Anda di halaman 1dari 89

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Dosen :

1. Annisa Farida Muti, M.Sc., Apt


2. Sister Sianturi, M.,Si
3. Theodora M.Farm Apt

Di Susun Oleh :

16330071 Sasha Jesita

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2018

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat
rahmatnya saya dapat menyelesaikan praktikum serta laporan akhir farmakologi.
Adapun isi dari laporan akhir ini adalah kumpulan dari setiap laporan mingguan selama
praktikum berlangsung. Laporan ini merupakan syarat untuk dapat mengikuti ujian Praktikum.
Saya juga tidak lupa untuk mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen serta Asisten
Lab praktikum farmakologi yang selalu membimbing dan mengajari saya dalam melaksanakan
praktikum dan dalam menyusun laporan ini. Adapun laporan ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu kritik serta saran yang membangun masih saya harapkan untuk
penyempurnaan Laporan akhir ini.
Atas perhatian dari semua pihak yang membantu penulisan ini saya ucapkan terimakasih.
Semoga Laporan ini dapat dipergunakan seperlunya.

Jakarta, Agustus 2018

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI...........................................................................................................................3

EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM (PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN


ANTIKOLINERGIK TERHADAP KELENJAR SALIVA DAN MATA)...........................5

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 8

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM.................. ............................................................21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................................24

BAB V PENUTUP …………………………........................................................................ 27

EFEK LOKAL OBAT (METODE ANASTESI LOKAL)............................... ........ 28

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 30

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM.................. ............................................................ 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................ 41

BAB V PENUTUP …………………………........................................................................ 45

PERCOBAAN UJI DIABETES (UJI KADAR GLUKOSA DAN ANTIDIABETES)

…………………………………………………………………………………………....... 47

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................48

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................49

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM.................. ...........................................................60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................62

BAB V PENUTUP …………………………........................................................................65

3
EFEK LOKAL OBAT (PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN DAN KULIT
MUKOSA)............................................................................................................................ 68

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................69

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................70

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM.................. ..........................................................71

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................72

BAB V PENUTUP ………………………….......................................................................75

EFEK DIURETIKA (UJI POTENSI DIURETIKA)...............................................76

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................77

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................78

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM.................. ..........................................................83

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................84

BAB V PENUTUP ………………………….......................................................................88

4
MINGGU PERTAMA

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Judul Percobaan


Efek Obat Sistem Saraf Otonom (Pengaruh Obat Kolinergik dan Antikolinergik Terhadap
Kelenjar Saliva dan Mata)

1.2 Latar Belakang


Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos, otot
jantung dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan
bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang
maka sistem yang lain akan dihambat.

Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf postganglion. Impuls
saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf praganglion
maupun saraf postganglion.

Beberapa perbedaan antara saraf simpatis dan parasimpatis adalah sbb:

SARAF SIMPATIS SARAF PRASIMPATIS

1. Letak badan sel Torax 1-12 Saraf cranial III, VII, IX,X
praganglion
Lumbal 1-3 Sakral 2,3,4

(thoracolumbal) (crabiosakral)

2. Posisi ganglion Jauh dari efektor Dekat efektor

(praganglion pendek) (praganglion panjang)

3. Reseptor α dan β Nikotinik dan muskarinik

4. Neurotransmitter

- Praganglion Asetilkolin Asetilkolin

6
- Post ganglion Norsepineprin Asetilkolin

Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf
keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan kemauan.
Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan saraf yang
mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos.

Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan dengan kerja asetilkolin disebut kolinergik, dan
obat-obat yang berhubungan dengan kerja norepineprin disebut adrenergik.

Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom

1. Kolinergik

a. Agonis kolinergik, contohnya pilokarpin

b. Antagonis kolinergik, contohnyaatropine

2. Adrenergik

a. Agonis adrenergik, contohnya amfetamin

b. Antagonis adrenergik, contohnya fenoksibenzamin

I.3 Tujuan Percobaan

Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa :

1.Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian
fungsi-fungsi vegetatif tubuh

2.Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik atau antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatis.

I.4 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang
dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Dasar
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral
tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan
kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah
kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung
dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan
detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan
kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian
terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral.

Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron
orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson
neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini
bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut
pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang
dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan
kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan
serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan
diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut
pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis
mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas.

Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada
berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak
obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik
dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam
susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.

Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf
otonom digolongkan menjadi :

1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut: ·

8
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.

b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan
atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.

2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut

a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin

b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan
atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)

Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut
adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.

Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :

1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap
kelenjar liur dan keringat.

2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.

3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.

4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan,


aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.

5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.

7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter NE


dan Ach.

b. Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :

1. Obat adrenergik kerja langsung

Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membran sel
efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan
berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β
dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan

9
pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang
terutama dipengaruhi oleh obat.

2. Obat adrenergik kerja tidak langsung

Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung artinya
menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf
adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu singkat singkat akan
menimbulkan takifilaksis.

c. Epinefrin

Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.

a. Efek yang paling menonjol pada epinefrin

1. Kardiovaskular (pembuluh darah)

Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar
juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi
reseptor α oleh Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan
aliran darah otak.

2. Arteri koroner

Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat menurunkan aliran darah kroner
karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu
darah koroner akibat efek reseptor α.

3. Jantung

Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epi
mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular
(AV), sepanjangbundle of His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi memperkuat kontraksi
dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu
diastolik.

4. Tekanan darah

Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan
tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi
tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.

5. Otot polos

10
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik pada otot
polos yang bersangkutan.

b. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi

Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri
kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala
ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika IV cepat yang
tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat.
Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan
hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit
atau natrium nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.

Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya
yang tidak terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat
dan perdarahan otak.

c. Penggunaan klinis

Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi,
untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun allergen lainnya, dan untuk
memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung
pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk
menghentikan perdarahan kapiler.

d. Posologi dan sediaan

Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk penyuntikan SK, ini
digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya.
Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV,
yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat
perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat
diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi
dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).

Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk
inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.Epinefrin
tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat.

d. Norepinefrin

Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau I-noradrenalin dan kmerupakan
neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada
reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE

11
mempunyai efek β1pada jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah
daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan
sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi, Efek
samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, denyut jantung yang lambat
tetapi kuat dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang
hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala
yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini merupakan
kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena
dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan syok kardiogenik

e. Isoproterenol

Obat ini merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan
hampir tidak bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi
perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan diatolik menurun.

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan


efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama susunan parasimpatis adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi
asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah efek yang
menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi
pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung
(HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain
dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan
efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya
pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar
pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada
permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002). Salah satu kolinergika
yang sering digunakan dalam pengobatatan adalah Pilokarpin yang juga merupakan salah satu
pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini
tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat
yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut
lebar.

Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin.
Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor.
Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) dicegah. Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade.

12
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan
: reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3).

Obat kolinergik dibagi dalam 3 golongan :

A. Ester kolin

Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol, betanekol. Asetilkolin (Ach)
adalah prototip dari oabat golongan ester kolin. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian
tidak berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga titik tangapnya
terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu Ach tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis
oleh asam lambung.

a. Farmakodinamik

Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap :

1. Kelenjar eksoskrin dan otot polos, yanh disebut efek muskarinik

2. Ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebutefek nikotik.

Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat mengahambatnya, yaitu atropin
mengahambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar mengahambat efek
nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin diberikan intravena, maka efeknya
terhadap pembuluh darah merupakan resultante dari beberapa efek tunggal :

1. Ach bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh darah dan melaui pengelepasan
EDRF (endhotelium derived relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.

2. Ach bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat pelepasan NE pada akhir postsinaptik
pembuluh darahdan menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper tidak mempunayi
pengaruh terhadap pembuluh darah melaluiganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin.

3. Ach bekerja merangsang sel medulla anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan
menyebabkan vasokonstriksi

4. Ach dapat merangsang reseptor muskarinik parasinaps saraf adrenergic dan mengurangi
peepasan NE.

Resultante dari keempat efek ini akan menentukan apakah terjadi kenaikan atau penurunan
tekanan darah.

Saluran cerna. Pada saluran cerna semua obat dari golongan ini dapat merangsang peristalsis dan
sekresi lambung serta usus. Karbakol dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa mepengaruhi
sisitem kardiovaskuler, sedangkan efek asetilkolin dan metakolin disrtai engan hipotensi dan
takikardi kompensator.

13
Kelenjar eksoskrin. Ach dan ester kolin lainnya merangsang kelenjar keringat, kelenjar air mata,
kelenjar ludah dan pankreas. Efek ini merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada orang
sehat.

Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada penderita asma bronkial karena terutama pada
penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan produksi lendir berlebihan. Efek ini tidak
nyata pada orang sehat.

Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memperlihatkan efek yang lebih jelas terhadap otot
detrusor dan otot ureter dibandingkan dengan asetilkolin dan metakolin. Obat ini menyebabkan
kapasitas kandung kemih berkurang dan peristalsis ureter bertambah.

b. Sediaan dan posologi

Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit didapat di Indonesia.

Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200
mg, dosis : 10 – 100 mg IV.

Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian oral tidak dapat diandalkan ,
sebaliknya diberikan subkutan (SK) 2,5 – 40 mg, tergantung dari respon penderita.

Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml, pemberian oral cukup efektif
dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh
diberikan IV. Juga tersedia sebagai tetes mata untuk miotikum.

Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5
mg/ml. Dosis oral adalah 10 - 30 mg, sedangkutan subkutan 2,5 – 5,0 mg. tidak boleh diberikan
IV atau IM.

c. Efek Samping

Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan diberikan secara IV, kecuali
asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan cara yang
lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh
digunakan, karena terjadi potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin dapat
mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pectori, karena tekanan darah
yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi
atrium terutama pada pemberian metakolin. Tindakan pengamanan perlu diambil yaitu dengan
menyediakan atropin dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada umumnya berupa
efek muskarinik dan nikotinik yang berlebihan, keracunan ini harus cepat diatasi dengan atropin
dan epinefrin.

d. Indikasi

14
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi perifer pada penyakit Raynaud atau
tromboflebitis bedasarkan efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah arteri tetapi sekarang tidak
digunakna lagi kerana intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.

Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu
tekanan darah penderita sangat rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan menyebabkan
turunnya tekanan darah seperti yang diharapkan tetapi dengan cepat disusul dengan peningkatan
tekanan sistolik maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan asetilkolin atau
dengan histamine. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya diatas 190 mmHg, maka
sebaiknya dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif bila penurunan
tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.

B. Obat Antikolinesterase

Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), disospropil-


fluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan organofosfat. Antikolinesterase menghambat kerja
kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf kolinergik
terus menerus karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat
yaitu yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin, prostigmin, piridostigmin dan
edrofonium. Dan menghambat secara ireversibel misalnya gas perang, tabung, sarin, soman,
insektisida organofosfat, parathion, malation, diazinon, tetraetil-pirofosfat (TEPP),
heksaetiltetrafosfat (HETP) dan oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).

a. Mekanisme kerja

Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya asetikolin endogen. Hal ini
disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena
enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung
beberapa jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel dapat merusak
kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari enzim ini untuk kembalinya transmisi
normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada rseptor kolinergik ditempat Ach
dilepaskan.

b. Farmakodinamik

Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan sambungan
saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologi.

Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu
perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan hiperemia
konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah
setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan, kembalinya ukuran pupil ke
normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari sampai seminggu

15
(DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata
lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun. Terutama bila ada glaukoma. Miosis oleh obat
golongan ini dapat diatasi oleh atropin.

c. Farmakokinetik

Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaui selaput lendir
lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan obat sistemik. Hal
ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis.
Prostigmin dapat diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral
diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek hipersalivasi baru
tampak 1-1 ½ jam setelah pemberian oral 15-20 mg.

d. Sediaan dan posologi

Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan
parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin bromida)tersedia untuk pemakian oral (15mg per
tablet) dan neostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml.Pridostigmin
bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml. Edrofonium
klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk antagonis kurareatau
diagnosis miastenia gravis. Diisopropilfluorofosfat (DFP) atau isoflurorattersedia sebagai larutan
dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes mata (0,1 % larutan dalam air).

e. Indikasi

1. Antonio otot polos

Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan kandung
kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian sebaiknya secara SK
atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat
untuk menghilangkan bayangan gas dalam usus.

2. Sebagai miotika

Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan pupil,
terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung
berhari-har dan menggangu penglihaan bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini DFP
merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat
peradangan dalam hal ini atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah
timbulnya perlengketan tersebut.

3. Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis

Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala penyakit ini adalah
berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai juga dengan
16
peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot
rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik. Untuk
diagnosis digunakan 2 mg androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak
mempan. Prostigmin dan piridostigmin merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk
mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30 mg
prodiatigmin biasanya 3 kali sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah cukup apa
belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila terjadi perbaikan berarti dosis perlu
ditambah.

4. Penyakit Alzheimer

Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari 25-50 mg diawali dengan 50
mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Efek samping mual dan efek
kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan masalah, mungkin karena dosis dinaikan secra
bertaha dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim aminotransferase dan dikhawatirkan
bersifat hepatotoksisk. Karena itu dianjurkan melakukan uji fungsi hati setiap 2 minggu dalam 3
bulan pertama dan setiap bulan setelahnya.

C. Alkaloid tumbuhan

Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria, pilokarpin yang
berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi danPilokarpus microphyllus dan arekolin yang
berasal dari Areca catehu(pinang). Ketiga obat ini bekerja pada efek muskarinik, kecuali
pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan
rangsangan terhadap kelenjar keringat yang terjadi karena perangangan langsung (efek
muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik), kelenjar air mata dan
kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV biasanya terjadi
kenaikan tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin dari medulla adrenal.

a. Intoksikasi

Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan


jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam beberapa menit sampai dua jam setelah makan
jamur sedangkan gejala keracunan A. phalloidestimbul lambat, kira-kira sesudah 6-15 jam,
dengan sifat gejala yang berlainan. Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik
tetapi efek utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan antidotum yang
ampuh bila efek muskariniknya yang dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya,
keracunannya ditandai dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.

b. Indikasi

Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan
miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik dan untuk

17
menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg. Arekolin hanya digunakan dalam
bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Musakrin hanya berguna untuk
penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa
sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan pilokarpin
dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini digunakan pada penderita glaukoma yang tidak
tahan pilokarpin.

D. Obat kolinergik lainnya

1. Metoklopramid

Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya mirip prokainamid,


tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan hamper tidak
berpengaruh terhadap miokard.

a. Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga dapat
meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna, yaitu :

1. Potensiasi efek kolinergik

2. Efek langsung pada otot polos

3. Penghambatan dopaminergik sentral

b. Indikasi. Metaklopramid terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras


pada waktu pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau mengurangi
muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi saluran cerna. selain itu
obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan gejala mual, muntah, rasa
terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan dan gangguan cerna (indigestion) misalnya
pada gastroparesis diabetik.

c. Kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat

Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran cerna,


epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang timbul pada
penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk,
diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.

d. Sediaan dan posologi

Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup mengandung 5 mg/ 5 ml dan
suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10 mg 3 kali
sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg diminum 3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg
diminum 2 atau 3 kali sehari, anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1 mg
diminum 2 kali sehari.

18
2. Sisaprid

Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas saluran cerna. Kerja obat ini
diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran cerna.

a. Eksperimental pada hewan

Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo
kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulut-saekum
memendek, peristalsis kolon meningkat.

b. Indikasi

Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan mobilitas gaster dan dyspepsia
bukan karena tukak.

c. Sediaan dan posologi

Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobatan 4-12 minggu. Obat
ini dimetabolisme secara ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal hati. Pada
pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan, mungkin sampai
separuhnya. Perhatian. Jangan memberikan sisaprid bila peningkatan gerakan saluran cerna dapat
berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi, perforasi, atau keadaan pascabedah.

d. Efek samping

Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan diare. Gejala sistem saraf pusat
berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek.

ATROPIN

Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor.
Umumnya masa kerja obat ini sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata,
masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari

Farmakokinetik

Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke dalam urine.
Waktu paruhnya sekitar 4 jam.

Farmakodinamik

19
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ target. Di
dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan
oleh kondisi yang akan diobati. Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi
dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau
mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.

Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi):


Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin atropine merupakan obat
terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak mempengaruhi sekresi asam lambung
sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.

Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan hipermotilitas kandung kemih dan
kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis pada anak yang mengompol. Ole karena itu,
agonis alfa-aderenergik lebih efektif dengan efek samping yahng lebih sedikit.

Kardiovaskular – efek atropine pada jantung bergantung pada besar dosis. Pada dosis kecil
menyebabkan bradikardi. Atropine dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di SA
nodus dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine diberi
1mg.

Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva sehingga mukosa mulut
menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atriopin. Hambatan sekresi
kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi naik, juga kelenjar air mata mengalaami gangguan.

Indikasi klinis

Efek midriasi atropine digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam mata/retina.

Sebagai antisekretori pada waktu operasi.

Antispasmodic saluran cerna dan kandung kemih.

Antidotum obat-obat agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda karbamat,


organofosfat, dan jamur.

Efek Samping:ESO atropine sangat bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Atropine
dapat meyebabksn mulut kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi,
dan konstipasi. ESO pada SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat
menjadi depresi, depresi napas dan kematian.

PILOKARPIN

20
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase. Pilokarpin termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin
danturunanya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi.

