Anda di halaman 1dari 29

KEPADA YTH :

DIAJUKAN TANGGAL :

KASUS HEAD and NECK

LAKI-LAKI 25 TAHUN DENGAN SIALADENITIS


KRONIK DAN SIALOLITHIASIS

Oleh:

dr. Ike Chandra Putri

Pembimbing:

dr. Farah Hendara Ningrum, Sp.Rad(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020

1
DAFTAR ISI

JUDUL ..................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 2
2.1 Anamnesis ............................................................................................ 2
2.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 3
2.4 Diagnosis Klinis ................................................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
3.1 Anatomi Glandula Saliva ................................................................... 7
3.2 Kelenjar Parotis .................................................................................. 7
3.3 Kelenjar Submandibula ..................................................................... 8
3.4 Kelenjar Sublingual ............................................................................ 9
3.5 Kelenjar Saliva Minor ........................................................................ 10
3.6 Mekanisme Sekresi Saliva .................................................................. 10
3.7 Sialadenitis dan Sialolithiasis ............................................................. 11
A. Sialadenitis ....................................................................................... 11
B. Sialolithiasis ..................................................................................... 15
3.8 Chronic Sclerosing Sialadenitis / Kuttner tumor ............................... 17
3.9 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 18
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1000 hingga 1500 ml air liur
yang dihasilkan oleh kelenjar liur. Jika aliran atau produksi air liur ini berkurang,
bakteri bisa menyerang dan bisa menimbulkan infeksi. Salah satu infeksi yang
dapat terjadi pada kelenjar liur adalah sialadenitis dan apabila ada sumbatan
sekresi air liur akan menyebabkan sialolithiasis.1 Sialadenitis adalah infeksi pada
glandula saliva kemungkinan penyakit ini disebabkan karena adanya stasis
saliva, akibat adanya obstruksi atau berkurangnya produksi saliva. Sebagian
besar penyakit ini melibatkan kelenjar parotis, dan terkadang juga melibatkan
kelenjar submandibula.2
Angka kejadian penyakit sialadenitis bakteri akut yang masuk dan dirawat
di rumah sakit adalah 0,01% sampai 0,02% dari pasien dirawat di rumah sakit.
Sebagian besar pasien adalah orang-orang dewasa, namun kondisi ini juga dapat
terjadi neonatus, bayi prematur, dan anak-anak. Sialadenitis kronis berulang
terjadi 10 kali lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-
anak, dengan rentang usia 50 sampai 60 tahun pada orang dewasa dan 4 bulan
sampai 15 tahun pada anak-anak. 3
Sialolithiasis merupakan penyakit yang sering terjadi pada glandula saliva,
diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada
laki – laki dan perempuan adalah 1,04 : 1, dan usia paling banyak terjadi antara
25 – 50 tahun. Sialolithiasis biasanya berhubungan dengan suatu peradangan
kelenjar liur (sialadenitis) yang disebabkan oleh terbentuknya batu atau sebagai
akibat sumbatan duktus kelenjar liur. 5

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 6Anamnesa dan Riwayat Penyakit


Keluhan Utama : Benjolan di leher
Pasien masuk R.S dengan keluhan benjolan dileher disertai rasa sakit
saat menelan yang dirasakan sejak 2 bulan belakangan ini, pada awalnya nyeri
saat menelan tiba-tiba dirasakan, selain itu pasien mengeluhkan mulut hingga
leher terasa tidak nyaman kemudian mulai tampak pembesaran atau terasa
bengkak di bagian bawah lidah sebelah kanan dan semakin hari semakin terasa
nyeri saat menelan hingga membuat pasien sulit berbicara dan makan, pasien
juga mengeluhkan sempat demam selama 5 hari pada hari kedua munculnya
keluhan. Keluhan saat ini dirasakan 2-3 bulan belakangan. Saat tiba di rumah
sakit pasien juga mengeluhkan sulit membuka mulut karena pembengkakan
yang semakin besar. BAB baik, BAK lancar.
Pasien sebelumnya terdapat riwayat yang sama dan sudah dioperasi
kurang lebih sebanyak 5x di RSUD kartini terahir operasi bulan November
2019. Dirujuk ke RS dr. Kariadi karena keluhan berulang kembali.

