Anda di halaman 1dari 28

LABORATORIUM BIOFARMASI FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LEMBAR KERJA
“SISTEM ENDOKRIN”

NAMA : AHMAD ADI MUHTAROM


NIM : 15020210116
KELAS : C11
KELOMPOK : 1 (SATU)
ASISTEN : ICHYAR NUR LATUBA

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
LEMBAR KERJA PERCOBAAN I
METABOLISME DAN HORMON TIROID

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan, pertumbuhan dan
metabolisme tubuh manusia, khususnya otak.1 Apabila tubuh kekurangan iodium dan
terjadi dalam kurun waktu yang lama, maka akan timbul gejala yang disebut
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Kekurangan iodium menyebabkan
kelenjar tiroid tidak dapat memenuhi kecukupan hormon tiroid dalam tubuh. Dampak
yang paling terlihat adalah adanya kretinisme, selain itu juga menyangkut masalah
kesehatan masyarakat yang lebih luas yaitu kerusakan otak, retardasi mental dan
berkurangnya kapasitas kognitif pada anak yang bersifat ireversibel 2 Spektrum
GAKI pada orang dewasa yaitu dapat mengakibatkan hipotiroid, gondok, gangguan
fungsi mental.3 Hipotiroid dapat menyebabkan turunnya metabolisme tubuh sehingga
terjadi perubahan karakteristik pada fungsi sistem organ antara fungsi pada hampir
keseluruhan sistem organ4 , atau bisa dikatakan terjadi penurunan produktivitas tubuh
(R. Agus Wibowo. 2015)

Tiroid adalah kelenjar yang berbentuk kupu-kupu di bagian bawah leher, atau
juga dikenal sebagai kelenjar gondok. Kelenjar ini berfungsi sangat penting dalam
proses metabolisme berbeda yang terjadi dalam tubuh. Kelenjar tiroid bekerja
dengan cara melepaskan dua hormon utama, yaitu triiodothyronine (T3) dan
thyroxine (T4). Hormon-hormon ini melaksanakan fungsinya untuk membantu
mengendalikan metabolisme dalam tubuh manusia Kemas (D.,Wianto,E., Tjandra,
M., & Visual, D. K. (2018).
Hipertiroid merupakan kebalikan dari Hipotiroid dimana apabila hipotiroid
disebabkan kurangnya hasil sekresi hormon pada kelenjar tiroid, maka hipertiroid
adalah terlalu banyaknya hormon tiroid yang dihasilkan. Pada kebanyakan kasus
yang terjadi hipertiroid. Penyebab utamanya adalah penyakit graves. Penyakit
graves sendiri merupakan penyakit auto-imun dimana tubuh memproduksi TSI
(thyroid stimulating immunoglobulin) juga dikenal sebagai LATS (long-acting
thyroid stimulator), yang merupakanantibodi yang menuju reseptor TSH
(thyroid stimulating hormon) pada sel tiroid (Sherwood, 2011).

II.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu Memahami laju metabolism basal (BMR), TSH,
Tiroksin, goiter hipotiroidisme hipertiroidisme thyroidectomized dan
hypophysectomized
2. Mahasiswa mampu Mengobservasi umpan balik negative regulasi pelepasan
Hormone
3. Mahasiswa mampu Memahami jalur tiroksin dalam mencapai laju metabolic
basal
4. Mahasiswa mampu Memahami efek dari TSH pada laju metabolik basal
5. Mahasiswa mampu Memahami jalur hipotalamus
dalam regulasi sekresi tiroksin dan TSH
II. METODE KERJA
II.1 Alat:
1. Timbangan
2. Clamp/penjepit
3. Manometer
4. T-connector
5. Chamber
6. Spuit / jarum suntik
II.2 Bahan:
1. Tikus Normal Propylthiouracil
2. Tikus Tx
3. Tikus Hypox
4. Oksigen (O2)
5. Propylthiouracil
6. TSH
7. Throxine