Efek samping;perangsangan keringat dan salvias yang berlebihan. Pilokarpin juga dapat masuk
ke SSP dan menimbulkan gangguan SSP.

URETAN

Istilah untuk ester-ester asam karbonat atau turunan asam karbamat. Istilah uretan sering dipakai
untuk menunjukan etil karbamat saja, sedangkan untuk ester-ester asam karbamat lain
dinamakan secara sistematik kimia organic, misla propil uretan dinamakan etil propil karbamat.
Uretna (etil karbamat) berupa Kristal putih , titik leleh 490 – 500 C dn titik didih 1820-1840 C
mudah menyblim dan higroskopis. Dapat dibuat secara sintesa dengan berbagai cara. Digunakan
dalam berbagai pengobatan. Turunan-turunan uretan digunakan dalam pembuatan plastic, baik
sebagai monomer, komonomer ataupun sebaga pemelastik.

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

A.Alat Yang Digunakan

1. Spuit injeksi 1 ml
2. Timbangan hewan
3. Corong gelas
4. Beaker glass
5. Gelas ukur
6. Senter
7. Loupe
8. Penggaris

B. Bahan Yang Digunakan

1. Diazepam
2. Pilokarpin HCl
3. Atropin 𝑆𝑂4
4. Tetes mata pilokarpin HCl
5. Tetes mata atropin 𝑆𝑂4

21
6. Larutan NaCl 0,9%

3.2 Prosedur kerja :

A.Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan diazepam 5 mg/70 kgBB manusia secara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kgBB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
6. Setelah lima menit, suntikkan atropin 𝑆𝑂4 0,25 mg/kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine 𝑆𝑂4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.

B. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan
pada penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
1. Mata kanan : tetes mata pilokarpin HCl salisilat sebanyak 3 tetes.
2. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes.
3. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
4. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
5. Uji respon refleks mata.
6. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine 𝑆𝑂4.
7. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.

22
9. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci.

3.2 Perhitungan
1. Berat Kelinci 1,734 kg
1. Diazepam 5 mg/70 kgBB Manusia
Sediaan 10 mg/2 ml
Faktor Konversi = 0,07 x 5 mg
= 0,35 mg
1. Dosis Kelinci 1,734 kg
1,734 𝑘𝑔
= 𝑥 0,35 𝑚𝑔 = 𝟎, 𝟒𝟎𝟒𝟔 𝒎𝒈
1,5 𝑘𝑔

2. Volume Pemberian (Sediaan 10 mg/2 ml)

0,4046 𝑚𝑔
= 𝑥 2 𝑚𝑙 = 𝟎, 𝟎𝟖 𝒎𝒍
10 𝑚𝑔

3. Pilokarpin HCl 5 mg/kgBB

4. Volume Pemberian (sediaan 20 mg/5 ml)

1,734
= 𝑥 5 𝑚𝑙 = 𝟎, 𝟒𝟑 𝒎𝒍 ~ 𝟎, 𝟒 𝒎𝒍
20 𝑚𝑔

5. Atropin Sulfat 0,25 mg/kgBB

6. Volume Pemberian (Sediaan 10 mg/5 ml)

1,734
= 𝑥 5 𝑚𝑙 = 𝟎, 𝟖𝟔 𝒎𝒍 ~ 𝟎, 𝟗 𝒎𝒍
10 𝑚𝑔

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

A. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi

Volume saliva

yang ditampung
Pilokarpin HCl 0,3 ml
Efek Obat selama 5 menit

Sistem Saraf (ml)


Kelinci
Otonom pada Volume saliva

Kelenjar Saliva yang ditampung


Atropine 𝑆𝑂4 -
selama 5 menit

(ml)

B.Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata

Efek Obat Sistem Mata Kanan Cahaya suram (cm) 0,8 cm

Saraf Otonom pada Kelinci Cahaya senter (cm) 0,4 cm

24
Mata Setelah pemberian
0,7 cm
pilokarpin HCl (cm)

Respon refleks mata Tidak berkedip

Setelah pemberian atropine


0,9 cm
𝑆𝑂4 (cm)

Cahaya suram (cm) 0,8 cm

Cahaya senter (cm) 0,5 cm

Setelah pemberian
Mata Kiri 0,7 cm
pilokarpin HCl (cm)
Kelinci
Respon refleks mata Tidak berkedip

Setelah pemberian atropine


1,1 cm
𝑆𝑂4 (cm)

4.2. Pembahasan

Praktikum kali ini dilakukan pada hewan coba kelinci,yang bertujuan untuk menghayati

secara lebih naik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian fungsi fungsi

vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik pada

neuroefektor parasimpatikus dilakukan 2 percobaan yaitu kolinergik dan antikolinergik kelenjar

saliva dan mata.

1. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva:

Percobaan dengan menggunakan 3 obat yaitu Diazepam 5 mg/70kgBB manusia sebagai


sedasi, Pilokarpin Hcl 5 mg/kgBB kelinci dan Atropin Sulfat 0,25mg/kgBB kelinci. Pertama-
tama kelinci ditimbang lalu di hitung dosis dan volume pemberian masing-masing obat. Kelinci
di sedasikan dengan diazepam 5 mg/70 kgBB manusia secara IV sebanyak 0,08 ml. Diazepam
25
memiliki fungsi sebagai penenang, sehingga dapat menenangkan atau mensedasikan kelinci agar
dapat mempermudah saat pengeluaran saliva. Selanjut nya disuntik kan Pilokarpin Hcl 5
mg/kgBB kelinci secara IM sebanyak 0.4 ml dengan diamati selama 5 menit dan ditampung
dengan beaker glass, setelah 5 menit diukur saliva yang keluar dari kelinci dan volume yang
didapat 0,3 ml. Pilokarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang
dimana efek nya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-
kelenjar pada tubuh salah satu nya kelenjar saliva. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga
termasuk dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut
dapat memicu terjadi nya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh kelinci
menjadi lebih banyak karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang
terkuat pada kelenjar saliva. Untuk mengatasi efek pilokarpin diberikan obat atropin sulfat 0,9 ml
secara IV dan diamati selama 5 menit. Atropin merupakan obat antikolinergik yang kerjanya
memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari
pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yang mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian
atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut kelinci menjadi kering.

1. Kolinergik dan Antikolinergik mata

Percobaan kali ini dengan menggunakan mata kelinci menggunakan obat tetes mata
Pilokarpin Hcl, Atropin Sulfat dan lar. NaCl 0,9 %. Pertama-tama diameter pupil mata kelinci
diukur untuk perbanding ketika nantinya ditetesi obaf. Diameter awal kelinci mata kanan dan kiri
sama 0,8 cm. Diameter pupil mata kelinci kanan dan kiri (0,7 cm), diameter dengan penyinaran
mata kanan (0,3cm) dan kiri (0,4cm). Diameter pupil mata kelinci mengecil setelah diberi obat
tetes mata pilokarpin,dimana pilokarpin merupakan obat yang memiliki efek yang menyerupai
efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis yang penggunaan utama nya
sebagai miotikum pada glaucoma. Efek miosisnya dalam tetes mata dimulai sesudah 10-30 menit
dan bertahan 4-8 jam. Pilokarpin bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja
utama yang mirip muskarin dari asetilkolin. Setelah terjadi miosis atau mengecil nya pupil mata,
selanjutnya diberikan atrolin sulfat diameter pupil mata kanan 0,9 cm dan mata kiri 1,1 cm(tanpa
sinar) dan jika dengan penyinaran menjadi 0,6 cm untuk mata kanan dan 0,7 cm untuk mata kiri.
Dimana terjadi perubahan yaitu diameter pupil mata membesar setelah diberi atrolin sulfat.
Atropin merupakan obat midriatik yang umum nya digunakan untuk membesarkan pupil mata.
Atropin memiliki efek menghambat saraf parasimpatis. Obat midriatikum dapat dari golongan
obat simpatomimetik dan anti muskarinik, bekerja dengan menggunalan tekanan pada efek nya
dengan memblokade inervasi dari pupil spingter dan otot siliari.

26
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Dari praktikum ini digunakan 4 macam obat yaitu diazepam untuk sedasi, pilokarpin untuk
memicu terjadi nya hipersalivasi dan juga untuk miosis(memperkecil pupil mata) disamping itu
terdapat obat atropin sulfat dengan fungsi nya yang berlawanan atau antikolinergik yang
digunakan untuk mengurangi sekresi saliva dan juga untuk midriatik atau memperbesar atau
melebarkan pupil mata. Obat yang terakhir adalah larutan fisiologis NaCl 0,9 % sebagai
pembersih atau pengencer steril setelah praktikum.

Saran

Sebaiknya praktikum ini satu kelompok menggunakan beberapa kelinci, sehingga bisa
membandingkan beberapa data.

DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Prof.Mr.A.G Pringgodigdo.1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarata : Penerbit Kanisius

Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : pt Elex
media kompatindo.

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed. Philadelphia, PA,
USA: Elsevier Saunders.

Mycek, Mary J.,dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2.PT. Elex Media
Komputindo kelompok gramedia. Jakarta

27
MINGGU KEDUA

28
BAB I
PENDAHULUAN

o Judul Percobaan
Efek Lokal Obat ( Metode Anastesi Lokal )

1.2 Latar Belakang


Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes berasal dari bahasa
Yunani anaisthēsia yang berarti tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
(1) anesthesia lokal, yakni hilangnya rasa sakit tanpa disertai kehilangan kesadaran; (2)
anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal terdiri
dari hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot. Sejak jaman dahulu, anestesia dilakukan untuk
mempermudah tindakan operasi atau bedah.Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang
dapat menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi
umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal
farmakodinamik.
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, dimulai lebih dari
100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan
dari kokain suatu ester dari asam para amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi
korneal.

Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine yang disintesa
oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat adiksi dan jauh kurang toksik
dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan
Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan
sensitisasi dan reaksi alergi.

29
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat-obat dengan berbagai
keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu, sebagai mahasiswa kedokteran harus
mempelajari bagaimana memilih jenis obat anastesi lokal yang akan digunakan dan cara
penggunaannya. Obat – obat anastsi lokal dikembangkan dari kokain yang digunakan untuk
pertama kalinya dalam kedokteran gigi dan oftalmologi pada abad ke – 19. Kini kokain sudah
diganti dengan lignokain (lidokain), buvikain (marccain), prilokain dan ropivakain. Prilokain
terutama digunakan dalam preparat topical.

1.3 Tujuan Percobaan

1. Mengenal berbagai untuk menyebabkan anestesi lokal hewan.


2. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja anastesika
lokal .
3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastesi lokal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Dasar

Anestesi lokal adalah obat analgesik yang dirancang untuk digunakan secara klinis guna
menghilangkan sensasi secara reversible pada bagian tubuh tertentu.
Anestesi lokal adalah obat yang merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke sistem
saraf pusat pada kegunaan lokal dengan demikian dapat menghilangkan rasa nyeri, gatal-gatal,
panas atau dingin.
Anestesi lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Anastetik local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak
merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan anastetik local memenuhi syarat ini. Batas
keamanan harus lebar, sebab anastetik lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus
sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk
melakukan tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa
pemulihan. Zat anastetik local juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan
tanpa mengalami perubahan.

Struktur Anestesi Lokal


Struktur dasar dari anastesi lokal terdiri dari tiga bagian, yakni suatu gugus amino hidrofil (
sekunder atau tersiaer ) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester ( alcohol ) atau amaida dengan
gugus aromatis lipofil. Semakin panjang gugus alkoholnya maka semakin besar daya
anastesinya, tetapi toksisitasnya juga meningkat.
Anastesi lokal dapat digolongkan secara kelompok sebagai berikut :
a. Senyawa ester : kokain dan ester – PABA (tetrakain, benzokain, kokain, prokain)

30
b. Senyawa amida : dibukain, lidokain, prilokain, mepivakain
c. Lainnya : fenol, benzialkohol, etilklorida
Semua obat tersebut diatas adalah sintetis kecuali kokain yang alami.
Syarat ideal anestesi local :
1. Tidak merusak jaringan secara permanen
2. Batas keamanan lebar
3. Onset cepat
4. Durasi lambat
5. Larut air
6. Stabil dalam bentuk larutan
7. Tidak rusak karena proses penyaringan

Farmakokenetik dan Farmakodinamik Anestesi lokal


Farmakokinetik Anastesi Lokal
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang
akan menghambat. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam
memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja
anestesis umum terhadap sistem saraf pusat dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal
anestesi lokal bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek
anestesinya.
Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat jaringan, adanya bahan vasokonstriktor,
dan sifat fisikokimia obat. Bahan vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan
sistematik anestesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan mengurangi aliran darah di daerah
ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti
prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga
diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang
karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3 nya saja.
Distribusi anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah pemberian bolus
intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan
lemak. Setelah fase distribusi awal yang cepat, yang mungkin menandakan ambilan ke dalam
organ yang perfusinya tinggi seperti otak, ginjal, dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat
yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan usus. Karena
waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester, maka distribusinya tidak diketahui.
Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit
yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi lokal
yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama
sekali bentuk netralnya yang diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh
tubulus ginjal.
Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase
(pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat
singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain.Penurunan pembersihan anestesi
lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh,
pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari

31
pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini
berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan.
Farmakokinetik suatu anestetik lokal ditentukan oleh 3 hal, yaitu:
1. Lipid/Water solubility ratio, menentukan ONSET OF ACTION. Semakin tinggi
kelarutan dalam lemak akan semakin tinggi potensi anestesi local.
2. Protein Binding, menentukan DURATION OF ACTION. Semakin tinggi ikatan
dengan protein akan semakin lama durasi nya.
3. pKa, menentukan keseimbangan antara bentuk kation dan basa. Makin rendah pKa
makin banyak basa, makin cepat onsetnya. Anestetik lokal dengan pKa tinggi
cenderung mempunyai mula kerja yang lambat. Jaringan dalam suasana asam (jaringan
inflamasi)akan menghambat kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama.
Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam bebas yangdiperlukan
untuk menimbulkan efek anestesi.Kecepatan onset anestetika lokal ditentukan oleh:
a. Kadar obat dan potensinya
b. Jumlah pengikatan obat oleh protein dan
c. Pengikatan obat ke jaringan local
d. Kecepatan metabolisme
e. Perfusi jaringan tempat penyuntikan obat.Pemberian vasokonstriktor
(epinefrin) ditambahanestetika lokal dapat menurunkan aliran darah lokal dan mengurangi
absorpsi sistemik.

Farmakodinamik Anastesi Lokal


Adapun farmakodinamik untuk obat anestesi lokal adalah:
1. Mekanisme Kerja
Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium masuk ke dalam sel dengan
cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40mV). Sebagai
akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka.
Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium
(sekitar -95mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan
ionic transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada
otot jantung dan anestesi local pun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringa tersebut.
Anestesi local mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan menghambat saluran
dalam keadaan bergantung waktu dan voltase.
Bila peningkatan konsentrasi dalam secara progresif anestesi local digunakan pada satu serabut
saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat, kecepatan muncul
potensial aksinya menurun, amplitude potensial aksi mengecil dan akhirnya kemampuan melepas
satu potensial aksi hilang. Efek yang bertambah tadi merupakan hasil dari ikatan anestesi local
terhadap banyak dan makin banyak saluran natrium; pada setiap saluran, ikatan menghasilkan
hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat melebihi titik kritis saraf, maka propagasi yang
melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang
dibutuhkan untuk menghambat propagasi, potensial istirahat jelas tidak terganggu.
Karakteristik Struktur-Aktivitas Anestesi Lokal. Makin kecil dan makin banyak molekul
lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi dengan reseptor saluran natrium. Potensi
mempunyai hubungan positif pula dengan kelarutan lipid selama obat menahan kelarutan air
yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakain lebih larut dalam
air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat dengan

32
masa kerja yang panjang. Obat-obat tadi terikat lebih ekstensif pada protein dan akan menggeser
atau digeser dari tempat ikatannya oleh obat-obatan lain.
2. Aksi Terhadap Saraf
Karena anestesi local mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas
pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Perbedaan tipe serabut saraf akan
membedakan dengan nyata kepekaannya terhadap penghambatan anestesi local atas dasar ukuran
dan mielinasi. Aplikasi suatu anestesi local terhadap suatu akar serabut saraf, serabut paling kecil
B dan C dihambat lebih dulu. Serabut delta tipe A akan dihambat kemudian. Oleh karena itu,
serabut nyeri dihambat permulaan; kemudian sensasi lainnya menghilang; dan fungsi motor
dihambat terakhir.
Adapun efek serabut saraf antara lain:
 Efek diameter serabut
Anestesi lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak di mana propagasi
suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan constant
ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja anestesi local, bila bagian pendek serabut dihambat,
maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls.
Terhadap serabut yang bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi
local untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh
nodus tadi yang menerangkan sebagian, tahanan yang lebih besar untuk menghambat serabut
besar tadi. Saraf bermielin cenderung dihambat serabut saraf yang tidak bermielin pada ukuran
yang sama. Dengan demikian, serabut saraf preganglionik B dapat dihambat sebelum serabut C
kecil yang tidak bermielin.
 Efek frekuensi letupan
Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung dari
mekanisme kerja yang bergantung pada keadaan anestesi local. Serabut sensoris, terutama
serabut nyeri ternyata berkecukupan letupan tinggi dan lama potensial aksi yang relative lama
(mendekati 5 milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan
potensial aksi yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil
yang terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih
dulu dengan anestesi local kadar rendah dari pada serabut A alfa.
 Efek posisi saraf dalam bundle saraf
Pada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundle dan oleh
karena itu saraf ini akan terpapar lebih dulu bila anestesi local diberikan secara suntikan ke
dalam jaringan sekitar saraf. Akibatnya bukan tidak mungkin saraf motor terhambat sebelum
penghambatan sensoris dalam bundle besar. Jadi, selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi
muncul lebih dulu di bagian proksimal dan kemudian menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi
obat ke dalam tengah bagian bundle saraf.

