu akibat penghambatan Iangsung sintesis
DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini tidak terjadi pada sel
mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak diubah menjadi
fluorourasil.
 Indikasi
Flusitosin untuk infeksi sistemik kurang toksik daripada
amfoterisin B dan obat ini dapat diberikan secara oral.,tetapi cepat
menjadi resisten.maka pemakaian tunggal flusitosin hanya pada infeksi
Cryptococcus neoformans, beberapa spesies Candida dan infeksi oleh
kromoblastomikosis. Obat ini juga dapat juga dikombinasikan dengan
itrakonazol.
 Kontraindikasi
Pasien dengan penyakit gangguan ginjal dan ibu hamil, dan
hipersensitivitas pada golongan obat ini.
 Efek samping
Flusitosin menimbulkan efek samping yang sering ditemui seperti
mual, muntah, dan diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi

13
jika konsentrasi didalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan
dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar
transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat
kembali normal setelah obat dihentikan.
 Dosis
Flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/KgBB perhari,dibagi
dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan
ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/KgBB.
 Sediaan
Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. dosis
yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB/hari yang terbagi dalam 4
dosis. Dosis ini harus dikurangi pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
 Contoh merek dagang: Ancobon (kapsul).

2.2.4 AZOL
Azol adalah senyawa sintetik yang dapat diklasifikasikan sebagai
imidazol atau triazol sesuai dengan jumlah atom nitrogen di cincin
azol. Iminidazol terdiri dari ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol.
Triazol mencakup itrakonazol, flukonazol, vorikonazol, dan
posakonazol. Farmakologi masing-masing azol bersifat unik dan
menjadi penyebab dari beberapa variasi dalam pemakaian klinis.
 Mekanisme kerja
Aktivitas antijamur obat azol terjadi karena reduksi sintesis
ergosterol oleh inhibisi enzim-enzim sitokrom P450 jamur. Tokisitas
selektif obat azol disebabkan oleh afnitas mereka yang lebih besar
terhadap enzim sitokrom P450 jamur daripada manusia. Iminidazol
memperlihatkan selektivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
triazol sehingga insidens interaksi obat dan efek samping mereka lebih
tinggi. Resistensi terhadap azol terjadi melalui banyak mekanisme.
Meskipun dahulu jarang, kini semakin banyak jumlah galur resisten

14
yang dilaporkan, mengisyaratkan bahwa peningkatan pemakaian obat-
obat ini untuk profilaksis terapi mungkin menyebabkan seleksi galur
resistensi obat pada keadaan-keadaan tertentu.
 Indikasi
Topikal: dermatomikosis yang disebabkan oleh dermatofit, ragi,
jamur dan fungi lain, pityriasis versicolor, dan eritrasma.
Sistemik: Infeksi mikosis sistemik (kandidiasis,
coccidioidomycosis, histoplasmosis). Kandidasis mukokutan resisten
yang kronis, kandidasis vaginal resisten yang kronis, infeksis
dermatofita pada kulit atau kuku tangan (tidak ada kuku kaki),
kandidasis mukokutan kronis yang tidak responsif terhadap nystatin
dan obat-obat lain.

 Kontraindikasi
Wanita hamil dan menyusui, gangguan hati dan ginjal berat,
hipersensitif, perdarahan genital abnormal yang tidak terdiagnosa.
 Efek samping
Iritasi, gatal, rasa terbakar, maserasi penambahan berat badan,
timbulnya jerawat, terjadi seborhea, tidak nafsu makan, gangguan tidur.
 Dosis
- Krim 2% : oleskan 1-2x/hari selama 2-3 minggu
- Bubuk 2% : gunakan 1-2x sehari.
- Shampoo 2% : cuci rambut atau kulit dengan shampo,
biarkann selama 3-5 menit lalu bilas sampai bersih
- Peroral : Dewasa : 1x200-400 mg per hari
Anak : 3,3-6,6 mg/kgBB/hari
 Sediaan
Azol tersedi dalam bentuk tablet/kaplet 200mg, kapsul 100mg,
krim 2%, salep 2%, shampoo, dan bubuk.
 Contoh merek dagang: Ketoconazole, Daktarin, Ketomed.

