Disusun oleh:
Dyka Jafar Hutama Putra
030.09.076
Pembimbing :
dr. Irwin, Sp.PD
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 34
i
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan
perawatan suportif yang lebih baik, perbaikan leukimia telah meningkat. Kini lebih
dari dua per tiga pasien dengan Leukimia Akut yang diberi pengobatan akan bebas
gejala selama 5 tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus, pasien-pasien
tersebut akan sembuh.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
No. RM : 00.61.44.70
Nama : Tn. TH
Umur : 20 tahun
Pekerjaan :-
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan di ruangan Rengasdengklok pada tanggal 13 Desember
2015 secara autoanamnesis.
2
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS, os juga mengatakan tidak
ada nafsu makan semenjak lemas, terdapat mual tetapi pasien tidak mengeluh
adanya muntah. Tidak ada batuk. Buang air kecil normal warna bening kuning,
belom bisa buang air besar sejak masuk rumah sakit. Sebelumnya keras warna
kehitaman. 2 hari yang lalu os mengatakan demam. Menggigil saat malam hari.
Demam turun di saat pagi hari.
3
Nadi : 88x/menit
RR : 20x/menit
suhu : 36.9oC
2.3.2 Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris
- Rambut : hitam, lebat, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), sekret (-/-),
pupil isokor, Releks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+), ptosis -/-, edema palpebra (-/-)
- Hidung : Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga :
Preaurikuler : normotia, hiperemis (-/-)
Postaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-)
Liang telinga : lapang, serumen (+/+), otorhea (-/-)
- Mulut :
Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
Palatum mole dan uvula simetris, arkus faring simetris
Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-), hiperemis (-)
Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)
Karies gigi (-), kandidisasis oral (-) gusi berdarah (+)
2.3.3 Leher
Tiroid dan KGB tidak teraba membesar
JVP 5+2
Trakea teraba di tengah dan tidak ada deviasi
2.3.4 Thoraks
- Paru
Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi sela iga (-/-),
bentuk dada normal, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris, pelebaran sela iga
(-)/(-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan. Batas paru hati
pada garis midklavikula kanan sela iga VI. Batas paru lambung : pada garis
aksilaris anterior kiri sela iga VIII
4
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ± 1 cm di lateral linea midklavikula sinistra
ICS V
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS III-V linea sternalis dekstra, batas
jantung kiri pada ICS V ± 1cm lateral linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
2.3.5 Abdomen
Inspeksi : datar , ikterik (-), venektasi (-), smiling umbilicus (-), caput medusae
(-), sikatriks (-)
Auskultasi : BU (+) normal, arterial bruit (-), nyeri tekan epigastrium
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium, massa (-), Hepar tidak teraba.
Lien tidak teraba. Ballotement (-)
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-)
2.3.6 Ekstremitas
Atas : Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-/-),
deformitas (-).
Bawah : Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-/-),
deformitas (-).
5
GDS 132 mg/dL - - <140
Ureum 23.2 mg/dL - - 15-50
Kreatinin 0.70 mg/dL - - 0.5-0.9
2.5 Resume
sejak 3 hari SMRS, tidak ada nafsu makan, mual tetapi pasien tidak ada muntah.