II.3 Prosedur Kerja


Bagian 1: Menentukan Tingkat Metabolisme Basal
Pada bagian pertma kegitan ini kita akan menentukan laju metabolismo
basal (BMR) untuk masing- masing dari ketiga tikus tersebut.
1. Seret tikus normal ke dalam ruangan untuk menemukan BMR-nya.
2. Klik Timbang untuk menentukan berat tikus.
3. Klik klem pada tabung kiri (atas ruang) untuk menutupnya. Ini akan
mencegah masuknya udara luar ke dalam ruang dan memastikan bahwa satu-
satunya oksigen yang dihirup tikus adalah oksigen di dalam sistem tertutup.
4. Perhatikan bahwa timer disetel ke satu menit. Klik Mulai di bawah
penghitung waktu untuk mengukur jumlah oksigen yang dikonsumsi tikus
dalam satu menit di ruang tertutup.
5. Perhatikan apa yang terjadi pada ketinggian air di manometer seiring
berjalannya waktu
6. Klik tombol T- Connector untuk menghubungkan manometer dan spuit.
7. Amati perbedaan antara ketinggian di kiri dan kanan manometer. Perkirakan
volume O2 yang Anda perlu menyuntikkan untuk membuat level menjadi
sama dengan menghitung pembagian di kedua sisi. Volume ini setaradengan
jumlah oksigen yang dikonsumsi tikus selama menit bermain sampai ruang
tertutup. Klik tombol + di bawah tampilan ml O2 hingga mencapai perkiraan
volume. Kemudian klik inject dan perhatikan apa yang terjadi pada cairan
yang masuk dua lengan. Ketika level volume disamakan, kata "Level" akan
muncul dan tetap berada di layar.
8. Jika belum menyuntikkan oksigen yang cukup, kata “Level” tidak akan muncul.
Klik + untuk meningkatkan volume dan slisk suntik lagi.
9. Jika Anda telah menyuntikkan oksigen terlalu banyak, kata "Level" akan
berkedip dan kemudian menghilang. Klik tombol - untuk mengurangi volume
lalu klik Inject lagi. Klik Rekam Data saat level disamakan.
10. Sekarang setelah menghitung konsumsi oksigen per jam untuk tikus ini,Kita
dapat menghitung laju metabolisme per kg berat badan dengan persamaan
berikut (perhatikan bahwa kita perlu mengonversi data berat dari gram ke
kilogram untuk menggunakan persamaan ini): Masukkan tingkat metabolisme
di bidang di bawah ini dan kemudian klik Kirim untuk mencatat hasil Anda
di laporan laboratorium ml O2/kg/jam.

11. Klik Palpasi tiroid untuk memeriksa ukuran tiroid secara manual dan, dengan
demikian, apakah ada gondok. Setelah meninjau temuan, slisk. Kirim untuk
mencatat hasil Anda dalam laporan laboratorium.
12. Tarik tikus dari ruangan kembali ke kandangnya dan kemudian klik pulihkan
(di bawah Palpatethyroid) untuk mengembalikan peralatan ke keadaan semula
1 jam hitung konsumsi oksigen per jam untuk tikus ini menggunakan
persamaan berikut: Masukkan konsumsi oksigen per jam di bidang di bawah
dan kemudian klik Kirim untuk mencatat hasil dalam laporan laboratorium ml
O2/jam.
13. Ulangi langkah 1-12 untuk tikus Thyroxin (Tx)
14. Ulangi langkah 1-12 untuk tikus yang dihiposektomi (Hypox)
Bagian 2: Menentukan Pengaruh Tiroksin pada Laju metabolik
Di bagian kegiatan ini, Anda akan menyelidiki efek injeksi tiroksin pada tingkat
metabolisme ketiganya tikus.
15. Tarik spuit berisi tiroksin ke bagian belakang tikus normal. Lepaskan tombolnya
untuk menyuntikkan tiroksin ke tikus.
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus Thyroxin (Tx)
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus yang dihiposektomi (Hypox)
16. Seret tikus dari bilik kembali ke kandangnya lalu klik Bersihkan untuk menghapus
semua jejak tiroksin dari tikus dan bersihkan jarum suntik.
Bagian 3: Menentukan Pengaruh TSH pada Laju Metabolik
Di bagian kegiatan ini Anda akan menyelidiki efek suntikan TSH pada tingkat
metabolisme ketiga tikus
1. Tarik spuit berisi TSH ke bagian belakang tikus normal. Lepaskan tombol
mouse untuk menyuntikkan TSH ke tikus.
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus Thyroxin (Tx)
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus yang dihiposektomi (Hypox)
2. Seret tikus dari bilik kembali ke kandangnya lalu Klik Bersihkan untuk menghapus
semua jejak TSH dari tikus dan bersihkan jarum suntik.
Bagian 4 Menentukan Pengaruh Propylthiouracil pada Laju Metabolik
Di bagian kegiatan ini, Anda akan menyelidiki efek injeksi propiltiourasil pada
tingkat metabolisme ketiga tikus.
1. Seret spuit berisi prophyltiouracil (PTU) ke bagian belakang tikus normal.
Lepaskan tombol mouse untuk menyuntikkan PTU ke dalam tikus.
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus Thyroxin (Tx)
Ulangi langkah 1-12 untuk tikus yang dihiposektomi (Hypox)
2. Seret tikus dari bilik kembali ke kandangnya lalu Klik Bersihkan untuk
menghapus semua jejak PTU dari tikus dan bersihkan jarum suntik.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. 1 Hasil Percobaan

