Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 11

Disusun oleh: KELOMPOK G1


Tutor: dr. Aida Farida, Sp.PA.

Saphira Nada Khalishah 04011381722156


Fannysha Arrahma 04011381722159
Nys Salsabila Hamidah 04011381722160
Natassya Mariz 04011381722161
Yake Apriliany 04011381722162
Afiya Nabila Shavira 04011381722171
Sella Vanessa Lie 04011381722188
M. Shafriedho Darmaputra 04011381722195
Tasya Kamila Andiani 04011381722198
M. Maverick Andrianto 04011381722203
Fakhri Abdurrahman 04011381722207

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang
berjudul “Laporan Tutorial Skenario A Blok 11” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran
diskusi tutorial;
2. dr. Aida Farida, Sp.PA., selaku tutor kelompok G1;
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD GAMMA 2017.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 23 November 2018

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................ii

ii
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Daftar Isi....................................................................................................................iii
Kegiatan Diskusi........................................................................................................4
Skenario.....................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah.......................................................................................6
II. Identifikasi Masalah...................................................................................7-8
III. ....................................................................................................................Analisis
Masalah..............................................................................................................9-12
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.................................................................13
V. Sintesis.......................................................................................................14-42
VI. Kesimpulan................................................................................................42
VII. Kerangka Konsep......................................................................................43
Daftar Pustaka............................................................................................................44

iii
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Aida Farida, Sp.PA.


Moderator : Fakhri Abdurrahman
Sekretaris 1 : Sella Vanessa Lie
Sekretaris 2 : Nys Salsabila Hamidah
Presentan : Muhammad Shafriedho Darmaputra
Pelaksanaan : 22 November 2018 (07.30-10.00 WIB)
23 November 2018 (07.30-10.00 WIB)

Peraturan selama Tutorial :


1. Tidak boleh makan, tetapi boleh minum;
2. Hp digunakan hanya bila diperlukan;
3. Mengangkat tangan terlebih dahulu jika ingin berpendapat; dan
4. Tidak ada forum dalam forum.

4
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
SKENARIO
Cervical Lymphadenopathy
Lisa, usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang anda pimpin karena ada
benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu. Benjolan terus membesar
perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut sebesar kacang hijau dan saat ini membesar
dengan ukuran sebesar kacang merah. Benjolan tidak terasa nyeri.
Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan stabil, tidak
ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi serak. Namun, akhir akhir ini
pasien merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung sering buntu tanpa sebab.
Pasien pernah berobat ke dokter umum dan diberikan antibiotic untuk 2 minggu,
namun tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien menyangkal adanya kontak dengan
kucing atau binatang pengerat lainnya, tidak ada riwayat konsumsi daging mentah.
Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada posterior auricular leher kiri pasien tampak
dua benjolan berdekatan dengan ukuran hampir sama dengan diameter kurang dari 1
cm. semua benjolan teraba kenyal dan terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada benjolan
di leher kanan.
Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas normal
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin : 13g/dl Leukosit, 12000/mm3, LED: 19mm/jam.
Hitung jenis leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate
dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin : Dalam batas normal
Lisa dirujuk kerumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Pemeriksaan lain apa saja yang saudara perlukan dan bagaimana hasil yang
anda harapkan! Minta kepada tutor!
Tambahan dari tutor :
Pemeriksaan rontgen paru: normal
Biopsi jarum halus (FNAB): aspirasi fokus pada beberapa sel epitheloid dengan latar
belakang sel limfosit matur kesan lymph adenitis granulamatosa.
Biopsy eksisi: kesan reaktif toksoplasmosis
Ziehl neelsen: (-) acid basili
Tes serologi: IgG: +, IgM: -

5
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
I. Klarifikasi Istilah

1. Benjolan pada leher : Terdapat suatu benjolan pada region leher.


2. LED : Laju endap darah adalah kecepatan pengendapan
sel sel eritrosit di dalam tabung berisi darah diberi
antikoagulan dalam waktu 1 jam.
3. Laktat Dehydrogenase : Enzim yang mengkatalisis reaksi dari produk
perubahan L-Alanin yang dikatalis oleh GPT, yaitu
piruvat, yang akan diubah menjadi laktat.
4. Posterior auricular : Bagian belakang dari leher kiri.
leher kiri
5. Terfiksir : Benjolan melekat pada jaringan di bawah atau
atasnya.
6. Cervical : Abnormal enlargement refers to cervical lymph
Lymphadenopathy nodes.

7. Antibiotik : Zat zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan


bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan
toksisitasnya bagi manusia relative kecil.
8. Nyeri tekan : Terdapat respon nyeri pada penekanan daerah
benjolan.
9. Demam : Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan sitokin pyrogen yang diproduksi
oleh untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya
terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsang
pirogenik lain. (>37oC)
10 Sakit kepala : Rasa nyeri pada daerah kepala dan leher yang
. disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
11 Hidung sering buntu : Kesulitan dalam bernafas melalui lubang hidung
. dikarenakan adanya sumbatan jalur nafas.

II. Identifikasi Masalah


No Identifikasi Masalah Ketidaksesuaian Prioritas
.
1. Lisa, usia 19 tahun berobat ke Puskesmas Tidak sesuai VVV

6
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
yang anda pimpin karena ada benjolan pada
leher kanannya sejak beberapa minggu lalu.
Benjolan terus membesar perlahan. Pada
awalnya benjolan tersebut sebesar kacang
hijau dan saat ini membesar dengan ukuran
sebesar kacang merah. Benjolan tidak
terasa nyeri.
2. Pasien tidak mengalami demam, nafsu Tidak sesuai VV
makan normal, berat badan stabil, tidak ada
berkeringat malam hari dan suara tidak
menjadi serak. Namun, akhir akhir ini
pasien merasa mudah lelah, sering sakit
kepala, dan hidung sering buntu tanpa
sebab.
3. Pasien pernah berobat ke dokter umum dan Tidak sesuai V
diberikan antibiotic untuk 2 minggu, namun
tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien
menyangkal adanya kontak dengan kucing
atau binatang pengerat lainnya, tidak ada
riwayat konsumsi daging mentah.
4. Pada pemeriksaan fisik lokalis leher Tidak sesuai V
tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada
posterior auricular leher kiri pasien tampak
dua benjolan berdekatan dengan ukuran
hampir sama dengan diameter kurang dari 1
cm. semua benjolan teraba kenyal dan
terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada
benjolan di leher kanan.