Tidak ada batuk. Buang air kecil normal warna bening kuning, belom bisa buang air
besar sejak masuk rumah sakit. Sebelumnya keras warna kehitaman. 1 hari setelah
masuk IGD ada demam. Menggigil saat malam hari. Demam turun di saat pagi hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien anemis terdapat gusi berdarah. Pada
6
pemeriksaan penunjang didapatkan Hb pasien menurun, disertai peningkatan leukosit,
2.6 Diagnosis
Diagnosis Kerja
Leukimia mieloblastik akut
Diagnosis Banding
Leukimia Limfositik akut
2.7 Tatalaksana
IVFD NaCl 20 tpm
Injeksi Ceftriaxon 2 x 1gr
Metronidazol 3 x 500 mg
Laxadin 1 x C2
Omeprazol 1 x 1
Whole Blood 4 kolf dimasukkan tanggal 11 Desember
Trombosit Concentrate 6 kolf dimasukkan tanggal 16 Desember
2.8 Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
2.9 Follow Up
Tabel 2. Hasil follow up
7
linu, sulit tidur,
gusi berdarah
TD 110/60 mmHg 140/80 mmHg 100/50 mmHg 110/70 mmHg
Leher KGB dan KGB dan KGB dan thyroid KGB dan thyroid
thyroid tidak thyroid tidak tidak teraba tidak teraba
teraba teraba membesar membesar
membesar membesar
Cor I Ictus cordis Ictus cordis Ictus cordis tidak Ictus cordis tidak
tidak tampak tidak tampak tampak tampak
P Ictus cordis ICS Ictus cordis ICS Ictus cordis ICS Ictus cordis ICS
V linea midklav V linea midklav V linea midklav V linea midklav
kiri kiri kiri kiri
8
A Bising usus Bising usus Bising usus Bising usus
normal normal normal normal
9
6 Kolf
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini diagnosa ditegakan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis diperoleh keterangan bahwa. Os datang dengan keluhan lemas
sejak 3 hari SMRS, os juga mengatakan tidak ada nafsu makan semenjak lemas,
terdapat mual tetapi pasien tidak mengeluh adanya muntah. Tidak ada batuk. Buang
air kecil normal warna bening kuning, belom bisa buang air besar sejak masuk rumah
sakit. Sebelumnya keras warna kehitaman. 1 hari setelah masuk rumah sakit os
mengatakan demam. Menggigil saat malam hari. Demam turun di saat pagi hari.
Tangan dan kaki terasa pegal linu. Dan os juga mengeluh gusi berdarah tidak
berhenti.
10
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien anemis dan gusi berdarah tidak
berhenti. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb pasien menurun, disertai
peningkatan leukosit, penurunan trombosit, penurunan hematokrit, peningkatan
retikulosit, dan pemeriksaan morfologi darah tepi.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang didapat dapat
disimpulkan bahwa diagnosisnya yaitu Leukimia Limfositik Akut.
Penatalaksanaan awal yang diberikan utamanya bertujuan untuk mencegah
mengurangi gejala yang dialami dan berupaya meningkatkan hemoglobin dan
trombosit. Untuk gejala Leukimia yang dialami diberikan transfusi Whole Blood dan
Trombosit concentrate yang berguna untuk meningkatkan jumlah hemoglobin dan
trombosit yang terlampau rendah. Kemudian juga diberikan. Ceftriaxon diberikan
untuk kecurigaan infeksi bakteri karena peningkatan leukosit. Omeprazol diberikan
untuk mengurangi rasa mual akibat pemberian ceftriaxone dan metronidazol.
Metronidazol diberikan untuk melawan bakteri anaerob dengan spektrum luas.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Klasifikasi
11
Klasifikasi leukemia secara umum berkaitan dengan asal sel (misalnya limfoid
atau mieloid) serta kecepatan perjalanan klinis (misalnya akut atau kronik), tetapi
kategorisasi modern berhasil mengidentifikasi leukemia spesifik berdasarkan
karakteristik biologik, antigenik, dan molekular.(7)
Menurut perjalanan penyakitnya, dapat dibagi atas leukemia akut dan kronik.
Dengan kemajuan pengobatan akhir-akhir ini, pasien leukemia limfoblastik akut
dapat hidup lebih lama daripada pasien leukemia granulositik kronik. Dengan
demikian pembagian akut dan kronik tidak lagi mencerminkan lamanya harapan
hidup. Namun pembagian ini masih menggambarkan kecepatan timbulnya gejala
dan komplikasi.(5)
Menurut jenisnya, leukemia dapat dibagi atas leukemia mieloid dan limfoid.
