Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

SISTEM SARAF OTONOM

Disusun oleh:
Ika Mahardika Muntalib
41221396100039

Pembimbing:
dr. Aditya Anandito, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH DAN ATLS


RSUD CHASBULLAH ABDULMADJID KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
27 MARET – 09 JUNI 2023

0
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan
tugas referat ini yang berjudul “Sistem Saraf Otonom”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase ilmu
bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. dr. Aditya Anandito, Sp.BS selaku pembimbing referat ini
2. Seluruh dokter dan staf pengajar di SMF Ilmu Bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota
Bekasi.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Kami menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena
itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat
kami harapkan.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka
wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang Ilmu Bedah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bekasi, 23 April 2023

Penulis

Ika Mahardika Muntalib

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................0

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 5

2.1 Saraf Simpatis..................................................................................................................5

2.1.1 Anatomi Saraf Simpatis.............................................................................................5

2.1.1.1 Ganglia Rantai Simpatis...................................................................................7

2.1.1.2 Ganglia Kolateral.............................................................................................8

2.1.1.2 Medula Adrenal................................................................................................9

2.1.2 Stimulasi Simpatis dan Neurotransmitter................................................................... 9

2.2 Sistem Saraf Parasimpatis.............................................................................................. 11

2.2.1 Anatomi Saraf Parasimpatis.....................................................................................13

2.2.2 Stimulasi Parasimpatis dan Neurotransmitter


………………………………............................. 9

2.3 Interaksi antara Saraf Simpatis dan Saraf Parasimpatis................................................ 14

2.3.1 Anatomi inervasi ganda………………………………………………………. 14

2.3.2 Tonus Otonom……………………………………………………………………. 15

2.4 Interaksi dan Pengawasan Fungsi Otonom ................................................................... 16

2.4.1 Refleks Visceral……………………………………………….…………………. 16

2.4.1 Pengaturan Otonom pada Area yang Lebih Tinggi…………. …………………...17

2.5 Disfungsi pada Sistem Saraf Otonom............................................................................ 18

2.5.1 Patofisiologi…………………………………………………. …………………... 19

BAB III....................................................................................................................................21

KESIMPULAN.......................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23
2
BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf, satu dari dua sistem pengaturan utama tubuh terdiri dari sistem saraf
pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medula spinalis, dan sistem saraf tepi (SST) yang
terdiri dari serat aferen dan eferen yang menyampaikan sinyal antara SSP dan perifer (bagian
tubuh lainnya)1. Sistem saraf otonom (ANS/ autonomic nervous system) berperan penting
dalam aktivitas involunter tubuh (yang diantaranya mencakup termasuk homeostasis
termoregulasi, kardiovaskular, dan gastrointestinal)1. Sistem saraf otonom memiliki dua
subdivisi yaitu sistem saraf simpatetik (SNS/ sympathetic nervous system), yang
mengendalikan respon ”fight or flight", dan sistem saraf parasimpatetik (PNS/
parasympatethic nervous system), yang bertugas untuk mengawasi fungsi-fungsi
pemeliharaan tubuh, yang diantaranya mencakup fungsi pencernaan dan sistem
genitourinari1.

Fungsi masing-masing divisi simpatis dan parasimpatis biasanya memiliki pengaruh


yang berlawanan dimana keduanya memiliki sifat yang dapat mengaktivasi suatu organ atau
menghambat kerjanya. Stimulasi simpatis meningkatkan denyut jantung, sementara stimulasi
parsimpatis menurunkannya; stimulasi simpatis memperlambat pergerakan di dalam saluran
pencernaan, sementara stimulasi parasimpatis meningkatkan motilitas saluran cerna1. Divisi
simpatis menyiapkan tubuh untuk penggunaan energi, dalam keadaan stress, atau keadaan
gawat darurat. Sebaliknya divisi parasimpatik lebih aktif dalam keadaan istirahat atau biasa.
Parasimpatis juga menyeimbangkan efek divisi simpatis dan memulihkan tubuh kembali
menjadi keadaan istirahat setelah keadaan yang stressful. Meskipun demikian, divisi simpatis
dan parasimpatis tidak bekerja sendiri-sendiri, namun lebih memiliki interaksi dan kordinasi
secara fisiologis dan fungsional1.
Sistem saraf otonomi memiliki reflek yang disebut sebagai refleks viseral, dimana
sinyal-sinyal sensorik bawah sadar dari organ viseral dapat memasuki ganglia otonom, batang
otak, atau hipotalamus dan kemudian mengembalikan respon refleks bawah sadar langsung
3
ke organ-organ viseral dan mengatur aktivitas organ-organ tersebut1. Reflek ini memiliki
kerja yang luas di tubuh, seperti pada reflek pada pengaturan tekanan darah, batuk, menelan,
dan lain sebagainya. Setiap reflek tersebut kebanyakan adalah reflek yang terjadi saat
terdapat hal yang mengancam dan memiliki kepentingan tersendiri untuk menjaga agar
kondisi tubuh tetap hemodinamis. Reflek viseral mendapatkan sebagian informasi dari aferen
sistem saraf somatomotor di organ viseral, setelah itu barulah eferen motorik otonom
menghantarkan reflek ke organ tujuan. Oleh sebab itu, luasnya dan pentingnya kerja sistem
saraf simpatis dan parasimpatis tersebut menyebabkan penting untuk mengetahui bagaimana
anatomi dan organisasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sehingga manipulasi sistem
saraf tersebut dapat dilakukan dengan baik untuk kepentingan klinis terutama apabila terjadi
perubahan patologis pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis2 3.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf Simpatis


