SKENARIO A BLOK 11
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang
berjudul “Laporan Tutorial Skenario A Blok 11” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran
diskusi tutorial;
2. dr. Aida Farida, Sp.PA., selaku tutor kelompok G1;
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD GAMMA 2017.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Tuhan.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
ii
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Daftar Isi....................................................................................................................iii
Kegiatan Diskusi........................................................................................................4
Skenario.....................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah.......................................................................................6
II. Identifikasi Masalah...................................................................................7-8
III. ....................................................................................................................Analisis
Masalah..............................................................................................................9-12
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.................................................................13
V. Sintesis.......................................................................................................14-42
VI. Kesimpulan................................................................................................42
VII. Kerangka Konsep......................................................................................43
Daftar Pustaka............................................................................................................44
iii
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
KEGIATAN DISKUSI
4
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
SKENARIO
Cervical Lymphadenopathy
Lisa, usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang anda pimpin karena ada
benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu. Benjolan terus membesar
perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut sebesar kacang hijau dan saat ini membesar
dengan ukuran sebesar kacang merah. Benjolan tidak terasa nyeri.
Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan stabil, tidak
ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi serak. Namun, akhir akhir ini
pasien merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung sering buntu tanpa sebab.
Pasien pernah berobat ke dokter umum dan diberikan antibiotic untuk 2 minggu,
namun tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien menyangkal adanya kontak dengan
kucing atau binatang pengerat lainnya, tidak ada riwayat konsumsi daging mentah.
Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada posterior auricular leher kiri pasien tampak
dua benjolan berdekatan dengan ukuran hampir sama dengan diameter kurang dari 1
cm. semua benjolan teraba kenyal dan terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada benjolan
di leher kanan.
Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas normal
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin : 13g/dl Leukosit, 12000/mm3, LED: 19mm/jam.
Hitung jenis leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate
dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin : Dalam batas normal
Lisa dirujuk kerumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Pemeriksaan lain apa saja yang saudara perlukan dan bagaimana hasil yang
anda harapkan! Minta kepada tutor!
Tambahan dari tutor :
Pemeriksaan rontgen paru: normal
Biopsi jarum halus (FNAB): aspirasi fokus pada beberapa sel epitheloid dengan latar
belakang sel limfosit matur kesan lymph adenitis granulamatosa.
Biopsy eksisi: kesan reaktif toksoplasmosis
Ziehl neelsen: (-) acid basili
Tes serologi: IgG: +, IgM: -
5
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
I. Klarifikasi Istilah
6
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
yang anda pimpin karena ada benjolan pada
leher kanannya sejak beberapa minggu lalu.
Benjolan terus membesar perlahan. Pada
awalnya benjolan tersebut sebesar kacang
hijau dan saat ini membesar dengan ukuran
sebesar kacang merah. Benjolan tidak
terasa nyeri.
2. Pasien tidak mengalami demam, nafsu Tidak sesuai VV
makan normal, berat badan stabil, tidak ada
berkeringat malam hari dan suara tidak
menjadi serak. Namun, akhir akhir ini
pasien merasa mudah lelah, sering sakit
kepala, dan hidung sering buntu tanpa
sebab.
3. Pasien pernah berobat ke dokter umum dan Tidak sesuai V
diberikan antibiotic untuk 2 minggu, namun
tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien
menyangkal adanya kontak dengan kucing
atau binatang pengerat lainnya, tidak ada
riwayat konsumsi daging mentah.
4. Pada pemeriksaan fisik lokalis leher Tidak sesuai V
tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada
posterior auricular leher kiri pasien tampak
dua benjolan berdekatan dengan ukuran
hampir sama dengan diameter kurang dari 1
cm. semua benjolan teraba kenyal dan
terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada
benjolan di leher kanan.
7
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
5. Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas Tidak sesuai V
normal
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin :13g/dl Leukosit,
12000/mm3, LED: 19mm/jam. Hitung jenis
leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate
dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin : dalam batas normal
Lisa dirujuk kerumah sakit untuk
penanganan lebih lanjut.
