Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

MODUL PENGINDERAAN

Kelompok B2
Octa Tirandha

I11112077

Muhammad Anugerah Perdana I1011131001


Fildzah Aisyah

I1011131010

Putri Sondang Pasaribu

I1011131017

Antony Halim

I1011131029

Gusti Ahmad Faiz Nugraha

I1011131040

Deby Wahyu Putriana

I1011131052

Khuswatun Hasanah

I1011131054

Siti Aulia Rahmah

I1011131063

Sari Irmayanti. S

I1011131073

Jefrianto

I1011131078

Pamela Rita Sari

I1011131085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan organ fotosensoris yaitu organ yang menerima
rangsangan cahaya. Cahaya masuk melintasi kornea, lensa, dan beberapa
struktur refraksi di dalam orbita. Cahaya lalu difokuskan oleh lensa ke retina
yang mengandung sel-sel batang dan kerucut yang akan mengubah impuls
cahaya menjadi impuls saraf untuk diteruskan oleh saraf optik ke otak untuk
diproses.

Mata

harus

menangkap

cahaya

di

lingkungan

sebagai

gambar/bayangan optis di suatu lapisan sel peka sinar,yaitu retina agar dapat
melihat.1
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan
yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola
mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan
panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah
melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah macula lutea.mata normal
disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat
diretina pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahta melihat
jauh.1,2
Untuk dapat melihat dengan jelas objek yang jauh, susunan otot siliaris
yang teratur secara sirkular akan akan mendorong lensa dan membuatnya lebih
pipih. Tanpa otot tersebut, lensa akan tetap menjadi lebih tebal, dan berbentuk
lebih konveks. Manusia secara perlahan akan kehilangan fleksibilitas karena
usia, yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk memfokuskan objek yang
dekat yang disebut juga presbiopi. Ada beberapa gangguan refraksi lainnya
yang mempengaruhi bantuk kornea dan lensa atau bola mata, yaitu miopi,
hipermetropi, astigmatisma dan afakia.1
Miopi atau rabun jauh memiliki panjang bola mata anteroposterior yang
terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Pasien
miopia akan mengeluh melihat buram bila melihat jauh dan dapat disertai

keluhan sakit kepala dan celah kelopak yang menyempit. Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau
berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan meberikan
kacamata sferis negative terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal. Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan
kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan
sehingga titik fokusnya terletak dibelakang retina. Pada hipermetropia sinar
sejajar difokuskan di belakang macula lutea. Pada pasien dengan
hipertmetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif atau lensa positif
terbesar yang memberikan tajam penglihatan maksimal.2,3
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
sehingga mata terseut menjadi hipermetropia tinggi. Sedangkan astigmatisma
berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam retina akan tetapi
pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea.1
Sistem lensa mata yang positif menyebabkan terkumpulnya sinar hasil
pembiasan pada retina. Posisi bintik kuning retina sendiri terletak pada garis
median dari sistem lensa mata. Bila sinar datang sejajar sumbu utama akan
dibelokan melalui jari-jari lensa, sedangkan bila sinar datang melalui pusat
kelengkungan lensa akan diteruskan dan bila sinar datang dari arah selain itu
akan dibelokan sejajar sumbu utama.2
Jarak 6 meter menjadi standar pengukuran tajam penglihatan. Tes tajam
penglihatan (visus) dilakukan pada jarak 6 meter dari Snellen chart. Hasil
pemeriksaan visus normal adalah 6/6, artinya benda yang seharusnya dapat
dilihat dengan jelas pada jarak 6 meter, ternyata dapat dilihat dengan jelas pada
jarak 6 meter. Bila hasil pemeriksaan menyatakan visus < 6/6, misal 4/6 atau
5/6, maka benda yang seharusnya dapat dilihat dengan jelas pada jarak 6 meter,
ternyata dapat dilihat dengan jelas pada jarak 4 dan 5 meter.2
Kelainan refraksi mata dihasilkan dari penurunan dan penambahan
konvergensi sistem lensa mata. Secara umum dikenal 2 jenis kelainan dasar

refraksi mata, yaitu hipermetropi dan miopi. Kelainan ini dapat dikoreksi
dengan menggunakan lensa sferis berdasarkan jenis kelainan yang dialami.
pada miopi digunakan lensa sferis negatif dan lensa sferis positif pada
hipermetrofi.3
Diplopia merupakan keluhan subjektif dimana mata melihat dua
gambar bukan satu gambar. Diplopia terdiri atas diplopia monocular dan
diplopia binocular. Diplopia binokuler merupakan gangguan kapasitas
fungsional dari sistem binokuker. Koordinasi neuromuscular normal tidak
dapat mempertahankan korespondensi objek visual pada retina dari kedua
mata. Diplopia binokuler berhubungan dengan keganasan mata. Diplopia
binokuler dapat diatasi dengan menutup salah satu mata. Diplopia monokuler
dapat terjadi akibat dari media mata yang abnormal (misalnya distorsi kornea,
katarak, kelainan vitreus). Pada diplopia monokuler walaupun sudah menutup
salah satu mata, benda yang dilihat masih terlihat rangkap.1,3
Refleks cahaya terjadi konstriksi pupil yang seimbang dan terjadi
bersamaan di kedua mata. Jalur pupil bersamaan dengan jaras penglihatan.
Namun pada akhir traktus optic, serat pupil memasuki pretectal midbrain dan
nucleus Edinger Westphal. Saraf Parasimpatis keluar bersama dengan nervus
okulomotorius menuju ganglion siliaris dan terus ke m.spinter pupil.2
Pada waktu mata melihat dekat akan terjadi tiga reaksi: akomodasi,
konvergensi dan pengecilan pupil yang akan memberikan pembentukan
bayangan yang terfokus tajam pada titik retina yang bersangkutan.1,2
Bintik buta merupakan suatu daerah di retina mata yang merupakan
jalur saraf penglihatan menuju ke otak, dan terdapat tepat di jalur keluar
tersebut tidak terdapat sel fotoreseptor, sehingga jika bayangan jatuh tepat pada
di tempat tersebut maka otak tidak akan mendapatkan sinyal dari rangsangan
cahaya tersebut.1,3
Buta warna merupakan salah satu gangguan penglihatan mata
dikarenakan tidak atau kurang dapatnya pasien untuk membedakan warna. Uji
ishihara merupakan uji untuk mengetahui uji defek penglihatan warna
didasarkan pada menetukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan

berbagai ragam warna. Pemeriksaan memakai sau seri titik bola kecil dengan
warna dan besar yang berbeda sehingga dalam keseluruhan terlihat warna pucat
yang menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan warna melihatnya.2
Pada praktikum ini akan dilakukan pemeriksaan terhadap penginderaan,
yaitu mata. Pemeriksaan yang dilakukan dengan memakai beragam percobaan
ini agar mengetahui mekanisme kerja dari setiap sistem penginderaan normal,
dimana setiap percobaan akan dilakukan secara berkelompok menurut fungsi
sistem penginderaan tersebut. Sebagai contoh, pemeriksaan penglihatan yang
menggunakan perimetri yaitu untuk menilai luas lapang pandang.
1.2 Tujuan Praktikum
1.2.1 Model Fungsional Mata
1.2.1.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami dasar-dasar refraksi dan kelainan serta tindakan
koreksinya melalui model fungsional mata.
1.2.1.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan padanan bagian-bagian model fungsional mata
dengan bagian-bagian mata serta fungsinya.
b. Mendemonstrasikan pelbagai keadaan refraksi serta tindakan
koreksinya dengan menggunakan model fungsional mata:
1) Mata emetrop tanpa akomodasi.
2) Mata miopia serta tindakan koreksinya
3) Mata hipermetropia serta tindakan koreksinya.
1.2.2 Refraksi
1.2.2.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami dasar-dasar refraksi dan kelainan serta tindakan
koreksinya pada manusia
1.2.2.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan hubungan diskriminasi dua titik dengan sudut
penglihatan minimal.
b. Menjelaskan dasar pembuatan optotipi Snellen.
c. Menjelaskan pengertian visus dan refraksi pada manusia.

d. Menjelaskan dasar-dasar penetapan visus seseorang dengan


menggunakan optotipi Snellen.
e. Mendemonstrasikan pelbagai kelainan refraksi serta prinsip
tindak koreksinya pada manusia.
1) Mata miopia serta tindakan koreksinya.
2) Mata hipermetropia serta tindakan koreksinya
f. Mendemonstrasikan adanya astigmatisma pada seseorang
dengan menggunakan gambar kipas Lancaster-Regan.
1.2.3 Percobaan Diplopia
1.2.3.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami mekanisme timbulnya diplopia.
1.2.3.2 Tujuan Khusus
a. Mendemonstrasikan peristiwa diplopia.
b. Menjelaskan mekanisme timbulnya diplopia.
1.2.4 Refleks Pupil
1.2.4.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami dasar-dasar reflex pupil langsung dan tak langsung
(konsensual).
1.2.4.2 Tujuan Khusus
a. Mendemonstrasikan refleks pupil langsung dan tak langsung
(konsensual).
b. Menjelaskan dasar-dasar refleks pupil langsung dan tak
langsung (konsensual).
1.2.5 Reaksi Melihat Dekat
1.2.5.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami peristiwa yang terjadi pada mata waktu melihat jauh dan
dekat.
1.2.5.2 Tujuan Khusus
a. Mendemonstrasikan 3 peristiwa yang terjadi pada waktu mata berubah
dari melihat jauh ke melihat dekat.
b. Menjelaskan 3 peristiwa yang terjadi pada waktu mata berubah dari
melihat jauh ke melihat dekat.

1.2.6 Pemeriksaan Bintik Buta


1.2.6.1 Tujuan Instruksional Umum
Memahami letak bintik buta terhadap fovea sentralis di retina.
1.2.6.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan cara membuat proyeksi eksternal bintik buta.

b. Mendemonstrasikan proyeksi eksternal bintik buta terhadap


fovea sentralis.
1.2.7

Buta Warna

1.2.7.1 Tujuan Instruksional Umum


Memahami buta warna organik dan fungsional.
1.2.7.2 Tujuan Khusus
a. Menentukan ada tidaknya buta warna organik pada seseorang
dan jenis kelainan buta warna seseorang (jika ada) berdasarkan
buku pseudoisokromatik Ishihara.
b. Mendemonstrasikan cara menimbulkan buta warna fungsional
pada seseorang dan menerangkan mekanisme terjadinya
1.3 Manfaat
1.3.1

Mengetahui dan memahami fungsi-fungsi bagian mata melalui model


fungsional mata

1.3.2

Mengetahui dan memahami jenis-jenis kelainan pada pada proses


penglihatan yang terjadi pada mata

1.3.3

Mengetahui dan memahami prinsip refraksi, tajam penglihatan dan


koreksi pada mata

1.3.4

Mengetahui dan memahami mengenai diplopia

1.3.5

Mengetahui dan memahami mengenai refleks pupil

1.3.6

Mengetahui dan memahami mengenai reaksi melihat dekat pada mata

1.3.7

Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan bintik buta

1.3.8

Mengetahui dan memahami mengenai buta warna


BAB II
METODOLOGI

2.1 Model Fungsional Mata


2.1.1

Alat dan Bahan


1. Model fungsional mata dengan perlengkapannya
2. Lampu senter

2.1.2

Tata Kerja
1. Mata sebagai susunan optik (Demonstrasi)
Pelajari model fungsional mata dengan perlengkapannya
a. Kornea
b. Iris
c. Tiruan lensa yang diisi air
d. Retina yang dapat diatur pada 3 posisi
e. Benda yang akan diberi cahaya
f. Lensa sferis positif
g. Lensa sferis negatif