Mekanisme Kerja Anastesi


Anastesi lokal menghilangkan rasa dengan jalan beberapa cara. Misalnya dengan cara
menghindarkan untuk sementara pembentukan dan trasmisi implus melalui sel saraf ujungnya.
Seperti juga alcohol dan barbital, anastesi lokal menghambat penerusan implus dengan cara
menurunkan permebilitas membran sel saraf untuk ion – natrium yang perlu bagi fungsi saraf
yang layak. Hal ini disebabkan adanya persaingan dengan ion kalsium yang berada berdekatan
dengan membran neuron. Pada waktu yang bersamaan, akibat turunnya laju depolarisasi, ambang

33
kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat laun meningkat, sehingga akhirnya terjadi
kehilangan rasa setempat secara resevibel.

Efek samping obat anastesi lokal


Pemberian obat anestesi lokal memiliki efek samping yang potensial sama tanpa bergantung
pada cara pemberian. Bidan harus memehami efek samping samping obat anestesi lokal ketika
obat in diberikan lewat jalur epidural atau spinal.
Efek samping obat anestesi lokal berhubungan dengan kerjanya, khususnya kemampuannya
untuk menghambat hantaran implus dalam jaringan yang dapat tereksitasi. Obat – obatan
anestesi lokal akan menyekat saluran cepat ion natrium padasemua jaringan penghantar implus,
yaitu :
a. System saraf pusat
b. System pernafasan
c. Jantung dan system kardiovaskuler
d. imunologi
e. Depresi Otot polos
f. Otot sketlet.
a. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat sangat rentan terhadap toksisitas anastesi lokal dan merupakan tempat tanda –
tanda pertanda dari overdosis ada pasien terjaga. Gejala awal adalah mati rasa circumoral,
paresthesia lidah, dan pusing. Keluhan sensory mungkin termasuk tinnitus dan penglihatan
kabur. Tanda – tanda rangsang ( kegelisahan, agitasi, paranoia) sering mendahului depresi
system saraf pusat ( bebicara cadel, mengantuk, pingsan) berkedut otot pembawa timbulnya
kejang tonik – klonik. Dengan penurunan aliran darah otak dan paparan obat, benzodiazepines
dan hiperventilasi meningkatkan ambang kejang yang disebabkan anastesi lokal.

b. System pernafasan
Lidokain menekan drive hipoksia ( respon ventilasi untuk PaO2 rendah ). Apne dapat hasil dari
kelumpuhan saraf frenik dan interkostal atau depresi pusat pernafasan medural berikut kontak
lansung dengan agen anestesi lokal ( sindrom apne postretrobulbar). Anastesi lokal rilrks otot
polos bronchial, lidokain intravena ( 1.5 mg/kg ) dapat memblokir refleks bronkokonstriksi
kadang – kadang dikaitkan dengan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol suatu dapat
menyebabkan bronkospasme pada beberapa pasien dengan penyakit saluran napas reaktif.
c. Jantung dan System kardiovaskuler
Secara umum, semua bius lokal menekan otomatisitas miokard ( fase depolarisasi IV spontan )
dan mengurangi durasi periode refraktori. Kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi juga
tertekan pada kontrasi yang lebih tinggi. Hasil ini efek dari peubahan langsung membrane otot
jantung ( natrium blockade saluran jantung ) dan penghambat system saraf otonom. Semua
anatesi lokal kecuali kokain menghasilkan relaksasi otot polos, yang menyebabkan beberapa
derajat vasodilatasi arteriol. Kombinasi berikutnya dari bradikardi, blok jantung, dan hipotensi
dapat berujung pada serangan jantung. Mayor toksisitas kardiovaskuler biasanya membutuhkan
sekitar tiga kali konsentrasi darah yang menghasilkan kejang.
d. Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derifat para amnino
benzoic acids ( PABA ) yang dikenal sebaga allergen. PABA ini dapat menediakan efek anti
bakteri dari sulfonamide yang berdasarkan antagonism persaingan dengan PABA, oleh karena itu

34
terapi dengan sulfa tidak boleh dikombinasikan dengan penggunaan ester – ester tersebut.
Toksisitas sangat bergantung pada :
1. Jumlah larutan yang disuntukan
2. Kosentrasi obat
3. Ada tidaknya adrenalin
4. Vaskularisasi tempat suntikan
5. Absorpsi obat
6.Laju destruksi obat
7.Hipersensitivitas
8. Usia
9. Keadaan umum
10. Berat badan
e. Depresi Otot polos
Kontrasi uterus, usus dan kandung kemih akan tertekan oleh kerja obat – obat anastesi lokal.
Inhibisi kandung kemih biasanya menimbulkan restensi urin, tetapi sebaliknya inkontinensia
urine da fases mungkin saja terjadi. Analgesia epidural akan disertai dengan peningkatan resiko
retensi urin postpartum. Masalah yang potensial dlam jangka pendek dan jangka panjang yang
timbul akibat kateterisasi urine yang berkali – kali tidak boleh.
Sejumlah peniliti telah menunjukan bila obat anestesi lokal diberikan secara epidural maka:
1. Kala satu dan dua ersalinan cenderung berlangsung lebih lama ( perbedaan rerata antara
anastesi epidural dan pemberian opoid adalah 42 dan 14 menit )
2. Dilatasi serviks berjalan lenih lambat
3. Pemberian oksitosin memerlukan disis dua kali lipat
4. Malposisi janin lebih sering terjadi
5. Kemungkinan secsio cecarea karena distosia menjadi lebih besar
6. Perlahiran bayi dengan alat menjadi dua hingga empat kali

Obat – obat anastesi lokal memperpajang masa persalinan dengan :


1. Menimbulkan relaksasi otot – otot dasar panggul
2. Mengurangi refleks mengejan
3. Mengurangi upaya bayi untuk mendorong bayinya lahir
4. Bekerja langsung pada otot rahim dengan menurunkan tonus otot
5. Mengurangi pelepasan oksitosin secara pulsatile dari kelenjar hipofisi posterior.

Efek anastesi lokal pada neonatus. Dalam pemberian obat anastesi lokal secara epidural dapt
memberikan efek neurobehavioural yang tidak jelas pada neonates yang tidak terdeteksi pada
usia 18 bulan. System auditorius pada neonates dapat mengalami ganggguan sepintas, namun
setiap efek samping neurobehavioural tidak merintangi pmberian ASI.
Penggunaan analgesia epidural akan meningkatkan resiko hipoglikemia neonatal, takipnea dan
gangguan pada metabolism lipid. Tindakan analgesia epidural pada neonates memberikan
kemungkinan yang lebih kecil bagi neonates untk memiliki nilai APGAR yang rendah pada
waktu lima menit atau memerlukan nalokson jika dibandingkan dengan kemungkinan yang
terjadi setelah pepmberian opoid.

Kewaspadaan dan kontraindkasi


Kewaspadaan dan kontraindikasi pada penggunaan obat anastesi lokal

35
a. Obat anestesi lokal tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap setiap
obat anastesi yang secara kimia yang ada hubungannya terhadap konstituen yang membentuk
obat tersebut.
b. Pemberian anastesi lokal tidak dianjurkan ibu hamil atau pasien baru saja mengalami perdarahan
karena respon kardiovaskuler terhadap kehilangan darah tersebut akan terganggu.
c. Obat anastesi lokal harus diberikan dengan hati – hati sekali jika terpaksa digunakan didaerah
yang mengalami inflamasi.
d. Obat anastesi lokal harus digunakan dengan hati – hati pada : blok jantung atau gangguan
hantaran jantung, epilepsi, penyakit hati atau ginjal, riwayat hipertermia, gangguan respirasi dan
laktasi.

Cara - Cara Pemberian Obat Anestesi Lokal


Anestesi lokal umumnya digunakan secara parental misalnya pada waktu pembedahan kecil
dimana pemakaian anestesi umum tidak diperlukan. Beberapa cara pemberian anestesi lokal
adalah:
 Anastesi local metode permukaan
Efek anastesi ini tercapai ketika anastesi local di tempatkan di daearh yang ingin di
anastesi.
 Anastesi local metode regnier
Mata normal apabila di sentuh pada kornea akan memberikan respon reflex ocular (mata
berkedip ) jika di teteskan anastesi local respon reflex ocular timbul setelah beberapa kali
kornea di sentuh sebanding dengan kekuatan kerja anastesi dan besaran sentuhan yang di
berikan. Tidak adanya respon reflex ocular setelah korena di sentuh 100 kai di anggap
sebagai tanda adanya anastesi local.
 Anastesi local metode infiltrasi
Anastesi local yang disuntikan kedalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan sensasi
pada struktur sekitar
 Anastesi local metode konduksi
Respon anastesi local yang di suntikan kedalam jaringan di lihat dari ada tidak respon
haddner respon haffner adalag reflex mencit yang apabila ekor di jepit maka terjadi
respon angkat ekor/mencit bersuara.
Pada obat anestesi lokal, biasanya yang digunakan adalah garam-garam kloridanya yang mudah
larut dalam air. Untuk memperpanjang daya kerjanya, maka sering ditambahkan obat lain untuk
menciutkan pembuluh darah (vasokonstriktor) misalnya larutan adrenalin. Selain itu absorpsi
akan diperlambat dan toksisitasnya akan berkurang, mulai kerja akan lebih cepat dengan khasiat
yang lebih bagus, serta lokasi pembedahaan tidak berdarah namun larutan yang mengandung
vasokonstriktor sebaiknya jangan digunakan pada jari-jari tangan karena resiko gangrene.

Nama – Nama Obat Dalam Anastesi Lokal

1. Prokain
a. Farmakodinamik
Dosisi 100 – 800 mg : analgesic ringan efek maksimal 10 – 20 ‘ hilang setelah 60 ‘
Dhirolisis menjadi PABA ( para amino binzoic acid ) dapat menghambat kerja sulfonamid.
b. Farmakokinetik

36
Absorpsi PABA ( para amino binzoic acid ) dan dietilaminoetanol
Hidrolisisnya cepat oleh enzim plasma ( prokain esterase )
PABA Di eksresikan dalam urin ( dalam bentuk utuh dan tergonjugasi )
c. Indikasi
Anastesi infitrasi, blok saraf, epidural, kaudal dan spinal
Geriatric : perbaikan aktivitas seksual dan fungsi kelenjar endokrin
d. Kontra indikasi
Pemberian intravena untuk penderita miastenia gravis karena prokain menghasilkan derajat blok
neuromuskuler.
e. Dosis : 15 mg/kg BB
Untuk infitrasi : larutan 0.25 – 0.5 % dosis maksimumnya 1000 mg.
o Onset : 2- 5 menit, durasi 30 – 60 menit.
o Bisa ditambah adrenalin ( 1 : 100.000 atau 1 : 200.000)
o Dosis untuk epidural ( maksimum ) 25 ml larutan 1.5% . Untuk kaudal 25
ml larutan 1.5%. spinal analgesia 50 – 200 mg. tergantung efek yang
diinginkan lamanya 1 jam.

2. Lidokain ( lignocain, xylocain, lidonest )

a. Farmakodinamik
Anestesi lokal kuat. Terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif dari pada
prokain.
Larutan lidokain o.5 % adalah anastesi infiltrasi, 1 – 2 % ; nastesi blok dan topical.
Efektif tanpa vasokontraktor, kcepatan absorpsi dan toksitas, masa keja lebih pendek.
b. Farmakokinetik
Absorpsinya mudah diserap dari tempat ijeksi
Dapat tembus sawar darah otak
Metabolism : di hati , eksresinya di urin
c. Indikasi
1. Injeksi : anastesi infitrasi, blok saraf anestesi epidural, kaudal dan mukosa
2. Anest infitrat : larutan .025 % – 0.50% dengan atau tanpa adrenalain
3. Kedok gigi : larutan 1 – 2 % lidokain dengan adrenalin
4. Anestesi permukaan, anest kornea mata ( lidokain 2 % + adrenalin )
d. Kontra indikasi: Iritabilitas jantung
e. Efek samping
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efek terhadap SSP, misalnya mengantuk,
pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures. Lidokain dosis berlebihan dapat
menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh henti jantung.
f. Dosis
1. Kosentrasi efektif minimal 0.25 %.
2. Infitrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
3. Kerja sekitar 1 – 1.5 juam tergantung konsetrasi larutan.
4. Larutan standar 1 atau 1.5% untuk blok perifer.
5. 0.25 % - 0.5 % + adrenalin 200.000 untu infitrasi.
6. 0.5 % untuk blok sensorik tanpa blok motorik.
7. 1 % untuk blok motorik dan sensorik

37
8. 2 % untuk blok motorik pasien yang berotot (muscular)
9. 4% atau 10 % untuk topical semprot faring – laring
10. 5 % bentuk jeli untuk dioleskan di pipa trakea
11. 5 % lidokain dicampur prilokain untuk topical kulit.
12. 5 % hiperbarik untuk analgesia intratekal
3. Bupivakain (marcain)
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan tetrakain. Untuk
infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0.25 – 0.75%. Dosisi maksimal 200mg. Duration
3 – 8 jam, kosentrasi efekti minimal 0.125 %. Mulai kerja lebih lambat disbanding lidokain.
Setelah suntik kaudal, epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit.
Kemudian menurun perlahan – lahan dalam 3 – 8 jam. Untuk anastesi spinal 0.5% volume antara
2 – 4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0.375% dan pembedahan 0.75%.

4. Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4 % untuk mukosa jalan napas atas. Lama kerja 2
– 30 menit.

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
Alat Dan Bahan , Prosedur kerja

A. Anastesi local metode permukaan


Hewan : kelinci jumlah 1 ekor bb 1,5 kg
Obat : tetes mata lidocain hcl sebanyak 1-2 tetes
tetes mata nacl sebanyak 1-2 tetes
Alat : gunting aplikator, kotak kelinci ,stopwatch

38
Prosedur kerja
 Siapkan kelinci gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator
 Sebelum pemberian obat cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata berkedip)
dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada mencit ke 0
catatan : jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus di atur.
 Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
Mata kanan : teteskan dengan nacl sebnayak 1-2 tetes
Mata kirin : teteskan dengan lidokain hcl sebanyak 1-2 tetes
1. Tutup masing masing kelopak mata kelinci selama 1 menit
2. Cek ada/tidakrespon reflek ocular mata dengan menggunakan aplikator pada kornea mata
secara tegak lurus pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60
3. Catat dan tabelkan pengamatan

B. Anastesi local metode regnier


Hewan : kelinci 1 ekor bb 1,5 kg
Obat : tetes mata nacl sebanyak 1-2 tetes
Tetes mata lidocain hcl 1-2 tetes
Alat : gunting aplikator , kotak kelinci, stopwatch
Prosedur kerja
 Siapkan kelinci gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator
 Sebelum pemberian obat cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada mencit ke 0 catatan : jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme
harus di atur.
 Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
Mata kanan : teteskan dengan nacl sebnayak 1-2 tetes
Mata kirin : teteskan dengan lidokain hcl sebanyak 1-2 tetes
 Tutup masing masing kelopak mata kelinci selama 1 menit
 Cek ada/tidakrespon reflek ocular mata dengan menggunakan aplikator pada
kornea mata secara tegak lurus pada menit ke 8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60
 Ketenuan metode regnier

39
 Pada menit ke 8
1. Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon reflex okuler → maka dicatat
angka 100 sebagai respon negative
2. Jika pemberian aplikator sebelum 100 kai terdapat respon reflex okuler → maka dicatat
angka terakhir saat memberikan respon sebagi respon negative
 Pada menit ke , 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60
Jika pemeberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon reflex okuler maka
dicatat angka 1 sebagi respon negative dan menit menit yang tersisa juga di beri
angka 1
 Jumlah respon reflek okuler negative dimulai dari menit ke 8 hingga ke 60 jumlah ini
menunjukan angka regnier minimal 13 dan maksimal 800
 Catat dan tabelkan pengamatan

C. Anastesi local metode infiltrasi


Hewan : kelinci 1 ekor bb 1,5 kg
Obat /: larutan lidocain hcl sebanyak 0,2 ml secara subkutan
Larutan lidocain hcl dan adrenalin sebanyak (1 : 50.000) sebanyak 0,2 ml secara
subkutan
Alat : gunting, alat cukur , spuit 1 cc , kotak kelinci , spidol, stopwatch
Prosedur kerja
 Siapkan kelinci gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih kulitnya
(hindari terjadinya luka)
 Gambar empat daerah penyuntikan dengan jarak 3 cm
 Sebelum pemberian obat cek ada / tidak respon getaran otot punggung kelinci dengan
menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daerah enyuntikan pada menit
ke 0 catatan : jangan terlalu keras menggunakan eniti dan ritme harus diatur
 Suntik larutan obat tersebut pada daerah penyuntikan
 Cek ada tidaknya respon getaran otot pada punggung kelinci dengan menggunakan
peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daearah penyuntikan pada menit ke 5, 10,
15, 20, 25,30, 35, 40, 35, 60
 Catat dan tabelkan