8
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
1. Lisa, usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang anda pimpin karena ada
benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu. Benjolan terus
membesar perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut sebesar kacang hijau
dan saat ini membesar dengan ukuran sebesar kacang merah. Benjolan
tidak terasa nyeri.
a. Bagaimana patofisiologi benjolan pada leher dalam scenario?
Saat parasit dalam bentuk bradizoit yang membelah menjadi kista
menyebar secara limfogen berakumulasi di nodus limfatik menyebabkan
nodus limfatik terlihat besar. Akumulasi dari sel imun tubuh yaitu limfosit B
dan T, plasma sel, makrofag, dan lain lain dikarenakan adanya antigen
berupa parasit. Kedua hal itu dapat menyebabkan timbulnya benjolan.
c. Apa interpretasi dari benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu
lalu?
Benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu
menunjukkan bahwa infeksi sudah kronis.
2. Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan stabil,
tidak ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi serak. Namun,
akhir akhir ini pasien merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung
sering buntu tanpa sebab.
a. Mengapa pasien merasa mudah lelah dan sering sakit kepala?
Pasien merasa mudah lelah dikarenakan kista menyebar ke jaringan salah
9
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
satunya ke jaringan otot. Mengakibatkan metabolisme sel meningkat
(mempertahankan sel sehat) dan kerja sel-sel dalam tubuh meningkat maka
menyebabkan pasien mudah lelah.
4. Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada posterior auricular leher kiri
pasien tampak dua benjolan berdekatan dengan ukuran hampir sama
dengan diameter kurang dari 1 cm. semua benjolan teraba kenyal dan
terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada benjolan di leher kanan.
a. Mengapa hanya benjolan pada leher kanannya yang terasa nyeri tekan?
Ukuran benjolan pada leher kanan lebih besar, sehingga kemungkinan saraf-
nya tertekan menyebabkan rasa nyeri.
10
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
b. Mengapa benjolan teraba kenyal dan terfiksir?
Karena adanya akumulasi sel radang, sel epitheloid/granulomatosa, dan sel sel
imun lainnya. Selain itu juga terdapat parasit yang terakumulasi di nodus
limfa..
11
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
granulamatosa.
Biopsy eksisi: kesan reaktif toksoplasmosis
Ziehl neelsen: (-) acid basili
Tes serologi: IgG: +, IgM: -
a. Bagaimana gambaran histopatologi dari Toksoplasma Lymphodenitis?
12
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Definisi, morfologi,
siklus hidup, etiologi,
patagenesis, diagnosa
klinik, cara
penularan , gejala,
1. Toksoplasmosis komplikasi, -
pencegahan, SKDI,
pengobatan,
perubahan
mikroskopis, Jurnal, text
histopatologi book.
Respon imun, tanda
infeksi, mekanisme
2. Sistem imun -
kerja imun, tipe imun,
dll
Anatomi, kelenjar
Histologi,
limfe leher, diagnosis,
penyakit
Kelenjar Getah anamnesis,
3. yang dapat
Bening pemeriksaan fisik
menyerang
KGB, pemeriksaan
KGB, dll
radiologi
V. Sintesis
1. Toksoplasmosis
A. Definisi
13
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit bersel satu
disebut Toxoplasma gondii. Parasit Toxoplasma bisa menetap di dalam tubuh manusia
pada waktu yang lama bahkan seumur hidup. Walaupun begitu, parasit ini sedikit
sekali menunjukkan gejala karena imun sistem orang yang sehat biasanya menekan
parasit dari menimbulkan penyakit. Tetapi untuk orang-orang yang sistem imunnya
rendah, seperti pada ibu hamil atau penderita HIV, infeksi parasit ini dapat
menimbulkan masalah kesehatan.
B. Morfologi
14
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
C. Siklus hidup
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan
Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3 – 7 um, dapat menginvasi semua
sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut
dari infeksi. Bila infeksi kronis trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat
dan disebut bradizoit.