2. Pembentukan bayangan benda


a. Pasang retina di posisi II (sesuai penanda bagian tengah pada
retina)
b. Letakkan benda yang akan disinari di depan model mata
c. Hidupkan senter dan arahkan pada benda hingga tampak bayangan
jelas pada retina (jarak benda dapat disesuaikan sampai diperoleh
bayangan jelas pada retina.
3. Hipermetropia
a. Setelah diperoleh bayangan tegas (butir II nomor 3) pindahkan
retina ke posisi III (sesuai penanda bagian belakang pada retina).
Perhatikan bayangan menjadi kabur lagi.

b. Koreksi kelainan ini dengan meletakkan lensa yang sesuai (pada


tempat lensa sferis) sehingga bayangan menjadi tegas kembali.
c. Catat jenis dan kekuatan lensa yang saudara gunakan!
4. Miopia
a. Angkat lensa sferis dari tempat lensa! Kembalikan retina ke posisi
I. Perhatikan bayangan yang tegas.
b. Pindahkan retina ke posisi I (sesuai penanda bagian depan pada
retina). Perhatikan bayangan menjadi kabur.
c. Perbaiki kelainan ini dengan meletakkan lensa yang sesuai di
tempat lensa sferis sehingga bayangan menjadi tegas.
d. Catat jenis dan kekuatan lensa yang saudara gunakan!
5. Mata Afakia
a. Buat susunan seperti butir II nomor 3!
b. Lepaskan lensa sehingga terjadi mata afakia, yaitu mata tanpa
lensa kristalina.
2.2 Refraksi
2.2.1

Alat dan Bahan


1. Optotipi Snellen
2. Seperangkat lensa percobaan (trial lense)
3. Meteran
4. Occluder

2.2.2

Tata Kerja
1. Visus (Ketajaman Penglihatan)
a. Lakukan percobaan ini pada minimal satu orang percobaan
(OP). Instruksikan OP untuk duduk menghadap optotipi Snellen
pada jarak 6 m.
b. Pasang bingkai kacamata khusus pada orang percobaan dan
tutup mata kirinya dengan occluder yang tersedia dalam kotak
lensa!

c. Periksa visus mata kanan OP dengan menyuruhnya membaca


huruf yang saudara tunjuk. Mulailah dari baris huruf yang
terbesar (seluruh huruf) sampai baris huruf yang huruf terkecil
(seluruh huruf) yang masih dapat dilihat dengan jelas dan tegas
serta dibaca OP dengan benar tanpa kesalahan.
d. Catat visus mata kanan OP
e. Ulangi pemeriksaan ini pada: mata kiri, kedua mata bersamasama
f. Catat hasil pemeriksaan saudara
2. Refraksi dan Koreksinya
Dari pemeriksaan visus di atas (butir II) telah diketahui visus tanpa
menggunakan lensa. Pada pemeriksaan berikut ini akan diperiksa daya
bias susunan optik mata (refraksi mata).
Refraksi
a. Jika visus orang percobaan tanpa lensa = 6/6, maka refraksi mata
itu tak mungkin miopi (M). Refraksi mata tersebut mungkin E
(emetrop) atau H (hipermetrop).
b. Untuk membedakan refraksi mata OP yang mempunyai visus 6/6
tersebut emetrop atau hipermetrop, maka dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut.
c. Pasang bingkai kacamata khusus pada orang percobaan dan tutup
mata kirinya dengan occluder.
d. Pasang lensa sferis +0,25 D di depan amta kanannya dan periksa
lagi visusnya.
e. Jika refraksi mata kanan OP adalah emetropia, pemeriksaan
dihentikan.
f. Jika refraksi mata OP adalah hipermetropia, teruskan pemasangan
lensa-lensa dengan setiap kali memberikan lensa positif yang 0,25
D lebih kuat

g. Lensa positif yang terkuat, yang memberikan visus maksimal


merupakan ukuran bagi derajat hipermetrop yang dinyatakan
dalam dioptri (D).
h. Catat derajat hipermetropia orang percobaan dalam dioptri.
Koreksi
a. Jika visus mata kanan OP tanpa lensa lebih kecil dari 6/6, maka
refraksi mata OP biasanya miopia. Untuk menetapkan derajat
miopia dilakukan pemeriksaan sebagai berikut.
b. Pasang bingkai kacamata khusus pada orang percobaan dan tutup
mata kirinya dengan occluder.
c. Pasang lensa sferis negatif di depan mata kanannya, mulai dari
-0,25 D dengan setiap kali memberikan lensa negatif yang 0,25 D
lebih kuat.
d. Periksa lagi visusnya setiap kali setelah perubahan kekuatan lensa.
e. Lensa negatif terlemah yang memberikan visus maksimal,
merupakan ukuran bagi derajat miopia yang dinyatakan dalam
dioptri.
f. Catat derajat miopia orang percobaan dalam dioptri.
2.3 Percobaan Diplopia
2.3.1

Tata Kerja
a. Pandang suatu benda dengan kedua mata
b. Tekan bola mata kiri dari lateral untuk menimbulkan pergeseran
sumbu bola mata ke medial.
c. Perhatikan terjadinya penglihatan rangkap.

2.4 Refleks Pupil


2.4.1

Alat dan Bahan


1. Penlight

2.4.2

Tata kerja

a. Sorot mata kanan OP dengan lampu senter dan perhatikan


perubahan diameter pupil pada mata tersebut.
b. Sorot mata kanan OP dengan lampu senter dan perhatikan
perubahan diameter pupil pada mata kirinya.
b.5 Reaksi Melihat Dekat
b.5.1

Tata Kerja
a. Instruksikan OP untuk melihat jari pemeriksa yang ditempatkan
pada jarak 1/2 m di depannya.
b. Sambil memperhatikan pupil OP, dekatkan jari pemeriksa sehingga
kedua mata OP terlihat berkonvergensi.