2.2.5 EKINOKANDIN: KASPOFUNGIN


Kaspofungin adalah anti jamur sistemik dari suatu kelas baru
yang disebut ekinokandin. Ekinokandin adalah peptida siklik besar

15
yang dikaitkan ke sebuah asam lemak rantai panjang. Kaspofungin,
milkafungin, dan anidulafungin adalah obat yang telat mendapatkan
lisensi dalam golongan anti jamur ini.
 Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3)---
glukan, suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur.
Dalam darah 97% obat terikat protein dan masa paruh eliminasinya
9-11 jam. Obat ini dimetabolisme secara lambat dengan cara
hidrolisis dan asetilasi. Ekskresinya melalui urin hanya sedikit sekali.
 Indikasi:
Kaspofungin diindikasikan untuk infeksi jamur sebagai
berikut:
- Kandidiasis invasif, termasuk kandidemia pada pasien
neutropenia atau non-neutropenia.
- Kandidiasis esofagus
- Kandidiasis orofarings
- Aspergilosis invasif yang sudah refrakter terhadap
antijamur lainnya.
Pengobatan umumnya diberikan selama 14 hari. Keamanan
obat ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur kurang
dari 18 tahun.
 Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap kaspofungin asetat
 Efek samping
Demam, sakit kepala, nyeri perut, nyeri, kedinginan, mual, muntah,
diare, peningkatan jumlah enzim hati (AST, ALT, alkalin fosfatase,
direct bilirubin dan bilirubin total), peningkatan kreatinin serum,
anemia (penurunan hemoglobin dan hematokrit),
plebitis/tromboplebitis, komplikasi pada tempat pemberian infus, ruam
kulit, pruritus, bengkak pada wajah, sensasi hangat, bronkospasme,
anafilaktik, disfungsi hati, udem perifer, dan hiperkalsemia.

16
 Dosis
Kaspofungin diberikan sebagai dosis awal tunggal 70 mg, diikuti
oleh dosis harian 50 mg. Kaspofungin larut dalam air dan sangat
terikat ke protein. Waktu paruh adalah 9-11 jam dan metabolit-
metabolitnya diekskresikan oleh ginjal dan saluran cerna. Diperlukan
penyesuaian dosis hanya jika terdapat insufisiensi hati yang parah.
 Sediaan
Ekinokandin tersedia hanya dalam bentuk intravena
 Contoh merek dagang: Cancidas (injeksi).

2.2.6 ALILAMIN: TERBINAFIN


Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan
struktur mirip naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi
dermatofitosis, terutama onikomikosis. Namun, pada pengobatan
kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor, terbinafin biasanya
dikombinasikan dengan golongan imidazol atau triazol karena
penggunaannya sebagai monoterapi kurang efektif.
 Mekanisme Kerja
Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna, tetapi
bioavailabilitasnya menurun hingga 40% karena mengalami
metabolisme lintas pertama di hati. Obat ini terikat dengan protein
plasma lebih dari 99% dan terakumulasi di kulit, kuku dan jaringan
lemak. Waktu paruh awalnya adalah sekitar 12 jam dan berkisar
antara 200 sampai 400 jam bila telah mencapai kadar mantap. Obat
in masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah
pengobatan yang lama. Terbinafin dimetabolisme di hati menjadi
metabolit yang tidak aktif dan diekskresikan di urin.
.
 Indikasi:
Infeksi dermatofita pada kuku; infeksi kurap (termasuk tinea

17
pedis, tinea kruris dan tinea korporis), dimana terapi oral diperlukan
(disebabkan tempat, keparahan, atau luas).

