Anda di halaman 1dari 111

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 11 TAHUN 2018

Tutor: dr. Aspitriani, SpPA

Disusun oleh: Kelompok B7

Putri Shela Sabila (04011181722003)

Bramantyo Dwi Handjono (04011181722039)

Annisa Chairani (04011181722049)

Siti Nurhayati Utami (04011181722053)

Raissa Rianzie (04011281722059)

Zamratul Zakiyah (04011281722061)

Zulfa Nurrahmi Ananda H. (04011281722063)

Muhammad Ferry Kamaruzaman (04011281722065)

Mahvira Chow Liana Herman Adil (04011281722119)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu kami curahkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan
Tutorial Skenario A Blok 11 Tahun 2018” sebagai tugas kelompok.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada tutor yang telah membimbing kami
selama proses tutorial, semua teman kelompok dan semua pihak yang terkait dalam
penyelaesaian laporan tutorial ini.

Kami menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan, karena
itu kami mengharapkan agar kedepannya laporan tutorial ini dapat menjadi lebih baik
lagi, baik dari segi sistematika, penulisan, dan lain-lain.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk
membuka wawasan yang lebih luas lagi. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah
SWT. Amin.

Palembang, 24 November 2018

Kelompok B7

ix
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................ viii

Kata Pengantar ........................................................................................................... ix

Daftar Isi..................................................................................................................... x

Skenario A Blok 11 Tahun 2018................................................................................ 1

I. Klarifikasi Istilah ......................................................................................... 2


II. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 2
III. Analisis Masalah .......................................................................................... 3
IV. Identifikasi Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ............................................... 22
V. Sintesis ......................................................................................................... 22
5.1 Toxoplasmois………………………………………………………….. 22
5.2 Radang ................................................................................................... 47
5.3 Benjolan ................................................................................................. 72
5.4 Anatomi dan Fisiologi KGB .................................................................. 96
VI. Kerangka Konsep…………………………………………………………106
VII. Simpulan/Rangkuman…………………………………………………….106

Daftar Pustaka……………………………………………………………………...107

x
SKENARIO A BLOK 11 TAHUN 2018

Cervical Lymphadenopathy

Lisa usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang Anda pimpin karena ada
benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu. Benjolan terus membesar
perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut sebesar kacang hijau dan saat ini membesar
dengan ukuran sebesar kacang merah. Benjolan tidak terasa nyeri.

Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan stabil,
tidak ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi serak. Namun, akhir-akhir
ini pasien merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung sering buntu tanpa
sebab. Pasien pernah berobat ke dokter umum dan diberikan antibiotic untuk 2
minggu, namun tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien menyangkal adanya
kontak dengan kucing atau binatang pengeratlainnya, tidak ada riwayat konsumsi
daging mentah.

Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher kanannya
dengan diameter 1,5 cm. Sedangkan pada posterior auricular leher kiri pasien tampak
dua benjolan berdekatan dengan ukuran hampir sama dengan diameter kurang dari 1
cm. Semua benjolan teraba kenyal dan terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada benjolan
di leher kanan.

Pemeriksaan fisik lainnya : dalam batas normal

Pemeriksaan laboratorium :

Hemoglobin: 13 g/dl. Leukosit: 12.000/mm3. LED: 19 mm/jam. Hitung jenis leukosit:


0/1/2/51/40/6. Lactate dehydrogenase: 146 U/L

Urin rutin: dalam batas normal

Lisa dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.

1
I. Klarifikasi Istilah
ISTILAH PENGERTIAN
Zat kimiawi biasanya dihasilkan oleh suatu mikroorganisme
atau secara semi sintetis, yang mempunyai kemampuan
Antibiotik
untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain.
Terfiksir Tidak dapat digerakkan
Enzim yang mengkatalisis konversi perubahan laktat
Laktat
menjadi piruvat, tersebar di jaringan dan jumlahnya paling
dehidrogenase
banyak dalam ginjal, otot rangka, hati dan otot jantung.

II. Identifikasi Masalah

Kenyataan/Fakta Konsen

Lisa usia 19 tahun berobat ke Puskesmas


yang Anda pimpin karena ada benjolan pada
leher kanannya sejak beberapa minggu lalu.
VVVV
Benjolan terus membesar perlahan. Pada
(memberikan dampak paling
awalnya benjolan tersebut sebesar kacang
berbahaya terhadap pasien)
hijau dan saat ini membesar dengan ukuran
sebesar kacang merah. Benjolan tidak terasa
nyeri.
Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak
benjolan pada leher kanannya dengan VVV
diameter 1,5 cm. Sedangkan pada posterior (petunjuk lanjutan sebagai
auricular leher kiri pasien tampak dua acuan diagnosis penyakit
benjolan berdekatan dengan ukuran hampir yang akurat)
sama dengan diameter kurang dari 1 cm.

2
Semua benjolan teraba kenyal dan terfiksir
serta sedikit nyeri tekan pada benjolan di
leher kanan. Pemeriksaan fisik lainnya: dalam
batas normal
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin: 13 g/dl. Leukosit: 12.000/mm3.
LED: 19 mm/jam. Hitung jenis leukosit:
VV
0/1/2/51/40/6. Lactate dehydrogenase: 146
(petunjuk pendukung sebagai
U/L
acuan diagnosis penyakit)
Urin rutin: dalam batas normal
Lisa dirujuk ke rumah sakit untuk
penanganan lebih lanjut.
Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan
normal, berat badan stabil, tidak ada
berkeringat malam hari dan suara tidak
menjadi serak. Namun, akhir-akhir ini pasien
V
merasa mudah lelah, sering sakit kepala, dan
(gejala-gejala yang dapat
hidung sering buntu tanpa sebab. Pasien
mendukung diagnosis dan
pernah berobat ke dokter umum dan
mengeliminasi diagnosis
diberikan antibiotic untuk 2 minggu, namun
banding)
tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien
menyangkal adanya kontak dengan kucing
atau binatang pengeratlainnya, tidak ada
riwayat konsumsi daging mentah

III. Analisis Masalah


1. Lisa usia 19 tahun berobat ke Puskesmas yang Anda pimpin karena
ada benjolan pada leher kanannya sejak beberapa minggu lalu.
Benjolan terus membesar perlahan. Pada awalnya benjolan tersebut

3
sebesar kacang hijau dan saat ini membesar dengan ukuran sebesar
kacang merah. Benjolan tidak terasa nyeri. (vvvv)
a. Bagaimana pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap timbulnya
benjolan pada posterior auricula?
Secara umum, benjolan di posterior auricular dapat terjadi pada semua
usia dan jenis kelamin, namun resiko akan meningkat pada usia 50
tahun ke atas.
b. Bagaimana etiologi benjolan?
Benjolan dapat disebabkan berbagai macam etiologi. Seperti:

Diagnosis Banding Kemungkinan Penyakit


Limfadenopati
Kongenital Kista celah bronkus dan kista duktus tiroglossus
Inflamasi Penyakit limfadenitis kronik granulomatosa yang
disebabkan Mycobacterium tuberculosis, fungi
(sporotrichosis, actinomycosis), toxoplasmosis,
sarcoidosis, sifilis tersier, cat scratch disease
Neoplasia Limfoma, tumor primer maligna (kelenjar saliva,
tiroid) dan keganasan sekunder/metastasis (tumor
nasofaring). Neoplasia beningna contohnya lipoma
dan jarang, gangguan kelenjar saliva seperti
sialadenitis
Immunologi Sarcoidosis, sistemik lupus erytematosus
Kondisi lain Castlemen disease, Histiocytic necrotizing
lymphadenitis (Kikuchi-Fujimoto Disease), Benda
asing, meliputi implan payudara silikon

c. Bagaimana mekanisme timbulnya benjolan?


Setelah invasi di usus, parasit masuk ke dalam sel dan di
fagosit, ada yang mati dan ada yang berkembang biak, menyebabkan
sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain, dengan adanya parasit
tadi di dalam makrofag dan limfosit, maka penyeberan secara
hematogen dan limfogen keseluruh badan terjadi. Parasit T. gondii
dapat menyerang segala organ dan jaringan tubuh hospes kecuali

4
RBC. Mediator radang berupa histamin, serotonin, bradikinin, dll
menyebabkan dilatasi arteriolar dan meningkatkan permbeabilitas
venula dan endotelial junction.
Selama inflamasi aliran saluran KGB (limfe) meningkat dan
membesar sehingga dapat mengalirkan cairan edema (Cairan limfe).
Cairan limfe mengandung sel-sel darah putih, sel plasma, monosit, dan
histiosit yang berfungsi mematikan kuman penyakit yang masuk ke
dalam tubuh. Sebelum cairan ini keluar dari pembuluh darah dan
mengisi ruang antar sel, terjadi pembesaran nodus limfatikus akibat
dari infeksi, pembesaran ini disebabkan karena proliferasi limfosit B
dan diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma kumpulan perubahan
histologi ini dinamakan limfadenitis reaktif atau limfadenitis
meradang.
Setelah itu sel-sel ini ke organ infeksius sehingga membuat
jaringan membengkak, memerah dan terasa panas dan sakit. Pada saat
inflamasi luas aliran limfe juga dapat mengangkut agen penyerang
seperti mikroba dan kimiawi. Akibatnya saluran limfe itu sendiri dapat
mengalami peradangan sekunder (limfangitis), begitu pula dengan
KGB dapat menyebabkan limfadenitis.
d. Apa makna dari benjolan yang terus membesar perlahan?
Karena aktivasi kelenjar limfonodus berlebih pada infeksi kronis yang
menyebabkan pembesaran kelenjar limfonodus berupa
penambahan/poliferasi sel b dan sel t.
e. Mengapa benjolan tidak terasa nyeri?
Benjolan tidak terasa nyeri merupakan salah satu tanda maligna.
2. Pasien tidak mengalami demam, nafsu makan normal, berat badan
stabil, tidak ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi
serak. Namun, akhir-akhir ini pasien merasa mudah lelah, sering
sakit kepala, dan hidung sering buntu tanpa sebab. Pasien pernah
berobat ke dokter umum dan diberikan antibiotic untuk 2 minggu,

5
namun tidak ada perubahan pada benjolan. Pasien menyangkal
adanya kontak dengan kucing atau binatang pengerat lainnya, tidak
ada riwayat konsumsi daging mentah. (v)
a. Apa makna dari tidak terjadinya demam, nafsu makan normal, berat
badan stabil, tidak ada berkeringat malam hari dan suara tidak menjadi
serak?
Pada orang dengan sistem imun yang baik (Immunocompetent), gejala
toxoplasmosis biasanya tidak tampak (asimtomatik). Jarang terdapat
kasus toksoplasmosis yang disertai dengan demam. Namun, biasanya
dijumpai limfadenopati. Nafsu makan normal, berat badan stabil, tidak
berkeringat pada malama hari dan suara tidak menjadi serak
merupakan clue yang dapat dipakai untuk mengeliminasi diagnosis
banding. Gejala tersebut diatas merupakan gejala klinis dari penyakit
TBC dan limfoma. Namun tetap dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
agar diagnosis banding dapat dieliminasi secara total, misalnya untuk
mendiagnosis pasien terserang TB diperlukan tes BTA dengan
pewarnaan ziehl neelsen dan rontgen paru.
b. Mengapa pemberian antibiotic tidak memberikan perubahan pada
benjolan?
Agen antimikroba tidak dibutuhkan untuk kebanyakan pasien
imunokompeten. Gejala akan terhenti sendiri dan membaik dalam 1-2
bulan pada 60% pasien. Proporsi substansial dari pasien (25%) akan
tetap mengalami gejala sampai 2-4 bulan, dan terkadang (10%) dapat
memiliki gejala ringan hingga 6 bulan atau lebih lama. Terapi
simptomatik dengan analgesik seperti nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs) dibutuhkan. Begitu juga Toxoplasma gondii
merupakan protozoa yang hanya dapat diberi obat golongan
sulfonamide dan pyrimethamine.

6
c. Apa makna dari tidak adanya kontak dengan kucing atau binatang
dengan pengerat lainnya dan tidak ada riwayat konsumsi daging
mentah?
Sebenarnya, tidak adanya kontak dengan kucing atau binatang dengan
pengerat lainnya dan tidak ada riwayat konsumsi daging mentah dapat
menghilangkan diagnosis toxoplasmosis akibat infeksi Toxoplasma
gondii, namun belum sepenuhnya hilang karena bisa dari fecal-oral
(feses kucing) yang mengkontaminasi air cucian makanan dan tanah,
atau cuci tangan tidak bersih.
d. Apa makna dari keluhan mudah lelah, sering sakit kepala, dan hidung
sering buntu tanpa sebab?
Pada 10% kasus infeksi primer toxoplasmosis, manifestasi klinis
disertai dengan gejala flu like syndrome non spesifik yang
menyebabkan hidung sering buntu tanpa sebab.
T.gondii memiliki mekanisme yang kuat untuk memodulasi sel host
yang diserangnya dan menimbulkan infeksi latent dengan menghindari
serangan sistem imun host. Setelah invasi ke sel host, parasit
bereplikasi dengan cepat, menghancurkan sel-sel host dan menyebar
melalui aliran darah ke seluruh sel tubuh host. T.gondii memiliki
kemampuan untuk menembus blood brain barrier dan membentuk
kista di otak.
Parasit tidak hanya terlokalisasi pada otot jantung dan otot rangka
tetapi juga terdapat di retina dan plasenta. T.gondii dapat laten di otak
(CNS) dan otot rangka. Sebuah literatur menggambarkan bahwa
keadaan kekebalan dan ketidakseimbangan mediator biologis lainnya
karena berbagai faktor endogen dan eksogen dapat sangat
mempengaruhi toxoplasma gondii yang laten di sistem saraf pusat dan
menyebabkan reaktivasi toxoplasmosis serebral. Penyimpangan dalam
proses pro dan anti-inflamasi dapat secara nyata mengganggu
mekanisme pertahanan host dan / atau T. gondii yang penting untuk

7
control imun dan dengan demikian dapat menimbulkan berbagai
manifestasi klinis dengan gejala neurologis seperti timbulnya sakit
kepala.
e. Apa definisi dari toxoplasmosis?
Toksoplasmosis adalah istilah umum untuk infeksi dan penyakit pada
manusia dan hewan yang disebabkan oleh parasit protozoa
Toxoplasma gondii.
f. Bagaimana etiologi penyakit toxoplasmosis?
Agen etiologi toksoplasmosis adalah parasit T gondii yang merupakan
sporozoan dari kelompok coccidian. Infeksi oleh parasit ini terkait erat
dengan siklus kehidupan kompleksnya. Hospes definitif Toxoplasma
gondii adalah kucing, binatang sejenisnya (Felidae). Hospes
perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. Parasit ini
menyebabkan toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis akuisita.
Distribusi geografik parasit ini ditemukan kosmopolit pada manusia
dan binatang.

g. Bagaimana epidemiologi penyakit toxoplasmosis?


Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia,
termasuk Indonesia baik pada manusia maupun pada hewan. Sekitar
30% dari penduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan
serologis, yang menunjukkan pernah terinfeksi dalam masa hidupnya

8
(Levin, 1990). Kontak yang sering terjadi dengan hewan
terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya
prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa
kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang
menangani dagig mentah seperti juru masak.
h. Bagaimana patofisiologi penyakit toxoplasmosis?
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa intraseluler.
Replikasi seksual organisme ini terjadi di usus kucing (hospes
definitif) dan mengekskresikan ookista infektif dalam feses. Ookista
ini dapat mengkontaminasi tanah atau suplai air dan bisa bertahan
beberapa bulan, tergantung suhu dan kelembapan. Termakan ookista
dapat menyebabkan infeksi dari berbagai macam mamalia, meliputi
kambing, babi, ayam, dan sapi. Infeksi pada manusia bisa terjadi
dengan mengonsumsi makanan tidak matang/ kurang matang yang
terkontaminasi ookista, dan kurangnya mencuci tangan dan kurangnya
higienitas peralatan dapur secara substansial dapat meningkatkan
risiko infeksi. Merawat tanaman di pekarangan rumah dapat
memaparkan ookista ke manusia melalui kontaminasi air dan tanah.
Kontak langsung dengan feses (membersihkan kotak pasir), juga risiko
terkena. Transmisi vertikal bisa bermanifestasi menjadi
toksoplasmosis kongenital dalam fetus ketika ditransmisikan dari ibu
yang terinfeksi.
Siklus Hidup
Siklus hidup Toxoplasma gondii memiliki 2 fase. Tahap
pertama, bagian seksual dari siklus hidup hanya terjadi pada kucing,
baik domestik maupun liar (keluarga Felidae), yang membuat kucing
menjadi tuan rumah utama parasit. Tahap kedua, bagian aseksual dari
siklus hidup, dapat terjadi di lain hewan berdarah panas, termasuk
kucing, tikus, manusia, dan burung. Host dimana reproduksi aseksual
terjadi disebut hospes perantara.