b.6 Pemeriksaan Bintik Buta


b.6.1

Alat dan Bahan


1. Kertas putih
2. Pulpen

2.6.2

Tata Kerja
a. Gambarlah tanda + di tengah sehelai kertas putih yang cukup lebar.
Letakkan kertas itu di atas meja.
b. Instruksikan OP untuk menutup mata kirinya, menempatkan mata
kanan tepat di atas tanda + pada jarak 20 cm, dan mengarahkan
pandangannya pada tanda tersebut.
c. Dengan mata OP tetap diarahkan pada tanda +, gerakkan ujung
pensil mulai dari tanda + tersebut ke lateral mata yang diperiksa,
perlahan-lahan sampai ujung pensil tidak terlihat dan kemudian
terlihat kembali. Beri tanda pada kertas di mana ujung pensil mulai
tidak terlihat dan mulai terlihat kembali. Tetapkan titik tengahnya
(beri tanda T).
d. Dengan titik T sebagai titik pusat, buat 8 garis sesuai dengan 8
penjuru angin. Gerakkan ujung pensil ke 8 garis dengan setiap kali
melewati titik T sambil mata OP tetap difokuskan pada tanda

palang. Buatlah tanda di kertas tiap kali ujung pensil mulai tidak
terlihat dan mulai terlihat lagi (jumlah tanda 8, selain titik T).
e. Hubungkan semua titik ini, maka ini merupakan proyeksi eksternal
bintik buta mata kanan OP.
2.7

Buta Warna
2.7.1 Alat dan Bahan
1. Buku pseudoisokromatik Ishihara
2.7.2 Tata Kerja
a. Instruksikan OP untuk mengenali angka atau gambar yang terdapat
di dalam buku pseudoisokromatik Ishihara.
b. Catat hasil pemeriksaan saudara.

BAB III
HASIL

3.1 Model Fungsional Mata


1. Mata Emetrop
Bayangan : Nyata, terbalik, diperbesar
2. Mata hipermetropi
Bayangan : terlihat jelas
Koreksi : lensa sferis positif
3. Mata miopia
Bayangan : terlihat jelas
Koreksi : lensa sferis negatif
4. Mata afakia
Bayangan kabur
Koreksi : lensa artifisial
3.2 Refraksi
Probandus 1: Wanita (Sari Irmayanti)
Hasil pengukuran visus
Okuli dekstra: 20/120
Okuli sinistra: 20/80
Hasil koreksi
Okuli dekstra: lensa sferis -2,25D
Okuli sinistra: lensa sferis -2,00D
Probandus 2: Pria (Gusti Ahmad Faiz Nugraha)
Hasil pengukuran visus
Okuli dekstra: 80/20
Okuli sinistra: 80/20
Hasil koreksi
Okuli dekstra: lensa sferis -2,00D
Okuli sinistra: lensa sferis -1,75D
3.3 Diplopia

Terjadi bayangan ganda pada penekanan lateral kedua bola mata ke arah
medial
3.4 Refleks pupil
1. Konsensual langsung
a. cahaya mendekat : pupil mengecil
b. cahaya menjauh : pupil membesar
2. Konsensual tidak langsung
a. cahaya mendekat : pupil mengecil
b. cahaya menjauh : pupil membesar
3.5 Reaksi Melihat Dekat
Jauh-dekat : Pupil tidak berubah, pupil mata ke medial
Dekat-jauh : Pupil tidak berubah, bola mata ke medial
3.6 Pemeriksaan Bintik Buta

3.7 Buta Warna

OP dapat mengenali angka atau gambar yang terdapat di dalam buku


pseudoisokromatik Ishara.

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Model Fungsional Mata
4.1.1

Mata sebagai susunan optik (Demonstrasi)


Mata merupakan suatu organ fotosensoris yang memiliki fungsi
sebagai organ penglihatan. Suatu model mata sebagai susunan optik
disediakan 3 posisi retina, karena akan dilihat (didemostrasikan)
berbagai bentuk refraksi yang terjadi pada mata saat terjadinya proses
penglihatan, baik itu pada mata emetrop tanpa akomodasi, mata miopia,
serta mata hipermetropia. Adapun cara membedakan lensa sferis negatif
dengan lensa sferis positif yakni dengan menggerakkan lensa di atas
deretan huruf, maka akan terlihat bahwa pada lensa positif huruf akan
bergerak ke arah yang berlawanan dengan gerakan lensa, pada lensa
negatif terjadi peristiwa sebaliknya yaitu huruf bergerak searah dengan
gerakan lensa.4
Cara terbaik yang dapat digunakan untuk menentukan jenis dan
kekuatan lensa adalah dengan menggunakan alat yang bernama
lensometer/ focimeter/ ultimeter/ vertometer. Lensometer sendiri ada
yang manual, dan ada yang digital. Selain menggunakan lensometer
juga bisa menggunakan auto refractometer untuk mengukur lensa yang
tepat unutk digunakan seorang pasien yang mengalami gangguan pada
penglihatannya.4

4.1.2 Pembentukan bayangan benda


Sifat bayangan yang terbentuk pada saat praktikum adalah maya,
terbalik, tidak diperbesar atau diperkecil (normal). Bayangan maya
adalah bayangan yang terbentuk dari perpotongan perpanjangan sinarsinar pantul cahaya. Pada mata emetrop, sifat bayangan yang terbentuk
seharusnya nyata, terbalik, dan diperkecil.4
Pupil adalah bagian mata yang berfungsi mengatur besar kecilnya
cahaya yang masuk ke bola mata. Retina adalah selaput tipis di bagian
belakang bola mata. Lapisan itu paling banyak mengandung saraf

penglihatan. Bayangan yang ditangkap retina bersifat nyata dan terbaik.