Percobaan Efek hormone terhadap laju metabolisme

Normal rat Thyrodectomized Hypophysectomized


rat rat

Awal

Berat 250 gram 244 gram 245 gram

ML O2 used in 1 7.1 mL 6.3 mL 6.2 mL


mL

ML O2 used in 1 426.00 mL 378.00 mL 372.00 mL


hour

Laju
metabolisme 1704.00 mL 1549.18 mL 1518.36 mL O2/kg/hr
O2/kg/hr O2/kg/hr

Hasil palpasi No mass No mass No mass

+ Thyroxine

Berat 250 gram 244 gram 245 gram

ML O2 used in 1 8.4 mL 7.8 mL 7.7 mL


mL

ML O2 used in 1 504.00 mL 468.00 mL 462.00 mL


hour

Laju
metabolisme 2016.00 mL 1918.03 mL 1885.71 ml O2/kg/hr
O2/kg/hr O2/kg/hr

Hasil palpasi No mass No mass No mass


+ TSH

Berat 249 gram 244 gram 246 gram


ML O2 used in 1 8.0 mL 6.3 mL 7.8 mL
mL

ML O2 used in 1 480.00 mL 378.00 mL 468.00 mL


hour

Laju metabolisme 1927.71 mL 1549.18 mL 1902.44 mL O2/kg/hr


O2/kg/hr O2/kg/hr

Hasil palpasi No Mass No mass Mass


+ PTU
Berat 250 gram 245 gram 246 gram
ML O2 used in 1 7.2 mL 6.3 mL 6.2 mL
mL

ML O2 used in 1 432.00 mL 378.00 mL 372.00 mL


hour

Laju metabolisme 1728.00 mL 1542.86 mL 1512.20 ml O2/ kg/hr


O2/kg/hr O2/kg/hr

Hasil palpasi No mass No mass No mass

III.2 Pembahasan
Bagian 1: Menentukan Tingkat Metabolisme Basal
Sistem endokrin merupakan sistem pengatur tubuh, terdiri dari kelenjar–
kelenjar endokrin yang mengeluarkan bahan kimia disebut hormon. Jenis kelenjar,
dan nama-nama hormon yang dikeluarkan, ditunjukkan pada Gambar. 9.1. Kelenjar
endokrin tidak memiliki saluran tertentu untuk membawa hasil sekresinya ke
tempat tertentu. Sehingga hormon disekresikan langsung ke kapiler darah dan
bersirkulasi dalam sistem peredaran darah ke seluruh tubuh. Setiap hormon
memberikan efek yang sangat spesifik pada organ tertentu, yang disebut organ
target atau jaringan target. Secara umum, sistem endokrin dan hormon-hormonnya
membantu mengatur pertumbuhan, penggunaan makanan
untuk menghasilkan energi, ketahanan terhadap stres, pH cairan tubuh dan kese-
imbangan cairan, serta reproduksi.
Pada sistem kelenjar endokrin manusia dibedakan menjadi dua yaitu kelenjar
endokrin Central yang terdapat pada bagian otak dan kelenjar endokrin Perifer
yangPada sistem kelenjar endokrin manusia dibedakan menjadi dua yaitu kelenjar
endokrin Central yang terdapat pada bagian otak dan kelenjar endokrin Perifer
yang terdapat pada bagian selain otak. Bagian- bagian dari kelenjar central yaitu
kelenjar Hipotalamus yang menghasilkan hormon antara lain Tyroid Releasing
Hormon (TRH), Growth Releasing Hormon (GRH), Hormon pelepas
kortikotropin (CRH).
Kedua terdapat kelenjar Hipofisis, dimana kelenjar ini terbagi dua yaitu