9
Hewan pengerat adalah hospes perantara yang khas. Dalam
kedua jenis host, parasit Toxoplasma menyerang sel dan membentuk
ruang yang disebut vakuola. Di dalam vakuola khusus yang disebut
vakuola parasitophorous, bentuk parasit bradyzoites, perlahan
mereplikasi parasit.
Vakuola yang berisi kista bentuk reproduksi bradyzoites
terutama dalam jaringan otot dan otak. Karena parasit berada di dalam
sel, mereka aman dari sistem kekebalan inang yang tidak menganggapi
kista.
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari
Toxoplasma gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus
sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah
menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan
menghasilkan banyak merozoit (skizogoni).
Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit
masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan
mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet
(Gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang
akan dikeluarkan bersama kotoran kucing.
Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang
membentuk 2 sporokista yang masing-masing berisi 4 sporozoit
(sporogoni). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi,
sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes
perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit.
Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang
secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung
bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi
menahun (infeksi laten).

10
i. Bagaimana diagnosis penyakit toxoplasmosis?
1) Tes serum PCR untuk Toxoplasma gondii berguna ketika
terkena penyakit toksoplasmosis pada pasien dengan sistem
imun yang mungkin tidak mampu membentuk respon antibodi
yang adekuat atau pada pasien dengan fase infeksi hiperakut,
bahkan sebelum respon antibodi yang dapat dideteksi
terbentuk. Penelitian mengilustrasikan bahwa pengulangan 35
lipatan deteksi gen B1 dengan amplifikasi PCR DNA
Toxoplasma gondii sangat sensitif dan spesifik untuk diagnosis
toksoplasmosis. Bagaimanapun, dikarenakan ketidaktersediaan
peralatan, ahli, dan biaya keseluruhan, metode ini biasanya
tidak tersedia secara universal. Kultur darah dan test PCR atau
kultur jaringan spesimen patologis tidak dapat secara rutin
dilakukan untuk diagnosis, beban mikroorganisme yang ada

11
dalam spesimen rendah. Ketika positif, spesimen kultur
mungkin membentuk bradizoit atau takizoit, tetapi hanya
setelah dipertimbangkan laten dari beberapa hari hingga
mingguan.
2) Mikroskopik : mencari ookista
3) Pengenalan trias morfologi yang terlihat yaitu limfadenopati,
hiperplasia folikel, sel monositoid berlimpah, dan kluster
toksoplasmosis dan sering dipertimbangkan standar referensi di
antara skrining aglutinasi komersial yang tersedia. Sensitivitas
dan spesifisitas hampir 100%. Konfirmasi dengan
menggunakan enzyme-linked immunoassay atau
chemiluminescent based test, dimana dapat mendeteksi
penurunan kadar IgG dan IgM. Serum positif IgG menandakan
serokonversi tetapi tidak dapat dibedakan antara infeksi akut
dan kronis, walaupun biasanya didapatkan konjungsi dengan
kadar IgM. Kedua IgG dan IgM bisa meningkat beberapa bulan
setelah infeksi awal, kadar serum IgA dan IgE bisa lebih akurat
menyarankan waktu infeksi jika klarifikasi dibutuhkan.
Sebagai tambahan test aviditas IgG bisa membedakan infeksi
akut dari infeksi kronis: tingginya indeks aviditas menyarankan
infeksi akut terjadi setidaknya 3-5 bulan yang lalu, dimana
indeks aviditas mungkin rendah atau 0 jika infeksi akut terjadi
melewati 4 minggu. Sensitivitas dan spesifisitas tes aviditas
mencapai hampir 100%.
j. Bagaimana gambaran mikroskopik histopatologi dan sitopatologi?
a. Histopatologi
Jaringan terfiksasi formalin diproses melalui pengamatan
mikroskopik rutin. Pembeda karakteristik histopatologi adalah: 1)
Hiperplasia folikuler; 2) Kluster epithelioid mengelilingi folikuler di
tengahnya 3) Proliferasi monositoid sel B. Trias histopatologi sangat

12
menyarankan adanya limfadenopati reaktif sekunder terhadap
toksoplasmosis. Tes serologi juga mengkonfirmasikan bahwa terjadi
infeksi toksoplasmosis lampau (IgG positif) tetapi bukan infeksi akut
(IgM negatif). Diagnosis akhir adalah limfadenitis et causa
toksoplasmosis.

Gambar 5: Fitur Histologi Toxoplasma gondii pada manusia.

A, Pulasan hematoxylin dan eosin (H&E) spesimen biopsi limfonodus


dari pasien immunokompeten dengan limfadenitis toksoplasmik. B,
Pulasan positif immunoperoksidase dari spesimen biopsi otak pada
pasien AIDS dan ensefalitis toksoplasmik. C, Pulasan H&E dari
ventrikel kanan spesimen biopsi endomyokardial dari pasien
myokarditis toksoplasmik. Organisme terlihat di dalam myosit. D,
Pulasan H&E dari spesimen biopsi otot kuadriseps kanan
memperlihatkan kista jaringan dari pasien yang sama dengan C. Dia
(wanita) juga mengalami polimyositis toksoplasmik.

13
Gambar 6: D, Toksoplasmosis. Lihat kista (panah) diisi dengan
bradizoit. E, Toksoplasmosis. CT scan menunjukkan adanya lesi
enhancing. Toksoplasmosis adalah lesi paling memakan tempat di otak
pada AIDS, Dapat dibingungkan dengan adanya lesi primer limfoma
SSP.

Gambar: 7 Infeksi toksoplasma. 1) Abses berada dalam putamen dan


thalamus. 2) Takizoit bebas diperlihatkan dalam pengecatan
immunohistokimia. Bradizoit ada dalam bentuk pseudokista, terwarnai
dengan pengecatan immunohistokimia.

b. Sitopatologi

14
- Epithelioid microgranuloma (kelompok kecil histiosit epiteloid dengan
pewarnaan yang melimpah dan pucat dan sitoplasma homogen dan
nukleus eksentrik, oval tetapi tidak ada nekrosis, sel raksasa atau
neutrofil) adalah karakteristik
- Hiperplasia reaktif dan takizoit dalam limfosit
- Pewarnaan papanicolaou (pap stain) dapat menunjukkan parasit pada
FNA (fine needle aspiration)
k. Bagaimana tatalaksana dan prognosis penyakit toxoplasmosis?
Agen antimikroba tidak dibutuhkan untuk kebanyakan pasien
imunokompeten. Gejala akan terhenti sendiri dan membaik dalam 1-2
bulan pada 60% pasien. Proporsi substansial dari pasien (25%) akan
tetap mengalami gejala sampai 2-4 bulan, dan terkadang (10%) dapat
memiliki gejala ringan hingga 6 bulan atau lebih lama. Terapi
simptomatik dengan analgesik seperti nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs) dibutuhkan.
Pasien immunocompromised dan pasien kritis dan juga dengan
manifestasi okular membutuhkan terapi kombinasi dengan
pyrimethamine, sulfadiazine, dan folinic acid. Trimethoprim-
sulfamethoxazole efektif sebagai profilaksis melawan infeksi
Toxoplasma gondii pada pasien immunocompromised dengan dosis
160 mg Trimethoprim/800 mg sulfamthoxazole per hari, tetapi sebagai
alternatif untuk pengobatan dengan dosis tinggi (5 mg/kg
Trimethoprim dan 25 mg/kg Sulfamthoxazole 2 kali sehari).
Di kebanyakan kasus toksoplasmosis hanya digolongkan
sebagai sakit ringan dan tidak memerlukan adanya perawatan medis.
Penderita umumnya bisa pulih total tanpa komplikasi. Untuk
mengobat toksoplasmosis akut pada penderita yang mempunyai
gangguan kekebalan tubuh, dokter akan meresepkan beberapa jenis
obat yaitu pyrimethamine dan sulfadiazine.

15
Pyrimethamine dan sulfonamide bekerja secara sinergistik,
maka dipakai sebagai kombinasi selama 3 minggu atau sebulan.
Atovaquone dan clindamycin bisa digunakan pada pasien alergi sulfa
dan juga pada laten toksoplasmosis untuk penetrasi lebih baik ke kista
jaringan. Spiramycin adalah drug of choice pada wanita hamil dan
dapat diberi selama kehamilan.
3. Pada pemeriksaan fisik lokalis leher tampak benjolan pada leher
kanannya dengan diameter 1,5 cm. Sedangkan pada posterior
auricular leher kiri pasien tampak dua benjolan berdekatan dengan
ukuran hampir sama dengan diameter kurang dari 1 cm. Semua
benjolan teraba kenyal dan terfiksir serta sedikit nyeri tekan pada
benjolan di leher kanan. Pemeriksaan fisik lainnya: dalam batas
normal (vvv)
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik lokalis leher?
Secara umum, limfonodus lebih besar dari 1,5 cm x 1,5 cm cenderung
menjadi radang granulomatosa atau prekursor neoplastik. Nodus yang
lembut, hangat, atau fluktuan lebih cenderung menjadi proses infeksi;
nodus yang tidak bergerak adalah karakteristik utama keganasan;
Apabila pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah berjauhan dan
simetris artinya sudah terjadi limfadenopati generalisata.
b. Mengapa terasa sedikit nyeri tekan pada benjolan di leher kanan?
Nyeri tekan berhubungan dengan proses inflamasi yang sedang
berlangsung pada benjolan. Selama inflamasi aliran saluran KGB
(limfe) meningkat dan membesar sehingga dapat mengalirkan cairan
edema (Cairan limfe). Cairan limfe mengandung sel-sel darah putih,
sel plasma, monosit, dan histiosit yang berfungsi mematikan kuman
penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Sebelum cairan ini keluar dari
pembuluh darah dan mengisi ruang antar sel, terjadi pembesaran nodus
limfatikus akibat dari infeksi, pembesaran ini disebabkan karena
proliferasi limfosit B dan diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma

16
kumpulan perubahan histologi ini dinamakan limfadenitis reaktif atau
limfadenitis meradang. Setelah itu sel-sel ini ke organ infeksius
sehingga membuat jaringan membengkak, memerah dan terasa panas
dan sakit. Pada saat inflamasi luas aliran limfe juga dapat mengangkut
agen penyerang seperti mikroba dan kimiawi. Akibatnya saluran limfe
itu sendiri dapat mengalami peradangan sekunder (limfangitis), begitu
pula dengan KGB dapat menyebabkan limfadenitis.
4. Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin: 13 g/dl. Leukosit: 12.000/mm3. LED: 19 mm/jam. Hitung
jenis leukosit: 0/1/2/51/40/6. Lactate dehydrogenase: 146 U/L
Urin rutin: dalam batas normal
Lisa dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. (vv)
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?
Laboratorium PK

Komponen Nilai normal Hasil Interpretasi


Hemoglobin Wanita:12-14 g/dL 13 g/dL Normal
Leukosit 5.000-10.000/mm3 12.000/mm3 Leukositosis, karena
adanya infeksi
kronis
granulomatosa
toksoplasmosis
gondii pada cervical
lymphadenopaty
LED Wanita: 0-20 mm/jam 19 mm/jam Normal
Diff count Basofil: 0 – 1 (%) 0/1/2/51/40/6 Normal
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 (%)
Lactate 70-250 U/L 146 U/L Normal
dehydrogenase
Urin rutin Dalam batas normal

b. Apa saja pemeriksaan lain yang diperlukan?

17
a. Hasil biopsi eksisi

Gambar: 11 Biopsi Eksisi

Pada kasus: kesan reaktif limfadenopati kemungkinan toxoplasmosis

b. Rontgen Paru

Gambar 8: Rontgen Paru TBC

Limfadenopati pada pasien dengan tuberkulosis primer. Radiografi dada


menunjukkan adanya bulky left hilum dan massa paratrakeal kanan, temuan
konsisten dengan limfadenopati dan tipikal pada pasien pediatrik. Pada
kasus rontgen paru dalam batas normal.

18
c. Tes Serologi

d. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)

Biopsi aspirasi jarum halus atau Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
adalah merupakan suatu metode atau tindakan pengambilan sebagian
jaringan tubuh manusia dengan suatu alat aspirator berupa jarum suntik
yang bertujuan untuk membantu diagnosis berbagai penyakit tumor.
Tindakan biopsi aspirasi ditujukan pada tumor yang letaknya superfisial

19
dan papable misalnya tumor kelenjar getah bening, tiroid, kelenjar liur,
payudara, dan lain-lain. Sedangkan untuk tumor pada organ dalam
misalnya tumor pada paru, ginjal, hati, limpa dan lain-lain dilakukan
dengan bantuan CT Guided. Dengan metode FNAB diharapkan hasil
pemeriksaan patologis seorang pasien dapat segera ditegakkan sehingga
pengobatan ataupun tindakan operatif tidak membutuhkan waktu tunggu
yang terlalu lama. Tindakan FNAB ini dapat dilakukan oleh seorang
dokter terlatih dan dapat dilakukan di ruang praktek sehingga ini sangat
bermanfaat bagi pasien rawat jalan. Untuk mendiagnosa limfoma
maligna pada kelenjar getah bening, ketepatannya tinggi pada lesi tumor
yang derajat keganasannya high-grade. Bila dilakukan pada jaringan hati
ketepatan diagnosisnya 67-100%. Rata-rata 80% lesi keganasan di
jaringan hati dapat didiagnosis secara tepat sehingga sesuai dengan
dugaan adanya korelasi antara analisis sitologi dengan hasil
pemeriksaan klinis yang baik.
Pada kasus menunjukkan fokus-fokus beberapa sel epiteloid
dengan latar belakang sel limfosit matur mengesankan suatu
limfadenitis kronis granulomatosa

e. Pewarnaan Ziehl Nelsen


Pewarnaan Ziehl Neelsen, termasuk pewarnaan tahan asam.
Biasanya dipakai untuk mewarnai golongan Mycobacterium (M.
tuberculosis dan M. leprae) dan Actinomyces. Bakteri genus
Mycobacterium dan beberapa spesies nocardia pada dinding selnya
mengandung banyak zat lipid (lemak) sehingga bersifat permeable
dengan pewarnaan biasa. Bakteri tersebut bersifat tahan asam (+)
terhadap pewarnaan tahan asam. Pewarnaan tahan asam dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa
tuberculosis.Pewarnaan ini merupakan prosedur untuk membedakan
bakteri menjadi 2 kelompok tahan asam dan tidak tahan asam. Bila zat

20
warna yang telah terpenetrasi tidak dapat dilarutkan dengan alkohol
asam, maka bakteri tersebut disebut tahan asam sedangkan sebaliknya
disebut tidak tahan asam.

Gambar 9: Basil tahan asam


(C) Pulasan Ziehl-Neelsen dari cairan cerebrospinal menunjukkan
adanya basili tahan asam: Pasien Mycobacterium tuberculosis
Pada kasus, tidak dijumpai basil tahan asam.
IV. Identifikasi Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
How
Pokok What I What I Don’t What I Have
No. Will I
Bahasan Know Know to Prove
Learn
Epidemiologi, pa
tofisiologi, cara
diagnosis, peme
riksaan penunjang, Textbook
Definisi,
1. Toxoplasmosis teknik penanganan - dan
etiologi
specimen,gamba jurnal
ran mikroskopik,
tatalaksana,prog
nosis
Textbook
2. Radang - Patofisiologi - dan
jurnal

21
Pengaruh usia dan
jenis kelamin, me
Textbook
kanisme, mengapa
3. Benjolan - - dan
antibiotic tidak
jurnal
memberi efek pada
benjolan
Anatomi KGB
Anatomi dan Textbook
4. - - lokalis leher, dan
fisiologi KGB
fisiologi KGB jurnal

V. Sintesis
5.1 Toxoplasmosis
1. Definisi
Toksoplasmosis adalah istilah umum untuk infeksi dan penyakit pada
manusia dan hewan yang disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplasma
gondii. Hewan yang terkena termasuk sapi, unggas, domba, kambing, kucing,
berbagai hewan lain yang disimpan sebagai hewan peliharaan, dan berbagai
kebun binatang tawanan dan hewan liar. Pada manusia, hasil infeksi dapat
berkisar dari asimtomatik hingga penyakit berat.Infeksi asimtomatik terjadi
baik secara kongenital dan dengan konsumsi bahan yang terinfeksi pada
individu yang imunokompeten.Pada infeksi kongenital dan individu yang
mengalami imunosupresi, bentuk penyakit yang lebih berat dapat terjadi.
Limfadenitis adalah bentuk klinis yang paling umum dari penyakit ini,
dengan 3-7% menyebabkan limfadenopati yang signifikan secara klinis,
terutama limfadenopati serviks.Dengan demikian, pengakuan limfadenitis
toksoplasmosis penting.Limfadenopati yang disebabkan oleh toksoplasmosis
biasanya terjadi di daerah kepala dan leher, dengan nodus serviks paling
sering terkena; supraclavicular, inguinal, mediastinum, aksila, dan kelenjar
getah bening mammae juga bisa dilibatkan.

2. Etiologi

22
Gambar 1: Morfologi Toxoplasma gondii
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii.Toxoplasma
gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang temasuk ke dalam filum
Apicomplexa, subkelas coccidia. Hospes Toxoplasma gondii adalah kucing
atau hewan sejenisnya yang merupakan hospes definitif dan manusia sebagai
hospes perantaranya.Dalam tubuh kucing, terutama pada epitel ususnya
berlangsung daur aseksual dan daur seksual yang menghasilkan ookista.Pada
hospes perantara, yaitu manusia tidak berlangsung stadium seksual tetapi
dibentuk stadium istirahat yaitu kista jaringan.
Perkembangan Toxoplasma gondii terdiri dari 3 tahap, yaitu ookista,
hasil dari rekombinasi seksual pada Felidae (misalnya kucing) yang
dikeluarkan bersama tinja, takizoit, bersifat invasif dan membelah secara aktif
di jaringan intraseluler, bradizoit tahap yang pembelahannya lambat dan
biasanya merupakan infeksi laten (infeksi klinis menahun).
Kista merupakan tahap infektif yang siap ditularkan kepada
hospes.Penularan daapt terjadi melalui ingesti kista Toxoplasma
gondii.Toksoplasmosis dibagi menjadi 2 jenis, yaitu toksoplasmosis akuisita
dan toksoplasmosis kongenital.