40
D. Anastesi local metode konduksi
Hewan : mencit putih jantan 3 ekor bb 20 – 30 g
Obat : larutan nacl secara intravena, larutan lidocain hcl secara intra vena, dan larutan
lidocain + adrenalin secara intra vena
Alat : spuit injeksi 1 cc kotak mencit, pinset , spidol

Prosedur kerja
 Siapkan mencit sebelum pemberian obbat cek ada /tidak respon haffner pada mencit
ke 0
 Hitung dosis dan volume pemeberian obat dengan tepat untuk masing masing mencit
 Mencit petama disuntik larutan lidokain + adrenalin secara iv
 Mencit kerdua disuntik larutan lidokain secara iv
 Mencit ketiga disuntik larutan nacl secara iv
 Cek ada tidaknya respon haffner pada menit ke 10, 15, 20, 25, 30
 Catat dan tabelkan pengamatan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil


 Anastesi local permukaan
Percobaan Bahan Obat
Ada tidaknya respon kedip

41
kel 5 10 15 20 30 45 60
mata kanan Nacl 1 + + + + + + +
kelinci 2 + + + + + + +
anastesi local
Metode mata kiri kelinci Lidocain 1 + + - - - - -
Pemukaan Hcl 2 + + - - - + +

 Anastesi local regnier

Percobaan Bahan Obat Jumlah sentuhan yang memberikan respon okuler

kel 0 8 15 20 25 30 40 50 60 X
mata kanan Nacl 3 + 1 1 1 1 1 1 1 1 8
anastesi kelinci 4 + 1 1 1 1 1 1 1 1 8
local
metode mata kiri lidocain 3 + 100 100 88 65 12 1 1 1 368
regnier kelinci Hcl 4 + 100 100 100 75 15 1 1 1 395

 Anastesi metode infiltrasi

Percobaan bahan Obat Ada / tidaknya otot punggungny kelinci denagn 6 kali dengan
peniti
anastesi local Kel 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60
Metode Punggung Lidocain + - - - - - - - - - -
Infiltrasi Kiri Hcl 5
kelinci Lidocain + + - - - - - - + + +
+
adrenalin

 Anastesi metode konduksi (kelompok 6)

Percobaan Bahan Obat Ada / tidaknya respon haffter

Anastesi 0 10 15 20 25 30

42
local Mencit Lidocain + + - - - +
metode Hcl
konduksi Lidocain + + - - - -
Hcl +
adrenalin
Nacl + + + + + +
0,9%

4.2. Pembahasan

2. Anastesi Lokal Metode Permukaan

Percobaan dilakukan dengan kelinci, yang sebelum nya bulu mata nya di gunting dan diambil
satu untuk aplikator. Yang di cek ada atau tidak nya respon reflex ocular mata (mata berkedip).
Percobaan ini dilakukan oleh kelompok 1 dan kelompok 2 dengan mata kanan menggunakan
NaCl dan mata kiri menggunakan Lidokain Hcl 2%.

Kelompok 1. Pada mata kanan sebelum diteyesi NaCl pada menit ke-0 hasil nya (+) yang
artinya ada respon reflex ocular mata saat di cek menggunakan aplikator lalu pada menit ke-5
,10,15,20,30,45 dan 60 hasil nya tetap (+). Karena NaCl bukan obat untuk anastesi sehingga
tidak memberikan efek anastesi pada kelinci. Pada mata kiri kelinci diberikan obat Lidocain Hcl
2% yang mana sebelum ditetesi dan pada menit ke-5 hasil nya (+) yang artinya obat belum
bekerja didalam tubuh kelinci. Lidokain Hcl 2% baru memberikan efek pada kelinci pada menit
ke 10 dan berlanjut sampai ke menit 60 karena memberikan hasil (-) yang artinya lidokain Hcl
2% masih memberikan efek karena tidak ada nya reflex ocular mata saat dicek dengan
menggunakan aplikator.

Kelompok 2. Percobaan yang sama dengan kelompok 1 dan memberikan hasil yang sama untuk
pemberian pada mata kanan dengan menggunakan NaCl hasil (+) dari menit ke 0 sampai ke
menit 60. Tetapi berbeda hasil pada pemberian mata kanan dengan menggunakan lidocain Hcl
2% karena pada menit ke 0 dan menit ke 5 memberikan hasil (+) berati obat belum berkerja,
pada menit ke 10 lidocain mulai memberikan efek sampai menit ke 30 karena hasil (-) namun
pada menit ke 45 dan menit ke 60 memberikan hasil (+) yang berarti efek obat menghilang
karena ada respon refleks ocular.

Percobaan kelompok 1 dan kelompok 2 ini menimbulkan efek yang sama pada menit ke 10 tetapi
kerja obat yang lebih lama ada pada kelompok 1 sehingga hasil yang sesuai teori adalah
percobaan pada kelompok 1,sebagai mana obat Lidocain Hcl 2% merupakan obat anastesi lokal
yang memang lebih cepat memberikan efek dan bekerja nya lebih stabil.

- Anastesi Lokal Metode Regnier

43
Metode ini bertujuan untuk menghitung jumlah reflex ocular mata setelah kornea disentuh 100
kali yang dianggal ada nya anastesi lokal.

Kelompok 3. Mata kanan kelinci diberikan NaCl, pada menit ke 0 sebelum ditetesi hasil (+) lalu
setelah ditetesi pada menit ke 8 sampai menit ke 60 hasil nya (1) yang artinya pada sentuhan
pertama terdapat respon reflex ocular mata dan jumlah yang didapat adalah 8. Mata kiri kelinci
yang di tetesi Lidocan Hcl 2%,pada saat sebelum ditetesi menit ke 0 hasil (+), pada menit ke 8
sampai menit ke 15 hasil nya (100) yang artinya sampai pada sentuhan 100x tidak ada reflex
ocular mata lalu di menit ke 20 memberikan hasil (88) yang menunjukan efek obat mulai
menghilang, pada menif ke 25 sentuhan tidak mencapai 100 hanya 65 begitupun pada menit ke
30 sentuhan hanya mencapai 12 yang artinya efek obat semakin lama semakin menghilang lalu
pada menit ke 40 sampai menit ke 60 pada sentuhan pertama sudah memberikan respon, ini
menunjukan efek obat Lidocain sudah habis, jumlah angka regnier nya adalah 368.

Kelompok 4. Pada mata kanan kelinci dengan diberikan NaCl menghasilkan hasil yang sama
dengan kelompok 3 yaitu hasil nya (1) pada menit ke 8 sampai menit ke 60 dan jumlah nya
adalah 8. Pada mata kiri kelinci dengan lidocain Hcl 2% memberikan hasil (+) pada menit ke 0,
pada menit ke 8 sampai menit ke 20 mendapatkan hasil (100) yang artinya setelah 100x sentuhan
tidak ada respon reflex ocula mata, pada menit ke 25 memberikan hasil 77 yang artinya efek obat
mulai menghilang lalu pada menit ke 40 sampai menit ke 60 memberikan hasil (1) yang berarti
efek obat lidocain sudah habis, Total jumlah nya adalah 395.

Percobaan kelompok 3 dan kelompok 4 pada pemberian NaCl dengan jumlah yang sama tidak
mencapai efek anastetik lokal karena jumlah nya 8 sedangkan minimal angka regnier adalah 13,
untuk mata kiri pada pemberian Lidocain Hcl 2% keduanya mencapai efek anastes lokal karena
lebih dari 13 tetapi kelompok 4 lebih sesuai teori karena durasi kerja Lidocain Hcl 2% lebih
tahan lama dan memberikan efek yang cepat. Jadi pada kelompok 3 dan kelompok 4
memberikan efek anastesi karena jumlah nya melebihi 13(angka minimal dari angka regnier).
Jumlah pada kelompok 3 adalah 368 dan jumlah pada kelompok 4 adalah 395.

-Anastesi Lokal Metode Infiltrasi

Percobaan pada kelompok 5 ditujukan untuk melihat ada atau tidak nya getaran otot punggung
kelinci. Pada punggung kanan menggunakan obat lidocain, menit ke 0 sebelum disuntik kan hasil
(+) yang artinya ada getaran otor punggung kelinci, pada menit ke 5 sampai menit ke 60 hasil (-)
tidak ada nya getaran otot punggung kelinci, hal ini sesuai dengan teori karena lidokain
memberikan efek yang cepat dan kerja nya tahan lama. Pada punggung kiri kelinci di suntik kan
obat lidocain + adrenalin, pada menit ke 0 sebelum disuntik kan hasil (+) masih ada getaran otot
punggung, pada menit ke 5 setelah disuntik kan maaih terdapat getaran otot punggung, pada

44
menit ke 10 sampai menit ke 35 memberikan hasil (-) yaitu tidak ada respon getaran otot
punggung kelinci saat disentuhkan arti nya efek obat mulai menghilang. Dari hasil praktikum ini
kerja obat yang paling lama adalah lidocain sedangkan untuk lidocain + adrenalin lebih lambat
karena lidocain lebih mudah diabsorbsi. Penambahan adrenalin adalag untuk mengurangi aliran
darah setempat, menurunkan kecepatan absorbsi anastesi lokal dan memperpanjang efek lokal
nya. Hasil efek nya sudah sesuai teori.

- Metode Konduksi

Dilakukan oleh kelompok 6,Menggunakan 3 obat yaitu lidocain Hcl, lidocain Hcl +adrenalin
dan larutan NaCl 0,9%. Hewan coba yang digunakan adalah mencit dan dilihat respon haffner.
Pada menit ke 0 ketiga mencit hasil nya (+) artinya ada respon haffner.

Mencit pertama diberikan lidocain Hcl, pada menit ke 10 memberikan hasil (+) yang
artinya ada reslon haffner, pada menit ke 15 sampak menit ke 25 hasil (-) tidak ada respon
haffner lalu pada menit ke 30 sudah ada lagi respon haffner.

Mencit kedua dengan lidocain Hcl + adrenalin pada menit ke 0 dan menit ke 10
memberikan (+) respon haffner lalu pada menit ke 10 memberikan (+) respon haffner, pada
menit ke 15 sampai menit ke 30 hasil (-) artinya tidak ada respon haffner.

Mencit ketiga disuntikan lar. NaCl 0,9% tidak memberikan efek anastesi lokal dari menit
ke 10 sampai menit ke 30 memberikan respon haffner karena larutan NaCl bukan merupakan ibat
anastesi lokal. Hasil dari pengamatan lidocain dan lidocain + adrenalin efek mula kerja obatnya
sesuai dengan teori.

Hasil pada kelompok 5 dan kelompok 6 mendapatkan hasil yang berbeda, baik lidocain maupun
lidocain+adrenalin. Tetapi kelompok 6 sesuai dengan teori karena lidocain+adrenalin durasi
kerjanya lebih lama dari lidocain Hcl, karena fungsi adrenalin dalam anastesi lokal yaitu sebagai
vasokonstriktor yang berfungsi untuk memperpanjang daya kerja anastesi lokal.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

45
Teknik untuk menyebabkan anastesi lokal dibagi menjadi 4 yaitu; dengan Metode
Permukaan,kelompok 1 kerja obatnya lebih lama dari pada yang kelompok 2. Metode Regnier,
kelompok 3 dan 4 mendapatkan atau mencapai efek anastesi lokal pada pemberian lidocain
sedangkan pada pemberian NaCl keduanya tidak mencapai efek anastesi lokal. Metode
Infiltrasi,pada kelompok 5 menujukan bahwa lidocain Hcl bekerja lebih lama daripada lidocain
Hcl+adrenalin sedangkan untuk yang terkahir adalah Metode Konduksi pada kelompok 6
menunjukan bahwa lidocain Hcl + adrenalin bekerja lebih lama dari lidocain Hcl, data kelompok
5 dan 6 yang berbeda tetapi mengarah pada teori yang menunjukan penambahan adrenalin adalah
memperpanjang daya kerja obat sebagai anastesi lokal sedangkan lidocain Hcl hanya
memberikan efek anastesi di pertengahan pemberian.

Saran
Praktikan harus lebih teliti lagi dalam praktikum agar hasil yang didapat sesuai dengan
teori yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rusda, M.2004. Anastesi Infiltrasi pada Episiotomi.University Sumatra utara.

Kartika Sari Wijayaningsih.2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta. TIM

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja,Kirana. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta : CV Permata.

Sunaryo. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam : ed. Ganiswarna SG. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru, 1995: 234-47.

46
MINGGU KETIGA

47
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Judul Percobaan : Percobaan Uji Diabetes (Uji kadar Glucose dan Antidiabetes)

1.2 Latar Belakang :


Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai penyakit atau gangguan dengan multi
fungsi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta sel pankreas, atau disebabkan oleh tidak responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan memproduksi insulin atau terdapat resistensi
insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).

Insulin adalah zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa
dapat memasukkan sel, di mana gula yang kemudian dipergunakan sebagai energi. Jika tidak ada
insulin, atau jumlah insulin tidak cukup, atau jika insulin tersebut cacat, maka tidak dapat
digunakan dalam jumlah besar.
Penyakit diabetes melitus atau kencing manis yang disebabkan oleh multifaktor, keturunan
merupakan salah satu faktor penyebab. Selain itu, masih ada faktor-faktor yang disebut faktor
pencetus, misalnya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres,
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar normal yang melebihi
nilai normal. Jika dibiarkan tidak terkendali, diabetus mellitus dapat menimbulkan komplikasi
yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-
lain .Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita diabetes mellitus
dielahan dunia. Tahun 2005 jumlah diabetes mellitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai
sekitar 230 juta. Angka mengejutkan dilansir oleh beberapa Perhimpunan Diabetes Internasional
memprediksi jumlah penderita diabetes mellitus lebih dari 220 juta di tahun 2010 dan lebih dari
300 juta di tahun 2025.

48
Data WHO di tahun 2002 diperkirakan akan lebih dari 20 juta penderita diabetes mellitus
di tahun 2025. tahun 2030 angkanya bisa melejit mencapai 21 juta penderita. Saat ini penyakit
diabetes mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah
penderita diabetes mellitus di Indonesia menempati peringkat empat setelah India, China, dan
Amerika Serikat.
Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran
yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Membantu penderita
menyesuaikan pola diet yang memungkinkan, mencegah dan mengendalikan yang mungkin
timbul, mencegah dan mengendalikan efek, memberikan manfaat yang sesuai dan dosis yang
harus digunakan bersama-sama dengan dokter yang merawat pasien, yang dapat berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, yaitu peran yang sangat sesuai dengan masalah
dan tugas seorang apoteker. Apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi
penderita diabetes mellitus.

o Tujuan Percobaan
1.Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruh pada pangkreas
diabetes
2.Mengenal terkait untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konvensional
3.Melakukan tes glucose konvensional pada manusia menggunakan alat ukur glucose darah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Dasar
Pengertian

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada
metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi insulin dari sel-sel beta.
Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan
kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan
dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara
kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah
cenderung naik (hiperglikemia).

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan
glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi olehsel β pulau Langerhans kelenjar
Pankreas baik absolut maupun relatif.

Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat.


Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar glukosa dalam plasma
darah .

49
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya sekresi insulin,
gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan merupakan patogen melainkan
secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan metabolisme. Gejala umum diabetes adalah
hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan
kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akutdapat menyebabkan sindrom
hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis.Hiperglikemia kronik menyebabkan
kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ.
Komplikasi jangka panjang diabetes adalahmacroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung.

Pada diabetes melitus semua proses terganggu, glukosa tidak dapat masuk kedalam sel,
sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya
hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali hingga darah menjadi
hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang nyata berbahaya ialah gliosuria yang timbul, karena
glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis sangat meningkat disertai hilangnya berbagai
efektrolit. Hal ini yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita
diabetes yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi , maka badan berusaha mengatasinya
dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap hari gram glukosa
yang diekskresi.

Insulin adalah polipeptida dengan BM kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51 asam
amino tersusun dalam dua rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
asam amino. Antara rantai A dan B terdapat 2 jembatan disulfide yaitu antara A-7 dengan B-7
dan A-20 dengan B-19. Selain iu masih terdapat jembatan disulfide antara asam amino ke-6 dan
ke-11 pada rantai AKarena insulin babi lebih mirip insulin insani maka dengan bahan insulin
babi mudah dibuat insulin insani semisintetik. Disamping itu juga dapat disintesis insulin
manusia dengan teknik rekombinan DNA.

Sekresi insulin diatur tidak hanya diatur oleh kadar glukosa darah tetapi juga hormon lain
dan mediator autonomik. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang
tinggi dan difosforilasi dalam sel pankreas. Insulin umumnya diisolasi dari pankreas sapi dan
babi, namun insulin manusia juga dapat menggantikan hormon hewan untuk terapi. Insulin
manusia diproduksi oleh strain khusus E. Coli yang telah diubah secara genetik. mengandung
gen untuk insulin manusia. Insulin babi paling mendekati struktur insulin manusia, yang
dibedakan hanya oleh satu asam amino. Gejala hipoglikemia merupakan reaksi samping yang
paling umum dan serius dari kelebihan dosis insulin. Reaksi samping lainnya berupa lipodistropi
dan reaksi alergi.Diabetes militus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin
relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat
serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal kira-kira 50% glukosa yang dimakan
mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-
kira 30-40% diubah menjadi lemak.

Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus

50
1. Diabetes Mellitus tergantung Insulin (DMTI, tipe 1)

Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM) merupakan istilah yang
digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang tidak dapat bertahan hidup tanpa
pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum dari IDDM ini adalah terjadinya kerusakan
otoimun sel-sel beta (β) dari pulau-pulau Langerhans.
Kebanyakan penderita IDDM berusia masih muda, dan usia puncak terjadinya serangan
adalah 12 tahun. Namun demikian, 10% pasien diabetes diatas 65 tahun merupakan pengidap
IDDM.

IDDM dapat juga disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan
kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus. Hal ini menunjukkan bahwa IDDM
dapat timbul karena adanya hubungan dengan gen-gen pasien dan dapat pula dipicu oleh faktor
lingkungan yang ada, termasuk bermacam-macam.

Secara normal hiperglikemisa akan menurunkan sekresi glukogen, tetapi pada penderita
DM tipe 1 ini tidak terjadi, sekresi glukogen tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia.
Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami
keterdosis diabetic apabila tidak mendapatkan terapi insulin. Apabila diberikan tetapi somastotin
untuk menekan sekresi glukogen, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan gula dan berat
badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada tubuh untuk mensekresi glukogen sebaai
respon terhadap glikemis.

2. Diabetes mellitus tidak tergantung Insulin (DMTTI ,Tipe II)


Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI atau NIDDM) merupakan istilah yang
digunakan untuk kelompok diabetes mellitus yang tidak memerlukan pengobatan dengan insulin
supaya dapat bertahan hidup, meskipun hampir 20% pasien menerima insulin dengan tujuan
untuk membantu mengontrol kadar glukosa darah. NIDDM biasanya ditunjukkan oleh adanya
kombinasi yang beragam dari tahanan insulin dan kekurangan.

Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2 terutama yang berada pada tahap
awal umumnya dpat didetekski jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, di sampiing kadar
guula yang juga tinggi. Jadi, awal potofuidologisnya bahkan bukan disebakan oleh kuangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel- sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
pada penderita DM tipe 2 hsnys bersifat relative, tidak dabsolut. Oleh sebab itu, dalam
penanganannya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel- sel beta kalenjar pancreas non
sekresi insulin alam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi
dua fase terjadi di sekitar 20 menit sesudahnya.

3. Diabetes Melitus Gestasional

51
Diabetes mellitus gestasional adalah kadaan diabetes dan interaksi glukosa yang terlibat
timbul selama masa khamilan,dan biasanya berlangsung hanya sementara. Sekitar 4- 5 % wanita
hamil diketahi menderita GOM dan umunya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupn umumnya kelak dapat pulih kembali sendiri bebrapa
saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk pada bayi yang dikandung. Akibat buruk
yang dapat terjadi antara lain nolfarmasi konguinental, peningkatan berat badan bayi ketika lahir
dan meningkatnya resiko mortalitas prenatal.

4. Pra diabetes

Pra diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal
dan diabetes, lebih tinggi daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam
diabetes tipe 2. Penderita pra- diabetes di perkirakan cukup banyak, kodisi pra- diabetes
merupakan factor resiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol
dengan baik, kondisi pra- diabetes dapat meningkat menjadi diabetes pada tipe 2 dalam kurun
waktu 5- 10 tahun. Namun pengaturan diet an olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda
timbulnya diabetes. Ada 2 tipe mencegah atau menunda timbulnya diabetes, yaitu;

1. Impaired fasting glucose, yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar
100- 125 mg/dL (kadar normal <100 mg/dL)

2. Impaired glucose tolerance (IGT)yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada
ujitoleransi glukosa nberada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke
dalam kondisi diabetes.

Mekanisme Terjadinya Diabetes

Penyakit diabetes mellitus ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darha atau
hiperglikemia. Gejala awal penyakit dibetes mellitus biasanya kan terjadi poliurea sebagai akibat
meningkatnya dieresis yang ditentukan oleh osmosis, gejala selanjutnya yang timbul adalah
glikosuria bila kondisi hiperglikemia melebihi 180 mg/dL (kadar gula darah normal 80- 100
mg/dL. Hiperglipidemia terjadi kemudian yang disebabkan oleh mobilisasi cadangan lemak,
khususnya karena konsentrasi asam emak bebas yang meningkat akan menyebabkan letouriadan
asidosis yang parah dan menimbulkan komadiabetik. Hiperglipidemia timbuk karena penyerapan
glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolism terganggu. Pada keadaan normal, kira- kira
50% glukosa yang masuk ke dalam tubuh mengalamu metabolism sempurna menjadi CO2 dan
H2O pada jaringan adipose melalui proses glikolisis, 15% menjadi glukogen pada jaringan hepar
melaluii proses glikogenesis dan kira- kir 30- 40% diubah menjadi lemak pada jaringan adipose.

Karbohidrat dicerna menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah meningkat. Insulin
beperan dalam menjaga kadar glukosa darah tetap normal dengan cara mentransfer glukosa darah
ke dalam sel- sel yang membentuk membutuhkan glukosa darah tidak dapat digunakan secara
langsung menjadi energy melaluipross oksidasi(respirasi)

52
C6H12O6 + 6CO2 -- 6CO2 + 6H2O + energy

Bentuk gangguan diabetic yang paling berat yaitu diabetikum, terdapat gangguan proses
biokimia glukosa dara dalam tubuh, yaitu terjadinya ketoasidosis akibat embentukan benda keton
dalam jumlah besar. Eliminasi glukosa dalam urin menyebabkan dieresis osmotiik dengan
kehilangan air, dengan demikian cerna diabetic bergantung pada asidosis.

Gejala

Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak selalu
sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak
mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang
tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu.

1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:

a. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)

b. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)

c. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus meningkat,
bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan ini jumlah insulin masih
dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah.

2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang

disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :

a. Banyak minum

b. Banyak kencing

c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)

d. Mudah lelah

e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl,
bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik.

53
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar glukosa darah
terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik, gejala dan penurunan berat badan
inilah yang paling sering menjadi keluhan utama penderita untuk berobat ke dokter
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut (mendadak),
tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal dengan gejala kronik atau menahun.

Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah:

Kesemutan

Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarumRasa tebal pada kulit telapak kaki, sehingga
kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur

Kram

Capai, pegal-pegal

Mudah mengantuk

Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata

Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita

Gigi mudah goyah dan mudah lepas

Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan Para ibu hamil sering mengalami gangguan
atau kematian janin dalam kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg.
Hormon Insulin dan Glukagon

Glukosa darah berasal dari absorpsi pencernaan makanan dan pembebasan glukosa dari
persediaan glikogen sel. Tingkat glukosa darah akan turun apabila laju penyerapan oleh jaringan
untuk metabolisme atau disimpan lebih tinggi daripada laju penambahan. Penyerapan glukosa
oleh sel-sel distimulus oleh insulin, yang disekresikan oleh sel beta dari pulau-pulau Langerhans.
Glukosa berpindah dari plasma ke sel-sel karena konsentrasi glukosa dalam plasma lebih tinggi
daripada dalam sel. Di dalam sel, glukosa dikonversi menjadi glukosa 6 fosfat yang ditahan
dalam sel sebagai hasil daripada pengurangan permeabilitas membrane oleh pengaruh kelompok
fosfat. Insulin meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan laju transport
terbantu dari glukosa melintasi membran sel. Begitu glukosa telah masuk sel, segera difosforilasi
untuk menjaganya tanpa control.

Insulin adalah hormon yang mengendalikan gula darah. Tubuh menyerap mayoritas
karohidrat sebagai glukosa (gula darah). Dengan meningkatnya gula darah setelah makan,
pankreas melepaskan insulin yang membantu membawa gula darah ke dalam sel untuk

54
digunakan sebagai bahan bakar atau disimpan sebagai lemak apabila kelebihan. Orang-orang
yang punya kelebihan berat badan atau mereka yang tidak berolahraga seringkali menderita
resistensi insulin. Konsekuensinya, tingkat gula darah meningkat di atas normal.

Dalam otot rangka insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel otot yang
juga menstimulasi sintesis glikogen. Dengan demikian simpanan glikogen dalam sel otot
meningkat. Penyerapan asam amino ke dalam hati, otot dan jaringan adipose juga meningkat
setelah makan sebagai respon adanya insulin.

Penolakan insulin adalah kondisi pada jumlah normal insulin yang tidak mencukupi
untuk menanggapi respon insulin normal dari lemak, otot dan sel hati. Penolakan insulin pada sel
lemak merupakan akibat dari hidrolisis. Penolakan insulin pada otot mengurangi pengambilan
glukosa, dan penolakan insulin pada hati mengurangi stok glukosa, dengan akibat pada
penyediaan glukosa darah. Penolakan insulin dapat disebabkan oleh sindrom metabolisme dan
diabetes melitus tipe 2 .

Glukagon merupakan hasil dari sel alfa, yang berperan untuk meningkatkan derajad
glukosa darah ketika kadar glukosa darah turun di bawah normal. Target dari glukagon adalah
hati. Glukagon mempercepat perubahan glikogen menjadi glukosa (glikogenesis), mendorong
pembentukan glukosa dari asam laktat dan asam amino tertentu (glukoneogenesis) dan
mempertinggi penglepasan glukosa dalam darah. Sebagai hasilnya derajad glukosa darah naik.

Insulin dan glukagon adalah hormon yang bekerja secara antagonis dalam mengatur
konsentrasi glukosa dalam darah. Hal ini merupakan suatu fungsi bioenergetik dan homeostasis
yang sangat penting, karena glukosa merupakan bahan bakar utama untuk respirasi seluler dan
sumber kunci kerangka karbon untuk sintesis senyawa organik lainnya. Keseimbangan
metabolisme bergantung pada pemeliharaan glukosa darah pada konsentrasi yang dekat dengan
titik pasang, yaitu sekitar 90 mg/ 100 mL pada manusia. Ketika glukosa darah melebihi kadar
tersebut, insulin dilepaskan dan bekerja menurunkan konsentrasi glukosa. Ketika glukosa turun
dibawah titik pasang, glukagon meningkatkan konsentrasi glukosa. Melalui umpan balik negatif,
konsentrasi glukosa darah menentukan jumlah relatif insulin dan glukagon.

Komplikasi

Diabetes mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya
komplikasi yang pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh
(angiopatik diabetik).

Komplikasi akut DM :

- Hiperglikemia dan ketoasidosis diabetikum

- Ketidak seimbangan elektrolit

- Hiperglikemia, hiperosmolar, koma non ketotik

55
- Hipoglikemia (reaksi insulin)

Komplikasi kronik DM :

- Komplikasi makrovaskuler

Yang termasuk komplikasi makrovaskuler adalah : Coronary anteri disease (CAD),


hypertensi, infeksi, cerebro vaskuler disease dan penyakit vaskuler perifer. Pneyakit
makrovaskuler menunjukkan atheroskleoniosis dengan pengumpulan lemak di dinding pembuluh
darah lapisan dalam.

- Komplikasi mikrovaskuler

Mikroangipati berhubungan dengan perubahan pada kapiler mata dan ginjal. Pada mata
dapat terjadi retinopati diabetik, pandangan kabur dan katarak. Pada ginjal dapat terjadi
netropati. Neuropati adalah kimplikasi diabetes mellitus yang paling umum.

- Komplikasi kronik pada gangren diabetik :

Retino diabetik

Netropati diabetik

Katarak

Penyakit jantung koroner

Tuberkolosis paru

Obat Antidiabetes

1. Terapi insulin

Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel β, tetapi
stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia). Insulin terikat
pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi, termasuk peningkatan
ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose.

56
Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun
dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu prekursor, yang disebut
proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk membentuk insulin dan peptida C
residual. Granula menyimpan insulin sebagai kristal yang mengandung zink dan insulin.

Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β pulau
Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu makan. Sel-sel β
memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP) intraselular. Saat glukosa darah
meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β dan metabolismenya menyebabkan
peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang
diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini
memicu pelepasan insulin.

Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiri dari dua
subunit α dan dua subunit β yang terikat secara kovalen oleh ikatan disulfida. Setelah insulin
terikat pada subunit α, kompleks insulin-reseptor memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh
enzim lisosom. Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor mendasari down-regulation reseptor
yang dihasilkan olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan insulin pada reseptor
mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan memulai suatu rantai kompleks reaksi-reaksi
yang menyebabkan efek insulin.

Berbagai aktivitas yang dapat menghilangkan aktivitas insulin antara lain:

o esterifikasi gugus karboksil

o oksidasi atau reduksi gugus sulfide

o pengrusakan oleh enzim proteolitik, misalnya krimotripsin, pepsin, dan topain

o modifikasi pada gugus amino bebas atau gugus hidroksil alifatik.

Insulin disintesis oleh sel beta pulau langerhans dari proinsulin. Proinsulin berupa
polipeptida yang berbentuk rantai tunggal dengan 86 asam amino. Insulin merupakan hormone
yang penting untuk kehidupan. Hormone ini mempengaruhi baik metabolism karbohidrat
maupun metabolism protein dan lemak.

Berikut merupakan kerja insulin:

o menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel- sel sebagian besar jaringan

o menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif

o menaikkan pembentukkan glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan

mencegah penguraian glikogen

57
o menstimuasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa

o menaikkan pengambilan ion kalsium ke dalam sel dan menurunkan kerja

metabolic glukokortikoid dan hormone kalenjar tiroid

Mekanisme kerja insuin adalah menurunkan kadar gula dengan menstimulasi


pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatit. Waktu darah insulin
pada orang normal sekitar 5- 6 menit, dan memanjang pada pasien DM yang membentuk
antibody terhadap insulin. Hormone ini dimetabolisme terutama di hato, ginjal dan otot;
mengalami diltrasi di ginjal, kemudian diserap kembali ditubulus ginjal yang juga merupakan
tempat metabolismenya. Gangguan fungsi ginjal yang berat lebih berpengaruh terhadap kadar
insulin di darah dibbandingkan gangguan fungsi hati.

Penggolongan insulin:

1. Kerja singkat

2. Kerja sedang (NPH)

3. Kerja sedang mulai kerja singkat

4. Kerja lama

Pemberian insulin merupakan keharusan pada pasien dengan diabetes tipe 1. Selanjutnya
insulin juga dibutuhkan pada diabetes tipe 2 jika diet atau pemberian antidiabetika sebagai
tindakan pengobatan tidak cukup.

Insulin normal diindikasikan pada koma diabtik dan orakoma diabetic, keadaan
metabolism yang bersifat antidotik, infeksi berat dan juga pemberian pertama dan baru. Pada
koma diabetic disuntikkan insulin normal bersama dengan larutan glukosa secukupnya atau dan
elektrolit terutama kalium. Larutan glukosa dibutuhkan untuk mencegah koma hperglipidemia
yang disebabkan oleh kelebihan dosis insulin dan untuk mngoksidasi badan keton dengan lebih
cepat.

Insulin dengan kerja yang diperlambat digunakan apda diabetes tipe 1 stabil dan diabetes
tipe 2 yang stabil dn membutuhkan insulin. Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2 yang tidak stabil dan
juga pada pasien yang jadar gula darahnya tidak cukup diminumalkan dengan insulinnya
diperlambat, maka dianjurkan penggunaan kombinasi insulin normal dan insulin dengan kerja di
perlabat yang kerjanya sedang.

Di samping bahaya hipoglikemik, insulin juga dapat meneyebabkan reakdi alergi.


Resistensi insulin dengan disebabkan oleh pembentukan antibody melawan inulin dipisahkan
dari reaksi alergi ini.

2. Antidiabetik Oral
58
Antidiabetika oral dapat digunakan untuk penderita alergi insulin atau yang tidak mau
menggunakan suntikan insulin. Obat- obat antidiabetika hanya diindikasi jika:

- Tidak terdapat diabetes tipe 1

- Tindakan diet tidak cukup

- Tidak perlu diberikan insulin sebagai pengganti antidiabetika oral, seperti pada

suatu ketoasidosis.

Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental : pengajaran pasien
tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen hipoglikemia. Agen-agen yang baru
digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus adalah obat-obat dari golongan sulfonilurea,
biguanida, turunan thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara injeksi). Meskipun obat-obat
ini telah digunakan secara intensif karena efek yang baik dalam kontrol hiperglikemia, agen-agen
ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik pada diabetes mellitus, tidak dapat menekan
komplikasi akut maupun kronis.

A. Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel
β pankreas. Golongan ini meliputi:

1. Golongansulfonilurea
Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak begitu berat, yang
sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari golongan sulfonilurea antara lain:

a. Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat menghasilkan insulin.

b. Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.

c. Meningkatkan penggunaan glukosa darah

Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:

a. Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide, Chlorpropamide

b. Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide, Gliquidon, Glibonuride.

2. Golonganglinida

59
Sekretagok insulin baru, yang kerjanya melalui reseptor sulfonilurea dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral. Repaglinid mempunyai masa paruh yang singkat
dan dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa
tinggal yang lebih singkat dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa.

B. Sensitizer Insulin

Golongan obat ini meliputi obat hipoglikemik golongan biguanida dan thiazolidinedione,
yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

1. Golongan Biguanida

Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Mekanisme kerja golongan
biguanid (metformin):

a. Meningkatkan glikolisis anaerobik hati.

b. Meningkatkan uptake glukosa di jaringan perifer atau mengurangi glukoneogenesis.

c. Menghambat absorpsi glukosa dari usus.