hormon anterior yang menghasilkan hormon Growth Hormon (GH)/
Somatotropik Hormon (SH), Adrenokortikotropik Hormon (ACTH), Tiroid
Stimulating Hormon (TSH), Folikel Stimulating Hormon (FSH), Luteinizing
Hormon (LH) dan Luteotropik Hormon (LTH) atau Prolaktin (PRL) dan hormon
posterior yang menghasilkan hormon Antidiuretic Hormone (ADH), pada laki-
laki menghasilkan hormon Interstitiil Cell Stimulating Hormone (ICSH) dan pada
perempuan menghasilkan hormon Luteinizing Hormone (LH) dan kelenjar
terakhir yang masuk dalam kelenjar central yaitu Pineal yang menghasilkan
hormon Melatonin.
Kemudian kelenjar endokrin Perifer terbagi atas kelenjar Tiroid yang
menghasilkan hormon Kalsitonin, Triodotironin (T3) dan Tiroksin (T4), kelenjar
Paratiroid yang menghasilkan hormon Parathormon (PTH), kelenjar Adrenal
yang menghasilkan hormon ganda yang pertama pada bagian korteks
menghasilkan hormon Androgen, Glukotiroid dan Mineralolkotiroid dan pada
bagian medula menghasilkan hormon epinefrin dan nonepinefrin. Kemudian
terdapat kelenjar pankreas yang menghasilkan hormon insulin (hipofisis), hormon
glukogen dan hormon pertumbuhan. Berikutnya terdapat kelenjar Ovarium pada
wanita yang menghasilkan hormon relaksin pada bagian estrogen dan hormon
inhidin pada bagian progesteron sedangkan pada pria terdapat kelenjar pada Testis
yang menghsilkan hormon testosteron dan Melanosit Inhibiting Hormon (MIH).
Berdasarkan pratikum yang telah dilakukan, diperoleh data-data (Record
data) seperti hasil tingkat metabolisme basal pada hewan coba. Percobaan
pertama yaitu menggunakan tikus normal dengan berat 250 gram akan
menggunakan 7.1 ml O2/min agar seimbang dan menghasilkan laju metabolisme
basal sebanyak 1704.00 ml O2/kg/hr tanpa adanya pembengkakan dan tidak
ditambahkan injeksi. Laju metabolisme basal pada percobaan tikus normal
termasuk eutiroidisme karena nilai laju metabolisme basalnya masuk ke dalam
range 1650-1750 ml O2/kg/hr. Sedangkan pada tikus tiroidektomi sudah tidak
memiliki kelenjar tiroid yang bertugas mensekresi hormon T3 dan T4 sehingga
laju metabolisme basalnya lebih rendah sekitar 1.549,18 ml O2kg/hr, keadaan ini
disebut juga dengan hipotiroid karena laju metabolisme basalnya di bawah 1600
ml O2/kg/hr. Tikus hipox juga mengalami penurunan dikarenakan tidak adanya
kelenjar hipofisis yang bertugas mensekresi TSH untuk menstimulasi kelenjar
tiroid sehingga didapatkan laju metabolisme sekitar 1.518,36 ml O 2kg/hr,
sehingga tikus hipox pada kedaan ini disebut hipotiroid karena laju metabolisme
basalnya di bawah 1600 ml O2/kg/hr.