Masing-masing ada yang akut dan kronik. Secara garis besar, pembagian
leukemia adalah sebagai berikut: (5)
1. Leukemia mieloid
a. Leukemia granulositik kronik (leukemia mieloid/ mielositik/
mielogenous kronik/ CML)
b. Leukemia mieloblastik akut (leukemia mieloid/ mielositik/
granulositik/ mielogenous akut/ AML)
2. Leukemia limfoid
a. Leukemia limfositik kronik (CLL)
b. Leukemia limfoblastik akut (ALL)
3.3 Etiologi
Pada sebagian besar pasien, penyebab leukemia tidak diketahui walaupun baik
faktor genetik maupun lingkungan berperan. Terdapat angka konkordansi yang
tinggi di antara kembar identik bila leukemia akut timbul pada tahun pertama
kehidupan, dan pernah dilaporkan adanya keluarga yang memiliki insidensi
leukemia yang berlebihan. Leukemia akut timbul dengan frekuensi tinggi pada
12
berbagai penyakit kongenital, termasuk sindroma Down, Bloom, Klinefelter,
Fanconi, dan Wiskott-Aldrich.(7)
Faktor lingkungan juga diketahui berperan dalam etiologi leukemia. Radiasi
ionisasi menyebabkan leukemia pada hewan eksperimental, dan terdapat
hubungan yang jelas antara pajanan tersebut dan terbentuknya leukemia pada
menusia. Misalnya, individu yang terkena radiasi akibat pekerjaan, Pasien yang
mendapat terapi radiasi, dan orang Jepang yang selamat dari ledakan bom atom
memiliki peningkatan insidensi leukemia yang dapat diperkirakan dan berkaitan
dengan dosis. Pajanan radiasi meningkatkan resiko terbentuknya CML, AML, dan
mungkin ALL, tetapi tidak diketahui adanya hubungan dengan CLL atau
leukemia sel berambut. Pajanan bahan kimia misalnya benzena dan hidrokarbon
aromatik lain atau terapi dengan bahan alkilasi dan obat kemoterapi lain juga
menyebabkan peningkatan insidensi AML. Kombinasi radiasi dan obat
kemoterapi, misalnya pada terapi pasien penyakit Hodgin menyebabkan efek
leukemogenik aditif. Peran energi elektromagnetik pada leukemogenesis masih
belum diketahui.(7)
3.5 Patofisiologi
Leukemia akut ditandai oleh proliferasi klonal sel hematopoetik imatur.
Leukemia muncul setelah transformasi maligna dari sebuah progenitor
hematopoetik, diikuti oleh replikasi sel dan ekspansi klon yang mengalami
transformasi tersebut. Karakteristik paling menonjol dari sel neoplastik pada
leukemia akut adalah defek pada pematangan setelah tingkat mieloblas atau
13
promielosit pada AML dan tingkat limfoblas pada ALL. Sel leukemia yang
berproliferasi menumpuk di sumsum tulang, menekan hematopoesis normal dan
akhirnya menyebabkan unsur normal tersingkir. Konsekuensi berkurangnya unsur
normal adalah anemia, infeksi, dan penyulit pendarahan yang merupakan ciri
penyakit. Sel leukemia secara primer berproliferasi di sumsum tulang, beredar
dalam darah, dan mungkin sebukan ke jaringan lain misalnya kelenjar limfe, hati,
limpa, kulit, gusi, visera, dan susunan saraf pusat (SSP). Walaupun diagnosis
leukemia sering pertama kali ditegakkan melalui pengamatan adanya sejumlah
besar blas di darah, sebagian besar sel leukemik ditemukan di sumsum tulang.(7)
Mekanisme transformasi neoplastik yang menimbulkan leukemia masih
belum dipahami tetapi melibatkan perubahan mendasar pada DNA yang
menyebabkan timbulnya karakteristik maligna herediter pada sel yang mengalami
transformasi dan progeninya. Sebagian besar data mengisyaratkan bahwa
pembentukan leukemia adalah proses multilangkah, dan pada banyak kasus,
leukemia akut terjadi pada pasien yang telah menderita gangguan mielodisplastik
atau mieloproliferatif.(7)
Patofisiologi kegagalan sumsum tulang pada leukemia bersifat kompleks.