2. Golongan Thiazolidinedione atau Glitazon

Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Glitazon merupakan agonist peroxisomeproliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang
sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu
jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Glitazon dapat merangsang ekspresi
beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti
GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K danuncoupling protein-2 (UCP).

BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1 Bahan dan Alat
Hewan : mencit putih jantan 6 ekor
Obat : larutan glucose 5 % 1 gr /kg bb mencit PO, larutan cmc na 1% PO, glibenclamid
5 mg /70 kg bb PO, metformin 500 mg /70 kg bb
Alat : spuit injeksi , sonde timbangan hewan accu chek dan stopwatch

3.2 Prosedur kerja :

60
 Puasakan mencit 12- 16 jam akan tetapi tetap diberi minum
 Cek kadar gula darah mencit sebelum pemeberian glucose pada mencit menit ke 0
dengan cara bagian ujung ekor di potong kemudian darah di teteskan di bagina strip dan
setelah itu 5 detik kadar glucose dara akan terlihat pada monitor kadar glucose dara ini
dicatat sebagai glucose darah puasa.
 Bahan larutan glucose 1 gr /kg bb mencit
 Cek kadar gula darah mencit setelah pemeberian glucose pada mencit menit ke 5 dengan
cara bagian ujung ekor di potong kemudian darah di teteskan di bagina strip dan setelah
itu 5 detik kadar glucose dara akan terlihat pada monitor kadar glucose dara ini dicatat
sebagai glucose darah yang di beri larutan glucose
 Mencit dibagi 3 kelompok masing masing kelompok 2 ekor mencit
Kelompok 1 = cmc na 1% secara PO
Kelompok 2 = glibenclamid 5 mg / 70 kg bb manusia secara PO
Kelompok 3 = metformin 500 mg /70 kg bb manusia secara PO
 Hitung dosis dan volume obat dengan tepat
 Berikan larutan obat sesuai kelompok
 Cek kadar gula darah pada menit ke 20,40,60,80,100
 Catat dan tabelkan
 Data yang diperoleh dianalisa secarca sistematik analisis variasi dan perbedaan kada
glucose darah antara kelompok kontra negative positif dan kelompok uji kemudian di
analisa dengan student s test data disignakan dlam tabel bentuk tabel dan grafik .

3.3 Perhitungan
A.Perhitungan Dosis dan volume pemberian

1.Mencit I= 24 g → mati

2.Mencit II = 30 g
→ Dosis 30 g
30 𝑔
x 1,3mg = 1,95 mg
20 𝑔
→ Volume pemberian metformin
1,95 𝑚𝑔
x 50 ml = 0,195 ml ≈ 0,2 ml
500 𝑚𝑔
→ Volume pemberian Glukosa
30 𝑔 0,03
: 0,03 → x 100 ml = 0,6 ml
1000 5

3.Mencit III = 29 g
→ Dosis 29 g
29 𝑔
x 1,3mg = 1,885 mg
20 𝑔
→ Volume pemberian metformin
1,885 𝑚𝑔
x 50 ml = 0,188 ml ≈ 0,2 ml
500 𝑚𝑔
→ Volume pemberian Glukosa
29 𝑔 0,029
: 0,029 → 5 x 100 ml = 0,58 ml≈0,6 ml
1000

61
B.Perhitungan rata-rata penurunan glukosa
1. Mencit 2 = kadar glukosa 5 menit –kadar glukosa 60 menit
= 156 mg/dl – 130 mg/dl
= 26 mg/dl

2. Mencit 3 = kadar glukosa 5 menit –kadar glukosa 60 menit


= 155 mg/dl – 110 mg/dl
= 45 mg/dl
(26+45)𝑚𝑔/𝑑𝑙
3. Rata-rata : = 35,5 mg/dl
2

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil

Percobaan Bahan Obat kel NO Kadar Kadar Kadar Rata2


glukosa glukosa glukosa
darah darah darah
awal menit ke- menit ke-
(mg/dl) 5 setelah 60 setelah
perlakuan perlakuan
(mg/dl) (mg/dl)
CMC 1% 1 1 161 143 128
Secara PO 2 159 162 144
35,3mg/dl
3 131 138 65

1 163 189 109


2 186 201 -
Glibenclamd 2 80mg/dl
5mg/70kgbb 3 155 214 -
Manusia
Uji Kadar Mencit Secara PO 1 191 199 146
Glukosa
Darah dan 3 2 148 173 105 51,67mg/dl
Antidiabet
es 3 158 162 128

Metformin500 1 - - -

62
mg /70kgbb 4 2 148 156 130 35,5mg/dl
Manusia 3 144 155 110
Secara PO
1 169 196 126

5 2 210 151 142 41,33mg/dl

3 218 220 175

4.2 Pembahasan

Pada percobaan ini dilakukan pengukuran glukosa darah menggunakan alat glukometer.
Bagian ujung ekor mencit dipoting kemudian darah diteyeskan kebagian ujung strip dan setelah
5 derik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer. Sebelum peecobaan hewan
coba harus dipuasakan tetapi tetap diberikan minum. Dilakukan 3 kali pengecekan kadar glukosa
darah, yang pertama pada menit ke 0 sebelum dilakukan apa apa, yang kedua setelah 5 menit
diberikan larutan glukosa 5%dan yang terakhir saat diberikan obat(CMC Na 2%, glibenklamid 5
mg dan metformin 500 mg).

- CMC Na 1%. Dilakukan oleh kelompok 1 dengan menggunakan 3 ekor mencit jantan. Mencit
jantan 1 kadar glukosa awal adalah 161 mg/dl lalu pada menit ke 5 setelah pemberian glukosa
kadar glukosa darah nya 143 mg/dl, hal ini jelas tidak sesuai dengan teori karena seharusnya jika
diberikan larutan glukosa kadar glukosa darah meningkat bukan nya menurun, kemungkinan
terjadi karena kurang nya waktu puasa pada mencit sehingga hasil tidak sesuai. Lalu setelah itu
diberikan CMC Nac1% pada menit ke yp kadar glukosa darah nya menjadi 128 mg/dl yang
artinya kadar glukosa darah turun. Mencit 2,kadar glukosa darah awalnua adalah 159 mg/dl lalu
setelah 5 menit diberi larutan glukosa menjadi 163 ng/dl yang artinya sesuai karena kadar
glukosa darah nya naik, kemudian setelah diberikan CMC Na 1% pada menit ke 60 kadar
glukosa darah nya menurun menjadi 144 mg/dl. Mencit 3, kadar glukosa darah awal adalah 131
mg/dl lalu setelah 5 menit diberi larutan glukosa kadar glukosa darah nya naik menjadi 138
mg/dl, kemudian pada menit ke 60 setelah diberikan larutan CMC Na 1% kadar glukosanya
menjadi 65mg/dl. Penurunan pada mencit 3 sangat berbeda jauh dengan mencit 1 dan 2. Jika
dilihat dari teori penurunan kadar glukosa daah yang diberikan CMC Na seharusnga sedikit
karena selain sebagai kontrol negatif, CMC Na juga tidak memiliki efek antidiabetik. Rata rata
perhitungan penurunan kadar glukosa nya adalah 35,3 mg/dl yang merupakan rata rata paling
kecil dibandingkan dengan yang diberi obat metformin dan glibenklamid. Kemungkinan terjadi
kesalahan pada waktu puasa mencit dan kesalahan saat perhitungan dosis dan juga ketidaktelitian
pada saat penimbangan mencit yang berpengaruh pada dosis dan volume yg diberikan.

63
- Glibenklamid 5mg/50 ml, yang dilakukan oleh kelompok 2 dan 3.

Kelompok 2. Pada mencit 1, kadar glukosa darah awal adalah 163mg/dl lalu pada menit ke 5
setelah diberi larutan glukosa kadar nya menjadi 189mg/dl kemudian setalah diberikan obat
glibenklamid 5mg/50ml dimenit ke 60 kadar glukosa nya menurun menjadi 109mg/dl. Pada
mencit 2 dan mencit 3 hanya dilakukan 2 kali pengecekan yaitu pada saat kadar glukosa darah
awal dan pada menit ke 5 pemberian larutan glukosa sedangkan pengecekan tidak dilakukan
karena kehabisan strip glukosa dikarenakan glukometer nya error. Kadar glukosa awal mencit ke
2 adalah 186 mg/dl dan mencit ke 3 155mg/dl. Kadar glukosa darah menit ke 5 setelah
pemberian larutan glukosa mencit ke 2 menjadi 201 mg/dl dan mencit ke 3 menjadi 214 mg/dl.
Perhitungan rata rata penurunan kadar glukosa darah kelompok 2 adalah 80 mg/dl . Hasil
pengamatan kelompok 2 sudag sesuai teori karena glibenklamid merupakan obat antidiabetik
yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.

Kelompok 3. Dengan menggunakan 3 mencir. Mencit 1 kadar glukosa darah awal adalah 191
mg/dl, mencit 2 148mg/dl dan menit 3 158 mg/dl lalu pada menit ke 5 setelah diberi larutan
glukosa terjadi peningkatan pada ketiga mencit yaitu pada mencit 1 kadar glukosa darahnya
199mg/dl, mencit 2 173mg/dl dan mencit 3 162mg/dl. Kemudian kadar glukosa darah menit ke
60 setelah pemberian obat glibenklamid terjadi penurunan yang cukup signifikan pada ketiga
mencit yaitu pada mencit 1 menjadi 146mg/dl, mencit 2 105mg/dl dan mencit 3 128mg/dl yang
artinya sudah sesuai dengan teori bahwa glibenklamid memiliki fungsu menurunkan kadar
glukosa darah atau memiliki efek antidiabetik. Rata rata oenurunan kadar glukosa darah
kelompok 3 adalah 51,67mg/dl.

Hasil praktikum pada kelompok 2 dan 3 sesuai dengan teori karena glibenklamid
memiliki mekanisme kerja yang dapat menstimulasi sekresi insulin pada sel β sehingga
penurunan nya sangat besar,perbedaan kedua kelompok ini terlihat pada hasil rata rata penurunan
kadar glukosa darah nya yang mana kelompok 2 dengan 80mg/dl dan kelompok 3 dengab
51,67mg/dl.

-Metformin 500mg/50ml, dilakukan oleh kelompok 4 dan 5.

Kelompok 4. Dengan menggunakan 2 ekor mencit dikarenakan 1 mencit mati sebelum diberikan
larutan glukosa. Mencit 2 kadar glukosa darah awal adalah 148mg/dl dan pada pemberian larutan
glukosa setelah menit ke-5 menjadi 156mg/dl yang artinya terjadi kenaikan setelah diberi larutan
glukksa kemudian pada menit ke-60 yang telah diberi larutan obat metformin kadar glhkosa
darah menjadi 130mg/dl. Pada mencit 3 kadar glukosa darah awal adalah 144mg/dl,kadar
glukosa darah pada menit ke-5 setelah pemberian larutan glukosa 155mg/dl (terjadi kenaikan)
kemudian pada menit ke-60 yang sebelumnya telah diberi obat metformin menjadi 110mg/dl.
Hasil kelompok 4 sesuai dengan teori karena setelah pemberian obat metformin kadar glukosa
darah mencit menurun, hal ini sesuai dengan indikasi dari metformin yang merupakan obat untuk

64
menurunkan kadar glukosa darah atau obat antidiabetik. Rata rata penurunan kadar glukosanya
adalah 35,5mg/dl.

Kelompok 5. Dilakukan dengan menggunakan 3 mencit. Pada mencit 1 kadar glukosa darah
awal adalah 169mg/dl, mencit 2 210mg/dl dan mencit 3 218mg/dl. Lalu setelah menit ke-5
diberikan larutan glukosa pada mencit 1 menjadi 196mg/dl, dan mencit 3 menjadi 220mg/dk
yang artinya terjadi peningkatan setelah diberi larutan glukosa tetapi pada mencit 2 justru
mengalami penurunan yang kemungkinan terjadi karena kurangnya waktu puasa pada mencit 2
sehingga hasil nya tidak sesuai. Kemudian pada menit ke 60 yang sebelumnya telah diberi
larutan obat metformin 500mg/50ml terjasi penurunan pada ketiga mencit,pada mencit 1 kadar
glukosa darah menjadi 126mg/dl,mencit 2 menjadi 142mg/dl, dan mencit 3 menjadi 175mg/dl.
Hasil pada kelompok 5 sesuai dengan teori karena setelah pemberian obat metformin ketiga
mencit mengalami penurunan kadar glukosa darah. Sesuai dengan indikasi dari metformin yang
merupakan obat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan memiliki efek antidiabetik. Rata
rata penurunan nya adalah 41,33 mg?dl.

Hasik praktikum kelompok 4 dan 5 sesuai dengan teori karena metformin memiliki
mekanisme kerja yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunnya glukoneogenesis
pada hati, perbedaan kedua kelompok ini terlihat pada hasil rata rata penurunan kadar glukosa
nya dimana pada kelompok 4 adalah 35,5mg/dl dan kelompok 5 adalah 41,33mg/dl.

Untuk perbedaan obat glibenklamid dan metformin terlihat dari mekanisme kerja dari
glibenklamid adalah menstimulasi sekresi insulin pads sel β pankreas sedangkan mekanisme
kerja dari metformin adalah meningkatkan sensitivitas insulin dan menurun nya glukoneogenesis
pada hati. Hal ini bisa dilihat juga dari hasil pengamatan glibenklamid dimana penurunan kadar
glukosanya lebih besar dari metformin.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Percobaan pada praktikum ini dilakukan untuk melihat penurunan kadar glukosa darah
pada mencit jantan dengan diberikan 3 obat yaitu CMC Na sebagai kontrol (-), Metformin dan
Glibenklamid yang memiliki efek antidiabetik yang dapat menurunkan glukosa darah. Penurunan
kadar glukosa darah pada metformin dan glibenklamid sudah sesuai teori sedangkan penurunan
kadar glukosa darah pada CMC Na tidak sesuai teori karena rata rata perhitungan penurunan
kadar glukosa nya lebih kecil dibanding metformin dan glibenklamid. Seharusnya CMC Na lebih
besar karena tidak memiliki efek antidiabetik.

65
Saran

Sesuaikan waktu puasa pada mencit agar praktikum mendapatkan hasil yang sesuai dan
juga untuk alat glucometer yang digunakan harus benar dan tidak error saat digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru. Cermin Dunia
KedokteranNo. 127.

Campbell, Neil A.dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.Erlangga .Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit


Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta.

Galacia, E. H.,dkk. 2002. Studies on hypoglycemic activity of mexican medicinal plants.Proc.


West. Pharmacol. Soc. 45: 118-124

Ganiswara,dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Departemen Farmakologi dan
Teraupetik FK UI. Jakarta

Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus. Pharos
Bulletin No.1.

Jones, D.B. and Gill, G.V. 1998. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus : An Overview . In J.
Pickup and G. Williams (Eds): Textbook of Diabetes. Vol.1. second Edition. Blackwell Science.
United Kingdom.

Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba Medika.
Jakarta.

Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih Bahasa :
Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .

Lopulalan, Christine Rosalina. 2008. Sekitar Tentang Diabetes Melitus. Media Artikel. Jakarta

Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta.

66
Nurochman,Zeily. 2003. Diabetes. ITB. Bandung

Reinauer, H., P. D. Home, A. S. Kanagasabapathy, C. C. Heuck. 2002. Laboratory Diagnosis


and Monitoring of Diabetes Mellitus. World Health Organization. Geneva.

Soegondo, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Farmakoterapi pada pengendalian
glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W. Sudoyo et al. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO


Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.

Sukarida,dkk. 2009. Iso Farmakoterapi. PT ISFI Penerbit. Jakarta

Tjokroprawiro, A. 1998. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

67
MINGGU KEEMPAT
68
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Judul Percobaan : Efek Lokal Obat (Pengaruh Obat Terhadap Membran Dan Kulit Mukosa)

1.2 Latar Belakang


Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai
dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif,
maka sebagai barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua
membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel ditubuh kita,
merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul
obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air).

Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran mukosa,
penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi,
meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam
aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah
dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian.

Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral

1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau
diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2)
pendek).

69
2. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi,
kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya
partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi).

3. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan).

4. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau
sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut).

5. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya.

1.3 Tujuan Percobaan

1. Memahami efek local dari berbagai obat atau senyawa kimia terdapat kulit dan
membrane mukosa berdasarkan cara kerja masing – masing; serta dapat
diaplikasikan dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan
penanganan bahan.
2. Memahami sifat dan intesitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa
dari berbagai obat yang bekerja local.
3. Menyimpulkan persyaratan faramakologi untuk obat yang dipakai secara local

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Teori Dasar
Efek obat yang akan muncul pada selaput dan kulit mukosa tergantung pada
jumlah obat yag diserap pada permukaan kulit dan membrane dan juga kelarutan obat
dalam lemak, karena pada kulit ari merupakan kulit sawar lemak. Pada kulit yang
terkelupas atau luka maka absorbsi jauh lebih mudah. Fenol dan astringen dapat
memberikan efek local pada membrane kulit mukosa.

1. Fenol, pada konsentrasi 0,5 -1 % dalam larutan digunakan sebagai anastetik local.
Larutan 5% digunakan sebagai desinfektan.
2. Veet cream.