Saat teraktivasi sepenuhnya, sistem saraf simpatis memproduksi respon”fight or
flightíng” yang mempersiapkan tubuh untuk keadaan krisis yang mungkin membutuhkan
aktivitas fisik yang tiba-tiba dan intens. Sistem simpatis menyiapkan tubuh untuk
melawan atau lari dari ancaman, maka simpatis berhubungan dengan hal yang dibutuhkan
tubuh dalam situasi terancam. Jantung berdetak lebih cepat dan kuat, tekanan darah
meningkat akibat konstriksi generalisata pembuluh darah, saluran napas berdilatasi untuk
memaksimalkan aliran udara, glikogen dan simpanan lemak diuraikan untuk
mengeluarkan bahan bakar tambahan ke dalam darah. Semua respon ini ditujukan untuk
meningkatkan aliran darah kaya nutrien dan beroksigen ke otot rangka sebagai antisipasi
terhadap aktivitas fisik berat. Selain itu, pupil berdilatasi untuk dapat melihat lebih jauh
untuk dapat melihat seluruh hal yang mengancam. Berkeringat meningkat sebagai
antisipasi terhadap peningkatan berlebihan produksi panas oleh aktivitas fisik. Karena
aktivitas pencernaan tidak esensial untuk menghadapi ancaman, sistem simpatis
menghambat sistem ini. Sistem ini mempersiapkan tubuh untuk menambah level aktivitas
somatik. Peningkatan aktivitas simpatik umumnya menstimulasi metabolisme jaringan
dan meningkatkan kewaspadaan 2. Sistem saraf simpatis juga cenderung melakukan
perangsangan secara massal sedangkan parasimpatis menyebabkan respon setempat yang
spesifik2 3.

2.1.1 Anatomi Sistem Saraf Simpatis


Serabut saraf simpatis bermula dari medulla spinalis yang keluar bersama
dengan nervus spinalis diantara segmen medulla T-1 dan L-2 dan berjalan
mula-mula ke “rantai simpatis” untuk selanjutnya ke jaringan dan organ target.
Sistem saraf otonom berbeda dengan SSS, dimana setiap perjalanan SSO terdiri
atas dua neuron, yaitu neuron preganglion dan postganglion. Badan sel neuron
preganglion simpatis terletak di kornu intermediolateral medula spinalis; dan
kemudian serabut-serabutnya berjalan melewati radiks anterior medulla menuju
35
saraf spinal .
5
Segera setelah saraf spinal meninggalkan kanalis spinalis, serabut
preganglion simpatis bermielin meninggalkan saraf spinal tersebut dan berjalan
melewati ramus putih ke salah satu ganglia dari rantai simpatis. Selanjutnya
serabut tersebut dapat mengalami salah satu dari ketiga hal berikut 5:
1. Serabut-serabut dapat bersinaps dengan neuron simpatis postganglion
yang ada di dalam ganglion yang dimasukinya.
2. Serabut-serabut tersebut dapat berjalan ke atas atau ke bawah dalam
rantai simpatis dan bersinaps di salah satu ganglia lain dalam rantai
tersebut atau
3. Serabut itu dapat berjalan melalui rantai ke berbagai arah dan
selanjutnya melalui salah satu saraf simpatis memisahkan diri keluar
dari rantai, untuk akhirnya bersinaps dengan ganglia perifer simpatis.
Serabut presinapsis dapat bersinapsis di ganglia rantai simpatis, atau di ganglia
perifer simpatis yang meliputi ganglia kolateral dan medula adrenal.