2.2 Pemeriksaan fisik

- Keadaan umum: Baik


- Kesadaran: Compos Mentis E4 V5 M6
- Tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,9oC

4
- Kepala :
Bentuk : normocephal, tampak bengkak pada regio mandibula hingga leher
bagian atas, nyeri tekan (+), teraba keras (+).
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), isokor (+/+),
Hidung : rhinorrhea (-/-)
Telinga : otorrhea (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (sulit dinilai)
- Leher :
Kelenjar GB : pembesaran kelenjar di daerah rantai jugularis kanan. Teraba
lunak, permukaan licin tidak berbenjol-benjol, tepi regular dan nyeri tekan.
St lokalis : tampak scar (+), teraba massa (+), mobile (+), NT (-), diameter
massa sekitar 2 cm.
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : tidak dilakukan pemeriksaan
- Thoraks
- Paru-paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wh (-/-)
- Jantung
Auskultasi : BJ S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
Inspeksi : perut tampak cekung kesan normal
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : tympani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)

2.3 Pemeriksaan Penunjang


2.3.1 Pemeriksaan Hematologi
Hematologi paket Kimia klinik :
Hb : 15,9 g/dL GDS : 84 mg/dL
Ht : 46,7 g SGOT : 27 u/L

5
Eritrosit : 5,27 x 10-6/uL SGPT : 39 u/L
MCH : 30,2 pg
MCV : 88,6 fL Elektrolit :
MCHC : 34 g/dL Na/cal/clor : 139/4.3/104 mmol/L
Leukosit : 5.6 x 10-3 /uL Ur/ cr : 12/1.10 mg/dL
Trombosit : 242 x 10-3 Imunologi
RDW : 12.3 % HbsAg : < 0.10
MPV : 9,6 fL

2.3.2 Pemeriksaan Radiologi


MSCT Soft Tissue Leher Dengan Kontras (13 Desember 2019)

6
Kesan :
Pembesaran glandula submandibula kanan dengan dilatasi Wharton dan ductus
sublingualis kanan kiri disertai multiple sialolithiasis pada regio submandibula kanan
hingga sublingualis kanan kiri (ukuran terbesar 1.08 x 1,34 x 1.65 cm, pada
submandibula kanan) dan sialadenitis → curiga chronic sclerosing sialadenitis
(Kuttner’s tumor), DD/ Sjogren syndrome

2.3.3 Pemeriksaan Histopatologi

Patologi anatomi (07 Januari 2020)


Keterangan Klinik :
Sediaan operasi tumor submandibula, laki – laki usia 25 tahun, diagnosis klinik massa
mandibula kanan.

Waktu fiksasi : 24 jam

7
Makroskopik :
Diterima 1 potongan jaringan disertai 9 buah batu dengan ukuran 7x5x3 cm, warna
coklat kehitaman, padapotongan kelanjar ubmandibula warna putih batas tegas, dengan
ukuran diameter 2 cm, cetak sebagian 3 kaset

Mikroskopik :
Sediaan dari tumor submandibula menunjukkna stroma jaringan ikat fibrous sembab,
hiperemis disertai perdarahan bersebukan limfosit, histiosit dan sel datia berinti banyak
mengandung kelenjar- kelenjar seromukus dilapisi epiel kuboid selapis. Tak tampak
tanda ganas.

Kesimpulan :
Radang kronik granulomatous

2.4 Diagnosis klinis :


Sialadenitis kronik disertai sialolithiasis

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Glandula Saliva


Glandula saliva pada manusia terdiri dari 3 glandula saliva mayor yaitu
kelenjar parotis, submandibular dan sublingual.5

Gambar.1 Anatomi dari kelenjar saliva.4

Manusia memiliki kelenjar saliva yang terbagi menjadi kelenjar saliva mayor
dan minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari sepasang kelenjar parotis,
submandibular dan sublingual. Kelenjar saliva minor jumlahnya ratusan dan
terletak di rongga mulut. Kelenjar saliva mayor berkembang pada minggu ke-6
sampai ke-8 kehidupan embrio dan berasal dari jaringan ektoderm. Kelenjar saliva
minor berasal dari jaringan ektoderm oral serta endoderm nasofaring dan
membentuk sistem tubuloasiner sederhana.5

3.2 Kelenjar Parotis


Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar, terletak di region
preaurikula dan berada dalam jaringan subkutis. Kelenjar ini memproduksi secret

9
yang sebagian besar berasal dari sel-sel asini. Kelenjar parotis terbagi oleh nervus
fasialis menjadi kelenjar supraneural dan kelenjar infraneural. Kelenjar
supraneural ukurannya lebih besar daripada kelenjar infraneural. Kelenjar parotis
terletak pada daerah triangular yang selain kelenjar parotis, terdapat pula
pembuluh darah, saraf, serta kelenjar limfatik.6
Produk dari kelenjar saliva disalurkan melalui duktus Stensen yang keluar dari
sebelah anterior kelenjar parotis, yaitu sekitar 1,5 cm di bawah zigoma. Duktus ini
memiliki panjang sekitar 4-6 cm dan berjalan ke anterior menyilang muskulus
maseter, berputar ke medial dan menembus muskulus businator dan berakhir
dalam rongga mulut di seberang molar kedua atas. Duktus ini berjalan bersama
dengan nervus fasialis cabang bukal.6