Fovea atau bintik kuning adalah bagian retina, tempat berkumpulnya
ujing-ujung saraf penglihatan sehingga paling peka terhadap rangsang
(impuls) cahaya.4
Syarat kita dapat melihat benda adalah harus ada cahaya. Cahaya
dapat berasal langsung dari sumber cahaya atau berasal dari cahaya
yang dipantulkan oleh benda-benda yang ada di sekeliling kita. Cahaya
masuk menembus kornea, terus melewati lensa mata, dan akhirnya
sampai ke retina. Bayangan benda jatuh tepat di bintik kuning, bersifat
nyata, terbalik, dan diperkecil. Bayangan itu merupakan rangsangan
atau informasi yang dibawa oleh syaraf penglihatan menuju pusat
syaraf penglihatan di otak. Di otak, rangsangan ditafsirkan dan barulah
kemudian kita mendapat kesan melihat benda.4
Lensa mata mengatur penyesuaian terhadap jarak benda dengan
jalan mengatur cembung dan pipihnya lensa sehingga bayangan jatuh di
retina. Proses itu disebut berakomodasi. Apabila jarak benda sangat
dekat, lensa akan mencembung. Sebaliknya, apabila jarak benda jauh,
lensa mata akan memipih. Lensa mata dalam keadaan secembungcembungnya, dikatakan berakomodasi maksimum. Sebaliknya, lensa
mata dalam keadaan sepipih-pipihnya, dikatakan berakomodasi
minimum atau tidak berakomodasi.4
4.1.3

Hipermetropi
Hipermetropi atau yang biasa disebut dengan hiperopia adalah
keadaan yang mana mata tidak berakomodasi dan memfokuskan cahaya
ke belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang
sumbu (hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital
tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hiperopia refraktif), seperti
pada afakia. Bayangan yang jatuh di belakang retina membuat
bayangan yang terbentuk menjadi kabur. Namun pada praktikum
didapatkan hasil bahwa bayangan tampak jelas. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh adanya kesalahan pada saat praktikum. Cahaya yang
digunakan untuk praktikum bukan cahaya konvergen (fokus pada satu

titik) sehingga membuat hasil yang didapatkan tidak sesuai teori. Lensa
yang digunakan untuk mengkoreksi hipermetropi adalah lensa sferis
positif sehingga bayangan dapat jatuh tepat di retina.3,5
4.1.4

Miopia
Miopia adalah keadaan yang mana bia bayangan benda yang
terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak
berakomodasi. Lensa sferis konkaf negatif biasanya dilakukan untuk
mengoreksi bayangan pada miopia. Lensa ini memundurkan bayangan
ke retina. Ketika bayangan jatuh di depan retina, bayangan yang
terbentuk menjadi kabur. Namun pada praktikum didapatkan hasil
bahwa bayangan tampak jelas. Seperti pada praktikum hipermetrop
sebelumnya, hal ini mungkin diakibatkan oleh adanya kesalahan pada
saat praktikum. Cahaya yang digunakan untuk praktikum bukan cahaya
konvergen (fokus pada satu titik) sehingga membuat hasil yang

4.1.5

didapatkan tidak sesuai teori.4,5


Afakia
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Penyebab paling
sering afakia adalah operasi pengangkatan lensa. Afakia dapat dikoreksi
menggunakan lensa kontak, kacamata, atau operasi. Kaca mata afakia
hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral, jika hanya satu
mata maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata
(aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kaca
mata,

maka

dipertimbangkan

penanaman

lensa

intraokuler

(pseudofakia) dan diperlukan tatalaksana untuk komplikasi.5,6

4.2 Refraksi Mata


Pembelokan sebuah berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika suatu berkas
cahaya berpindah dari satu medium dengan tingkat kepadatan tertentu ke
medium dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Dikenal beberapa titik di

dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan titik terdekat


dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum Remotum
adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik
ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau
foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di
depan mata.3
Derajat refraksi ditentukan oleh dua faktor, yaitu: rasio indeks bias dari
kedua media transparan dan derajat kemiringan antara bidang peralihan dan
permukaan gelombang yang datang. Pada permukaan yang melengkung
seperti lensa, semakin besar kelengkungan, semakin besar derajat pembiasan
dan semakin kuat lensa. Suatu lensa dengan permukaan konveks (cembung)
menyebabkan konvergensi atau penyatuan berkasberkas cahaya, yaitu
persyaratan untuk membawa suatu bayangan ke titik fokus. Dengan demikian,
permukaan refraktif mata bersifat konveks. Lensa dengan permukaan konkaf
(cekung) menyebabkan divergensi (penyebaran) berkasberkas cahaya.3
Pada pemeriksaan visus okuli dekstra, maka okuli sinistra probandus
ditutup menggunakan occluder dan probandus disuruh menyebutkan huruf
yang ada di optotipi Snellen dari jarak 20 kaki (6 meter) dan demikian pada
pemeriksaan visus okuli sinistra. Setelah diketahui visus masing-masing mata
kemudian dilakukan koreksi. Untuk menentukan koreksi pada visus pada
probandus dilakukan menggunakan lensa sferis negatif dari yang terkecil
dahulu yaitu -0,25D dan secara bertahap ditambah 0,25D hingga visus
probandus menjadi jelas. Pada koreksi visus, ketika menggunakan lensa sferis
negatif haruslah lensa dengan dioptri yang terkecil dengan hasil visus yang
paling baik.3

Probandus 1
Hasil pemeriksaan visus menunjukkan terdapat perbedaan antara okuli
dekstra dan okuli sinistra, hal tersebut berkaitan dengan dominasi mata yang

sering digunakan saat beraktivitas. Pada probandus okuli dekstra memiliki


visus yang lebih kecil dibanding okuli sinistra, hal itu menunjukkan bahwa
okuli dekstra probandus lebih dominan digunakan dalam beraktivitas. Hasil
pemeriksaan visus yang dibawah 20/20 menandakan bahwa probandus
mengalami kelainan refraksi mata berupa miopia atau rabun jauh.
Miopia adalah kelainan refraksi mata dimana refraksi cahaya terlalu
konvergen sehingga bayangan jatuh didepan retina. Kelainan miopia dapat
terjadi pada struktur mata yang terlalu lonjong (miopia aksial) ataupun pada
m. cilliaris yang rigid akibat mata sering berakomodasi sehingga tonus akan
meningkat dan fleksibilitas menurun menyebabkan lensa mata sulit untuk
berakomodasi (miopia refraktif).3
Probandus 2
Pada probandus 2, hasil yang didapatkan berupa 80/20 untuk mata kiri dan
kanan. Hasil ini menunjukkan bahwa visus probandus mengalami perubahan
akibat adanya kelainan refraksi mata. Kelainan refraksi mata yang dialami
oleh