6
Gambar 2.1. Perjalanan Sistem Saraf Autonom
2.1.1.1 Ganglia Rantai Simpatis
Serabut preganglion yang target organnya pada permukaan tubuh,
kavitas torakalis, kepala dan ekstremitas akan memasuki ganglia di rantai
simpatis. Serabut postganglion yang membawa perintah motorik untuk target
organ di permukaan tubuh, kepala, leher atau ekstremitas akan memasuki
ramus abu-abu dan kembali ke nervus spinalis untuk kemudian berjalan ke
target organ (gambar 2.1 kanan). Semua serabut simpatis ini merupakan
serabut tipe C yaitu serabut yang sangat kecil yang bersamaan dengan serabut
skeletal pada saraf skeletal untuk menyebar keseluruh bagian tubuh.2
Sedangkan, serabut postganglion yang membawa perintah motorik ke struktur
7
di kavitas torakalis, seperti pada jantung dan paru, keluar melalui bundel
disebut nervus simpatis (gambar 2.1 kiri)3,5 Neuron preganglion simpatis
hanya terdapat pada T1 sampai dengan L2, namun serabut postganglion
simpatis dari ganglion akan memasuki ramus abu-abu kemudian berjalan ke
arah saraf servikalis, lumbalis, dan spinalis. Sebagai hasilnya, meskipun hanya
saraf spinalis T1-L2 yang memiliki ramus putih, setiap nervus spinalis
memiliki ramus abu-abu yang membawa serabut postganglion simpatis untuk
distribusi ke permukaan tubuh. 3 5

Gambar 2.2 Perjalanan serabut postganglionic Simpatis


2.1.1.2 Ganglia Kolateral
Ganglia kolateral membawa perintah motorik ke visera
abdominopelvik. Serabut preganglion yang menginervasi ganglia kolateral
keluar dari saraf splanknik yang berjalan di dinding dorsal kavitas abdominal.
Meskipun ganglia kolateral merupakan ganglia yang terpisah yaitu ganglia
kolateral kiri dan kanan, keduanya biasanya berfusi bersama terutama pada
orang dewasa.2 3
Saraf splaknik menginervasi tiga ganglia kolateral. Serabut
preganglion tujuh segmen thorakalis inferior berakhir di ganglion celiac atau
ganglion mesenteric superior, sedangkan pada ganglion mesenterik inferior
berasal dari segmen lumbalis. Ketiga ganglia tersebut dinamai berdasarkan
2 .
hubungannya dengan arteri terdekat Serabut postganglion ganglion celiac
akan menginervasi lambung, hati, kantung empedu, pancreas, dan lien;
ganglion mesenteric superior menginervasi usus halus dan dua pertiga

8
proksimal usus besar; sedangkan ganglion mesenterik inferior menginervasi
porsio terminal usus besar, ginjal dan kandung kemih serta organ seks. 2 3 5

2.1.1.3. Medula Adrenal


Serabut preganglion memasuki kelenjar adrenal berjalan ke pusatnya
(medulla adrenal). Medula adrenal adalah ganglion simpatis yang
bermodifikasi dimana serabut preganglion bersinapsis pada sel neuroendokrin,
neuron yang terspesialisasi mensekresikan hormon (chemical messengers) ke
dalam aliran darah. Sel neuroendokrin medulla adrenal mensekresikan
katekolamin yaitu 80% neurotransmitter epinefrin (E) yang dibentuk dari
norepinefrin (NE) dan 20% NE itu sendiri.3 Katekolamin tersebut disimpan
dalam badan kromafin medula adrenal.2
Aliran darah kemudian membawa neurotransmitter ke seluruh tubuh,
menyebabkan perubahan aktivitas metabolisme yang luas pada sel-sel di
tubuh. Efek tersebut menyerupai stimulasi yang dihasilkan oleh inervasi
langsung oleh serabut postganglion simpatis. Namun, terdapat perbedaan
stimulasi oleh medulla spinalis dibandingkan dengan serabut postganglion
yaitu: (1) Sel tidak diinervasi oleh serabut postganglion simpatis dan (2)
efeknya berakhir lebih lama dibandingkan yang dihasilkan oleh inervasi
simpatis langsung, karena hormon tetap lanjut berdifusi keluar aliran darah
untuk periode yang lebih lama dan eliminasi neurotransmitter yang lebih lama
pula. 1 2 4

2.1.2 Stimulasi Simpatis dan Neurotransmitter


Stimulasi neuron preganglion simpatis menghasilkan ACh yang
kemudian menstimulasi serabut postganglion simpatik. Serabut postganglionik
tersebut akhirnya akan menghasilkan NE, atau E pada medula adrenal. Neuron
simpatis disebut neuron adrenergic karena neurotransmitter yang dihasilkan
kebanyakan adalah NE, meskipun demikian,terdapat sedikit neuron ganglionik
simpatis yang melepaskan neurotransmitter lain namun memainkan peranan
yang penting. NE dan atau E yang dilepaskan oleh neuron simpatis akan
ditangkap oleh reseptor adrenergik yang akan menyebabkan efek tertentu pada
9
sel target. Terdapat dua kelas reseptor simpatis yang umum yaitu reseptor alfa
(𝞪) dan reseptor beta (𝛃) yang masing masing dibagi menjadi reseptor 𝞪1 dan
𝞪2 serta 𝛃1 dan 𝛃2.. Secara umum, NE lebih menstimulasi reseptor alfa
dibandingkan dengan reseptor beta karena reseptor β2 lebih responsif terhadap
E, oleh karena itu epinefrin menstimulasi kedua kelas reseptor. Sehingga NE
terlibat dalam stimulasi terlokalisir sedangkan E mempengaruhi reseptor alfa
dan beta seluruh tubuh. 1 2 3

Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana efek stimulasi
pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh, tergantung produksi jenis
second messengers yang dihasilkan. Fungsi reseptor α1 (tipe reseptor alfa
yang paling banyak) adalah pelepasan ion kalsium dari cadangan di retikulum
endoplasma yang menyebabkan efek eksitatori pada sel target. Sedangkan
stimulasi reseptor α2 menghasilkan penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di
sitoplasma. Cyclic-AMP adalah second messenger yang dapat mengaktifasi
sehingga penurunan cAMP umumnya memiliki efek inhibisi sel. Umumnya
reseptor α2 terdapat di presinap yang disebut autoreseptor untuk self-inhibiting
sehingga NE akan berhenti dilepaskan ke celah sinaps.1 2

Reseptor β adalah reseptor dengan protein G yang menstimulasi peningkatan


kadar cAMP intrasel setelah neurotransmitter berikatan dengan reseptor.
Reseptor β1 hanya berada di jantung sedangkan β2 lebih tersebar luas di
dalam tubuh. Umumnya stimulasi reseptor β1 kemudian akan meningkatkan
aktifitas metabolisme atau eksitasi sedangkan, stimulasi reseptor β2
menyebabkan inhibisi sebagai contoh memicu relaksasi otot polos sepanjang
12
jalur pernafasan . Tipe reseptor beta yang ketiga adalah beta-3 (β3), terdapat
di jaringan lemak, stimulasinya menyebabkan lipolisis, penghancuran
trigliserid yang disimpan dalam adiposit 2. Meskipun kebanyakan serabut
postganglion simpatis adalah adrenergik, beberapa adalah kolinergik. Serabut
postganglion tersebut menginervasi kelenjar keringat kulit dan pembuluh
darah otot skeletal dan otak 2. Aktivasi serabut simpatis tersebut menstmulasi
sekresi kelenjar keringat dan dilatasi pembuluh darah. Hal ini penting karena
saat stimulasi simpatis terjadi, akan terjadi peningkatan panas sehingga
10
dibutuhkan ekskresi keringat untuk termoregulasi, dan pada saat itu juga
dibutuhkan sediaan energi yang banyak untuk otak dan otot sehingga saat
stimulasi simpatis menurunkan aliran darah pada viseral lain di tubuh dengan
vasokontriksi, vasodilatasi pembuluh darah di otak dan otot skeletal
menyebabkan darah tersebut dialihkan ke kedua organ ini.
Tabel 2.1. Sifat-Sifat Berbagai Jenis Reseptor Autonom1

2.2 Sistem Saraf Parasimpatis


2.2.1 Anatomi Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis memiliki badan sel neuron preganglion di batang
otak dan segmen sakralis medula spinalis. Mesencepalon, pons, dan medula
oblongata yang terdapat pada batang otak memiliki nucleus otonom yang
mengirm perintah motorik ke nervus kranialis (CN) III, VII, IX, dan X (tabel
2.2) sedangkan pada segmen sakralis nucleus otonomnya berada pada gray
horns pada S2-S4.3 5

Serabut preganglion parasimpatis memiliki ukuran yang sangat panjang


sedangkan serabut postganglionnya pendek. Hal ini disebabkan oleh karena
ganglia pada sistem saraf simpatis terdapat di dalam (ganglion intramural) atau

11
dekat (ganglion terminal) dengan organ target. Serabut preganglion divisi
parasimpatik tidak berbeda jauh seperti divisi simpatis, dimana satu serabut
preganglion dapat bersinaps pada enam sampai delapan neuron ganglion.
Hanya berbeda dengan serabut postganglion simpatis, serabut postganglion
parasimpatis mempengaruhi organ yang sama. Hanya saja, berbeda dengan
divisi simpatis ganglion parasimpatis memiliki target organ spesifik sehingga
efek stimulasi parasimpatis lebih terlokalisir. 3 5

Tabel 2.2 Distribusi nervus kranialis sistem saraf parasimpatis2

Nukleus Ganglion Target jaringan


Nervus Kranialis (lokasi)

III Okulomotorius Edinger-West Ciliary Akomodasi dan


phal (otak konstriksi pupil
tengah)

VII Fasialis Salivatory Pterigopalatina Sekretomor: lakrimal,


superior nasalis, palatine
(pons)
Submandibular Sekretomotor:
submandibular,
sublingual