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan
berukuran 10 – 100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat
dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista
terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing.
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali feses akan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti
manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara
akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif.
Kebanyakan infeksi yang bersifat simptomatis muncul dalam bentuk cervical ataupun
oksipital limfadenopati.
Interleukin (IL)-12 and interferon (IFN)-gamma produced by cells of the innate
immune system elicit a strong adaptive Th1-biased immune response. Natural killer
cells and dendritic cells are important both for activation of T cells and for control of
the inflammatory response. IFN-gamma-producing CD4+ and CD8+ T cells are
critical for resolution of acute infection and for control of latent, chronic infection.
Inflammatory monocytes recruited to sites of infection also play a role in disease
control independent of the Th1 response by secreting nitric oxide, which inhibits
parasite growth.
15
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Stadium seksual diawali berkembangnya merozoit menjadi makrogamet dan
makrogamet di dalam sel epitel usus, kedua gamet tersebut mengalami proses
fertilisasi dan terbentuk zigot, selanjutnya tumbuh menjadi ookista. Ookista masuk ke
dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Setelah 2-3 hari pada suhu 24°C menjadi
infektif atau mengalami sporulasi (SAYOGO, 1978; SOULSBY, 1982; LEVINE,
1985). Siklus di luar sel usus ini merupakan siklus hidup berikutnya yang sama terjadi
di luar jaringan usus pejamu sejati terutama pada pejamu antara, dan siklus ini terjadi
secara bersamaan dengan siklus di dalam epitel sel usus pejamu sejati. Setelah infeksi
peroral, takizoit yang terbentuk berkembang secara endodiogeni dalam vakuola
beberapa jenis sel yang diserangnya. Kemudian berakumulasi di dalam sel yang berisi
delapan atau lebih takizoit, keadaan ini disebut kista semu. Bila kista semu pecah,
takizoit menyerang sel-sel di sekitarnya dan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan limfe. Parasitemia mungkin terjadi beberapa kali sampai terbentuk antibodi
dalam plasma akibat adanya kekebalan tubuh, takizoit akan dihancurkan kecuali yang
telah berkembang menjadi bradizoit di dalam kista jaringan . Kista jaringan ditemukan
paling cepat pada hari kedelapan setelah pejamu mengalami awal infeksi dan mampu
bertahan selama pejamu hidup. Bila kekebalan tubuh menurun, maka kemungkinan
bradizoit akan dilepas dan berkembang menjadi takizoit, sehingga terulang lagi infeksi
Toxoplasma akut.
D. Etiologi
16
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Toxoplasmosis ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909 yang
menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah diselidiki
maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk
famili babesiidae. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan
17
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
E. Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri
dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta
memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling
nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai
afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung
parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis yang terbukti
dengan adanya gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang
dijumpai.Kemudian parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang
manifestsinya sangat tergantung pada usia kehamilan.
F. Diagnosa Klinik
Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan antibodi IgM dan
IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani, 2005). Untuk memastikan diagnosis
toksoplasmosis kongenital pada neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti
IgM tidak selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan.
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka menderita
toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG pada neonatus yang secara
pasif didapatkan dari ibunya melalui plasenta, berangsur-angsur berkurang dan
menghilang pada bayi yang tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T.
gondii, zat anti IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini
titer zat anti IgG naik.
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup bila hanya
sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi, karena titer zat anti T.
gondii yang ditemukan dengan tes-tes tersebut diatas dapat ditemukan bertahun-tahun
dalam tubuh seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer
meninggi pada pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih atau
bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat dipastikan bila
18
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer tes warna atau tes IFA yang tinggi.
G. Cara Penularan
a. Makanan yang tidak dimasak sampai matang; seperti daging yang terkontaminasi.