7
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
5. Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas Tidak sesuai V
normal
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin :13g/dl Leukosit,
12000/mm3, LED: 19mm/jam. Hitung jenis
leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate
dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin : dalam batas normal
Lisa dirujuk kerumah sakit untuk
penanganan lebih lanjut.

6. Pemeriksaan lain: VVV


Pemeriksaan rontgen paru: normal
Biopsi jarum halus (FNAB): aspirasi fokus
pada beberapa sel epitheloid dengan latar
belakang sel limfosit matur kesan lymph
adenitis granulamatosa.
Biopsy eksisi: kesan reaktif toksoplasmosis
Ziehl neelsen: (-)

Alasan prioritas: kami memilih identifikasi masalah pertama karena masalah


tersebut yang paling darurat untuk ditangani dan yang membuat pasien ke Puskesmas.

III. Analisis Masalah

8
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
1. Lisa, usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang anda pimpin karena ada
benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu. Benjolan terus
membesar perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut sebesar kacang hijau
dan saat ini membesar dengan ukuran sebesar kacang merah. Benjolan
tidak terasa nyeri.
a. Bagaimana patofisiologi benjolan pada leher dalam scenario?
Saat parasit dalam bentuk bradizoit yang membelah menjadi kista
menyebar secara limfogen berakumulasi di nodus limfatik menyebabkan
nodus limfatik terlihat besar. Akumulasi dari sel imun tubuh yaitu limfosit B
dan T, plasma sel, makrofag, dan lain lain dikarenakan adanya antigen
berupa parasit. Kedua hal itu dapat menyebabkan timbulnya benjolan.

b. Mengapa benjolan terus membesar secara perlahan?


Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan ookista dari T. gondii yang
berlangsung secara perlahan, dimulai dengan masuknya ookista kemudian
tumbuh menjadi trofozoit, menjadi takizoit dan nantinya akan membentuk
kista jaringan. Kista jaringan ini bisa berada pada kelenjar getah bening,
sebagai respon imun maka kerja dari kelenjar getah bening ini akan
meningkat untuk menghasilkan sel limfoid, sel limfoid ini kemudian akan
terakumulasi di dalam kelenjar getah bening sehingga menyebabkan
perbesaran. Selain itu pembesaran KGB juga disebabkan karena proliferasi
limfosit B dan diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma.

c. Apa interpretasi dari benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu
lalu?
Benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu
menunjukkan bahwa infeksi sudah kronis.

2. Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan stabil,
tidak ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi serak. Namun,
akhir akhir ini pasien merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung
sering buntu tanpa sebab.
a. Mengapa pasien merasa mudah lelah dan sering sakit kepala?
Pasien merasa mudah lelah dikarenakan kista menyebar ke jaringan salah

9
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
satunya ke jaringan otot. Mengakibatkan metabolisme sel meningkat
(mempertahankan sel sehat) dan kerja sel-sel dalam tubuh meningkat maka
menyebabkan pasien mudah lelah.

b. Mengapa hidung sering buntu tanpa sebab?


Ketika penderita terpapar oleh zat-zat seperti histamin, maka tubuh akan
bereaksi. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, di
mana produksi lendir dalam rongga hidung dapat meningkat. Pada kondisi ini,
ada pula kemungkinan hidung tersumbat

3. Pasien pernah berobat ke dokter umum dan diberikan antibiotic untuk 2


minggu, namun tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien menyangkal
adanya kontak dengan kucing atau binatang pengerat lainnya, tidak ada
riwayat konsumsi daging mentah.
a. Mengapa tidak ada perubahan pada benjolan setelah diberikan antibiotic 2
minggu?
1. Antibiotiknya kemungkinan tidak dapat membunuh parasit (kista)
2. Karena berobatnya di puskesmas kemungkinan drugs of choice-nya
tidak tersedia
3. Kemungkinan masih berupa differential diagnose

b. Apakah ada efek samping dari pengonsumsian antibiotic selama 2 minggu


pada kasus? jika ada jelaskan!
Umumnya resisten terhadap antibiotic, menyebabkan terganggunya flora
normal yang dapat menyebabkan infeksi sekunder (contoh: jamur).

4. Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. sedangkan pada posterior auricular leher kiri
pasien tampak dua benjolan berdekatan dengan ukuran hampir sama
dengan diameter kurang dari 1 cm. semua benjolan teraba kenyal dan
terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada benjolan di leher kanan.
a. Mengapa hanya benjolan pada leher kanannya yang terasa nyeri tekan?
Ukuran benjolan pada leher kanan lebih besar, sehingga kemungkinan saraf-
nya tertekan menyebabkan rasa nyeri.

10
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
b. Mengapa benjolan teraba kenyal dan terfiksir?
Karena adanya akumulasi sel radang, sel epitheloid/granulomatosa, dan sel sel
imun lainnya. Selain itu juga terdapat parasit yang terakumulasi di nodus
limfa..

5. Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas normal


Pemeriksaan laboratorium:
Hemoglobin : 13g/dl Leukosit, 12000/mm3, LED: 19mm/jam. Hitung
jenis leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin : dalam batas normal
Lisa dirujuk kerumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Nilai Normal Kasus Interpretasi
Hb 12-14 g/dl 13 g/dl Normal
Leukosit 5000-10000/mm3 12000/mm3 Meningkat
LED 0-20 mm/jam 19 mm/jam Normal
Diff count 0-1%/1-3%/2-6%/50- 0/1/2/51/40/6 Normal
70%/20-40%/2-8%
Lactate 100-190 U/L 146 U/L Normal
dehydrogenase

b. Mekanisme peningkatan leukosit?