probandus

adalah

miopia,

dikarenakan

dengan

pengkoreksian

menggunakan lensa negatif, visus probandus menjadi semakin jelas. Visus


mata kanan pasien menjadi jelas setelah dikoreksi dengan lensa -2,0 Dioptri.
Sedangkan untuk mata kiri, setelah dilakukan pengkoreksian, tiga ukuran
lensa koreksi (-1.75 D,-2.0 D, -,2.25 D) menyebabkan visus pasien menjadi
jelas. Namun, lensa koreksi yang digunakan adalah -1.75 D, dikarenakan agar
mata dapat beristirahat setelah dikoreksi. Hal ini juga sesuai dengan prinsip
pengobatan pasien dengan miopia, karena lensa yang diberikan adalah lensa
dengan bilangan negatif terkecil dan memberikan ketajaman penglihatan
maksimal.3
Pada praktikum yang dilakukan, jarak baca harus 6 m, dikarenakan pada
jarak 6 m (20 ft) merupakan keadaan saat mata tidak memerlukan akomodasi
ketika melihat benda. Apabila pada pemeriksaan tersebut orang percobaan
hanya mampu membaca lancar tanpa kesalahan sampai pada baris huruf yang
ditandai dengan angka 30 Ft (9,14 m), visus mata kanan dari OP adalah

20/30. Menandakan bahwa OP dapat melihat dengan jelas suatu benda pada
jarak 20 ft, dimana orang dengan visus normal dapat melihat jelas suatu
benda pada jarak 30 ft.3
Dasar pembuatan optotipi Snellen, antara lain pada tahun 1862 Prof.
Hermann Snellen seorang spesialis mata dari Belanda membuat sebuah
metode penilaian tajam penglihatan yang diberi nama Optotype. Optotipi
Snellen digunakan untuk pemeriksaan visus sebab huruf optotipi yang ada
dirancang sesuai uji ketajaman penglihatan yang kemungkinan 2 garis terlihat
terpisah dan tetap terlihat segaris, sedangkan huruf-huruf di garis terkecil
yang dapat dibaca orang normal pada jarak 6 meter memberi sudut
penglihatan 5 menit dan garis CII huruf dipisahkan oleh sudut sebesar 1
menit. Dengan demikian jarak pisah minimal pada orang normal sesuai
dengan sudut penglihatan sebesar sekitar 1 menit.3
Selain itu dasar dari pembuatan optotipi Snellen adalah rata-rata kekuatan
mata manusia untuk membedakan adalah 1 menit busur. Karena unit Snellen
dibuat dari unit persegi 5 x 5, huruf berukuran 20/20 memiliki sudut
penglihatan 5 menit busur pada jarak 20 ft. Hal ini sama dengan tinggi dan
lebar 8,7 mm. Mata memperkecil benda dengan jarak 20 ft sekitar 350 kali.
Dengan demikian ukuran tinggi dan lebar huruf 20/20 adalah 1,025 mm di
retina. optotipi Snellen dibuat sedemikian rupa sehingga huruf tertentu
dengan pusat optik mata membentuk sudut sebesar 5 derajat busur dalam
jarak tertentu.3
Seseorang dapat memiliki visus lebih dari 6/6 dengan kondisi orang
tersebut mengalami hipermetropi. Contohnya visus mata si A adalah 8/6 yang
artinya si A memiliki kemampuan melihat suatu benda dengan jelas pada
jarak 8 meter, dimana orang dengan visus normal dapat melihat jelas pada
jarak 6 meter. Kondisi tersebut menandakan si A mengalami hipermetropi
(rabun dekat).3
Pada hipermetropi, refraksi sinar kurang konvergen, sehingga bayangan
terbentuk di belakang retina. Penderita hipermetropi memiliki visus normal,
namun kesulitan melihat benda yang terletak dekat. Secara prinsip, m. ciliaris
penderita hipermetropi mengalami kelemahan karena proses degenerasi,

tonusnya menurun dan fleksibilitasnya meningkat, sehingga lambat laun


panjang m. ciliaris semakin memajang. Selain itu, bentuk orbita dengan jarak
anterior dan posterior yang pendek menyebabkan kecenderungan terjadinya
hipermetropi. Selain itu pada hipermetropia pada jarak tak terhingga sumber
cahaya terfokus langsung ke retina sehingga ketika dilakukan tes optoptipi
Snellen pada jarak jauh maka bayangan jatuh tepat di retina.3
Jika visus mata kanan OP menjadi lebih kecil dari 6/6 setelah dipasang
lensa sferis +0,25D, maka orang tersebut emetropi (mata normal). Sedangkan
jika visus mata kanan OP tanpa lensa lebih kecil dari 6/6, kelainan refraksi
yang mungkin dijumpai selain myopia adalah hipermetropia. Kemudian bila
pada orang tua diperoleh visus tanpa lensa lebih kecil dari 6/6, kelainan
refraksi yang mungkin dijumpai orang tersebut adalah myopia dan
hipermetropia. Pada orangtua dapat diperoleh visus 6/6, akan tetapi apabila
dihadapkan dengan kegiatan membaca dekat, orang tua dengan usia lanjut
atau lebih dari 40 tahun biasanya akan cenderung mengalami kesulitan dalam
membaca dikarenakan daya akomodasi mata yang sudah mulai berkurang.
Keadaan ini disebut sebagai presbiopia.3
4.3 Diplopia
Pada praktikum ini, dilakukan penekanan bola mata kiri dari lateral ke
medial oleh probandus, sehingga penglihatannya menjadi rangkap saat
memandang suatu benda di hadapannya. Hal tersebut terjadi dikarenakan
lapang pandang (luas area penglihatan mata) manjadi berubah pada salah satu
mata OP yang diberi perlakuan. Secara teoritis harusnya lapang pandang
berbentuk sirkular, namun sesungguhnya terpotong di medial oleh hidung dan
superior oleh atap orbita. Pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan
instrument perimeter dan disebut perimetri. Pusat lapang pandang terbentuk
oleh kerja sama kedua mata dan region ini disebut penglihatan binokular.
Impuls yang diterima kedua retina mengenai suatu objek berfusi di tingkat
kortikal menjadi satu gambar tunggal (fusi). Titik di retina dimana suatu
bayangan harus jatuh padanya agar dapat dilihat sebagai satu objek tunggal
dengan

