Disusun Oleh:
Sri Lia Alni (019.06.0088)
Syilvia Saswati (019.06.0089)
Laboratorium Terpadu II
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al Azhar Mataram
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat
rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil Praktikum Fisiologi BMR
(Basal Metabolic Rate) pada blok Sistem Endokrin dan Metabolisme TA. 2020/2021.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam peyusunan laporan ini melibatkan beberapa
pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada :
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa
Falkutas Kedokteran Universitas Al-Azar Mataram itu sendiri. Kami menyadari bahwa laporan
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
METODE PRAKTIKUM
5
Klik clean setelah selesai melakukan perhitungan dan dilanjutkan pada injeksin TSH
dan juga PTU
6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Dari pengamatan terlihat bahwa tikus normal (N) memiliki laju metabolik yang jauh
berbeda dibandingkan tikus tiroidektomi (T) dan tikus hipofisektomi (H). Tikus N memiliki laju
metabolik yang paling tinggi sedangkan tikus T memiliki laju yang relatif sama dengan tikus H.
Hal ini karena tikus T sudah tidak memiliki kelenjar tiroid yaitu kelenjar yang menghasilkan
hormon tiroksin, hormon yang berperan dalam proses metabolisme, sehingga proses
metabolismenya menjadi lambat. Sedangkan tikus H tidak lagi memiliki kelenjar hipofisis yang
merupakan kelenjar yang berfungsi melepaskan TSH sehingga tidak ada tiroksin yang
dilepaskan. Oleh karena itu, laju metabolik tikus T dan tikus H rendah. Laju metabolik tikus N
tinggi karena pada tikus tersebut masih dihasilkan hormon tiroksin sebab tikus tersebut masih
memiliki kelenjar tiroid dan kelenjar hipofisis sehingga regulasi hormon berjalan normal. Pada
pengamatan tikus (N) mengalami keseimbagan hormon tiroid (euthyroid/normal) karena BMR
berkisar antara 1650-1750, yaitu 1734.94. Sedangkan tikus (T) dan tikus (H) mengalami
hipothyroid di mana BMR kurang dari 1600, yaitu masing-masing 1573.77 dan 1542,86. Pada
ketiga tikus tidak terdapat goiter karena pada tikus (N) dalam keadaan normal sehingga tidak
mengalami goiter, pada tikus (T) karna kelenjar tiroidnya telah diangkat maka tidak
memungkinkan terjadi goiter, pada tikus (H) hipofisis telah diangkat sehingga tidak ada stimulasi
TSH yang berlebihan yang dapat menyebabkan goiter.
Pada tikus (N) mengalami (Hiperthyroid), tidak terdapat goiter karena pada tikus (N)
yang masih memiliki tiroid dan hipofisis maka kelebihan tiroid akan merangsang umpan balik
negatif ke hipofisis anterior yang akan menghambat sekresi TSH agar terjadi keseimbangan.
Pada tikus (T) terjadi hiperthyroid, tidak terdapat goiter karena injeksi tiroksin menyebabkan
peningkatan tiroksin namun kelebihan tersebut merangsang umpan balik di hipofisis. Pada tikus
(H) mengalami hiperthyroid, tikus (H) pada tubuhnya tidak terdapat/ hanya terdapat sedikit
8
produksi tiroksin sehingga saat diinjeksikan tiroksin BMR akan meningkat, tidak ada goiter
karena kelebihan tiroid akan merangsang umpan balik negatif ke hipofisis anterior yang akan
menghambat sekresi TSH.
Pada tikus (N) yang diinjeksikan TSH terjadi hiperthyroid, terdapat goiter saat dipalpasi
karena pada tubuh tikus (N) sudah terdapat TSH, saat diinjeksikan TSH maka akan kelebihan
sehingga terjadi goiter “Sekresi TSH yang berlebihan akan jelas disertai oleh gondok dan
sekresi berlebihan T3 dan T4 karena stimulasi pertumbuhan tiroid yang berlebihan. Karena
kelenjar tiroid dalam situasi ini juga mampu berespons terhadap kelebihan TSH disertai
peningkatan sekresi hormon maka pada gondok ini terjadi hipertiroidisme, (Sherwood, 2011)”.