Biasanya terdapat pansitopenia dan terjadi sebagian karena digantikannya secara
fisis sel precursor normal oleh sel leukemik. Sebagian pasien leukemia akut
dengan pansitopenia memperlihatkan sumsum tulang yang hiposeluler, yang
mengisyaratkan bahwa kegagalan sumsum tidak hanya disebabkan oleh
terpenuhinya sumsum oleh sel leukemik. Sel leukemik dapat secara langsung
menghambat hematopoesis normal melalui mekanisme yang diperantarai oleh sel
atau humoral. Sel stem hematopoetik normal tetap berada di sumsum tulang dan
mampu berproliferasi dan memulihkan hematopoesis setelah terapi antileukemia
yang efektif. (7)
14
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel
progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan
mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu samapi
bulan sesudah diagnosis.(3)
b) Epidemiologi
Insidens leukemia mieloblastik akut (LMA) kira-kira 2-3/100.000
penduduk. LMA lebih sering ditemukan pada umur dewasa (85%) daripada
anak-anak (15%). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita.
LMA dapat ditemukan sekitar 40% dari seluruh insidens leukemia.(5)
c) Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala utama LMA adalah rasa lelah, pendarahan, dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. Gejala
lainnya yang dapat terlihat adalah pucat, nafsu makan hilang, anemia,
nyeri tulang, dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan
kelenjar mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan hipertrofi gusi
khususnya pada leukemia akut monoblastik dan mielomonositik.(3,5)
Pendarahan merupakan masalah utama pada pasien leukemia akut,
dan terutama berkaitan dengan trombositopenia. Pendarahan menjadi lebih
sering bila jumlah trombosit kurang dari 20x109 per liter, terutama bila
terdapat infeksi atau koagulopati. Pendarahan biasanya terjadi dalam
bentuk purpura atau petekie yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, pendarahan gusi dan retina. Pendarahan yang lebih
berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai DIC. Kasus DIC ini
paling sering terjadi pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di
tenggorokan, paru-paru, kulit, dan daerah peri rectal, sehingga organ-
organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan
15
demam. Gejala lainnya yang dapat terlihat adalah pucat, nafsu makan
hilang, anemia, nyeri tulang, dan pembesaran kelenjar getah bening,
limpa, hati dan kelenjar mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan
hipertrofi gusi khususnya pada leukemia akut monoblastik dan
mielomonositik.(3,7)
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA
tidak selalu dijumpai leukositosis. Pada pasien dengan angka leukosit
yang sangat tinggi (>100.000/ mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu
terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran darah vena maupun
arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran,
sesak napas, nyeri dada, dan priapismus. Angka leukosit yang tinggi juga
sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan
hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang
berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi
karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa,
sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimtomatok karena
hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh
pasien. (3)
d) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang bias dilakukan yaitu hitung darah
dan apusan darah tepi. Hitung darah biasanya abnormal. Anemia dan
trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah,
atau normal. Peningkatan blast mungkin terlihat pada preparat apus darah.
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan
anemia, leokopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih
sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Sindrom
mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi
16
sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan
mempunyai gambaran displasia yang khas, termasuk megaloblastosis.
Penderita mungkin tidak tampak sakit pada waktu diperiksa dan hanya
anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri
ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan
sumsum tulang.
e) Klasifikasi(9)
Tabel 2. Klasifikasi LMA(9)
17
18
Gambar 6. Acute leukemia, M0–M2. Gambar 7. The peroxidase reaction,
Undifferentiated blast with characteristic of cells in the
dense, fine chromatin, myeloid series, shows positive
nucleolus (arrow), and (&3%) only for stage M1
narrow basophilic cytoplasm leukemia and higher. The image
without granules. This cell shows a weakly positive blast
type is typical of early (1), strongly positive eosinophil
myeloid leukemia (M0–M1); (2), and positive myelocyte (3).