penglihatan

binokular

disebut

sebagai

titik

korespondesi

(corresponding points). Jika satu mata didorong perlahan dari garis tengah

saat pandangannya terfokus pada satu objek pada pusat lapang pandang, akan
terjadi diplopia karena bayangan retina satu mata tergeser dan tidak lagi jatuh
pada titik korespondesi.
Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi
okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting
untuk mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan
diplopia monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment okuler pada pasien
dengan penglihatan binokuler yang normal akan menimbulkan diplopia
binokuler. Misalignment okuler menyebabkan terganggunya kapasitas fusional
sistem binokuler, koordinasi neuromuskuler yang normal tidak dapat menjaga
korespondensi visual objek pada retina kedua mata. Dengan kata lain, sebuah
objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek
akan tampak pada dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi. Pada
hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh aberasi lokal
pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia monokuler
tidak pernah disebabkan oleh misalignment okuler. Mekanisme diplopia yang
ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi korteks visual primer atau sekunder.
Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia monokuler bilateral dan harus
dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi okuler pada pasien. Terakhir,
diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut diplopia
fungsional/ fisiologis. Pasien dengan diplopia fungsional juga sering
mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis.7

4.4 Refleks Pupil


Pada praktikum, tampak pupil mata mengecil ketika diberi cahaya
(miosis). Hal ini terjadi apabila cahaya masuk mengenai retina, maka akan
terjadi beberapa impuls yang mula-mula berjalan melalui nervus optikus
menuju nukleus pretektalis. Dari sini, impuls sekunder berjalan ke nukleus
Edinger-Westphal dan akhirnya kembali melalui saraf parasimpatis untuk
mengkonstriksikan sfingter iris. Sebaliknya, dalam keadaan gelap, refleks ini
dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil. Fungsi refleks cahaya

adalah membantu mata untuk beradaptasi secara sangat cepat terhadap


keadaan perubahan cahaya. Batas diameter pupil kira-kira 1,5 mm pada yang
kecil dan 8 mm pada yang besar. Oleh karena itu, disebabkan terangnya
cahaya akan meningkat berbanding lurus dengan besarnya diameter pupil,
batas adaptasi terang dan gelap yang daat ditimbulkan oleh refleks pupil
adalah sekitar 30 sampai 1-yaitu, mencapai 30 kali perubahan jumlah cahaya
yang memasuki mata.8
Mata yang tidak dapat cahaya langsung pupilnya akan mengecil secara
perlahan dan irisnya akan mendekat secara perlahan. Daya akomodasi mata
diatur

melalui

saraf

parasimpatis,

perangsangan

saraf

parasimpatis

menimbulkan kontraksi otot siliaris yang selanjutnya kan mengendurkan


ligamen lensa dan meningkatkan daya bias. Dengan meningkatkan daya bias,
mata mampu melihat objek lebih dekat dibanding waktu daya biasnya rendah.
Akibatnya dengan mendekatnya objek kearah mata frekuensi impuls
parasimpatis kedotsiliaris progresif ditingkatkan agar objek tetap dilihat
dengan jelas. Pupil mata yang terkena cahaya senter secara tiba-tiba akan
mengecil dibanding pupil mata yang tidak terkena cahaya dari senter. Mata
yang terkena cahaya secara tiba-tiba akan mengecil secara cepat dan iris
mendekat secara cepat, sedangkan mata yang tidak terkena cahaya tiba-tiba,
pupil akan mengecil secara lambat dan iris mendekat secara lambat.9
Pupil mata tergantung dari iris atau semacam otot kecil. Iris mendekati
jika cahaya ysng masuk terlalu terang dan iris menjauhi jika cahaya yang
masuk terlalu redup. Jika mata tidak siap saat terkena cahaya maka pupil
mengecil atau meredup secara langsung, kalau siap maka pupil akan mengecil
atau meredup secara perlahan. Bisa saja terjadi refleks apabila mata kiri yang
di senter maka yang meredup mata kanan. Hal itu disebabkan karena ada
kiasma optikus yaitu persilangan bawah otak.9

4.5 Reaksi Melihat Dekat


Pada praktikum reaksi melihat dekat ini, OP diminta untuk melihat jari
yang didekatkan pada jarak meter didepan OP. Ketika jari perlahan

mendekati ke arah mata OP, terlihat perubahan yang terjadi pada pupil mata
yang terlihat mengalami konstriksi/mengecil dan mata yang terlihat
berkonvergensi. Sebaliknya ketika jari dijauhkan dari mata OP, terlihat pupil
berdilatasi/membesar dan mengalami divergensi.
Mengecilnya Pupil pada saat melihat dekat terjadi karena adanya
perangsangan pada saraf parasimpatis yang akan menyebabkan kontraksi pada
otot siliaris untuk meningkatkan daya biasnya agar mata mampu melihat benda
dekat. Selain itu persarafan parasimpatis menyebabkan perangsangan pada
sfringter iris sehingga menyebabkan terjadinya konstriksi pupil.8,10
Semakin fokus suatu benda ke mata, pupil akan semakin mengecil. Cahaya
yang masuk akan mengalami pembiasan di mata, oleh karena itu pupil secara
refleks mengecil untuk mengurangi cahaya yang masuk yang akan membuat
bayangan dapat lebih terfokus pada retina.8
Perubahan yang terlihat saat jari didekatkan ke mata adalah kedua pupil
yang mengecil/konstriksi dan perlahan membesar/dilatasi saat jari dijauhkan.
Pada saat melihat dekat terjadi perangsangan pada saraf parasimpatis yang
akan menyebabkan kontraksi pada otot siliaris untuk meningkatkan daya
biasnya agar mata mampu melihat benda dekat. Selain itu persarafan
parasimpatis menyebabkan perangsangan pada sfringter iris sehingga
menyebabkan terjadinya konstriksi pupil.10