 Kontraindikasi
Terbinafin tidak di indikasikan untuk pasien azotemia atau
gagal hati karena dapat terjadi peningkatan kadar terbinafin yang sulit
diperkirakan.
 Efek samping
Efek samping yang dapat muncul setelah menggunakan
terbinafin adalah sakit kepala, ruam, gatal-gatal, mual, diare, sakit
maag, nyeri lambung, gangguan pada indera pengecap, gangguan
penglihatan, penurunan fungsi hati.
 Dosis
Dosis Terbinafin adalah 250 mg per hari, biasanya selama 2-6
minggu untuk tinea pedis, 2-4 minggu untuk tinea kruris, 4 minggu
pada tinea korporis, 6 minggu - sampai 3 bulan untuk infeksi kuku
(kadang-kadang lebih lama pada infeksi toenail); ANAK (tidak
dianjurkan) biasanya selama 2 minggu, tinea kapitis, pada anak berusia
di atas 1 tahun, berat badan 10-20 kg, 62,5 mg sekali sehari; berat
badan 20-40 kg, 125 mg sekali sehari; berat badan lebih dari 40 kg,
250 mg sekali sehari.
 Sediaan
Tablet 250 mg dan krim
 Contoh merek dagang: Lamisil.

18
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN P-TREATMENT

Kasus :
Seorang laki-laki berkulit sawo matang berusia 20 tahun datang ke
praktek, dengan keluhan gatal dan terdapat bercak-bercak bewarna putih di
daerah punggung. Setelah dilakukan anamnesis diketahui bahwa pasien adalah
seorang yang belakangan ini sering berenang di kolam renang umum. Ia
mengaku bahwa saat berada di kolam renang tersebut sangat ramai dengan
banyak pengunjung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan terdapat berbentuk bulat
dan lonjong berdiameter sekitar 1-3cm. asien mengaku bercak tersebut mulai
muncul sekitar 1 bulan yang lalu di daerah leher.

Keluhan Utama : gatal-gatal sejak satu bulan yang lalu


Pemeriksaan Fisik : terdapat bercak putih berbentuk bulat dan lonjong, diameter
1-3 cm, di daerah punggung dan leher
Pemeriksaan Penunjang : -
Diagnosis : Tinea Versikolor (Panu)

Tahapan penentuan P-Treatment:


1. Menentukan problem pasien
2. Menentukan tujuan terapi
3. Menentukan pemilihan terapi
4. Melakukan pemberian terapi (resep jika ada)
5. Melakukan komunikasi terapi
6. Melakukan monitoring dan evaluasi
P-TREATMENT

19
A. Menentukan Problem Pasien
- Gatal
- Terdapat bercak putih di daerah punggung dan leher
B. Menentukan Tujuan Terapi
- Mengupayakan kondisi pasien bebas dari rasa gatal.
- Mengupayakan pasien bebas dari bercak putih pada punggung dan
leher untuk tujuan kosmetik.

C. Pemilihan Terapi
1) Terapi Non Farmakologis
- Menghindari faktor pencetus seperti berenang di kolam renang umum
yang kurang terjaga kebersihannya
- Menjaga higiene perseorangan seperti membilas badan dengan air
bersih dan sabun setelah berenang
- Menghindari menggunakan handuk secara bergantian dengan orang
lain

2) Terapi Farmakologis
Pilihan terapi farmakologis untuk tinea versikolor adalah sebagai berikut :

Golongan Efficacy Safety Suitability Cost


obat
Makrolid ++ + +++ +
Polien: Membentuk pori Efek Samping: KI : Injeksi:
Amfoterisin B di membran Tubuh gemetar, Pasien yang AmBisome,
jamur (yang kram otot, sakit hipersensitif serbuk injeksi
mengandung kepala, napas terhadap golongan 50 mg/vial
ergosterol) tetapi pendek atau obat ini, ibu
tidak di membran menjadi cepat, menyusui, pasien
mamalia detak jantung yang
(mengandung tidak teratur, mual mengkonsumsi