(8)
the final classification is
made using cell surface
marker analysis.
Gambar 8. Variants of M2 leukemia. Some of the cells already contain granules (1)
and crystal-like Auer bodies (2).(8)
19
Gambar 9. Acute leukemia M3 and M4. Gambar 10. In type M3, multiple Auer bodies
Blood analysis in promyelocytic are often stacked like firewood
leukemia (M3): copious (so-called faggot cells).(8)
cytoplasmic granules.
Gambar 11. Blood analysis in variant M3 Gambar 12. Bone marrow cytology in
with dumbbell-shaped nuclei acutemyelomonocytic
Auer bodies leukemia M4: in addition to
myeloblasts (1) and
promyelocytes (2) there are
also monocytoid cells (3).(8)
20
Gambar 13. In variant M4Eo abnormal Gambar 14. Esterase as amarker enzyme for
precursors of eosinophils with dark themonocyte series in M4
granules are present. leukemia.(8)
21
Gambar 17. Homogeneous infiltration Gambar 18. Same as c but after esterase
of the bone marrow by staining. The stageM5a blasts
monoblasts (M5a). Only show a clear positive reaction
residual granulopoiesis (red stain). There is a
(arrow). nonspecific-esterase (NSE)-
negative promyelocyte. (8)
22
Gambar 19. Same as c Only the Gambar 20. In acute erythrocytic
myelocyte in the center leukemia(M6)
stains peroxidase- erythroblasts and
positive(brown tint); the myeloblasts are usually
monoblasts are found in the blood. This
peroxidase-negative. image of bone marrow
cytology in M6 shows
increased, dysplastic
myeloblasts (2).
(
erythropoiesis(e.g., 1) n
addition to
23
f) Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi
sel-sel klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal di
dalam sumsum tulang. Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang
maksimal, diperlukan strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen
kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari beberapa fase: fase induksi dan
fase konsolidasi.(3)
Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif
yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila
jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya
populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast
<5%. Meskipun terjadi remisi komplit, tidak berarti bahwa sel-sel klonal
leukemik telah tereradikasi seluruhnya. Pada kasus remisi komplit, masih
tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi
tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan sel-sel ini berpotensi menyebabkan
kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun
pasien telah mencapai remisi komplit, perlu ditindak lanjuti dengan
program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi
dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar
dari dosis yang digunakan pada fase induksi.(3)
Tindakan eradikasi juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel
hematopoesis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien
LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan pendarahan. Oleh
karena itu, terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfuse
komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat
penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.(3)
Penatalaksanaan pada LMA dan LLA umumnya serupa.
Penatalaksanaan terbagi dalam suportif dan spesifik.
1. Suportif
Penatalaksanaan prinsipnya sama dengan penatalaksanaan pada
LLA. Tapi pada LMA dapat terjadi sindrom hemorargik pada hari-
hari awal pengobatan. Untuk DIC dapat diberikan Fresh Frozen
Plasma. Dapat juga ditambahkan transretinoic acid (ATRA) pada
kemoterapi.
2. Spesifik
Dengan mengunakan kemoterapi secara intensif. Minggu
pertama diberikan cytosine arabinose, daunorubicin, idarubicin, 6-
thioguanine, mitoxantrone atau etoposide. Obat-obatan ini bersifat
mielotoksik dan selektif pada sel leukemi.
Umumnya digunakan terapi 7+3. Terapi 7+3 adalah kemoterapi
induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubicin dengan protocol
sitarabin 100mg/ mm2 diberikan secara infus iv kontinyu selama 7
hari dan daunorubisin 45-60 mg/ mm2/ hari iv selama 3 hari.(3)
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi
konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (Hematopoetic Stem
Cell Transplantation/ HSCT) autolog atau HSCT alogenik. Jenis
terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan factor
prognostic, terutama profil sitogenetik.(3)
Transplantasi sumsum tulang
Autolog transplantasi dapat mengurangi resiko kekambuhan.