Pada kontrol inang awal infeksi bergantung pada produksi sitokin pro-
inflamasi IL-12, yang diproduksi oleh makrofag dan sel denritik. Sebagai
respon terhadap reseptor TLR yang berfungsi menangkap profilin yang
dikeluarkan toksoplasma. IL-12 akan mengaktifkan NK cell dan sel T untuk
mengsekresi INF-γ. Neutrophil dan sel T juga menghasilkan INF-γ. Karena
terjadi proses inflamasi maka banyak neutrophil yang disekresikan, dimana
neutrophil merupakan produk leukosit. Hal ini menyebabkan leukosit
meningkat.

6. Pemeriksaan rontgen paru: normal


Biopsi jarum halus (FNAB): aspirasi fokus pada beberapa sel epitheloid
dengan latar belakang sel limfosit matur kesan lymph adenitis

11
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
granulamatosa.
Biopsy eksisi: kesan reaktif toksoplasmosis
Ziehl neelsen: (-) acid basili
Tes serologi: IgG: +, IgM: -
a. Bagaimana gambaran histopatologi dari Toksoplasma Lymphodenitis?

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


What I
How I Will
No. Pokok Bahasan What I Know Don’t
Know
Know

12
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Definisi, morfologi,
siklus hidup, etiologi,
patagenesis, diagnosa
klinik, cara
penularan , gejala,
1. Toksoplasmosis komplikasi, -
pencegahan, SKDI,
pengobatan,
perubahan
mikroskopis, Jurnal, text
histopatologi book.
Respon imun, tanda
infeksi, mekanisme
2. Sistem imun -
kerja imun, tipe imun,
dll
Anatomi, kelenjar
Histologi,
limfe leher, diagnosis,
penyakit
Kelenjar Getah anamnesis,
3. yang dapat
Bening pemeriksaan fisik
menyerang
KGB, pemeriksaan
KGB, dll
radiologi

V. Sintesis
1. Toksoplasmosis
A. Definisi

13
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit bersel satu
disebut Toxoplasma gondii. Parasit Toxoplasma bisa menetap di dalam tubuh manusia
pada waktu yang lama bahkan seumur hidup. Walaupun begitu, parasit ini sedikit
sekali menunjukkan gejala karena imun sistem orang yang sehat biasanya menekan
parasit dari menimbulkan penyakit. Tetapi untuk orang-orang yang sistem imunnya

rendah, seperti pada ibu hamil atau penderita HIV, infeksi parasit ini dapat
menimbulkan masalah kesehatan.

B. Morfologi

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga


bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi
sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung
yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4
mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan
beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Sasmita, 2006). Bentuk ini
terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk
manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut
dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang berinti.
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa
bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista
dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan
otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada, 2003).

14
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
C. Siklus hidup
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan
Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3 – 7 um, dapat menginvasi semua
sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut
dari infeksi. Bila infeksi kronis trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat
dan disebut bradizoit.
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan
berukuran 10 – 100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat
dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista
terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing.
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali feses akan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti
manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara
akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif.
Kebanyakan infeksi yang bersifat simptomatis muncul dalam bentuk cervical ataupun
oksipital limfadenopati.
Interleukin (IL)-12 and interferon (IFN)-gamma produced by cells of the innate
immune system elicit a strong adaptive Th1-biased immune response. Natural killer
cells and dendritic cells are important both for activation of T cells and for control of
the inflammatory response. IFN-gamma-producing CD4+ and CD8+ T cells are
critical for resolution of acute infection and for control of latent, chronic infection. 
Inflammatory monocytes recruited to sites of infection also play a role in disease
control independent of the Th1 response by secreting nitric oxide, which inhibits
parasite growth. 

15
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Stadium seksual diawali berkembangnya merozoit menjadi makrogamet dan
makrogamet di dalam sel epitel usus, kedua gamet tersebut mengalami proses
fertilisasi dan terbentuk zigot, selanjutnya tumbuh menjadi ookista. Ookista masuk ke
dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Setelah 2-3 hari pada suhu 24°C menjadi
infektif atau mengalami sporulasi (SAYOGO, 1978; SOULSBY, 1982; LEVINE,
1985). Siklus di luar sel usus ini merupakan siklus hidup berikutnya yang sama terjadi
di luar jaringan usus pejamu sejati terutama pada pejamu antara, dan siklus ini terjadi
secara bersamaan dengan siklus di dalam epitel sel usus pejamu sejati. Setelah infeksi
peroral, takizoit yang terbentuk berkembang secara endodiogeni dalam vakuola
beberapa jenis sel yang diserangnya. Kemudian berakumulasi di dalam sel yang berisi
delapan atau lebih takizoit, keadaan ini disebut kista semu. Bila kista semu pecah,
takizoit menyerang sel-sel di sekitarnya dan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan limfe. Parasitemia mungkin terjadi beberapa kali sampai terbentuk antibodi
dalam plasma akibat adanya kekebalan tubuh, takizoit akan dihancurkan kecuali yang
telah berkembang menjadi bradizoit di dalam kista jaringan . Kista jaringan ditemukan
paling cepat pada hari kedelapan setelah pejamu mengalami awal infeksi dan mampu
bertahan selama pejamu hidup. Bila kekebalan tubuh menurun, maka kemungkinan
bradizoit akan dilepas dan berkembang menjadi takizoit, sehingga terulang lagi infeksi
Toxoplasma akut.

D. Etiologi

16
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Toxoplasmosis ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909 yang
menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah diselidiki
maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk
famili babesiidae. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan

sel-sel endothelial pada berbagai organ tubuh.


Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam
darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh
seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan
urat daging licin lainnya. Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan membelah diri
menjadi 2, 4 dan seterusnya.
Pada preparat ulas dan sentuh dapat dilihat dibawah mikroskop, bentuk oval agak
panjang dengan kedua ujung lancip, hampir menyerupai bentuk merozoit dari
coccidium. Jika ditemukan diantara sel-sel jaringan tubuh berbentuk bulat dengan
ukuran 4 sampai 7 mikron. Inti selnya terletak dibagian ujung yang berbentuk bulat.
Pada preparat segar, sporozoa ini bergerak, tetapi peneliti-peneliti belum ada yang
berhasil memperlihatkan flagellanya. Toxoplasma baik dalam sel monocyte, dalam
sel-sel sistem reticulo endoteleal, sel alat tubuh viceral maupun dalam sel-sel saraf
membelah dengan cara membelah diri 2,4 dan seterusnya. Setelah sel yang
ditempatinya penuh lalu pecah parasit-parasit menyebar melalui peredaran darah dan
hinggap di sel-sel baru dan demikian seterusnya.
Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan.
Cepat mati karena pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati
jasad inipun ikut mati. Toxoplasma membentuk pseudocyste dalam jaringan tubuh
atau jaringan-jaringan tubuh hewan yang diserangnya secara kronis. Bentuk
pseudocyste ini lebih tahan dan dapat bertindak sebagai penyebar toxoplasmosis.

17
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
E. Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri
dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta
memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling
nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai
afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung
parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis yang terbukti
dengan adanya gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang
dijumpai.Kemudian parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang
manifestsinya sangat tergantung pada usia kehamilan.

F. Diagnosa Klinik

Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan antibodi IgM dan
IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani, 2005). Untuk memastikan diagnosis
toksoplasmosis kongenital pada neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti
IgM tidak selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan.

Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka menderita
toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG pada neonatus yang secara
pasif didapatkan dari ibunya melalui plasenta, berangsur-angsur berkurang dan
menghilang pada bayi yang tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T.
gondii, zat anti IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini
titer zat anti IgG naik.
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup bila hanya
sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi, karena titer zat anti T.
gondii yang ditemukan dengan tes-tes tersebut diatas dapat ditemukan bertahun-tahun
dalam tubuh seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer
meninggi pada pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih atau
bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat dipastikan bila

18
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer tes warna atau tes IFA yang tinggi.

G. Cara Penularan
a. Makanan yang tidak dimasak sampai matang; seperti daging yang terkontaminasi.
Memasak menggunakan alat masak yang tidak bersih atau tidak mencucui tangan
dengan benar.
b. Meminum minuman yang terkontaminasi Toxoplasma gondii.
c. Tidak sengaja menelan parasit ketika berkontak dengan feses kucing yang
terkontaminasi ketika membersihkan kotoran kucing, memakan makanan yang
berkontak dengan feses kucing yag terkontamainasi.
d. Tidak sengaja menelan tanah (setelah berkebun atau memakan buah dan sayuran
yang tidak dicuci dengan baik)
e. Transmisi ibu kepada anaknya (kongenital)
f. Transmisi akibat transplantasi organ atau tranfusi darah (jarang).

H. Gejala

Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan menjadi : Toksoplasmosis akuisita (dapatan)
dan Toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis akuisita maupun kongenital

19
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan
kemudian menjadi kronik. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit
dibedakan dengan penyakit lain.
Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan
gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada
kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah
limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala. Pada infeksi akut,
limfadenopati sering dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian
belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk
kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
kelainan kulit, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang
tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa
minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad
klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau
tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem
syaraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi
mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat
kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena
toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital.
Akibat kerusakan pada berbagai organ pada bayi dan anak-anak akibat infeksi
pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan
seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak
yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat
disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan
lesi mata.

I. Komplikasi Toksoplasmosis

20
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
a) Oksoplasmosis okular. Peradangan dan luka pada mata yang diakibatkan oleh
parasit. Penyakit ini bisa menyebabkan gangguan penglihatan, muncul floater
(seperti ada benda kecil yang melayang-layang menghalangi pandangan) pada mata,
hingga kebutaan.
b) Oksoplasmosis kongenital terjadi ketika janin yang dikandung ikut terinfeksi
toksoplasmosis. Hal ini bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada janin.
Misalnya hidrosefalus, epilepsi, kehilangan pendengaran, kerusakan otak, gangguan
kemampuan belajar, penyakit kuning, toksoplasmosis okular, dan cerebral palsy.
c) Oksoplasmosis serebral. Jika penderita gangguan sistem kekebalan tubuh terinfeksi
oleh toksoplasmosis, maka infeksi tersebut bisa menyebar ke otak dan bisa
mengancam nyawa penderita. Beberapa gejalanya adalah sakit kepala,
kebingungan, gangguan koordinasi, kejang-kejang, demam tinggi, bicara tidak jelas,
toksoplasmosis okuler.

J. Pencegahan Toksoplasmosis
Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta
ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang
teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada
kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu
tikus atau burung.
Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista
dari tanah atau lantai ke makanan (Gandahusada, 2003). Untuk mencegah terjadinya
infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan
ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan
serta air panas 70° C yang disiramkan pada tinja kucing(Gandahusada, 2003).
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani
sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Sayur-mayur
yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista
melekat pada sayuran, makanan yang matang harus ditutup rapat supaya tidak
dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke
makanan tersebut. Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan
ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66 °C.
Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65°C selama empat

21
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung
kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan
nitrat (Chahaya, 2003).
Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak)
sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Yang paling penting dicegah
adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu anak yang lahir cacat dengan
retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan
dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-
24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena
lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester
terakhir kehamilan (Chahaya, 2003). Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada
ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat
dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada
manusia belum tersedia sampai saat ini.