3.3 Kelenjar Submandibula


Kelenjar submandibula merupakan kelenjar saliva terbesar kedua
setelah kelenjar parotis. Kelenjar ini menghasilkan sekret mukoid maupun
serosa, berada di segitiga submandibula yang pada bagian anterior dan posterior
dibentuk oleh muskulus digastrikus dan inferior oleh mandibula. Kelenjar ini
berada di medial dan inferior ramus mandibula dan berada di sekeliling muskulus
milohioid, membentuk huruf ”C” serta membentuk lobus superfisial dan
profunda.6
Lobus superfisial kelenjar submandibula berada di ruang sublingual
lateral. Lobus profunda berada di sebelah inferior muskulus milohioid dan
merupakan bagian yang terbesar dari kelenjar. Kelenjar ini dilapisi oleh fasia
leher dalam bagian superfisial. Sekret dialirkan melalui duktus Wharton yang
keluar dari permukaan medial kelenjar dan berjalan di antara muskulus milohioid
serta muskulus hioglosus menuju muskulus genioglosus. Duktus ini memiliki
panjang kurang lebih 5 cm, berjalan bersama dengan nervus hipoglosus di
sebelah inferior dan nervus lingualis di sebelah superior, kemudian berakhir
dalam rongga mulut di sebelah lateral frenulum lingual di dasar mulut. 6

10
3.4 Kelenjar Sublingual
Kelenjar ini terletak antara dasar mulut dan muskulus
mylohyoid merupakan suatu kelenjar kecil diantara kelenjar-kelenjar mayor
lainnya. Duktus utama yang membantu sekresi disebut duktus Bhartolin yang
terletak berdekatan dengan duktus mandibular dan duktus Rivinus yang berjumlah
8-10 buah. Kelenjar ini tidak memiliki kapsul yang dapat melindunginya.
Kelenjar sublingualis menghasilkan sekret yang mucous dan konsistensinya
kental. Saliva pada manusia terdiri atas 5% sekresi kelenjar sublingualis.5,8

Gambar 2. Anatomi kelanjar parotis, submandibula dan sublingual. 4

11
3.5 Kelenjar Saliva Minor
Kelenjar saliva minor sangat banyak jumlahnya, berkisar antara 600
sampai 1000 kelenjar. Di antaranya ada yang memproduksi cairan serosa, mukoid,
ataupun keduanya. Masing-masing kelenjar memiliki duktus yang bermuara di
dalam rongga mulut. Kelenjar ini tersebar di daerah bukal, labium, palatum, serta
lingual. Kelenjar ini juga bisa didapatkan pada kutub superior tonsil palatina
(kelenjar Weber), pilar tonsilaris serta di pangkal lidah. Suplai darah berasal dari
arteri di sekitar rongga mulut, begitu juga drainase kelenjar getah bening
mengikuti saluran limfatik di daerah rongga mulut. 6

3.6 Mekanisme sekresi saliva


Saliva disekresi sekitar 1 liter sampai 1,5 liter per hari. Tingkat perangsangan
saliva tergantung pada kecepatan aliran saliva yang bervariasi antara 0,1 sampai 4
ml/menit. Pada kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh glandula
parotis (saliva encer) dan glandula submandibularis (saliva kaya akan musin),
sisanya disekresi oleh glandula sublingual dan di kelenjar saliva minor. Sekresi
saliva yang bersifat spontan dan kontinu, tanpa adanya rangsangan yang jelas,
disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat rendah ujung-ujung saraf parasimpatis
yang berakhir di kelenjar saliva berfungsi untuk menjaga mulut dan tenggorokan
tetap basah setiap waktu.9
Sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui reflek saliva terstimulasi dan
refleks saliva tidak terstimulasi. Refleks saliva terstimulasi terjadi sewaktu
kemoreseptor atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut berespon terhadap
adanya makanan. Reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serat saraf aferen
yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva
kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva
untuk meningkatkan sekresi saliva. Gerakan mengunyah merangsang sekresi
saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap
reseptor tekanan yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva tidak terstimulasi,
pengeluaran saliva terjadi tanpa rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat,

12
membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran
saliva melalui refleks ini.10
Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf otonom
yang mensarafi kelenjar saliva. Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan
sekresi saliva tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda.
Rangsangan parasimpatis berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan
pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis
menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan
kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi saliva dalam
jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya saat sistem simpatis
dominan, misalnya pada keadaan stress.10