Namun transplantasi ini dilakukan pada usia di bawah 45 tahun
dengan HLA donor yang tidak memiliki resiko LMA.
g) Prognosis
Dengan pengobatan modern, angka remisi, 50-75%, tetapi angka
rata-rata hidup masih hidup 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5
tahun hanya 10%. Prognosis terburuk adalah pada golongan M5 dan M6,
semua pasien meninggal dunia sebelum 2 tahun, sedangkan M3
mempunyai harapan hidup paling lama. (5) Pada pasien dengan usia di atas
60 tahun memiliki toleransi yang buruk terhadap pengobatan oleh karena
itu memiliki prognosis yang buruk.
b) Epidemiologi
Insidens leukemia limfoblastik akut (LLA) berkisar 2-3/100.000
penduduk. Lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada usia
dewasa (18%) dan lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding wanita. (5)
Dan pada laki-laki cenderung dominan untuk menderita T-ALL. Keadaan ini
menurun frekuensinya pada usia 10 tahun dan meningkat lagi pada usia 40
tahunan.
c) Klasifikasi
Ada 3 subtipe berdasarkan imunologi dan morfologi.
Berdasarkan imunologi LLA dibagi menjadi :
- Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) - 70% :
common-ALL (50%), null ALL, pre-B ALL
- T-ALL (25%)
- B-ALL (5%)
d) Manifestasi Klinis
Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum
tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di
darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan
pendarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat diemukan pada separuh
pasien LLA, sedangkan gejala pendarahan pada sepertiga pasien yang baru
didiagnosis LLA. Pendarahan yang berat jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
- Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
- Anoreksia
- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-
sel leukemia)
- Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
- Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis atau sepsis.
Penyebab paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan
bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur
- Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan
gusis, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Limfadenopati
- Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
- Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan
tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan
saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal
- Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium,
tonsil
e) Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan
biasanya ada leukositosis (60%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah
leukosit biasanya berbanding langsung dengan jumlah bias. Jumlah leukosit
neutrofil seringkali rendah, demikian pula dengan kadar hemoglobin dan
trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel blas
yang dominan.(5)
Pemeriksaan hematologi menunjukan normokrom normositer dan
trombositopeni pada sebagian besar kasus. Total hitung jenis dapat mencapai
9
peningkatan sebesar 200 x 10 / L. Terjadi hiperseluluer sumsum tulang
dengan > 30% sel leukemia.
Pemeriksaan Lumbal Punksi juga dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya peningkatan pada LCS dan jumlah sel leukemia. Test biokimiawi
dapat menunjukkan peningkatan asam urat pada serum, laktat dehidrogenase
dan hiperkalemi.
Sebelum melakukan pengobatan harus dilakukan tes fungsi hati dan
ginjal. Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya lesi pada tulang dan massa
pada mediastinum karena pembesaran thymus dan atau mediastinum
limfonodus yang merupakan karakteristik dari T-ALL.
f) Penatalaksanaan
Menggunakan obat-obat sitostatika yang akan menghambat reproduksi
sel leukemi. Kombinasi minimal 3 macam obat untuk meningkatkan efek obat
sistotoksik dan untuk memperbaiki stadium remisi dan mengurangi resistensi
obat-obatan.
Pada terapi initial dapat terjadi penigkatan kalium dan asam urat di
darah dan dapat terjadi nefropati, namun pada keadaan ini dapat diberikan
allopurinuol sebelum dimulainya terapi. Bila terjadi alkalinisasi dapat
diberikan natrikus bikarbonat intravena.
Terapi untuk kegagalan sumsum tulang:
1. Memasukkan kateter vena sentral. Ini dilakukan untuk pemberian
kemoterapi, antibiotik dan untuk pengambilan sampel darah.