70
3. AgNO₃ bekerja bakterisid juga mempunyi sifat astringen dan korosif.
4. Tanin, memberikan efek astringen dimana dapat diserap melalui mukosa serta
memiliki sifat dapat menimbulkan presipitasi proten pada permukaan sel.

Obat yang dipakai secara local dari beberapa sifat dengan penggunaannya diantara

1. Zat yang dapat menggugurkan kulit : bekerja denagn cara menekan ikatan S-S
pada keratin kulit sehingga bulu mudah rusak dan gugur
2. Zat korosif : bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit melalui reaksi
oksidasi sehingga kulit dan membrane mukosa akan rusak
3. Zat astringen bekerja dengan cara mengkoagulansia protein shingga premiabilitas
sel pada kulit dan membrane menjadi turun
4. Fenol dalam berbagai lautan menunjukan efek local yang berbeda pula yang
dipengaruhi oleh pebedaan kreaktisan part dan premeabilitas kulit
sehinggamempengaruhi penetrasi fenol ke dalam jaringan.

BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

a. Alat dan Bahan , Prosedur


a. Menggugurkan bulu

Hewan : Tikus putih jantan 1 ekor

Obat : veet cream , larutan NaOH 20%, larutan Na2S 20%, kertas saring

Alat : gunting bedah , batang pengaduk , gelas arloji, stopwatch

Prosedur:

 Sipakan tikus yang sudah dikorbankan terlebih dahulu


 Ambil kulit lalu potong menjadi 3 bagian dengan panjang 2,5 cm x 2,5 cm
 Letakan kulit yang sudah di potong diatas kertas arloji yang sudah dialasi dengan kertas
saring
 Catat bau asli dari obat sebelum penggunaan
 Oleskan atau teteskan obat pada bagian potongan kulit tersebut

71
 Amati dalam 30 ment efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat dengan bantuan
batang pengaduk
 Catat dan tabelkan

b. Korosif

Hewan : Tikus putih jantan 1 ekor

Obat : larutan AgCl2 5%,, larutan Fenol 5%, larutan NaOH 10%, larutan H2SO4 pekat,
larutan HCl pekat, larutan AgNO3 1% , kertas saring

Alar : gunting bedah , batang pengaduk , gelas arloji dan stopwatch

Prosedur :

1. Siapkan tikus yang sudah di korbankan


2. Leatakan potongan usus pada gelas arloji yang sudah di alasi dengan kertas saring
3. Teteskan lartan obat pada potongan usus tikus tersebut hungga terendam
4. Rendam selama 30 menit
5. Setelah 30 menit amati efek korosit /kerusakan jaringan setelah pemberian obat
dengan bantuan batang pengaduk
6. Catat dan tabelkan
c. Efek loca fenol
 Celupkan 5 jari tangan selama 5 menit ke dalam larutan fenol yang
teesedia
 Rasakan jenis sensasi yang di alami oleh jari tangan
 Jika jari tanggan terasa nyeri sebelum 5 menit angkat segera bilas dengan
etanol
Catat dan tabelkan pengamatannya

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil


1. Menggugurkan bulu

Percobaan Bahan Obat Efek

72
Bau awal Gugur bulu
Catat waktu awal
Veet cream Wangi 5 menit
Menggugurkan Kulit tikus Larutan NaOH Tidak berbau 12 menit
bulu 20%
Larutan NaS 20 Bau khas 30 menit
%

2.Korosif

Percobaan Bahan Obat Efek


Sifat korosif Kerusakan pada
jaringan
Larutan AgCl₂ Korosif,warna Sedikit mengkerut
5% memutih
Larutan fenol Korosif,warna Menebal lalu
5% putih mengkerut
Larutan NaOH Korosif,warna Mengeras
Korosif Usus Tikus 10% coklat muda
Larutan H₂SO₄ Sangat Usus rusak
pekat Korosif,warna
menghitam
Larutan HCl Korosif,warna Usus mengecil dan
pekat kecoklatan rapuh
Larutan AgNO₃ Korosif, warna Usus tidak rusak
1% hitam

3.Efek local fenol

Percobaan Bahan Obat Efek tebal, panas dingin


Larutan fenol 5% Terasa tebal lalu panas
Fenol dalam berbagai Jari tangan dalam air (menit ke-3)
larutan Larutan fenol 5% Dingin (menit pertama)
dalm etanol

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini menggunakan hewan coba yaitu tikus, yang mana dilakukan
pengorbanan terlebih dahulu. Pengorbanan tikus bisa dilakukan dengan menggunakan CO2,
penyuntikan fenobarbital dan dengan dislokasi leher. Tikus yang sudah dikorbankan kemudian
diambil kulit san usus nya sesuai dengan keperluan. Kulit dan usus yang sudah ada diletakan
diatas kertas saring dan mulai diberikan larutan obat dan diamati perubahan yang terjadi.

73
- Menggugurkan Bulu, dimana praktikum ini menggunakan 1 ekor tikus yang telah dikorbankan
lalu kulit nya diambil dan di buat 3 potongan yang masing masing ukuran nya 2,5cm x 2,5cm.
Kemudian kulit tersebut diletakan digelas arloji untuk diberi obat. Obat pertama adalah veet
cream yang bau awal nya wangi dan pada menit ke-5 sudah memberikan efek bulu tikus yang
gugursaat dicoba dengan menggunakan batang pengaduk

Veet cream merupakan krim penghilang bulu yang dapat memecah struktur bulu dan
menghancurkan keratin pada bulu sehingga bulu menjadi lemah,rontok dan gugur. Obat yang
kedua adalah larutan NaOH 20% dengan bau awal yang tidak ada bau dan pada menit ke-12
sudah terdapat bulu yang gugur dan juga ada yang menempel pada gelas arloji. Dimana NaOH
dapat menyebabkan iritasi kulit sehingga keratin kulit rusak dan bulu menjadi gugur. Obat yang
ketiga adalah larutan Na2S 20% memiliki bau awal yang khas dan menyengat. Pada menit ke-30
bulu gugur tetapi hanya beberapa helai karena Na2S bersifat korksif dan dapat menyerang kulit.

- Korosif. Menggunakan usus tikus yang telah dikorbankan dibuat menjadi 6 potongan dengan
ukuran masing masing 4cm. Kemudian usus tersebut diletakan digelas arloji dan diberi obat.
Obat pertama adalah AgCl2 5% yang memiliki sifat korosif sehingga terjadi kerusakan jaringan
yang ditandai dengan warna usus memutih atau memucat dan sedikit mengkerut. Obat yang
kedua adalah larutan fenol 5% yang memiliki sifat yang beracun dan korosif yang mudah
menguap dan mudah diserap oleh kulit yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan. Obat
yang ketiga adalah larutan NaOH 10% yang memiliki sifat korosif sehingga menyebabkan usus
menjadi warna coklat muda dan mengeras karena sifatnya dapat merusak jaringan tubuh. Obat
yang keempat adalah larutan H2SO4 pekat yang memiliki sifat sangat korosif sehingga
menyebabkan usus menjadi menghitam dan usu menjadi rusak. H2SO4 merupakan mineral asam
yang kuat dan beracun. Jika kontak dengan kulit akan menyebabkan luka bakar selain itu H2SO4
juga dapat mengiritasi mata,saluran pernapasan dan membran mukosa yang parah. Obat kelima
adalah Hcl pekat yang memiliki sifat korosif sehingga usus menjadi kecoklatan dan mengecil
atau rapuh. Hcl merupakan senyawa dan cairan yang korosif karena berpotensi menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ pernapasan,mata,kulit, dan usus. Obat yang terakhir adalah
AgNO3 merupakan senyawa yang tidak sensitif terhadap sinar matahari. AgNO3 juga dapat
menyebabkan kerusakan membran sel, pigmen kulit dan juga saraf. Jika AgNO3 mengenai mata
pun dapat merusak kornea mata tetapi pada praktikum usus yang terendam larutan AgNO3 tidak
rusak. Hal ini dapat terjadi dikarenakan sediaab larutan di lab sudah tidak baru lagi sehingga
kurang reaktif, kemungkinan lain karena pipet yang digunakan untuk meneteskan ke gelas arloji
sudah terkontaminasi atau tercampur dengan bahan lain sehingga reaksinya tidak sesuai.

- Efek Lokal Fenol. Percobaan ini menggunakan jari tangan dari praktikan dengan cara empat jari
tangan praktikan di celupkan ke larutan fenol 5% dalam air lalu setelah menit ke-3 jari tangan
terasa tebal kemudian terasa panas dan sakit. Fenol merupakan senyawa yang dapat menembus
kulit dan mampu menyebabkan terjadinya keratolisis pada kulit. Pencampuran fenol dan air tidaj

74
akan mengurangu reaksi dari fenol karena fenol adalah asam karbolat yang jika mengenai kulit
dapat menyebabkan luka bakar akibat trauma zat asam. Percobaan yang kedua adalah dengan
mencelupkan emoat jari tangan ke larutan fenol dalam etanol langsung menimbulkan rasa dingin
pada menit pertama. Karena obat menyerap banyak kalor dari kulit sehingga menjadi uap. Kalor
panas yang berada didalam tubuh atau kulit sedikit demi sedikit akan menghilang yang membuat
tangan kita dingin saat menyentuh nya. Alkohol atau etanol meeupakan senyawa yang digunakan
untuk membunuh kuman, pelarut dan antiseptik selain itu etanol juga bahan yang mudah
terbakar.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Efek lokal obat dapat diketahui melalui sifat dan penggunaan nya seperti dengan zat yang
dapat menggugurkan bulu, korosif dan dengan efek lokal fenol. Dengan zat yang menggugurkan
bulu didapat ketiga bahan obat yang digunakan memiliki efek gugur bulu dengan waktu yang
berbeda beda. Untuk korosif menjelaskan bahwa semua bahan obat yang digunakan memiliki
sifat korosif terhadap usus tikus. Untuk larutan fenol dilakukan dengan 2 percobaan yaitu larutan
fenol dalam air tidak bisa menghilangkan efek dari fenol yaitu rasa sakit dan panas yang jelas
membahayakan sedangkan fenol dalam etanol mampu mendinginkan jari tangan yang sebelum
nya telah di uji dengan fenol dalam air sehingga penggunaan laruran fenol dalam etanol lebih
baik dan tidak membahayakan.

Saran

Sebaiknya alat dan bahan yang akan digunakan di persiapkan dahulu agar praktikum
berjalan dengan baik dan juga untuk praktikan harus lebih mempersiapkan materi materi yang
akan dipraktekan agar praktikum tidak terhambat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.

Arief, moh.2007. Farmasetika. Yogyakarta:Gadjah Mada Univeritas.Press.

75
Katzung,B.G. and Trevor,A.J.2015.Basic and Farmacology 13th edition. USA: McGraw Hill
Education

Suminar.A.1990.Kimia Dasar.Erlangga.Jakarta

Collins,E.1995.Kamus Saku Kimia.Penerjemah Zaini,Erlangga.Jakarta.

Katzung,B.G: (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik,Edisi IV.Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran. EGC.

MINGGU KELIMA

76
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Judul Percobaan : Efek Diuretika (Uji Potensi Diuretika)

1.2 Latar Belakang


Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi cairan
intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat berfungsi dengan
normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat menimbulkan kelainan
fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu fungsi kardiovaskuler, sedang
perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu fungsi.
Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi
cairan tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air, ingesti
atau defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau pemberian bahan-
bahan toksik.Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar
tetap konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan volume
dan komposisi cairan interistitial

1.3 Tujuan Percobaan


- Memahami kerja farmakologi dan berbagai kelompok diuretic.
- Memperoleh gambaran tentang cara evauasi potensi diuretic.

77
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Teori Dasar
Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan
natrium klorida. Secara normal, reabsorbsi garam dan air dikendalikan masing-masing oleh
aldosteron dan vasopresin. Sebagian besar diuretik bekerja dengan menurunkan reabsorbsi
eletrolit oleh tubulus (atas). Ekskresi elektronit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi
air, yang penting untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.

Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edemaperifer. Obat-obat ini berguna
mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan dispnea nokturnal paroksimal.
Deuretik menurunkan volume plasma dan selanjutnya menurunkan venous retum ke jantung.
Diuretik juga menurunkan afterload dengan mengurangi semua plasma sehingga menurunkan
tekanan darah.
Proses pembentukan urine. Ginjal memproduksi urine yang mengandung zat sisa
metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh memelalui tiga proses utama:
1. Filtrasi
Filtrasi glemerular adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dan kapiler glomerular, dalam
tekanan tertentu ke dalam kapsul bowman.
2. Reabsobsi

78
Reabsorpsi tubulus sebagian besar fiktrat (99%) secara selektif direabsorpsi aktif terhadap dalam
tubulus ginjal melalui difusis pasif gradien kimia atau listrik, transpor aktif terhadap gradien
tersebut.
3. Sekresi
Sekresi tubukar adalah proses aktif yang memindahakan zat keluar dari darah dalam kapilar
pertibular melewati sel-sel tubular menuju cairan tubukar untuk dikeluarkan dalam urine.
Ginjal mengatur komposisi ion dan volume urine dengan reabsorbsi atau sekresi ion dan/ atau
air lima daerah funsional sepanjang nefron yaitu :
1. Tubulus renalis kontortus proksimal
Dalam tubulus kontortus proksimal yang berada dalam korteks ginjal, hampir semua glukosa,
bikarbonat, asam amino dan juga metabolit lain direabsorsi, sekitar jumlah Na+ juga di reabsorbsi
di tubulus proksimal, klorida dan air mengikuti dengan pasif untuk mempertahanka keseimbang
elektik dan osmolaritas.
2. Ansa Henle pars desendens
Sisa filtrat yang isotonis, memasuki anasa henle pars desenden terus ke dalam meduloa ginjal.
Osmlaritas meningkat sepanjang bagian desendens dari ansa henle kaeran mekanisme arus balik.
Hal ini menyebabkannpeningkatan konsentrasi garam tiga kali lipat dalam cairan tubulus.
3. Ansa henle pars asendens
Sel- sel epitel tubulus asendens unik kerena impermeabel untuk air. Reansorbsi aktif ion-ion Na+,
K + dan Cl- dibantu oleh suato kotrasnpoter Na+ / K+/2Cl- , Mg++ dan Ca++ memasuki cairan
interstisial meluai saluran paraselula. Jadi, pars asenden merupakan bagian pengencer dari
nefron. Kira-kira 25-30 % NaCl di tubulur kembali ke cairan intestinal, dengan demikian
membantu mempertahan osmolaritas tinggi dari cairan.
4. Tubulus renalis kontortus distal
Sel-sel tubulus distal juga impermeable untuk air. Sekitar 10% dar natrium klrida yang disaring
direabsorsi melalui suatu transpoter Na+ / Cl- , yang sensitif terhadap diuretik tiazid.
5. Tubulus dan duktus renalis rektus
Sel-sel utama dan sel-sel interkalasi dari tubulus renalis rektus bertanggung jawab untuk
pertukaran Na+ , K+ dan untuk sekresi H+ dan reabsorbsi K+. Stimulasi reseptor aldosteron pada
sel-sel utama menyebabkan reabsorbsi Na+ dan K+.

79
Diuretik dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Dimana istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran ( kehilangan ) zat- zat terlarut dan
air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi
normal.
Obat-obat ini merupakan penghambat transport ion yang menurunkan reabsorbsi Na+
pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya, Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki
urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan bila keadaan normal bersama-sama air, yang
mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Jadi, diuretik
meningkatkan volume urine dan sering mengubah pH-nya serta komposisi ion di dalam urine
dan darah.Penggunaan klinis utamanya ialah dalam menangani kelainan yang melibatkan retensi
cairan (edema) atau dalam mengobati hipertensi dengan efek diuretiknya menyebabkan
penurunan volume darah, sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
Pada umumnya diuretik dibagi menjadi dalam bebrapa kelompok :
a. Diuretik-lengkungan (furosemid, bumetanida, dan ekakrinat)
b. Derivat-thiazida (hidroklorotalidon, mefrusida, indapaida dan klopamida)
c. Diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron (spirinolakton, kanrenoat) amirolida dan
triamteren)
d. Diuretik osmotik (manitol dan sorbitol)
Penghambat Karbonik Anhidrase.Mekanisme menghambat karobonik anhidrase yang
terletak didalam sel dalam apilkal epitel tubulus proksimal. Karbonik
anhidrase mengkatalisisreaksi CO2dan H2O menjadi H+dan HCO3-).
Penurunankemampuanuntukmenukar Na+ untuk H+denganadanyaasetazolamidmenyebabkan
diuresis ringan. Selainitu, HCO3-dipertahankandalam lumen yang ditandaidenganpeningkatan pH
urine.Hilangnya HCO3- menyebabkanasidosis metabolism
hiperkloremikdanpenurunankemampuan diuresis setelahbeberapaharipengobatan.
“Loop” Diuretik obatnya yaitu Bumatanid,furosemid,torsemid dan asam eekrinat
merupakan empat diuretik yang efek utamanya pada asendens ansa henle. “Loop” diuretik
menghambat kontraspor Na+/K+/Cl- dari membrane lumen pada pars asendens ansa henle.