K. SKDI TOXOPLASMOSIS : 3A
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

L. Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari selama sebulan. Karena efek
samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk
menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprinm juga ternyata
efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah
efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi

22
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi
yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis

M. Perubahan Mikroskopis Pada Penyakit Toxoplasmosis


Sarang-sarang nekrosa dapat ditemukan didalam paru-paru, hati, limpa, anak
ginjal dan sel-sel disekitar sarang-sarang ini mengandung toxoplasmosis yang
tergabung dalam kolonikoloni terminal (Pseudo-cysts) atau parasit-parasit itu terletak
bebas dalam jaringan-jaringan.
Toxoplasma banyak dijumpai didalam sel-sel pada pinggir ulkus-ulkus usus.
Didalam otak parasit-parasit terlihat didalam sel-sel glia atau neuron sebagai
parasitparasit intra selluler atau sebagai koloni-koloni terminal (pseudocysts).
Protozoa itu juga berada bebas dalam jaringan. Reaksi radang umumnya jelas terlihat,
sebagai gliosis, mikroglia, atau astrosit-astrosit. Penyerbukan limfosit-limfosit dalam
ruang virchow robin, disamping nekrosa lokal jaringan otak. Juga terjadi proliferasi
sel-sel adventisia, disamping nekrosa lokal jaringan otak. Perubahan-perubahan itu
paling banyak terdapat dalam cortex cerebralis. Parasit itu juga bisa dijumpai pada
selaput otak.
Hati memperlihatkan perdarahan-perdarahan lokal yaitu gambaran degenerasi
dan reaksi seluler disamping sarang-sarang nekrosa tersebut di atas. Parasit-parasit
dapat ditemukan didalam makrofag atau didalam sel-sel hati. Didalam limpa kadang-
kadang di jumpai sel-sel reticulum dan makrofag-makrofag. Parasit-parasit terlihat
didalam miokard yakni didalam makrofag-makrofag atau didalam miofibril.
Disamping itu serabut-serabut otot degenerasi.
Toxoplasmosis sekali-sekali ditemukan di dalam mata anjing. Disamping itu juga
memperlihatkan gejala renitis, neuritis. Pada unggas toxoplasmosis otak merupakan
perubahanperubahanyang sering terlihat.

N. Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine

23
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari selama sebulan. Karena efek
samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk
menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprinm juga ternyata
efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah
efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek
sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi
yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.

O. Histopatologi Taxoplasmosis

Toxoplasma
gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu
takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit)
(Kasper, 2010). Takizoit memperbanyak diri secara cepat pada berbagai macam sel
di tubuh hospes perantara dan sel epitelial intestinal dari hospes definitif. Takizoit
ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh.

24
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Bradizoit adalah bentuk dari T. gondii yang memperbanyak diri secara
lambat dalam kista jaringan. Kista jaringan dapat ditemukan pada berbagai organ
viseral misalnya paru-paru, hepar, ginjal, namun lebih sering dijumpai pada
jaringan saraf dan otot misalnya otak, mata, otot skeletal dan myokardium. Kista
jaringan utuh umumnya tidak membahayakan dan dapat bertahan selamanya dalam
tubuh hospes tanpa menimbulkan respon inflamasi (Kasper, 2010; Schwartzman,
2006, Dubey, 1998).

25
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Ookista yang terdapat dalam tinja kucing merupakan bentuk tidak
bersporulasi berbentuk spheris dan subspheris berukuran 10x12 µm, berisi dua
sporokista yang masing-masing mengandung empat sporozoit. Ookista mempunyai
dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas (Montoya,
2010).

Takizoit terdiri dari berbagai organela dan inclusion bodies yaitu pellicle
(lapisan luar), apical ring, polar ring, conoid, rhoptries, micronemes, micropore,

26
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
mitochondria, subpellicular micrutubulus, RE kasar dan halus, golgi complex,
ribosom, inti, granula padat, granula amylopectin apicoplast (multiple membrane-
bound-plastid-like organela). Club-shaped organela yang disebut rhoptries
sebanyak 8-10 buah terdapat diantara inti dan anterior tip. Rhoptries merupakan
struktur ekskretori berbentuk kantung. Micronemes struktur berbentuk batang yang
terbentuk terutama pada ujung depan dari parasit. Fungsi dari micronemes,
rhoptries berkaitan dengan penetrasi ke dalam sel host dan menciptakan ligkungan
yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan parasit. Rhoptries mempunyai
fungsi sekresi yang berkaitan dengan penetrasi sel host, mensekresikan enzim
proteolitik (Ajioka, 2001).

2. System imun
Respon Imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang oleh
monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun. Materi asing
yang tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang mengubah susunan
biologis tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen tersebut bergerak ke darah
atau limfe dan memulai imunitas seluler atau humural.
1) Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan. Ikatan
ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat untuk
membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah inflamasi,
berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik &
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen.
2) Imunitas humoral
Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan sintesa
imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel B
memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan imunitas,
sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi invasi antigen

27
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
3) Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A, M, D,
E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.
4) Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah. Komplemen
diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen diaktifkan, maka akan
terjadi serangkaian proses katalitik.
5) Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu kemampuan
virus dalam bermultiplikasi.

Tanda-tanda infeksi
1) Rubor
rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak
darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi
penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan
warna merah lokal karena peradangan akut.
2) Kalor
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor
disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang
lebih banyak daripada ke daerah normal.
3) Dolor Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang
saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang.
4) Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-

28
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
jaringan interstitial.

Kontrol inang awal infeksi Toxoplasma bergantung pada produksi sitokin


pro-inflamasi interleukin 12 (IL-12), yang diproduksi oleh makrofag dan sel
dendritik (DC) sebagai respons terhadap pengakuan Toll like receptor (TLR)
terhadap struktur molekul yang dilestarikan secara luas. di seluruh spesies
mikroba (diulas di sini). IL-12 pada gilirannya mengaktifkan NK dan sel T untuk
mensekresi interferon γ (IFNγ). Neutrofil dan sel T also juga menghasilkan IFNγ
sebagai respons terhadap infeksi. IFNγ mengaktifkan mekanisme pertahanan
untuk eliminasi intraseluler Toxoplasma, termasuk pengaktifan GTPase
teregulasi interferon (IRGs), induksi intermediet nitrogen reaktif, degradasi
triptofan, dan autofagi.
Setelah infeksi primer dibersihkan oleh sistem kekebalan tubuh, memori sel
T menjaga infeksi kronis dari pengaktifan kembali dan menyebabkan penyakit
lebih lanjut. Pada model tikus dari infeksi kronis, sel T dan IFNγ memainkan
peran penting dalam mencegah reaktivasi dari bentuk dorman. Hasil ini
mencerminkan pengamatan klinis pasien HIV / AIDS di mana memburuknya
memori sel T berkorelasi dengan ensefalitis toksoplasma.