Pada percobaan kedua tikus normal, tikus tiroidektomi dan tikus hipox
diinjeksikan dengan hormon tiroksin kedalam tubuh masing masing tikus dan
dilakukan pengukuran laju metabolisme basal. Pada masing-masing sample tikus,
didapatkan nilai laju metabolisme basal yang tinggi pada tikus normal yaitu
2016.00 ml O2/kg/hr, tikus tiriodektomi yaitu 1918.03 ml O2/kg/hr dan pada tikus
hipox yaitu 1885.71 ml O2/kg/hr, dimana keadaan ini disebut dengan hipertiroid.
Ketiga tikus mengalami kenaikan laju metabolisme dikarenakan adanya injeksi
hormon tiroksin yang menyebabkan peningkatan penggunaan oksigen pada sel
sehingga laju metabolisme juga ikut naik, namun ketiga tikus tidak mengalami
gondok dikarenakan hormon yang disuntikkan adalah hormon tiroksin yang
merupakan produk akhir dari kelenjar tiroid dan tidak berpengaruh terhadap
perbesaran kelenjar tiroid.
Sedangkan pada percobaan ketiga, yaitu ketiga tikus diinjeksikan dengan
hormon TSH (Tiroid Stimulating Hormon) tambahan kedalam tubuh masing
masing tikus kemudian dilakukan pengukuran laju metabolisme basal. Pada tikus
normal terjadi peningkatan laju metabolisme basal hingga 1.927,77 ml O2kg/hr
dan pada tikus hipox terjadi peningkatan laju metabolisme basal hingga 1.902,43
ml O2/kg/hr, dan setelah dilakukan palpasi maka diketahui tikus normal dan tikus
hipox mengalami gondok, hal ini disebabkan karena tikus normal dan tikus hipox
sebelumnya mempunyai kelenjar tiroid yang dimana ketika TSH diinjeksikan
secara berlebihan maka hormon TSH ini akan menstimulasi kelenjar tiroid
sehingga kelenjar tiroid akan terus membesar dan mengakibatkan gondok pada
tikus normal dan tikus hipox. Berbeda pada tikus tiriodektomi tidak mengalami
pembesaran pada kelenjar tiroid ketika diinjeksikan dengan TSH karena tikus ini
tidak mempunyai kelenjar tiroid sehingga hormon TSH yang diinjeksikan
sebanyak apapun tidak mengakibatkan pembengkakan yang dimana tidak terjadi
stimulasi TSH terhadap kelenjar tiroid.

Pada percobaan keempat, ketiga tikus diinjeksikan dengan obat PTU yang
dimana obat ini bekerja dengan menghambat produksi hormon tiroksin pada
kelenjar tiroid. Pada percobaan tikus normal didapatkan hasil palpasi yaitu terjadi
pembengkakan atau pembesaran pada kelenjar tiroid karena adanya umpan balik
negativ yang dimana produksi tiroksin berlebihan yang akan distimulasikan ke
hipotalamus menyebabkan kelenjar hipofisis menghasilkan atau memproduksi
hormon tiroksi yang berlebihan. Sedangkan pada tikus hipox tidak memiliki
kelenjar hipofisis sehingga pada saat injeksi PTU, produksi hormon tiroksin tidak
berlebihan dan akan distimulasikan ke kelenjar hipotalamus yang mengakibatkan
terjadi umpan balik positif sehingga tidak terjadi pembengkakan

IV. KESIMPULAN

Kesimpulannya Dapat diketahui bahwa system endokrin menghasilkan


beberapa hormone yang diantaranya yaitu growth hormone (GH),
adrenocorticotropic hormone (ACTH), thyroid stimulating hormone (TSH),
prolactin (PRL), follicle stimulating hormone (FSH), dan luteinizing hormone
(LH), serta melanocyte stimulating hormone (MSH).Dapat diketahui bahwa bahwa
efek dari tiroksin, TSH, dan PTU memberikan pengaruh terhadap laju metabolit
basal. Pada tiroksin yang mebantu dalam proses metabolism tubuh. TSH yang
nantinya akan mensekresikan T3 dan T4. Pada PTU yang dimana memiliki fusngsi
dalam menghambat proses dari hormone tiroid atau anti tiroid.