Memasak menggunakan alat masak yang tidak bersih atau tidak mencucui tangan
dengan benar.
b. Meminum minuman yang terkontaminasi Toxoplasma gondii.
c. Tidak sengaja menelan parasit ketika berkontak dengan feses kucing yang
terkontaminasi ketika membersihkan kotoran kucing, memakan makanan yang
berkontak dengan feses kucing yag terkontamainasi.
d. Tidak sengaja menelan tanah (setelah berkebun atau memakan buah dan sayuran
yang tidak dicuci dengan baik)
e. Transmisi ibu kepada anaknya (kongenital)
f. Transmisi akibat transplantasi organ atau tranfusi darah (jarang).
H. Gejala
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan menjadi : Toksoplasmosis akuisita (dapatan)
dan Toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis akuisita maupun kongenital
19
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan
kemudian menjadi kronik. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit
dibedakan dengan penyakit lain.
Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan
gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada
kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah
limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala. Pada infeksi akut,
limfadenopati sering dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian
belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk
kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
kelainan kulit, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang
tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa
minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad
klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau
tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem
syaraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi
mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat
kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena
toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital.
Akibat kerusakan pada berbagai organ pada bayi dan anak-anak akibat infeksi
pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan
seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak
yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat
disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan
lesi mata.
I. Komplikasi Toksoplasmosis
20
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
a) Oksoplasmosis okular. Peradangan dan luka pada mata yang diakibatkan oleh
parasit. Penyakit ini bisa menyebabkan gangguan penglihatan, muncul floater
(seperti ada benda kecil yang melayang-layang menghalangi pandangan) pada mata,
hingga kebutaan.
b) Oksoplasmosis kongenital terjadi ketika janin yang dikandung ikut terinfeksi
toksoplasmosis. Hal ini bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada janin.
Misalnya hidrosefalus, epilepsi, kehilangan pendengaran, kerusakan otak, gangguan
kemampuan belajar, penyakit kuning, toksoplasmosis okular, dan cerebral palsy.
c) Oksoplasmosis serebral. Jika penderita gangguan sistem kekebalan tubuh terinfeksi
oleh toksoplasmosis, maka infeksi tersebut bisa menyebar ke otak dan bisa
mengancam nyawa penderita. Beberapa gejalanya adalah sakit kepala,
kebingungan, gangguan koordinasi, kejang-kejang, demam tinggi, bicara tidak jelas,
toksoplasmosis okuler.
J. Pencegahan Toksoplasmosis
Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta
ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang
teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada
kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu
tikus atau burung.
Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista
dari tanah atau lantai ke makanan (Gandahusada, 2003). Untuk mencegah terjadinya
infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan
ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan
serta air panas 70° C yang disiramkan pada tinja kucing(Gandahusada, 2003).
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani
sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Sayur-mayur
yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista
melekat pada sayuran, makanan yang matang harus ditutup rapat supaya tidak
dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke
makanan tersebut. Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan
ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 °C.
Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65°C selama empat
21
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung
kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan
nitrat (Chahaya, 2003).
Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak)
sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Yang paling penting dicegah
adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu anak yang lahir cacat dengan
retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan
dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-
24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena
lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester
terakhir kehamilan (Chahaya, 2003). Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada
ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat
dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada
manusia belum tersedia sampai saat ini.
K. SKDI TOXOPLASMOSIS : 3A
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
L. Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari selama sebulan. Karena efek
samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk
menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprinm juga ternyata
efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah
efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi
22
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi
yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis
N. Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
23
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari selama sebulan. Karena efek
samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk
menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprinm juga ternyata
efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah
efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek
sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi
yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
O. Histopatologi Taxoplasmosis
Toxoplasma
gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu
takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit)
(Kasper, 2010). Takizoit memperbanyak diri secara cepat pada berbagai macam sel
di tubuh hospes perantara dan sel epitelial intestinal dari hospes definitif. Takizoit
ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh.