IX Glossofaringeal Salivatory Otic Sekretomotor kelenjar


inferior parotid
(upper
medulla)

X Vagus Dorsal motor Dekat dengan Pleksus kardiak:


(medula organ atau di jantung
oblongata) dalam organ
Pleksus pulmoner:
paru

Pleksus mienterik:
GIT
Nervus vagus 75 % merupakan aliran parasimpatis, cabang nervus
vagus banyak yang bergabung dengan serabut postganglion simpatis
membentuk pleksus. Serabut preganglion pada segmen sakralis pada medula
spinalis tidak memasuki nervus spinalis, namun serabut preganglion
membentuk nervus pelvik, dimana serabut tersebut menginervasi ganglia
12
intramural pada dinding ginjal, kandung kemih, porsio terminal usus besar dan
organ seks (gambar 2.2).5

2.2.2 Stimulasi Parasimpatis dan Neurotransmitter


Semua neuron parasimpatis melepaskan ACh sebagai neurotransmitter.
Efeknya pada sel postsinaps sangat bervariasi, tergantung tipe reseptor atau
sifat second messenger yang terlibat. Neuromuskular dan neuroglandular
junction sistem saraf parasimpatik kecil dan memiliki celah sinaps yang
sempit. ACh disintesis di sitoplasma saraf terminal. Efek stimulasinya adalah
jangka pendek (< 1mdet) karena langsung diinaktivasi oleh asetilkolinesterase
pada sinaps1.
Vesikel pada presinap saraf terminal mengeluarkan ACh ke celah sinap
saat Ca2+ di sitosol meningkat yang merupakan respon terhadap adanya
potensial aksi.Meskipun pada semua sinaps (neuron ke neuron) dan
sambungan neuromuscular dan neuroglandular (neuron ke efektor) pada divisi
parasimpatis menggunakan transmitter yang sama, terdapat dua tipe reseptor
ACh di membrane postsinaps:2 3
1. Reseptor nikotinik: berlokasi di ganglia otonom pada sinaps antara
neuron preganglion dan postganglion parasimpatis dan simpatis, yang
juga terdapat pada neuromuskular junction SSS. Saat ACh berikatan
dengan reseptor terjadi influx cepat Na+ dan Ca2+ dan eksitasi
potensial postsinal yang cepat yang kemudian memicu potensial aksi
postsinap.2
2. Reseptor Muskarinik : dijumpai pada semua sel efektor yang
dirangsang oleh neuron kolinergik postganglion baik oleh sistem saraf
simpatis maupun parasimpatis2 . Resptor muskarinik memiliki protein
G dan stimulasinya menghasilkan efek yang lebih lama dibandingkan
stimulasi yang disebabkan oleh reseptor nikotinik. Responnya dapat
berupa eksitasi atau inhibitory3. Atropin memblok semua reseptor
muskarinik dan terdapat pula obat yang selektif memblok reseptor M.

13
2.3 Interaksi antara Saraf Simpatis dan Parasimpatis
Perbedaan sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kolerasi fisiologis dan
fungsional. Sistem saraf simpatis memiliki pengaruh yang luas diseluruh tubuh, sedangkan
parasimpatis hanya menginervasi struktur viseral yang dilayani oleh nervus kranialis atau
yang berada di kavitas abdominopelvik. Meskipun beberapa organ hanya dilayani oleh satu
divisi SSO saja, kebanyakan organ mendapatkan innervasi ganda yaitu menerima instruksi
dari simpatis dan parasimpatis. Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
koordinasi antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis juga terjadi dengan adanya reseptor
α2 pada divisi parasimpatik. Saat divisi parasimpatis aktif, NE dilepaskan oleh stimulasi
simpatis kemudian mengikat sambungan neuromuskular dan neuroglandular parasimpatik
sehingga menghambat aktivitasnya2 3.

2.3.1 Anatomi inervasi ganda


Umumnya innervasi ganda simpatis dan parasimpatis memiliki efek
yang berlawanan satu sama lain, nyata terlihat pada saluran pencernaan,
jantung dan paru. Selain itu, respon antar divisi mungkin terpisah seperti pada
kelenjar air liur dimana simpatis menghasilkan sekret yang kental sedangkan
parasimpatis menghasilkan liur yang lebih encer atau saling melengkapi
seperti pada fungsi seksual dimana ereksi merupakan fungsi parasimpatis
sedangkan ejakulasi adalah efek simpatis. Serabut postganglion simpatik pada
kavitas thorakalis dan abdominopelvik bergabung dengan serabut preganglion
parasimpatik, membentuk seri jaringan saraf gabungan yang disebut pleksus
otonom antara lain pleksus kardiak , pleksus pulmoner, pleksus esofagal,
pleksus celiac (solaris), pleksus mesenterik inferior, dan pleksus hipogastrik.