3.7 Sialadenitis dan Sialolithiasis


A. Sialadenitis
Sialadenitis adalah infeksi pada glandula saliva kemungkinan penyakit
ini disebabkan karena adanya stasis saliva, akibat adanya obstruksi atau
berkurangnya produksi saliva. Sebagian besar penyakit ini melibatkan kelenjar
parotis, dan terkadang juga melibatkan kelenjar submandibula. Seringnya
terjadi keterlibatan kelenjar parotis dibandingkan dengan kelenjar saliva
lainnya disebabkan karena aktivitas bakteriostatis pada kelenjar parotis lebih
rendah dibandingkan pada kelenjar saliva lainnya.2
Glandula saliva merupakan sasaran dari penyumbatan/peradangan,
infeksi dan neoplasia, baik jinak ataupun ganas. Sifat sekresi (pengeluaran
cairan) dari glandula menyebabkan glandula ini sangat rentan terhadap berbagai
hal yang dapat menghambat aliran saliva secara normal. Jika suatu duktus
mengalami suatu penurunan fungsi oleh karena infeksi, penyumbatan
(sialolithiasis), atau trauma, maka aliran saliva akan berkurang atau bahkan
berhenti. Sialolithiasis paling sering didapatkan dalam ductus glandula
submandibularis, sementara glandula parotis lebih sering terkena penyumbatan
oleh mucous plug. Pada glandula utama (mayor), gangguan sekresi akan

13
menyebabkan stasis (penghentian/penurunan aliran) dengan inspissation
(pengentalan atau penumpukan), yang seringkali menimbulkan infeksi atau
peradangan. Glandula saliva utama yang mengalami gangguan aliran saliva
akan mudah mengalami serangan organisme melalui ductus atau pengumpulan
organisme yang terbawa aliran darah. 1
- Etiologi Sialadenitis
1. Dehidrasi, dan malnutrisi serta sejumlah terapi obat (misalnya: diuretik,
antihistamin, antidepresan, dan antihipertensi) dapat mengakibatkan
penurunan fungsi dari kelenjar liur sehingga dapat menurunkan produksi
saliva. Keadaan ini bisa menyebabkan penyebaran kolonisasi bakteri dari
parenkim kelenjar liur melalui sistem ductal (saluran) ke kelenjar liur. 5
2. Obstruksi mekanik karena sialolithiasis atau abnormalitas duktus kelenjar
liur dapat mengurangi produksi saliva. Keadaan ini dapat menyebabkan
seseorang menderita sialadenitis yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri
aerobik khas yang sering menginfeksi pada sialadenitis adalah
Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenzae. Basil Gram-negatif
termasuk Prevotella berpigmen, Porphyromonas, dan Fusobacterium juga
dapat menjadi penyebab pada sialadenitis.5
3. Penyaki auto imun (Sjogren syndrome) disebut juga dengan
penyakit Mikulicz dan Sindrom Sicca, merupakan penyakit autoimun
sistemik yang menyerang sel imun dan menghancurkan kelenjar eksokrin
yang memproduksi air mata dan ludah (saliva). Sjogren Syndrome
berhubungan dengan meningkatnya kadar IL-1RA, sebuah interleukin 1
antagonis pada cairan sumsum tulang belakang. Hal ini terkesan bahwa
penyakit dimulai dengan meningkatnya aktivitas sistem interleukin 1,
diikuti dengan auto regulator IL-1RA untuk mengurangi secara signifikan
dari interleukin 1 ke reseptor. Hal ini menunjukkan bahwa interleukin 1
penyebab pada kelelahan pada penderita Sjogren Syndrome. Meningkatnya
IL-1RA telah diamati pada CSF dan berhubungan dengan meningkatnya
kelelahan, berpengaruh pada cytokine yang berimbas pada gangguan

14
tingkah laku. Pasien dengan Sjogren sindrom sekunder juga selalu
menimbulkan gejala dan tanda-tanda pada penyakit reumatik primer,
seperti SLE, RA atau sclerosis sistemik.5
4. Prosedur tindakan pembedahan pada pasien merupakan salah satu faktor
predisposisi yang paling umum yang dapat menyebabkan sialadenitis akut
di rumah sakit. Anestesi umum dapat mengakibatkan pertumbuhan yang
berlebihan dari flora mulut.5
5. Virus seperti HIV, Mumps, coxsackievirus, parainfluenza types I dan II,
influenza A, herpes juga dapat menjadi penyebab terjadinya sialadenitis.
Angka kejadiannya relatif lebih rendah daripada penyebab sialadenitis
karena bakteri.5