29
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
a | Pada awal infeksi, sel inang pertama yang merespon adalah sel dendritik
(DC), monosit dan makrofag. Interaksi Toxoplasma gondii profilin dengan Toll-
like receptor 11 (TLR11) pada DC penting untuk produksi host interleukin-12
(IL-12). Selain merangsang produksi IL-12, makrofag juga menginduksi tumor
necrosis factor (TNF), kofaktor dalam aktivitas antimikroba, sebagai tanggapan
terhadap pendeteksian protein parasit glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang
dimediasi oleh TLR2 dan TLR4. b | Respon imun menghasilkan produksi
interferon-γ (IFNγ) dari sel natural killer (NK) melalui respon bawaan dan,
akhirnya, dari sel T CD4 + dan CD8 + saat respon adaptif terjadi. IL-10 dan IL-

30
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
27 adalah kunci untuk memodulasi jalur-jalur ini dan mencegah kelebihan
produksi dari T helper 1 tipe cytokines. c | Produksi IFNγ selama fase bawaan
dan adaptif bertanggung jawab untuk mengaktifkan sel untuk mengendalikan
infeksi parasit. IFNγ menyebarkan sinyal melalui reseptor IFNγ permukaan
(IFNγR) untuk mengaktifkan transduser sinyal dan aktivator transkripsi 1
(STAT1), faktor transkripsi nuklir yang mengendalikan ekspresi banyak gen.
Menanggapi aktivitas STAT1, monosit dan makrofag meningkatkan produksi
oksida nitrat (NO) dan spesies oksigen reaktif (ROS), keduanya berkontribusi
pada kontrol parasit intraseluler. Kedua sel hematopoetic dan non-hematopoetic
meningkatkan dua keluarga protein pertahanan yang disebut GTPases terkait
kekebalan (IRG) dan p67 guanylate-binding proteins (GBPs), yang direkrut ke
vakuola parasitofor (PV) dan terlibat dalam pembersihan parasit. Fungsi IRG dan
GBP tergantung pada autophagy protein 5 (ATG5).

3. KGB
Kelenjar limfe leher
Terdapat perbedaan perkiraan jumlah nodus limfoid pada kepala dan leher
menurut para ahli. Bailey dan Love melaporkan sejumlah 300 nodus terdapat di
leher. Cummings dkk melaporkan sepertiga dari lebih 500 kelenjar limfe di tubuh
terletak di atas klavikula. Menurut Roezin sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat
di setiap sisi leher dan kebanyakan pada rangkaian jugularis interna dan spinalis
assessorius (gambar 6). Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam metastasis adalah
kelenjar limfe di rangkaian jugularis interna yang terbentang dari klavikula sampai
dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini dibagi dalam kelompok superior,
media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, sub
mandibula, servikalis superfisialis, retrofaring, paratrakeal, spinalis asesorius,
skalenus anterior, dan supraklavikula.

31
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pendekatan diagnostik untuk kelainan kelenjar limfe (limfadenopati)
Diagnosis definitif suatu kelainan di daerah kepala dan leher membutuhkan
tata diagnostik yang logis dan sistematik, mulai dari anamnesis hingga
pemeriksaan fisik menyeluruh dan sistematik daerah kepala dan leher merupakan
hal yang wajib dilakukan.
Informasi yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
radiografik atau laboratorium yang dibutuhkan. Bahkan jika didapatkan kecurigaan
keganasan kepala dan leher, dibutuhkan pemeriksaan menyeluruh sistem
respiratorik dan saluran cerna untuk melihat perluasan penyakit.

Anamnesis
Informasi sosial seperti sumber air minum yang tidak bersih, paparan
binatang penyebab infeksi spesifik, tuberkulosis, tifoid, bisa menyingkirkan
kemungkinan potensial penyebab limfadenopati. Informasi aktivitas seperti kontak
seksual juga penting untuk diperoleh.
Dalam melakukan anamnesis ada empat hal yang harus dipertimbangkan: 22 1)
Gejala atau tanda lokal yang mengisyaratkan adanya infeksi atau neoplasma di
lokasi tertentu, durasi, tingkat perkembangan, serta gejala-gejala yang menyertai,
2) Adanya gejala- gejala konstitusi seperti demam, penurunan berat badan, fatigue,
atau keringat malam yang mengisyaratkan kemungkinan penyakit seperti
tuberkulosis, limfoma, penyakit vaskular kolagen, infeksi atau keganasan yang

32
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
lain. Jika pasien mengalami infeksi berulang (rekuren) maka kita patut
mempertimbangkan penyakit defisiensi imunitas seperti human immunodeficiency
virus (HIV), 3) Adanya petunjuk epidemiologi tertentu (tabel 1) seperti paparan
kerja, baru pulang bepergian, atau perilaku resiko tinggi yang terkait kelainan
spesifik lainnya, 4) Apakah pasien sedang dalam pengobatan tertentu yang bisa
menyebabkan limfadenopati, seperti fenitoin (dilantin), penyakit-penyakit yang
diderita saat bersamaan, riwayat penyakit dahulu dan informasi mengenai riwayat
keluarga bisa menyingkirkan kemungkinan adanya keganasan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi visual daerah kepala dan wajah hingga
leher, diikuti palpasi bibir, kelenjar tiroid, kelenjar ludah utama, serta palpasi kelenjar
33
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
limfe. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan sistematis dari daerah aurikula,
parotis, area wajah, hingga ke segitiga-segitiga leher. Pemeriksaan palpasi sebaiknya
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada area yang terlewati. Setiap kelainan
yang ditemukan dicatat.
Cara pemeriksaan yang paling efektif adalah dilakukan baik dari depan dan
belakang dengan pasien duduk tegak dan kepala sedikit dimiringkan dengan posisi
hiperekstensi. Dapat digunakan tiga metode palpasi (tabel 2).