4.6 Pemeriksaan Bintik Buta


Mata akan membiaskan cahaya melalui kornea dan aqous humor dan akan
masuk melalui pupil sebelum masuk ke dalam lensa mata dan vitreus humor.
Lensa mata akan memfokuskan cahaya tepat pada retina, tepatnya pada bintik
kuning. Pada bintik kuning, terdapat sel batang dan kerucut yang peka
terhadap cahaya dan berfungsi sebagai fotoreseptor. Cahaya yang diterima
akan diubah menjadi impuls dan dikirim ke dalam korteks serebri lobus
oksipitalis sehingga seseorang dapat melihat benda.8,10

Pada percobaan ini, didapatkan proyeksi eksternal bintik buta yang sedikit
berbeda antara OP 1 dan OP 2. Jarak dari palang ke titik tengah proyeksi
bintik buta (titik tengah antara titik dimana benda pertama kali menghilang
dan kemudian terlihat kembali).bintik buta OP terletak di temporal,
diatas garis horizontal pada OP 1 dan pada OP 2 berada di sebelah kiri garis
vertikal. Hal ini disebabkan bintik buta terletak di sebelah nasal dari fovea.
Bagian nasal dari retina menangkap lapang pandang temporal, sehingga bintik
buta pada bagian nasal tidak menangkap bayangan beda di temporal. Bintik
buta adalah daerah pada retina yang tidak peka terhadap cahaya karena
merupakan tempat keluarnya saraf dan pembuluh darah dan tidak memiliki sel
batang dan sel kerucut. Bila bayangan jatuh pada bintik buta, maka kita tidak
akan bisa melihat karena tidak adanya fotoreseptor sel batang dan sel kerucut
yang akan meneruskan rangsangan cahaya tersebut ke saraf optik.10,11
Jarak bintik buta antara mata kanan dan mata kiri pada umumnya hampir
sama untuk setiap individu. Jarak hilangnya objek secara keseluruhan berbeda
untuk tiap individu. Akson sel ganglion menyatu membentuk saraf optikus,
yang keluar dari retina sedikit di luar titik tengah.10
4.7 Buta warna
Uji ishihara merupakan uji untuk mengetahui uji defek penglihatan warna
didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu berbagai
ragam warna. Pemeriksaan ini untuk penglihatan warna dengan memakai satu
seri titik bola kecil dengan warna dan besar yang berbeda, sehingga dalam
keseluruhan terlihat warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan
penglihatan warna pada saat melihatnya. Pada penderita buta warna atau
dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat sebagian ataupun sama
sekali tidak dapat melihat gambar yang diperlihatkan. Penyakit tertentu dapat
menyebabkan gangguan penglihatan seperti buta merah atau hijau pada atrofi
saraf optik, optik neuropati toksik dengan pengecualian neuropati iskemia,
glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan gangguan biru-kuning.8,10
Pada pratikum kali ini didapatkan hasil bahwa OP dapat mengenali angka
atau gambar yang terdapat didalam buku pseudoisokromatik ishihara, hal ini

menunjukkan bahwa OP tersebut tidak mengalami kelainan penglihatan


warna.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan hasil yakni:
1. Model fungsional mata, pada model mata emetrop menghasilkan bayangan
yang jelas dan fokus, mata hipermetropi menghasilkan bayangan jelas
namun dikoreksi dengan lensa sferis +, mata miopi menghasilkan

bayangan jelas dan dikoreksi dengan lensa sferis -, serta mata afakia
menghasilkan bayangan yang kabur dan perlu dikoreksi dengan lensa
artifisial.
2. Refraksi, menggunakan snellen chart pada jarak 6 meter, kedua OP
memiliki visus yang lebih rendah dari normal akibat gangguan refraksi,
sehingga perlu dikoreksi dengan lensa sferis dengan variasi dioptri.
3. Diplopia, terjadi bayangan ganda pada penekanan lateral kedua bola mata
ke arah medial, normal pada manusia.
4. Refleks pupil, baik secara konsensual langsung maupun tidak langsung,
apabila disinari cahaya akan mengecil, dan saat dijauhkan akan membesar.
5. Reaksi melihat dekat, mulai dari jauh ke dekat hasilnya pupil tidak
berubah, pupil mata ke medial, sedangkan dekat ke jauh, pupil tidak
berubah, bola mata ke medial.
6. Bintik buta, didapatkan proyeksi eksternal bintik buta yang sedikit berbeda
antara OP 1 dan OP 2.
7. Buta warna, OP dapat mengenali angka atau gambar yang terdapat di
dalam buku pseudoisokromatik Ishara.
5.2 Saran
Selanjutnya, perlu dilakukan praktikum yang lebih teliti agar hasilnya
dapat lebih akurat. Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan, seperti
pemeriksaan gerakan bola mata, dll.

DAFTAR PUSTAKA
1. Jenkins JL, Braen GR. Manual of emergency medicine 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005.
2. Dudee J, Cantab MA. Diplopia. Medical Vision Institute, 2014 [cited 19
February 2014]. Available from: emedicine.medscape.com/article/1214490overview#a0104.

3. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
4.
5.
6.
7.

Universitas Indonesia; 2009. p.64-82


Silverthorn DU. Fisiologi manusia. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2014.
Vaughan A. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2010.
Khurana AK. Opthalmology. New Delhi: New Age International; 2003.
Pelak VS. Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic approach.

Hospital Physician; 2004.


8. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
9. Siti NA. Psikologi Faal. Surabaya: Digital Press; 2009.
10. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. Edisi 5. USA:
Brooks/Cole; 2004.
11. Eroschenko, Victor P. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional.
Jakarta : EGC; 2010.

Anda mungkin juga menyukai