20
kolesterol). dan muntah, obat antineoplastik
Golongan obat ini lemas dan
merupakan obat kelelahan yang
antijamur dengan tidak wajar,
spektrum kerja kehilangan nafsu
paling luas namun makan, demam,
kurang diserap di nyeri pada lokasi
saluran cerna. injeksi
Karenanya,
makrolid polien
hanya efektif
untuk jamur di
lumen saluran dan
tidak dapat
digunakan untuk
penyakit sistemik.
Analog +++ ++ +++ +
Pirimidin: Flusitosin masuk Efek Samping: KI : - Ancobon
Flusitosisn ke dalam sel Mual, muntah, Pasien dengan kapsul
jamur dengan nafsu makan penyakit gangguan 250mg,
bantuan sitosin menurun, diare, ginjal, ibu hamil, 500mg
deaminase dan mulut kering, dan
dalam sitoplasma sakit kepala, hipersensitivitas - Cytoflu
akan bergabung sedasi, reaksi pada golongan obat tablet 250
dengan RNA alergi (kesulitan ini. mg, 500mg
setelah bernapas,
mengalami penyempitan
deaminasi saluran napas,
menjadi 5- pembengkakan

21
fluorourasil dan bibir, lidah, atau
fosforilasi. wajah, atau gatal
Sintesis protein gatal), nyeri dada,
sel jamur kulit atau mata
terganggu akibat menguning,
penghambatan sedikit, tidak ada
Iangsung sintesis urin, halusinasi,
DNA oleh kesemutan,
metabolit gangguan
fluorourasil. pendengaran.
Keadaan ini tidak
terjadi pada sel
mamalia karena
dalam tubuh
mamalia
flusitosin tidak
diubah menjadi
fluorourasil

Azole +++ ++ +++ +++


Menghambat Efek Samping: KI : - Erazol
enzim P450 jamur Iritasi, gatal, rasa Wanita hamil dan 15mg: krim,
yang berfungsi terbakar, maserasi menyusui, Rp 19.000,-
sebagai penambahan berat gangguan hati dan - Solinfec
katalisator untuk badan, timbulnya ginjal berat, 200mg x 10:
mengubah jerawat, terjadi hipersensitif, tablet,
lanosterol seborhea, tidak perdarahan genital Rp.19.140
menjadi ergostrol nafsu makan, abnormal yang - Daktarin
dan menganggu gangguan tidur. tidak terdiagnosa. bubuk 20 g,

22
sintesis ergosterol Rp. 58.055
jamur sehingga -Ketomed SS
mengakibatkan 2% Shampo
timbulnya defek 60ml,
pada membran sel Rp. 57.471
jamur
Ekinokandin: ++ + +++ +
Kaspofungin Obat ini bekerja Efek Samping: KI : - Cancidas,
dengan Demam, sakit Hipersensitivitas 50mg/vial
menghambat kepala, nyeri terhadap
sintesis beta perut, nyeri, kaspofungin asetat
(1,3)--glukan, kedinginan, mual,
suatu komponen muntah, diare,
esensial yang peningkatan
membentuk jumlah enzim hati
dinding sel jamur. (AST, ALT,
Dalam darah 97% alkalin fosfatase,
obat terikat direct bilirubin
protein dan masa dan bilirubin
paruh total),
eliminasinya 9-11 peningkatan
jam. Obat ini kreatinin serum,
dimetabolisme anemia
secara lambat (penurunan
dengan cara hemoglobin dan
hidrolisis dan hematokrit),
asetilasi. plebitis/trombople
Ekskresinya bitis, komplikasi
melalui urin pada tempat

23
hanya sedikit. pemberian infus,
Kaspofungin ruam kulit,
diindikasikan pruritus, bengkak
untuk infeksi pada wajah,
jamur kandidasis sensasi hangat,
invasif, bronkospasme,
kandidiasis anafilaktik,
esofagus, disfungsi hati,
kandidiasis udem perifer, dan
orofarings, hiperkalsemia
aspergilos invasif.
Alilamin: ++ ++ +++ ++
Terbinafin Terbianfin Efek Samping: KI : Termisil 1%,
digunakan untuk sakit kepala, pasien azotemia krim Rp.
terapi ruam, gatal-gatal, atau gagal hati 69.000
dermatofitosis, mual, diare, sakit karena dapat Terbinafin
khususnya maag, nyeri terjadi peningkatan 250mg tablet,
onikomikosis. lambung, kadar terbinafin Rp. 25.050
Terbinafin adalah gangguan pada yang sulit
obat keratofilik indera pengecap, diperkirakan.
yang bersifat gangguan
fungisidal. penglihatan,
Seperti obat azol, penurunan fungsi
obat ini hati
mengganggu
pembentukan
ergosterol, tetapi
terbinafin tidak
berinteraksi

24
dengan sistem
P450. Terbinafin
menghambat
enzim skualen
epoksida jamur,
hal ini
menyebabkan
akumulasi
skualen sterol,
yang toksik bagi
organisme.