24
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Bradizoit adalah bentuk dari T. gondii yang memperbanyak diri secara
lambat dalam kista jaringan. Kista jaringan dapat ditemukan pada berbagai organ
viseral misalnya paru-paru, hepar, ginjal, namun lebih sering dijumpai pada
jaringan saraf dan otot misalnya otak, mata, otot skeletal dan myokardium. Kista
jaringan utuh umumnya tidak membahayakan dan dapat bertahan selamanya dalam
tubuh hospes tanpa menimbulkan respon inflamasi (Kasper, 2010; Schwartzman,
2006, Dubey, 1998).
25
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Ookista yang terdapat dalam tinja kucing merupakan bentuk tidak
bersporulasi berbentuk spheris dan subspheris berukuran 10x12 µm, berisi dua
sporokista yang masing-masing mengandung empat sporozoit. Ookista mempunyai
dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas (Montoya,
2010).
Takizoit terdiri dari berbagai organela dan inclusion bodies yaitu pellicle
(lapisan luar), apical ring, polar ring, conoid, rhoptries, micronemes, micropore,
26
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
mitochondria, subpellicular micrutubulus, RE kasar dan halus, golgi complex,
ribosom, inti, granula padat, granula amylopectin apicoplast (multiple membrane-
bound-plastid-like organela). Club-shaped organela yang disebut rhoptries
sebanyak 8-10 buah terdapat diantara inti dan anterior tip. Rhoptries merupakan
struktur ekskretori berbentuk kantung. Micronemes struktur berbentuk batang yang
terbentuk terutama pada ujung depan dari parasit. Fungsi dari micronemes,
rhoptries berkaitan dengan penetrasi ke dalam sel host dan menciptakan ligkungan
yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan parasit. Rhoptries mempunyai
fungsi sekresi yang berkaitan dengan penetrasi sel host, mensekresikan enzim
proteolitik (Ajioka, 2001).
2. System imun
Respon Imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang oleh
monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun. Materi asing
yang tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang mengubah susunan
biologis tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen tersebut bergerak ke darah
atau limfe dan memulai imunitas seluler atau humural.
1) Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan. Ikatan
ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat untuk
membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah inflamasi,
berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik &
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen.
2) Imunitas humoral
Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan sintesa
imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel B
memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan imunitas,
sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi invasi antigen
27
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
3) Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A, M, D,
E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.
4) Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah. Komplemen
diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen diaktifkan, maka akan
terjadi serangkaian proses katalitik.
5) Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu kemampuan
virus dalam bermultiplikasi.
Tanda-tanda infeksi
1) Rubor
rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak
darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi
penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan
warna merah lokal karena peradangan akut.
2) Kalor
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor
disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang
lebih banyak daripada ke daerah normal.
3) Dolor Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang
saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang.
4) Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
28
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
jaringan interstitial.
29
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
a | Pada awal infeksi, sel inang pertama yang merespon adalah sel dendritik
(DC), monosit dan makrofag. Interaksi Toxoplasma gondii profilin dengan Toll-
like receptor 11 (TLR11) pada DC penting untuk produksi host interleukin-12
(IL-12). Selain merangsang produksi IL-12, makrofag juga menginduksi tumor
necrosis factor (TNF), kofaktor dalam aktivitas antimikroba, sebagai tanggapan
terhadap pendeteksian protein parasit glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang
dimediasi oleh TLR2 dan TLR4. b | Respon imun menghasilkan produksi
interferon-γ (IFNγ) dari sel natural killer (NK) melalui respon bawaan dan,
akhirnya, dari sel T CD4 + dan CD8 + saat respon adaptif terjadi. IL-10 dan IL-
30
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
27 adalah kunci untuk memodulasi jalur-jalur ini dan mencegah kelebihan
produksi dari T helper 1 tipe cytokines. c | Produksi IFNγ selama fase bawaan
dan adaptif bertanggung jawab untuk mengaktifkan sel untuk mengendalikan
infeksi parasit. IFNγ menyebarkan sinyal melalui reseptor IFNγ permukaan
(IFNγR) untuk mengaktifkan transduser sinyal dan aktivator transkripsi 1
(STAT1), faktor transkripsi nuklir yang mengendalikan ekspresi banyak gen.