2. Mencegah muntah. Obat yang digunakan adalah obat-obat anti
emetik seperti metoklopramid, fenotiasin (klorpromazin atau
proklorperazin)
3. Pemberian darah dengan PRC dan Trombosit concentrate. Juga
dapat diberikan Fresh Frozen Plasma bila terdapat koagulapati.
4. Allopurinol dan cairan intravena
5. Profilaksis untuk infeksi dengan pemberian antibiotik atau anti
jamur atau antiviral.
Ada juga spesifik terapi yang berupa radioterapi atau kemoterapi.
Protokol pemberian berbeda-beda sesuai dengan golongan umur. Keadaan ini
mengingat tiap umur memiliki prognosis yang berbeda-beda.
Induksi remisi
Tujuannya adalah untuk mematikan proliferasi yang hebat dari sel-sel
leukemi. Dalam kasus ini digunakan prednisolon atau dexamethason,
vinkristine dan asparaginase. Namun pada dewasa sering ditambahkan
daunorubicin. Namun harus diingat bahwa remisi tidaklah serupa dengan
kesembuhan. Mungkin saja dalam fase remisi ini masih terjadi proliferasi
hebat dari sel leukemi itu sendiri dan bila ini terjadi kemotherapi dapat
dipikirkan. Namun pencapaian dari remisi ini merupakan langkah awal dari
pengobatan dan bilamana pasien dalam fase ini gagal dapat diperkirakan
memiliki prognosis yang buruk.
Konsolidasi
Pada fase ini digunakan dosis tinggi dari berbagai macam obat
kemoterapi dengan tujuan untuk mengurangi pertumbuhan sel tumor. Namun
dosis ini juga disesuaikan dengan toleransi pasien dan mempertimbangkan
kondisi intestinal dari pasien itu sendiri. Protokol yang sering digunakan
meliputi vinkristine, siklofosfamid, sitosin, arabinosid, daunorubicin,
etoposide, thioguanin atau merkaptopurin.
Terapi untuk Central Nervous System
Obat yang diperlukan di sini adalah obat yang dapat mencapai LCS.
Diantaranya Methotrexat dosis tinggi baik intravenous maupun intratekal dan
dikombinasi dengan cytosine arabinoside. Obat-obatan ini diberikan bila
terdapat gejala-gejala seperti mual, sakit kepala, papil edem atau tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial lain.
Maintanance
Diberikan dalam 2 tahun untuk anak perempuan dan dewasa dan 3
tahun untuk anak laki-laki. Dengan pemberian tiap hari per oral
Merkaptopurin dan seminggu sekali Methetrexat. Vinkristin intravena
diberikan jangka pendek (5 hari) dengan kortikosteroid selama 3 bulan. Dapat
juga ditambahkan Cotrimoksazole bila dicurigai ada infeksi Pneumocytis
carinii.
g) Prognosis
Prognosis pada pasien berbeda-beda sesuai dengan pencapaiannya pada
fase induksi remisi. Umur juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi
prognosis.
Prognosis LLA pada anak-anak baik; lebih dari 95% terjadi remisi
sempurna. Kira-kira 70-80% dari pasien bebas gejala selama 5 tahun. Apabila
terjadi relaps, remisi kedua sempurna dapat terjadi pada sebagian besar kasus.
Para pasien ini merupakan kandidat untuk transplantasi sumsum tulang,
dengan 35-65% kemungkinan hidup lebih lama.(5)
Tabel 7. Faktor Prognostik untuk Lamanya Remisi pada LLA Dewasa (2)
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Fadjari, Heri. Leukemia Granulositik Kronis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2006. 165: 688-90.
2. Fianza, Panji Irani. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 174: 728-34.
3. Kurnianda, Johan. Leukemia Mieloblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 169: 706-9.
4. Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 2. Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 175: 735-8.
5. Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wahyu Ika Wardhani; Wiwiek Setiowulan. Editor.
Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.
2003. 51: 560-3.