Pada tikus (T) terjadi hipothyroid karena TSH tidak menstimulasi pembentukan tiroksin karena
tiroid telah diangkat. Sehingga TSH tidak dapat menemukan reseptornya. Pada tikus (H) terjadi
hiperthyroid, pada tubuhnya tidak terdapat produksi TSH sehingga saat diinjeksikan TSH, BMR
akan meningkat, ada goiter karena di tubuh tikus (H) masih terdapat kelenjar tiroid sehingga
ketika diinjeksikan TSH maka terjadi kelebihan TSH sehingga memaksa tiroid untuk
menghasilkan tiroksin akibatnya terjadi hipertrofi kelenjar tiroid. “TSH bekerja pada tiroid
untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel dan untuk meningkatkan sekresinya. Jika sel
tiroid tidak dapat mengeluarkan hormon karena kurangnya enzim esensial atau iodium, maka
seberapapun jumlah TSH tidak akan mampu menginduksi sel-sel ini untuk mengeluarkan T 3 dan
T4. Namun, TSH tetap dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia tiroid, dengan konsekuensi
terjadinya pembesaran paradoks kelenjar (yaitu, gondok) meskipun produksi kelenjar tetap
berkurang, (Sherwood, 2011)
9
Percobaan IV : Pengukuran Pengaruh Prophylthiouracil (PTU) pada Laju
Metabolik
Rat Weight ml ml BMR Palpation Injected
(g) O2/min O2/hr (ml O2/kg/hr)
Norma 249 6.3 378 1518.07 Mass PTU
l
Tx 244 6.3 378 1549.18 No mass PTU
Hypox 245 6.3 378 1542.86 No mass PTU
Pada tikus (N) mengalami hipothyroid setelah pemberian PTU karena PTU menghambat
konversi T4 menjadi T3 ” Propiltiourasil selain merintangi sintesis hormon, juga menghambat
deiodinisasi tiroksin menjadi triioditironin di perifer, (Goodman dan Gilman, 2003)”. Sehingga
tubuh akan kekurangan tiroksin ”Gagalnyatiroid memproduksi hormon tiroid yang cukup
menyebabkan hipotiroidisme, (Goodman dan Gilman, 2003)”. Pada tikus (N) terdapat gondok
karena ”gondok terjadi karena kadar hormon tiroid dalam darah sedemikian rendah sehingga
tidak terdapat inhibisi umpan balik negatif dihipofisis anterior, dan karenanya TSH meningkat.
TSH bekerja pada tiroid untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel dan untuk
meningkatkan sekresinya. Jika sel tiroid tidak dapat mengeluarkan hormon karena kurangnya
enzim esensial atau iodium, maka seberapapun jumlah TSH tidak akan mampu menginduksi sel-
sel ini untuk mengeluarkan T3 dan T4. Namun, TSH tetap dapat menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasia tiroid, dengan konsekuensi terjadinya pembesaran paradoks kelenjar (yaitu, gondok)
meskipun produksi kelenjar tetap berkurang, (Sherwood, 2011)”. Pada tikus (T) terjadi
hipothyroid, pada tikus (T) sudah tidak ada lagi kelenjar tiroid sehingga tidak ada pembentukan
hormon tiroid sehingga PTU tidak menghambat kerja apa pun, sehingga tidak juga ditemukan
goiter. Pada tikus (H) terjadi hipothyroid pada tikus (H) hormon tiroid diproduksi dalam jumlah
kecil, saat ada PTU yang menghambat maka tidak ada stimulasi pembentukan hormon tiroid
karna TSH tidak disekresikan oleh hipofisis karna hipofisis sudah diangkat, sehingga TSH tidak
bisa memaksa kerja kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid.
10
BAB IV
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Pada penghitungan standar BMR dengan tidak memberikan terapi hormon,
tikus (N) mempunyai BMR yang normal/euthyroid, pada tikus (T) dan tikus
(H) mempunyai BMR yang rendah.
Pada pemberian thyroxine ketiga tikus mengalami hiperthyroid namun tidak
terdapat goiter pada ketiganya.
Pada pemberian TSH tikus (N) dan tikus (H) mengalami hiperthyroid dan
terdapat goiter. Sedangkan tikus (T) mengalami hipothyroid dan tidak terdapat
goiter.
Pada pemberian PTU ketiga tikus mengalami hipothyroid, pada tikus (N)
terdapat goiter, sedangkan pada tikus (T) dan tikus (H) tidak terdapat goiter.
1.2 Saran
Pada praktikum selanjutnya, diharapkan untuk melakukan percobaan secara
langsung ketikus.
11
DAFTAR PUSTAKA
Champbell, Reece dan Mitchel. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Erlangga. Jakarta.
Goodman dan Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. EGC. Jakarta.
12