Berdasarkan tabel diatas, pilihan anti fungi yang sesuai dengan kondisi
pasien adalah golongan azole karena spektrum kerja azole yang luas. Bentuk
sediaan Azole dapat berupa tablet, krim, bubuk dan shampoo.

Golongan Efficacy Safety Suitability Cost


obat
Ketoconazole ++ ++ +++ +++
Menghambat Efek Samping: KI : Solinfec
enzim P450 jamur Iritasi, gatal, rasa Hipersensitivitas, Krim: 5g x 1
dan mengganggu terbakar, mual, penggunaan Rp 10.982
sintesis ergosterol muntah, sakit bersamaan dengan Solinfec
kepala, alergi, tefenadine, Tablet : 200
ginekomastia, dan astemizole, atau mg x 5 x 10
gangguan hati cisapride. Rp 95.700
Zoloral-SS
shampoo :

25
20mg/mL x
80mL x 1
Rp 46.500

Miconazole +++ ++ ++ ++
sel jamur Efek Samping: KI : Funtas krim:
terganggu akibat Mual, muntah, Pasien dengan 20g x 1
penghambatan nafsu makan penyakit gangguan Rp 35.000
Iangsung sintesis menurun, diare, ginjal dan ibu Mycorine
DNA oleh mulut kering, hamil, dan Gelenium
metabolit sakit kepala, hipersensitivitas bubuk : 25 g
fluorourasil. sedasi, reaksi pada golongan obat x1
Keadaan initidak alergi (kesulitan ini. Rp 38.500
terjadi pada sel bernapas,
mamalia karena penyempitan
dalam tubuh saluran napas,
mamalia pembengkakan
flusitosin tidak bibir, lidah, atau
diubah menjadi wajah, atau gatal
fluorourasil gatal), nyeri dada,
kulit atau mata
menguning,
sedikit, tidak ada
urin, halusinasi,
kesemutan,
gangguan
pendengaran.

26
Miconazole +++ ++ ++ ++
Flusitosin masuk Efek Samping: KI : Funtas krim:
ke dalam sel Mual, muntah, Pasien dengan 20g x 1
jamur dengan nafsu makan penyakit gangguan Rp 35.000
bantuan sitosin menurun, diare, ginjal dan ibu Mycorine
deaminase dan mulut kering, hamil, dan Gelenium
dalam sitoplasma sakit kepala, hipersensitivitas bubuk : 25 g
akan bergabung sedasi, reaksi pada golongan obat x1
dengan RNA alergi (kesulitan ini. Rp 38.500
setelah bernapas,
mengalami penyempitan
deaminasi saluran napas,
menjadi 5- pembengkakan
fluorourasil dan bibir, lidah, atau
fosforilasi. wajah, atau gatal
Sintesis protein gatal), nyeri dada,
sel jamur kulit atau mata
terganggu akibat menguning,
penghambatan sedikit, tidak ada
Iangsung sintesis urin, halusinasi,
DNA oleh kesemutan,
metabolit gangguan
fluorourasil. pendengaran.
Keadaan initidak
terjadi pada sel
mamalia karena
dalam tubuh
mamalia