Sialadentitis yang ditimbulkannya dapat bersifat akut atau kronis;


1. Sialadenitis supuratif akut.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1828. Sebagian besar
penyakit ini melibatkan kelenjar parotis, dan terkadang juga melibatkan
kelenjar submandibula. Seringnya terjadi keterlibatan kelenjar parotis
dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya disebabkan karena aktivitas
bakteriostatis pada kelenjar parotis lebih rendah dibandingkan pada kelenjar
saliva lainnya.11
Kemungkinan penyakit ini disebabkan karena adanya stasis saliva,
akibat adanya obstruksi atau berkurangnya produksi saliva. Faktor
predisposisi lain terjadinya penyakit ini adalah striktur duktus atau kalkuli.
Berkurangnya produksi kelenjar saliva bisa disebabkan karena konsumsi
beberapa obat. Pasien pasca operasi juga dapat menderita penyakit ini
akibat produksi saliva yang kurang yang diikuti dengan higiene oral yang
buruk.11
Gejala yang sering dirasakan pada penderita penyakit ini adalah adanya
pembengkakan yang disertai dengan rasa nyeri. Bisa didapatkan adanya
saliva yang purulen pada orifisium duktus saliva, yang mudah didapatkan

15
dengan sedikit pemijatan di sekitar kelenjar. Organisme penyebab infeksi
dapat berupa Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Eschericia
coli, serta Haemophylus influenzae. Bakteri anaerob penyebab yang paling
sering adalah Bacteroides melaninogenicus dan Streptocccus micros.11
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah hidrasi secara adekuat,
perbaikan higiene oral, pemijatan secara berulang pada daerah sekitar
kelenjar, serta antibiotik intravena. Pemberian antibiotik secara empiris
perlu dilakukan sambil menunggu hasil kultur resistensi.11,12

Gambar 3. Sialadenitis akut. (a) CT kontras axial menunjukkan kelenjar parotis kanan
membesar dengan peningkatan intensitas (panah). (b) Ct scan kontras axial pasien lain
menunjukkan abses dengan enhancement pada bagian tepi. (c) MRI T2 axial menunjukan cairan
hyperintens dengan dinding tebal pada kelenjar parotis kanan. 17

2. Sialadenitis kronis
Sialadenitis dewasa kronis sering dikaitkan dengan episode peradangan
akut dengan kerusakan kelenjar selanjutnya. Proses inflamasi kronis
merangsang perubahan dalam kimia dan enzim saliva, yang mengarah pada
sialektasis, ektasia duktus, dan atrofi asinar disertai dengan infiltrat
limfositik. Kondisi ini lebih sering terjadi pada kelenjar parotis. 6
Sialadenitis kronis memiliki pencitraan variabel tergantung pada tingkat
keparahan dan durasi peradangan. Tekstur echo seringkali heterogen dan
hypoechoic karena jaringan parut fibrosa dengan fokus kistik kecil akibat
ektasia duktus minor. Kadang-kadang, mikrokalsifikasi intraglandular
terlihat sebagai area echogenik dengan bayangan akustik posterior. Ciri-ciri

16
sialadenitis rekuren kronis adalah saluran utama yang membesar tidak
teratur (berbentuk sosis) dan pelebaran saluran pusat yang meruncing ke
saluran perifer yang normal. Pembesaran difus dengan atau tanpa
kalsifikasi distrofi yang terkait dengan daerah kepadatan rendah sering
ditemukan. Infiltrasi lemak, ektasia duktus, dan kehilangan volume adalah
gambaran akhir stadium. 3, 11

Gambar 4. Sialadenitis kronis. (a) Axial CT menunjukkan gambaran granular dari kedua
kelenjar parotis (panah). (B) MRI aksial T2 menunjukkan beberapa kista kecil di kedua
kelenjar parotis (panah). (c) Kontras aksial Gambar T1-weighted menunjukkan pola
peningkatan homogen ringan kedua kelenjar parotis (panah). 17

B. Sialolithiasis.
Sialolithiasis merupakan penyakit yang sering terjadi pada glandula
saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka
kejadian pada laki – laki dan perempuan adalah 1,04 : 1, dan usia paling banyak
terjadi antara 25 – 50 tahun.5 Sialolitiasis biasanya berhubungan dengan suatu
peradangan kelenjar liur (sialadenitis) yang disebabkan oleh terbentuknya batu
atau sebagai akibat sumbatan duktus kelenjar liur. 1
Sialolithiasis merupakan suatu penyakit yang ditemukan pada kelenjar
liur yang ditandai adanya sumbatan sekresi air liur oleh suatu batu kelenjar liur
(kalkulus). Terbentuknya kalkulus kelenjar liur karena endapan garam kalsium
fosfat tribasik (Ca3(PO4)2) bersama bahan organik yang terdiri dari
deskuamasi sel epitel, bakteri, benda asing ataupun dekomposisi produksi