Menanggapi aktivitas STAT1, monosit dan makrofag meningkatkan produksi
oksida nitrat (NO) dan spesies oksigen reaktif (ROS), keduanya berkontribusi
pada kontrol parasit intraseluler. Kedua sel hematopoetic dan non-hematopoetic
meningkatkan dua keluarga protein pertahanan yang disebut GTPases terkait
kekebalan (IRG) dan p67 guanylate-binding proteins (GBPs), yang direkrut ke
vakuola parasitofor (PV) dan terlibat dalam pembersihan parasit. Fungsi IRG dan
GBP tergantung pada autophagy protein 5 (ATG5).
3. KGB
Kelenjar limfe leher
Terdapat perbedaan perkiraan jumlah nodus limfoid pada kepala dan leher
menurut para ahli. Bailey dan Love melaporkan sejumlah 300 nodus terdapat di
leher. Cummings dkk melaporkan sepertiga dari lebih 500 kelenjar limfe di tubuh
terletak di atas klavikula. Menurut Roezin sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat
di setiap sisi leher dan kebanyakan pada rangkaian jugularis interna dan spinalis
assessorius (gambar 6). Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam metastasis adalah
kelenjar limfe di rangkaian jugularis interna yang terbentang dari klavikula sampai
dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini dibagi dalam kelompok superior,
media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, sub
mandibula, servikalis superfisialis, retrofaring, paratrakeal, spinalis asesorius,
skalenus anterior, dan supraklavikula.
31
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pendekatan diagnostik untuk kelainan kelenjar limfe (limfadenopati)
Diagnosis definitif suatu kelainan di daerah kepala dan leher membutuhkan
tata diagnostik yang logis dan sistematik, mulai dari anamnesis hingga
pemeriksaan fisik menyeluruh dan sistematik daerah kepala dan leher merupakan
hal yang wajib dilakukan.
Informasi yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
radiografik atau laboratorium yang dibutuhkan. Bahkan jika didapatkan kecurigaan
keganasan kepala dan leher, dibutuhkan pemeriksaan menyeluruh sistem
respiratorik dan saluran cerna untuk melihat perluasan penyakit.
Anamnesis
Informasi sosial seperti sumber air minum yang tidak bersih, paparan
binatang penyebab infeksi spesifik, tuberkulosis, tifoid, bisa menyingkirkan
kemungkinan potensial penyebab limfadenopati. Informasi aktivitas seperti kontak
seksual juga penting untuk diperoleh.
Dalam melakukan anamnesis ada empat hal yang harus dipertimbangkan: 22 1)
Gejala atau tanda lokal yang mengisyaratkan adanya infeksi atau neoplasma di
lokasi tertentu, durasi, tingkat perkembangan, serta gejala-gejala yang menyertai,
2) Adanya gejala- gejala konstitusi seperti demam, penurunan berat badan, fatigue,
atau keringat malam yang mengisyaratkan kemungkinan penyakit seperti
tuberkulosis, limfoma, penyakit vaskular kolagen, infeksi atau keganasan yang
32
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
lain. Jika pasien mengalami infeksi berulang (rekuren) maka kita patut
mempertimbangkan penyakit defisiensi imunitas seperti human immunodeficiency
virus (HIV), 3) Adanya petunjuk epidemiologi tertentu (tabel 1) seperti paparan
kerja, baru pulang bepergian, atau perilaku resiko tinggi yang terkait kelainan
spesifik lainnya, 4) Apakah pasien sedang dalam pengobatan tertentu yang bisa
menyebabkan limfadenopati, seperti fenitoin (dilantin), penyakit-penyakit yang
diderita saat bersamaan, riwayat penyakit dahulu dan informasi mengenai riwayat
keluarga bisa menyingkirkan kemungkinan adanya keganasan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi visual daerah kepala dan wajah hingga
leher, diikuti palpasi bibir, kelenjar tiroid, kelenjar ludah utama, serta palpasi kelenjar
33
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
limfe. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan sistematis dari daerah aurikula,
parotis, area wajah, hingga ke segitiga-segitiga leher. Pemeriksaan palpasi sebaiknya
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada area yang terlewati. Setiap kelainan
yang ditemukan dicatat.