V. REFERENSI
Fawcett. D. W. 2002. Buku Ajar Histologi. Ed. 12. EGC. Jakarta. Pp. 338 – 339.
Larsen, R. J. & Eid, M. (2008). Ed Diener and the Science of Subjective Well-
Being. In M. Eid & R. J. Larsen (Eds), The Science of Subjective
Well Being (pp. 1-13). New York: The Guilford Press.
Manurung, N. (2017). Sistem endokrin. Deepublish.
R.Agus Wibowo. 2015. PROFIL GENETIK IODOTIRONIN DEIODENASE
DAN STATUS TIROID PADA WANITA USIA SUBUR PENDERITA
HIPOTIROID DAN HIPOTIROID SUBKLINIK. Balai Litbang GAKI
Magelang

Paraf Asisten
LEMBAR KERJA PERCOBAAN II
GLUKOSA PLASMA, INSULIN, DAN DIABETES MELLITUS

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Diabetes adalah penyakit tertua di dunia. Diabetes berhubungan dengan


metabolisme kadar glukosa dalam darah. Secara medis, pengertian diabetes melitus
meluas pada suatu kumpulan aspek gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh adanya peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) akibat
kekurangan insulin (Riadi, A. (2017).
Diabetes melitus sangat erat kaitannya dengan mekanisme pengaturan gula
normal. Peningkatan kadar gula darah ini akan memicu produksi hormon insulin
oleh kelenjar pankreas. Diabetes melitus merupakan penyakit yang paling banyak
menyebabkan terjadinya penyakit lain (komplikasi). Komplikasi yang lebih sering
terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke. Hal ini berkaitan dengan
kadar gula darah meninggi secara terus-menerus, sehingga berakibat rusaknya
pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari
gula didalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal.
Akibat penebalan ini, maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke
kulit dan saraf (Riadi, A. (2017).
Definisi diabetes adalah hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh defisiensi
insulin baik absolut maupun relatif.1-4 Secara klinis, diabetes melitus (DM)
dibedakan atas empat bentuk yaitu (1) DM tipe-1 yang sebelumnya sering disebut
dengan insulin dependent diabetes melitus (IDDM) atau diabetes melitus juvenil, (2)
DM tipe-2 atau non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) yang umumnya
terjadi setelah dewasa, (3) DM oleh karena penyebab lain, dan (4) DM selama masa
kehamilan.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria berikut,3,4 1.
Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, berat badan yang menurun, dan
kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau 2. Kadar glukosa
darah puasa ³ 126 mg/dL (7.0 mmol/L).
Puasa adalah tidak mengkonsumsi kalori sekurang-kurangnya 8 jam atau 3. Kadar
glukosa darah 2 jam setelah uji toleransi glukosa oral (OGTT) dengan 75 gram
glukosa ³ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). Diabetes mellitus tipe-1 adalah DM yang terjadi
akibat proses autoimun yang merusak sel-b pankreas sehingga produksi insulin
berkurang bahkan terhenti.1,3- 7 Anak atau remaja dengan DM tipe-1
mempunyairiwayat poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan selama
beberapa minggu dengan disertai hiperglikemia, glikosuria, ketonemia, dan ketonuria.
Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel pulau
Langerhans pankreas yang mempunyai dampak regulasi glukosa. Insulin
menghambat proses glikogenolisis di hati dan glukoneogenesis di hati dan ginjal serta
merangsang pengambilan glukosa oleh otot dan jaringan lemak. Insulin juga
menghambat lipolisis dan proteolisis di jaringan. Di hati, insulin juga menekan proses
ketogenesis, sehingga defisiensi insulin dapat menyebabkan terjadinya ketosis.
Sampai saat ini insulin merupakan obat yang harus selalu tersedia untuk semua
kasus DM tipe-1 karena alternatif obat selain insulin masih dalam taraf
penelitian.1,3,5,8 Perlu dicermati, karena penghentian insulin satu kali dalam satu
minggu dapat menurunkan kontrol metabolik. Pulungan (A. B., Annisa, D., & Imada,
S. (2019).