23
Gambar 2: Penularan Toxoplasma gondii

3. Epidemiologi
Prevalensi zat anti T.gondii pada binatang di Indonesia adalah sebagai
berikut pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75%, dan
pada ternak lain kurang dari 10%. Sedangkan pada manusia, prevalensi zat
anti T.gondii di Indonesia berksar antara 2% dan 63%.Status sosial ekonomi
juga mempengaruhi transmisi dan seroprevalensi dari Toxoplasma
gondii.Area dengan sosial ekonomi rendah dikaitkan dengan panjangkitan
toksoplasmosis melalui air yang terkontaminasi dengan ookista. Di USA
infeksi melalui ingesti ookista dilaporkan menjadi penyebab utama terjadinya

24
toksoplasmosis, berdasarkan deteksi adanya antibodi terhadap sporozoit.
Peningkatan infeksi di area pedesaan diakibatkan karena peningkatan
konsumsi sayuran mentah, daging mentah dan adanya kontak terus menerus
dengan kucing.
4. Klasifikasi
a. Infeksi akut
 Infeksi asimtomatik
Tidak ada gejala yang jelas muncul pada sebagian besar (80% -
90%) orang yang terinfeksi imunokompeten yang terinfeksi
 Infeksi simtomatik
Tampak pada 10% hingga 20% pasien yang terinfeksi; gejala
ringan menyerupai mononucleosis.Sekitar 2% dari orang sehat
dengan toksoplasmosis di Amerika Serikat mengembangkan
penyakit okular, biasanya chorioretinitis; strabismus, kebutaan,
atau kehilangan penglihatan sentral juga dapat terjadi.Retina
adalah tempat utama infeksi, tetapi ruang choroid, vitreous, dan
anterior juga terlibat dan, lebih jarang, saraf optik
b. Infeksi kongenital
Toksoplasmosis kongenital pada neonatus dan bayi adalah kondisi
serius dengan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjnag.Dapat
menyebabkan kematian janin atau penyakit neonatal yang parah.Infeksi
kongenital juga dapat menyebabkan cacat visual atau mental pada hingga
80% anak yang terinfeksi yang bertahan hidup, termasuk:Toksoplasmosis
okular, paling sering chorioretinitis, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial,
dan hidrosefalus. Epilepsi atau psikomotor atau keterbelakangan mental
dapat dikaitkan dengan kondisi ini.Ensefalitis, pneumonitis,
trombositopenia, diare, hipotermia, dan penyakit nonspesifik juga dapat
terjadi.Sekuele tertentu hanya muncul pada dekade kedua atau ketiga
kehidupan.
c. Infeksi reaktif pada pasien immunocompromised (terutama dengan AIDS)

25
Infeksi Toxoplasma gondii pada orang dengan gangguan kekebalan
tubuh dihasilkan dari reaktivasi kista jaringan laten, dan paling sering
bermanifestasi sebagai penyakit neurologis fokal/ensefalitis, meskipun
organ lain mungkin terpengaruh (misalnya, paru-paru, jantung, mata).
5. Patogenesis dan patologi
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa intraseluler.Replikasi
seksual organisme ini terjadi di usus kucing (hospes definitif) dan
mengekskresikan ookista infektif dalam feses.Ookista ini dapat
mengkontaminasi tanah atau suplai air dan bisa bertahan beberapa bulan,
tergantung suhu dan kelembapan.Termakan ookista dapat menyebabkan
infeksi dari berbagai macam mamalia, meliputi kambing, babi, ayam, dan
sapi.Infeksi pada manusia bisa terjadi dengan mengonsumsi makanan tidak
matang/ kurang matang yang terkontaminasi ookista, dan kurangnya mencuci
tangan dan kurangnya higienitas peralatan dapur secara substansial dapat
meningkatkan risiko infeksi.Merawat tanaman di pekarangan rumah dapat
memaparkan ookista ke manusia melalui kontaminasi air dan tanah.Kontak
langsung dengan feses (membersihkan kotak pasir), juga risiko
terkena.Transmisi vertikal bisa bermanifestasi menjadi toksoplasmosis
kongenital dalam fetus ketika ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi.
Siklus Hidup
Siklus hidup Toxoplasma gondii memiliki 2 fase. Tahap pertama,
bagian seksual dari siklus hidup hanya terjadi pada kucing, baik domestik
maupun liar (keluarga Felidae), yang membuat kucing menjadi tuan rumah
utama parasit. Tahap kedua, bagian aseksual dari siklus hidup, dapat terjadi di
lain hewan berdarah panas, termasuk kucing, tikus, manusia, dan burung.
Host dimana reproduksi aseksual terjadi disebut hospes perantara.
Hewan pengerat adalah hospes perantara yang khas. Dalam kedua
jenis host, parasit Toxoplasma menyerang sel dan membentuk ruang yang
disebut vakuola. Di dalam vakuola khusus yang disebut vakuola
parasitophorous, bentuk parasit bradyzoites, perlahan mereplikasi parasit.

26
Vakuola yang berisi kista bentuk reproduksi bradyzoites terutama
dalam jaringan otot dan otak.Karena parasit berada di dalam sel, mereka aman
dari sistem kekebalan inang yang tidak menganggapi kista.
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari
Toxoplasma gondii.Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel
dan tumbuh menjadi trofozoit.Inti trofozoit membelah menjadi banyak
sehingga terbentuk skizon.Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak
merozoit (skizogoni).
Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual.Merozoit masuk ke
dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang
menjadi makrogamet dan mikrogamet (Gametogoni). Setelah terjadi
pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama kotoran kucing.
Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk 2
sporokista yang masing-masing berisi 4 sporozoit (sporogoni). Bila ookista
tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau
burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual
yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah
takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang
mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi
menahun (infeksi laten).
Manusia dapat tertular atau terinfeksi Toxoplasma gondii setelah
mengonsumsi daging mentah atau daging yang kurang matang yang
mengandung kista jaringan, atau melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi ookista yang dieksresikan di tinja kucing yang
terinfeksi.Kontak dengan kucing yang terinfeksi juga menjadi penyebab
terjadinya toksoplasmosis pada manusia.Toksoplasmosis juga dapat
ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke janinnya selama
kehamilan.Toksoplasmosis dapat berupa infeksi akut atau infeksi kronis.
Setelah ingesti ookista, maka ookista akan membentuk takizoit. Saat infeksi
mulai terjadi, sel-sel imun akan teraktivasi. Makrofag akan memfagositosis

27
parasit-parasit tersebut dan akan mengeluarkan IL-12 dan sel-sel NK akan
mengeluarkan IFN-Gamma. IFN-Gamma akan menginhiibisi replikasi parasit
karena IFN-Gamma menginduksi makrofag untuk mengeluarkan NO
sehingga parasit bisa terbunuh. IFN-Gamma juga meningkatkan produksi
Indolamine 2,3 dioksigenase yang dapat merusak triptofan yang penting
dalam perrtumbuhan parasit. IL-12 yang dihasilkan makrofag juga
memperkuat kerja CD4+ dan memproduksi lebih banyak lagi IFN-Gamma.
Patogenesis toksoplasmosis pada pasien immunocompromised yaitu terjadi
penurunan jumlah CD4+, sehingga IL-12 yang terbentuk akan sedikit bahkan
tidak ada. Sehingga parasit tidak akan terbunuh.

Gambar 3: Siklus hidup Toxoplasma gondii

28
6. Penyebab dan faktor resiko
Toksoplasmosis dapat terjadi melalui transimisi zoonosis.Ookista
dapat ditemukan pada kotoran kucing.Dengan menangani kotoran kucing
(misalnya, dengan membersihkan kotak pasir) atau tanah yang mengandung
sisa kotoran ini, peristiwa menelan ookista secara tidak sengaja dapat
terjadi.Perlu diingat bahwa 62% hingga 80% kucing luar dan liar terinfeksi
Toxoplasma gondii.Selain zoonosis, ada transmisi melalui makanan.Dengan
menelan organisme berkista yang ditemukan di otot hewan yang terinfeksi
(misalnya, menelan daging yang mentah atau setengah matang) atau dengan
minum air yang terkontaminasi.
Penularan ibu ke anak dapat terjadi ketika ibu memperoleh infeksi
selama kehamilan.Secara keseluruhan risiko rata-rata transmisi vertikal dari
ibu ke janin mungkin setinggi 50%, tanpa pengobatan; biasanya, ada
peningkatan tajam dari tingkat risiko 6% pada usia kehamilan 13 minggu ke
tingkat risiko 72% pada 36 minggu 3. Risiko infeksi kongenital paling rendah
ketika ibu terinfeksi pada trimester pertama (10% -15%) dan tertinggi ketika
infeksi terjadi pada trimester ketiga (60% -90%).Janin yang terinfeksi pada
awal kehamilan lebih mungkin mengembangkan efek klinis yang parah dari
infeksi.Janin dengan ibu yang terinfeksi pada usia kehamilan 24 hingga 30
minggu memiliki risiko 10% terlahir dengan infeksi kongenital dan memiliki
komplikasi jangka panjang. Infeksi sebelumnya (lebih dari 3 bulan sebelum
konsepsi) pada wanita hamil yang imunokompeten tidak menimbulkan risiko
pada janin.
Selain hal-hal tersebut terdapat pula penyebab toksoplasmosis yang
pada umumnya jarang ditemui yakni transfusi darah, transplantasi organ atau
jaringan, atau pekerjaan laboratorium
Faktor risiko dan/atau asosiasi
a. Usia
Tingkat seroprevalensi Toxoplasma gondii meningkat seiring
dengan usia di Amerika Serikat.

29
b. Jenis kelamin
Prevalensi infeksi sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan
pada wanita.
c. Etnisitas/ras
Secara keseluruhan seroprevalensi untuk semua penduduk
Amerika Serikat lebih tinggi di kalangan kulit hitam non-Hispanik dan
Meksiko-Amerika daripada kalangan kulit putih non-Hispanik.
Di antara orang yang lahir di Amerika Serikat, Meksiko-
Amerika memiliki seroprevalensi yang lebih rendah daripada kulit
putih non-Hispanik atau kulit hitam (usia 12-49 tahun: 5,1% versus
8,8% dan 11,5%, masing-masing) 13
d. Faktor lain
Risiko untuk infeksi Toxoplasma gondii lebih tinggi di antara
orang-orang yang lahir di luar negeri, kurang berpendidikan, hidup
dalam kondisi ramai, dan bekerja di pekerjaan yang berhubungan
dengan tanah.Tingkat infeksi secara signifikan lebih tinggi di antara
orang-orang yang hidup di bawah tingkat kemiskinan dan/atau tidak
memiliki pendidikan sekolah menengah yang lengkap.Toksoplasmosis
lebih mungkin di antara orang-orang yang memiliki kucing yang
berburu di luar untuk mangsa (misalnya, hewan pengerat, burung
kecil) .
Risiko untuk reaktivasi penyakit paling tinggi pada pasien
dengan defisiensi imun sel-T (misalnya, pasien dengan infeksi HIV
lanjut, pasien dengan limfoma, penerima transplantasi, pasien yang
menerima obat anti-tumor necrosis factor-α atau steroid dosis
tinggi)Pada pasien dengan HIV/AIDS, mereka dengan jumlah CD4
lebih rendah dari 50 sel/μL berada pada risiko terbesar.

7. Diagnosis

30
Pendekatan diagnostik terhadap infeksi T.gondii tergantung pada
gejala klinis dan status imun pasien.Pada pasien imunokompeten, dapat
dilakukan pemeriksan serologis, sedangkan pada pasien immunocompromised
dapat dilakukan dengan isolasi parasit dan PCR.
Toksoplasmosis akut terjadi berdasarkan pengenalan trias morfologi
yang terlihat yaitu limfadenopati, hiperplasia folikel, sel monositoid
berlimpah, dan kluster toksoplasmosis dan sering dipertimbangkan standar
referensi di antara skrining aglutinasi komersial yang tersedia.Sensitivitas dan
spesifisitas hampir 100%. Konfirmasi dengan menggunakan enzyme-linked
immunoassay atau chemiluminescent based test, dimana dapat mendeteksi
penurunan kadar IgG dan IgM. Serum positif IgG menandakan serokonversi
tetapi tidak dapat dibedakan antara infeksi akut dan kronis, walaupun biasanya
didapatkan konjungsi dengan kadar IgM. Kedua IgG dan IgM bisa meningkat
beberapa bulan setelah infeksi awal, kadar serum IgA dan IgE bisa lebih
akurat menyarankan waktu infeksi jika klarifikasi dibutuhkan. Sebagai
tambahan test aviditas IgG bisa membedakan infeksi akut dari infeksi kronis:
tingginya indeks aviditas menyarankan infeksi akut terjadi setidaknya 3-5
bulan yang lalu, dimana indeks aviditas mungkin rendah atau 0 jika infeksi
akut terjadi melewati 4 minggu. Sensitivitas dan spesifisitas tes aviditas
mencapai hampir 100%.Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila
menemukan takizoit dalam biopsi otak atau sumsum tulang.
Tes serum PCR untuk Toxoplasma gondii berguna ketika terkena
penyakit toksoplasmosis pada pasien dengan sistem imun yang mungkin tidak
mampu membentuk respon antibodi yang adekuat atau pada pasien dengan
fase infeksi hiperakut, bahkan sebelum respon antibodi yang dapat dideteksi
terbentuk.Penelitian mengilustrasikan bahwa pengulangan 35 lipatan deteksi
gen B1 dengan amplifikasi PCR DNA Toxoplasma gondii sangat sensitif dan
spesifik untuk diagnosis toksoplasmosis.Bagaimanapun, dikarenakan
ketidaktersediaan peralatan, ahli, dan biaya keseluruhan, metode ini biasanya
tidak tersedia secara universal. Kultur darah dan test PCR atau kultur jaringan

31
spesimen patologis tidak dapat secara rutin dilakukan untuk diagnosis, beban
mikroorganisme yang ada dalam spesimen rendah. Ketika positif, spesimen
kultur mungkin membentuk bradizoit atau takizoit, tetapi hanya setelah
dipertimbangkan laten dari beberapa hari hingga mingguan.

32
33
8. Pemeriksaan penunjang
a. Biopsi eksisi
Biopsi eksisional adalah pengambilan seluruh massa yang
dicurigai disertai jaringan sehat di sekitarnya. Metode ini dilakukan di
bawah bius umum atau lokal tergantung lokasi massa dan biasanya
dilakukan bila massa tumor kecil dan belum ada metastase.

34
Gambar 4: Biopsi eksisi KGB
Pada kasus kesan reaktif limfadenopati kemungkinan
toxoplasmosis.
b. Rontgen Paru
Rontgen paru dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan
terjadinya tuberkulosis paru.

Gambar 5: Rontgen paru


Pada kasus rontgen paru dalam batas normal.

c. Tes Serologi

35
Pada kasus IgG positif dan IgM negatif.
d. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)

Gambar 6: Teknik FNAB


Biopsi aspirasi jarum halus atau Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) merupakan suatu metode atau tindakan pengambilan sebagian
jaringan tubuh manusia dengan suatu alat aspirator berupa jarum

36
suntik yang bertujuan untuk membantu diagnosis berbagai penyakit
tumor.Tindakan biopsi aspirasi ditujukan pada tumor yang letaknya
superfisial dan papable misalnya tumor kelenjar getah bening, tiroid,
kelenjar liur, payudara, dan lain-lain.Sedangkan untuk tumor pada
organ dalam misalnya tumor pada paru, ginjal, hati, limpa dan lain-
lain dilakukan dengan bantuan CT Guided.Dengan metode FNAB
diharapkan hasil pemeriksaan patologis seorang pasien dapat segera
ditegakkan sehingga pengobatan ataupun tindakan operatif tidak
membutuhkan waktu tunggu yang terlalu lama.Tindakan FNAB ini
dapat dilakukan oleh seorang dokter terlatih dan dapat dilakukan di
ruang praktek sehingga ini sangat bermanfaat bagi pasien rawat
jalan.Untuk mendiagnosa limfoma maligna pada kelenjar getah
bening, ketepatannya tinggi pada lesi tumor yang derajat
keganasannya high-grade.Bila dilakukan pada jaringan hati ketepatan
diagnosisnya 67-100%.Rata-rata 80% lesi keganasan di jaringan hati
dapat didiagnosis secara tepat sehingga sesuai dengan dugaan adanya
korelasi antara analisis sitologi dengan hasil pemeriksaan klinis yang
baik.
Pada kasus menunjukkan fokus-fokus beberapa sel
epiteloid dengan latar belakang sel limfosit matur mengesankan
suatu limfadenitis kronis granulomatosa.
e. Pewarnaan Ziehl Neelsen
Pewarnaan Ziehl Neelsen, termasuk pewarnaan tahan asam.
Biasanya dipakai untuk mewarnai golongan Mycobacterium (M.
tuberculosis dan M. leprae) dan Actinomyces.Bakteri genus
Mycobacterium dan beberapa spesies nocardia pada dinding selnya
mengandung banyak zat lipid (lemak) sehingga bersifat permeable
dengan pewarnaan biasa.Bakteri tersebut bersifat tahan asam (+)
terhadap pewarnaan tahan asam. Pewarnaan tahan asam dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa

37
tuberculosis.Pewarnaan ini merupakan prosedur untuk membedakan
bakteri menjadi 2 kelompok tahan asam dan tidak tahan asam. Bila zat
warna yang telah terpenetrasi tidak dapat dilarutkan dengan alkohol
asam, maka bakteri tersebut disebut tahan asam sedangkan sebaliknya
disebut tidak tahan asam.