Palpasi dilakukan dengan tekanan lembut tapi mantap, dengan menempatkan


jari-jari pada kulit pasien. Kemudian dengan perlahan ujung-ujung jari digerakan
dengan gerakan sirkuler rmelewati jaringan, menggulirkan kelenjar limfe ke struktur
yang lebih keras. Kelenjar limfe fasial yang kecil bisa ditemukan sepanjang alur
diagonal arteri fasialis di wajah. Setelah melakukan pemeriksaan area fasialis, palpasi
dilanjutkan ke area aurikuler/parotis dengan pal Palpasi dilanjutkan dari tragus hingga
pasi bidigital, bilateral dari belakang dan depan telinga. ke angulus mandibula

Pada palpasi jaringan lunak wajah biasanya akan diperoleh kompressibilitas


dan ketebalan yang selatif seragam. Variasi pada regio anatomis berbeda merupakan
gambaran proporsi otot, kelenjar dan komponen jaringan lunak yang berbeda, namun
kesan umum yang dicari adalah homogenisitas jaringan. Regio parotis, pre aurikuler,
fasial, dan kelenjar limfe parotis seringkali merupakan lokasi pembesaran kelenjar
limfe oleh karena itu palpasi harus dilakukan dengan seksama.

34
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Dari mandibula, pemeriksaan palpasi dilanjutkan ke daerah segitiga
submandibula dengan menggeser tangan ke anterior angulus kemudian mengarahkan
pasien menundukkan dagunya sehingga kulit dan otot dagu rileks. Pemeriksa
menempatkan ibu jari dekat margo inferior mandibula dan menekankan ujung jari ke
inferior dan medial mandibula bilateral bersamaan. Di sini jaringan bisa dipegang dan
digulirkan ke lateral sepanjang margo inferior mandibula, sehingga tiap kelenjar yang
membesar dapat diidentifikasi (gambar 11).

Palpasi bimanual memiliki kelebihan untuk bisa merasakan keseluruhan


struktur di segitiga submandibuler dan dapat dilakukan oleh pemeriksa dengan
memasukkan dua hingga tiga jari intra oral untuk palpasi dasar mulut, sementara
tangan lain menahan segitiga sub mandibuler dari luar (gambar 12). Kelenjar sub
mandibuler dapat ditemukan superfisial dari otot milohioid di antara otot digastrik,
yaitu dalam ruang submandibuler yang juga berisi kelenjar submandibula.

35
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Jika limfadenopati yang ditemukan terlokalisir, maka pemeriksaan regio yang
didrainase oleh kelenjar limfe tersebut harus dilakukan untuk memperjelas apakah
limfadenopati disebabkan oleh infeksi, lesi kulit atau tumor (tabel 3).

36
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi konvensional bukan merupakan pilihan utama dalam
membedakan massa leher kecuali untuk mengenali hal-hal spesifik seperti kalsifikasi.
Ultrasonografi (USG) merupakan perangkat yang relatif aman, tidak mahal, tersedia
di banyak tempat dan bisa digunakan untuk pemeriksaan spesifik seperti ukuran lesi
sehubungan dengan progresivitasnya, lokasi, hubungan lesi dengan struktur yang
berdekatan, terutama pembuluh darah, karakter lesi (solid, kistik), serta jumlah dan

37
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
ukuran kelenjar limfe yang terlibat di area tersebut. Gabungan teknik ultrasound, fine
needle aspiration (FNA) dan pemeriksaan sitologi memiliki keunggulan tersendiri
dalam pemeriksaan jaringan lunak daerah leher. Computerized tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI) secara luas digunakan untuk menentukan stadium
primer tumor dan kelenjar limfe. Akurasi pemeriksaan kelenjar limfe tergantung
kriteria radiologi yang digunakan. Misalnya untuk menentukan limfadenopati
metastasis yang paling penting adalah adanya nekrosis nodal, yang bisa terdeteksi
lewat CT yang diperkuat dengan kontras. CT merupakan metode terbaik untuk
melihat penetrasi kapsular dan perluasan ekstrakapsular dari kelenjar limfe dibanding
MRI.

Tes
Dikarenakan pembesaran berkepanjangan dari limfonodus pasien dengan
pengobatan antibiotik dalam beberapa minggu, dan karena sedikit nodus terlibat,
biopsi eksisi limfonodus merupakan pilihan untuk mengevaluasi adanya keganasan.
Dibandingkan dengan biopsi aspirasi, ini adalah standar emas, dalam mengawetkan
arsitektur nodus dan menyediakan jaringan untuk pengecatan imunohistokimia dan
studi lebih lanjut. Aspirasi jarum biopsi aman, tidak mahal, dan mudah untuk
dilakukan dan berguna dalam situasi keterbatasan sumber daya, tetapi tidak dapat
membedakan antara proses reaktif dan neoplastik. Pengumpulan dan interpretasi
mungkin bervariasi dan tergantung individu, dan sensitivitas untuk mendeteksi
limfoma sangat rendah. Sindrom akut retrovirus dapat menyebabkan limfadenopati,
terkhusus sebelumnya bukti serokonversi, tetapi biasanya dibarengi dengan penyakit
seperti flu dan monositosis. Walaupun pasien tidak memiliki faktor risiko HIV, tes
PCR untuk HIV juga merupakan langkah penting ketika situasi klinis tak menjurus
kemana-mana. Tidak adanya penampakan abnormal orofaring, eksudat tonsil, atau
demam tinggi, kemungkinan pretes faringitis streptokokus rendah, dan titer ASO
mungkin tidak digunakan menjadi diagnostik pada kasus ini.