I.2 Tujuan
1. Memahami penggunaan istilah insulin, DM tipe 1, DM tipe 2, dan kurva
standar glukosa
2. Memahami kadar glukosa plasma puasa yang
digunakan untuk mendiagnosa diabetes mellitus
3. Memahami pengujian yang digunakan untuk mengukur glukosa plasma
II.METODE KERJA
II.Alat
1. Unit inkubasi
2. Tabung reaksi
3. Spektrofotometer
4. Test tube washer
5. Monitor optikal density

II.2 Bahan
1. Glucose standard
2. Deionized water
3. Enzyme color reagent
4. 5 sampel darah puasa

II.3 Prosedur Kerja


Bagian 1: Mengembangkan Kurva Standar Glukosa
Dalam kegiatan ini, kita akan membuat kurva standar glukosa sehingga kita
memiliki titik acuan konversi pembacaan densitas optik menjadi pembacaan
glukosa. Untuk menghasilkan kurva standar glukosa, kita akan menyiapkan lima
tabung reaksi yang mengandung jumlah glukosa yang diketahui (30 mg/dl, 60
mg/dl, 90 mg/dl, 120 mg/dl, dan 150 mg/dl) dan menggunakan psectrofotometer
untuk menentukan kerapatan optik pembacaan untuk masing-masing konsentrasi
glukosa tersebut.

1. Seret tabung reaksi ke tempat pertama (1) di unit inkubasi. Empat tabung reaksi
lagi akan secara otomatis ditempatkan di unit inkubasi.

2. Tarik tutup dopper botol standar glukosa ke tabung pertama di unit inkubasi
untuk mengeluarkan satu tetes glukosa larutan standar ke dalam tabung. Dopper
akan secara otomatis bergerak melintasi dan mengeluarkan glukosa standar untuk
tabung yang tersisa. Perhatikan bahwa setiap tabung menerima satu tetes standar
glukosa tambahan (tabung 2 menerima 2 tetes, tabung 3 menerima 3 tetes, tabung
4 menerima 4 tetes, tabung 5 menerima 5 tetes).

3. Tarik tutup dopper air deonisasi ke tabung pertama di unit inkubasi untuk
mengeluarkan satu tetes glukosa larutan standar ke dalam tabung. Dopper akan
secara otomatis bergerak melintasi dan mengeluarkan air deonisasi ke tabung yang
tersisa. Perhatikan bahwa setiap tabung menerima satu tetes air deonisasi
tambahan (tabung 2 menerima 3 tetes, tabung 3menerima 2 tetes, tabung 4
menerima 1 tetes, tabung 5 tidak menerima setetes pun)
4. Klik Mix untuk mencampur isi tabung
5. Klik Centrifuge untuk mensentrifugasi isi tabung.
6. Klik remove pellet untuk menghilangkan pellet yang terbentuk selama proses
sentrifugasi. Pelet dapat berisi reagen endapan dan puing-puing dari lingkungan
laboratorium.

7. Tarik tutup dopper botol reagen warna enzim ke tabung pertama di unit
inkubasi untuk mengeluarkan lima tetes pereaksi warna enzim ke dalam masing-
masing tabung.

8. Klik inkubasi untuk menginkubasi isi tabung. Unit inkubasi akan dengan lembut
mengaduk rak tabung reaksi, mencampurkan isi semua tabung reaksi secara merata
selama inkubasi.
9. Klik set up pada spektrofotometer untuk memanaskan instrumen dan menyiapkannya
untuk pembacaan sampel Anda.
10. Tarik tabung 1 ke spektrofotometer.
11. Klik analisis untuk menganalisis sampel. Titik data akan muncul di monitor untuk
menunjukkan kerapatan optic dan konsentrasi glukosa sampel. Nilai-nilai ini juga
akan muncul dalam kerapatan optik dan glukosa menampilkan.
12. Klik rekam data untuk menampilkan hasil Anda di kisi (dan catat hasilnya di bagan
2.1). tabung akan secara otomatis dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
13. Sekarang Anda akan menganalisis sampel di tabung yang tersisa
14. Seret tabung berikutnya ke dalam spektrofotometer

15. Klik analisis untuk menganalisis sampel. Titik data akan muncul di monitor untuk
menunjukkan kerapatan optik dan konsentrasi glukosa sampel. Nilai-nilai ini juga
akan muncul dalam kepadatan optik dan tampilan glukosa.
16. Klik rekam data untuk menampilkan hasil Anda di kisi (dan catat hasilnya diba-
gan 2.1). tabung akan secara otomatis ditempatkan di mesin cuci tabung reaksi.
17. Ulangi langkah ini sampai Anda menganalisis kelima tabung
18. Klik Grafik standar glukosa untuk menghasilkan kurva standar
glukosa pada monitor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Hasil Percobaan
Tube Optical Density Glucose
(mg/deciliter)