17
bakteri, apabila terdapat infeksi dengan kandungan amonium dan
magnesium.1,2
Dari 80% - 90% kasus sialolithiasis glandula saliva ditemukan pada
kelenjar submandibular, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar
sublingual, dan 2% pada kelenjar liur minor. Sebanyak 85 % terletak di duktus
wharton’s kelenjar submandibula. Dari kasus yang ditemukan batu kelenjar
liur biasanya unilateral dan dapat berbentuk tunggal atau lebih. 1,4 Ukuran rata
–rata sialolit 2 mm – 2 cm atau lebih berbentuk bulat atau irregular dengan
permukaan kasar atau halus. Sedangkan warna bervariasi dari putih hingga
coklat tua. Batu kelenjar submandibula untuk komposisi bahan anorganik 81%
dan 19% bahan organik.2,6
Ada 2 faktor yang menjadi alasan tingginya insiden sialolithiasis
kelenjar submandibula. Pertama karena sifat dari air liur yang dihasilkan
banyak mengandung musin, bahan organik, enzim fosfatase, kalsium fosfat,
pH alkali serta karbon dioksida yang rendah. Kedua karena bentuk anatomi
warthon’s duct yang panjang dan berkelok dengan posisi orifisium lebih tinggi
dari duktus dan ukuran duktus yang lebih kecil dari lumennya.2

Gambar 5. Batu saluran submandibular. (a) CT kontras aksial menunjukkan batu (panah)
pada kelenjar submandibular kanan. (b) MRI aksial T2 menunjukkan sinyal void batu (panah)
pada kelenjar submandibular kanan.17

3.8 Chronic Sclerosing Sialadenitis / Kuttner tumor


Kronik sklerosing sialadenitis yang juga disebut sebagai tumor Küttner adalah
penyakit peradangan kronis akibat penyumbatan saluran disebabkan oleh

18
sialolithiasis dan terjadi hampir secara eksklusif di kelenjar submandibular.
Tumor Küttner, pada awalnya dideskripsikan oleh Küttner yang melaporkan
seorang pasien dengan "hard swelling" pada kelenjar submandibular. Lesi ini
relatif tidak umum dan dianggap sebagai bagian dari penyakit terkait IgG4
berdasarkan karakteristik histologisnya dan peningkatan kadar IgG4 serum.
Temuan histologis dari tumor Küttner menunjukkan infiltrasi kelenjar dengan
pembentukan folikel dan perluasan periductal fibrosis. Terdapat atrofi asinar
ditandai dengan dilatasi duktus. Saluran dapat menunjukkan piala metaplasia
skuamosa dan sel goblet. Pertambahan fibrosis membuat kelenjar keras dan
nodular, sehingga meningkatkan kecurigaan klinis dari neoplasma ganas.
Pencitraan cross-sectional IgG4-RS menunjukkan pembesaran simetris
bilateral kelenjar submandibular. Pada USG, tampak seperti massa
hypoechoic. Pada CT, lesi biasanya menunjukkan atenuasi dan peningkatan yang
homogen. Pada pencitraan MR, lesi biasanya menunjukkan intensitas sinyal
rendah hingga menengah pada gambar T2 dan intensitas sinyal rendah pada
gambar T1, dengan peningkatan homogen. Ini dapat terjadi secara unilateral
dengan area kalsifikasi yang dapat mensimulasikan keganasan. Limfoma dan fase
akut sindrom Sjögren harus dimasukkan dalam diagnosis banding. 17

Gambar 6. Sialadenitis terkait imunoglobulin G4 (IgG4-RS). (a) Gambar aksial T2-aksial


menunjukkan kedua kelenjar submandibular yang membesar yang menunjukkan intensitas
sinyal tinggi. (B) Pemeriksaan Color doppler menunjukkan kelenjar submandibular
membesar dengan peningkatan vaskularisasi.17

19
Gambar 7. Tumor Küttner pada wanita berusia 76 tahun. (a) Menunjukkan
pembengkakan kelenjar submandibular kiri (panah). (B) Pada gambar MR T2 aksial,
kelenjar submandibular kiri (panah) sedikit hyperintense dibandingkan otot. (c) Citra
MR dengan pembobotan T1-tertimbang kontra s yang ditingkatkan dengan aksial
menunjukkan kelenjar submandibular kiri dengan peningkatan homogen (panah).