Gambar 7: Basil tahan asam


Pulasan Ziehl-Neelsen dari cairan cerebrospinal menunjukkan
adanya basili tahan asam: Pasien penderita ruberkulosis.
Pada kasus tidak dijumpai basil tahan asam.

9. Gambaran mikroskopik histopatologi dan sitopatologi


a. Histopatologi
Jaringan terfiksasi formalin diproses melalui pengamatan
mikroskopik rutin. Pembeda karakteristik histopatologi adalah: 1)
Hiperplasia folikuler; 2) Kluster epithelioid mengelilingi folikuler di
tengahnya 3) Proliferasi monositoid sel B. Trias histopatologi sangat
menyarankan adanya limfadenopati reaktif sekunder terhadap
toksoplasmosis. Tes serologi juga mengkonfirmasikan bahwa terjadi
infeksi toksoplasmosis lampau (IgG positif) tetapi bukan infeksi akut
(IgM negatif). Diagnosis akhir adalah limfadenitis et causa
toksoplasmosis.

38
Gambar 8: Fitur Histologi Toxoplasma gondii pada manusia.
A, Pulasan hematoxylin dan eosin (H&E) spesimen biopsi
limfonodus dari pasien immunokompeten dengan limfadenitis
toksoplasmik.B, Pulasan positif immunoperoksidase dari spesimen
biopsi otak pada pasien AIDS dan ensefalitis toksoplasmik.C, Pulasan
H&E dari ventrikel kanan spesimen biopsi endomyokardial dari pasien
myokarditis toksoplasmik.Organisme terlihat di dalam myosit. D,
Pulasan H&E dari spesimen biopsi otot kuadriseps kanan
memperlihatkan kista jaringan dari pasien yang sama dengan C. Dia
(wanita) juga mengalami polimyositis toksoplasmik.

Gambar 9: D, Toksoplasmosis. Lihat kista (panah) diisi dengan


bradizoit. E, Toksoplasmosis. CT scan menunjukkan adanya lesi
enhancing. Toksoplasmosis adalah lesi paling memakan tempat di otak

39
pada AIDS, Dapat dibingungkan dengan adanya lesi primer limfoma
SSP.

Gambar 10: Infeksi toksoplasma. 1) Abses berada dalam


putamen dan thalamus. 2) Takizoit bebas diperlihatkan dalam
pengecatan immunohistokimia. Bradizoit ada dalam bentuk
pseudokista, terwarnai dengan pengecatan immunohistokimia.
b. Sitopatologi
Gambaran sitologi menunjukkan adanya granuloma sel
epiteloid non-caseating terhadap populasi polimorfik sel limfoid
reaktif [Gambar 11] dan keberadaanbanyak kista jaringan mengandung
banyak bradyzoit [Gambar 12].Bradizoit tersebut adalah positifper-
iodic acid Schiff (PAS) [Gambar 13].Tidak ditemukan adanya
nekrosis, supurasi, atau sel raksasa pada hyperplasia limfoid reaktif.

40
Gambar 11: Smear aspirasi menunjukkan mikrogranuloma dengan latar
belakakng populasi sel limfoid yang matur (Wright’s Giemsa; x100)

Gambar 12:Smear aspirasi menunjukkan jaringan berisi kista-kista


dengan banyak bradizoit (Wright’s Giemsa; x1000)

Gambar 13: Menunjukkan jaringan berisi kista-kista dengan banyak


bradizoit (PAS; x1000)
10. Pengobatan
Tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan infeksi parasit pada
pasien dengan komplikasi serebral, okular, atau komplikasi berat lainnya;
pada pasien hamil yang baru terinfeksi; dan pada pasien dengan penyakit
bawaan.
Pilihan pengobatan

41
a. Pasien immunocompetent umumnya sembuh dari toksoplasmosis tanpa
pengobatan
Pasien dengan toksoplasmosis viseral, atau dengan gejala umum yang
parah dan persisten, dapat diobati selama 2 sampai 4 minggu dengan
kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin, yang dilengkapi dengan asam
folinic (leucovorin). Penyakit mata diperlakukan sama, selama 4 sampai 6
minggu.
b. Pasien immunocompromised dengan infeksi akut atau reaktivasi
Terapi obat dianjurkan untuk semua dengan dosis yang umumnya
lebih tinggi dan durasi lebih lama daripada untuk pasien
imunokompeten.Terapi dosis tinggi diberikan pada awalnya, dan terapi
pemeliharaan dilanjutkan pada dosis yang lebih rendah sampai
imunokompetensi cukup dipulihkan.Terapi lini pertama adalah rejimen
pirimetamin, sulfadiazin, dan leucovorin. Pengobatan dosis tinggi
dilanjutkan selama minimal 6 minggu, lebih lama jika pasien lambat untuk
membaik
Terapi pemeliharaan dengan dosis yang lebih rendah diberikan sampai
imunokompetensi dipulihkan; pada pasien dengan AIDS, parameter yang
direkomendasikan adalah jumlah CD4 melebihi 200 sel/mcg selama
minimal 6 bulan.Rejimen alternatif termasuk pirimetamin ditambah
klindamisin; trimethoprim-sulfamethoxazole; atovakuon plus pirimetamin
dengan leucovorin; dan atovakon plus sulfadiazine.
c. Terapi obat untuk mencegah penularan infeksi pada janin atau untuk
mengobati infeksi kongenital pada uterus dianjurkan untuk pasien hamil
dalam keadaan berikut:
i. Wanita hamil yang imunokompeten dengan infeksi yang baru
diperoleh selama 18 minggu pertama kehamilan atau sesaat
sebelum pembuahan. Spiramisin biasanya direkomendasikan;
diduga untuk mencegah penularan infeksi pada janin, tetapi tidak
melewati plasenta sehingga tidak efektif untuk pengobatan uterus

42
infeksi kongenital.Jika infeksi janin dikonfirmasi melalui
amniosentesis, gunakan pirimetamin, leukovorin, dan sulfadiazin
di tempat spiramisin.

ii. Obati ibu hamil yang terinfeksi HIV yang memiliki jumlah CD4 di
bawah 200 dengan trimethoprim-sulfamethoxazole di akhir
trimester kedua dan ketiga untuk mencegah reaktivasi dan
kemungkinan penularan ke janin.Hindari trimetoprim pada
trimester pertama, jika mungkin, karena merupakan antagonis
asam folat.
iii. Terapi obat juga dianjurkan untuk neonatus yang terinfeksi
sepanjang tahun pertama kehidupan.Gunakan kombinasi
pyrimethamine dan sulfadiazine, dilengkapi dengan asam folinic
(leucovorin).

43
44
Tabel 2: Pengobatan untuk toksoplasmosis

11. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
a. Sebagian besar pasien imunokompeten sembuh tanpa komplikasi
Toksoplasmosis okular dapat menyebabkan bekas luka makula,
glaukoma, katarak, atrofi saraf optik, dan ablasi retina. Komplikasi
lain berupa efek psikomotor jangka panjang, terutama waktu reaksi
yang tertunda, telah diamati pada beberapa pasien imunokompeten
Dalam 1 penelitian, pasien dengan toksoplasmosis laten memiliki
risiko 2,65 kali lebih tinggi dari kecelakaan lalu lintas daripada mereka
tanpa toksoplasmosis.
Infeksi toksoplasmosis kronis telah dikaitkan dengan
skizofrenia.Kelainan sel glial dan penurunan jumlah astrosit dapat

45
menjadi penyebabnya, bersama dengan tingkat abnormal dopamine,
norepinefrin, dan neurotransmiter lainnya.
b. Wanita hamil yang terinfeksi dapat mengalami keguguran atau bayi
lahir mati; rasio kemungkinan keguguran adalah 6,6.
c. Toksoplasmosis kongenital pada anak-anak dapat menyebabkan
komplikasi yang mematikan atau fatal, termasuk:
i. Gangguan penglihatan bilateral berat, yang terjadi pada sekitar
9% anak-anak dengan chorioretinitis toksoplasmik kongenital
ii. Hidrosefalus, epilepsi, dan cacat mental; peningkatan
kemungkinan rasio retardasi mental pada anak yang terinfeksi
adalah 3: 1
iii. Trombositopenia
d. Toksoplasmosis menyebabkan ensefalitis, pneumonia, dan penyakit
sistemik berat lainnya pada orang dengan gangguan imun. Risiko
tertinggi untuk komplikasi terjadi ketika jumlah CD4 + limfosit turun
di bawah 50 sel/µL. Encephalitis adalah komplikasi yang paling umum
pada pasien yang immunocompromised, dengan kejadian tahunan 33%
hingga 38% di antara pasien dengan imunosupresi lanjut. Pneumonia
oportunistik terjadi pada 5% pasien dengan AIDS 1 lanjut.
Prognosis
Orang yang imunokompeten biasanya pulih dalam beberapa bulan
infeksi, bahkan tanpa pengobatan.Dapat berakibat fatal pada bayi
terinfeksi kongenital dengan hidrosefalus.Sekitar 10% dari pasien yang
menderita AIDS di Amerika Serikat diperkirakan meninggal akibat
toksoplasmosis, sebagai akibat dari komplikasi seperti ensefalitis atau
pneumonia.

12. Pencegahan
a. Anjurkan pasien untuk menghindari makan daging mentah atau
setengah matang.

46
Masak daging sapi dan domba setidaknya pada suhu 63 ° C,
dan daging babi dan daging giling hingga 71 ° C; unggas utuh harus
dimasak hingga 82 ° C. Ukur suhu dengan memasukkan termometer
makanan di bagian daging yang paling tebal (pada unggas, pada
bagian paha). Memasak menggunakan microwave tidak mampu
membunuh Toxoplasma gondii. Membekukan daging hingga lebih
rendah dari −12 ° C semalam efektif dalam membunuh parasit.Cuci
tangan dan permukaan dapur secara menyeluruh setelah kontak
dengan daging mentah.
b. Sarankan pasien untuk mencuci buah dan sayuran secara menyeluruh
dan kupas sebelum makan
c. Tindakan pencegahan untuk pemilik kucing yang sedang hamil atau
immunocompromised.
Sebaiknya beri makan kucing kalengan atau daging yang sudah
dimasak dan simpan kucing di dalam ruangan.Ganti kotoran kucing
setiap hari dengan sarung tangan sekali pakai dan cuci tangan dengan
bersih sesudahnya.
d. Kenakan sarung tangan saat berkebun dan cuci tangan secara
menyeluruh setelah bersentuhan dengan tanah kebun.
5.2 Radang
1. Definisi
Inflamasi merupakan respon jaringan vaskular terhadap infeksi dan
kerusakan jaringan yang membawa sel-sel dan molekul pertahanan tubuh
host dari sirkulasi menuju ke jaringan yang membutuhkan, untuk
mengeliminasi agen-agen perusak (Robbins, 2018)
Inflamasi merupakan respons protektif yang penting. Mediator
pertahanan termasuk leukosit, sel-sel fagosit, antibodi dan protein
komplemen, kebanyakan normalnya beredar di sirkulasi namun tidak
merusak jaringan normal dan dapat secara cepat dibawa ke tempat-tempat
tertentu di tubuh (jaringan yang membutuhkan). Beberapa sel-sel yang

47
terlibat dalam respon inflamasi juga terdapat di jaringan yang berfungsi
sebagai sentinel untuk menjaga jaringan dari bahaya atau ancaman.
2. Tipe-Tipe dan Tanda Inflamasi
Inflamasi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu inflamasi akut dan
inflamasi kronis yang masing-masing karakteristiknya dicantumkan dalam
tabel berikut :

Tabel 1. Perbedaan inflamasi akut dan kronis (Robbins Basic Pathology, 2018)
Tanda-tanda adanya inflamasi (Cardinal sign) meliputi ;
a. Rubor
Menurut Price & Wilson (1995) dalam Lumbanraja (2009) Kemerahan atau rubor
biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada saat mengalami peradangan.
Ketika reaksi peradangan mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke
daerah tersebut melebar, oleh karena itu darah mengalir lebih banyak ke dalam
mikrosirkulasi lokal. Pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian
saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan
hiperemia atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena peradangan
akut. Timbulnya hyperemia merupakan permulaan reaksi peradangan diatur oleh
tubuh melalui pengeluaran zat mediator seperti histamin.
b. Kalor
Panas merupakan reaksi pada permukaan tubuh yakni kulit yang terjadi bersamaan
dengan kemerahan akibat peradangan. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas
dari sekelilingnya, hal ini terjadi karena darah dengan suhu 37 oC lebih banyak disalurkan
ke permukaan daerah yang terkena radang lebih banyak dibandingkan ke daerah normal.

48
c. Tumor
Pada saat terjadi proses peradangan, dinding kapiler menjadi lebih permeabel dan lebih
mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin yang diikuti oleh molekul yang
lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein. Turunnya kadar
albumin di ruang vaskular akan menurunkan tekanan onkotik di area tersebut sehingga
cairan dari jaringan vaskular dapat keluar ke ruang interstisial dan menyebabkan edema
(bengkak).
d. Dolor
Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dihasilkan dengan berbagai
mekanisme. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan zat kimia tertentu misalnya
mediator histamin atau mediator lainnya yang menyebabkan pembengkakan dan
peradangan pada jaringan sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan lokal
dapat menimbulkan rasa sakit (Lumbanraja, 2009).
e. Functio laesa
Functio laesa adalah reaksi peradangan yang ditandai dengan nyeri disertai
adanya sirkulasi yang abnormal akibat penumpukan dan aliran darah yang
meningkat sehingga menghasilkan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal dan
menjadikan jaringan yang terinflamasi tersebut tidak berfungsi normal
(Dyaningsih, 2007).
3. Penyebab Inflamasi dan Tahapan pada Respon Inflamasi
Inflamasi dapat diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya :
a. Infeksi (bakteri, virus atau parasit)
Mikroba, termasuk virus, bakteri, jamur dan parasit dapat mengakibatkan terjadinya
proses inflamasi. Virus menyebabkan kematian sel karena virus bereplikasi di dalam sel
yang berakibat lisis pada sel. Bakteri melepaskan toksin spesifik, baik eksotoksin ataupun
endotoksin yang dapat mengakibatkan inflamasi dan kematian sel.
b. Jaringan nekrosis
Kematian jaringan akibat kurangnya suplai oksigen atau nutrient akibat dari aliran darah
yang tidak adekuat (infark) merupakan stimulus inflamasi yang potent. Jaringan yang
infark sering memperlihatkan respon inflamasi akut.