Part 1 1 0.30 30
2 0.50 60
3 0.60 90
4 0.80 120
5 1.00 150
Part 2 1 0.73 105
2 0.79 115
3 0.89 131
4 0.83 122
5 0.96 144

III.2 Pembahasan
Kadar normal glukosa plasma puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl yang
dimana kondisi ini tidak ada asupan kalori semala minimal 8 jam. Pada part 1
percobaan pertama yang menghasilkan glukosa sebanyak 30 mg/dl menandakan
berada di bawah normal kadar gula darah puasa bahkan sangat rendah. Pada
percobaan kedua menghasilkan glukosa sebanyak 60 mg/dl yang menandakan di
bawah normal. Pada percobaan ketiga menghasilkan 90 mg/dl. Pada percobaan
keemat menghasilkan 120yang menandakan bahwa glukosa plasma dibawah
normal. Pada percobaaan kelima menghasilkan glukosa sebanyak 150 mg/dl yang
menandakan normal. Pada part 2 percobaan pertama meghasilkan glukosa sebanyak
10.5 mg/dl yang menandakan di bawah normal kadar gula darah puasa. percobaan
kedua menghasilkan glukosa sebanyak 115 mg/dl yang masih menanadakan dibawah
normal.
Pada percobaan ketiga menghasilkan sebanyak 131 yang berarti kadar gula darah
puasa. Pada percobaan keempat menghasilkan glukosa sebanyak 122 yang
menandakan di bawah normal. Pada percobaan kelima menghasilkan glukosa
sebanyak 144 mg/dl yang menandakan kadar glukosa darha puasa nya normal.
Tingkat kadar glukosa ini juga disebabkan oleh kerapatan optiknya. Semakin besar
kerapatan optic maka akan semakin meningkat juga glukosa yang dihasilkannya.

Begitupun sebaliknya, semakin rendah kerapatan optic maka akan semakin


menurun juga glukosa yang dihasilkan. Sebagai contoh yaitu pada percobaan pertama
yang dimana kerapatan optiknya 0.30 menghasilkan glukosa sebanyak 0.30 mg/dl
dan pada percobaan kedua yang dimana kerapatan optiknya 0.50 menghasilkan
glukosa sebanyak 0.60mg/dl.
Pada percobaan ini juga dapat disimpulkan bahwa kelebihan dalam glukosa
dapat menyebabkan adanya penyakit diabete mellitus. Yang dimana diabetes mellitus
terbagi menjadi dua tipe, yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2.
Pada diabetes mellitus 1 ini terjadi akibat dari rusaknya alat yang dimana sel β tidak
mampu memproduksi insulin lagi. Pada diabetes mellitus tipe 2 terjadi akibat resisten
insulin yang sudah tidak bagus lagi. Diabetes mellitus juga diakibatkan oleh
kketidakadaan insulin hormonedari sel β atau akibat gangguan fungsi dari insulin
(Sutedjo, 2010).

IV. KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah Dapat diketahui bahwa glukosa plasma puasa adalah


kadar glukosa yang dihasilkan ketika melakukan puasa yang dimana kondisi ini
tidak ada asupan selama minimal 8 jam. penyebab dari penyakit diabetes mellitus
diakibatkan oleh ketidakadaan insulin hormone dari sel β atau akibat dari
gangguan fungsi dari insulin.
V. REFERENSI

Riadi, A. (2017). Penerapan Metode Certainty Factor Untuk Sistem Pakar


Diagnosa Penyakit Diabetes Melitus Pada RSUD Bumi Panua
Kabupaten Pohuwato. ILKOM Jurnal Ilmiah, 9(3), 309-316.
Sumangkut, S., Supit, W., & Onibala, F. (2013). Hubungan Pola Makan Dengan
Kejadian Penyakit Diabetes Melitus Tipe-2 Di Poli Interna Blu. rsup. Prof. Dr.
RD Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, 1(1).
Pulungan, A. B., Annisa, D., & Imada, S. (2019). Diabetes Melitus Tipe-1 pada
Anak: Situasi di Indonesia dan Tata Laksana. Sari Pediatri, 20(6), 392-400.

Anda mungkin juga menyukai