Disusun oleh:
Ika Mahardika Muntalib
41221396100039
Pembimbing:
dr. Aditya Anandito, Sp.BS
0
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan
tugas referat ini yang berjudul “Sistem Saraf Otonom”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase ilmu
bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. dr. Aditya Anandito, Sp.BS selaku pembimbing referat ini
2. Seluruh dokter dan staf pengajar di SMF Ilmu Bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota
Bekasi.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Kami menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena
itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat
kami harapkan.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka
wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang Ilmu Bedah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bekasi, 23 April 2023
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................0
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
BAB III....................................................................................................................................21
KESIMPULAN.......................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf, satu dari dua sistem pengaturan utama tubuh terdiri dari sistem saraf
pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medula spinalis, dan sistem saraf tepi (SST) yang
terdiri dari serat aferen dan eferen yang menyampaikan sinyal antara SSP dan perifer (bagian
tubuh lainnya)1. Sistem saraf otonom (ANS/ autonomic nervous system) berperan penting
dalam aktivitas involunter tubuh (yang diantaranya mencakup termasuk homeostasis
termoregulasi, kardiovaskular, dan gastrointestinal)1. Sistem saraf otonom memiliki dua
subdivisi yaitu sistem saraf simpatetik (SNS/ sympathetic nervous system), yang
mengendalikan respon ”fight or flight", dan sistem saraf parasimpatetik (PNS/
parasympatethic nervous system), yang bertugas untuk mengawasi fungsi-fungsi
pemeliharaan tubuh, yang diantaranya mencakup fungsi pencernaan dan sistem
genitourinari1.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 2.1. Perjalanan Sistem Saraf Autonom
2.1.1.1 Ganglia Rantai Simpatis
Serabut preganglion yang target organnya pada permukaan tubuh,
kavitas torakalis, kepala dan ekstremitas akan memasuki ganglia di rantai
simpatis. Serabut postganglion yang membawa perintah motorik untuk target
organ di permukaan tubuh, kepala, leher atau ekstremitas akan memasuki
ramus abu-abu dan kembali ke nervus spinalis untuk kemudian berjalan ke
target organ (gambar 2.1 kanan). Semua serabut simpatis ini merupakan
serabut tipe C yaitu serabut yang sangat kecil yang bersamaan dengan serabut
skeletal pada saraf skeletal untuk menyebar keseluruh bagian tubuh.2
Sedangkan, serabut postganglion yang membawa perintah motorik ke struktur
7
di kavitas torakalis, seperti pada jantung dan paru, keluar melalui bundel
disebut nervus simpatis (gambar 2.1 kiri)3,5 Neuron preganglion simpatis
hanya terdapat pada T1 sampai dengan L2, namun serabut postganglion
simpatis dari ganglion akan memasuki ramus abu-abu kemudian berjalan ke
arah saraf servikalis, lumbalis, dan spinalis. Sebagai hasilnya, meskipun hanya
saraf spinalis T1-L2 yang memiliki ramus putih, setiap nervus spinalis
memiliki ramus abu-abu yang membawa serabut postganglion simpatis untuk
distribusi ke permukaan tubuh. 3 5
8
proksimal usus besar; sedangkan ganglion mesenterik inferior menginervasi
porsio terminal usus besar, ginjal dan kandung kemih serta organ seks. 2 3 5
Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana efek stimulasi
pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh, tergantung produksi jenis
second messengers yang dihasilkan. Fungsi reseptor α1 (tipe reseptor alfa
yang paling banyak) adalah pelepasan ion kalsium dari cadangan di retikulum
endoplasma yang menyebabkan efek eksitatori pada sel target. Sedangkan
stimulasi reseptor α2 menghasilkan penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di
sitoplasma. Cyclic-AMP adalah second messenger yang dapat mengaktifasi
sehingga penurunan cAMP umumnya memiliki efek inhibisi sel. Umumnya
reseptor α2 terdapat di presinap yang disebut autoreseptor untuk self-inhibiting
sehingga NE akan berhenti dilepaskan ke celah sinaps.1 2
11
dekat (ganglion terminal) dengan organ target. Serabut preganglion divisi
parasimpatik tidak berbeda jauh seperti divisi simpatis, dimana satu serabut
preganglion dapat bersinaps pada enam sampai delapan neuron ganglion.