49
c. Substansi asing (agen fisika, iritan, susbtansi kimiawi)
Kerusakan jaringan yang menimbulkan inflamasi dapat terjadi karena trauma fisik, sinar
UV, luka bakar, frostbite. Substansi kimiawi yang bersifat korosif merangsang inflamasi
dengan merusak jaringan secara langsung
d. Reaksi imun (Hipersensitivitas)
Reaksi hipersensitivitas terjadi saat adanya perubahan pada mekanisme respon imun
sehingga terjadi reaksi imun yang berlebihan atau tidak sesuai yang dapat merusak
jaringan
Tahapan pada respon inflamasi terdiri atas :
a. Recognition ; yaitu pengenalan agen infeksi
b. Recruitment ; Perekrutan leukosit
c. Removal ; eliminasi agen infeksi
d. Regulation ; Kontrol terhadap respons inflamasi
e. Resolution ; penyembuhan jaringan
A. Radang Akut
Merupakan respon yang terjadi segera setelah timbulnya cedera. Manifestasi peradangan
akut dibedakan menjadi 2 kategori : (a) respon vaskuler dan (b) respon seluler. Respon
vaskuler atau respon hemodinamik terjadi scat timbulnya vasokonstriksi pembuluh darah
kecil didaerah radang. Vasokonstriksi akan segera diikuti vasodilatasi arteriola dan
venula yang mensuplai daerah radang. Sebagai hasil dari reaksi tersebut, maka daerah
radang menjadi kongesti yang menyebabkan jaringan berwarna merah dan panas.
Bersamaan dengan itu, permeabilitas kapiler akan meningkat, yang menyebabkan cairan
berpindah ke jaringan dan menyebabkan kebengkakan, rasa sakit dan gangguan fungsi.
Respon seluler pada keradangan akut ditandai dengan adanya proses fagositosis dari sel
darah putih (Celloti dan Laufer ,2001) .
Inflamasi akut memiliki 3 komponen utama, yaitu ; vasodilatasi yang meningkatkan
aliran darah ke tempat jejas sehingga menaikkan tekanan hidrostatik ; peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi eksudasi protein plasma yang
menyebabkan tekanan onkotik plasma menurun ; emigrasi leukosit dari sirkulasi
REAKSI PEMBULUH DARAH PADA RADANG AKUT (RESPON VASKULER)
1. Perubahan Aliran Vaskular dan Kaliber

50
Vasodilatasi diinduksi oleh beberapa mediator terutama histamin yang meningkatkan
aliran darah, diikuti dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan eksudasi protein plasma

Gambar 1. Formasi eksudat dan transudat (Robbins Basic Pathology, 2018)


Hilangnya cairan dan meningkatnya diameter pembuluh darah menyebabkan aliran darah
menjadi lambat, konsentrasi sel darah di pembuluh darah kecil dan peningkatan
viskositas darah menyebabkan perubahan pada aliran darah stasis yang secara histologis
terlihat sebagai vascular congestion dan dari luar terlihat sebagai eritema di jaringan yang
terlibat.
Setelah terjadi stasis, leukosit terkumpul di endotel vaskular. Di saat yang bersamaan,
sel-sel endotel diaktivasi oleh mediator yang dihasilkan di tempat terjadinya inflamasi
dan meningkatkan daya adhesi antar molekul. Leukosit kemudian melekat pada endotel
dan setelahnya akan bermigrasi melalui dinding vaskular ke jaringan interstisial.
2. Peningkatan Permeabilitas Vaskular
Mekanisme yang terlibat dalam peningkatan permeabilitas vaskular pada inflamasi akut,
yaitu ;

51
a. Retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan adanya jarak antar sel yang ditimbulkan
oleh histamin, sitokin, bradikinin leukotrien dan mediator kimiawi lainnya.
b. Kerusakan endotel menyebabkan nekrosis dan pelepasan sel-sel endotel
c. Penigkatan pengeluaran cairan dan protein (transitosis) melalui sel-sel endotel

Gambar 2. Peningkatan permeabilitas vascular (Robbins Basic Pathology, 2018)


REAKSI SELULAR PADA RADANG AKUT : EKSTRAVASASI LEUKOSIT
DAN FAGOSITOSIS
1. Adhesi Leukosti ke Endotelium
Saat darah mengalir dari kapiler menuju ke venula poskapiler, sel-sel yang berada di
sirkulasi akan tersapu oleh aliran laminar. RBC akan menjadi lebih kecil dan cenderung
bergerak lebih cepat daripada leukosit. Leukosit terdorong ke tepi endotel tetapi tidak
menempel di endotel karena pengaruh aliran darah. Setelah aliran darah pada proses
inflamasi melambat (stasis), kondisi hemodinamik berubah dan leukosit akan lebih
banyak didistribusikan ke tepian endotel pembuluh darah (marginasi).

52
Leukosit yang dekat dengan endotel bisa mendeteksi dan bereaksi terhadap perubahan
pada endotel. Jika sel endotel diaktivasi oleh sitokin dan mediator inflamasi lokal lainnya
maka akan dikeluarkan molekul adhesi yang melekat longgar pada leukosit. Sel-sel ini
terikat dan kemudian terlepas dan melekat pada permukaan endotel. Proses ini
dinamakan rolling

Gambar 3. Migrasi leukosit (Robbins Basic Pathology, 2018)


Penempelan leukosit ke endotel dimediasi oleh molekul adhesi komplemen pada 2 tipe
sel dan ekspresinya ditingkatkan oleh sitokin. Molekul yang terlibat dalam adhesi dan
migrasi leukosit adalah selektin dan integin

53
Tabel 2. Molekul adhesi endotel dan leukosit (Robbins Basic Pathology, 2018)

a. Selektin
Memediasi interaksi awal yang lemah antara leukosit dan endotel. Selektin
merupakan reseptor yang diekspresikan pada leukosit dan endotel. Tiga anggota dari
famili ini adalam E-Selectin (CD62E) yang diekspresikan di endotel, P-Selectin (CD62P)
yang terdapat di platelet dan endotel dan L-Selectin yang terekspresi pada permukaan
leukosit. Selektin endotelial hanya sedikit terekspresi pada endotel yang tidak teraktivasi
dan menjadi upregulasi setelah distimulasi oleh sitokin dan mediator lainnya. Misalnya,
E-Selectin dan ligan untuk L-Selectin terekspresi pada endotel hanya setelah adanya
stimulasi oleh IL-1 dan TNF.
Ikatan dengan afinitas rendah ini akan dengan mudah dirusak oleh aliran darah
sehingga molekul tersebut berikata, lepas, dan berikatan lagi yang menyebabkan
terjadinya rolling. Interakasi rolling yang dimediasi oleh selectin memberikan
kesempatan pada leukosit untuk mengenali molekul adhesi lain yang ada di endotel.
b. Integrin
Molekul yang memediasi adhesi kuat antara lekosit dan endotel. Normalnya, integrin
diekspresikan pada leukosit dalam kadar yang rendah dan tidak akan berikatan dengan
ligannya hingga leuksit diaktivasi oleh kemokin. Kemokin adalah sitokin kemoatraktif
yang disekresikan oleh banyak sel di tempat terjadinya inflamasi, berikatan dengan
proteoglikan sel endotel dan ditampilkan pada permukaan endotel dengan konsentrasi
tinggi. Ketika leukosit yang sedang berguling (rolling) bertemu dan mengenali kemokin
yang ditampilkan tadi, maka sel akan teraktivasi dan integrin pada sel tersebut akan

54
mengalami konformasi dan mengelompok sehingga menghasilkan ikatan dengan afinitas
kuat.
2. Migrasi Leukosit Melalaui Endotelium
Setelah ditahan di permukaan endotel, leukosit bermigrasi melalui dinding pembuluh
darah dengan cara saling menindih antar sel pada taut intraselular. Ekstravasasi leukosit
ini disebut transmigrasi. Proses ini dimediasi oleh PECAM-1 (Platelet Endothelial Cell
Adhesion Molecule-1), disebut juga CD31.
3. Kemotaksis leukosit
Gerakan sel darah putih menuju ke tempat rangsangan di bawah pengaruh faktor
kemotaksis. Substansi eksogen dan endogen dapat beperan sebagai chemoattractant.,
misalnya ;
Substansi eksogen dapat berupa toksin, Formil-methyonin Leucyl Phenylalanin
Substansi endogen dapat berupa C5a, Leukotrien B4, neutrofil, limfokin, kemokin, dan
metabolit asam arakhidonat.
FAGOSITOSIS DAN KLIRENS AGEN PERUSAK
1. Pengenalan dan perlekatan
Efisiensi fagositosis meningkat saat mikroba diopsonisasi oleh protein spesifik
(opsosnin). Opsosnin utama, misalnya IgG dan C3b. reseptor untuk proses opsosnin ini
dimiliki oleh neutrofil yang meningkatkan pengenalan dan penempelan neutrofil ke
bakteri.
2. Penelanan
Neutrofil menelan dan kemudian bakteri terperangkap dalam vakuola fagositik. Lisosom
mengalirkan enzim hidrolitik ke vakuola fagositik dan membentuk fagolisosom

55
Gambar 7. Fagositosis (Robbins Basic Pathology, 2018)

3. Pembunuhan dan Degradasi


Terdapat 2 reaksi yaitu reaksi yang memerlukan oksigen dan tidak memerlukan oksigen
MEKANISME DENGAN BERGANTUNG OKSIGEN
Merupakan proses mikrobisidal terpenting dan hanya terdapat pada neutrofil dan monosit
tetapi tidak terdapat pada makrofag.
- Pembentukan radikal bebas superoksida ; NADPH mengubah oksigen menjadi ion
superoksida (radikal bebas)
- Produksi Hidrogen peroksida ; yaitu perubahan ion superoksida menjadi H 2O2 dengan
bantuan superoksida dismutase. Proses ini dapat dinetralisir oleh glutathione peroxidase.
- Beberapa peroksida dikonversi menjadi radikal bebas hidroksil oleh Fe
- Produksi HoCl ; MPO menggabungkan H2O2 dengan ion Cl untuk membentuk HoCl
yang dapat membunuh bakteri

56
Gambar 8. MPO dependent system (Goldjan Rapid Reviw Pathology, 2010)

MEKANISME TANPA OKSIGEN


Pembunuhan bakteri dari susbtansi yang ada di granula leukosit, misalnya ; laktoferin
dan protein dasar (produk eosinofil yang bersifat toksik terhadap cacing)
MEDIATOR RADANG
Mediator dalam inflamasi merupakan substansi yang menginisiasi dan meregulasi reaksi
inflamasi. Beberapa mediator radang utama dirincikan dalam tabel berikut :

57
Tabel 3. Mediator utama pada inflamasi (Robbins Basic Pathology, 2018)
a. Vasoaktif amin
2 vasoaktif amin yang utama adalah histamin dan serotonin. Dinamakan vasoaktif
amin karena molekul tersebut mempunyai efek vasodilatasi. Histamin
menyebabkan dilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas venula. Sumber
sel utama yang mengandung histamin adalah sel mast, tetapi histamin juga dapat
ditemukan di basofil dan platelet. Serotonin merupakan vasoaktif yang terdapat
pada platelet dan sel endokrin, seperti pada traktus digestivus. Fungsi utamanya
adalah sebagai neurotransmiter di traktus gastrointestinal. Serotonin berperan

58
juga sebagai vasokonstriktor, tetapi perannya dalam proses inflamasi masih
belum jelas.
b. Metabolit asam arakhidonat
Mediator lipid, seperti prostaglandin dan leukotrien dihasilkan dari metabolisme
asam arakhidonat yang terdapat pada membran fospolipid, dan menstimulasi
reaksi vaskular dan seluler pada proses inflamasi akut. Beberapa di bawah ini
merupakan hasil metabolisme asam arakhidonat.
PROSTAGLANDIN
Dihasilkan oleh sel mast, makrofag, sel-sel endotelial dan banyak sel lain dan
terlibat dalam reaksi vaskular dan sistemik dalam proses peradangan akut.
Dibentuk oleh COX-1 dan COX-2 (Siklooksogenase 1 dan 2). COX-1 diproduksi
akibat respon terhadap stimulus inflamasi dan terekspresi di kebanyakan jaringan,
dimana COX-2 juga dapat berperan dalam menjaga fungsi homeostatis (Misal ;
menjaga kessimbangan elektrolit dan ion pada ginjal). COX-2 diinduksi oleh
stimulus inflamasi. COX-2 tidak terdapat di jaringan normal dan hanya terlibat
dalam proses terjadinya inflamasi. Jenis prostaglandin yang paling penting dalam
reaksi inflamasi adalah PGE2, PGD2, PGF2a, PGI2 dan TXA2

59
Gambar 4. Proses pembentukan prostaglandin (Robbins Basic Pathology, 2018)
LEUKOTRIEN
Diproduksi pada leukosit dan sel mast dengan bantuan lipooksigenase. Sintesis
leukotrien melibatkan multiple steps. Yang pertama kali dihasilkan adalah LTA4
(leukotrien A4), kemudian baru akan membentuk LTB4 atau LTC4. LTB4
diproduksi oleh neutrofil dan beberapa sel makrofag dan merupakan agen
kemotaktik yang poten dalam menyebabkan aggregasi dan adhesi sel ke endotel,
dan menghasilkan ROS (Reactive Oxygen Species). LTC4 dan metabolitnya ;
LTD4 dan LTE4 diproduksi terutama di sel mast dan menyebabkan
vasokonstriksi, bronkospasme dan meningkatkan permeabillitas venula.
LIPOXIN
Dihasilkanoleh metaabolisme asam arakhidonat melalui jalur lipooksigenase,
tetapi fungsinya adalah untuk menghambat terjadinya inflamasi dengan cara
menginhibisi perekrutan leukosit (menghambat kemotaksis neutrofil dan adhesi
ke endotel.

60
c. Sitokin dan Kemokin
Sitokin merupakan protein yang disekresikan oleh banyak jenis sel (utamanya diaktivasi
oleh limfosit, makrofag, sel dendritik, sel endotelial, epitelial dan sel jaringan ikat) yang
memediasi dan meregulasi reaksi imun dan inflamasi. Sitokin yang terlibat dalam proses
inflamasi dirincikan dalam tabel di bawah ini ;

Tabel 4. Sitokin pada inflamasi (Robbins basic Pathology, 2018)

TNF DAN INTERLEUKIN-1


TNF dan IL-1 memiliki peran penting dalam perekrutan leukosit dengan meningkatkan
adhesi leukosit ke endotel dan migrasinya melalui pembuluh darah. Aksi TNF dan IL-1
berperan dalam reaksi inflamasi lokal dan sistemik yang diilustrasikan seperti di bawah
ini :

61
Gambar 5. Peran TNF dan IL-1 dalam reaksi inflamasi (Robbins Basic Pathology, 2018)
Aktivasi Endotel ; TNF dan IL-1 mengaktivasi endotel sehingga meningkatkan ekspresi
molekul adhesi endotel, yaitu E-Selektin dan P-Selektin dan ligan untuk integrin leukosit,
meingkatkan produksi sitokin dan kemokin lainnya dan meningkatkan aktivitas
prokoagulan pada endotel.
Aktivasi leukosit dan sel lain ; TNF meningkatkan respon neutrofil terhadap
stimulus endotoksin bakteri dan menstimulasi makrofag dalam proses mikrobisidal. IL-1
mengaktivasi fibroblast untuk sintesis kolagen dan menstimulasi proliferasi sel sinovial
dan sel mesenkimal.
Respon sistemik fase akut ; TNF dann IL-1, termasuk juga IL-6 menginduksi
respon sistemik fase akut akibat infeksi atau cedera.
Kemokin adalah protein yang berperan sebagai kemoattraktan untuk tipe leukosit
yang spesifik. Kemokin berikatan dengan proteoglikan dan ditampilkan dengan
konsentrasi tinggi pada endotel yang fungsinya yaitu ;
Kebanyakan kemokin menstimulasi penempelan leukosit ke endotel dengan terekspresi
pada leukosit untuk meningkatkan afinitasi integrin dan membawa leukosit ke jaringan
yang membutuhkan, juga berperan dalam mempertahankan struktur jaringan.

62
Tabel 5. Peran mediator dalam berbagai reaksi inflamasi (Robbins Basic Pathology,
2018)
SISTEM KOMPLEMEN
Kumpulan protein yang fungsinya melawan mikroba pada reaksi inflamasi patologis.
Penomornan protein komplemen dimulai dari C1-C9 dan berada di plasma dalam bentuk
inaktif. Terdapat 3 jalur dalam sistem komplemen yaitu ;
-jalur klasik ; yang dipicu oleh fiksasi C1 dengan antibodi (IgG atau IgM) yang
dikombinasikan dengan antigen
-jalur alternatif ; dipicu oleh molekul pada permukaan mikroba (endotoksin,
lipopolisakarida dan susbtansi lainnya) dengan ketiadaan antibodi
-lectin ; plasma mannose binding lectin berikatan dengan karbohidrat pada mikroba dan
secara langsung mengaktivasi C1.
Aktivasi komplemen pada tiga jalur tersebut mengakibatkan terbentuknya enzim yang
disebut C3 convertase yang membagi C3 menjadi 2 fragmen dengan fungsi yang
berbeda, yaitu C3a dan C3b.

63
Gambar 6. Jalur sistem komplemen (Robbins Basic Pathology, 2018)

FUNGSI SISTEM KOMPLEMEN


1. C5a, C3a, dan C4a menstimulasi pelepasan histamin dari sel mast dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler yang menyebabkan vasodilatasi. Ketiga komponen ini disebut
anaphylatoxins, karena efek yang dihasilkan komponen tersebut mirip dengan efek yang
dihasilkan oleh sel mast dalam reaksi anafilaksis.
2. C3b berperan dalam proses opsonisasi dan fagositosis
3. MAC (Membrane Attack Complex) berperan dalam proses lisis pada sel

GAMBARAN MORFOLOGI RADANG AKUT


1. Radang (Inflamasi) Serosa
Ditandai dengan adanya eksudasi cairan sel dari dalam ruang yang terbentuk akibat
rusaknya permukaan epitel ke permukaan epitel atau rongga tubuh yang dilapisi oleh
peritoneum, perikardium, atau pleura. Akumulasi cairan dalam rongga tersebut disebut
efusi. Kulit melepuh akibat terbakar atau infeksi virus menunujukkan akumulasi cairan
serous didalam atau dibawah lapisan epidermis yang rusak.

64
Gambar 7. Inflamasi serosa (Robbins Basic Pathology, 2018)

2. Inflamasi Fibrinosa
Eksudat yang timbul saat adanya kebocoran vaskular yang lebar atau terdapatnya
stimulus prokoagulan. Eksudat fibrinosa khas pada inflamasi di lapisan rongga tubuh,
misal meninges, perikardium dan pleura. Secara histologis, fibrin terlihat seperti jaringan
benang-benang eosinofilik dan terkadang seperti koagulan amorf. Eksudat fibrinosa dapat
hilang dengan proses fibrinolisis dan dieliminasi oleh makrofag. Namun, jika fibrin tidak
dihilangkan, lama kelamaan akan memicu pertumbuhan fibroblast dan pembuluh darah
menyebabkan scars.