Cara pemeriksaan yang paling efektif adalah dilakukan baik dari depan dan
belakang dengan pasien duduk tegak dan kepala sedikit dimiringkan dengan posisi
hiperekstensi. Dapat digunakan tiga metode palpasi (tabel 2).
34
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Dari mandibula, pemeriksaan palpasi dilanjutkan ke daerah segitiga
submandibula dengan menggeser tangan ke anterior angulus kemudian mengarahkan
pasien menundukkan dagunya sehingga kulit dan otot dagu rileks. Pemeriksa
menempatkan ibu jari dekat margo inferior mandibula dan menekankan ujung jari ke
inferior dan medial mandibula bilateral bersamaan. Di sini jaringan bisa dipegang dan
digulirkan ke lateral sepanjang margo inferior mandibula, sehingga tiap kelenjar yang
membesar dapat diidentifikasi (gambar 11).
35
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Jika limfadenopati yang ditemukan terlokalisir, maka pemeriksaan regio yang
didrainase oleh kelenjar limfe tersebut harus dilakukan untuk memperjelas apakah
limfadenopati disebabkan oleh infeksi, lesi kulit atau tumor (tabel 3).
36
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi konvensional bukan merupakan pilihan utama dalam
membedakan massa leher kecuali untuk mengenali hal-hal spesifik seperti kalsifikasi.
Ultrasonografi (USG) merupakan perangkat yang relatif aman, tidak mahal, tersedia
di banyak tempat dan bisa digunakan untuk pemeriksaan spesifik seperti ukuran lesi
sehubungan dengan progresivitasnya, lokasi, hubungan lesi dengan struktur yang
berdekatan, terutama pembuluh darah, karakter lesi (solid, kistik), serta jumlah dan
37
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
ukuran kelenjar limfe yang terlibat di area tersebut. Gabungan teknik ultrasound, fine
needle aspiration (FNA) dan pemeriksaan sitologi memiliki keunggulan tersendiri
dalam pemeriksaan jaringan lunak daerah leher. Computerized tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI) secara luas digunakan untuk menentukan stadium
primer tumor dan kelenjar limfe. Akurasi pemeriksaan kelenjar limfe tergantung
kriteria radiologi yang digunakan. Misalnya untuk menentukan limfadenopati
metastasis yang paling penting adalah adanya nekrosis nodal, yang bisa terdeteksi
lewat CT yang diperkuat dengan kontras. CT merupakan metode terbaik untuk
melihat penetrasi kapsular dan perluasan ekstrakapsular dari kelenjar limfe dibanding
MRI.
Tes
Dikarenakan pembesaran berkepanjangan dari limfonodus pasien dengan
pengobatan antibiotik dalam beberapa minggu, dan karena sedikit nodus terlibat,
biopsi eksisi limfonodus merupakan pilihan untuk mengevaluasi adanya keganasan.
Dibandingkan dengan biopsi aspirasi, ini adalah standar emas, dalam mengawetkan
arsitektur nodus dan menyediakan jaringan untuk pengecatan imunohistokimia dan
studi lebih lanjut. Aspirasi jarum biopsi aman, tidak mahal, dan mudah untuk
dilakukan dan berguna dalam situasi keterbatasan sumber daya, tetapi tidak dapat
membedakan antara proses reaktif dan neoplastik. Pengumpulan dan interpretasi
mungkin bervariasi dan tergantung individu, dan sensitivitas untuk mendeteksi
limfoma sangat rendah. Sindrom akut retrovirus dapat menyebabkan limfadenopati,
terkhusus sebelumnya bukti serokonversi, tetapi biasanya dibarengi dengan penyakit
seperti flu dan monositosis. Walaupun pasien tidak memiliki faktor risiko HIV, tes
PCR untuk HIV juga merupakan langkah penting ketika situasi klinis tak menjurus
kemana-mana. Tidak adanya penampakan abnormal orofaring, eksudat tonsil, atau
demam tinggi, kemungkinan pretes faringitis streptokokus rendah, dan titer ASO
mungkin tidak digunakan menjadi diagnostik pada kasus ini.