14
Gambar 2.5 Efek Sistem Saraf Otonom pada Berbagai Organ1

2.3.2 Tonus Otonom


Normalnya, sistem saraf simpatis dan parasimpatis bersifat aktif terus
menerus, dan nilai aktivitas basalnya telah dikenal dengan sebutan tonus
simpatis dan tonus parasimpatis, dimana keduanya disebut tonus otonom1 3.
Tonus ini memungkinkan satu divisi SSO untuk meningkatkan dan
menurunkan aktivitas organ. Pada keadaan tertentu, aktivitas salah satu divisi

15
mendominasi. dominasi simpatis pada suatu organ tertentu terjadi ketika
frekuensi impuls serat simpatis ke organ meningkat melebihi tingkat tonus,
disertai oleh penurunan secara bersamaan frekuensi potensial aksi serat
parasimpatis di bawah tingkat tonus ke organ yang sama. kebalikannya terjadi
ketika parasimpatis mendominasi3.
2.4 Interaksi dan Kontrol Fungsi Otonom
SSO memiliki hirarki refleks untuk mengontrol target organ otonom. Refleks tersebut
dimulai dari lokal, yang meliputi hanya satu bagian neuron, ke regional yang memerlukan
mediasi oleh medula spinalis dan ganglia otonom yang bersangkutan, sampai ke hirarki
yang paling kompleks yaitu aksi oleh batang otak dan pusat-pusat di otak. Secara umum,
semakin tinggi tingkat kompleksitasnya maka semakin refleks tersebut membutuhkan
koordinasi oleh respon kedua divisi SSO dan respon hirarki yang lebih tinggi, serta
neuron somatik dan sistem endokrin juga dapat terlibat3.

2.4.1 Refleks Viseral


Reflek viseral atau yang disebut juga reflek otonom2 terdiri dari
reseptor, neuron sensori, pusat pengolahan (satu atau lebih interneuron), dan
dua neuron motorik viseral. Setiap reflek viseral adalah polisinaptik; baik itu
reflek panjang maupun reflek pendek.3
Pada reflek panjang , neuron sensori polisinaps mengantar informasi
kepada SSP sepanjang akar dorsal nervus spinalis dalam cabang sensori
nervus kranialis, dan dalam nervus otonom yang menginervasi efektor viseral.
Tahap pengolahan melibatkan interneuron di dalam SSP, dan SSO membawa
perintah motorik kepada efektor visceral yang sesuai3.
Reflek pendek memotong jalur ke SSP dimana hal ini melibatkan
neuron sensori dan interneuron sehingga badan selnya berada di dalam ganglia
otonom. Sinaps interneuron dan perintah motorik kemudian disebarkan oleh
serabut postganglion. Reflek pendek mengontrol respon motorik yang sangat
sederhana dengan efek yang terlokalisir. Secara umum, reflek pendek dapat
mengontrol pola aktifitas pada satu bagian kecil dari organ target, dimana
reflek panjang mengkoordinasikan aktifitas pada keseluruhan organ3. Pada
kebanyakan organ, reflek panjang lebih penting dalam meregulasi aktifitas
viseral, tetapi hal ini tidak berlaku pada salurah pencernaan dan kelenjar yang
16
berhubungan dimana reflek pendek lebih banyak memberikan kontrol dan
koordinasi. Terdapat beberapa reflek otonom pada tubuh kita antara lain reflek
otonom respirasi, fungsi jantung, dan aktifitas visceral yang lain. Divisi
parasimpatis memiliki banyak pengaruh dalam reflek otonom dibanding
simpatis, oleh karena efek massal yang ditimbulkan oleh simpatis3

Gambar 2.4 Refleks Viseral

2.4.2 Pengaturan otonom pada tingkat yang lebih tinggi


Pengaturan sistem saraf otonom memiliki “hirarki pengaturan” dimana
pengaturan terendah adalah medula spinalis dan batang otak. Hipotalamus
dalam pengaturan motonom dibagi menjadi dua bagian yaitu area simpatis
posteromedial dan area parasimpatis anterolateral. Pusat yang lebih kompleks
di otak meliputi sistem limbik dan korteks serebral. Keduanya mengontrol
sistem saraf otonom selama stress emosional5. Aktifitas sistem limbic,
thalamus, atau korteks serebral yang memiliki efek yang besar pada fungsi
otonom karena saat mengatur sistem otonom, karena ditemukan bahwa
hipotalamus melakukan interaksi dengan bagian-bagian otak tersebut. Korteks
dan amigdala diketahui mempengaruhi otonom seseorang saat terjadi
perubahan emosi.Sebagai contoh, saat seseorang marah, denyut jantung akan
meningkat, tekanan darah naik, dan laju pernafasan meningkat, saat seseorang
mengingat makannya yang terakhir, lambung akan berbunyi dan akan keluar
air liur.