65
Gambar 8. Inflamasi fibrinosa (Robbins Basic Pathology, 2018)
3. Inflamasi Purulent (Supurative)-Abses
Dicirikan dengan terbentuknya pus, eksudat yang mengandung neutrofil, sel-sel nekrosis
dan cairan edema. Penyebab inflamasi purulent kebanyakan adalah infeksi bakteri yang
menyebabkan nekrosis liquefactive, yaitu Staphylococcus, yanf termasuk pyogenic
(produsen pus). Abses merupakan kumpulan pus yang terlokalisir

Gambar 9. Inflamasi supurative (purulent) (Robbins Basic Pathology, 2018)


4. Ulkus
Merupakan defek lokal atau ekskavasi permukaan organ atau jaringan yang dihasilkan
oleh peluruhan jaringan inflamasi yang nekrosis.

Gambar 10. Ulkus (Robbins Basic Pathology, 2018)

HASIL AKHIR RADANG AKUT

66
Gambar 11. Hasil akhir radang akut (Robbins Basic Pathology, 2018)
Reaksi inflamasi akut secara khusus memiliki 3 kemungkinan hasil akhir, yaitu ;
a. Resolusi, yaitu terjadi ketika agen-agen perusak berhasil dieliminasi dan diakhiri
dengan pemulihan jaringan inflamasi menjadi jaringan normal.
b. Penyembuhan yang digantikan dengan jaringan ikat (sacrs atau fibrosis) , terjadi
setelah kerusakan jaringan besar, ketika inflamasi mengenai jaringan yang tak dapat
beregenerasi atau ketika terdapat eksudasi fibrin yang banyak di jaringan atau rongga
serous (pleura, peritoneum) yang secara adekuat tidak bisa dihilangkan.
c. Progresi menjadi inflamasi kronis; transisi yang terjadi ketika inflamasi akut tidak
dapat diselesaikan, sebagai akibat dari stimuli yang persisten atau gangguan pada saat
proses penyembuhan normal.

B. Radang Kronis
Merupakan respon terhadap inflamasi yang memanjang dan terjadi radang aktif, jejas
jaringan dan penyembuhan secara serentak.
PENYEBAB RADANG KRONIS
1. Infeksi persisten

67
2. Penyakit hipersensitivitas
3. Paparan yang lama terhadap agen toksik, baik dari dalam ataupun luar

MORFOLOGI RADANG KRONIS


1. Infiltasi dengan sel-sel mononuklear yaitu limfosit, makrofag dan plasma
2. Kerusakan jaringan yang diinduksi oleh agen-agen perusak yang persisten
3. Digantikan oleh jaringan ikat sebagai upaya penyembuhan, diikuti dengan
angiogenesis
4. Inflamasi granulomatosa yang merupakan tipe spesifik dari inflamasi kronis

Gambar 1. Radang kronis pada alveoli (Robbins Basic Pathology)


Keterangan :
Tanda bintang (*) : kumpulan sel-sel radang kronis
Tanda panah : jaringan ikat yang menggantikan jaringan normal
Arrrowhead : kerusakan parenkim

SEL DAN MEDIATOR RADANG KRONIS


MAKROFAG
Sel yang dominan pada radang kronis yang berperan dalam reaksi radang dengan
mensekresikan sitokin dan Growth Factor. Terdapat 2 jalur akttivasi makrofag, yaitu jalur
klasik dan jalur alternatif.

68
Gambar 2. Jalur aktivasi makrofag (Robbins Basic Pathology, 2018)
JALUR KLASIK
Diinduksi oleh produk mikroba misalnya endotoxin yang disensor oleh TLR dan sensor
lainnya, dan dengan sinyal sel T, IFN-Gamma dan respon imun. Aktivasi makrofag jalur
klasik menghasilkan NO dan ROS dan mengupregulasi enzim lisosomal yang
meningkatkan kemampun makrofag tersebut sebagai agen bakterisidal.
JALUR ALTERNATIF
Diinduksi oleh sitokin selain IFN-Gamma, misalnya ; IL-4 dan IL-3 yang memproduksi
limfosit T dan sel lainnya. Makrofag yang teraktivasi melalui jalur ini secara aktif tidak
bersifat bakterisidal tetapi makrofag tesebut mensekresikan growth factor yang memicu
angiogenesis, fibroblas, dan menstimulasi sintesis kolagen.
LIMFOSIT
Mikroba dan antigen lainnya mengaktivasi limfosit T dan limfosit B yang menginisiasi
inflamasi kronis. Limfosit T memiliki daya bunuh dan mengenali jejas yang memberi
informasi pada histiosit. Sedangkan sel B menghasilkan Gamma globulin.
SEL PLASMA
Berfungsi menghasilkan gamma globulin, sel plasma tidak terdapat di sirkulasi tetapi
terdapat pada mukosa hidung dan telinga.
SEL DATIA

69
Merupakan makrofag yang berfusi. Inti membelah tanpa diikuti penambahan sitoplasma.
Jenisnya yaitu ; sel datia langhans, datia benda asing dan datia osteoklast
SEL MAST
Secara luas terdistribusi di jaringan ikat dan berperan dalam inflamasi akut dan kronis.
Sel mast mempunyai persamaan dengan sel basofil yang ada di sirkulasi, tetapi sel mast
tidak berasal dari basofil. Sel mast berada di jaringan, maka dari itu peran sel mast lebih
signifikan pada proses inflamasi di jaringan daripada peran basofil.

Gambar 3. Interaksi limfosit-makrofag (Robbinns Basic Pathology, 2018)


Sel T teraktivasi memproduksi sitokin yang merekrut makrofag (TNF, IL-17, kemokin)
dan yang mengaktivasi makrofag (IFN-Gamma). Makrofag teraktivasi kemudian
menstimulasi sel T dengan mempresentasikan antigen dan melalui sitokin misalnya IL-12
INFLAMASI GRANULOMATOSA
Inflamasi granulomatosa merupaka bentuk inflamasi kronis yang dicirikaan dengan
adanya makrofag yang teraktivasi, terutama limfosit dan kadang-kadang terdapat
nekrosis di bagian tengahnya. Terdapat 2 tipe radang granulomatosa yaitu ;
a. Granuloma sel imun, diakibatkan oleh berbagai agen yang dapat menginduksi cell
mediated immune response. Granuloma jenis ini merupakan respon sel T yang
bertanggung jawab atas aktivasi makrofag persisten, misal; pada TBC
b. Granuloma benda asing, respon terhadap benda asing yang relatif inert, tanpa adanya
mediasi sel T

70
Gambar 4. Radang granuloma tuberculous (Robbins Basic Pathology, 2018)
Keterangan :
Pada pewarnaan hematoksilin eosin, makrofag teraktivasi pada granuloma memiliki
sitoplasma granulasi berwarna pink dengan batas sel yang tidak jelas yang disebut sel
epiteloid. Sel raksasa multinuklear ditemukan pada granuloma disebut sel datia langhans.
Dibagian tengahnya terdapat nekrosis caseosa.

Tabel 1. Contoh penyakit dengan inflamasi granulomatosa (Robbins Basic Pathology,


2018)
EFEK SISTEMIK PADA INFLAMASI
Inflamasi, bahkan jika hanya terjadi secara lokal, dihubungkan dengan reaksi sistemik
yang menginduksi sitokin yang secara kolektif disebut respon fase akut.
DEMAM Dicirikan dengan peningkatan suhu, terutama pada infeksi. Peningkatan suhu
tubuh diakibatkan oleh prostaglandin yang diproduksi di sel vaskular dan perivaskular
hipotalamus. LPS (Pirogen eksogen) menstimulasi leukosit untuk melepas sitokin dan
TNF (Pirogen endogen) yang meningkatkan enzim siklooksigenase yang mengonversi
asam arakhidonat menjadi prostaglandin.

71
PENINGKATAN PROTEIN FASE AKUT
Tiga jenis protein yang paling dikenal adalah CRP (C-Reactive Protein), fibrinogen
dan serum amyloid A (SAA) protein. Sintesis molekul tersebut terjadi di hepatosit
yang distimulasi oleh sitokin
LEUKOSITOSIS
Yaitu peningkatan kadar leukosit akibat infeksi bakteri. Distimulasi oleh sitokin (IL1
dan TNF)

5.3 Benjolan
i. Definisi
Dalam tubuh manusia terdapat hampir 600 KGB tetapi hanya KGB di
submandibular, aksila dan inguinal yang sering teraba pada manusia yang
sehat. Istilah limfadenopati sering didefinisikan sebagai kelainan dari KGB
dalam bentuk ukuran, jumlah maupun konsistensinya yang disebabkan
adanya penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu
sendiri, adanya infiltrasi sel-sel peradangan (neutrofil) atau adanya infiltrasi
sel-sel ganas. Limfadenitis merupakan peradangan akut atau kronis pada
KGB. Limfadenitis yang akut merupakan reaksi akut terhadap bakteri atau
toksin yang dibawa melalui pembuluh limfa ke KGB regional.

Klasifikasi limfadenopati sangat bervariasi. Saat ini klasifikasi yang sering


digunakan untuk memudahkan dalam membedakan penyebab dan
penanganan yang tepat untuk limfadenopati adalah limfadenopati lokalisata
dan limfadenopati generalisata.

Limfadenopati lokalisata didefinisikan sebagai pembesaran KGB hanya pada


satu daerah saja, sedangkan limfadenopati generalisata apabila pembesaran
KGB pada dua atau lebih daerah yang berjauhan dan simetris. Sedangkan
berdasarkan waktu terjadinya, dikatakan limfadenopati akut jika pembesaran
KGB terjadi kurang dari 2 minggu, sedangkan limfadenopati subakut jika

72
pembesaran KGB berlangsung 2-6 minggu dan limfadenopati kronis jika
pembesaran KGB berlangsung lebih dari 6 minggu.

ii. Etiologi
Ada berbagai infeksi yang menyebabkan limfadenopati generalisata,
lokalisata dan limfadenitis. Infeksi limfadenopati generalisata sering
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan protozoa. Infeksi yang
menyebabkan limfadenopati lokalisata maupun limfadenitis dapat berasal
bukan dari penyakit menular seksual, dapat juga berasal dari penyakit
menular seksual (limfadenopti inguinal primer) serta sindrom limfokutaneus
Berbagai Infeksi Penyebab Limfadenopati Generalisata
A. Viral
Epstein-Barr Virus (infectious mononucleosis)
Cytomegalovirus (infectious mononucleosis-like syndrome)
HIV (acute retroviral syndrome)
Hepatitis B virus
Hepatitis C virus
Varicella
Adenoviruses
Rubeola (measles)
Rubella
B. Bacterial

73
Endocarditis
Brucella (brucellosis)
Leptospira interrorgans (leptospirosis)
Streptobacillus moniliformis (bacillary rat-bite fever)
Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis)
Treponema pallidum (secondary syphilis)
C. Fungal
Coccidioidesimmitis (coccidioidomycosis)
Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)
D. Protozoa
Toxoplasma Gondii (toxoplasmosis)
Berbagai Infeksi Penyebab Limfadenopati Lokalisata dan Limfadenitis

A. Nonvenereal Origin
Staphylococcus aureus
Group A streptococci
Group B streptococci (in infants)
Bartonella henselae (cat-scratch disease)
Yersinia pestis (plague)
Francisella tularensis (glandular tularemia)
Mycobacterium tuberculosis
Atypical mycobacteria
Sporothrix schenckii (sporotrichosis)
Epstein-Barr virus
Toxoplasmosis gondii
B. Sexually Transmitted Infections (Primarily Inguinal
Lymphadenopathy)
Neisseria gonorrhoeae (gonorrhea)
Treponema pallidum (syphilis)
Herpes simplex virus

74
Haemophilus ducreyi (chancroid)
Chlamydia trachomatis serovars L1-3 (lymphogranuloma venereum)

C. Lymphocutaneous Syndromes
Bacillus anthracis (anthrax)
F. tularensis (ulceroglandular tularemia)
B. henselae (cat-scratch disease)
Pasteurella multocida (dog or cat bite)
Spirillum minus (spirillary rat-bite fever)
Y. pestis (plague)
Nocardia (nocardiosis)
Cutaneous diphtheria(Corynebacterium diphtheria)
Cutaneous coccidioidomycosis (Coccidioides immitis)
Cutaneous histoplasmosis (Histoplasmosis capsulatum)
Cutaneous sporotrichosis (S. schenckii)

75
76
iii. Pendekatan Klinis Limfadenopati
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik akan dapat
mengidentifikasi dengan mudah penyebab limfadenopati, seperti infeksi
saluran pernafasan atas, faringitis, penyakit periodontal, konjungtivitis,
limfadenitis, tinea, gigitan serangga, imunisasi, atau dermatitis.
1. Anamnesis
1.1 Umur Penderita
Pada pasien yang lebih muda dari 30 tahun, limfadenopati karena proses
jinak didapatkan sekitar 80 % dari pasien limfadenopati, sedangkan pada
orang tua yang dari 50 tahun, limfadenopati oleh karena proses keganasan
diperkirakan sekitar 60%.
Kelenjar getah bening umumnya tidak teraba pada bayi baru lahir. Pada
anak umur lebih muda, KGB yang teraba di daerah servikal, aksila, dan
inguinal sering masih dikatakan normal. "Shotty" limfadenopati adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya KGB yang tidak
terfiksasi, disebut demikian karena kemiripannya dengan ‘gotri’ di bawah
kulit. Anak kurang dari 5 tahun, dikatakan memiliki KGB yang teraba pada
anak sehat sebesar 44%, sedangkan 64% dari anak - anak yang sakit
memiliki KGB yang teraba. Kelenjar getah bening teraba yang paling
umum antara usia 3 dan 5 tahun.
1.2 Gejala Konstitutional
Gejala konstitusional yang sering dihubungkan dengan limfadenopati yang
ganas yaitu panas, keringat malam, penurunan berat badan lebih dari 10 %
dalam 6 bulan, pruritus atau rash, atralgia, atau fatigue. Sedangkan gejala
dengan atralgia, kelemahan otot dan adanya rash pada kulit sering
dihubungkan ke arah penyakit autoimun seperti rematoid artritis, lupus
eritematosus, atau dermatomyositis. Adanya limfadenopati servikalis
sering diikuti gejala konstitusional seperti fatigue, malaise, panas atau
nyeri menelan.

77
1.3 Riwayat Paparan
Paparan hewan dan serangga, penggunaan obat-obatan yang lama, kontak
dengan penyakit menular, dan riwayat infeksi berulang penting dalam
evaluasi limfadenopati. Paparan travel related dan status imunisasi harus
dicatat, karena banyak penyakit tropis atau nonendemic dapat dikaitkan
dengan limfadenopati persisten, termasuk tuberkulosis, tripanosomiasis,
tifus, leishmaniasis, tularemia, brucellosis, dan anthrax. Paparan
lingkungan seperti tembakau, alkohol, dan radiasi ultraviolet meningkatkan
kecurigaan kearah karsinoma metastasis pada organ, kanker kepala dan
leher, dan keganasan pada kulit. Paparan kerja terhadap silikon atau
berilium juga dapat menyebabkan limfadenopati. Riwayat seksual dan
orientasi seksual penting dalam menentukan penyebab limfadenopati
inguinalis dan leher rahim oleh karena penyakit menular seksual. Riwayat
penyakit keganasan dalam keluarga mungkin meningkatkan kecurigaan
penyebab limfadenopati oleh karena keganasan, seperti karsinoma
payudara atau sindrom familial dysplastic nevus dan melanoma.

Riwayat Paparan untuk Diagnosis Limfadenopati

Exposure Diagnosis
A. General

Cat Cat-scratch disease, toxoplasmosis


Undercooked meat Toxoplasmosis
Tick bite Lyme disease, tularemia
Tuberculosis Tuberculous adenitis
Recent blood transfusion or transplant Cytomegalovirus, HIV
High-risk sexual behavior HIV, syphilis, herpes simplex virus,
cytomegalovirus, hepatitis B infection
Intravenous drug use HIV, endocarditis, hepatitis B infection

78
B. Occupational

Hunters, trappers Tularemia


Fishermen, fishmongers, Erysipeloid
slaughterhouse workers
C. Travel-related

Arizona, southern California, New Coccidioidomycosis


Mexico, western Texas
Southwestern United States Bubonic plague
Southeastern or central United States Histoplasmosis
Southeast Asia, India, northern Scrub typhus
Australia
Central or west Africa African trypanosomiasis (sleeping
sickness)
Central or South America American trypanosomiasis (Chagas'
disease)
East Africa, Mediterranean, China, Kala-azar (leishmaniasis)
Latin America
Mexico, Peru, Chile, India, Pakistan, Typhoid fever
Egypt, Indonesia
Obat-Obatan Penyebab Limfadenopati

Medications That May Cause Lymphadenopathy

Allopurinol (Zyloprim) Hydralazine (Apresoline)


Atenolol (Tenormin) Penicillin
Captopril (Capozide) Phenytoin (Dilantin)
Carbamazepine (Tegretol) Primidone (Mysoline)
Cephalosporins Pyrimethamine (Daraprim)
Sulfonamides Quinidine

79
Sulindac (Clinoril)
1.4 Karakteristik dari Limfadenopati
1.4.1 Onset dan Durasi
Berdasarkan durasinya, limfadenopati akut jika pembesaran KGB terjadi
kurang dari 2 minggu, sedangkan limfadenopati subakut jika pembesaran
KGB berlangsung 2-6 minggu dan limfadenopati kronis jika pembesaran
KGB berlangsung lebih dari 6 minggu.
1.4.2 Ukuran
Kelenjar limfe lazimnya disebut normal jika ukuran diameternya tidak
lebih dari 1 cm; walaupun untuk lokasi tertentu beberapa pakar berbeda
pendapat, seperti jika nodus di epitrochlear jika lebih dari 0.5 cm atau di

inguinal lebih dari 1.5 cm harus dipertimbangkan sebagai abnormal.