1) Rontgen Paru
38
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Gambar: Rontgen Paru TBC
Limfadenopati pada pasien dengan tuberkulosis primer. Radiografi dada
menunjukkan adanya bulky left hilum dan massa paratrakeal kanan, temuan konsisten
dengan limfadenopati dan tipikal pada pasien pediatrik.
Pada kasus rontgen paru dalam batas normal.
39
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pada kasus, tidak dijumpai basil tahan asam.
40
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
FNAB ini dapat dilakukan oleh seorang dokter terlatih dan dapat dilakukan di ruang
praktek sehingga ini sangat bermanfaat bagi pasien rawat jalan. Untuk mendiagnosa
limfoma maligna pada kelenjar getah bening, ketepatannya tinggi pada lesi tumor
yang derajat keganasannya high-grade. Bila dilakukan pada jaringan hati ketepatan
diagnosisnya 67-100%. Rata-rata 80% lesi keganasan di jaringan hati dapat
didiagnosis secara tepat sehingga sesuai dengan dugaan adanya korelasi antara
analisis sitologi dengan hasil pemeriksaan klinis yang baik.
Pada kasus menunjukkan fokus-fokus beberapa sel epiteloid dengan latar
belakang sel limfosit matur mengesankan suatu limfadenitis kronis
granulomatosa
41
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
5) Tes Serologi
IgG positif, IgM negatif
VI. Kesimpulan
Lisa (P/19 thn), dengan benjolan pada leher kanan dan posterior auricular leher
kiri karena toksoplasmosis.
42
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
VII. Kerangka Konsep
43
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Daftar Pustaka
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders.
Barbara. L. Bullock. 1996. Pathophysiology: adaptation and alterations in function. 4th ed.
Philadelphia: Lippincot
Das, S, Das, D, Bhuyan, U.T, Saikia, N. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Head
and Neck Tuberculosis: Scenario in a Tertiary Care Hospital of North Eastern India.
2016;10(1).
Deveci, H, Kule, M, Kule, Z.A, Habesoglu, T.E. Northern Clinical Istanbul. Diagnostic
challenges in cervical tuberculous lymphadenitis: A review. 2016;3(2).
Hunter, C. A., & Sibley, L. D. (2012). Modulation of innate immunity by Toxoplasma gondii
virulence effectors. Nature Reviews Microbiology, 10, 766. Retrieved from
https://doi.org/10.1038/nrmicro2858
McAdam A, Sharpe AH. Acute and Chronic Inflammation. Dalam: Kumar V AA, Fausto N,
editor. Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010.
Mitchell, Richard N, et al. (2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran,
Ed.7terjemahan. Jakarta: EGC
Robbins, S. L., Kumar, V., & Cotran, R. S. (2007). Buku ajar patologi. Jakarta: EGC.
S. Snell R. ANATOMI KLINIK untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta; EGC: 2006.
p.710-2.
Soegondo, S., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2007). Buku ajar ilmu
penyakit dalam
Sylvia, A.P. & Wilson L.M.. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6. Jakarta: EGC
Toxoplasmic Lymphadenitis of the Head and Neck Region; Inn Chul Nam, Young Jin Cho,
Beom Cho Jun, and Kwang Jae Cho; Department of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, College of Medicine, The Catholic University of Korea, Seoul, Korea. Korean
J Otorhinolaryngol-Head Neck Surg 2015;58(5):341-3
44
Skenario A Blok 11 Kelompok G1