27
flusitosin tidak
diubah menjadi
fluorourasil

D. Pemberian Terapi
1) Non-Farmakologis
- Menghindari faktor pencetus seperti berenang di kolam renang umum
yang kurang terjaga kebersihannya
- Menjaga higiene perseorangan seperti membilas badan dengan air bersih
dan sabun setelah berenang
- Menghindari menggunakan handuk secara bergantian dengan orang lain
2) Farmakologis
Berdasarkan tabel pemilihan obat p-treatment di atas,obat yang dipilih
adalah golongan Ketoconazole, yang ditinjau dari segi
efficacy,suittability,cost, dan safety. Dimana obat ini memiliki keunggulan
dari segi efficacy dan cost dibandingkan obat anti fungi golongan lain. Selain
itu, obat ini merupakan terapi lini pertama
PRAKTEK DOKTERdalam terapi tinea versicolor
BERSAMA
dr. Noverita Adilah
Jalan Perjuangan Nomor 11
Telp.0541-727777
SIP.1910027016

Samarinda, 13 Desember 2019

R/ Solinfec krim 5 g I
S 2dd cap I pc

Pro: Ny. Maria


Umur: 22 tahun
Alamat: Jalan X no.Y

28
E. Komunikasi Terapi
1) Informasi Penyakit
- Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara normal berada di kulit
- Penyakit tidak menular
- Bercak putih tidak permanen dan dapat kembali normal dalam 1-2 bulan
setelah pengobatan di mulai
2) Infomasi Terapi Non-Farmakologis
- Menghindari faktor pencetus seperti berenang di kolam renang umum
yang kurang terjaga kebersihannya
- Menjaga higiene perseorangan seperti membilas badan dengan air bersih
dan sabun setelah berenang
- Menghindari menggunakan handuk secara bergantian dengan orang lain

3) Informasi terapi farmako


- Indikasi : epilepsi semua jenis kecuali petit mal
- Kontraindikasi : gangguan konduksi AV, riwayat depresi sumsum
tulang, porfiria, penggunaan bersama MAOI
- Dosis : 100 – 200 mg , 1 – 2x/ hari untuk dosis awal,
ditingkatkan 400 mg 2-3x/hari.
- Cara pemakaian : oral
- Efek samping : efek samping yang sering muncul penurunan
nafsu makan, mulut kering, mual, mntah, pusing, dengan efek samping
lain yang jarang berupa mengantuk, sakit kepala, ataksia, bingung dan
agitasi, gangguan penglihatan, konstipasi, diare, ruam, eritema,
leukopenia dan gangguan darah lain, hepatitis, sindrom steven johnson,
atralgia, demam, proteinuria, gangguan konduksi jantung, depresi,
impotensi, ginekomastia, galaktorea, fotosensitivitas, hipertensi
pulmonar, hiponatremi, edema, penurunan nafsu makan, mulut kering.

29
F. Monitoring dan evaluasi
- Kontrol pengobatan, pasien harus kontrol kembali sebelum obatnya
habis
- Obat dihentikan minimal setelah 2 tahun bebas serangan, dan tidak
dijumpai retardasi psikomotor dan devisit neurologis. dosis dikurangi
sebesar 25% tiap 2 atau 4 minggu
- Monitoring obat dalam serum.

30
BAB IV
PENUTUP

Adapun kesimpulan dari kasus pasien di atas antara lain:


1. Pasien menderita epilepsi bangkitan umum tonik klonik (grand mal).
2. Terapi farmakologis yang diberikan adalah golongan carbamazepin dengan
dosis yang diberikan 200 mg sebanyak 2x sehari.
3. Terapi tidak boleh putus di tengah jalan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Fitriana, R. (2018, August 27). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.


Retrieved September 16, 2019, from Direktorat Jendral Pelayanan
Kesehatan: http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html
Harsono. (2015). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Katzung, B. G. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik (10 ed.). Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017, August 2). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Epilepsi pada Anak.
Jakarta.
Munir, B. (2015). Neurologi Dasar. Malang: Sagung Seto.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2016). Panduan Praktis Klinis
Neurologi. Jakarta: PERDOSSI.
Pico, G. M. (Ed.). (2017). MIMS Petunjuk Konsultasi (17 ed.). Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Team Medical Mini Notes . (2019). Basic Pharmacology and Drug Notes.
Makassar: MMN Publishing.
Utama, H., & Gan, V. H. (2011). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.

32

Anda mungkin juga menyukai