1) Rontgen Paru

38
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Gambar: Rontgen Paru TBC
Limfadenopati pada pasien dengan tuberkulosis primer. Radiografi dada
menunjukkan adanya bulky left hilum dan massa paratrakeal kanan, temuan konsisten
dengan limfadenopati dan tipikal pada pasien pediatrik.
Pada kasus rontgen paru dalam batas normal.

2) BTA (Ziehl Neelsen)


Pewarnaan Ziehl Neelsen, termasuk pewarnaan tahan asam. Biasanya dipakai
untuk mewarnai golongan Mycobacterium (M. tuberculosis dan M. leprae) dan
Actinomyces.
Bakteri genus Mycobacterium dan beberapa spesies nocardia pada dinding selnya
mengandung banyak zat lipid (lemak) sehingga bersifat permeable dengan pewarnaan
biasa. Bakteri tersebut bersifat tahan asam (+) terhadap pewarnaan tahan asam.
Pewarnaan tahan asam dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa
tuberculosis.
Pewarnaan ini merupakan prosedur untuk membedakan bakteri menjadi 2
kelompok tahan asam dan tidak tahan asam. Bila zat warna yang telah terpenetrasi
tidak dapat dilarutkan dengan alkohol asam, maka bakteri tersebut disebut tahan asam
sedangkan sebaliknya disebut tidak tahan asam. 

39
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Pada kasus, tidak dijumpai basil tahan asam.

Gambar: Basil tahan asam


Pulasan Ziehl-Neelsen dari cairan cerebrospinal menunjukkan adanya basili tahan
asam: Pasien Mycobacterium tuberculosis

3) FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)

Gambar: Teknik FNAB


Biopsi aspirasi jarum halus atau Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
adalah merupakan suatu metode atau tindakan pengambilan sebagian jaringan tubuh
manusia dengan suatu alat aspirator berupa jarum suntik yang bertujuan untuk
membantu diagnosis berbagai penyakit tumor. Tindakan biopsi aspirasi ditujukan
pada tumor yang letaknya superfisial dan papable misalnya tumor kelenjar getah
bening, tiroid, kelenjar liur, payudara, dan lain-lain. Sedangkan untuk tumor pada
organ dalam misalnya tumor pada paru, ginjal, hati, limpa dan lain-lain dilakukan
dengan bantuan CT Guided. Dengan metode FNAB diharapkan hasil pemeriksaan
patologis seorang pasien dapat segera ditegakkan sehingga pengobatan ataupun
tindakan operatif tidak membutuhkan waktu tunggu yang terlalu lama. Tindakan

40
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
FNAB ini dapat dilakukan oleh seorang dokter terlatih dan dapat dilakukan di ruang
praktek sehingga ini sangat bermanfaat bagi pasien rawat jalan. Untuk mendiagnosa
limfoma maligna pada kelenjar getah bening, ketepatannya tinggi pada lesi tumor
yang derajat keganasannya high-grade. Bila dilakukan pada jaringan hati ketepatan
diagnosisnya 67-100%. Rata-rata 80% lesi keganasan di jaringan hati dapat
didiagnosis secara tepat sehingga sesuai dengan dugaan adanya korelasi antara
analisis sitologi dengan hasil pemeriksaan klinis yang baik.
Pada kasus menunjukkan fokus-fokus beberapa sel epiteloid dengan latar
belakang sel limfosit matur mengesankan suatu limfadenitis kronis
granulomatosa

Gambar: Hasil Cytologi aspirat


4) Hasil Biopsi Eksisi

Gambar: Biopsi Eksisi


Pada kasus: kesan reaktif limfadenopati kemungkinan toxoplasmosis

41
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
5) Tes Serologi
IgG positif, IgM negatif

VI. Kesimpulan
Lisa (P/19 thn), dengan benjolan pada leher kanan dan posterior auricular leher
kiri karena toksoplasmosis.

42
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
VII. Kerangka Konsep

43
Skenario A Blok 11 Kelompok G1
Daftar Pustaka

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders.
Barbara. L. Bullock. 1996. Pathophysiology: adaptation and alterations in function. 4th ed.
Philadelphia: Lippincot
Das, S, Das, D, Bhuyan, U.T, Saikia, N. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Head
and Neck Tuberculosis: Scenario in a Tertiary Care Hospital of North Eastern India.
2016;10(1).
Deveci, H, Kule, M, Kule, Z.A, Habesoglu, T.E. Northern Clinical Istanbul. Diagnostic
challenges in cervical tuberculous lymphadenitis: A review. 2016;3(2).

Hunter, C. A., & Sibley, L. D. (2012). Modulation of innate immunity by Toxoplasma gondii
virulence effectors. Nature Reviews Microbiology, 10, 766. Retrieved from
https://doi.org/10.1038/nrmicro2858

McAdam A, Sharpe AH. Acute and Chronic Inflammation. Dalam: Kumar V AA, Fausto N,
editor. Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010.
Mitchell, Richard N, et al. (2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran,
Ed.7terjemahan. Jakarta: EGC
Robbins, S. L., Kumar, V., & Cotran, R. S. (2007). Buku ajar patologi. Jakarta: EGC.
S. Snell R. ANATOMI KLINIK untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta; EGC: 2006.
p.710-2.
Soegondo, S., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2007). Buku ajar ilmu
penyakit dalam
Sylvia, A.P. & Wilson L.M.. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 6. Jakarta: EGC
Toxoplasmic Lymphadenitis of the Head and Neck Region; Inn Chul Nam, Young Jin Cho,
Beom Cho Jun, and Kwang Jae Cho; Department of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, College of Medicine, The Catholic University of Korea, Seoul, Korea. Korean
J Otorhinolaryngol-Head Neck Surg 2015;58(5):341-3

44
Skenario A Blok 11 Kelompok G1

Anda mungkin juga menyukai