1.4.3 Nyeri


Jika ukuran kelenjar limfe membesar dengan cepat, kapsulnya akan


meregang sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri yang terjadi biasanya akibat
proses inflamasi atau supurasi walaupun juga bisa akibat perdarahan ke
area nekrotik pada nodus yang mengalami keganasan. Pada pembesaran
KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak dan dapat digerakkan.
Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik
satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya
kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi
bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila
limfadenopati disebabkan keganasan, tanda-tanda peradangan tidak ada,
kelenjar akan keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena terikat dengan
jaringan di bawahnya.

1.4.4 Konsistensi 


Kelenjar yang konsistensinya keras seringkali merupakan pertanda


keganasan dan umumnya merupakan metastasis. Jika konsistensinya padat,

80
seperti karet umumnya merupakan limfoma. Jika lunak, seringkali
merupakan akibat infeksi atau inflamasi. Kelenjar yang mengalami

supurasi konsistensinya akan berfluktuasi.


1.4.5 Matting (seperti rangkaian anyaman)


Sekelompok kelenjar limfe yang saling berhubungan dan nampak seperti
satu unit disebut matted. Kelenjar yang bersama-sama tersebut bisa
benigna (seperti tuberkulosis, sarkoidosis atau limfogranuloma venereum)
atau maligna (seperti metastasis karsinoma atau limfoma).

1.4.6 Lokasi


Limfadenopati lokal lebih umum ditemukan dalam praktek sehari-hari


dibandingkan limfadenopati generalisata, dengan KGB di daerah leher
terlibat paling sering, diikuti oleh kelenjar inguinalis. Limfadenopati lokal
dapat terjadi dari infeksi kelenjar itu sendiri (lymphadenitis) atau dari
infeksi di daerah drainasenya. Jika limfadenopati generalisata, maka dalam
pemeriksaan fisik harus fokus pada mencari tanda-tanda penyakit sistemik.
Temuan yang paling membantu adalah ruam, lesi membran mukosa,
hepatomegali, splenomegali atau arthritis. Splenomegali dan limfadenopati
terjadi secara bersamaan di berbagai kondisi, termasuk infeksi
mononucleosis, leukemia limfositik, limfoma dan sarkoidosis.

Limfadenopati daerah kepala dan leher


Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati
servikal adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut
yang swasirna. Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease,
toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki,
limfadenopati dapat berlangsung selama beberapa bulan. Limfadenopati
supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.

81
Kelenjar getah bening servikal yang mengalami infl amasi dalam beberapa
hari, kemudian berfl uktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk
limfadenopati akibat infeksi stafi lokokus dan streptokokus. Kelenjar getah
bening servikal yang berfl uktuasi dalam beberapa minggu sampai
beberapa bulan tanpa tanda-tanda infl amasi atau nyeri yang signifi kan
merupakan petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau
Bartonella henselae (penyebab cat scratch disease).

Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut
dan perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher
(orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus).

Limfadenopati servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa


yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini dapat
juga disebabkan oleh mikobakterium non-tuberkulosa

82
Kelompok Kelenjar Getah Bening Berdasarkan Lokasi, Aliran Kelenjar dan
Kemungkinan Diagnosis Bandingnya

Location Lymphatic drainage Causes


Submandibular Tongue, submaxillary Infection of head,
gland, lips and mouth, neck,sinuses, ears, eyes, scalp,
conjunctivae pharynx
Sub mental Lowr lip, floor of Mononucleosis syndromes, Epstein-
mouth, tip of tongue, Barr virus,
skin of cheek cytomeglovirus, toxoplasmosiss
Jugular Tongue, tonsil, pinna, Pharyngitis organisms,
parotid rubella

83
Posterior Scalp and neck, skin Tuberculosis, lymphoma, head and
cervical of arm and neck malignancy
pectorals, thorax,
cervical and axillary
nodes
Suboccipital Scalp and head Local infection
Postauricular External auditory Local
meatus,
infection
pinna, scalp
Preauricular Eyelids and Extrernal auditory canal
conjunctivae,
temporal region, pinna
Right Mediastinum, lungs, Lung, retroperitoneal or
supracla esophagus gastrointestinal cancer
vicular node
Left Thorax, abdomen via Lymphoma, thoracic or retroperitoneal
supraclavicular thoracic duct cancer, bacterial or fungal infection
node
Axillary Arm, thoracic wall, Infection, cat-scratch disease,
breast lymphoma, breast cancer, silicone
implants, brucellosis, melanoma
Epitrochlear Ulnar aspect of Infections, lymphoma, sarcoidosis,
forearm and hand tularemia, secondary syphilis

Inguinal Penis, Infections of the leg or foot, STDs


scrotum,vulva, (e.g., herpes simplex virus, gonococcal
vagina, perineum, infection, syphilis, chancroid,
glutea region, lower granuloma inguinale,
abdominal wall, lymphogranuloma venereum),
lower anal canal lymphoma, pelvic malignancy,
bubonic plague

84
2. Pemeriksaan Fisik
2.1 Pemeriksaan Fisik Umum
Dalam pemeriksaan fisik, pemeriksa memeriksa penderita secara
menyeluruh mulai dari keadaan umum, tanda vital, status antropometrik
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik secara komplet dari kepala
sampai kaki.
1. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda vital : panas, anemia atau
tampak toksik (toxic appearing)
2. Status antropometrik : menggambarkan status gizi dan parameter
pertumbuhan
3. Kepala dan leher : Infeksi kulit (dermatitis seboroik, tinea kapitis),
konjungtiva pucat (keganasan, penyakit autoimun), konjungtivitis,
orofaring (faringitis, problem gigi, stomatitis) dan telinga (otiti media
akut)
4. Jantung dan paru : ronkhi (pneumonia), konsolidasi ((curiga TB)
5. Abdomen : hepatoslenomegali (sistemik proses : Epstein Barr virus,
Citomegalovirus, HIV,penyakit reumatik dan penyakit neoplastik),
dan massa abdomen (neuroblastoma)
6. Ekstremitas : adenopati inguinal dan aksila
7. Kulit : rash, petikie, purpura, ekimosis, lesi oleh karema traumatik,
atau curiga keganasan)

2.2 Pemeriksaan Fisik Lokal (Pemeriksaan Limfadenopati)


Dalam pemeriksaan palpasi KGB, yang perlu dipertimbangkan yaitu
lokasi, ukuran, nyeri, konsistensi dan fiksasi. Untuk pemeriksaan KGB
leher, pasien duduk atau berdiri menghadap pemeriksa. Tangan kanan
pemeriksa mengeksplorasi sisi kiri leher pasien dan kemudian tangan kiri
dari pemeriksa mengeksplorasi sisi kanan pasien leher. Mulai dari bagian
atas leher dan turun, Semua nodus limfa harus dievaluasi termasuk

85
preauricular, auricularis posterior, oksipital, servikal superior, servikal
posterior, submaxilaris, submental, dan supraclavicular.

Gambaran Klinis Untuk Membedakan Limfadenopti Jinak Dengan Ganas4

Feature Malignant Benign


Size >2 cm < 2cm (< 1cm)
Consistency Hard, firm, or rubbery Soft
Duration > 2 weeks < 2 weeks
Mobility Fixed Mobile
Surroundings Attached (invasion) Not Attached
Location Supraclavicular,epthrochlear, Inguinal, submandibular
generalized
Tenderness Usually non-tender Usually tender
iv. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding Limfadenopati
I. Nonspecific reactive hyperplasia (polyclonal)
II. Infection
A. Bacterial :
Staphylococcus, streptococcus, anaerobes, tuberculosis, atypical
mycobacteria, bartonella henselae, brucellosis, salmonella typhi,
diphtheri, C. Trachomatis (lymphogranuloma venereum),
calymmatobacterium granulomatosis, francisella tularensis
B. Viral :
Epstein-Barr virus, cytomegalovirus, adenovirus, respiratory syncytial
virus, influenza, coxsackie virus, rubella, rubeola, varicella, HIV, herpes
simpleks II
C. Protozoal :
Toxoplasmosis, malaria, trypanosomiasis
D. Pirochetal :

86
Syphilis, rickettsia typhi (murine typhus)
E. Fungal :
Cocecidiodomycosis (valley fever), histoplamosis, cryptococcus,
aspergillosis
F. Postvaccination : Smallpox, live attenuated measles, DPT, Salk
Vaccine, typhoid fever

III. Connective Tissue Disorder


A. Rheumatoid arthritis
B. Systemic lupus erythematosus
IV. Hipersensitivity States
A.Serum sickness
B. Drug reaction (e.g., Dilantin, mepheniytoin, pyrimethamine,
phenylbutazone, allupurinol, isoniazid, antileprosy, and antithyroid
medications)
V. Lymphoproliferative disorders

A.Angioimmunoblastic lymphadenopathy with dysproteinemia


B.X-linked lymphoproliferative syndrome
C.Lymphomatoid granulomatosis
D.Sinus histiocytosis with massive lymphadenophaty (Rosai-Dorfman
disease)
E.Castleman disease (benign giant lymph node hyperplasia,
angiofollicular lymph node hyperplasia
F.Autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS) (Canale-Smith
syndrome) G. Post-transplant lymphoproliferative disorder (PTLD)
VI.Neoplastic diseases

A.Hodgkin and non-Hodgkin lymphomas


B.Leukemia
C.Metastatic disease from solid tumors : neuroblastoma,
nasopharyngeal carcinoma, Rhabdomyosarcoma, thyroid cancer

87
D.Histiocytosis
1. Langerhans cell histiocytosis
2. Familial hemophagocytic lymphohistiocytosis
3. Macrophage activation syndrome
4. Malignant histiocytosis
VII. Storage disease
A. Niemann-Pick disease
B. Gaucher disease
C. Cystinosis
VIII.Immunodeficiency states

A. Chronic granulomatous disease


B. Leukocyte adhesion deficiency
C. Primary dysgammaglobulinemia with lymphadenopathy
IX.Miscellaneous causes
A. Kawasaki disease (mucocutaneous lymph node syndrome)
B. Kikuchi-Fujimoto disease
C. Sarcoidosis
D. Beryllium exposure
E. Hyperthyroidism
v. Algoritma Evaluasi Diagnosis Limfadenopati
Pendekatan diagnostik limfadenopati pada anak bervariasi, mulai dari observasi
sampai pemeriksaan diagnostik yang komprehensif dan tindakan medis yang
agresif serta pembedahan. Hal ini tergantung dari apa yang ditemukan dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan bukan hanya dari satu pendekatan saja.

Limfadenitis Servikalis

88
89
90
II. Hitung Darah Lengkap Dengan diferensial dan hitung Trombosit

Ukuran sel darah merah ditunjukkan dengan mean corpuscular volume


(MCV) atau volume korpuskular rata-rata dan mean corpuscular hemoglobin
concretation (MCHC) atau konsentrasi hemoglobin korpuskular rata-rata yang
memberi informasi tambahan pada pasien penderita anemia. Sel darah merah juga
diperiksa RDW (red cell size distribution width) didalam sampel darah. Jika RDW
tinggi, hal ini berarti ada rentang ukuran sel darah merah yang cukup luas di dalam
sampel darah. RDW bermanfaat untuk membedakan jenis-jenis anemia yang
hampir sama. Sebagai contoh pasien dengan selmikrositik (kecil) yang memiliki
RDW normal dapat mengalami abnormalitas hemoglobin seperti talasemia,
sementara pasien drngan sel mikrositik yang hampir sama tetapi RDW tinggi lebih
tinggi cenderung mengalami defisiensi zat besi. Kombinasi nilai sel darah merah
lainnya memberi penanda yang berbeda untuk etiologi gangguan darah.
Pemeriksaan darah lainnya adalah golongan darah ABO dan antigen Rh
serta pemeriksaan untuk mengidentifikasi adanya mikroorganisme dan titer
antibodi. Laju sedimentasi eritrosit (SED) adalah pemeriksaan yang mengevaluasi
kecenderungan sel darah merah untuk terpisah dari bagian darah yang tidak
membeku dalam satu jam. Pemeriksaan ini berdasarkan fakta bahwa inflamasi dan
proses lain yang hampir sama menstimulasi hepar untuk melepaskan sejumlah
protein ke dalam darah, yang menyebabkan sel darah beragregasi bersama-sama,
menjadi lebih berat dan akhirnya mengendap ke dasar wadah. Karena hal ini, laju
SED sering kali meningkat secara tidak spesifik pada penyakit inflamasi.

Nilai Hitung Darah Lengkap Dengan differensial Dan Hitung Trombosit


(Orang Dewasa)
• Hitung sel darah merah: 4,0-5,5 juta/ml darah
• Hitung sel darah putih: 5.000-10.000/ml darah
• Hitung trombosit: 140.000-40.0000/ml darah

91
• Hematokrit (% sel darah merah): 42-52% untuk pria; 36-48% untuk
wanita)
• Hemoglobin:14,0-17,5 gram/100 ml untuk pria; 12,0-16,0 gram/100 ml
untuk wanita
• Neutrofil: 50%-62%
• Eosinofil: 0%-3%
• Basofil:0%-1%
• Limfosit:25%-40%
• Monosit:3%-7%

Pemeriksaan Ukuran Sel Darah Merah dan Hemoglobin (dewasa)


• MCV: 82-98 fL/sel darah
• MCHC: 32-36 g/dL
• RDW:11,5-14,5 koefisien variasi ukuran sel darah merah

Laju Sedimentasi
• Laju SED: 0-20 mm/jam

Waktu Pembekuan
Waktu pembekuan adalah lama waktu pembekuan yang terjadi setelah
penusukan luka standart pada kulit. Waktu pembekuan diukur dalam menit dan
mengindikasikan status fungsi trombosit, terutama efektifitas sumbatan trombosit.
Waktu pembekuan tidak lebih dari 15 menit (normal: 3,0-9,0 menit) untuk
penusukan lengan.
Masa Troboplastin parsial/protombin
PTT (pratial thromboplastin time) dan PT (prothrombin time) mendeteksi
defisiensi dalam aktifitas berbagai faktor pembekuan. Kedua pemeriksaan
mengevaluasi bekuan dalam sampel darah vena.
PTT menunjukkan efektifitas jalur intrinsik koagulasi dan tidak boleh lebih
dari 90 detik (normal: 30 sampai 40 detik). Pemeriksaan ini penting dalam
menentukan efektifitas dan keamanan terapi herapin.

92
PT mendemonstrasikan efektifitas faktor koagulasi vitamin K-dependen,
terutama jalur ekstrinsik dan jalur umumnya koagulasi. PT seharusnya tidak lebih
dari 40 detik, atau sampai 2,5 kali level kontrol (normal: 11 sampai 13 detik). PT
digunakan untuk menentukan efektifitas terapi warfarin (Coumadin).

III. Biopsi
Biopsi terbagi menjadi :
 Biopsi tertutup : Tanpa membuka kulit,Bisa dikerjakan oleh disiplin non-bedah
Biopsi Tertutup :Bahan sedikit/kurang representative, Dapat ditingkatkan dengan
biopsi terbuka, Contoh : FNAB, Core Biopsy, Cairan cyste-sputum-darah-ascites, dan
Endoscopy.
 Biopsi terbuka : Dengan membuka kulit/mukosa, Biasanya dikerjakan oleh
disiplin bedah, dan Akan mendapatkan spesimen yang lebih representative
Biopsi terbuka : Biasanya dikerjakan oleh disiplin bedah, Dengan membuka
kulit/mukosa, Pemeriksaan yang dikerjakan : histo-patologi, dan Macamnya : Biopsi
insisi, Biopsi eksisi
 Biopsi Insisional
Yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan dengan pisau bedah. Dengan
pisau bedah, kulit disayat hingga menemukan massa dan diambil sedikit untuk
diperiksa.Teknik suatu biopsi insisional antara lain :

 Tentukan daerah yang akan dibiopsi.


 Rancang garis eksisi dengan memperhatikan segi kosmetik.
 Buat insisi bentuk elips dengan skalpel nomor 15.
 Angkat tepi kulit normal dengan pengait atau pinset bergerigi halus.
 Teruskan insisi sampai diperoleh contoh jaringan. Sebaiknya contoh jaringan
ini jangan sampai tersentuh.
 Tutup dengan jahitan sederhana memakai benang yang tidak dapat diserap.

93
 Biopsi Eksisional
Yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai disertai jaringan sehat di
sekitarnya. Metode ini dilakukan di bawah bius umum atau lokal tergantung
lokasi massa dan biasanya dilakukan bila massa tumor kecil dan belum ada
metastase . Tehnik biopsi eksisional, adalah sebagai berikut :
- Rancang garis eksisi,
- Sebaiknya panjang elips empat kali lebarnya.
- Lebar maksimum ditentukan oleh elastisitas, mobilitas, serta banyaknya kulit
yang tersedia di kedua tepi sayatan.
- Banyaknya jaringan sehat yang ikut dibuang tergantung pada sifat lesi, yaitu:
- Lesi jinak, seluruh tebal kulit diangkat berikut kulit sehat di tepi lesi dengan
sedikit lemak mungkin perlu dibuang agar luka mudah dijahit.
- Karsinoma sel basal, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 0.5 s/d 1
cm kulit sehat.