80
Karena itu, resorbsi Na+/K+/Cl- menurun. “Loop”diuretik merupakan obat diuretic yang paling
efktif , karena pars asenden benranggung jawab untuk absorbs 25-30% NaCl yang disaring dan
bagian distalnya tidak mampu untuk mengkompensasi keniakan muatan Na+ .
Diureti digunakan utuk mengurangi edema pada gagal jantung kongestif, beberapa
penyakit ginjal dan sirosis hepatis. Beberapa diuretik, terutama tiazid secara luas digunakan pada
terapi hipertensi, namun kerja hipotensif jangkah panjangnya tidak hanya berhubungan dengan
sifat diuretiknya.
Diruretik Tiazid contoho obatnya yaitu Klorotiazid. Tiazid merupakan oabat diuretic
yang paling banyak digunakan. Derivat Tiazid bekerja terutama pada tubulus distal untuk
menurunkan reabsorbsi Na+ dengan menghambat kontraspoter Na+/Cl- pada membrane lumen .
Obat-obat ini memiliki sedikit efek pada tubulus proksimal. Akibatnya oabt-obat ini
meningkatkn konsentrasi Na+dan Cl- pada ciran tubulus. Keseimbangan asam basa biasanya
tidak dipengaruhi katena tempat kerja derivate tiazid ialah membran lumen.
Diuretik Hemat Kalium contoh obatnya yaitu Spironolakton, amilorid dan Triamteren.
Diuretik ini bekerja pada segmen yang berperan terhadap aldosteron pada nefron distal, dimana
homeostatis K+ dikendalikan. Aldosteon menstimulasi reabsorbsi Na+, membangkitkan poten sial
negative kedalam lumen , yang mengarahkan ion K+ dan H+ ke dalam lumen (dan kemudian
ekskresinya). Diuretik hemat kalium menurunkan reabsorbsi Natrium dengan mengantagonis
(Spironolakton) atau memblok kanal Na+ (Amilorid dan triamteren). Hal ini meyebabkan
potensial aksi listrik epitel tubulus menurun, sehingga gaya untuk sekresi K+ berurang.
Diuretik osmotik , sejumlah zat kimia yang sederhana dan hidrofilik disaring glomerulus , seperti
matinol dan urea menyebabkan berbagai derajat dieresis. Hal ini terjai karena kemampuan zat-
zat ini untuk mengangkut air bersama kedalam cairan tubulus . Bila zat-zat yang tersaring
berikutnya mengalami sedikit atau tidak direabsorbsi sama sekali kemudian zat yang disaring
akan menyebabkan peningkatan keluaran urine. Hanya dalam jumlah kecil dari garam-garam
yang ditambahkan dapat juga diekskresikan karena diuretik osmotic digunakan untuk
meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi Na+maka obat-obat ini tidak berguna untuk
mengobati terjadinya retensi Na+ . Obat-obat ini digunakan untuk memelihara aliran urine dalam
keadaan toksisk akut setelah manelan zat-zat beracun yang berpotensi menimbulkan kegagalan
ginjal akut.Diureti digunakan utuk mengurangi edema pada gagal jantung kongestif, beberapa

81
penyakit ginjal.
Obat
1. Furosemid

Zat aktif : Furosemid

Golongan obat : Loop Diuretik

Indikasi : Edema pada jantung, paru, ginjal, pada eklamsia dan kehamilan. Asites,
hipertensi, hiperkalsemia, komplikasi pada kehamilan

Kontra indikasi : Defisiensi elektrolit, anuria, koma hepatic kehamilan muda, hipokalemia,
terapi bersama litium

Efek samping : Rasa tidak enak diperut, hipotensi ortostatik, gangguan gastrointestinal,
penglihatan kabur, pusing, sakit kepala

Farmakodinamik : Diuretik kuat terutama bekeja denan menghambat reabsorbsi elektrolit


N+/K+/2Cl-di ansa henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya dipermukaan sel epitel
bagian luminal (menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian secara IV obat ini cenderung
meningkatakan aliaran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerolus.

Farmakokinetik : diuretik kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda . bioavalitas 65%. Terikat protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi
digomerolus, dieksrsikan dalam bentuk utuh.

Waktu paro : 10-20 menit

Interaksi Obat : Meningkatkan kerja hipotensi

Dosis : Tablet dewasa 30 mg 4 x/hari

Patofisiologi

1. Gagal jantung kongestif

Turunnya kemampuan jantung yang sakit untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat
menyebabkan ginjal bereaksi seolah-olah ada penurunan volume darah. Ginjal sebagai bagian
dari mekanisme kompensasi normal, menahan lebih banyak garam dan air sebagai cara untuk
meningkatkan volume darah dan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung. Namun,
jantung yang sakit tidak dapat meningkatkan curah jantung, dan peningkatan volume vaskular
menyebabkan edema.

82
2. Asites karena penyakit hati

Asites, akumulasi cairan di rongga perut, merupakan komplikasi sirosis hati yang umum.

a. Peningkatan tekanan darah portal

Aliran darah dalam sistem portal sering pada sirosis, yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah portal. Lebih lanjut, tekanan osmotik koloidal darah menurun sebagai akibat untuk
gangguan sintetis protein plasma karena hati yang sakit. Peningkatan tekanan darah portal dan
osmolaritas yang rendah menyebabkan cairan keluar dari sistem saluran darah portal dan
terkumpul didalam rongga perut.

b. Hiperaldosteronisme sekunder

Retensi cairan juga diperberat oleh peningkatan kadar aldosteron yang beradar.
Hiperaldosteronisme sekunder ini disebabkan oleh penurunan kemampuan hati untuk
menginaktifkan hormon steroid dan menyebabkan peningkatan reabsorsi Na+ dan air,
peningkatan volume vaskular, dan munculnya kembali akumulasi cairan.

3. Sindrom nefrotik

Bila dirusak oleh penyakit, membran glomerulus dapat dilewati oleh protein plasma dan
memasuki ultrafiltrat glomerulus. Hilangnya protein dari plasma mengurangi tekanan osmotik
koloidal yang menyebakan edema. Volume plasma yang rendah merangsang sekresi aldosteron
melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Hal ini menyebabkan retensi Na+ dan cairan, yang
meningkatkan edema lebih lanjut.

4. Edema pramenstruasi

Edema yang menyertai menstruasi merupakan akibat ketidak seimbangan hormonal seperti
kelebihan estrogen, yang mempermudah hilangnya airsn rongga ekstraselular. Diuretik dapat
mengurangi edema ini.

BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1Alat dan Bahan
Hewan : Tikus putih jantan 1 ekor
Obat : cmc na 1%secara PO, furosemid 20 mg /70 kg bb manusia secara PO, spironolacton
100 mg /70 kg bb manusia secara PO air hangat 5 ml
Alat : spuit injeksi 1 ml sonde timbangan badan hewan , kadang diuretik , beker glas , gelas
ukur

83
3.2Prosedur kerja :

1. Puasakan tikus selama 12 samapi 16 jam tetapi tetap di berikan minum


2. Sebelum pemberian obat berikan air hangat per oral sebnayak 5 ml pada tikus
3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing masing kelompok terdiri dari 2 ekor
Kelompok 1 : cmc na 1% secara oral
Kelompok 2 : furosemid 20 mg /70 kg bb manusia secara oral
Kelompok 3 : spironolacton 100 mg /70 kg bb manusia secara oral
1. hitung dosis dan volume pemeberian obat denagn tepat untuk masing masing tikus
2. berikan larutan obat sesuai dosis yang sudah di hitung
3. tempat kan tikus kedalam kandang diuretik
4. kumpulkan urin selama 2 jam catat frekuensinya pengukuran urin jarak urin setiap kali
ekskresi
5. catat dan tabelkan
6. hitung persentase volume kumulatif yang di eksresikan
volume urin kumulatif selama 2 jam
x 100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑙
1. efek diuretik postif jika persentase volume kumulatif urin yang di ekskresikan > 75 %
dari vol air yang di keluarkan

3.3Perhitungan
volume urin kumulatif selama 2 jam
Rumus potensi diuretic: x 100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑙

2,3 𝑚𝑙
: x 100%
5 𝑚𝑙
: 46 %

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil

Percobaan bahan obat Efek Diuretik

Potensi Tikus CMC Na 1% frekuensi urinasi (menit 27 49 88


Diuretic ke)

84
volume urin (ml) 0,8 1 0,5
ml ml ml
Kel.5 volume urin kumulatif 2.3
selama 2 jam ml
volume air yang di berikan 5 ml
oral
potensi diuretik 46%
CMC Na 1% frekuensi urinasi (menit 27 49 66 117
ke)
volume urin (ml) 1 ml 1,2 1 0,2
Kel.6 ml ml ml
volume urin kumulatif 3,4
selama 2 jam ml
volume air yang di berikan 5 ml
oral
potensi diuretik 68%
Furosemid frekuensi urinasi (menit 19 57 75 106
20 mg/ 70 kg ke)
bb volume urin (ml) 1 ml 1 1 1
manusia ml ml ml
volume urin kumulatif 4 ml
Kel.3 selama 2 jam
volume air yang di berikan 5 ml
oral
potensi diuretik 80%

Furosemid frekuensi urinasi (menit 20 58 80 103


20 mg/ 70 kg ke)
bb volume urin (ml) 1 ml 1 1 1
manusia ml ml ml
Kel.4 volume urin kumulatif 4 ml
selama 2 jam
volume air yang di berikan 5 ml
oral
potensi diuretik 80%
Spironolacton frekuensi urinasi (menit 39 51 61 74
100 mg/ 70 ke)
kg bb volume urin (ml) 1,8 1,8 0,5 1,9
manusia ml ml ml ml
Kel.1 volume urin kumulatif 6 ml
selama 2 jam
volume air yang di berikan 5 ml
oral

85
potensi diuretik 120%
Spironolacton frekuensi urinasi (menit 30 45 50 57 66 75
100 mg/ 70 ke)
kg bb volume urin (ml) 0,5 1 1,1 1 1 1
manusia ml ml ml ml ml ml
Kel.2
volume urin kumulatif 5,6
selama 2 jam ml
volume air yang di berikan 5 ml
oral
potensi diuretik 112%

4.2 Pembahasan

Pada praktik ini bertujuan untuk mengetahui daya atau kekuatan suatu obat diuretik serta
membandingkan obat diuretik satu dengan yang lain nya. Hewan coba yang di gunakan adalah
tikus, di mana sebelum nya tikus harus dipuasakan terlebih dahulu karena untuk menghindari
pengeluaran urin yang disekresikan dari hasil makanan yang telah di komsumsi dan juga
sebelum pemberian obat tikus di beri air hangat secara oral sebanyak 5ml agar dapat membantu
mempercepat atau memperbanyak urin yang di keluarkan percobaan kali ini menggunakan 3 obat
yang pertama Cmc Na sebagai kontrol (-), furosemid 20mg atau 70mg bb manusia dan
sprironalacton 100mg atau 70mg bb manusia dengan pemberian secara oral.

1. CMC Na 1%, di lakukan oleh kelompok 5&6

KELOMPOK 5
percobaan dengan menggunakan 1 ekor tikus yang di berikan obat secara 80 (peroral)
dan dimasukan frekuensi urin yang pertama pada menit ke 27 drngan volume urin nya 0,8ml lalu
yang kedua pada menit ke 49 dengan volume urin 1ml setelah nya menit ke 88 dengan volume
urin 0,5ml, didapat voleme urin kumulatif selama 2jam adalah 2,3ml, sehingga dapat dihitung
potensi diuretik, hal ini sudah sesuai teori, karena potensi diuretiknya adalah 46% dibawah dari
persentasi vol.kumulatif yaitu 75% hanya sebagai kontrol negatif bukan obat diuretik.

KELOMPOK 6
percobaan dengan menggunakan 1ekor tikus & di beri larutan obat secara oral lalu
diamati selama 2 jam didalam kandang diuretik. Didapat pada menit ke-27 volume urin yang
dikeluarkan sebanyak 1 ml lalu menit ke 49 sebanyak 1,2 ml, pada menit ke-66 sebanyak 1 ml

86
dan pada menit ke-117 sebanyak 0,2 ml. Potensi diuretik nya adalah 68%.Hasil potensi diuretik
kelompok ini terlalu besar karena CMC Na bukan obat diuretik seharusnya potensi diuretik yang
didapat lebih kecil lagi dari ini, hal ini kemungkinan terjadi karena perhitungan dosis dan
volume pemberian yang kurang tepat sehingga proses didalam tubuh tikus tidak bekerja dengan
sesuai.

2. Furosemid 20mg/70kgBB manusia. Dilakukan oleh kelompok 3 dan 4.

Kelompok 3.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 1 ekor tikus dan diberi larutan obat secara
oral yang dimasukan kekandang diuretik untuk diamati selama 2 jam. Frekuensi urin pertama ada
pada menit ke-19 lalu pada menit ke-57,menit ke-75 dan menit ke-106 dengan volume urin yang
didapat sama yaitu 1 ml sehingga potensi diuretic didapat 80%. Hal ini sudah sesuai dengan teori
karena furosemide merupakan suatu derivate asam antranilat yang efektif sebagai diuretic. Efek
kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat dimana mekanisme kerja furosemide adalah
menghambat penyerapan kembali natrium oleh tubuli ginjal dan juga dapat meningkatkan
pengeluaran urin, natrium klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.
Timbulnya diuresis pada furosemide cepat biasanya setelah pemberian oral 30 menit dan akan
mencapai maksimum dalam 2 atau 3 jam.

Kelompok 4.
Dengan menggunakan 1 ekor tikus dan diberi larutan obat untuk diletakan didalam
kandang diuretic untuk diamati selama 2 jam. Frekuensi urin didapat pada menit ke 20, 58, 80,
dan 103 dengan volume urin yang didapat adalah sama yaitu 1 ml. Dan juga potensi diuretic
didapat 80% yang menyatakan positif diuretic.
Hasil kelompok 3 dan 4 sesuai dengan teori dan juga potensi diuretiknya sama yaitu 80% yang
menunjukan positif diuretic.

3. Spironolacton 100mg/70kgBB manusia. Dilakukan oleh kelompok 1 dan 2.

Kelompok 1.
Dilakukan dengan menggunakan 1 ekor dan diberikan larutan obat secara oral. Frekuensi
urin yang didapat pada menit ke-39 dan ke-51 dengan volume urin yang sama yaitu 1,8 ml lalu
pada menit ke-61 dengan volume urin nya 0,5 ml dan pada menit ke-74 dengan volume urin nya
1,9 ml. sehingga potensi diuretic didapat 120%, yang artinya spironolactone memiliki efek
diuresis tetapi hasil potensi diuretic pada spironolactone lebih besar dibandingkan dengan
potensi diuretic dari furosemide sehingga hasilnya tidak sesuai dengan teori. Spironolactone
merupakan obat diuretic yag memiliki efektivitas yang rendah dan lambat,biasanya merupakan
obat yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi. Mekanisme kerja spironolactone adalah
memblok secara kompetetif ikatan aldosterone pada reseptor sitoplasma nya ditubulus distal
akhir dan dalam tubulus penampung. Efek diuretic kelompok 1 adalah positif diuretic karena
lebih dari 75%.

87
Kelompok 2.
Dilakukan dengan 1 ekor tikus yang diberi obat secara oral. Frekuensi urin didapat pada
menit ke-30 dengan volume urin sebanyak 0,5ml, pada menit ke-45 sebanyak 1ml , pada menit
ke-50 sebanyak 1,1ml dan pada menit ke-57, 66, 75 sebanyak 1 ml. sehingga potensi diuretic
yang didapat adalah 112% yang artinya positif diuretic. Karena spironolactone merupakan obat
diuretic lemah kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengerjaan , kesalahan dapat terlihat sangat
jelas dimana justru spironolactone memiliki potensi diuretic yang lebih besar dibandingkan
dengan fursemid padahal jika sesuai teori seharusnya furosemide lebih besar karena memiliki
efketivitas yang kuat sebagai diuretic yang kuat. Kesalahan yang terjadi mungkin karena
perhitungan dosis dan volume pemberian yang kurang tepat , bisa juga karena factor fisiologis
dari tikus seperti stress sehingga pengeluaran urin akan terhambat dan juga bisa karena factor
lingkungan dimana pada suhu panas sekresi urin berkurang sedangkan pada suhu dingin sekresi
urin mengalami peningkatan.
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Tujuan praktikum kali ini untuk mengetahui kekuatan dari obat diuretic serta
membandingkan obat diuretic antara furosemid dan spironolactone. Obat yang memiliki efek
diuretic yang paling kuat adalah furosemide dan yang memiliki efek diuretic yang rendah dan
lambat adalah spironolactone, sedangkan untuk CMC Na hanya sebagai control (-) bukan obat
diuretic. Hasil perbandingan antara furosemide dan spironolactone saat praktikum tidak sesuai
dengan teori.

Saran

Diharapkan kepada seluruh praktikan agar pada saat melakukan praktikum selalu
mengikuti peraturan dan tata tertib yang telah ditentukan dan selalu menanamkan kedisiplinan
dan kerja sama anggota kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013. Penuntun Praktikum Farmakologi dan Toksikologi.Fakultas Farmasi UMI.


Makassar

Lukmant,H.2003.Informasi akurat produk farmasi di Indonesia Edisi 2.Penerbit Buku


Kedokteran EGC.Jakarta.

Marjono, Mahar. 2004. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta :UI Press.

88
Malole dan Sri Utami Pramono,1989. Karakteristik Hewan Coba. IPB. Bogor

Mycek, Mary J.,dkk. 1991. Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2.Widya Medika. Bandung

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting, Edisi V. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta

Neal,M.J, 2006. At a Glance FARMAKOLOGI MEDIS Edisi kelima. : Jakarta :Erlangga

89

Anda mungkin juga menyukai