Hanya berbeda dengan serabut postganglion simpatis, serabut postganglion
parasimpatis mempengaruhi organ yang sama. Hanya saja, berbeda dengan
divisi simpatis ganglion parasimpatis memiliki target organ spesifik sehingga
efek stimulasi parasimpatis lebih terlokalisir. 3 5
Pleksus mienterik:
GIT
Nervus vagus 75 % merupakan aliran parasimpatis, cabang nervus
vagus banyak yang bergabung dengan serabut postganglion simpatis
membentuk pleksus. Serabut preganglion pada segmen sakralis pada medula
spinalis tidak memasuki nervus spinalis, namun serabut preganglion
membentuk nervus pelvik, dimana serabut tersebut menginervasi ganglia
12
intramural pada dinding ginjal, kandung kemih, porsio terminal usus besar dan
organ seks (gambar 2.2).5
13
2.3 Interaksi antara Saraf Simpatis dan Parasimpatis
Perbedaan sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kolerasi fisiologis dan
fungsional. Sistem saraf simpatis memiliki pengaruh yang luas diseluruh tubuh, sedangkan
parasimpatis hanya menginervasi struktur viseral yang dilayani oleh nervus kranialis atau
yang berada di kavitas abdominopelvik. Meskipun beberapa organ hanya dilayani oleh satu
divisi SSO saja, kebanyakan organ mendapatkan innervasi ganda yaitu menerima instruksi
dari simpatis dan parasimpatis. Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
koordinasi antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis juga terjadi dengan adanya reseptor
α2 pada divisi parasimpatik. Saat divisi parasimpatis aktif, NE dilepaskan oleh stimulasi
simpatis kemudian mengikat sambungan neuromuskular dan neuroglandular parasimpatik
sehingga menghambat aktivitasnya2 3.
14
Gambar 2.5 Efek Sistem Saraf Otonom pada Berbagai Organ1
15
mendominasi. dominasi simpatis pada suatu organ tertentu terjadi ketika
frekuensi impuls serat simpatis ke organ meningkat melebihi tingkat tonus,
disertai oleh penurunan secara bersamaan frekuensi potensial aksi serat
parasimpatis di bawah tingkat tonus ke organ yang sama. kebalikannya terjadi
ketika parasimpatis mendominasi3.
2.4 Interaksi dan Kontrol Fungsi Otonom
SSO memiliki hirarki refleks untuk mengontrol target organ otonom. Refleks tersebut
dimulai dari lokal, yang meliputi hanya satu bagian neuron, ke regional yang memerlukan
mediasi oleh medula spinalis dan ganglia otonom yang bersangkutan, sampai ke hirarki
yang paling kompleks yaitu aksi oleh batang otak dan pusat-pusat di otak. Secara umum,
semakin tinggi tingkat kompleksitasnya maka semakin refleks tersebut membutuhkan
koordinasi oleh respon kedua divisi SSO dan respon hirarki yang lebih tinggi, serta
neuron somatik dan sistem endokrin juga dapat terlibat3.
17
2.5 Disfungsi pada Sistem Saraf Otonom
Regulasi sistem saraf otonom sangat bergantung terhadap masukan dari serat
aferen perifer dan neural sirkuit yang menyambungkan ke bagian sistem saraf pusat 7.
sistem saraf otonom bersifat involunter, artinya regulasi yang dilakukan bergantung
terhadap masukan yang nantinya akan menghasilkan output berupa perilaku atau sistem
kerja berulang di dalam tubuh. Dengan adanya jalur dan koneksi spesifik dari perifer
menuju sistem saraf pusat maka memungkinkan tubuh dalam situasi tertentu dapat
melakukan penyesuaian dengan cepat7. Perilaku didefinisikan sebagai sebuah keluaran
motorik tubuh yang dihasilkan oleh koordinasi dari tiga divisi sistem motorik yaitu
somatik, otonom dan sistem motorik neuroendokrin. Aktivitas sistem mtorik dalam
menghasilkan perilaku tergantung pada tiga input yaitu sistem sensorik, sistem kotikal,
dan behavioral system. Sistem saraf otonom memiliki sel efektor yang lebih beragam
dibanding sistem saraf tepi lainnya seperti sistem saraf somatik sehingga sistem saraf
otonom komponent yang besar dalam sistem saraf tepi7.