3.9 Pemeriksaan Penunjang


Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva
antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CT scan),
Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound.
Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi
pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang berkaitan dengan
gangguan kelenjar saliva, seperti sialadenitis maupun sialolithiasis.8
a. Plain - Film Radiography
Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plain

20
foto masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva.
Dapat dilakukan pengambilan foto anteroposterior, lateral dan obliq, teknik ini
digunakan untuk mengevaluasi sialadenitis yang diduga disebabkan oleh
penyumbatan karena batu pada duktus kelenjar saliva. Hal ini penting untuk
mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh
tulang mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan
regio submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau
anteroposterior view tulang mandibula. Pada evaluasi sialolithiasis
submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit untuk
mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. 12

Gambar 8. Plain Radiografi.12

b. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG sialadenitis akut akan memberikan gambaran
pembesaran kelenjar saliva tampak hipoechoic dengan dilatasi duktus pada
awal penyakit dan tahap selanjutnya akan didapatkan fokus abses yang relatif
anechoic. Pada sialadenitis kronik akan memberikan gambaran hypoechoic
karena jaringan parut fibrosa dengan fokus kistik kecil akibat ekstasia duktus
minor. Kadang-kadang mikrokalsifikasi terlihat sebagai area echogenik dengan
bayangan akustik posterior, kemudian pembesaran duktus sentral dan
pembesaran duktus yang irreguler, pada stadium akhir akan ditemukan infiltrasi
lemak, estasia duktus dan kehilangan volume. 7

21
Gambar 9. USG pada kelenjar submandibula dengan sialadenitis akut.

Gambar 10. USG pada kelenjar submandibula dengan sialadenitis kronik.

22
Gambar 11. USG Kelenjar Submandibula dan Kelenjar Parotid.14

Pemeriksaan dengan ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi


massa dan membedakan konsistensi massa tersebut, apakah padat atau kistik.
Ultrasonografi yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah
ultrasonografi dengan transduser beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz.
Kekurangan pada pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan
obstruksi kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk
menentukan ukuran batu secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur
stenosisnya. 11

c. Sialography
Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus
dengan menggunakan kontras. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
mengidentifikasi adanya iregularitas pada dinding duktus, identifikasi adanya
polip, mucous plug atau fibrin, serta area granulomatosa. Selain itu dapat pula
diidentifikasi adanya kemungkinan obstruksi duktus maupun stenosis.
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap duktus Stensen
dan Wharton. Langkah selanjutnya adalah dilakukan dilatasi duktus. Saat
dilatasi duktus sudah maksimal, maka dapat dimasukkan kateter sialografi.
Pada pemeriksaan sialografi ini digunakan kontras, yang bisa berupa etiodol
atau sinografin.5,11
Sialografi dapat memberikan pemandangan yang jelas pada duktus

23
secara keseluruhan dan dapat memberikan informasi mengenai area yang tidak
dapat dijangkau dengan sialoendoskop, misalnya pada area di belakang lekukan
yang tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan sialografi adalah
paparan radiasi dan hasil positif palsu pada pemeriksaan batu karena adanya air
bubble (gelembung udara).11

Gambar 12. Sialografi kelenjar submandibular dengan kalsifikasi sialolith


pada ductus Wharton.

Gambar 13. Sialografi kelenjar submandibular dengan stricture.

d. Computed Tomography Scan (CT-Scan)


Pemeriksaan ini merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi
sistem duktus dan parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat dilakukan
pada potongan aksial, koronal maupun sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat
diidentifikasi adanya iregularitas pada dinding duktus dengan melihat adanya
penebalan dan penyangatan pada dinding duktus. Pada obstruksi yang

24
disebabkan karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa hiperdens tanpa
penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer. Adanya penyangatan
dapat merupakan indikasi adanya obstruksi sialadenitis akut.11

Gambar 14. CT Scan Kelenjar Parotis dan Submandibular.13

a. b. c.

d. e.

Gambar 15. CT scan Kelenjar submandibular kiri yang hipervaskular, meradang, dan
membesar (Gambar a & b). Terdapat dilatasi dari duktus submandibular yang
mengarah ke kalkulus pada distal duktus (gambar c & d). Tidak ada fluid collection
yang dapat mengalir. Submandibular kanan dalam batas normal.