17
2.5 Disfungsi pada Sistem Saraf Otonom

Regulasi sistem saraf otonom sangat bergantung terhadap masukan dari serat
aferen perifer dan neural sirkuit yang menyambungkan ke bagian sistem saraf pusat 7.
sistem saraf otonom bersifat involunter, artinya regulasi yang dilakukan bergantung
terhadap masukan yang nantinya akan menghasilkan output berupa perilaku atau sistem
kerja berulang di dalam tubuh. Dengan adanya jalur dan koneksi spesifik dari perifer
menuju sistem saraf pusat maka memungkinkan tubuh dalam situasi tertentu dapat
melakukan penyesuaian dengan cepat7. Perilaku didefinisikan sebagai sebuah keluaran
motorik tubuh yang dihasilkan oleh koordinasi dari tiga divisi sistem motorik yaitu
somatik, otonom dan sistem motorik neuroendokrin. Aktivitas sistem mtorik dalam
menghasilkan perilaku tergantung pada tiga input yaitu sistem sensorik, sistem kotikal,
dan behavioral system. Sistem saraf otonom memiliki sel efektor yang lebih beragam
dibanding sistem saraf tepi lainnya seperti sistem saraf somatik sehingga sistem saraf
otonom komponent yang besar dalam sistem saraf tepi7.

Aktivitas sistem saraf otonom bergantung pada input refleks sensorik, kortikal dan
keadaan (state). Perubahan yang terjadi pada bagian input perifer dan sentral akan
mempengaruhi aktivitas dan regulasi sistem saraf otonom7. Disfungsi pada sistem saraf

18
otonom dapat berupa kelainan primer perifer ( primarily peripheral origin) atau kelainan
pada sistem saraf pusat (central origin)7.

2.5.1 Patofisiologi

Patofisiologi pada SSO tergantung pada area yang terkena. Baik yang
terkait secara anatomis ataupun fungsional dapat terpengaruh6. Disfungsi
otonom dapat terjadi akibat penyakit apapun yang memengaruhi komponen
perifer atau sentral ANS. Disfungsi otonom primer melibatkan degenerasi
primer (idiopatik) serat postganglionik otonom tanpa kelainan neurologis
lainnya6. Dalam sistem kardiovaskular, terdapat tiga sindrom patofisiologi
yang berkaitan dengan disfungsi kronis SSO yaitu sindrom takikardia postural
ortostatik (POTS), hipotensi ortostatik dengan supine hipertensi, dan sindrom
refleks kardiovaskular6. Pada termoregulasi dapat terjadi gangguan
hiperhidrosis hipohidrosis6. Pada mata dapat terjadi midriasis dan miosis tetap
yang dikenal sebagai pupil Adie’s dan sindrom horner pada mata6.

a. Hipotensi ortostatik

Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan


berkelanjutan tekanan darah sistolik minimal 20 mmHg atau tekanan
darah diastolik 10 mmHg dalam waktu tiga menit berdiri atau
memiringkan kepala hingga setidaknya 60 derajat pada meja miring.
Kejadian ini dikaitkan dengan disfungsi otonom dan kelainan motorik
dan serebelar pada penyakit yang melibatkan proses degeneratif
sentral6. Sebuah proses penyakit degeneratif sentral yang melibatkan
degenerasi neuron preganglion akan muncul dengan hipotensi
ortostatik dan gejala parkinson yang khas. adanya kerusakan pada
preganglion yang menuju efektor jantung dan pembuluh darah
menyebabkan penurunan curah jantung yang berlebihan atau
mekanisme vasokonstriktor yang tidak memadai atau rusak6. Hipotensi
ortostatik ditandai dengan seseorang merasa pusing atau seperti akan
pingsan saat berdiri dari duduk atau berbaring. Kondisi ini muncul
akibat keterlambatan atau gangguan pada respons alami tubuh dalam
mengatur tekanan darah6.

b. Postural tachycardia syndrome (POTS)

Postural tachycardia syndrome (POTS) didefinisikan sebagai


peningkatan detak jantung yang berkelanjutan sebesar 30 denyut per
menit dalam waktu 10 menit berdiri atau memiringkan kepala tanpa
adanya hipotensi ortostatik6. Untuk individu berusia 12 hingga 19
tahun, persyaratannya minimal 40 denyut per menit. POTS dapat
disertai dengan gejala overaktivitas otonom dan hipoperfusi serebral
yang berkurang dengan berbaring6.
19
c. Neuropati diabetik