Aktivitas sistem saraf otonom bergantung pada input refleks sensorik, kortikal dan
keadaan (state). Perubahan yang terjadi pada bagian input perifer dan sentral akan
mempengaruhi aktivitas dan regulasi sistem saraf otonom7. Disfungsi pada sistem saraf
18
otonom dapat berupa kelainan primer perifer ( primarily peripheral origin) atau kelainan
pada sistem saraf pusat (central origin)7.
2.5.1 Patofisiologi
Patofisiologi pada SSO tergantung pada area yang terkena. Baik yang
terkait secara anatomis ataupun fungsional dapat terpengaruh6. Disfungsi
otonom dapat terjadi akibat penyakit apapun yang memengaruhi komponen
perifer atau sentral ANS. Disfungsi otonom primer melibatkan degenerasi
primer (idiopatik) serat postganglionik otonom tanpa kelainan neurologis
lainnya6. Dalam sistem kardiovaskular, terdapat tiga sindrom patofisiologi
yang berkaitan dengan disfungsi kronis SSO yaitu sindrom takikardia postural
ortostatik (POTS), hipotensi ortostatik dengan supine hipertensi, dan sindrom
refleks kardiovaskular6. Pada termoregulasi dapat terjadi gangguan
hiperhidrosis hipohidrosis6. Pada mata dapat terjadi midriasis dan miosis tetap
yang dikenal sebagai pupil Adie’s dan sindrom horner pada mata6.
a. Hipotensi ortostatik
d. Penyakit Parkinson
20
BAB III
KESIMPULAN
Divisi simpatis meliputi dua set rantai ganglia simpatis di setiap sisi kolumna vertebra; tiga
ganglia kolateral; dan dua medulla adrenal. Serabut preganglio simpatis dapat menginervasi
dua lusin atau lebih neuron ganglionik pada ganglia yang berbeda, sebagai hasilnya satu
neuron motor simpatis pada SSP dapat mengontrol berbagai macam organ viseral dan dapat
menghasilkan respon yang kompleks dan terkoordinasi. Divisi parasimpatis meliputi nukleus
motor viseral yang berhubungan dengan nervus kranialis III, VII, IX dan X dan segmen
sakralis S2–S4. Neuron ganglionik parasimpatis terdapat di dalam atau dekat dengan organ
target. Hal ini menyebabkan aktivasi parasimpatis mengaktifkan respon yang spesifik pada
organ atau bagian organ tertentu.
Serabut preganglion kedua divisi SSO menghasilkan ACh untuk menstimulasi serabut
postganglion. Serabut potganglion simpatis kebanyakan menghasilkan NE dan E sehingga
simpatis disebut neuron adrenergik, sedangkan parasimpatis tetap menghasilkan ACh
sehingga disebut neuron kolinergik. Efek stimulasi simpatis dan parasimpatis dipengaruhi
oleh reseptor yang dipengaruhinya dan second mesengger yang dihasilkan oleh reseptor
tersebut. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor alpha dan beta, sedangkan parasimpatis terdiri
dari reseptor nikotinik dan muskarinik, dimana persebarannya menyebabkan perbedaan efek.
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang kebanyakan adalah berlawanan
namun saling berintegrasi satu dengan yang lain interaksi tersebut dapat dilakukan dengan
adanya innervasi ganda organ dan adanya tonu otonom. Selain itu fungsi SSO juga
dipengaruhi oleh pusat pengaturan yang lebih tinggi untuk melakukan suatu reflek viseral.
Pusat pengaturan SSO memiliki hirarki dari lokal, regional sampai yang kompleks dimana
melibatkan Sistem Saraf Pusat yang disebut dengan “jaringan otonom pusat”. SSO juga tidak
dapat dipisahkan dengan SSS untuk melaksanakan fungsinya terutama dalam menjalankan
reflek viseral.
Aktivitas sistem saraf otonom bergantung pada input refleks sensorik, kortikal dan
keadaan (state). Perubahan yang terjadi pada bagian input perifer dan sentral akan
mempengaruhi aktivitas dan regulasi sistem saraf otonom. Disfungsi pada sistem saraf
21
otonom dapat berupa kelianan primer perifer ( primarily peripheral origin) atau kelianan
pada sistem saraf pusat (central origin).
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016
2. Guyton, A. Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed-11. Jakarta:EGC,2007.
3. Martini, FH. Fundamentals of anatomy & Physiology seventh edition. San Fransisco:
Pearson, 2006.
23