94
- Karsinoma sel skuamosa, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 1 s/d 2
cm kulit sehat.
- Insisi dengan skalpel nomor 15 hingga menyayat seluruh tebal kulit.
- Inspeksi luka dan atasi perdarahan.
- Tutup dengan jahitan sederhana menggunakan benang yang tidak dapat
diserap.

 Biopsi Jarum
Yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara disedot lewat
jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar
jarum). Bisa dilakukan secara langsung atau dibantu dengan radiologi seperti
CT scan atau USG sebagai panduan untuk membuat jarum mencapai massa
atau lokasi yang diinginkan.

95
Biopsi jarum dibagi atas FNAB (fine needle aspiration biopsy)/ BAJAH
(Biopsi Aspirasi Jarum halus), dan Core biopsy. Bila biopsi jarum
menggunakan jarum berukuran besar maka disebut core biopsi, sedangkan
bila menggunakan jarum kecil atau halus maka disebut fine needle aspiration
biopsi.

Sebagai praktisi, meminta hasil CBC akan membantu untuk mendeteksi


penyebab oleh infeksi mononukleosis, leukimia, atau limfoma. Neutrofil
jarang terlihat di infeksi yang parah. Neutropenia dan trombositopenia
mungkin berguna dalam diagnosis penyakit sistemik . Serologi mungin
berguna untuk mendeteksi keberadaan komponen antibodi spesifik dari
toxoplasma, EBV, CMV, herpes simplex virus (HSV), atau klamidia.

5.4 Anatomi dan Fisiologi KGB


A. Anatomi sistem limfatik
Secara garis besar sistem limfatik tubuh dapat dibagi atas sistem konduksi,
jaringan limfoid dan organ limfoid. Sistem konduksi mentransportasi limfe dan
terdiri atas pembuluh-pembuluh tubuler yaitu kapiler limfe, pembuluh limfe dan
duktus torasikus. Hampir semua jaringan tubuh memiliki pembuluh atau saluran

96
limfe yang mengalirkan cairan dari ruang interstisial.
Definisi jaringan limfatik (atau yang sering disebut jaringan limfoid) adalah
jaringan penyambung retikuler yang diinfiltrasi oleh limfosit. Jaringan limfoid
ini terdistribusi luas di seluruh tubuh baik sebagai organ limfoid ataupun sebagai
kumpulan limfosit difus dan padat. Organ limfoid sendiri merupakan massa atau
sekumpulan jaringan limfoid yang dikelilingi oleh kapsul jaringan penyambung
atau dilapisi oleh epitelium.

Sistem limfe tubuh dan kelompok kelenjar limfe utama

a. Pembuluh limfe
Semakin ke dalam ukuran pembuluh limfe makin besar dan berlokasi dekat
dengan vena. Seperti vena, pembuluh limfe memiliki katup yang mencegah
terjadinya aliran balik. Protein yang dipindahkan dari ruang interstisial tidak
dapat direabsorbsi dengan cara lain. Protein dapat memasuki kapiler limfe
tanpa hambatan karena struktur khusus pada kapiler limfe tersebut, di mana
pada ujung kapiler hanya tersusun atas selapis sel-sel endotel dengan susunan

97
pola saling bertumpang sedemikian rupa seperti atap sehingga tepi yang
menutup tersebut bebas membuka ke dalam membentuk katup kecil yang
membuka ke dalam kapiler. Otot polos di dinding pembuluh limfe
menyebabkan kontraksi beraturan guna membantu pengaliran limfe menuju
ke duktus torasikus.

Struktur khusus kapiler limfe

b. Jaringan limfoid
Jaringan limfoid terdiri atas nodus dan nodulus limfoid yang mempunyai
ukuran dan lokasi bervariasi. Ukuran nodus biasanya lebih besar, panjangnya
berkisar 10 - 20 mm dan mempunyai kapsul; sedangkan nodulus panjangnya
antara sepersekian milimeter sampai beberapa milimeter dan tidak
mempunyai kapsul.Dalam tubuh manusia terdapat ratusan nodus limfoid ini
(kelenjar limfe atau kelenjar getah bening) yang tersebar dengan ukuran
antara sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Meskipun ukuran kelenjar-
kelenjar ini dapat membesar atau mengecil sepanjang umur manusia, tiap
kelenjar yang rusak atau hancur tidak akan beregenerasi. Jaringan limfoid
berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh yang bertugas untuk menyerang
infeksi dan menyaring cairan limfe (atau cairan getah bening).
Berdasarkan lokasi sebagian besar nodus limfoid ini berkelompok di daerah-
daerah tertentu misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak dan sela paha.
Jaringan limfoid mukosa yang terorganisasi terdiri atas plak Peyer (Peyer’s
patch) di usus kecil, tonsil faring dan folikel limfoid yang terisolasi.

c. Organ limfoid

98
Menurut tahapan perkembangan dan maturasi limfosit yang terlibat di
dalamnya, organ limfoid terbagi atas:
1) Organ limfoid primer atau sentral, yaitu kelenjar timus dan bursa fabricius
atau sejenisnya seperti sumsum tulang. Membantu menghasilkan limfosit
virgin dari immature progenitor cells yang diperlukan untuk pematangan,
diferensiasi dan proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang
dapat mengenal antigen,
2)Organ limfoid sekunder atau perifer, yang mempunyai fungsi untuk
menciptakan lingkungan yang memfokuskan limfosit untuk mengenali
antigen, menangkap dan mengumpulkan antigen dengan efektif, proliferasi
dan diferensiasi limfosit yang disensitisasi oleh antigen spesifik serta
merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limfoid sekunder yang
utama adalah sistem imun kulit atau skin associated lymphoid tissue (SALT),
mucosal associated lymphoid tissue (MALT), gut associated lymphoid tissue
(GALT), kelenjar limfe, dan lien.

Struktur kelenjar getah bening (KGB)

Seluruh organ limfoid memiliki pembuluh limfe eferen tetapi hanyanodus limfatikus
yang memiliki pembuluh limfe aferen. Nodul limfoid dikelilingi oleh kapsul fibrosa

99
di mana terdapat proyeksi jaringan penyambung dari kapsul ke dalam nodus limfoid
menembus korteks dan bercabang hingga ke medula yang disebut trabekula yang
memisahkan korteks nodus limfoid menjadi kompartemen-kompartemen yang
inkomplit yang disebut folikel limfoid. Nodulus limfoid tersusun atas massa padat
dari limfosit dan makrofag yang dipisah oleh ruang-ruang yang disebut sinus limfoid.
Di bagian tengah terdapat massa ireguler medula.Pembuluh eferen meninggalkan
nodus dari regio yang disebut hilum.

Potongan melintang nodus limfoid

B. Fisiologi sistem limfatik

Sistem limfe merupakan suatu jalan tambahan tempat cairan dapat mengalir dari ruang
interstisial ke dalam darah sebagai transudat di mana selanjutnya ia berperan dalam respon
imun tubuh. Secara umum sistem limfatik memiliki tiga fungsi yaitu:

1) Mempertahankan konsentrasi protein yang rendah dalam cairan interstisial sehingga


protein-protein darah yang difiltrasi oleh kapiler akan tertahan dalam jaringan, memperbesar
volume cairan jaringan dan meninggikan tekanan cairan interstitial. Peningkatan tekanan
menyebabkan pompa limfe memompa cairan interstisial masuk ke kapiler limfe membawa
protein berlebih yang terkumpul tersebut. Jika sistem ini tidak berfungsi maka dinamika

100
pertukaran cairan pada kapiler akan menjadi abnormal dalam beberapa jam hingga
menyebabkan kematian,
2) Absorpsi asam lemak, transpor lemak dan kilus (chyle) ke sistem sirkulasi,
3) Memproduksi sel- sel imun (seperti limfosit, monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang
disebut sel plasma). Nodus limfoid mempersiapkan lingkungan tempat limfosit akan
menerima paparan pertamanya terhadap antigen asing (virus, bakteri, jamur) yang akan
mengaktivasi limfosit untuk melaksanakan fungsi imunitas.

C. Drainase sistem limfe tubuh


Drainase limfe merupakan organisasi dua area drainase yang terpisah dan tidak sama, yaitu
area drainase kanan dan kiri. Secara normal aliran limfe tidak akan melewati aliran drainase
sisi yang berseberangan. Struktur-struktur dari tiap area akan membawa limfe ke tujuan
masing- masing, kembali ke sistem sirkulasi. Area drainase bagian kanan menerima aliran
limfe dari sisi kanan kepala, leher, bagian lengan kanan, serta bagian kuadran kanan atas
tubuh. Aliran limfe dari daerah-daerah tersebut akan mengalir ke duktus limfatikus kanan
yang akan mengalirkan limfe ke sistem sirkulasi melalui vena subklavia kanan. Area drainase
kiri membawa limfe yang berasal dari sisi kiri daerah kepala, leher, lengan kiri, dan kuadran
kiri atas tubuh, tubuh bagian bawah serta kedua tungkai. Sisterna sili secara temporer
menyimpan limfe saat mengalir ke atas dari bagian bawah tubuh. Duktus torasikus membawa
limfe ke atas menuju duktus limfatikus kiri yang akan mengalirkan limfe ke sistem sirkulasi
melalui vena subklavia.

Gambar 4. Drainase aliran limfe

101
D. Pembentukan cairan limfe
Limfe atau cairan limfe berasal dari plasma darah arteri yang kaya nutrisi. Pada ujung kapiler
aliran darah melambat sehingga plasma keluar menjadi cairan jaringan yang disebut cairan
interseluler atau interstisial. Cairan jaringan ini membawa nutrien, oksigen dan hormon yang
dibutuhkan oleh sel (gambar 5). Sekitar 90% cairan jaringan kemudian akan mengumpulkan
hasil produk metabolisme sel kembali ke kapiler menjadi plasma sebelum melanjutkan
perjalanannya kembali ke sirkulasi vena. Cairan limfe adalah 10% cairan jaringan yang
tertinggal.
Jika peran cairan interstitial membawa nutrisi yang dibutuhkan sel maka peranan limfe
adalah membawa produk metabolisme untuk dibuang. Kapiler limfe sangat permeabel dan
mengumpulkan cairan jaringan dan protein. Limfe terus menerus bersirkulasi sehingga cairan
yang tadinya jernih menjadi kaya protein karena melarutkan protein dari dan antar sel.

Kapiler limfe kemudian menyatu membentuk vasa limfatika yang lebih besar dengan susunan
menyerupai vena. Pada vasa limfatika tidak terdapat pompa namun limfe tetap mengalir yang
mempercepat aliran balik vena untuk kembali menjadi plasma.

Mekanisme terbentuknya cairan limfe

E. SISTEM LIMFATIK KEPALA DAN LEHER


a. Kelenjar limfe leher
Terdapat perbedaan perkiraan jumlah nodus limfoid pada kepala dan leher menurut para
ahli. Bailey dan Love melaporkan sejumlah 300 nodus terdapat di leher. Cummings dkk
melaporkan sepertiga dari lebih 500 kelenjar limfe di tubuh terletak di atas

102
klavikula.Menurut Roezin sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat di setiap sisi leher dan
kebanyakan pada rangkaian jugularis interna dan spinalis assessorius. Kelenjar limfe
yang selalu terlibat dalam metastasis adalah kelenjar limfe di rangkaian jugularis interna
yang terbentang dari klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini
dibagi dalam kelompok superior, media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain
adalah submental, sub mandibula, servikalis superfisialis, retrofaring, paratrakeal,
spinalis asesorius, skalenus anterior, dan supraklavikula.

Gambar 6. Kelompok kelenjar limfe leher

b. Penataan kelompok kelenjar limfe daerah kepala dan leher


Agar lebih mudah membicarakan lokasi dari temuan klinis daerah leher, maka leher
dibagi dalam bentuk segitiga-segitiga yang dipisahkan oleh otot sternokleidomastoid
menjadi segitiga anterior dan posterior. Segitiga posterior dibatasi oleh otot trapezius,
klavikula, serta sternokleidomastoid. Segitiga anterior dibatasi oleh m. sternohioid,
digastrikus, dan sternokleidomastoid.
Segitiga-segitiga tersebut kemudian terbagi lagi menjadi segitiga-segitiga yang lebih
kecil; dalam segitiga posterior terdapat segitiga supraklavikular dan segitiga oksipital.
Segitiga anterior terbagi atas submandibula, karotid, dan segitiga muskular .

Pembagian kelompok kelenjar limfe leher bervariasi dan salah satu sistem klasifikasi
yang sering dipergunakan adalah menurut Sloan Kettering Memorial Center Cancer

103
Classification sebagai berikut:
I. Kelenjar di segitiga submental dan submandibula
II. Kelenjar-kelenjar yang terletak di 1/3 atas, termasuk kelenjar limfe jugular
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar limfe servikal postero superior.
III. Kelenjar limfe jugularis antara bifurkasio karotis dan persilangan m.omohioid
dengan m. sternokleidomastoid dan batas posterior m. sternokleidomastoid.
IV. Kelompok kelenjar daerah jugularis inferior dan supraklavikula
V. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal.

Daerah kelenjar limfe leher menurut Sloan Kattering Memorial Center Cancer Classification

Klasifikasi
 lainnya adalah menurut Robbins dkk dari Committee for Head and Neck

Surgery and Oncology of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) tahun 1991 yang kemudian dimodifikasi dan diperbaharui pada tahun 2002
(gambar 9). Klasifikasi tersebut merupakan modifikasi dari Memorial Sloan Kettering Cancer
Center yang mengacu pada lokasi topografi tertentu daerah leher sesuai pola konsisten
kelenjar limfe yang ada. Pembagian ini mengakibatkan acuan kelenjar limfe adalah sesuai
levelnya dan bukan kelenjar limfe tertentu. Contohnya kelompok kelenjar limfe juguler
inferior terletak di area IV sementara kelenjar jugulodigastrik berada di level II. Menurut
klasifikasi ini, daerah leher dibagi atas 6 level yaitu level I hingga VI dan tiap-tiapnya
menaungi kelompok kelenjar limfe spesifik. Level I akan dibagi menjadi level I A dan IB,
level II menjadi IIA dan II B, dan level V menjadi level VA dan VB, lebih jelasnya sebagai
sebagai berikut:

- Level IA merupakan tempat kelenjar limfe submental dan submandibula. 


104
- Level II A dan II B berlokasi di anteromedial saraf spinal assessorius sementara level II
B berlokasi di bagian posteromedialnya.

- Level III dan level IV terletak sepanjang rantai jugular tengah dan bawah 


- Level V membatasi kelompok kelenjar di segitiga posterior. Level V A dan V B dipisah

oleh garis horisontal yang terletak di inferior kartilago krikoid. 


- Level VI merupakan kompartemen sentral yang berisi kelenjar paratrakea, retrosternal,

prekrikoid, dan pretiroid. 


Pembagian level area leher menurut Committee for Head and Neck Surgery and
Oncology of the American Acade

105
VI. Kerangka Konsep

Hospes definitif:
Kucing

Ekskresi ookista
ke feses

Kontaminasi tanah
atau suplai air

Kurang cuci tangan dan sanitasi


dapur buruk, berkebun

Lisa 19 tahun terinfeksi

Cervical Limphadenopathy subkronik et causa Toksoplasmosis

Permeriksaan Patologi Klinik Permeriksaan Patologi Anatomi

Hb: normal, Leukositosis, FNAB: sel epiteloid Hasil biopsi eksisi Serologi:
LED: normal, Diff count dengan limfosit matur (Histopatologi): IgM (-),
limfadenitis kronis reaktif
normal, LDH normal, Urin IgG (+)
granulomatosa limfadenopati
rutin normal

Pencegahan : screening

VII. Simpulan/Rangkuman

106
Lisa, 19 tahun mengalami cervical limphadenopathy subkronik et causa infeksi
parasit Toxoplasma gondii.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Aster, Kumar. (2018). Robbins Basic Pathology : Inflammation and Repair
(10th ed.). Philadlphia : Elsevier Inc.

Allen, D.C. dan Cameron, I.R., 2012, Histopathology Specimens: Clinical, Pathological and
Laboratory Aspects, Edisi 2, Springer, London

F. Goljan, Edward. (2010). Goljan Rapid Review Pathology : Inflammation and


Repair (3rd ed.). Philadelphia : Elsevier Inc.

Goljan, E.F., 2014, Rapid Review Pathology Fourth Edition, Elsevier Saunders, Philadelphia.

Glick, E. P. (2014). Cervical lymphadenopathy in the dental patient: A review of


clinical approach. Quintessence international , 423-436.

John W Ryder, MD. 2015. Toxoplasmosis Pathology.


https://emedicine.medscape.com/article/1743814-overview#a9

Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto,
Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC

Murat Hökelek, MD, PhD. 2017. Toxoplasmosis.


https://emedicine.medscape.com/article/229969-overview#a5

Oehadian, A. (2013). Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. IDI, 727-732.

Sudoyo A, e. a. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Suyatno, Emir Pasaribu,Diagnostik dan terapi Bedah Onkologi,Sagung Seto 2009

107
108

Anda mungkin juga menyukai