25
e. Magnetic Resonance (MR) Sialography
MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif
baru dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi kalkulus, sensitifitas 91%
spesifisitas 94% nilai pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal
ini lebih baik dari sialografi konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras
digantikan oleh saliva (natural kontras) yang dirangsang produksinya dengan
orange juice, dan menggunakan imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides
bidang sagital dan axial Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak
menggunakan bahan kontras, tidak ada radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri,
bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi kelenjar (Dynamic MR
sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan waktu yang lebih lama pada
proses merangsang saliva sebagai kontras alami, menimbulkan rasa tidak
nyaman, dan biaya sangat mahal.13

f. Endoskopi
Endoskopi yang dikenal dengan sialoendoskopi merupakan prosedur
noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk
cabang sekunder dan tersier duktus. Pada pasien yang terdapat kalkulus yang
kurang dari 3 mm pada parotid dan 4 mm untuk submandibular sulit untuk di
evaluasi, oleh karena itu metode ini adalah salah satu cara untuk melihat
sialolithiasis.15
Sialoendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat jalan dengan
menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi atau
setengah berbaring. Fungsi utama sialoendoskopi untuk konfirmasi sekaligus
diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan batu. Pada
prinsipnya sialoendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke
intraluminar duktus. Diameter sialendoskopi yang sering digunakan antara 0.9
mm - 1,3 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi patologis dapat diamati
secara langsung, yang dapat digunakan juga untuk melihat adanya stenosis dan
sialodenitis.15

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
- Sialadenitis adalah infeksi pada glandula saliva kemungkinan penyakit ini
disebabkan karena adanya stasis saliva, akibat adanya obstruksi atau
berkurangnya produksi saliva. Sebagian besar penyakit ini melibatkan kelenjar
parotis, dan terkadang juga melibatkan kelenjar submandibula.
- Sialolitiasis adalah penyakit yang biasa ditemukan pada kelenjar liur. Penyakit
ini merupakan penyebab utama sumbatan pada kelenjar liur. Sebagai penyebab
terjadinya serta mekanisme pembentukan batu kelenjar liur belum diketahui
dengan pasti. Gejala klinis meliputi pembengkakan didaerah kelenjar liur
disertai rasa nyeri yang hilang timbul terutama saat makan.
- Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis sialolithiasis adalah dengan teknik
imaging, mulai dari plain-film radiography, ultrasonography, sialography, MR
sialography, CT-Scan, dan endoskopi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen, Gordon. 2000. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta:EGC


2. Muttaqin, A & Sar, K. 2011.Medical Bedah. Jakarta:Salemba Medika.
3. Fritsch, MH. Sialoendoscopy strategies difficult cases. Otolaryngol Clin North
Am 2009; 42:1093-1113.
4. Yeh S. Kelenjar liur. Dalam: Ballenger JJ.ed. Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid satu. Edisi 13. Binarupa aksara, Jakarta,
2002. Alih bahasa: staf ahli bagian THT-KL RSCMFKUI;330
5. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi dasar : teks dan atlas. Ed. 10. Alih bahasa:
Jan Tambayong. Jakarta : EGC, 2007: 312 – 5.
6. Salivary gland. In: Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and
physiology. 14th Edition. New York: John Wiley & Sons Inc; 2014.h.894.
7. Anonymous. Clinical policy bulletin: Sialolitiasis ( salivary stones ). Posted
2007 available from http: // www.aetna.com/cpb/medical accessed August
3,2010
8. Widiastuti MS, Gea, Suryo Adji, C Suhartoyo. 2010. Situs Colli. Semarang:
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

9. Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible etiology


of calculi formation in salivary glands: biophysical analisys of calculus. Med
Mol Morphol. 2005 (38): 189-95.
10. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis management. Arch Otolaryngol-Head
and Neck Surgery. 2003; 129: 951-956.
11. Tamin S, Yassi D. Penyakit kelenjar saliva dan peran sialoendoskopiuntuk
diagnostik dan terapi. ORLI.2011; 41 (2)
12. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.
Sialolithiasis: MR sialography of the submandibular duct – an alternative to
conventional sialography and US. RSNA Radiology. 2000; 216: 665-71.
13. Ching ASC, Ahuja AT. High-resolution sonography of the submandibular

28
space: anatomy and abnormalities’. Assacociatioan of Jewish Reffuges Journal.
2002; 179:703-8
14. Ponni v, Pavenna M, Ramani P, Ravind A. Paraotid sialolithiasis. Int J Dent
Case Reports. 2012; 2(5):47-49.
15. Al abri R, Marchal. New era of endoscopic approach for sialolithiasis. SQU
Med J. 2010; 10:382-387.
16. Capaccio P, Torretta S, Ottaviani F, Sambataro G, Pignataro L. Modern
management of obstructive salivary diseases. Acta Otorhinolaryngology Italy.
2007 Aug; 27(4): 161–172.
17. Abdel Razek AAK, Mukherji S. Imaging of sialadenitis. Neuroradiol J.
2017;30(3):205–15.

29

Anda mungkin juga menyukai