Neuropati diabetik merupakan salah satu kelainan saraf yang


dapat terjadi pada penderita diabetes melitus. Hiperglikemia
mengganggu kemampuan saraf untuk mengirim sinyal dan
melemahkan dinding pembuluh darah vasa nervorum yang memasok
saraf dengan nutrisi dan oksigen6. Neuropati diabetik dapat
memengaruhi saraf ANS, terutama serat visceral aferen (GVA) umum,
yang mengakibatkan gastroparesis dan penurunan pengaturan tekanan
darah. Serat GVA yang dipengaruhi oleh neuropati diabetik
mengurangi respons dari visceral efferent (GVE) yang sesuai6.

d. Penyakit Parkinson

Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang


ditandai dengan bradikinesia dan hipokinesia yang dikombinasikan
dengan tremor dan kekakuan saat istirahat. Sembelit, disfagia,
sialorrhea, rhinorrhea, kesulitan buang air kecil, dan disfungsi seksual
adalah masalah nonmotor umum yang berhubungan dengan disfungsi
otonom pada penyakit Parkinson6. Tanda dan gejala ini juga terdapat
pada multiple system atrophy (MSA), sehingga sulit untuk
membedakan antara kedua kelainan tersebut. Namun, gejala otonom
pada MSA umumnya lebih parah daripada penyakit Parkinson. Seiring
perkembangan penyakit, MSA cenderung kurang responsif terhadap
levodopa dan sering dikaitkan dengan temuan piramidal dan
serebelum6.

20
BAB III

KESIMPULAN
Divisi simpatis meliputi dua set rantai ganglia simpatis di setiap sisi kolumna vertebra; tiga
ganglia kolateral; dan dua medulla adrenal. Serabut preganglio simpatis dapat menginervasi
dua lusin atau lebih neuron ganglionik pada ganglia yang berbeda, sebagai hasilnya satu
neuron motor simpatis pada SSP dapat mengontrol berbagai macam organ viseral dan dapat
menghasilkan respon yang kompleks dan terkoordinasi. Divisi parasimpatis meliputi nukleus
motor viseral yang berhubungan dengan nervus kranialis III, VII, IX dan X dan segmen
sakralis S2–S4. Neuron ganglionik parasimpatis terdapat di dalam atau dekat dengan organ
target. Hal ini menyebabkan aktivasi parasimpatis mengaktifkan respon yang spesifik pada
organ atau bagian organ tertentu.

Serabut preganglion kedua divisi SSO menghasilkan ACh untuk menstimulasi serabut
postganglion. Serabut potganglion simpatis kebanyakan menghasilkan NE dan E sehingga
simpatis disebut neuron adrenergik, sedangkan parasimpatis tetap menghasilkan ACh
sehingga disebut neuron kolinergik. Efek stimulasi simpatis dan parasimpatis dipengaruhi
oleh reseptor yang dipengaruhinya dan second mesengger yang dihasilkan oleh reseptor
tersebut. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor alpha dan beta, sedangkan parasimpatis terdiri
dari reseptor nikotinik dan muskarinik, dimana persebarannya menyebabkan perbedaan efek.

Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang kebanyakan adalah berlawanan
namun saling berintegrasi satu dengan yang lain interaksi tersebut dapat dilakukan dengan
adanya innervasi ganda organ dan adanya tonu otonom. Selain itu fungsi SSO juga
dipengaruhi oleh pusat pengaturan yang lebih tinggi untuk melakukan suatu reflek viseral.
Pusat pengaturan SSO memiliki hirarki dari lokal, regional sampai yang kompleks dimana
melibatkan Sistem Saraf Pusat yang disebut dengan “jaringan otonom pusat”. SSO juga tidak
dapat dipisahkan dengan SSS untuk melaksanakan fungsinya terutama dalam menjalankan
reflek viseral.

Aktivitas sistem saraf otonom bergantung pada input refleks sensorik, kortikal dan
keadaan (state). Perubahan yang terjadi pada bagian input perifer dan sentral akan
mempengaruhi aktivitas dan regulasi sistem saraf otonom. Disfungsi pada sistem saraf

21
otonom dapat berupa kelianan primer perifer ( primarily peripheral origin) atau kelianan
pada sistem saraf pusat (central origin).

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016

2. Guyton, A. Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed-11. Jakarta:EGC,2007.

3. Martini, FH. Fundamentals of anatomy & Physiology seventh edition. San Fransisco:
Pearson, 2006.

4. Barret KE, Barman S, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s Review of Medical


Physiology. 23th ed. AS:McGraw-Hill. 2010.

5. Shier D, Butler J, Lewis R. Hole’s Essential of Human anatomy & Physiology


Eleventh Edition. New York: Mc-Graw Hill;2009.

6. Sánchez-Manso JC, Gujarathi R, Varacallo M. Autonomic Dysfunction.

7. Jänig, Wilfrid. (2009). Autonomic nervous system dysfunction.

23

Anda mungkin juga menyukai